Anda di halaman 1dari 22

METODOLOGI TAFSĪR AL-QUR’ĀN AL-AŻĪM IBN KAṠĪR

Siti Chuzaemah
NIM: 31201200100113
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khuzaimahmuhammad2212@gmail.com

Abstrak. Makalah ini menjelaskan metodologi Ibn Kaṡīr dalam


menafsirkan al-Qur’an. Metodologi yang dirumuskan oleh Ibn Kaṡīr tidak
terlepas dari kecenderungan ilmiah dan sudut pandang mufasir. Selain itu,
makalah ini mempertegas bahwa perbedaan qira’at, perbedaan dalam
menetukan keshahihan hadis, perbedaan dalam menentukan hadis sebagai
hujjah dan perbedaan bahasa hadis menjadi faktor penyebab perbedaan
bermadzhab. Di samping itu juga, makalah ini menjadi bukti bahwa tafsir
Ibn Kaṡīr didominasi oleh tafsīr bi al-ma’ṡūr. Penjelasan tersebut
didapatkan dengan menggunakan pendekatan analisis kritis.
Keywords: Ibn Kaṡīr, metodologi, kitab tafsir

A. Pendahuluan
Kitab suci al-Qur’an menempati posisi yang sangat stategi dalam
kehidupan umat Islam. Berhubungan dengan pemahaman al-Qur’an, Rasulullah
Saw lah yang memahami al-Qur’an secara sempurna baik secara global maupun
terperinci. Sementara al-Qur’an terdiri atas muḥkam, mutasyābih, musykil dan lain
sebagainya yang mengindikasikan bahwa al-Qur’an terdapat kata-kata yang sulit
dipahami oleh sahabat. Atas dasar inilah, yang menuntut bahwa tafsir adalah suatu
keharusan untuk memahami kandungan dan makna-makna al-Qur’an dengan baik.
Segala hal permasalahan dapat ditanyakan kepada Rasulullah Saw secara
langsung.
Adapun pada masa sahabat, mereka juga dapat memahami al-Qur’an
karena al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka, sekalipun mereka tidak
memahaminya secara detail. Namun, tingkat problematika mulai melebar karena
para sahabat memiliki tingkat pemahaman yang berbeda-beda sehingga apa yang
diketahui oleh sahabat satu belum tentu sahabat lainnya memahami hal itu. Pada
masa inilah para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada al-Qur’an,
hadis Nabi Saw dan ijtihad sahabat.
Pada masa tabi’in, para tabi’in menafsirkan al-Qur’an bersumber pada apa
yang dilakukan oleh para sahabat serta mempertimbangkan nalar mereka sendiri.
Tafsir yang dinuikil dari Rasulullah Saw dan sahabat tidak mencakup semua ayat
al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami oleh
1
orang-orang yang hidup di masa mereka. Kemudian kesulitan ini semangkin
meningkat ditambah penaklukan Islam semakin luas. Dengan demikian, generasi
ini berusaha menyempurnakan tafsir al-Qur’an secara terus-menerus berdasarkan
pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan bertutur kata, asbāb al-nuzūl dan
alat-alat pemahaman lainnya.1
Namun, pada masa tadwīn ilmu semakin berkembang, pembukuan
semakin meningkat, cabang-cabangnya bermuculan, perbedaan pun terus
meningkat juga. Pemanasan kalam semakin memanas, fanatisme madzhab pun
semakin serius dan ilmu-ilmu filsafat bercampur aduk dengan ilmu-ilmu naqli,
serta setiap golongan hanya membela kepentingan madzhabnya sendiri. Akibatnya
disiplin ilmu pun tercemar sehingga para mufassir berpegang pada pemahaman
yang pribadi dan mengarah kepada kecenderungan baik kecenderungan ilmiah,
pandangan madzhab atau falsafi. Masing-masing mufassir memenuhi tafsirnya
hanya dengan ilmu yang dikuasainya tanpa memperhatikan ilmu lain.2 Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa metodologi dalam penafsiran pun mengalami
perkembangan sesuai dengan kecenderungan sudut pandang dari mufasir dan latar
belakang keilmuan. Namun, pada makalah ini hanya difokuskan pada metodologi
kitab Tafsīr al-Qur’ān al-Ażīm karya Ibn Kaṡīr.

B. Biografi
Ibn Kaṡīt terkenal sebagai mufti islam, panutan para ulama, syaikh al-
muḥaddiṡīn, al-ḥāfiż, mufasir3, ahli sejarah, faqīh dan termasuk ulama Islam pada
abad ke 8 H.4 Nama aslinya adalah Ismā’īl ibn Umar ibn Kaṡīr ibn Ḍaw’ ibn Kaṡīr
ibn Zur‘ al-Qurasyī, dan Abū al-Fadā’ adalah kunyahnya. Beliau dilahirkan pada
tahun 701 H di Mijdal, salah satu desa dari kota Basrah bagian timur dan ini adalah
desa ibunya. Beliau tumbuh dewasa dalam keluarga yang religius karena ayahnya
–Syihāb al-Dīn Ḥafṣ Umar ibn Kaṡīr— merupakan salah satu pemuka agama,
khaṭīb, faqīh, dan ahli di bidang bahasa, syiir serta sastra di kota Basrah. 5 Namun,
ayahnya meninggal saat ia masih balita tahun 703 H.6 Di sisi lain, Meskipun ia
lahir di Bashrah tetapi keilmuan yang ia dapatkan bukan dari Bashrah melainkan
ia dapatkan di Damaskus. Pada 706 H, beliau pindah ke Damaskus setelah

1
Al-Mannā’ al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ Fī ‘Ulūm al-Qur’ān (t.t.: Mansyūrāt al-‘Aṣr al-
Ḥadīṡ, 1411), h. 334-337.
2
Al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ Fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 340-343.
3
Abū al-Fadā’ Ismā’īl ibn Umar Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Ikhtiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīṡ
(Libanon: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.thn.), h. 19.
4
Abū al-Fadā’ Ismā’īl ibn Umar Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Al-Bidāyah Wa al-Nihāyah
(Bairut: Dar al-Fikr, 1407), Juz 1, h. 2.
5
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Al-Bidāyah Wa al-Nihāyah, Juz 1, h. 2.
6
Abū al-Fadā’ Ismā’īl ibn Umar Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm
(Riyāḍ: Dār al-Ṭayyibah, 1420), Juz 1, h. 13; dan lihat Rohimi Rohimi, Metodologi Ilmu
Tafsir Dan Aplikasi Model Penafsiran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. v.

2
meninggal kedua orang tuanya.7 Di sanalah ia tumbuh dan berkembang ilmu
pengetahuannya.
Selama di Damaskus, Ibn Kaṡīr di bawah bimbingan saudara kandungnya
‘Abd al-Wahhāb. Dialah yang berjuang keras untuk membimbing keluarga
besarnya pasca meninggalnya kedua orang tuannya. Pada masa itu, Damaskus
merupakan kota pusat keilmuan sehingga Ibnu Kaṡīr mencari ilmu di sana dan
menyelesaikan haafalan al-Qur’an pada umur 10 tahun (711 H). Bahkan di
Damaskus juga, ia memperlajari ilmu tafsir, sejarah dan qira’at. Beliau berguru
kepada beberapa ulama, di antaranya adalah Burhān al-Dīn al-Fazārī, Kamāl al-
Dīn Ibn Qāḍī Syuhbah, Kamāl al-Dīn Ibn al-Zamalkānī, Abū al-Ḥajjāj al-Mizzī,
Syihāb al-Dīn al-Dzahabī, Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah, ‘Ilm al-Dīn Barzālī dan
Abū Ḥafṣ Umar ibn al-Fākihānī. Adapun yang berguru dengannya adalah para
imam dan ḥāfiż, murid yang paling terkenal di antaranya adalah al-Ḥāfiż Zain al-
Dīn al-‘Irāqī, putranya Abū Zur’ah al-Irāqī dan Ibn al-Jauzī al-Muqri’.8
Berdasarkan rihlah ilmiyah tersebut, bukan hal mustahil jika beliau memang
seorang muḥaddiṡ, mufasir dan muarrikh (ahli sejarawan).
Al-Ḥāfiż Ibn Kaṡīr meninggalkan beberapa karya yang menarik dan
bermanfaat. Bahkaan ia mengarang beberapa kitab di berbagai macam bidang dan
setiap bidang kitab-kitab yang diciptakannya pun semua terkenal. Di bidang tafsir,
ia menulis kitab Tafsīr al-Qur’ān al-Ażīm. Di bidang sejarah, ia menulis kitab al-
Bidāyah wa al-Nihāyah.9 Tentang sejarah nabi, ia menulis kitab berjudul al-Fuṣūl
fī Ikhtiṣār Sīrat al-Rasūr. 10 Di bidang musṭalaḥ al-ḥadīṡ, ia menulis kitab berjudul
Ikhtiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīṡ.11 Di bidang hadis Nabi, ia menulis kitab berjudul Jāmi’

7
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Al-Bidāyah Wa al-Nihāyah, Juz 1, h. 2.
8
Abū al-Fadā’ Ismā’īl ibn Umar Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Al-Takmīl Fī al-Jarḥ Wa
al-Ta’dīl Wa Ma’rifat al-Ṡiqāt Wa al-Ḍu’afā’ Wa al-Majāhiīl (Yaman: Markaz al-Nu‘mān,
2011), h. 9-11.
9
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Al-Bidāyah Wa al-Nihāyah, Juz 1, h. 3.
10
Kitab ini menjelaskan tentang sejarah kehidupan Rasulullah secara ringkas dan
setiap tema pembahasan diawali dengan kata “al-faṣl”.
11
Ibn Katsīr menyebutkan dalam muqaddimah bahwa ilmu yang paling penting,
bermanfaat dan paling aku sukai adalah aku membahas ilmu secara ringkas dan dibukukan
dengan tujuan sebagai adanya akses manfaat dan mencegah kesukaran. Oleh karena itu,
kitab ini dihadirkan oleh Ibnu Katsir untuk meringkas pendapat para ulama terdahulu
tentang ilmu hadis, seperti Abū Umar ibn al-Ṣalāh dan al-Ḥākim Abū ‘Abdillāh al-Ḥāfiż
al-Naisābūrī. Selain itu, kitab ini juga menambahkan beberapa faedah yang dipetik dari
kitab karya Abu Bakar al-Baihaqi yang berjudul “al-Madkhal ilā Kitāb al-Sunan”. Dengan
demikian, kitab ini diberi nama “Ikhtiṡār Ulūm al-Ḥadīṡ”. Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Ikhtiṣār
‘Ulūm al-Ḥadīṡ, h. 19.

3
al-Masānīd wa al-Sunan.12 Di bidang al-jarḥ wa al-ta’dīl, ia menulis buku yang
berjudul al-Takmīl,13 dan lain sebagainya.
Al-Ḥāfiż Ibn Kaṡīr wafat setelah melakukan perjalanan ilmiahnya pada
hari kamis, 15 Sya’ban 774 H yang bertepatan pada usia 73 tahun. Beliau
dimakamkan di samping gurunya yaitu Syeikh Ibn Taimiyyah. 14 Berdasarkan
biografi singkat Ibn Kaṡīr dapat dikatakan bahwa kitab tafsir Ibn Kaṡīr terbilang
kitab yang otoritatif karena bidang yang ditulis selaras dengan bidang keilmuannya
bahkan beliau ahli di bidangnya.

C. Latar Belakang Penulisan


Ibn Kaṡir tidak menjelaskan sejarah awal dan penyelesaian dalam menulis
kitab tafsir ini. Tetapi di sana terdapat petunjuk sejarah selesainya penulisan kitab
ini. Ibn Kaṡīr menyebutkan ketika beliau menafsirkan surat al-Anbiyā’. Gurunya
al-Mizzī mendoakannya agar panjang umur karena ia telah mengarang lebih dari
setengah tafsir dalam kehidupan guruya al-Mizzī yang (W. 742 H.). mengutip dari
pernyataan al-Zaila’ī yang (W. 762 H) dalam kitabnya “Takhrīj Aḥādīṡ al-
Kasysyāf” bahwa kitab Ibn Kaṡīr telah tersebar pada masa itu.
Terdapat naskah makkah yang telah sampai kepada kita, tertera: “Di akhir
penjelasan kitab Faḍā’il al-Qur’ān, tafsir al-Ḥāfiż Ibn Kaṡīr telah sempurna di
hadapan Muḥammad ibn Aḥmad ibn Ma’mar al-Muqri’ al-Baghdādī, dengan
menyebutkan tangganya Jum’at 10 Jumādal Akhirah 759 H.”15
Di samping itu, Ibn Kaṡīr menganggap al-Qur’an adalah kalam Alllah
untuk seluruh makhluknya baik manusia maupun jin. Bagi orang yang memiliki
akal dianjurkan untuk memahaminya16, sedang bagi ulama adalah keharusan untuk

12
Kitab ini adalah kumpulan hadis-hadis Rasul dari al-Kutub al-Sittah (milik al-
Bukhari, Muslim, Abu Dawud) Abū al-Fadā’ Ismā’īl ibn Umar Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Jāmi’
al-Masānīd Wa al-Sunan al-Hādī Li Aqwam Sanan (Bairut: Dār Khāḍr li al-Ṭabā’ah wa al-
Nasyr wa al-Tawzī’, 1419), Juz 1, h. 60.
13
Kitab ini merupakan kumpulan dari para perawi hadis yang tsiqah dan daif oleh
Al-Mizzī dalam kitabnya “al-Tahdzīb” dan al-Dzahabī dalam kitabnya “Mīzān”. Kemudian
Ibn Kaṡīr memperbaiki pendapat keduanyaa tentang al-jarḥ wa al-ta’dīl dalam kitab ini.
Oleh karenanya, kitab ini diberi nama "al-Takmīl fī Ma’rifat al-Ṡiqāt wa al-Ḍu’afā’ wa al-
Majāhil". Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Al-Takmīl Fī al-Jarḥ Wa al-Ta’dīl Wa Ma’rifat al-Ṡiqāt
Wa al-Ḍu’afā’ Wa al-Majāhiīl, h. 13.
14
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Al-Takmīl, h. 9-12.
15
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 18.
16 ۟ ُ‫)ك َٰت َبٌ أَنزَ أل َٰنَهُ إ َليأكَ ُم َٰ َب َركٌ ليَدَّب َُّر ٓو ۟ا َءا َٰ َيتهۦ َول َيتَذَ َّك َر أ ُ ۟ول‬. Artinya: ni adalah
QS. Ṣād: 29. (‫وا أٱْل َ أل َٰبَب‬
sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran.

4
menyingkap, menafsirkan, mempelajari dan mengajarkan makna yang terkandung
dalam al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah:
ۤ ِ َّ َ ‫واِ ْذ اَخ َذ ّٰالله ِمي ث‬
‫َّاس َوَل تَكْتُ ُم ْونَهٗۖ فَنَ بَ ُذ ْوهُ َوَراءَ ظُ ُه ْوِرِه ْم‬
ِ ‫تّٰب لَتُبَ يِنُنَّهٗ لِلن‬ ِ
َ ‫اق الذيْ َن اُْوتُوا الْك‬ َْ ُ َ َ
‫س َما يَ ْشتَ ُرْو َن‬ ِ ِ ِ
َ ‫َوا ْشتَ َرْوا بهٗ ثَ َمنًا قَلْي ًل ۖ فَبْئ‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang
yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya
(isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” lalu
mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung mereka dan menjualnya
dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang mereka lakukan.”
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Allah mengencam ahli kitab
sebelumnya sebab berpaling dari kitab Allah, mendapatkan dan mengumpulkan
dunia dan menyibukan diri dengan selain apa yang telah dituntut oleh Rasulullah
Saw. Oleh karena itu, kita wajib melaksanakan segala yang telah diperintahkan
kepada kita, berupa mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an.17 Berdasarkan
tuntutan inilah yang mendorong Ibn Kaṡīr untuk menafsirkan al-Qur’an agar tidak
termasuk golongan yang menyembunyikan ilmu.

D. Paham Teologi dan Madzab Fikih


Ibn Kaṡir dalam perjalanan intelektual tentu dibarengi dengan pemahaman
teologi dan madzhab sebagai bagian cara berpikirnya dalam menuangkan kitab
tafsirnya. Muḥammad Ali Iyāzī menyebutkan dalam bukunya “al-Mufarrisūn
Ḥayātuhum wa Manhajuhum” bahwa Ibn Kaṡīr adalah penganut madzhab Syāfi’ī
dan teologi Asy’arī.18 Hal ini sesuai dengan pengakuannya dalam kitabnya
“Ikhtiṣār Ulūm al-Ḥadīṡ” bahwa madzhab fikihnya mengikuti al-Syāfī’ī.19
Dalam persoalan madzhab Syafi’ī dapat dilihat dalam penafsrannya
mengenai persoalan hukum (fikih), sebagaimana yang terlihat dalam QS. al-
Mā’idah ayat 6:20

17
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 6-7.
18
Muḥammad Ali Iyāzī, Al-Mufarrisūn Ḥayātuhum Wa Manhajuhum (Tahran:
Mu’assasat al-Ṭabā’ah wa al-Nasyr Wizārat al-Ṡaqāfah wa al-Irsyād al-Islāmī, t.thn.), h.
303.
19
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Ikhtiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīṡ, h. 9. Ibnu Taimiyah merupakan
salah satu guru yang berpengaruh dalam pola pemikiran Ibn Kaṡīr, bahkan Ibn Kaṡīr
mendapatkan fitnah dan ujian karenanya dan sangat mencintainya; lihat Ibn Kaṡīr al-
Qurasyī, Al-Bidāyah Wa al-Nihāyah, Juz 1, h. 2.
20
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 3, h. 43.

5
‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِلَى الْ َمَرافِ ِق َو ْام َس ُحوا‬ ِ ِ َّ ‫ياأَيُّها الَّ ِذين آمنُوا إِ َذا قُمتُم إِلَى‬
َ ‫الص َلة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬ ْْ َ َ َ
ِ
‫ضى أ َْو َعلَى َس َف ٍر أ َْو‬ َ ‫بُِرءُوس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِلَى الْ َك ْعبَ ْي ِن َوإِ ْن ُكْن تُ ْم ُجنُبًا فَاطَّ َّه ُروا َوإِ ْن ُكْن تُ ْم َم ْر‬
ِ
‫يدا طَيِبًا فَ ْام َس ُحوا‬ ً ِ‫صع‬ ِ ِِ ِ ِ ‫جاء أ‬
َ ‫َح ٌد مْن ُك ْم م َن الْغَائط أ َْو َل َم ْستُ ُم الن َساءَ فَلَ ْم تَج ُدوا َماءً فَتَ يَ َّم ُموا‬ َ ََ
ِ ِِ ِ ‫وه ُكم وأَي ِدي ُكم ِمْنه ما ي ِريد اللَّه لِيجعل علَي ُكم ِمن حرٍج ولَ ِكن ي ِر‬
ُ ُ ْ َ َ َ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ ُ ُ ُ َ ُ ْ ْ َ ْ ‫بُِو ُج‬
ِ
ُ‫يد ليُطَ ِهَرُك ْم َوليُت َّم ن ْع َمتَه‬
)6( ‫َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika
kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah
wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, agar kamu bersyukur.”
Ibn Kaṡīr dalam memahami bahwa ayat di atas memerintahkan seseorang
untuk berwudhu ketika hendak mendirikan shalat. Akan tetapi bagi yang berhadas,
berwudhu hukumnya wajib sedangkan bagi yang suci maka berwudhu adalah nadb
(mustaḥab). Selain itu, diwajibkan juga menghadirkan niat ketika berwudhu
karena “‫عليه‬ ‫”ل وضوء لمن لم يذكر اسم الله‬. Dari ayat ini, Ibn Kaṡīr memahami ada 4
anggota tubuh yang penting ketika berwudhu, yaitu:
1. Wajah; yang diwajibkan untuknya membasuh. Para ulama fikih sepakat
akan batas wajah yaitu panjangnya mulai tumbuhnya rambut hingga akhir
janggut dan dagu dan lebarnya dari satu telinga hinga telinga lainnya.
2. Kedua tangan; yang diwajibkan untuk keduanya hingga siku-siku untuk
dibasuh.
3. Kepala; yang diwajibkan untuknya adalah mengusap/menyapu.

6
Berdasarkan bukti di atas, para ulama fikih berbeda pendapat
apakah hurruf bā’ pada lafaz “‫ك ْم‬ ِ ‫بِرء‬
ُ ‫وس‬ُ ُ ‫” َو ْام َس ُحوا‬ berfaedah ilṣāq atau
tab’’īḍ? Sehingga dalam hal ini, para ulama fikih terdapat tiga golongan;
yaitu (a) wajib diusap seluruh kepala seperti madzab Hambali, (b) wajib
disusap seperempat kepala seperti madzhab Hanafi, (c) yang diwajibkan
adalah membasuh, dan tidak ada batasan dalam ukuran kepala yang harus
diusap. Bahkan jika hanya mengusap bagian rambut dari kepalanya itu
diperbolehkan. Hal ini sesuai hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim21

21
Bāb al-Masḥ 'alā al-Nāṣiyah wa al-Imāmah:
‫يل َحدَّثَنَا بَكُْر بْ ُن‬ ِ َّ ِ
ُ ‫ َحدَّثَنَا ُح َمْي ٌد الطو‬- ‫ يَ ْعنى ابْ َن ُزَريْ ٍع‬- ‫يد‬ ُ ‫َو َح َّدثَنِى ُم َح َّم ُد بْ ُن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن بَِزي ٍع َحدَّثَنَا يَِز‬
ِ ُ ‫ال تَخلَّف رس‬ ِِ ِ ِ ِ ِ
‫ت َم َعهُ فَلَ َّما‬ ُ ‫ َوتَ َخلَّ ْف‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ َ َ‫َعْبد اللَّه الْ ُمَزن ُّى َع ْن ُع ْرَوَة بْ ِن الْ ُمغ َيرةِ بْ ِن ُش ْعبَةَ َع ْن أَبيه ق‬
‫َخَر َج‬ ِ ِ ‫ فَأَتَي ته بِمطْهرةٍ فَغَسل َكفَّي ِه ووجهه ثَُّم ذَهب يح ِسر عن ِذر‬.» ‫ك ماء‬
ْ ‫اق ُك ُّم الْ ُجبَّة فَأ‬ َ ‫ض‬ َ َ‫اعْيه ف‬
َ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ ْ ََ ْ َ َ َ َ َ ُُْ ٌ َ َ ‫ال « أ ََم َع‬ َ َ‫اجتَهُ ق‬
َ ‫ضى َح‬ َ َ‫ق‬
‫ت‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
ِ ‫ت الْجبَّ ِة وأَلْ َقى الْجبَّةَ علَى مْن ِكب ي ِه و َغسل ذر‬ ِ ‫ي َده ِمن تَح‬
ُ ‫ب َوَركْب‬ َ ‫اعْيه َوَم َس َح بنَاصيَته َو َعلَى الْع َم َامة َو َعلَى ُخفَّْيه ثَُّم َرك‬ َ َ َ َ َ َْ َ َ ُ َ ُ ْ ْ َُ
ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َّ ‫فَانْتَ َهْي نَا إِلَى الْ َق ْوم َوقَ ْد قَ ُاموا فى‬
‫صلى‬- ‫س بالنَّب ِى‬ َّ ‫َح‬َ ‫الر ْح َم ِن بْ ُن َع ْوف َوقَ ْد َرَك َع به ْم َرْك َعةً فَلَ َّما أ‬
َّ ‫صلى به ْم َعْب ُد‬ َ ُ‫الصلَة ي‬
‫الرْك َعةَ الَّتِى‬
َّ ‫ت فَ َرَك ْعنَا‬ ُ ‫ َوقُ ْم‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫صلَّى بِ ِه ْم فَلَ َّما َسلَّ َم قَ َام النَّبِ ُّى‬
ِ
َ َ‫َخُر فَأ َْوَمأَ إِلَيْه ف‬
َّ ‫ب يَتَأ‬ َ ‫ َذ َه‬-‫الله عليه وسلم‬
.‫َسبَ َقتْ نَا‬
Lihat Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim (Bairut:
Dār al-Afāq, t. thn.), Juz. 1, h. 158.

7
dalam shahihnya bahwa ketika berwudhu Nabi mengusap ubun-ubunnya.
Pendapat inilah yang digunakan oleh Ibn Kaṡīr yaitu madzab syāfi’ī.22
4. Kedua kaki; terjadi silang pendapat tentang apa yang diwajibkan keduanya
apakah dibasuh atau diusap.

Ada yang membaca Nasab pada kata “‫ك ْم‬


ُ َ‫ ” َوأ َْر ُجل‬karena mengikuti
ُ َ‫َوأَيْ ِدي‬
kata “‫ك ْم‬ ‫وه ُك ْم‬ ِ
َ ‫”فَا ْغسلُوا ُو ُج‬. Dari qira’ah ini menunjukkan bahwa kedua
kaki harus dibasuh bukan diusap. Hal ini sesuai pendapat ilama salaf.23

22
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz. 3, h. 50.
23
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 3, h. 51.

8
Adapun qira’at lainnya membacanya dengan “jer” pada lafaz
ُ ِ‫” َوأ َْر ُجل‬. Syi’ah menganggap bahwa dibaca “jer” karena ma’ṭūf pada
“‫ك ْم‬

“‫ك ْم‬
ُ ‫وس‬ِ ‫”وامسحوا بِرء‬.24 Adapun Ibnu Kaṡīr menganggap bahwa hadis yang
ُُ ُ َ ْ َ
digunakan oleh syiah sebagai dalil adalah Āṡār gharībah jiddan. Adapun
qira’ah yang dibaca “jer” karena “al-mujāwarah” (berdekatan) dan
“tanāsub al-kalām” (menyelerasikan kalimat). Bahkan ada hadis-hadis
secara tekstual menjelaskan wajibnya “membasuh kaki” yang berkualitas
shahih.25 Inilah menjadi bukti nyata bahwa Ibnu Kaṡīr bermadzab al-
Syāfi’ī.
Adapun persoalan teologi al-Asy’arī pun dapat dilihat dalam
penafsirannya mengenai persoalan kalam, sebagaimana yang terlihat
dalam QS. al-Qiyāmah: 22-23:

ِ ٍِ
ِ َ‫) إِلَى ربِها ن‬22( ٌ‫اضرة‬
)22( ٌ‫اظَرة‬ ََ َ َ‫ُو ُجوهٌ يَ ْوَمئذ ن‬
Artinya: “Dan wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-
seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat”.

24
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 3, h. 52.
25
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 3, h. 54.

9
Ibn Kaṡīr menjelaskan tentang kondisi-kondisi orang yang
bertakwa pada hari kiamat, di antaranya yaitu (a) wajahnya berseri-seri,
rupawan, menawan dengan penuh kebahagiaan, (b) orang mukmin bisa
melihat Allah dengan kasat mata.26 Hal ini sesuai dengan hadis al-Bukhārī,
Kelak para sahabat bisa melihat Allah dengan kasat mata.27 Penafsiran
inilah yang memperkuat bahwa Ibn Kaṡīr berteologi al-Asy’arī karena
senada dengan pernyataan Abū al-Ḥasan al-Asyarī, Allah bisa dilihat oleh
orang mukmin dengan kasat mata.28
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan adanya beberapa hal yang
menyebabkan perbedaan ulama madzab dalam produksi hukum; di antaranya
adalah (1) perbedaan qirā’at (2) perbedaan penggunaan hadis yang dijadikan dalil
(hujjah) (3) perbedaan dalam menshahihkan hadis (4) perbedaan bahasa. Namun,
empat alasan ini bukanlah sebuah batasan yang menafikan selainnya namun
dianggap sebagai miṡal (contoh) dan masih memungkinkan adanya faktor lain
selain itu. Di sisi lain itu, pembahasan di atas menunjukkan dalam penafsiran itu

26
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 8, h. 279-280.
27
Bāb Man Intażara ḥattā Tufdana;
‫يل بْ ِن أَبِي َخالِ ٍد َع ْن‬ ِ ِ ٍ ِ
َ ‫ف الْيَ ْربُوع ُّي َحدَّثَنَا أَبُو ش َهاب عَ ْن إ ْس َماع‬
ِ
َ ‫وس‬
ِ
ُ ُ‫وسى َحدَّثَنَا َعاص ُم بْ ُن ي‬ َ ‫ف بْ ُن ُم‬ ُ ‫وس‬
ُ ُ‫َحدَّثَنَا ي‬
ِ ِ
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم إِنَّ ُك ْم َستَ َرْو َن َربَّ ُك ْم عيَانًا‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫س بْ ِن أَبِي َحا ِزٍم َع ْن َج ِري ِر بْ ِن َعْبد اللَّه ق‬
َ َ‫ال ق‬ ِ ِ ِ ‫قَ ْي‬
Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Bairut: Dār
Ṭūq al-Najāh, 1422), Juz 9, h. 127.
28
Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, Al-Maqālāt al-Islāmiyyah Wa Ikhtilāf al-Muṣliḥīn
(Bairut: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1411), Juz. 1, h. 238.

10
tidak terlepas dari intektektual yang melekat pada mufasir dan ideologi yang
dimilikinya.

E. Metodologi Penafsiran
Metode dan Sumber Penafsiran
Metode tafsir adalah suatu cara teratur yang ditempuh oleh mufasir untuk
sampai kepada makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Metode tafsir
yang digunakan oleh Ibn Kaṡīr adalah metode taḥlīlī karena ia menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalamnya
disesuaikan dengan tertib surat yang ada dalam mushaf Utsmani. Metode ini
merupakan metode menganalisis ayat-al-Qur’an dari berbagai bidang keilmuan.
Artinya jika ayat itu berkaitan dengan hukum fikih maka ia akan menafsirkan
berdasarkan corak fikih, jika berkaitan dengan bahasa ia pun akan menafsirkan
berdasakan corak lughawī meskipun secara ringkas dan global. Adapun contohnya
dapat dilihat pada penafsiran QS. al-Mā’idah ayat 6 sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya.
Adapun sumber penafsiran Ibn Kaṡīr adalah bi al-ma’ṡūr karena
penafsirannya bersumber pada ayat-ayat al-Qur’an, riwayat-riwayat yang
disandarkan kepada Nabi Saw, pendapat para sahabat dan tabi’in. Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan Ibn Kaṡīr pun menggunakan bi al-ra’y
dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti berkaitan dengan bahasa Arab, ilmu jarḥ wa
al-ta’dīl dan lain sebaginya.
Pernyataan di atas pun diperkuat dan didukung oleh Dozan bahwa Ibn
Kaṡīr menggunakan metode tafsir bi al-ma’ṡūr dan tafsīr bi al-ra’y (bahasa Arab,
nahwu sharaf, ilmu balaghah, ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu ushuluddin/tauhid, ilmu
ushul fiqih, hadis dan ilmu-ilmunya).29 Selain itu, Mannā’ al-Qaṭṭān pun
mempertegas bahwa Ibn Kaṡīr menggunakan ilmu al-jarḥ wa al-ta’dīl ketika
hendak mengkomparasikan berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya, serta
mempertegas kualitas riwayat-riwayat hadis yang shahih dan daif. 30
Selain itu, Ibn Kaṡīr pun beranggapan bahwa tafsīr bi al-ma’ṡūr
merupakan tafsir tebaik. Atas dorongan, sehingga Ibn Kaṡīr pun menafsirkan al-
Qur’an dengan bersumber dari al-ma’ṡūr. Hal ini pun sesuai dengan pernyataan
Ibn Kaṡīr dalam muqaddimahnya:

29
Wely Dozan, “Epistemologi Tafsir Klasik: Studi Analisis Pemikiran Ibnu
Katsir,” Falasifa 10, no. 2 (September 2019): h. 158.,
https://doi.org/10.36835/falasifa.v10i2.203.
30
Al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān, h. 365-366.

11
Ada orang yang bertanya: metode tafsir apa yang terbaik?
Saya menjawab: “metode yang paling bagus adalah al-Qur’an menafsirkan
dengan al-Qur’an karena ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat yang lainnya.
Jika hal tersebut tidak terdapat penjelasannya di al-Qur’an maka wajib bagi kalian
menggunakan sunnah karena sebagai penjelas (syāriḥ) dan penerang al-Qur’an.”
Bahkan Muḥammad ibn Idrīs al-Syāafi’ī pun berkata: “Segala yang telah dihukumi
oleh Rasulullah Saw adalah apa yang telah beliau pahami dari al-Qur’an”. Oleh
karena itu Rasulullah Saw bersabda: “‫ ”أل إني أوتيت القرآن ومثله معه‬maksudnya adalah:
“sunnah”. Dengan demikian, menafsirkan al-Qur’an dengan hadis/sunah adalah
suatu tuntutan. Namun jika tidak bisa diselesaikan dengan itu sebagaimana sabda
Rasulullah kepada Mu’ādz:

‫ بكتاب‬:‫ قال‬،‫ "بم تحكم؟‬:‫قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ حين بعثه إلى اليمن‬
.‫ أجتهد رأيى‬:‫ قال‬،‫ فإن لم تجد؟‬:‫ قال‬.‫ بسنة رسول الله‬:‫ قال‬،‫ فإن لم تجد؟‬:‫ قال‬،‫الله‬
‫ الحمد لله الذي وفق رسول‬:‫ فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم في صدره وقال‬:‫قال‬
."‫رسول الله لما يرضى رسول الله‬
Maka permasalahan tersebut, mengharuskan kita merujuk kepada qawl
sahabat karena merekalah yang bertemu dengan Rasulullah Saw, menyaksikan
kondisi dan qarīnah yang mengkususkannya. Dengan itu, para sahabat memiliki
pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, amal yang shaleh. Adapun para
sahabat yang ahli di bidang tafsir adalah Empat Imam Khulafaur Rasyidin, Ibn
‘Abbās dan ‘Abdullāh ibn Mas’ūd.31
Qauw al-shahabat terkadang ada yang memuat kisah-kisah israiliyyat.
Menurut Ibn Kaṡīr, kisah-kisah israiliyyat dibagi menjadi 3 bagian: (al-Maliki: 84)
1. Kisah israiliyyat yang telah diketahui keshahihannya karena ada kesaksian
atas kebenarannya. Maka kisah israiliyyat ini shahih.
2. Kisah israiliyyat yang telah diketahui kebohongannya karena bertentangan
dengan apa yang telah kita ketahui. Maka kisah ini ditolak.
3. Kisah israiliyyat yang maskūt ‘anhu, artinya hadis yang tidak diterima,
tidak dipercayai, boleh diceritakan, tetapi kebanyakan tidak bisa dijadikan
sebagai rujukan dalam masalah agama. Oleh karena itu, banyak ulama ahli
kitab berbeda pendapat tentang hal ini. Para mufasir, ada yang tidak
menerima jenis israiliyyat ini, sebagaimana apa yang mereka sebutkan
tentang kisah aṣḥāb al-kahf, warna anjing, jumlah mereka dan juga kisah
tongkat Nabi Musa yang terbuat dari berbagai pohon, nama burung yang

31
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 7.

12
dihidupkan oleh Nabi Ibrahim dan lain sebagainya. Penjelasan tersebut
masih disamarkan oleh Allah dalam al-Qur’an karena tidak ada faedah
untuk menjelaskannya kepada orang kafir baik masalah agama maupun
dunia.32 Namun di sisi lain, ada yang membolehkannya. sebagaimana
firman Allah:

ِْۚ ‫َسيَ ُق ْولُْو َن ثَ ّٰلثَةٌ َّرابِعُ ُهم َك ْلبُ ُه ْۚم ويَ ُق ْولُْو َن َخ ْمسةٌ َس ِاد ُس ُهم َك ْلبُ ُهم ر ْجم ۢا بِالْغَْي‬
ٌ‫ب َويَ ُق ْولُْو َن َسْب َعة‬ ً َْ ْ َ َْ ْ
ِ ۤ ِ َِّ ِ ِ ِ ِ ِ
‫َّوثَ ِامنُ ُه ْم َك ْلبُ ُه ْم قُ ْل َّربِ ْي اَ ْعلَ ُم بِعِدَّتِ ِه ْم َّما يَ ْعلَ ُم ُه ْم اَّل قَلْي ٌل ە فَ َل تُ َمار فْيه ْم ال مَراءً ظَاهًرا َّوَل‬
‫ت فِْي ِه ْم ِمْن ُه ْم اَ َح ًدا‬ ِ ‫تَستَ ْف‬
ْ
Artinya: “Nanti (ada orang yang akan) mengatakan, ”(Jumlah mereka) tiga
(orang), yang ke empat adalah anjingnya,” dan (yang lain) mengatakan, “(Jumlah
mereka) lima (orang), yang ke enam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap
yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, “(Jumlah mereka) tujuh (orang), yang
ke delapan adalah anjingnya.” Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku lebih
mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali
sedikit.” Karena itu janganlah engkau (Muhammad) berbantah tentang hal mereka,
kecuali perbantahan lahir saja dan jangan engkau menanyakan tentang mereka
(pemuda-pemuda itu) kepada siapa pun”. (QS. al-Kahf: 22)
Berdasarkan ayat di atas mengandung unsur adab dan mengajarkan
bagaimana yang seharusnya dilakukan ketika menanggapi masalah tersebut. Oleh
karena itu, Allah mengkabarkan adanya tiga pendapat, dua pendapat yang pertama
dianggap lemah. Sementara pendapat yang ketiga diam. Itu menunjukkan bahwa
kebenaran informasi tersebut. Jikalau pendapat itu (ketiga) salah maka akan ditolak
sebagaimana dua pendapat sebelumnya.
Adapun yang dapat diambil hikmah dari cerita ini adalah memperhatikan
yang benar dan menyalahkan yang batil dan mencari faedah dan buah di balik kisah
tersebut supaya tidak berlarut-larut dalam perdebatan dan perselisihan karena hal
tersebut tidak ada faedahnya sama sekali.
Adapun jika ada orang yang bercerita menyelisihi apa yang terdapat dalam
ayat tersebut atau tidak membenarkan tiga pendapat (QS. al-Kahf: 22) maka itu
dinamakan nāqiṣ (salah). Jika ada orang yang menshahihkan yang tidak shahih
secara sengaja maka ia telah sengaja berbohong. Namun iika ada orang yang
menshahihkan yang tidak shahih karena jāhil (ketidaktahuannya) maka ia telah
bersalah.33

32
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 9.
33
Maliki Maliki, “Tafsir Ibn Katsir: Metode Dan Bentuk Penafsirannya,” El-
’Umdah 1, no. 1 (2018): h. 84-85.

13
Jika al-Qur’an, sunah dan shabat tidak menemukan penafsirannya maka
harus merujuk kepada qawl tabi’in. berikut ini nama-nama tabi’in yang ahli di
bidang tafsir di antaranya adalah Mujāhid ibn Jabr, Sa’īd ibn Jubair, Ikrimah
budaknya Ibn ‘Abbbās, ‘Aṭā ibn Abī Rabbāḥ, al-Ḥasan al-Baṣrī, Masrūq ibn al-
Ajda’, Sa’īd ibn al-Musayyab, Abī al-‘Āliyah, al-Rabī’ ibn Anas, Qatādah, al-
Ḍaḥḥāk ibn Muzāḥim dan lain sebagainya. Mayoritas para Tabi’in (1) menafsirkan
dan menjelaskan terkait “lafaz-lafaz” al-Qur’an dengan beberapa pendapat, (2)
menguraikan sesuatu dengan prasyarat dan penelitian mereka, (3) mencatat sesuatu
dengan pengawasannya. Semua ini memiliki tujuan sama di berbagai tempat, maka
dari itu pahamilah orang yang berakal.
Pendapat para tabi’in tentang furū’ tidak bisa dijadikan hujjah. Bagaimana
mungkin pendapat tabi’in bisa dijadikan ḥujjah dalam penfasiran? Itu artinya
pendapat tabi’in tidak bisa dijadikan ḥujjah jika ada pendapat tabi’in lainnya yang
menyelisihinya. Adapun jika para tabi’in bersepakat atas sesuatu maka tidak
diragukan lagi bahwa pendapat mereka bisa dijadikan ḥujjah. Jika para tabi’in
berselisih tentang sesuatu maka pendapat mereka tidak ada yang bisa dijadikan
ḥujjah melainkan harus merujuk kepada bahasa al-Qur’an, sunnah, keumuman
bahasa Arab atau pendapat para shahabat tentang hal itu.
Tafsir al-Qur’an hanya dengan menggunakan ray’ (akal) secara mutlak
hukumnya haram. Hal itu sesuai dengan hadis:

ِ
‫َعلَى َع ْن‬ ْ ‫َحدَّثَنَا ُس ْفيَا ُن بْ ُن َوكِي ٍع َحدَّثَنَا ُس َويْ ُد بْ ُن َع ْم ٍرو الْ َك ْلبِ ُّى َحدَّثَنَا أَبُو َع َوانَةَ َع ْن َعْبد األ‬
‫يث َعنِى‬ ِ َ َ‫ ق‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫اس َع ِن النَّبِ ِى‬ ٍ َّ‫يد بْ ِن ُجبَ ْي ٍر َع ِن ابْ ِن َعب‬ ِ ِ‫سع‬
َ ‫ال « اتَّ ُقوا الْ َحد‬ َ
ِ ‫ال فِى الْ ُقر‬
‫آن بَِرأْيِِه‬ َ َ‫ب َعلَ َّى ُمتَ َع ِم ًدا فَ ْليَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر َوَم ْن ق‬ ِ ِ
ْ َ ‫إلَّ َما َعل ْمتُ ْم فَ َم ْن َك َذ‬
» ‫فَ ْليَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر‬
Artinya: Sufyān ibn Wakī’ telah menceritakan kepada kami, Suwaid ibn
‘Amr al-Kalbī telah menceritakan kepada kami, Abū ‘Awānah telah menceritakan
kepada kami, dari ‘Abd al-A’lā dari Sa’īd ibn Jubair dari Ibn ‘Abbās, dari Nabi
Muhammad Saw bersabda: “Takutlak kalin kepada Allah berkenaan dengan
hadisku cekuali yang telah kalian ketahui. Orang yang berpendapat tentang al-
Qur’an dengan akalnya saja maka bersiaplah menempati tempat duduknya di
neraka”.34

34
Abū ‘Īsā Muḥammad ibn ‘Īsā ibn Saurah al-Tirmidzī, Al-Jāmi’ al-Kabīr Sunan
al-Tirmidzī (Bairut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1998), Juz 5, h. 49.

14
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzī, al-Nasā’ī dari berbagai jalur, dari
Sufyān al-Ṡawrī, dan diriwayatkan oleh Abū Dāwud dari Musaddad, dari Abū
‘Awānah dari ‘Abd al-A’lā. Al-Tirmidzī berkata hadis tersebut berkualitas hasan.
Berdasarkan pernyataan di atas merefleksikan bahwa metode dan sumber
penafsiran Ibn Kaṡīr tidak terlepas dari keilmuan dan pemahaman yang dimiliki
(khusunya urutan metode dan sumber terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an).
Selain itu juga, Ibn Kaṡīr mendapat gelar keilmuan di antaranya adalah muḥaddiṡ,
ma’arrikh dan faqīh. Dengan demikian, pantaslah beliau menggunakan metode
taḥlīlī dan penafsirannya bersumber dari al-ma’ṡūr.
Adapun secara genealogi keilmuan, pemikiran seseorang pasti akan
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sebelumnya baik disengaja maupun tidak
disengaja. Artinya filsafat Islam dangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang jauh
lebih dulu telah berkembang. Begitu juga tafsir Ibn Kaṡīr dipengaruhi oleh para
ulama-ulama terdahulu, seperti tafsir Ibn ‘Aṭiyyah, Tafsīr ibn Jarīr al-Ṭabarī, tafsir
Ibn Ḥātim dan lain sebagainya.35

Corak Penafsiran
Tafsir Ibn Kaṡir tidak memiliki corak khusus dalam penafsirannya karena
beliau menafsirkan ayat-ayat berdasarkan riwayat. Di samping itu, kandungan
Qur’an di antaranya berkaitan dengan hukum fikih. Dalam hal ini, Ibn Kaṡīr pun
menggunakan corak fiqhī meskipun secara singkat dan tidak luput menghadirkan
al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang berkaitan dengannya. Adapun contohnya
dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya pada QS. al-Mā’idah ayat 6.

Sistematika dan Penyajian


Secara umum, ada tiga jenis sistematika yang diterapkan oleh para mufasir
dalam penulisan kitab tafsir. Pertama, sistematika muṣḥafī yaitu penulisan sebuah
tafsir dengan berpedoman pada urutan susunan surat-surat dan ayat-ayat
sebagaimana tertera dalam muṣḥaf dari al-Fātiḥah sampai al-Nās. Kedua,
sistematika nuzūlī, yaitu penulisan sebuah kitab tafsir dengan berpedoman pada
kronologi atau asbāb al-nuzūl. Hal ini dilakukan karena tartīb al-nuzūlī berperan
penting penafsir untuk memudahkan dalam memahami kandungan suatu ayat.
Ketiga, sistematika tafsir mawḍū’ī yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan topik-
topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang relevan dengan topik-topik

35
Maliki, “Tafsir Ibn Katsir,” h. 78-79.

15
tertentu kemudian ditafsirkan. Namun dalam hal ini, Ibn Kaṡīr menggunakan
sistematika muṣḥafī.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Ibn Kaṡīr dalam
menafsirkan al-Qur’an, yaitu Ibn Kaṡīr menuliskan penafsiran:
1. Menyebutkan surat, kategorisasi makiyyah atau madaniyyah dan
keutamaan surat berdasarkan riwayat.
2. Menyebutkan maknanya secara āmm
3. Menafsirkan ayat per ayat dengan menggunakan tafsīr al-qur’ān bi al-
qur’ān, kemudian tafsīr al-qur’ān bi al-ḥadīṡ, perkataan sahabat atau
tabii’n, dan mengungkapkan makna al-Qur’an dengan pendekatan bahasa
Arab beserta syi’ir.
4. Menyebutkan sabab al-nuzūl ayat dengan ungkapan yang ringkas.
5. Menyebutkan riwayat-riwayat dengan sanadnya yang berkaitan dengan
penafsiran ayat.
6. Ayat-ayat yang berkaitan dengan ketetapan atau hukum, Ibn Kaṡīr
merujuk dan mengerahkannya pada dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunah.
Dan menyebutkan pendapat-pendapat madzah fikih, dalil-dalilnya serta
mentarjihnya.36
Dalam menulis kitab ini, Ibn Kaṡīr telah mengikuti metode ilmiah yang
otentik. Beliau pun menyampaikannya dengan ungkapan yang fasih dan indah nan
mudah. Berikut ini pemaparannya:
1. Menyebutkan hadis dengan sanadnya
2. Mayoritas menyebutkan kualitas hadisnya.
3. Men-tarjīḥ yang menurutnya benar, tanpa adanya sifat al-ta’aṣṣub
(fanatik) terhadap pendapatnya atau mengikuti pendapat dengan
mendatangkan argumentasinya.
4. Tidak berpegang pada kisah-kisah israiliyyat yang tidak ditetapkan dalam
al-Qur’an dan tidak dishahihkan dalam hadis. Namun, hanya sedikit kisah
israiliyyat yang bernilai sakata ‘anhu.
5. Penafsiran ayat yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah
berdasarkan jalan ulama salaf dengan tanpa menyimpang, menakwilkan,
mentasybihkan dan men-ta’ṭīl-kan (meniadakan sifat Allah).
6. Menghimpun hadis-hadis yang berkaitan dengan ayat.37
Sistematika dan penyajian Ibn Kaṡīr dalam penulisan kitab tafir menuai
pujian di kalangan ulama, di antaranya: (1) al-Suyūṭī berkomentar dalam biografi

36
Iyāzī, Al-Mufarrisūn Ḥayātuhum Wa Manhajuhum, h. 206; dan lihat Ibn Kaṡīr
al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 8.
37
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Muqaddimat al-Taḥqīq, Juz 1,
h. 18.

16
al-Ḥāfiẓ ibn Kaṡīr bahwa ia memiliki tafsir yang tidak ada seorang pun yang
menyamai format, mode dan gaya sepertinya. (2) al-Syaukānī berkomentar bahwa
ia memiliki beberapa karya, di antaranya kitab tafsir yang masyhur, terdiri dari
beberapa jilid, dikumpulkan dan disimpan, dan menukil beberapa madzhab, al-
akhbār, al-Āṡār dan membahasnya dengan kalimat yang bagus. Kitab ini adalah
sebaik-baik kitab tafsir dan tidak ada satu kitab tafsir pun yang menandingi
kualitasnya.38

Karakteristik Mufasir
Kitab tafsir ini penuh dengan beragam nukilan yang ia kutib untuk
menjelaskan maksud suatu ayat. Nukilan tersebut diungkapkan sanadnya secara
lengkap sehingga validitas penukilannya dapat diukur dan diteliti.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Ibn Kaṡīr dalam menafsirkan ayat
al-Qur’an adalah mencari tafsir ayat tersebut dalam al-Qur’an itu sendiri. Jika tidak
ditemukan tafsirannya, ia berusaha menemukannya dalam hadis. Kemudian ia
berpegang kepada pendapat para sahabat. Kemudian ia berpedoman kepada
pendapat para tabi’in dan tabi’ tabi’in. Selain itu, Ibnu Kaṡīr juga menggunakan
cerita-cerita israiliyyat untuk mendukung atau menolak sebuah penafsiran ayat-
ayat al-Qur’an. Namun menurutnya, harus selektif dalam menerima tau meolak
cerita israiliyyat karena sebagian kisah israiliyyat iyu ada yang shahih dan ada yang
munkar. Ibnu Kaṡīr juga menyebutkan pendapat-pendapat para ulama dalam
masalah fikih, bahkan kadang-kadang ia menolak pendapat mereka dengan
argument yang menurutnya lebih tepat.39
Meskipun Ibn Kaṡīr menggunakan metode bi al-ma’ṡūr di dalam
menafsirkan al-Qur’an, namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa Ibn Kaṡīr pun
menggunakan tafsir bi al-ra’y dengan menggunakan pendekatan bahasa Arab. Hal
ini dapat dari penafsirannya tentang potongan QS. al-Isrā’: 78:

38
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Muqaddimat al-Taḥqīq, Juz 1,
h. 19.
39
Nurdin Nurdin, “Analisis Penerapan Metode Bi Al-Ma’ṡūr Dalam Tafsir Ibnu
Katsir Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Hukum,” Asy-Syir’ah 47, no. 1 (2013): h. 85-86.

17
Pada ayat penafsiran di atas, lafaz “‫ ”أقم الصلة لدلوك الشمس‬diartikan “‫”لغروبها‬
(tenggelamnya matahari). Ini menurut Ibn Mas’ūd, Mujāhid dan Ibn Zaid.
Sedangkan Ibn Abbās mengartikan “‫( ”زوالها‬sesudah matahari tergelincir dari
pertengahan langit). Pernyataan ini pun didukung dengan hadis Nabi dari jalur
Jābir bin Abdullāh bahwa:
“Ia pernah mengundang Rasulullah Saw dan sebagian sahabat yang dekat
dengannya untuk suatu jamuan makanan yang diadakannya. Kemudian mereka
keluar ketika “‫الشمس‬ ‫”زالت‬ (matahari tergelincir). Maka Rasulullah Saw pun

bersabda: Wahai Abu Bakar keluarlah, ini adalah “‫الشمس‬ ‫( ”دلكت‬tergelincirnya


matahari).”

Sehingga berdasarkan hadis di atas, dapat diketahui bahwa “ ‫لدلوك الشمس‬


‫ ”إلى غسق الليل‬maksudnya “‫( ”ظلمه‬gelapnya matahari), dan menurut pendapat lain
“‫( ”غروب الشمس‬terbenamnya matahari). Sehingga dapat disimpulkan oleh Ibn Kaṡīr

18
bahwa makna ayat ini waktu zhuhur, ashar, maghrib dan Isya’. Sedangkan firman
“‫الفجر‬ ‫ ”وقرآن‬dimaksudkan dengan shalat fajar (shubuh).40
Berdasarkan penjelasan di atas, membuktikan bahwa penafsiran Ibn Kaṡīr
selain didasarkan atas riwayat-riwayat atau aṡar, atau pendapat sahabat dan tabi’in
juga berpegang dan tidak meninggalkan penalaran akal sama sekali. Dalam ayat di
atas, ia menggunakan pendekatan bahasa Arab dalam menganalisis lafaz ayat di
atas. Sehingga tidak tepat jika Ibn Kaṡīr menafsirkan ayat al-Qur’an dengan tafsīr
bi al-ma’ṡūr secara keseluruhan tetapi tafsīr bi al-ma’ṡūr mendominasi tafsīr bi
ra’y dalam penafsiran Ibn Kaṡīr.
Dengan demikian al-Dzahabī mengemukakan karakteristik penafsiran al-
Qur’an yang dilakukan oleh Ibn Kaṡīr adalah:
1. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Ibn Kaṡīr menggunakan metode
bi al-ma’ṡūr. Caranya dengan mengemukakan seluruh ayat dalam al-
Qur’an sesuai dengan susunan dalam musḥaf, kemudian ditafsirkan
dengan ayat-ayat lain yang mempunyai maksud yang sama dan didukung
oleh beberapa hadis yang berhubungan dengan ayat-ayat tersebut lengkap
dengan sanadnya, dan disertai dengan riwayat-riwayat dan pendapat para
sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.
2. Dalam penafsiannya juga disertakan cerita-cerita Israiliyyat dengan
memberitahukan keshahihan dan tidaknya cerita tersebut. Hal ini
dilakukan untuk mengingatkan kepada kita agar selektif dalam
mengahadapi cerita-cerita israiliyyat.
3. Mengenai ayat-ayat hukum, Ibnu Kaṡīr menyebutkan pendapat-pendapat
ulama tentang masalah hukum tersebut, bahkan kadang-kadang ia
menolak pendapat dan argument yang mereka kemukakan.41 Dalam
memberikan berbagai argument terhadap masalah-masalah hukum yang
ditarik dari ayat-ayat al-Qur’an. Ibn Kaṡīr tidak pernah keluar dari bingkai
jumhur, menolak pendapat yang berada di luar kelompok sunni dan
mengemukan alasan-alasan yang objektif untuk menolaknya.42 Bahkan ia
men-tarjīh para ulama yang berbeda pendapat.
4. Memberikan penilaian terhadap hadis baik hadis itu shahih maupun daif.43

40
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 5, h. 101-102.
41
Muḥammad Ḥusain al-Dzahabī, Al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn (Kuwait: Dār al-
Nawādir, 1431), Juz 1, h. 244.
42
Nurdin, “Analisis Penerapan Metode Bi Al-Ma’ṡūr Dalam Tafsir Ibnu Katsir
Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Hukum,” h. 109.
43
Iyāzī, Al-Mufarrisūn Ḥayātuhum Wa Manhajuhum, h. 307.

19
Referensi Mufasir
Hadis Nabi Saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, syi’ir Arab, kisah
Israiliyyat merupakan sumber rujukan yang digunakan oleh Ibn Kaṡīr. Dari sumber
hadis Nabi Saw, Ibn Kaṡīr menggunakan hadis-hadis shahih, baik sanad maupun
matan. Beliau pun mengomentari bila terdapat hadis yang daif baik sanad maupun
matan.
Ibn Kaṡīr pun mengutip dari beberapa kitab tafsir sebelumnya, di
antaranya Tafsīr Ibn Abī Ḥātim (W. 223 H), Tafsīr Ibn Taimiyyah (W. 728 H),
Tafsīr Ibn al-Jawzī (W. 597 H), Tfsīr al-Rāzī (W. 606 H), Tafsīr al-Zamakhsyarī
(W. 538 H), Tafsīr al-Ṭabarī (310 H), Tafsīr al-Qurṭubī (W. 671 H), dan lain
sebagainya.44 Adapun kitab-kitab hadis yang digunakan oleh Ibn Kaṡīr dalam
menafsirkan ayat adalah al-kutub al-sittah, musnad al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal
dan lain sebagainya.45 Rujukan Ibn Kaṡīr dalam hal sejarah dan biografi mengacu
pada kitab al-Istī’āb fī Ma’rifat al-Aṣḥāb karya Ibn ‘Abd al-Barr, Asad al-Ghābah
fī Ma’rifat al-Ṣaḥābah karya Ibn Aṡīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah karya Ibn Kaṡīr,
Tārīkh al-Kaṭīb al-Baghdādī, al-Tārīkh al-Kabīr karya al-Bukhārī dan lain
sebagainya.46 Sedangkan dalam hal kebahasaan, beliau merujuk pada kitab empat
kitab bahasa yaitu al-Jumal karya Ibn al-Qāsim ‘Abd al-Raḥmān ibn Isḥāq al-
Zujājī, al-Zāhir karya Ibn al-Anbārī, al-Ṣaḥḥāḥ karya Abū Naṣr Ismā’īl ibn
Ḥammād al-Jawharī, dan al-Gharīb karya Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām.47

F. Kesimpulan
Makalah ini menjelaskan metodologi Ibn Kaṡīr dalam menafsirkan al-
Qur’an. Metodologi yang dirumuskan oleh Ibn Kaṡīr tidak terlepas dari
kecenderungan ilmiah dan sudut pandang mufasir. Selain itu, makalah ini
mempertegas bahwa perbedaan qira’at, perbedaan dalam menetukan keshahihan
hadis, perbedaan dalam menentukan hadis sebagai hujjah dan perbedaan bahasa
hadis menjadi faktor penyebab perbedaan bermadzhab. Di samping itu juga,
makalah ini menjadi bukti bahwa tafsir Ibn Kaṡīr didominasi oleh tafsīr bi al-
ma’ṡūr.

44
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 19-20.
45
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 21-27.
46
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 28-29.
47
Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm, Juz 1, h. 29.

20
Daftar Pustaka

Al-Asy’arī, Abū al-Ḥasan. Al-Maqālāt al-Islāmiyyah Wa Ikhtilāf al-Muṣliḥīn.


Bairut: al-Maktabah al-Islāmiyyah, 1411.

Al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā’īl al-. Al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Bairut: Dār
Ṭūq al-Najāh, 1422.

Dozan, Wely. “Epistemologi Tafsir Klasik: Studi Analisis Pemikiran Ibnu Katsir.”
Falasifa 10, no. 2 (September 2019): 147–59.
https://doi.org/10.36835/falasifa.v10i2.203.

Dzahabī, Muḥammad Ḥusain al-. Al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kuwait: Dār al-


Nawādir, 1431.

Ibn Kaṡīr al-Qurasyī, Abū al-Fadā’ Ismā’īl ibn Umar. Al-Bidāyah Wa al-Nihāyah.
Bairut: Dar al-Fikr, 1407.

———. Al-Takmīl Fī al-Jarḥ Wa al-Ta’dīl Wa Ma’rifat al-Ṡiqāt Wa al-Ḍu’afā’


Wa al-Majāhiīl. Yaman: Markaz al-Nu‘mān, 2011.

———. Ikhtiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīṡ. Libanon: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.thn.

———. Jāmi’ al-Masānīd Wa al-Sunan al-Hādī Li Aqwam Sanan. Bairut: Dār


Khāḍr li al-Ṭabā’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī’, 1419.

———. Tafsīr Al-Qur’ān al-Ażīm. Riyāḍ: Dār al-Ṭayyibah, 1420.

Iyāzī, Muḥammad Ali. Al-Mufarrisūn Ḥayātuhum Wa Manhajuhum. Tahran:


Mu’assasat al-Ṭabā’ah wa al-Nasyr Wizārat al-Ṡaqāfah wa al-Irsyād al-
Islāmī, t.thn.

Maliki, Maliki. “Tafsir Ibn Katsir: Metode Dan Bentuk Penafsirannya.” El-
’Umdah 1, no. 1 (2018): 74–86.

Al-Naysābūrī, Abū al-Ḥusain Muslim ibn al-Ḥajjāj. Ṣaḥīḥ Muslim. Bairut: Dār al-
Afāq, t. thn.

Nurdin, Nurdin. “Analisis Penerapan Metode Bi Al-Ma’ṡūr Dalam Tafsir Ibnu


Katsir Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Hukum.” Asy-Syir’ah 47, no. 1
(2013).

21
Al-Qaṭṭān, Al-Mannā’. Mabāḥiṡ Fī ‘Ulūm al-Qur’Ān. t.t.: Mansyūrāt al-‘Aṣr al-
Ḥadīṡ, 1411 H.

Al-Tirmidzī, Abū ‘Īsā Muḥammad ibn ‘Īsā ibn Saurah. Al-Jāmi’ al-Kabīr Sunan
al-Tirmidzī. Bairut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1998.

22

Anda mungkin juga menyukai