Anda di halaman 1dari 11

PENAFSIRAN AL-QURAN OLEH PARA TABI’IN

Oleh:

Nama Nim

Asri Rahma Sari 2010500005


Siti Fairuz Husnia Pasaribu 2010500013

Dosen Pengampu.
Hasiah, M.Ag
ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2021
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Kerhasilan dakwah sangat bergantung pada kedekatan juru dakwah


dengan umatnya. Juru dakwah yang lahir dari sesuatu lingkungan tentu
akan memahami dengan sempurna tentang kondisi penyimpangan,
kesesatan dan kebodohan yang membelenggu kaumnya.
Metode yang cepat akan dapat membuka jiwa mereka untuk menerima
ajaran-ajaran dakwah dan mengambil petunjuknya. Komunikasi diantara
kedua belah pihak dengan satu bahasa merupakan satu asset penting dan
lambang bagi kesamaan suatu komunitas sosial. Sebagaimana terdapat
dalam firman Allah yaitu Q.S Ibrahim : 4 yaitu:
         
         
 
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang
kepada mereka.”
Al-Qur’an yang mulia diturunkan kepada rasul yang berbangsa Arab
dengan bahasa arabnya yang jelas dan tegas. Fenomena semacam ini
menjadi sangat penting untuk memenuhi tuntutan sosial bagi keberhasilan
risalah islam. Sejak saat itu bahasa Arab menjadi satu bagian dari
eksistensi Islam dan asas komunikasi penyampaian dakwahnya.
Misi rasul kita adalah untuk seluruh umat manusia. Al-Qur’an sendiri
menyatakan bahwa risalah Muhammad tidak hanya terbatas pada satu
tempat, bersifat Universal.
Sebagaimana dalam firman Allah Q.S Saba’ : 28 yaitu:
         
  
“Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan.”
II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Terjemah Al-Qur’an
Terjemahan menurut bahasa (etimologis) yaitu ‫رجم‬ “Memindahkan
dari bahasa satu kebahasa lain.” Atau Terjemahan yaitu menafsirkan
perkataan dan menjelaskan maknanya dengan bahasa lain.
Sedangkan Terjemahan menurut teretimologi mengandung empat
makna yang berpaut menyampaikan berita kepada yang terhalang
menerima berita.2 Ini berarti bahwa tindakan menyampaikan berita yang
dilakukan oleh penerjemah terhadap orang yang sudah berusia 80-an tahun
(mungkin karena orang tersebut sudah tuli),disebut terjemahan dan
orangnya disebut turjuman (penerjemah).
Bila bahasa sumbernya adalah bahasa Arab maka bahasa yang
menjelaskannya harus bahasa lain.Untuk itu,dalam buku Mukhtar as-
Shihhah dikatakan bahwa menerjemahkan artinya sama dengan
memberikan penjelasan dengan cara memakai bahasa di luar bahasa
sumbernya.9
Ini berarti bahwa unsur penjelasan merupakan unsur yang dominan
dalam kandungan makna terjemahan. Bahkan, kalau dilihat di dalam
Tafsir Ibn Kasir tentang Abdullah bin Abbas yang mendapat julukan
sebagai penerjemah, dapat dikatakan bahwa terjemahan menurut asal-
usul kata bahasa Arab, mutlak mengandung arti menjelaskan tanpa
mempersoalkan bahasa yang digunakan dalam memberikan penjelasan
tersebut.10 Apabila ditinjau dari sudut bahasa yang digunakan dalam
memberikan penjelasan, pendapat Ibn Kasir (705-774 H.) lebih berifat
umum dibandingkan dengan pendapat ketiga ini, sebab dalam hal
memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa
sumber atau bahasa lain.
Oleh karena pengertian di atas baik secara tersurat maupun tersirat
mengandung makna menerangkan atau menjelaskan, dapat dikatakan
bahwa terjemahan ialah setiap perilaku yang mengandung unsur
mnjelaskan meskipun di luar ketentuan keempat peegertiantersebut.1

1
Sa’ad Abdul,Studi Ulang Ilmu al-Qur’an dan Ilmu Tafsir ( Yogyakarta : 2012 ) hal 11
B. Macam-macam Terjemah
Secara umum terjemah terbagi menjadi tiga jenis, yakni terjemah
harfiah, terjemah tafsiriah, dan terjemah maknawiah.16
1. Terjemah Harfiah
Terjemah harfiah adalah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai
17
urut-urutan kata bahasa sumber . Menurut Az-Zarqaniy, terjemah
seperti ini tak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata. 18
Terjemah seperti ini disebut juga dengan terjemah lafziah atau
musafawiah.19
Terjemah harfiah dilakukan dengan cara memahami arti kata
demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar
dipahami, dicarilah padanan kata dalam bentuk bahasa penerima ( Bpe),
dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber ( Bsu )
meskipun maksud kalimat tidak jelas.
Sebenarnya terjemah harfiah dalam penegertian urut-urutan kata
dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber ( Bsu ) tidak mungkin
dilakukan, sebab masing-masing bahasa ( bahasa sumber dan bahasa
penerima ) selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata,
adakalanya masing-masing ungkapan mempunyai makna yang
mengandung nuansa tersendiri.

2. Terjemah Tafsiriah
Terjemah tafsiriah ialah alih bahasa tanpa terikat dengan urut-
urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber ( Bsu ). Terjemah
seperti ini mengutamakan ketepatan makna dan maksud secara
sempurna dengan konsekuensi terjad i perubahan urut-urutan kata atau
susunan kalimat.
Demikian terjemah tafsiriyah ini perlu ditegaskan bahwa ia adalah
terjemahan bagi pemahaman pribadi yang terbatas. Ia tidak

2
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab ( Jakarta : 2010 )
mengandung semua aspek penakwilan yang dapat diterapkan pada
makna Al-Quran, tetapi hanya mengandung sebagai takwil yang dapat
dipahami penafsir tersebut. Dengan cara inilag akidah Islam dan dasar-
dasar syariatnya terjemahkan sebagaimana dipahamkan dari Al-quran.

3. Terjemah Maknawi
Makna asli sebagian ayat terkadang sejalan dengan prosa dan puisi
kalam Arab. Tetapi kesejalanan ini tidak menyentuh, mempengaruhi
mukjizatan al-Quran, karena kemukjizatannya terletak pada keindahan
susunan dan penjelasannya yang sangat mempesona, yaitu dengan
makna sekunder. Sesungguhnya di dalam kalam Arab, terutama al-
Quran, terdapat kepelikan dan kedalam makna yang tidak dapat
diberikan oleh bahasa mana pun juga2

C. Syarat- Syarat Penerjemah al-Qur’an


Penerjemahan bukanlah penggantian kata demi kata dari bahasa
sumber (Bsu) ke bahasa spenerima (Bpe) melainkan pemindahan konsep,
pengertian dan amanat, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu.
Baik untuk penerjemahan secara harfiah maupun tafsiriah/maknawiah
diperlukan tiga persyaratan;
1. Penerjemahan harus sesuai dengan konteks bahasa sumber (Bsu)
dengan konteks bahasa penerima(Bpe).
2. Penerjemahan harus sesuai dengan gaya bahasa sumber (Bsu) dengan
gaya bahasa penerima (Bpe).
3. Penerjemahan harus sesuai dengan ciri khas bahasa sumber (Bsu)
dengan ciri khas bahasa penerima (Bpe).
Jadi, tidak salah apabila dikatakan penerjemahan bukan sekedar
mencari padanan kata yang umumnya dilakukan dengan cara membuka
kamus. Membuka kamus adalah suatu keharusan dalam pekerjaan

2
Manna Al-Qaththan,Pengantar Studi al-Qur’an ( Jakarta Timur : 2004 ) hal 399-400
menerjemahkan, tetapi tidak selesai sampai di situ karena tidak mutlak
menyelesaikan pekerjaan menerjemahkan itu sendiri.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa penerjemahan tidak cukup
hanya sesuai dengan konteks bahasa sumber (Bsu) dan bahasa penerima
Bpe), akan tetapi harus pula dapat mencerminkan bahan yang
diterjemahkan. Karena itu, penguasaan bahan yang akan diterjemahkan
menjadi penting bagi seorang penerjemahan. Untuk itu, tidak berlebihan
bila dikatakan bahwa seorang penerjemah yang ideal adalah seorang yang
ilmunya sebidang dengan pengarang yang bukunya diterjemahkan.
Yang dimaksud dengan penerjemahan harus sesuai dengan gaya
bahasa sumber (Bsu) dan gaya bahasa penerima (Bpe) ialah penerjemahan
benar-benar memperlihatkan kesesuaian gaya bahasa dari kedua bahasa
yang dipertemukan. Suatu contoh dapat dikemukakan: gaya at-tibaq dalam
bahasa Arab sama dengan gaya antitesis dalam bahasa Indonesia. Secara
etimologi berarti lawa atau pertentangan.
Menurut Henri Guntur adalah sebuah gaya bahasa yang mengadakan
perbandingan atau komparasi antara dua kata yang mengandung ciri-ciri
semantic yang bertentangan.
Contoh lain ialah gaya bahasa al-itnab dalam bahasa Arab yang
sepadan dengan gaya pleonasme dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya
gaya pleonasme diperlukan buat menyatakan satu pikiran atau gagasan.
Disebut pleonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan,
maknanya tetap utu. Misalnya dalam kalimat bahasa Indonesia: Kejadian
itu saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Ungkapan ini akan tetao
utuh maknanya walaupun kata-kata dengan mata kepala saya sendiri
dihilangkan.
Lebih lanjut dapat disimak apa yang dimaksud dengan gaya bahasa
metonimia dalam bahasa Indonesia. Kata metonimia diambil dari kata
Yunani meto yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma yang
berarti nama. Dengan demikian, gaya metonimia ialah suatu gaya bahasa
yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain,
karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Perhatikan contoh berikut ini:
1) Ia membeli sebuah Chevrolet ( berupa penemu untuk hasil temuan ).
2) Pena lebih berbahaya daripada pedang (berupa sebab untuk akibat ).

D. Hukum Terjemahan al-Qur’an


Dalam menetapkan hokum terjemahan al-Qur’an, ada empat konotasi
yang muncul dari kata “Terjemahan al-Qur’an”, yakni:
1. Hukum terjemahan al-Qur’an dengan pengertian menyebarluasakan
ayat ayatnya (tabligu alfazihi)
2. Hukum terjemahan al-Qur’an dengan pengertian menafsirkannya
dalam bahasa sumber (tafsiratuhu bilugatihi al-‘arabiah).
3. Hukum terjemahan al-Qur’an dengan pengertian menafsirkannya
dalam bahasa penerima (tafsiratuhu bilugah ajnabiah).
4. Hukum terjemahan al-Qur’an dengan pengertian alih bahasa
(naqluhu ila lugah ukhra).

a. Terjemahan al-Qur’an dengan menafsirkannya dalam bahasa


penerima
Terjemahan al-Qur’an dengan pengertian menafsirkannya dalam
bahasa penerima, atau dengan kata lain menjelaskan kandungan ayat-
ayat al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain bahasa sumber,
hukumnya sama dengan hukum menafsirkan al-Qur’an dalam bahsa
sumber bagi orang yang mampu memahami bahasa sumber, yakni,
wajib, setidak-tidaknya sunat.

b. Terjemahan al-Qur’an dengan pengertian alih bahasa


Pengertian kedua ini adalah pengertian menurut umum
sebagaimana pernah disinggung pada bab II bagian A. (1.2.). Secara
ringkas terjemahan al-Qur’an di sini dapat didefinisikan: Alih bahasa
al-Qur’an dari bahasa Arab ke bahasa lain. Secara lebih panjang dapat
didefinisikan: Mengungkapkan makna dan maksud ayat-ayat al-
Qur’an dengan bahasa lain.
Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa menerjemahkan al-
Qur’an dalam arti ‘terpenuhi seluruh makna dan maksud-maksud al-
Qur’an’ tidak dapat dilakukan, maksimum hanya dapat dilakukan
pengadaan makna secara garis besarnya saja, sedangkan sebagian
yang lain akan tertinggal, terutama yang menyangkut makna sekunder
dan ketentuan membacanya sebagai ibadah. Yang lebih tidak
mungkin lagi dilakukan adalah apabila penerjemahan harus ditambah
dengan sebuah persyaratan kalimat murni, dalam arti tidak ada
keterangan dan catatan kaki.

E. Perkembangan Terjemahan al-Qur’an


Sampai saat ini masih terdapat ketidakjelasan pemahaman mengenai
posisi terjemahan al-Qur’an di berbagai kalangan, sehingga menimbulkan
adanya beberapa kontroversi. Bahkan ada anggapan terjadinya anarkisme
dan kekerasan yang mengatasnamakan agama dikarenakan oleh adanya
kesalahan dalam penerjemahan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam Bahasa
Indonesia begitu beragam, dengan model dan pendekatan yang beragam
pula. Fokus penelitian ini utamanya adalah untuk melihat karakteristik
masing-masing terjemahan tersebut, adanya keragaman dalam
penerjemahan, serta kendala-kendala yang dihadapi dalam memilih bahasa
dalam memilih bahasa dalam penerjemahan tersebut. 3

BAB III
PENUTUP

3
Adib,Studi Karya-Karya Terjemah al-Qur’an Di Indonesia ( Bandar Lampung : 2016 )
Kesimpulan

Makna terjemahan kadang-kadang tidak jelas karena “kata” yang


merupakan terjemahan dari bahasa sumber itu digunakan tidak dalam konteks
verbalnya (hubungan suatu kata dengan kata yang mengikutinya). Dengan
demikian seorang penerjemah perlu memperhatikan betul masalah-masalah yang
dihadapi, terutama yang berhubungan dengan bahasa penerima sebagai bahasa
tujuan. Hal ini menyangkut soal-soal linguistik, disamping perbedaan pikiran dan
budaya antara pemakaian bahasa yang bersangkutan.

Masih sering ditemukan bentuk kalimat terjemahan yang berlebihan.


Artinya, tanpa perubahan makna salah satu kata yang digunakan itu dapat
dibuang. Ini terjadi antar lain karena terjemahan ayat-ayat al-Qur’an masih banyak
bersifat harfiah, padahal terjemahan harfiah tidak selalu tepat dan lazim dalam
bahasa penerima. Ini berarti bahwa penerjemah sebaiknya membuat kalimat-
kalimat bahasa penerima, bukan kalimat bahasa sumber. Dengan perkataan lain
penerjemah harus berfikir dalam bahasa penerima; kerangka acuan berpikirnya
sebaiknya dalam bahasa penerima. Untuk itu para ahli terjemah mengatakan
bahwa seorang penerjemah harus dapat berubah-ubah pikiran dalam waktu singkat
dari satu budaya ke lain budaya. Artinya waktu membaca kalimat dalam bahasa
asing, penerjemah berada dalam lingkungan budaya asing tersebut; namun
beberapa detik kemudian, dia harus berubah mengikuti budaya milik bahasa
penerima, karena hasil terjemahannya akan dibaca dan didengar oleh pemilik
bahasa penerima tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ismail.2001.Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an.Yogya;Pt. Tiara Wacana


Al-qathan,Manna.2004.Pengantar Studi Ilmu al-qur’an:Jakarta timur.Maktabah
wahba kair
Adib.2016.Studi Atas Karya-karya Terjemah al-Qur’an Di Indonesia. Lampung
Yunus, Mahmud.2010.Kamus Bahasa Arab Indonesia.Jakarta : Pt, Mahmud
Yunus Wa Dzurriyah

Anda mungkin juga menyukai