Anda di halaman 1dari 13

Perkembangan karakteristik tafsir era pertengahan

Untuk Memenuhi Tugas madzhibut Tafsir


Dosen Pengampu:
Moch. Bahrudin,M.Ud.

Disusun Oleh:
1. Anik Fitriana

FAKULTAS USHULUDIN DAN STUDI AGAMA


PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM PANGERAN DIPONEGORO NGANJUK
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat,
taufikserta hidayah-Nya sehingga tersusunnya tugas makalah ini. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Madzhibut Tafsir,”perkembangan karakteristik tafsir era
pertengahan”
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapatkan dorongan serta bimbingan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak H. Ridwan,M.Pd.I, selaku Rektor IAI Pangeran Diponegoro Nganjuk.
2. Bapak Ali Anwar, M.Pd.I, selaku dekan fakultas ushuludin dan studi agama (FUSA)
IAI Pangeran diponegoro
3. Bapak Moch. Bahrudin,M.Ud.selaku dosen Madzhibut Tafsir
4. Teman-teman Mahasiswa Program Studi ilmu al-qur’an dan tafsir
5. Semua pihak yang mendukung dan membantu menyelesaikan makalah ini.

Demikianlah tugas ini penulis susun semoga bermanfaat, dapat memenuhi tugas sumber daya
manusia ini dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi diri penulis dan
khususnya untuk pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
dari para pembaca demi menyempurnakan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada
waktu mendatang.

Nganjuk, 09 Mei 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................3

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang......................................................................................4

B. Rumusan masalah.................................................................................4

BAB II : PEMBAHASAN

1. bagaimana Sejarah Tafsir Era Pertengahan ....................................5


2. Karakteristik Tafsir Era Pertengahan.............................................6
3. Corak tafsir era pertengahan.........................................................8
4.Tokoh tokoh era pertengahan........................................................10
5. Kitab-kitab era pertengahan.........................................................11

BAB III : PENUTUP

1. Kesimpulan..............................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia mempunyai karakteristik
yang terbuka untuk ditafsirkan. Ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an
sebagai respon umat islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah
berhenti atau pun menoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran
zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan
corak dalam penafrsiran al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk
ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an
biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu yang
dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh
baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil
penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya
Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Khazanah tafsir al-Qur’an dari masa keemasan selalu mengalami perkembangan dan
perubahan serta memiliki karakteristik dan corak yang unik sehingga ada nuansa yang
berbeda. Hal demikian tidak lepas dari faktor sejarah, politik dan perkembangan ilmu
pengetahuan pada saat itu.

B.  Rumusan masalah
Dalam makalah ini dirumuskan beberapa permsalahan yang terkait dengan permasakahan
diatas yaitu:

1.  Bagaimana Perkembangan Tafsir Era Pertengahan?


2.  apa saja corak serta bagaimana karakteristik penafsiran pada saat itu?
3.  Siapa saja tokoh tafsir pada abad pertengahan dan apa sajakah kitab-kitab yang berkembang
pada masa tersebut?

C.  Tujuan
Tujuan dari ditulisnya makalah ini adalah ingin memberikan penjelasan tentang
perkembangan tafsir pada era pertengahan yang mana tentunya memiliki ciri khas tersendiri
dari era tafsir lainnya, sehingga diharapkan akan menambah pengetahuan pembaca
khususnya tentang perkembangan tafsir mulai dari era klasik, era pertengahan, hingga era
kontemporer.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Latar Belakang Sejarah Tafsir Era Pertengahan


Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad
ke-3 sampai abad ke-16 Hijriah, Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk
penafsiran yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku.
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan
ilmu pengetahuan. Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal ini menjadi stimulus yang
sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.1
Priode ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi antar ahli
berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadits. Hal ini mengundang
adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak, khususnya tentang Al-Qur’an. Inilah
yang menurut Abdul Mustaqim menjadi suatu “embrio” akan saratnya kepentingan subjektif
yang mewarnai produk tafsir pada masa ini. Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung
madzhab atau aliran tertentu, karena kuatnya pengaruh pemerintah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
Era pertengahan merupakan zaman keemasan dalam sejarah peradaban Islam dimana
ilmu pengetahuan berkembang pesat seiring dengan masuknya cabang ilmu pengetahuan
yang berasal dari luar (baca : Yunani, Eropa) seperti Filsafat dan cabang ilmu yang lain.
Filsafat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tokoh-tokoh muslim sehingga
bersentuhan dengan cabang ilmu keislaman sendiri seperti fiqh, tasawuf, kalam baik dalam
hal dinamika.
Pada pemerintahan Daulah Abbasiyah perkembangan peradaban manusia khususnya
ilmu pengetahuan mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah. Perhatian pemerintah
terhadap kemajuan ilmu pengetahuan diwujudkan dengan penerjemahan buku-buku ilmiah
atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal,
maupun dibukakannya forum-forum ilmiah terbuka yang dihadiri oleh seluruh ilmuwan.2
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada
perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain.
Kelompok mutakallimin  adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan
ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan.
Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas  dengan kaum rasionalis
(Ahl al-Ra’y)  minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan
kemarahan  hingga terjadi luapan darah.3
Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir mengalami
kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadits Nabi Saw. Gerakan

1
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah,….h.211-213.

2
Dr. Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 68
3
Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres, 2006), hlm. 130.

5
pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa (khalifah) yang berkuasa pada
saat itu (masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah).
Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami
perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits selain
tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai
dengan urutan ayat-ayat Al Qur’an. Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) diakui sebagai orang
pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Jami’ al Bayan fi Ta’wil Ay Al
Qur’an.
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan yang mengantarkan pada
perdebatan yang berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain.
Kelompok mutakallimin  adu argumentsi dengan penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan
ahli hadits. Yang lebih tragis lagi adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan.
Contoh Pereselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas  dengan kaum rasionalis
(Ahl al-Ra’y)  minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan
kemarahan  hingga terjadi luapan darah.4
B.    Karakteristik Tafsir Era Pertengahan
Setiap kitab tafsir memiliki karakteristik sendiri-sendiri, sesuai dengan pemikiran dan
pemahaman Mufassirnya. Pada abad pertengahan sendiri, salah satu hal yang mendominasi
penafsiran adalah berdasarkan kepentingan. Implikasinya, al-Qur’an ditafsirkan untuk
melegitimasi pendapat-pendapat individu atau kelompok yang berkepentingan. Adapun
karakteristik pada periode pertengahan adalah sebagai berikut :
a.       Pemaksaan Gagasan Eksternal al-Qur’an5
Maksud dari gagasan eksternal al-Qur’an adalah bahwa pada zaman ini kebanyakan kitab
tafsir yang dihasilkan didasarkan pada kepentingan. Oleh sebab itu, hasil penafsirannya
sesuai dengan kepentingan subjektif sang mufassir. Contoh nyata karakteristik ini dapat
dilihat pada salah satu tafsir yang dikarang oleh ahli fikih yang bermazhab Hanafi, al-
Jashshash. Dia mengembangkan diskusi fikih mengenai perbedaan pendapat harta temuan
dalam QS. Yusuf :26 yang berbunyi :
َ‫ ْال َكا ِذبِين‬  َ‫ت َوه َُو ِمن‬ ُ ‫قَا َل ِه َي َرا َو َد ْتنِي ع َْن نَ ْف ِسي َو َش ِه َد َشا ِه ٌد ِم ْن أَ ْهلِهَا إِ ْن َكانَ قَ ِمي‬
َ َ‫صهُ قُ َّد ِم ْن قُب ٍُل ف‬
ْ َ‫ص َدق‬
  “Yusuf berkata : ‘dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)’, dan seorang
saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya : ‘jika baju gamisnya koyak di
muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta’.” (QS. Yusuf :
26).6
Ayat diatas menceritakan pengalam pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada sangkut pautnya
dengan harta rampasan. Akan tetapi, oleh Jashshash dijadikan sebagai legitimasi harta
rampasan. Contoh lainnya adalah penafsiran dari Ibnu Arabi, seorang teosof yang terkenal
dengan teori wahdah al-wujud.  Dia membicarakan sosok Rasul sebagai penjelmaan Tuhan
karena kesatuan wujudnya ketika menafsirkan QS. Al-Nisa’ : 80 yang berbunyi :
َ ‫َم ْن يُ ِط ِع ال َّرسُو َل فَقَ ْد أَطَا َع هَّللا َ َو َم ْن تَ َولَّى فَ َما أَرْ َس ْلنَا‬
‫ك َعلَ ْي ِه ْم َحفِيظًا‬

4
Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres, 2006), hlm. 130.

5
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 100
6
Al-Qur’an digital (Q.S. Yusuf: 26)

6
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang
siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 80).7
b.      Bersifat ideologis8
Karakteristik bersifat ideologis ini maksudnya adalah kecenderungan cara berpikir yang
berbasis pada ideology mazhab atau sekte keagamaan, ataupun keilmuwan tertentu ketika
menafsirkan ayat al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah Tafsir Mafatih al-Ghaib karya
Fakhruddin al-Razi tentang hak kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau
Imamah Abu Bakr, justru dalam surat al-Fatihah  ayat 6-7 :
‫ا ْه ِدنَا الصِّ َراطَ ْال ُم ْستَقِي َم‬
َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َوال الضَّالِّين‬ ِ ‫ص َراطَ الَّ ِذينَ أَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬ ِ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.”  (QS. al-Fatihah : 6-7).9
c.       Bersifat repetitif10
Umumnya tafsir periode ini menganut system mushafi. Artinya, penafsiran mengikuti tata
urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi al-Qur’an. Ini merupakan konsekuensi dari
penggunaan metode tahlili yang memang popular pada saat itu. Contohnya dapat dilihat
dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah.
Disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang
sehingga terkesan berlebihan.
d.      Bersifat parsial11
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong, tidak komplit sehingga
kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu
tema tertentu. Contohnya adalah tafsir karya ath-Thabarsi yang berasal dari teologi Syi’ah
abad ke-6 H, mencabut satu kata dalam ayat ke-28 dari surat Ali Imron, yakni kata tuqoh  :
‫ْس ِمنَ هَّللا ِ فِي َش ْي ٍء إِال أَ ْن تَتَّقُوا ِم ْنهُ ْم تُقَاةً َوي َُح ِّذ ُر ُك ُم‬ َ ِ‫ال يَتَّ ِخ ِذ ْال ُم ْؤ ِمنُونَ ْال َكافِ ِرينَ أَوْ لِيَا َء ِم ْن دُو ِن ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َو َم ْن يَ ْف َعلْ َذل‬
َ ‫ك فَلَي‬
‫صي ُر‬ِ ‫هَّللا ُ نَ ْف َسهُ َوإِلَى هَّللا ِ ْال َم‬
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman dekat,
pemimpin, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara
diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.” (QS. Ali Imron :28).12

7
Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Nisa’: 80)

8
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 101

9
Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)

10
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 106

11
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 109

12

7
C. .  Corak tafsir era pertengahan

Corak dalam literatur sejarah tafsir biasanya digunakan sebagai terjemahan dari Bahasa
Arab laun yang arti dasarnya adalah warna. Corak tafsir yang dimaksud di sini adalah nuansa
khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir. sebagaimana sudah
dimaklumi, tafsir sebagai bentuk ekspresi intelektual mufassir dalam menjelaskan pengertian
ajaran-ajaran Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan manusiawinya tentu akan
menggambarkan minat dan horison pengetahuan mufassirnya.
Dengan latar belakang seperti yang diuraikan di muka, mudah ditebak kala tafsir yang
muncul ke permukaan pada periode ini akan didominasi oleh kepentingan-kepentingan
tertentu pula. Tafsir Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan
kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran
al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak
sebuah tafsir, di antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda.
Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode
(misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat), kedua,
teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya;
fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain).13
Kemudian ada juga yang memetakannyaa dengan dua bagian. Pertama, komponen
eksternal yang terdiri dari dua bagian: (1) jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul,
qira’at, nasikh mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah yang
benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua, komponen internal,
yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga
unsur yang digunakan yaitu: metode penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab14, mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini,
antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah,
[d] corak fiqih atau hukum, [e] corak tasawuf, [f] bermula pada masa Syaikh Muhammad
Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkembang dan perhatian banyak tertuju
kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni suatu corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan
masyarakat. Dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah
dimengerti tapi indah didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan
bahwa secara umum pendekatan yang sering dipakai oleh para mufassir adalah: [a] Bahasa,
[b] Konteks antara kata dan ayat, dan [c] Sifat penemuan ilmiah.
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest,
motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam
ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan
sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi
aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Adapun beberapa corak tafsir adalah sebagai berikut:
13
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:TERAS, 2010), hlm.  12

14
M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan. 1992). hlm. 72.

8
a.  Corak Tafsir Fikhi
Maksudnya adalah tafsir yang dibangun di atas wawasan mufassirnya dalam bidang fikh
sebagai basisnya atau dengan kata lain adalah tafsir yang berada dibawah pengaruh ilmu fikh,
karena fikh sudah menjadi minat dasar mufassirnya sebelum melakukan usaha penafsiran.
Dalam bentuk yang ekstrim, tafsir dalam model ini bahkan hampir menyerupai kumpulan
disksi fikh menyangkut berbagai persoalan, lengkap dengan sikap pro dan kontra daripada
pelakunya.
Tafsir semacam ini seakan-akan melihat Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi ketentuan-
ketentuan perundang-undangan atau menganggap Al-Qur’an sebagai kitab hukum.
Embrio dari tafsir fikhi sebenarnya sudah kelihatan semenjak nabi meninggal dunia dan
muncul beberapa kasus hukum yang pada zaman nabi belum ada, sehingga belum mendapat
pemecahan. Tentunya untk mendapatkan pemecahan yang benar menurut syari’at,
menyebabkan mereka tertarik untuk mengkaji dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an.
Kemudian hal-hal seperti ini berlanjut sampai dengan munculnya berbagai madzhab hukum
dan fanatisme golongan yang sedemikian kuatnya menghegemoni alam pikiran orang-orang
yang menaruh minat atas studi hukum.
b.            Corak linguistik
Tafsir corak linguistik (al-tafsir al-lughawi) adalah tafsir yang dalam menjelaskan ayat-
ayat al Qur’an lebih banyak menggunakan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok dari ayat
yang ditafsirkan. Ciri-ciri yang menonjol dalam tafsir linguistik ialah:
·         Banyak menggunakan aspek semantis atau makna sebuah kata.
·         Banyak menguraikan aspek sharaf (morfologi) dan isytiqaq (derivasi).
·         Banyak menjelaskan aspek i’rab atu kedudukan kata dan kalimat dengan memanfaatkan
teori nahwu atau gramatika bahasa arab.
·         Banyak menjelaskan aspek-aspek uslub (stilistika al qur’an).
·         Banyak menjelaskan aspek fonologi, termasuk perbedaan qiraat.
·         Banyak menjelaskan aspek majaz dan aspek lain yang bersangkutan dengan teori-teori
linguistik.
c.       Corak Tafsir Teologis
Tafsir corak teologis adalah salah satu bentuk penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya
ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir
yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Paling tidak tafsir model
ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesan-
pesan pokok Al-Qur'an. Sebagaimana layaknya diskusi yang dikembangkan dalam literatur
ilmu kalam. Tafsir ini sarat dengan muatan sekterian dan pembelaan-pembelaan terhadap
paham-paham teologis tertentu yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya. Ayat-ayat
Al-Qur'an tertentu yang nampak memiliki konotasi bebeda satu sama lain, seringkali
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya dan
sebagai pembenar atas paham-paham tertentu.15
d.      Corak Tafsir Sufistik
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme
dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik
kepentinan politis sepeninggal nabi. Disamping praktik semacam ini terus berlanjut tumbuh
15
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 71

9
dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini
diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul
teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan, wihdatul wujud. Dengan demikian
berkembanglah dua sayap sufisme dalam Islam yaitu praktisi yang lebih mengedepankan
sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof yang lebih mementingkan teori-teori
mistiknya.
e.       Corak Tafsir Falsafi
Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan kedalam bahasa
Arab degan modifikasi-modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat
dikonsumsi oleh kaum muslim kalangan tertentu. Kemudian muncullah reaksi dan respon
tertentu dari kamum muslimin. Sebagian mereka menolak teori-teori filsafat tertentu lantaran
mereka melihat teori-teori ini bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Sementara
sebagian yang lain merasa kagum atas teori-teori ini dan mereka merasa mampu untuk
mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara filsafat dan agama.
Untuk mengkompromikan ini pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama, dengan cara
mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya
menundukkan tes tadi kepada pandangan-pandangan ini sehingga sejalan. Kedua, dengan
cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori
filsafat. Diantara corak tafsir falsafi adalah tafsair ibn sina, al farabi, al kindi, dan ikhwan al-
shafa.
f.       Corak Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ‘ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai terminologi ilmiah dalam ajaran-
ajaran tertentu Al-Qur'an atau berusaha mendeduksikan berbagai ilmu serta pandangan-
pandangan filosofisnya dari ayat-ayat Al-Qur'an. Tafsir ini dibangaun berdasarkan asumsi
bahwa Al-Qur'an mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan maupun
yang belum.
Munculnya tafsir ilmi ini juga sempat mengundan pro dan kontra di kalangan para ulama.
Sebagian yang tidak setju berpendapat bahwa Al-Qur'an itu bukan buku ilmu pengetahuan,
melainkan kitab petunjuk untuk umat manusia. Jika seseorang berupaya melegitimasi teori-
teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat Al-Qur'an, maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh
oleh teori yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan
bahkan seolah kebenaran ayat dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan. Untuk itu
tidak perlu melakukan tafsir ‘ilmi, jika hanya dimaksudkan untuk melegetimasi teori-teori
ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi.
Dari pro dan kontra tersebut, sebenarnya dapat dicari jalan tengah yang lebih moderat,
yaitu bahwa Al-Qur'an memang bukan kitab ilmu pengetahuan, namun tidak dapat disangka
bahwa di dalamnya terdapat isyarat-isyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan.
D.     Tokoh-tokoh tafsir era pertengahan
Tafsir pada periode ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan mufasir yang mendukung
disiplin ilmu tertentu. Oleh karena itu, produk yang dihasilkan memiliki karakter khusus.
Seperti Al farra’ adalah seorang ahli dalam ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran
abbasiyah pendukung mu’tazilah. Ibn Jarir Al Tabari seorang sejarahwan yang secara
teologis posisinya mirip Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara ahli hadis
dan rasionalis mu’tazilah. Al Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan satra yang terlahir 

10
didaerah yang berbasis mu’tazilah. Selain itu, ada Fakhruddin Ar-Razi seorang mutakallim
asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat. Kemudian ada al-Baidlawi yang mencoba
merespons capaian al-Zamakhsyari dan al-Razi.
Dalam bidang fikih, muncul Al Kiya’ Al Harasi dari mazhab syafi’i, al Qurthubi, dan
ibn Arabi. Dari kalangan syi’ah muncul mulla muhsin al Rasyi, Abu Ali ath-Thabarsi, juga al
Syaukani yang mewakili teologi syi’ah zaidiyah. Dari para ahli kisah muncul Abdur Rahman
al Tsa’alibi, Ibn Kasir. Dalam ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin al Mahali, al Nisaburi,
al Qadli Abdul Jabbar dan lain-lain.

E.   Kitab-kitab era pertengahan


Kitab-kitab tafsir yang ada pada masa pertengahan antara lain, tafsir jami’ al-bayan an
ta’wil ay al-qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (923 M), al-kasysyaf ‘an haqa’iq al-
qur’an karya Abu Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari (1144 M) dengan corak
ideologi mu’tazilah, mafatih al-ghayb karya Fakhrudin al-Rrazi (1209 M) denga corak
teologi sunni-asy’ariah, tafsir jalalain karya Jalaluddin al-Mahali (1459 M) dan Jalaluddin al-
Suyuthi (1505 M) dengan corak filologi.

11
BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Pada kesimpulan ini memang benar bahwa Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka
untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-
Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal, disiplin ilmu
yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh
baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil
penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya
Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Adapun kemudian dari hal diatas kemudian muncullah berbagai corak penafsiran yang
berkembang pada era pertengahan seperti tafsir corak fikhi, corak falsafi, corak linguistic atau
kebahasaan, corak ‘ilmi, dan masih banyak corak penafsiran yang lainnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Digital
Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah
Dr. Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2012
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta:TERAS, 2010
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan. 1992

13

Anda mungkin juga menyukai