Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

NIKAH BEDA AGAMA


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas terstruktur
mata kuliah Masail Fiqhiyah

Dosen Pengampu : Yoyoh Badriyah, S. Pd.I, M.Ag


Disusun Oleh :
PAI-3/A
Kelompok V
1. Nasrul Aminuddin 1908101007
2. Pipit Imroatul M. 1908101008
3. Deda Aenul Wardah 1908101023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2020/2021

0
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih dan maha
penyayang. Segala puji bagi Allah SWT tuhan penguasa Alam semesta. Shalawat
dan salam semoga tetap tercurahkan pada Rasulullah SAW yang senantiasa menjadi
suri tauladan yang cahayanya tidak akan padam hingga kapanpun.
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT akhirnya kami dapat membuat
makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqhiyah dengan judul “Nikah
Beda Agama”. Juga tak lupa kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Masail Fiqhiyah, Ibu Yoyoh Badriyah, S. Pd.I, M.Ag yang
telah membimbing dalam penulisan ini.
Kami menyadari bahwasanya dalam penyusunan makalah ini terdapat
banyak kekurangan, baik dalam segi penulisan maupun pengolahan materi. Untuk
itu kami meminta kritik dan saran yang membangun dari seluruh pihak agar dapat
membuat makalah yang lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan limpahan keberkahan dalam hidup kita semua. Aamiin ya
rabbal’alamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Cirebon, 11 September 2020

Kelompok VI

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………… 1


DAFTAR ISI …………………………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 3
A. Latar Belakang……………………………………………… 3
B. Rumusan Masalah ………………………………………… 3
C. Tujuan Penulisan…………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………… 4
A. Pengertian Nikah…………………………………………… 4
B. Pernikahan Beda Agama Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah 6
C. Macam-macam Pernikahan Beda Agama dan Hukumnya… 6
D. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam Madzhab………… 10

E. Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Indonesia ………… 14

BAB III KESIMPULAN……………………………………………… 16


DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 17

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terdapat perselisihan
pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya melakukan nikah beda agama.
Pertimbangan maslahat dan mafsadat menjadi pijakan dalam menetapkan status
hukum pernikahan beda agama. Potensi konflik dan ketegangan dalam keluarga,
serta banyak cerita kegagalan pelaku nikah beda agama dalam mempertahankan
keharmonisan rumah tangga juga menjadi dasar penetapan hukum. Dari sini pula,
lahir regulasi yang di dalamnya terkait aturan pernikahan beda agama di Indonesia.
Banyak pendapat yang berbeda dikalangan para ulama mengenai hukum nikah beda
agama berdasarkan berbagai macam pertimbangan maslahat dan mafsadat yang
didasarkan pada Al-Qur’an, Hadist serta ijtihad.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nikah?
2. Bagaimana pernikahan beda agama menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah?
3. Apa saja macam-macam pernikahan beda agama dan hukumnya?
4. Bagaiana pernikahan beda agama menurut imam madzhab?
5. Bagaimana perkawinan beda agama dalam hukum Indonesia?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian nikah
2. Memahami pernikahan beda agama menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
3. Mengidentifikasi saja macam-macam pernikahan beda agama dan hukumnya
4. Memahami pernikahan beda agama menurut imam madzhab
5. Memahami perkawinan beda agama dalam hukum Indonesia

3
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Secara bahasa perkawinan atau pernikahan dalam literatur fikih berbahasa
Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah (‫ ) نكح‬, dan zawaj (‫ ) زواج‬kedua kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an
dengan arti kawin, seperti dalam Surat An-Nisa Ayat 3:
َ َ‫سا ِٓء َمثْنَ َٰى َوث ُ َٰل‬
‫ث َو ُر َٰبَ َع ۖ فَ ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم‬ ِ ‫اب لَكُم ِم َن‬
َ ‫ٱلن‬ َ ‫ط‬ َ ‫وا َما‬ ۟ ‫وا ِفى ٱ ْليَ َٰت َ َم َٰى فَٱن ِك ُح‬ ۟ ُ‫سط‬ ِ ْ‫َو ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ اَّل تُق‬
۟ ُ‫وا فَ َٰ َو ِح َدةً أ َ ْو َما َملَكَتْ أ َ ْي َٰ َمنُ ُك ْم ۚ َٰذَ ِلكَ أ َ ْدنَ َٰ ٓى أ َ اَّل تَعُول‬
‫وا‬ ۟ ُ‫أ َ اَّل ت َ ْع ِدل‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Menurut ahli ushul, arti nikah terdapat tiga macam pendapat, yakni
1) Imam Hanafi : nikah arti aslinya adalah setubuh dan menurut arti majazi
(metaporik) adalah dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria
dan wanita;
2) Imam Syafi’i : nikah arti aslinya adalah akad yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi
adalah setubuh; dan
3) Menurut Abdul Qosim Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan sebagian
ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah bersyarikat antara
akad dan setubuh.
Sementara menurut undang-undang Republik Indonesia Nomor. 1 Tahun
1974 Pasal 1 dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan, bahwa
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1

1
Fatoni, Siti Nur & Iu Rusliana. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas
Agama di Kota Bandung. Jurnal Varia Hukum. Vol. 1, No. 1. Hlm. 102

4
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo yang dimaksud pernikahan beda agama
adalah pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan bukan muslimah atau
sebaliknya. Dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh Amir
Syarifuddin juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan beda agama ialah
perempuan muslimah dengan laki-laki nonmuslim dan sebaliknya laki-laki muslim
dengan perempuan nonmuslim. Dalam istilah fikih disebut nikah dengan orang
kafir.2 Meski secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda agama
dalam teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan
untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dengan
wanita ahli kitab, pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat
al-Maidah ayat 5 yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan
wanita ahli kitab bagi kaum muslim. Bahwa pada dasarnya hukum Islam melarang
adanya pernikahan beda agama .
Di Indonesia, lima agama yang diakui memiliki pengaturan tersendiri terkait
dengan pernikahan beda agama. Agama Kristen/Protestan memperbolehkan
pernikahan beda agama dengan menyerahkan pada hukum nasional masing-masing
pengikutnya. Hukum Katholik tidak memperbolehkan pernikahan beda agama
kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu. Hukum Budha
tidak mengatur perkawinan beda agama dan mengembalikan kepada adat masing-
masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras pernikahan beda agama. 3
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya
melakukan nikah beda agama. Pertimbangan maslahat dan mafsadat menjadi
pijakan dalam menetapkan status hukum pernikahan beda agama. Potensi konflik
dan ketegangan dalam keluarga, serta banyak cerita kegagalan pelaku nikah beda
agama dalam mempertahankan keharmonisan rumah tangga juga menjadi dasar
penetapan hukum. Dari sini pula, lahir regulasi yang di dalamnya terkait aturan
pernikahan beda agama di Indonesia.4

2
Shoodiq, J. Misno & Abdul Rosyid. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam
Mazhab dan Hukum Positif Di Indonesia. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol.
7, No : 1. Hlm 10
3
Dardiri, Ahmadi Hasanuddin, Marza Tweedo & Muhammad Irham Roihan. 2013.
Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM. Jurnal Khazanah. Vol. 6 No. 1. Hlm.
103 – 104.
4
Jalil, Abdul. 2018. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif di Indonesia. Andragogy Jurnal Diklat Teknis. Vol. 4, No. 2. Hlm. 52

5
B. Pernikahan Beda Agama Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Adapun As-Sunnah mengenai hal ini tetap menganjurkan agar kaum
muslimin dan muslimah agar tetap beruapaya mencari dan memilih pasangan suami
atau istri yang seakidah tentunya yang agamanya baik, sebagaimana hadits bahwa
Rasulullah S.A.W. bersabda: “Wanita dinikahi karena empat alasan; karena harta,
keturunan, kecantikan, dan agamanya. Carilah yang taat beragama, niscaya kalian
beruntung.” Pernikahan beda agama dalam perspektif Islam adalah pernikahan laki-
laki Muslim dengan perempuan non-Muslimah atau, sebaliknya, pernikahan
perempuan Muslimah dengan laki-laki non- Muslim. Pernikahan ini diklasifikasikan
ke dalam tiga kategori, pertama, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan
musyrik (musyrikah), kedua, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl
al-Kitab (kitabiyyah) dan, ketiga, pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki
non-Muslim, baik musyrik atau pun Ahl al-Kitab (kitabi).5
Ketiga jenis pernikahan ini belakangan semakin sering terjadi di dunia Islam,
termasuk Indonesia, sehingga dirasa perlu adanya penjelasan komprehensif
mengenai hukum masing-masing jenis tersebut. Adanya larangan menikahi
perempuan non-muslim sebagaimana termuat dalam beberapa ayat al-Qur’an lebih
disebabkan karena adanya kekhawatiran terjadinya fitnah yang akan menimpa
pasangannya dan juga komunitas umat Islam secara umum. Di sisi lain, ayat-ayat
al- Qur’an yang berbicara tentang nikah beda agama kesemuanya merupakan ayat-
ayat Madaniyyah yang turun dalam rangka menjamin kelangsungan dan
perkembangan ajaran Islam yang baru saja tumbuh di Madinah.6
C. Macam-macam Pernikahan Beda Agama dan Hukumnya
1. Pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik.
Dalam QS. al-Baqarah ayat 221 Allah subhanahu wa ta’ala melarang keras
pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik:

ۗ ‫ت َحت ا َٰى يُ ْؤ ِم ان ۚ َو ََل َ َمةٌ ُّم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِمن ُّمش ِْر َك ٍة َولَ ْو أ َ ْع َجبَتْ ُك ْم‬ِ ‫وا ٱ ْل ُمش ِْر َٰ َك‬
۟ ‫َو ََّل تَن ِك ُح‬
ۗ ‫وا ۚ َولَعَ ْب ٌد ُّم ْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِمن ُّمش ِْركٍ َولَ ْو أ َ ْع َجبَ ُك ْم‬ ۟ ُ‫ين َحت ا َٰى يُ ْؤ ِمن‬
َ ‫وا ٱ ْل ُمش ِْر ِك‬ ۟ ‫َو ََّل تُن ِك ُح‬

5
Husni, Zainul Mu’ien. 2015. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Sunnah serta Problrmatikanya. Jurnal At-Turas. Vol. 2, No. 1. Hlm 92
6
Mustafid, Fuad. 2011. Perkawinan Beda Agama dan Kebebasan Individual Manusia
dalam Islam : Perspektif “Teori Nasakh” Mahmoud Muhammad Thaha. Jurnal Musawa. Vol. 10, No.
2. Hlm. 243

6
‫ُون إِلَى ٱلنا ِار ۖ َوٱللاهُ يَ ْدع ُٓو ۟ا إِلَى ٱ ْل َجنا ِة َوٱ ْل َم ْغ ِف َر ِة بِ ِإ ْذنِ ِۦه ۖ َويُبَيِ ُن َءا َٰيَ ِت ِهۦ‬َ ‫أ ُ ۟و َٰلَٓئِكَ يَ ْدع‬
َ ‫اس لَعَلا ُه ْم يَتَذَ اك ُر‬
‫ون‬ ِ ‫ِللنا‬
“Dan janganlah kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik
walaupun dia mengagumkan bagi kalian. Dan janganlah kalian nikahkan laki-laki
musyrik (dengan wanita wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya,
wanita budak yang mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik walaupun dia
mengagumkan bagi kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
sorga dan ampunan dengan izin-Nya.”
Sungguh pun demikian para ulama tidak satu pendapat tentang hukum
perkawinan jenis ini lantaran adanya silang pendapat tentang siapa yang dimaksud
dengan perempuan musyrik dalam ayat ini. Imam Ibn Jarir al-Thabari, misalnya,
mengatakan bahwa perempuan musyrik yang dilarang dinikahi adalah perempuan
musyrik dari bangsa Arab saja, karena sejak semula mereka tidak mengenal kitab
suci dan merupakan penyembah berhala. Dengan demikian, menurutnya,
perempuan musyrik dari bangsa non-Arab yang memiliki kitab suci atau semacam
kitab suci, seperti bangsa-bangsa India, Cina atau Jepang, boleh dinikahi oleh laki-
laki Muslim. Pendapat Ibn Jarir ini didukung oleh Muhammad ‘Abduh dan Rasyid
Ridha.
Tetapi mayoritas ulama, termasuk imam-imam mazhab empat
rahimahumullah, berpendapat bahwa perempuan musyrik, apa pun agama,
kepercayaan dan rasnya, haram dinikahi oleh laki-laki Muslim. Bahkan menurut
Abdullah ibn Umar radhiyallahu anhu dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, perempuan kitabiyah haram dinikahi sebagaimana akan dijelaskan
di bagian lebih lanjut tulisan ini. Pendapat ini didasarkan pada keumuman larangan
pada ayat tersebut di atas dan pada QS. Al-Mumtahanah: 10:
‫ص ِم ٱ ْلك ََوا ِف ِر‬ ۟ ‫سك‬
َ ‫ُوا ِب ِع‬ ِ ‫َو ََّل ت ُ ْم‬
“Dan janganlah kalian pertahankan tali (perkawinan) perempuan perempuan
kafir.”
Ayat ini tegas sekali melarang pernikahan Muslim dengan perempuan musyrik.7

7
Husni, Zainul Mu’ien. 2015. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Sunnah serta Problrmatikanya. Jurnal At-Turas. Vol. 2, No. 1. Hlm 94

7
2. Pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan kitabiyah.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menikahi perempuan kitabiyah
hukumnya boleh. Yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab di sini, adalah pemeluk
agama Yahudi dan Nasrani (Kristen), baik dzimmi maupun harbi sebagaimana
dikemukakan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili. Namun, beberapa ulama, termasuk
Abdullah ibn Abbas dari kalangan sahabat radhiyallahu anhum, dan didukung Dr.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dari kalangan ulama kontemporer, membedakan antara
yang dzimmi dan yang harbi. Menurut mereka, bahwa yang halal dinikahi hanyalah
yang dzimmi, sedang yang harbi hukumnya haram. Adapun perempuan pemeluk
agama selain Yahudi dan Nasrani yang mempunyai kitab suci masih diperdebatkan
apakah termasuk dalam kategori Ahlul Kitab atau tidak.
Para ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa siapa saja yang menganut
salah satu agama langit (samawi) dan berpegang pada sebuah kitab langit semisal
Zabur-nyaNabi Dawud atau Shuhuf-nya Nabi Ibrahim atau Nabi Syits alaihimus
salam perempuannya halal dinikahi dengan diqiyaskan kepada Yahudi dan Nasrani.
Sementara para ulama Mazhab Syafi’i dan sebagian ulama Mazhab Hambali
mengharamkannya dengan dalih bahwa kitab-kitab tersebut hanya berisikan pesan-
pesan moral sehingga tidak bisa disetarakan dengan Taurat, Injil dan Al-qur’an. Di
antara para ulama ada sejumlah kecil, antara lain ‘Abdullah ibn Umar dari kalangan
sahabat, yang mengharamkan perempuan kitabiyah Yahudi dan Nasrani dengan
alasan bahwa doktrin teologis kedua agama tersebut mengandung unsur-unsur syirik
(politeisme). Hal ini karena Nabi Uzair alaihis salam dalam teologi Yahudi dan
Nabi Isa alaihis salam dalam teologi Nasrani masing-masing diposisikan sebagai
anak Tuhan. Ketika ditanya tentang masalah ini Ibn Umar berkata:
“Allah telah mengharamkan pernikahan Muslim dengan perempuan musyrik. Dan
aku tidak mengenal kemusyrikan yang lebih besar daripada pernyataan seorang
perempuan bahwa tuhannya adalah Isa atau apa pun di antara hamba-hamba
Allah.”
Adapun mayoritas ulama yang membolehkan pernikahan jenis ini dasar mereka
adalah QS. Al-Maidah : 5
‫ص َٰنَتُ ِم َن‬ َ ‫ب ِح ٌّل لا ُك ْم َو‬
َ ‫طعَا ُم ُك ْم ِح ٌّل لا ُه ْم ۖ َوٱ ْل ُم ْح‬ َ َ ‫وا ٱ ْل ِك َٰت‬۟ ُ ‫طعَا ُم ٱلاذِي َن أُوت‬ َ ‫طيِ َٰبَتُ ۖ َو‬‫ٱ ْليَ ْو َم أ ُ ِح ال لَ ُك ُم ٱل ا‬
‫غ ْي َر‬َ َ‫ور ُه ان ُم ْح ِصنِين‬ َ ‫ب ِمن قَ ْب ِل ُك ْم إِذَآ َءات َ ْيت ُ ُموهُنا أ ُ ُج‬ ۟ ُ ‫ص َٰنَتُ ِم َن ٱلا ِذينَ أُوت‬
َ َ ‫وا ٱ ْل ِك َٰت‬ َ ‫ت َوٱ ْل ُم ْح‬ ِ َ‫ٱ ْل ُمؤْ ِم َٰن‬

8
ِ ‫ع َملُ ۥهُ َو ُه َو فِى ٱ ْل َء‬
‫اخ َر ِة ِم َن‬ َ ِ‫ٱْلي َٰ َم ِن فَقَ ْد َحب‬
َ ‫ط‬ ِ ْ ‫ِى أ َ ْخدَا ٍن ۗ َو َمن يَ ْكفُ ْر ِب‬ َ َٰ ‫ُم‬
ٓ ‫س ِف ِحي َن َو ََّل ُمت ا ِخذ‬
‫ٱ ْل َٰ َخس ِِري َن‬

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita—wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.”
Ayat ini tegas sekali menghalalkan pernikahan Muslim dengan perempuan
Ahl al-Kitab. Memang, adanya unsur syirik dalam teologi Ahl al-Kitab merupakan
satu kenyataan yang tidak dapat disangkal. Namun dalam tradisi Alqur’an, Ahl al-
Kitab dan kaum musyrik selalu disebut dalam konteks yang memberi kesan
perbedaan antara keduanya. Sekedar menyebut contoh, simaklah QS. Al-Bayyinah
:1
ُ‫ين َحت َّ ٰى تَأْتِيَ ُه ُم ا ْلبَيِنَة‬
َ ‫ين ُم ْنفَ ِك‬ ِ ‫ِين َكفَ ُروا ِم ْن أ َ ْه ِل ا ْل ِكتَا‬
َ ‫ب َوا ْل ُمش ِْر ِك‬ َ ‫لَ ْم يَك ُِن الَّذ‬
Orang-orang kafir dari Ahl al-Kitab dan kaum musyrik tidak akan lepas (dari
agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata…
Seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa meskipun dalam teologi Ahl al-Kitab
ada unsur syiriknya, namun perempuan mereka merupakan perkecualian dari
perempuan musyrik pada umumnya karena antara Ahl al-Kitab dan Islam ada
pertalian nasab yang erat, yakni sama-sama agama samawi, wallahu a’lam.8
3. Pernikahan antara perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
Konon, telah terjadi ijma’ di kalangan para ulama fiqh bahwa pernikahan
dengan kategori ini hukumnya haram, baik pria non-Muslim itu tergolong kitabi atau
tidak. Dalailnya adalah QS. Al-Mumtahanah : 10
‫ٱمت َ ِحنُو ُه ان ۖ ٱللاهُ أ َ ْعلَ ُم بِ ِإي َٰ َمنِ ِهنا ۖ فَ ِإ ْن‬ ٍ ‫َٰ ٓيَأَيُّ َها ٱلاذِي َن َءا َمنُ ٓو ۟ا إِذَا َجا ٓ َء ُك ُم ٱ ْل ُمؤْ ِم َٰنَتُ ُم َٰ َه ِج َٰ َر‬
ْ َ‫ت ف‬
ٓ ‫ت فَ ََل ت َ ْر ِجعُو ُه ان إِلَى ٱ ْل ُكفا ِار ۖ ََّل هُنا ِح ٌّل لا ُه ْم َو ََّل ُه ْم يَ ِحلُّو َن لَ ُه ان ۖ َو َءاتُو ُهم اما‬ ٍ َ‫ع ِل ْمت ُ ُمو ُه ان ُمؤْ ِم َٰن‬
َ

8
Husni, Zainul Mu’ien. 2015. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Sunnah serta Problrmatikanya. Jurnal At-Turas. Vol. 2, No. 1. Hlm 96

9
‫ص ِم ٱ ْلك ََوا ِف ِر‬ ۟ ‫سك‬
َ ‫ُوا ِب ِع‬ ِ ‫ورهُنا ۚ َو ََّل ت ُ ْم‬َ ‫علَ ْي ُك ْم أَن تَن ِك ُحوهُنا ِإذَآ َءات َ ْيت ُ ُمو ُه ان أ ُ ُج‬ َ ‫ح‬ َ ‫وا ۚ َو ََّل ُجنَا‬ ۟ ُ‫أَنفَق‬
َ ُ‫وا ۚ َٰذَ ِل ُك ْم ُح ْك ُم ٱللا ِه ۖ يَ ْح ُك ُم بَ ْينَ ُك ْم ۚ َوٱللاه‬
‫ع ِلي ٌم َح ِكي ٌم‬ ۟ ُ‫وا َما ٓ أَنفَق‬
۟ ُ‫سـَٔل‬ ۟ ُ‫سـَٔل‬
ْ َ‫وا َما ٓ أَنفَ ْقت ُ ْم َو ْلي‬ ْ ‫َو‬
“Wahai orang-orang yang beriman, apabiloa datang berhijrah kepada kalian
perempuan-perempuan yang beriman maka ujilah (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui keimanan mereka. Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-
benar) beriman maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) yang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tidak halal bagi mereka. Ungkapan Mereka tidak halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.”
Tegas sekali bahwa perempuan Muslimah tidak hala bagi laki-laki non-
Muslim. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, karena suami
mempunyai hak kepemimpinan (qawamah) atas istrinya dan si istri wajib
mematuhinya. Jika ini terjadi maka berarti kita telah memberikan semacam peluang
bagi non-Muslim untuk menguasai Muslimah, dan itu tidak boleh terjadi
berdasarkan firman Allah QS. An-Nisa : 141
ً ِ‫سب‬
‫يَل‬ َ ‫َولَن يَ ْجعَ َل ٱللاهُ ِل ْل َٰ َك ِف ِري َن‬
َ َ‫علَى ٱ ْل ُمؤْ ِمنِين‬
“Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang-orang kafir jalan (untuk menguasai)
kaum Mukmin.”
Sungguh pun demikian, terlepas dari realitas sosial yang berkembang di
tengah masyarakat yang semakin majemuk dan dihadapkan kepada banyak
persoalan seiring beragamnya keyakinan dan kepercayaan yang dianut, masalah
nikah beda agama tidak pernah sepi dari polemik dan perselisihan pendapat yang
cukup bervariasi antara kelompok liberal yang sangat longgar dan cenderung serba
membolehkan dengan alasan pluralisme agama, di satu pihak, dan kelompok
konservatif (Salafi-Wahhabi) yang sangat resistan terhadap pluralisme dan
mengharamkan secara mutlak pernikahan beda agama.9
D. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam Madzhab
1. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim
dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan
mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut

9
Ibid. Hlm 100

10
meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab
tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul
kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang nabi dan kitab yang pernah
diturunkan Allah S.W.T., termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim
alaihissalam dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini
wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah
boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang
ada di darul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah,
dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul
kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul
kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
Akan tetapi pendapat madzhab Imam Hanafi membolehkan mengawini
wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) hal ini juga karena merujuk kepada firman
Allah S.W.T. dalam Surat Al-Ma’idah Ayat 5 yang telah disebutkan sebelumnya. 10
Akan tetapi pembolehan tersebut bersifat makruh sebagaimana yang disampaikan
oleh Wahbah Az-Zuhaili, bahwa mazhab Hanafi berpendapat, seorang muslim
makruh menikah dengan perempuan Ahli Kitab dan ahli dzimmah. Karena Umar
radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang-orang yang kawin dengan perempuan ahli
kitab, “Ceraikanlah mereka”. Maka para sahabat radhiyallahu’anhum menceraikan
mereka, kecuali Hudzaifah radhiyallahuanhu. Kemudian, Umar radhiyallahu’anhu
berkata kepadanya, “Ceraikanlah dia.” Maka Hudzaifah Allah S.W.T., termasuk
juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim alaihissalam dan Suhufnya dan orang
yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh
dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab
ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di darul harbi hukumnya makruh
tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar,
sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih,
alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman
arak dan menghalalkan daging babi.

10
Shoodiq, J. Misno & Abdul Rosyid. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam
Mazhab dan Hukum Positif Di Indoneisa. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, VOL
: 07, NO : 1. Hlm 16

11
2. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Malik
Madzhab Maliki tentang perkawinan lintas agama ini mempunyai dua
pendapat, yaitu 1) menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh mutlak, baik
dzimmiyah (wanita-wanita non-muslim yang berada diwilayah atau negeri yang
tunduk pada hukum Islam) maupun wanita harbiyah, namun makruhnya menikahi
wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang
kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya,
maka hukumnya haram; dan 2) Tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak
melarang secara mutlaq. Metodologi berfikir madzhab maliki ini menggunakan
pendekatan sad al-zariyan (menutup jalan yang mengarah kepada kaemafsadatan),
jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama
ini, maka diharamkan.11
3. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berkata; Allah tabarokawataala berfirman dalam Al-
Mumtahanah Ayat 10, setelah itu turunlah rukhsah (keringanan) yang menghalalkan
wanita-wanita merdeka dari kalangan ahli kitab hal ini sebagaimana yang dijelaskan
Allah S.W.T. dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat 5 sebelumnya. Ketetapan Allah
Subhanahu wataala yang membolehkan menikahi wanita-wanita merdeka di
kalangan ahli kitab merupakan dalil yang mengharamkan menikahi wanita-wanita
budak mereka, karena telah dikenal dalam bahasa; apabila suatu sifat disebutkan
dalam kalimat yang berkonotasi penghalalan atau pengharaman, maka hal ini
menjadi dalil bahwa yang berada di luar sifat tersebut, tidak masuk dari kalimat tadi.
Beliau (Imam Syafi’i) juga berpendapat bahwa apabila seorang wanita masuk Islam
atau dilahirkan dalam keadaan Islam, atau salah seorang dari kedua orang tuanya
masuk Islam, sementara da masih anak-anak dan belum mencapai usia balig. Maka
haram atas setiap lelaki musyrik, ahli kitab, atau penyembah berhala untuk
menikahinya dalam segala keadaan. Apabila kedua orang tuanya musyrik, lalu
disebutkan kepadanya sifat-sifat Islam, dan ia memahaminya, maka saya melarang
wanita di nikahi oleh laki-laki musyrik.
Namun bila disebutkan kepadanya sifat-sifat Islam namun ia tidak
memahaminya, maka saya lebih menyukai untuk laki-laki musyrik dilarang untuk

11
Shoodiq, J. Misno & Abdul Rosyid. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam
Mazhab dan Hukum Positif Di Indoneisa. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, VOL
: 07, NO : 1. Hlm 17

12
menikahinya. Imam Syafi‟i juga berpendapat bahwa dihalalkan menikahi wanita-
wanita merdeka Ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah S.W.T. menghalalkan
mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita Ahli kitab yang merdeka dan boleh
dinikahi adalah pengikut dua kitab yang masyhur yakni; Taurat dan Injil dan mereka
adalah Yahudi dan Nasrani. 12
Adapun Majusi, tidak masuk dalam golongan itu. Dihalalkan pula menikahi
wanita-wanita dari golongan Syabiun dan Samirah dari kalangan yahudi dan Nasrani
yang dihalalkan mengawini wanita mereka dan memakan hewan sembelihan
mereka. Namun bila diketahui bahwa mereka menyelisihi orang-orang yang
menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al kitab dan mengharamkan apa yang
diharamkannya, maka pada kondisi demikian diharamkan menikahi wanita-wanita
mereka sebagaimana diharamkannya menikahi wanita-wanita Majusi.
4. Pernikahan Beda Agama Menurut Madzhab Imam Hambali
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita
musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih
kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad bin Hambal,
yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang termasuk ahlu al-kitab
adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi menyatakan bahwa
wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi
Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
Berdasarkan uraian di atas, telah dijelaskan bahwa ulama Imam Madzhab
sepakat untuk mengharamkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita
musyrik dan membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul
kitab yakni Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, yang dimaksud oleh Imam Madzhab
tentang wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) di sini adalah karena wanita ahlul
kitab pada zaman dahulu berbeda dengan wanita ahlul kitab pada zaman sekarang.
Pada zaman dahulu wanita ahlul kitab mengimani kitab-kitab mereka yang belum
banyak adanya perubahan dan wanita ahlul kitab pada zaman dahulu tidak
berpengaruh terhadap pemikiran dan keyakinan laki-laki muslim (suami). Adapun
pada saat ini, mereka wanita ahlul kitab mayoritas tidak memahami isi dan
kandungan kitab-kitab mereka yang sesungguhnya, karena sudah banyaknya

12
Shoodiq, J. Misno & Abdul Rosyid. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam
Mazhab dan Hukum Positif Di Indoneisa. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, VOL
: 07, NO : 1. Hlm 18

13
perubahan. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa pendapat Imam
Madzhab tentang pembolehan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita
ahlul kitab hanya sebatas pada zaman mereka. Jika dianalisis berdasarkan apa yang
telah disebutkan di atas sesuai dengan realita sekarang, maka sudah barang tentu
Imam Madzhab akan mengharamkan pernikahan beda agama tanpa terkecuali. 13
E. Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Indonesia

Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974: Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata “ikatan lahir batin” dalam pengertian tersebut
dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir
saja, atau hanya dengan ikatan batin saja, namun harus keduanya ada dalam
perkawinan. Ikatan lahir dapat dimaknai bahwa perkawinan adalah ikatan yang
dapat dilihat, artinya: adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama, sebagai suami isteri. Ikatan ini dapat juga
disebut sebagai “ikatan formal” yakni hubungan formal yang mengikat dirinya,
orang lain dan masyarakat. Sedangkan “ikatan batin” dapat dimaknai sebagai
hubungan yang tidak formil, artinya suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, namun
harus ada karena tanpa adanya ikatan batin dalam perkawinan maka ikatan lahir
akan rapuh14. Perkawinan beda agama menurut pemahaman para ahli dan praktisi hukum
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 secara garis besar dapat dijumpai tiga pandangan:

Pertama, perkawinan beda agama tidak dapat dibenarkan dan merupakan


pelanggaran terhadap UUP Pasal 2 Ayat (1): Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan
Pasal 8 hurup (f): bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yan berlaku, dilarang kawin.
Maka dengan pasal ini, perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan batal demi
hukum.

13
Shoodiq, J. Misno & Abdul Rosyid. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam
Mazhab dan Hukum Positif Di Indoneisa. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, VOL
: 07, NO : 1. Hlm 19
14
Shoodiq, J. Misno & Abdul Rosyid. 2019. Pernikahan Beda Agama Menurut Imam
Mazhab dan Hukum Positif Di Indoneisa. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, Vol
: 7, No : 1. Hlm 20

14
Kedua, perkawinan beda agama adalah diperbolehkan, sah dan dapat
dilangsunkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, sebagaiman
termaktub dalam Pasal 57 UUP, yaitu dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan. Menurut pandangan kedua ini, pasal tersebut tidak saja
mengatur perkawinan antara dua orang yang memiliki kewarganegaran yang
berbeda, akan tetapi juga mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda
agama. Menurutnya, pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh
Pasal 6 PPC: (1) Perkawinan campur dilangsungkan menurut hukum yang berlaku
untuk suami, kecuali izin dari kedua belah pihak bakal mempelai, yang seharusnya
ada, dengan merujuk pada Pasal 66 UUP. 15
Ketiga. UUP tidak mengatur masalah perkawinan antaragama. Oleh karena
itu, apabila merujuk Pasal 66 UUP yang menekankan bahwa peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan, sejauh telah diatur dalam unadang-undang
ini, maka dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun karena UUP belum mengaturnya,
maka peraturan-peraturan lama dapat diberlakukan kembali, sehingga masalah
perkawinan beda agama harus berpedoman kepada peraturan pekawinan campur
(PPC) Perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja, sebab akan mendorong
terjadinya perzinahan terselubung melalui pintu kumpul kebo.16

15
Ibid. Hlm 22
16
Ibid. Hlm 23

15
BAB III
PENUTUP
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ditengah masyarakat
kini telah muncul fenomena nikah beda agama, baik antara lelaki muslim dengan
wanita non muslim ataupun anatar wanita muslim dengan lelaki non muslim. Dalam
menyikapi fenomena tersebut al-qur’an telah memberikan jawabannya sejak ratusan
tahun yang lalu. Dalam hal ini pernikahan dibagi menjadi 3 :

- Lelaki muslim dengan wanita musyrik. Dalam hal ini hukum islam tidak
memperbolehkan dengan pertimbangan banyak mafsadat yang ditimbulkan
- Lelaki muslim dengan wanita ahli kitab (agama yahudi dan nasrani).
Pernikahan macam ini diperbolehkan dengan pertimbangan kesamaan wahyu
yang diturunkan yakni sama-sama berasal dari langit (agama samawi).
- Perempuan muslim dengan lelaki non muslim. Dalam hal ini tidak
diperbolehkan karena lelaki memiliki hak prerogratif atas istrinya sehingga
dikhawatirkan perempuan muslim tersebut mengikuti kepercayaan yang
dianut suaminya.

16
DAFTAR PUSTAKA

 Dardiri, A. H., Marza T. & M. Irham R. (2013). Pernikahan Beda Agama Ditinjau dari
Perspektif Islam dan HAM. Jurnal Khazanah. Vol. 6 No. 1.
 Fatoni, S. N. & Iu Rusliana. (2019). Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas
Agama di Kota Bandung. Jurnal Varia Hukum. Vol. 1, No. 1.
 Husni, Z. M. (2015). Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Sunnah serta Problrmatikanya. Jurnal At-Turas. Vol. 2, No. 1.
 Jalil, A. (2018). Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif di Indonesia. Andragogy Jurnal Diklat Teknis. Vol. 4, No. 2.
 Mustafid, F. (2011). Perkawinan Beda Agama dan Kebebasan Individual Manusia
dalam Islam : Perspektif “Teori Nasakh” Mahmoud Muhammad Thaha. Jurnal
Musawa. Vol. 10, No. 2.
 Shoodiq, J. M. & Abdul Rosyid. (2019). Pernikahan Beda Agama Menurut Imam
Mazhab dan Hukum Positif Di Indonesia. Al-Mashlahah: Jurnal Hukum dan
Pranata Sosial Islam, Vol. 7, No : 1.

17

Anda mungkin juga menyukai