Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

DINAMIKA TAFSIR ALQURAN; ANTARA TEKSTUALITAS DAN


KONTEKSTUALITAS

DOSEN

Dr. H. M. Anis Mashduqi, Lc., M.Si.

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 5

1. Musyarifah Nuri Maisaroh 21106010004


2. Irsyad Nurrohman 21106010032
3. Refina Nur Asmia 21106010038
4. Novan Baktiar Rizky 21106010039

MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah senantiasa memberi penulis
pertolongan, hidayah, dan kesempatan dalam menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Dinamika Tafsir Alquran; Antara Tekstualitas dan Kontekstualitas” ini tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam yang
diampu oleh Bapak Dr. H. M. Anis Mashduqi, Lc., M.Si. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan tentang dinamika tafsir alquran bagi pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menjadikan makalah ini lebih baik.

Yogyakarta, 21 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................2

DAFTAR ISI........................................................................................................................................3

BAB I...................................................................................................................................................3

PENDAHULUAN................................................................................................................................3

A. LATAR BELAKANG...............................................................................................................3

B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................................4

C. TUJUAN...................................................................................................................................4

BAB II..................................................................................................................................................4

PEMBAHASAN..................................................................................................................................4

A. DINAMIKA TAFSIR ALQUR’AN DALAM TEKSTUALITAS DAN


KONTEKSTUALITAS....................................................................................................................5

B. DINAMIKA TAFSIR ALQURAN DI INDONESIA...............................................................6

C. BENTUK BENTUK TAFSIR ALQURAN..............................................................................7

D. METODE PENAFSIRAN.........................................................................................................8

E. SYARAT MUFASIR DAN ILMU BANTU DALAM PENAFSIRAN...................................8

F. CONTOH-CONTOH TAFSIR DAN REALITASNYA...........................................................9

BAB III...............................................................................................................................................11

PENUTUP..........................................................................................................................................12

KESIMPULAN..................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Alquran adalah kitab suci bagi umat islam. Ia diturunkan oleh Allah SWT kepada
Rasulullah SAW dalam bahasa arab melalui perantara malaikat Jibril. Di dalamnya terdapat
banyak sekali pelajaran yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi umatnya agar selamat di
dunia dan di akhirat. Sebagai seorang muslim kita wajib mengetahui kandungan isi dari Al-
Quran. Untuk itu ilmu tafsir sangat diperlukan supaya kita semakin mudah dalam
memahami isinya. Sehingga kita dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dinamika tafsir Alquran di Indonesia telah dimulai sejak masuknya ajaran islam ke
Indonesia. Sejarah mencatat ada beberapa pendapat berkaitan dengan hal ini salah satunya
ada teori Arab. Menurut teori Arab, Islam masuk di Indonesia sejak abad ke-7 M dengan
dibawa langsung oleh orang-orang dari bangsa Arab yang masuk ke Indonesia. Dengan
masuknya Islam dari negara Arab, maka dimulailah peradaban Islam di Indonesia.
Peradaban ini nantinya akan membawa perubahan pada perkembangan tafsir Al-Quran di
Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia merupakan titik
awal bagi perkembangan dinamika tafsir Alquran yang terjadi hingga saat ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk membahas permasalahan
tersebut dalam makalah yang berjudul “DINAMIKA TAFSIR ALQURAN; ANTARA
TEKSTUALITAS DAN KONTEKSTUALITAS” yang akan membahas tentang dinamika
tafsir alquran dari masa ke masa.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dinamika tafsir alquran dalam tekstualitas dan kontekstualitas?
2. Bagaimana dinamika proses tafsir alquran di Indonesia?
3. Apa saja bentuk bentuk tafsir dan metode penafsiran yang bisa digunakan?
4. Apa saja syarat mufasir dan ilmu-ilmu bantu dalam menafsirkan Al-Quran?
5. Apa saja contoh-contoh tafsir dan realitasnya?

C. TUJUAN
1. Untuk memahami dinamika tafsir alquran dalam tekstualitas dan kontekstualitas.
2. Untuk mengetahui dinamika proses tafsir alquran di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bentuk bentuk tafsir dan metode penafsiran yang bisa digunakan.
4. Untuk mengenal syarat syarat mufasir dan ilmu dalam menafsirkan Al-Quran.
5. Untuk mengetahui contoh tafsir dan realitasnya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. DINAMIKA TAFSIR ALQUR’AN DALAM TEKSTUALITAS DAN


KONTEKSTUALITAS
Dalam penafsiran suatu teks, seperti al-Qur’an, ada 2 penafsiran, yaitu penafsiran
tekstual dan penafsiran kontekstual.
1. Penafsiran tekstual artinya penafsiran yang berdasarkan teks (apa adanya teks).
Penafsiran yang menjadikan lafadz-lafadz teks sebagai objek. Penafsiran ini
menekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami suatu teks. Secara
praktis, penafsiran tekstual terhadap teks al-Qur’an ini dilakukan dengan memberikan
perhatian pada ketelitian redaksi dan bingkai teks ayat-ayat Al-Qur’an. Penafsiran
tekstual mengarah pada pemahaman teks semata, tanpa mengaitkannya dengan situasi
lahirnya teks maupun tanpa mengaitkannya dengan sosio-kultur yang menyertainya.
2. Penafsiran kontekstual artinya penafsiran yang mempertimbangkan konteks yang
melingkupi suatu teks. Penafsiran kontekstual tidak semata-mata memperhatikan lafadz,
tetapi lebih dipengaruhi latar belakang turunnya. Teks dipahami sesuai dengan sosio-
kultur masyarakat dimana teks itu lahir dan keterlibatan subjektif penafsir dalam
aktivitas penafsirannya. Konteks dalam KBBI memiliki dua arti, yaitu
1) Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan
makna.
2) Situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.
Sehingga dapat dipahami bahwa kontekstual adalah menarik suatu bagian atau situasi
yang ada kaitannya dengan suatu kata/kalimat sehingga dapat menambah dan mendukung
makna kata atau kalimat tersebut. Sebenarnya, konteks suatu ayat tidak hanya terbatas pada
sebab turunnya ayat semata. Konteks atau dalam kajian tafsir disebut dengan siyaq ada
banyak, antara lain:
1) Siyaq makani, yaitu konteks tempat dan posisi suatu ayat dalam suatu surah. Termasuk
juga konteks tempat ini posisi kalimat dalam ayat. Suatu lafadz tidak dapat dipahami
dengan tepat jika terpisah dari kalimat dimana ia disebutkan.
2) Siyaq zamani, yaitu konteks masa dan zaman turunnya ayat. Dalam kajian tafsir, dilihat
apakah ayat tersebut ayat makkiyah yang turun sebelum hijrah atau ayat madaniyah yang
turun setelah hijrah. Dikaji pula urutan turunnya surah dimana ayat itu berada, bukan
hanya urutan surahnya berdasarkan mushaf.
3) Siyaq maudhu’i yaitu konteks tema dan topik yang dibahas sekumpulan ayat dalam
suatu surah, dimana ayat tersebut ada di dalamnya. Sebagai contoh, tema ayat seputar
kisah qur’ani, atau perumpamaan (amtsal), atau hukum – hukum fiqh, atau kisah khusus
tentang salah seorang figur nabi, atau hukum tertentu dari hukum – hukum yang ada.
4) Siyaq maqashidi yaitu konteks tujuan yang ingin disampaikan ayat dalam hubungannya
terhadap suatu permasalahan yang ingin dicari jalan keluarnya.
5) Siyaq tarikhi yaitu konteks sejarah baik yang sifatnya umum ataupun khusus. Yang
umum mencakup konteks peristiwa bersejarah yang dikisahkan Al-Qur’an atau yang
sezaman dengan masa turunnya wahyu. Sedangkan yang khusus mencakup asbab nuzul.
6) Siyaq lughawi yaitu mengkaji teks al-Qur’an dalam konteks hubungan antar lafadz
dalam suatu kalimat dan huruf yang digunakan untuk menghubungkan satu sama
lainnya, dan dampak yang ditimbulkannya terhadap makna yang lahir, baik secara
keseluruhan (kulli) maupun secara parsial (juz’i).

D. DINAMIKA TAFSIR ALQURAN DI INDONESIA


Penafsiran Al-Quran dimulai sejak Nabi Muhammad saw menyampaikan Al-Quran
kepada umatnya. Tafsir Al-Quran di Indonesia diperlukan untuk menjelaskan kandungan
kitab suci Al-Quran dengan bahasa-bahasa yang digunakan di Indonesia baik secara lisan
maupun tertulis. Berikut periode perkembangan tafsir di Indonesia.
1. Periode klasik ( Abad 7-15 M )
Maksud dari periode klasik ini adalah awal permulaan Islam sampai ke Indonesia
yang berlangsung sekitar abad ke-1 H dan ke-2 H sampai abad ke-10 H. Ini merupakann
cikal bakal bagi perkembangan tafsir untuk selanjutnya. Penafsiran periode ini belum
menampakkan bentuk tertentu dan masih bersifat umum. Dikarenakan pada masa itu
muslim belum benar-benar muslim. Penafsiran masih berbentuk kehidupan nyata sehari-
hari secara praktis.
Metode tafsir pada periode ini mengisyaratkan metode ijmali (global) dan
disampaikan secara lisan. Walaupun masih belum sepenuhnya dan proses penafsiran
masih sederhana. Tafsir Al-Qursn pada periode ini memiliki sifat sporadik, praktis, dan
kondisional. Corak pada periode ini juga masih bersifat umum, yang artinya untuk
umum tidak ada corak khusus.
2. Periode Tengah ( abad 16-18 M )
Pada periode ini sudah terdapat buku pegangan dan tentunya lebih berkembang
daripada sebelumnya. Upaya penafsiran pada periode ini adalah membaca dan
memahami tafsir tertulis yang datang dari Timur Tengah dan masih dalam bentuk
pemikiran ( ar-ra’yu). Tafsir tersebut memiliki keberadaan hadist sebagai legitimasi
terhadap pemikiran dan ide yang dikemukakan. Hal ini menggambarkan bahwa Al-
Quran menguasai alam fikiran dan perasaan orang-orang.
Metode yang dilakukan adalah metode ijmali dan penyampaiannya secara lisan
dilengkapi dengan kitab. Coraknya juga masih bersifat umum.
3. Periode Pramodern ( abad 19 M )
Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama yang menulis dalam berbagia disiplin ilmu.
Namun mereka tidak berkonstribusi langsung ke bidang tafsir, tetapi banyak kutipan Al-
Quran yang dijadikan dalil. Pada abad ke-19, perkembangan tafsir di Indonesia tidak
ditemukan karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi. Anatara lain, selama
berabad-berabad hanya sebatas membaca dan memahami kitab yang ada dan juga ada
tekanan dari penjajahan Belanda. Namun, teknik penyampaiannya meningkat, seperti
terjemahan yang tertulis.
Metode dan corak penafsiran Al-Quran pada masih sama seperti periode
sebelumnya, yaitu metode ijmali dan bersifat umum.
4. Periode Modern ( abad 20 M )
Pada periode ini, pada tahun 1920an-seterusnya sudah banyak bermunculan
terjemahan Al-Quran baik perjuz maupun seluruh isi Al-Quran dan tafsir-tafsir dari
berbagai ulama. Apalagi telah dinyatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa
Indonesia dalam sumpah pemuda pada tahun 1928. Misal pada tahun 1956 diterbitkan
tulisan tafsir al-Furqon yang berisi 30 juz. Pada awal abad ke-20 mulai muncul berbagai
karya, seperti dengan judul Al-Quran Dari Masa ke Masa karya Munawar Khalil ditulis
pada tahun 1952. Pada saat itu juga mulai bermunculan berbagai tafsir yang
menggunakan bahasa Daerah. Misal bahasa Jawa antara lain Kemajuan Islam
Yogyakarta dengan tafsirnya Qur’an Kejawen dan Qur’an Sandawiyah, KH. Bisyri
Mustafa Rembang dengan tafsir al-Ibriz pada tahun 1950.
Pada periode ini terdapat berbagai metode tafsir. Kebanyakan menggunakan metode
tahlili (runtut) artinya penulisan urutan surat yang ada dalam mushaf atau mengacu pada
turunan wahyu. Pada abad ke-20 muncul penafsiran menggunakan metode tematik
( maudhu’i )

E. BENTUK BENTUK TAFSIR ALQURAN


1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Secara bahasa tafsir bi al-Ma’tsur yaitu penafsiran yang menjadikan riwayat sebagai
sumber penafsiran sehingga tafsir bi al-Ma’tsur dikenal juga dengan sebutan tafsir bil
riwayah/tafsir dengan periwayatan. Jadi, tafsir bi al-Ma’tsur merupakan suatu bentuk
penafsiran yang berdasarkan ayat al-Quran, hadis nabi, pendapat sahabat atau tabiin.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi merupakan bentuk penafsiran yang berdasarkan hasil nalar(ijtihad)
mufasir sendiri sehingga corak penafsiran mendapat ruang gerak yang luas seperti corak
filsafat, teologi, hukum, sastra, bahasa, dan ilmu pengetahuan. Ditinjau dari penekanan
penyajian penafsirannya meliputi beragam corak disiplin ilmu seperti hukum, tasawuf,
filsafat, ilmu pengetahuan, bahasa, dan sosial budaya. Corak penafsiran yang beragam
berguna dalam memberikan informasi yang rinci kepada pembaca terkait situasi yang
dialami, kecenderungan dan keahlian setiap pakar tafsir.

F. METODE PENAFSIRAN
1. Tafsir Tahlili
Tahlili berarti mengurai atau menganalisa. Dengan metode ini, seorang mufasir akan
mengungkap makna setiap kata dan susunan kata secara rinci dalam setiap ayat yang
dilaluinya dalam rangka memahami ayat tersebut dengan ayat di sekitarnya. Kelebihan
dari tafsir tahlili, diantaranya ruang lingkup yang luas dan memuat berbagai ide. Namun,
metode ini memiliki kelemahan diantaranya yaitu menjadikan petunjuk alquran parsial
dan melahirkan penafsir yang bersifat subyektif. Contoh tafsir yang disusun dengan
metode ini adalah Tafsir al-Tabari dan Tafsir Ibnu Kathir.
2. Tafsir Ijmali
Mufasir menyebutkan rangkaian ayat alquran yang panjang atau ayat alquran yang
pendek, kemudian menyebutkan maknanya secara umum dan ringkas. Dalam hal ini,
mufasir berusaha untuk mengaitkan antara teks Al-Quran dengan maknanya secara jelas.
Kelebihan dari tafsir ijmali adalah praktis dan mudah dipahami. Namun, metode ini juga
memiliki kelemahan yaitu menjadikan petunjuk alquran bersifat parsial dan tidak ada
ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. Contoh tafsir yang disusun dengan
metode ini adalah Tafsir Jalalain karya al-Suyuti dan al-Mahalli.
3. Tafsir Muqarin
Upaya yang dilakukan mufasir dalam memahami satu ayat atau lebih kemudian
membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kemiripan redaksi tetapi maknanya
berbeda. Ciri dari metode ini adalah membandingkan. Adapun yang dibandingkan dapat
berupa ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, dan pendapat antar mufasir. Kelebihan dari
tafsir muqarin adalah memberikan wawasan penafsiran yang lebih luas pada
pembacanya dan membuka pintu untuk bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain.
Sayangnya, metode ini masih memiliki kelemahan yaitu tidak dapat diberikan kepada
pemula yang baru mempelajari tafsir dan kurang dapat diandalkan menjawab
permasalahan yang ada di masyarakat .
4. Tafsir Maudhui
Memilih salah satu tema yang ada di alquran kemudian mengumpulkan ayat dan
surat yang berkaitan dengan tema layaknya menghimpun bagian badan yang terpisah
kemudian mengikatnya satu sama lain, dengan itu terbentuklah gambaran tema secara
utuh sehingga ayat ayat Al-Quran akan saling menafsirkan satu sama lain. Kelebihan
dari tafsir maudhui adalah bersifat dinamis dan dapat menjawab tantangan zaman.
Sayangnya, metode ini juga masih memiliki kelemahan yaitu memenggal ayat alquran
dan membatasi pemahaman ayat.

G. SYARAT MUFASIR DAN ILMU BANTU DALAM PENAFSIRAN


Syarat mufasir
Menurut Imam Ghazali dan Gunawan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir
diantaranya sebagai berikut
1. Memiliki kaidah yang benar
2. Bersih dari hawa nafsu
3. Terlebih dahulu menafsirkan alquran dengan alquran
4. Menafsirkan dari sunnah
5. Meninjau para sahabat
6. Memeriksa pendapat para tabi’in
7. Menguasai pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya
8. Menguasai pokok pokok ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran
9. Memiliki pemahaman yang cermat
Ilmu bantu
Menurut M. Ali as-Shabuni dalam al-Tibya fi ‘Ulu al-Quran, ilmu yang harus dikuasai oleh
seorang mufasir adalah sebagai berikut
1. Bahasa arab
2. Ilmu balaghah
3. Ushul fiqh
4. Ushuluddin
5. Asbabun nuzul
6. Ilmu al-qashah
7. Ilmu hadis

H. CONTOH-CONTOH TAFSIR DAN REALITASNYA


 Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Firman Allah Swt dalam Surat al-Maidah ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:
‫ت لَ ُك ْم بَ ِه ْي َمةُ ااْل َ ْن َع ِام اِاَّل َما يُ ْت ٰلى َعلَ ْي ُك ْم‬
ْ َّ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْٓوا اَ ْوفُ ْوا ِب ْال ُعقُ ْو ۗ ِد اُ ِحل‬
‫ص ْي ِد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ۗ ٌم اِ َّن هّٰللا َ يَحْ ُك ُم َما ي ُِر ْي ُد‬
َّ ‫َغ ْي َر ُم ِحلِّى ال‬
Artinya:

“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.

Penafsiran ayat tersebut ada dalam ayat lain dengan penjelasan pengecualian makanan yang
diharamkan. Hal itu dijelaskan dalam Surat al-Maidah ayat 3, yaitu yang berbunyi sebagai berikut:

‫ت َعلَ ْي ُكم ْالم ْيتَةُ وال َّدم ولَحْ م ْالخ ْنزيْر ومٓا اُه َّل ل َغيْر هّٰللا‬
ْ ‫حُرِّ َم‬
...... ِ ِ ِ ِ ِ َ َ ِ ِ ِ ُ َ ُ َ َ ُ
Artinya:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah”.

 Contoh tafsir Al-Qur’an dengan sunnah atau hadis

Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 24 yang menjelaskan makna lafaz atau istilah kata
api neraka, yang berbunyi sebagai berikut.

ۖ ُ‫فَاِ ْن لَّ ْم تَ ْف َعلُ ْوا َولَ ْن تَ ْف َعلُ ْوا فَاتَّقُوا النَّا َر الَّتِ ْي َوقُ ْو ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرة‬
‫ت لِ ْل ٰكفِ ِري َْن‬
ْ ‫اُ ِع َّد‬

Artinya :

“Takutlah kepada api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, disediakan untuk
orang-orang kafir”.

Ayat ini dijelaskan dalam beberapa hadis yang menjelaskan makna dari api neraka, seperti: “Dari
Abi Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Apimu adalah satu bagian dari tujuh
puluh bagian api jahannam”, dikatakan: “Wahai Rasul kalau seperti itu sudah cukup (panas)” Nabi
berkata: “dilebihkan panasnya dengan enam puluh sembilan bagian, setiap bagian sama panasnya”.

 Contoh tafsir al Qur’an dengan pendapat sahabat nabi

Firman Allah SWT. dalam Surat al-Hadid ayat 11

ٰ ‫َم ْن َذا الَّ ِذيْ يُ ْق ِرضُ هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
‫ُض ِعفَهٗ لَهٗ َولَهٗ ٓ اَجْ ٌر َك ِر ْي ٌم‬
Artinya :

“Barangsiapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan
mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia”.

Menurut Umar ibnul Khattab, makna yang dimaksud ialah membelanjakan harta untuk keperluan
jalan Allah.

 Contoh tafsir al Qur’an yang dijelaskan oleh Tabi’in

Firman Allah SWT. dalam Surat at-Taubah ayat 12

‫َواِ ْن نَّ َكثُ ْٓوا اَ ْي َمانَهُ ْم ِّم ۢ ْن بَ ْع ِد َع ْه ِد ِه ْم َوطَ َعنُ ْوا فِ ْي ِد ْينِ ُك ْم فَقَاتِلُ ْٓوا اَ ِٕٕىِ˜ َّمةَ ْال ُك ْف ۙ ِر‬
‫ان لَهُ ْم لَ َعلَّهُ ْم يَ ْنتَه ُْو َن‬
َ ‫اِنَّهُ ْم ٓاَل اَ ْي َم‬
Artinya :

“Dan jika mereka melanggar sumpah setelah ada perjanjian, dan mencerca agamamu, maka
perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak
dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti.”

Dari ayat di atas, Ibnu Katsir pun menafsirkan ayat tersebut. Dalam penafsirannya, beliau
menjelaskan bahwa jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, supaya mereka
berhenti. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa jika orang-orang musyrik yang telah
mengadakan perjanjian gencatan senjata dalam masa tertentu merusak perjanjiannya. dan mereka
mencerca agama kalian. (At-Taubah: 12) Yakni mereka mencela dan mengecam agama Islam.
Berdasarkan ayat inilah ditetapkan hukuman mati terhadap orang yang mencaci Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencerca agama Islam, mendiskreditkannya. Karena itulah dalam
firman selanjutnya disebutkan: maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, supaya mereka
berhenti. (At-Taubah: 12) Maksudnya agar mereka sadar akan kekufuran, keingkaran, dan
kesesatannya, lalu menghentikannya.

Berikut contoh penafsiran Buya Hamka dalam karya tafsirnya yang dikaitkan dengan masa
sekarang.

a. Surat al-Fiil ayat 4

‫تَرْ ِم ْي ِه ْم بِ ِح َجا َر ٍة ِّم ْن ِسجِّ ي ۙ ٍْل‬


Artinya :

“yang melempari mereka dengan batu siksaan”

Dalam menjelaskan ayat diatas, Hamka sebenarnya memberikan pengantar bahwa adanya
perbedaan pendapat para ahli tafsir mengenai ‘batu siksaan’ diatas, namun Hamka terlihat tidak
mengungkapkan lebih jauh. Terlepas dari perbedaan tersebut, Hamka disini terlihat menegaskan
posisinya dalam mendukung pendapat Muhammad Abduh, yakni memaknainya dengan ‘penyakit
cacar’. Dengan menyitir keterangan dari Ikrimah, bahwa memang adanya penyakit cacar tersebut
baru ada sejak peristiwa ekspansi Abrahah al-Asyram al-Habasyi dalam menghancurkan Ka’bah.

Lebih jauh, Hamka mengkontekskan dengan masa sekarang bahwa, memang jika kita membawa
burung dari daerah dan atau negara yang berbeda maka akan lebih baik dengan melakukan
pemeriksaan kemanan terlebih dahulu, yakni ke dokter. Hal ini didorong dengan berbagai macam
penyakit yang merajalela di seluruh dunia saat ini, diantaranya adalah Flu Burung.

b. Surat al-Mumtahanah ayat 8-9

‫ار ُك ْم‬ ‫ي‬ ‫د‬ ْ


‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ُو‬
ْ ‫ج‬ ‫ر‬ ْ
‫ُخ‬ ‫ي‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ْن‬ ‫ي‬ ِّ
‫د‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ف‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫و‬ْ ُ ‫ل‬ ‫ت‬ ‫ا‬َ ‫ق‬ُ ‫ي‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ ‫ْن‬
َ ‫ي‬ ‫ذ‬ َّ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ع‬
َ ُ ‫اَل ي ْن ٰهى ُكم هّٰللا‬
ِ َ ِ ِّ ْ ِ ْ َ ِ ِ ْ ِ ْ ِ ِ ُ َ
‫اَ ْن تَبَرُّ ْوهُ ْم َوتُ ْق ِسطُ ْٓوا اِلَ ْي ِه ۗ ْم اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطي َْن‬

‫ار ُك ْم‬ ‫ي‬ ‫د‬ ْ


‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ُو‬
ْ ‫ج‬ ‫ر‬ ْ
‫خ‬ َ ‫ا‬‫و‬ ‫ْن‬ ‫ي‬ ِّ
‫د‬ ‫ال‬ ‫ى‬ ‫ف‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫و‬ْ ُ ‫ل‬َ ‫ت‬ ‫ا‬َ ‫ق‬ ‫ْن‬
َ ‫ي‬ ‫ذ‬ َّ ‫ل‬‫ا‬ ‫ن‬ ‫ع‬
َ ُ ‫انَّما ي ْن ٰهى ُكم هّٰللا‬
ِ َ ِ ِّ ْ َ َ ِ ِ ْ ِ ِ ُ َ َ ِ
ٰ ‫ك هُم‬ ٰۤ ُ ٓ
‫الظّلِ ُم ْو َن‬ ُ َ ِِٕ ‫اج ُك ْم اَ ْن تَ َولَّ ْوهُ ۚ ْم َو َم ْن يَّتَ َولَّهُ ْم فَا‬
˜
‫ٕى‬ ‫ول‬ ِ ‫َوظَاهَر ُْوا َع ٰلى اِ ْخ َر‬
Artinya :

Tidaklah Allah melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu pada agama dan
tidak mengusir kamu dari kampong halaman kamu, bahwa kamu berbaik dengan mereka dan
berlaku adil terhadap mereka; sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang berlaku adil (8),
Yang dilarang kamu hanya terhadap orang-orang yang memerangi kamu dan mengusir kamu dari
kampung halaman dan mereka bantu atas pengusiranmu itu, bahwa kamu menjadikan mereka
teman. Dan barang siapa yang berkawan dengan mereka, maka itulah orang-orang yang aniaya (9).

Dalam menafsirkan ayat di atas, Hamka lebih awal mengedepankan latar historis turunnya
ayat tersebut (Asbab Nuzul, yakni setelah perjanjian hudaibiah banyak orang Arab Quraisy yang
menemui keluarganya yang telah berhijrah bersama Nabi ke Madinah. Diantaranya adalah Qutailah,
Ibu dari Asma’ yang tidak lain adalah bekas istri Abu Bakar. Ketika Qutailah menemui (karena
sayang dan rindunya) dan memberikan hadiah kepada Asmaa’, Asma merasa ragu akan pemberian
ibunya tersebut, dikarenakan ibunya pada saat itu belum masuk Islam. Hal ini ditanyakan kepada
Rasulullah Saw. maka turunlah ayat di atas.

Berpijak dengan asbab nuzul dan kerangka penafsirannya yang lain, pada akhirnya Hamka
menyimpulkan bahwa ayat di atas dan dua ayat sebelumnya adalah pedoman bagi umat islam untuk
toleransi dalam tataran praktis dengan umat agama lain. Menurutnya, dipersilahkan kepada umat
Islam untuk bergaul dengan akrab, bertetangga, saling tolong menolong, bersikap adil dan jujur
kepada pemeluk agama lain. Tetapi jika ada bukti bahwa pemeluk agama lain itu hendak memusuhi,
memerangi dan mengusir umat Islam, maka semua yang diperbolehkan itu menjadi terlarang.
Meskipun mereka tidak memusuhi Islam namun membantu dalam memusuhi Islam, memiliki
hukum yang sama, juga harus diperangi.

Ahli-ahli tafsir menyatakan bahwa ayat ini adalah “Muhkamah” artinya berlaku buat
selama-lamanya, tidak dimansukhkan. Dalam segala zaman hendaklah kita berbaik dan bersikap
adil dan berjujur kepada orang yang tidak memusuhi kita dan tidak bertindak mengusir kita dari
kampong halaman kita. Kita diwajibkan menunjukkan budi Islam kita yang tinggi terhadap
siapapun.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, penulis menarik beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut.

1. Penafsiran dalam Al-Quran dibagi menjadi 2 yaitu penafsiran tekstual dan penafsiran
kontekstual. Penafsiran tekstual adalah penafsiran yang berdasarkan teks (apa adanya teks).
Sedangkan penafsiran kontekstual adalah penafsiran yang mempertimbangkan konteks yang
melingkupi suatu teks.
2. Dinamika tafsir Al-Quran di Indonesia dibagi menjadi 4 periode yaitu periode klasik (abad 7-15
M), periode tengah (abad 16-18 M), periode pramodern (abad 19 M), dan periode modern (abad
20 M). Pada periode klasik sampai pramodern metode tafsir al-Quran menggunakan metode
ijmali. Sedangkan pada periode modern kebanyakan menggunakan metode tahlili.
3. Bentuk bentuk tafsir Al-Quran dibagi menjadi 2 macam yaitu tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi
al-Ra’yi. Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran yang menjadikan riwayat sebagai sumber
penafsiran. Sedangkan tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran yang merupakan hasil ijtihad para
mufasir. Adapun metode penafsiran yang dapat digunakan ada 4 yaitu tafsir tahlili, tafsir ijmali,
tafsir muqaran, dan tafsir maudhui.
4. Seorang mufasir dalam menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat dan menguasai ilmu
bantu penafsiran Al-Quran. Adapun syarat yang harus dipenuhi yaitu memiliki kaidah yang
benar, bersih dari hawa nafsu, terlebih dahulu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran,
menafsirkan dari sunah, dan meninjau para sahabat. Sedangkan ilmu bantu yang harus dikuasai
yaitu bahasa arab, ilmu balaghah, ushul fiqh, ushuluddin, asbabun nuzul, ilmu al-qashah, dan
ilmu hadis.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ayyubi, M. Ziya, 2020. Dinamika Tafsir Al-Quran di Indonesia. Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin
Dan Filsafat.

Cahaya, Widya, 2011. Alquran dan Tafsirnya. Jakarta: Kementerian Agama RI.

Ari, Anggi Wahyu, 2019. Sejarah Tafsir Nusantara. Jurnal Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang.

Adib, Noblana, 2017. Faktor-Faktor Penyebab Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Quran. Jurnal
Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan.

Kusroni, 2019. Mengenal Ragam Pendekatan, Metode, dan Corak Dalam Penafsiran Al-Qur’an.
Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Al Fithrah.

Nawas, ZAM. Teknik Interpretasi Tekstual dan Kontekstual, 74. Diakses 21 September 2021, dari
ejournal.iainpalopo.ac.id.

Zamakhsyari. Pemahaman Tekstual dan Kontekstual al-Qur’an dan Hadits, 2-4. Diakses 21
September 2021.

Hakim, A. 2017 ‘Tafsir al Qur’an dengan al Qur’an Studi Analisis-kritis dalam Lintas Sejarah’,
Jurnal Misykat, vol 2, no 1, hh. 61.

Ansori, I. 2017. 'Tafsir Al-Qur'an dengan As Sunnah', Jurnal Kalam, vol. 11, no. 2, hh. 523-544.

Rokim, S. 2020. 'Tafsir Sahabat Nabi:Antara Dirayah Dan Riwayah', Jurnal Ilmu Al Qur'an Dan
Tafsir , vol. 5, no. 01, hh. 91.

Rosalinda. 2019. Tafsir Tahlili: Sebuah Metode Penafsiran Al-Quran. Jurnal Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Hidayati, Husnul. 2018. Metodologi Tafsir Kontekstual Al-Azhar Karya Buya Hamka. Jurnal
Universitas Islam Negeri Mataram.

Anda mungkin juga menyukai