Jurusan
: Ilmu Politik B
NIM
: 11141120000036
Mata kuliah
Dosen
ULUMUL HADITS II
A. HADIS SHAHIH
1. Pengertian dan syarat-syarat hadits shahih
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih ialah hadis yang sanadnya
bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi
dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak muallal (terkena illat).1
Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu Hadis yang
bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah
pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat.2 Dengan
demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk
dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya, b. Perawi-perawinya
adil, c. Perawi-perawinya dhabit, d. Yang diriwayatkan tidak syaz, e. Yang
diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya).
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam
melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a. Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b. Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang
terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c. Hadis shahih bukan hadis yang terkena illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang
mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya
terhindar dari illat.
d. Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat.3
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu Wamusthalahatuhu (Beirut: Dar al-Fikr,
1975), h. 304
2
Ibid., h. 305
3
Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu (Beirut; Dar alIlm, 1988), h. 145-146
1|Page
:
:
:
. :
:
. :
:
:
.
(Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah di atas, adalah salah satu hadis shahih
yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat).
2|Page
b. Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna
syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang
sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat
keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain. Berikut contoh hadis shahih
li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
:
.
:
3|Page
asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafii dari Imam Malik dari Nafi
dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).4
B. HADIS HASAN
1. Pengertian Hadis Hasan
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil
namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz
dan illat.5 Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang
sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis asan.6
Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis
mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih
li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi.7
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang
memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau
sebagiannya, kurang kedhabitannya dibanding dengan perawi hadis shahih.8
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas, para
ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih,
Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau
lebih rendah dari perawi hadis shahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria
sebagai berikut:
a. Sanad hadis harus bersambung.
b. Perawinya adil
c. Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari
yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d. Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e. Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)9
4
4|Page
:
:
)( .
Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk
orang-orang terpercaya kecuali Mabad al-Juhany menurut
adz-Zahaby,Mabad
5|Page
.
" :
"
)( . :
. :
Diriwayatkan
oleh
at-Tirmidzi
dari
jalur
Syubah
dari
ashim
bin
Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabiah, dari ayahnya bahwasanya seorang
wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Kemudian atTirmidzi berkata,pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari Umar, Abi
Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.Jalur Ashim didhaifkan karena buruk hafalannya,
kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.12
Hadis dhaif dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua
ketentuan,yaitu:
a. hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat
bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari
padanya.
b. bahwa sebab kedhaifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya
sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal.
Jadi hadis dhaif yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah
hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis
munkar, hadis matruk betapapun syahid dan muttabi kedudukannya tetap saja dhaif,
tidak bisa berubah menjadi hasan.
C. HADIS DHAIF
1. Pengertian dan Pembagian Hadis Dhaif
Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dhaif ada dua macam, yaitu
lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dhaif maknawiyah.
Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang di dalamnya tidak didapati syarat hadis
shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.13
Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis
dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
12
13
Ibid., h. 129.
6|Page
"
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik
padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya
setelah tabiin, seperti bila seorang tabiin mengatakan,Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda begini atau berbuat seperti ini.15 Contoh hadits ini adalah:
14
Ibrahim Abdul Fattah, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif (Kairo: Dar Thibaah alMuhammadiyah, 1992), h. 6.
15
Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadis, h. 134.
7|Page
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang
menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
3) Hadis Munqathi'
Hadis munqathi menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai hadis
yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi. Sedangkan menurut para ulama
hadis mutaakhkhirin adalah suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang perawi
atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut.16
Contoh hadits ini adalah;
Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman
bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis
dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang
sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang
munqthi.
4) Hadis Mu'dhal
Hadis mudhal menurut istilah adalah hadis yang gugur pada sanadnya dua
atau lebih secara berurutan.17
Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qanaby dari Malik
bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, rasulullah bersabda,
"
Al-Hakim berkata hadis ini mudhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa,
Letak ke-muadalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu
Muhammad bin Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan.18
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi di atasnya. Tadlis
sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
16
Ibid., h. 138.
Ibid., h. 136-137
18
Ibid.,
17
8|Page
a. Tadlis Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang
semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar
hadis tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia
mendengar langsung hadis tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak
termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis qathi, apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan
meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan telah
berkata kepadaku, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan al-Amasi . . .
umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi
secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan
tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
c. Tadlis Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal Dan). Yaitu bila perawi
menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan
guru lain padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah, apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan
gurunya karena dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh
orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis
taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan
yang keterlaluan.
e. Tadlis Syuyukh yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat
yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang
berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya.
Contoh: Seseorang mengatakan: Orang yang sangat alim dan teguh pendirian
bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafalannya berkata kepadaku.
f. Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama
tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu
tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan
tadlis suyukh, adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat
yang belum dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak
guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan
hadis darinya dan lain sebagainya.
B. Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya
Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan keadalahan perawi ada
lima, dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.
9|Page
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang
pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka
berdusta.20 Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan oleh
Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.
...
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap
hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang
menyalahi orang kepercayaan.21 perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan
seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan
dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga
bisa terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul
19
20
262.
21
Ibid., h. 264.
10 | P a g e
a. Majhul 'aini: hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya
hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn
Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al
Kindi
.
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn
'utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b. Majhul hali: diketahui lebih dari satu orang namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.
contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
.
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5) Hadis Mubham
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam
rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan.22 Contohnya adalah hadis Hujaj
ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang bertentangan dengan hadis lain yang riwayatnya
lebih kuat.23
7) Hadis Maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar balikkan
(mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan
mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
8) Hadis Mudraj
Secara terminologis hadits mudraj ialah yang di dalamnya terdapat sisipan atau
tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi
terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal
matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.
22
23
Ibid., h. 300.
Ibid., h. 268.
11 | P a g e
9) Hadis Mushahaf
Hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah.
Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis
menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if
antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis
dan juga Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits
D. HADIS MAUDHU
1. Pengertian Hadis Maudhu
Maudhu menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut
istilah adalah sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada
rasulullah secara dusta.24
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya.
Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan maudhu.
Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.25
Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu dinamakan
juga hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.26
24
12 | P a g e
c. Menurut jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib.27
kemudian,
manakala
diperlukan,
dijelaskan
kualitas
hadis
yang
2. Metode Takhrij
Takhrij suatu metode untuk menentukan kehujjahan hadits serta unsur-unsurnya.
Yang terbagi menjadi tiga, yaitu :
A. Takhrij Naql.
Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran, penukilan dan
pengambilan hadits dari beberapa kitab/diwan hadits (mashadir al-asliyah), sehingga
dapat diidentifikasi hadits-hadits tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan
sanadnya masing-masing. Pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh
27
13 | P a g e
para ahli hadits, diantaranya yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud al-Thahhan yang
menyebutkan lima teknik dalam menggunakan metode takhrij Naql diantaranya:
1) Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits
2) Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits
3) Takhrij dengan mengetahui lafadz matan hadits yang kurang dikenal
4) Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits
5) Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits
Dalam hal ini dapat diringkas metode tersebut menjadi empat, karena metode
yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud al-Thahhan, dari lima metode tersebut salah satu
metodenya telah dibahas oleh metode sebelumnya.
1) Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits
Metode ini hanya digunakan bilamana nama sahabat itu tercantum pada hadits
yang akan ditakhrij apabila nama sahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan
tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya , maka sudah barang tentu metode ini
tidak dapat dipakai. Apabila nama sahabat itu tercantum dalam hadits tersebut atau tidak
tercantum. Masih dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dapat digunakan tiga
macam kitab, yaitu kitab-kitab musnad, mujam dan athraf.
2) Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits
Metode ini hanya menggunakan satu kitab penunjuk saja, yaitu Al-Mujam alMufarhas li alfazh al-Hadits al-Nabawi. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis
barat yang bernama Dr.A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad Abd al-Baqi. Kitab-kitab
yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya: Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-NasaI,
SSunan ibn Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi. Yang mana
masingmasing mempunyai kode tersendiri.
3) Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits
Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli
dalam hadits. Orang yang awam akan hadits akan sulit menggunakan metode ini, karena
yang dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadits
yang akan ditakhrijkan. Baru kita membuka kitab yang mengandung tema tersebut.
Adapun kitab-kitab yang akan digunakan dalam metode ini adalah kitab-kitab yang
disusun secara tematis.
14 | P a g e
B. Takhrij Tashhih
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama di atas. Tashhih dalam arti
menganalisis keshahihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan
kaidah. Kegiatan tashhih dengan menggunakan kitab Ulum al-Hadits yang berkaitan
dengan Rijal, Jarh wa al-Tadil, maan al-Hadits Gharib al- Hadits. Kegiatan ini
dilakukan oleh Mudawin ( kolektor ) sejak Nabi Muhammad saw. Sampai abad 3 H.
Dan dilakukan oleh para Syarih (komentator) sejak abad 4 H. sampai sekarang.
C. Takhrij Itibar
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas. Itibar berarti
mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur, baik kitab yang asli, kitab syarah
15 | P a g e
dan kitab fan yang memuat dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang
perlu ditempuh dalam studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
1) Dilihat, apakah hadits tersebut benar-benar sebagai hadits.
2) Memperhatikan unsur hadits seperti : sanad, matan dan perawi.
3) Termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawi, matan dan sanadnya.
4) Bagaimana kualitas hadits tersebut.
5) Bila hadits itu maqbul, bagaimana taamulnya , apakah mamul bih (dapat
diamalkan) atau ghoir maul bih.
6) Teks hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
7) Memahami asbab wurud hadits.
8) Apa isi kandungan hadits tersebut.
9) Menganalisis problematika.
kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan
atau kedhabitan perawi
Lawan dari kata al-jarh adalah at-tadil. Kata at-tadil adalah bentuk masdar dari
kata
yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh
seseorang. Artinya, membersihkan dan mensucikan perawi dan menetapkan bahwa ia
adil dan dhabit.
Ajjaj al-Khatib, seorang ahli hadits kontemporer dari suriah mengatakan, bahwa
at-tadil adalah orang yang tidak tampak padanya sifat-sifat yang dapat merusak agama
dan perangainya, sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima sebagai suatu
kebenaran.32
Hasbi Ash Shiddieqy mendefenisikannya, sebagai berikut:
30
260.
17 | P a g e
mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya
adi, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.
Adilnya rawi terlihat pada pengamalan dan ketekunannya dalam menunaikan
ajaran agama, terhindar dari perbuatan terlarang dan keji, memprioritaskan kebenaran
serta memelihara ucapannya dari hal-hal yang merusakkan agama dan kepribadiannya.
Atas dasar tersebut, maka ilmu al-jarh wa at-tadil bisa diartikan sebagai ilmu
yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang
pentadilannya (memandang lurus perangai) para perawi dengan memakai kata-kata
yang khusus untuk menerima atau menolak riwayat mereka.33 Ali Mustafa Yaqub
mendefinisikannya dengan ilmu yang mengupas karakteristik masing-masing rawi,
apakah ia seorang yang bertaqwa, jujur, kuat ingatannya, dan sebagainya, atau ia
seorang yang suka berbuat maksiat, pelupa, pendusta, dan sebagainya.
Abd al-Maujuf mendefenisikan ilmu al-jarh wa at-tadil adalah ilmu yang
menerangkan tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang
pentadilannya (memandang adil para perawi dengan memakai kata-kata yang khusus
dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.34
Dengan demikian, maka ilmu al-jarh wa at-tadil adalah ilmu yang membahas
hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan
demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Al-Ghazali dan an-Nawawi, sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy
mengatakan, bahwa tajrih termasuk kategori umpat yang dibolehkan untuk tujuan
kemaslahatan. Mengumpat orang (tajrih) dibolehkan baik dia masih hidup ataupun
sudah meninggal karena ada kepentingan agama yang harus dicapai dengan mengumpat
itu.35
Mengumpat (tajrih) yang dibolehkan ada enam macam, yaitu:
a. Karena teraniaya. Boleh bagi seseorang yang teraniaya mengatakan kepada hakim
bahwa dia telah dizalimi oleh seseorang dengan tindakannya begini-begini.
b. Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran. Seseorang boleh mengatakan
kepada penguasa atau kepada yang dapat membasmi kemungkaran bahwa seseorang
telah berbuat jahat, maka tegurlah dia.
33
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1998), h. 155.
34
Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-tadil (Kairo: Dar al-Salafiyah, 1988), h. 17.
35
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 155.
18 | P a g e
c. Untuk meminta Fatwa. Seorang mustafti boleh mengatakan kepada seorang mufti
bahwa ia telah dizalimi. Maka dia boleh menceritakan bagaimana jalan melepaskan
diri dan kezaliman itu.
d. Untuk menghidarkan manusia dari kejahatan orang yang jahat. Dalam hal ini,
mencela diri saksi di depan hakim atau mencela para perawi hadits yang memang
patut dicela. Tindakan ini boleh hukumnya dengan ijma ulama, bahkan ada yang
mengatakan hukumnya wajib.
e. Orang yang dijarah itu orang yang terang-terangan berbuat bidah, maka boleh
disebut secara terang-terangan bidah yang dianut dan maksiat-maksiat yang
dilakukannya.
f. Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Apabila seseorang terkenal dengan
suatu sifat yang menunjuk kepada suatu keaiban, seperti si tuli, maka kita boleh
mengatakan si A yang tuli dengan maksud menerangkan keadaan orang itu dan
bukan dengan maksud menjelekkannya.36
Ibid., h. 329-330.
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis wa Musthalahuh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 109.
19 | P a g e
38
Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h. 195-196.
20 | P a g e
39
Ibid., h. 196.
21 | P a g e
orang yang menjadi pangkalnya dusta), hawa ruknu al-kadzbi (dia orang yang
menjadi penopang dusta).40
40
Ibid., h. 195-196.
Ibid., h. 197-198.
42
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1997), h. 117.
43
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 30.
44
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 201.
41
22 | P a g e
Ilmu Rijal Al Hadits merupakan jenis ilmu hadis yang sangat penting. Karena
ilmu hadits mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Rijal (tokoh-tokoh) yang
membentuk sanad merupakan para perawinya.45
Perbedaan antara ilmu rijal al-hadits dengan ilmu sejarah perawi (tarikh rijal),
ilmu thabaqhat dan ilmu jarh wa tadil, yaitu:
a. Ilmu sejarah perawi ialah ilmu yang membahas tentang hari kelahiran dan wafat
perawi. Dengan ilmu ini, kita dapat menetapkan kemustahilan (kesinambungan)
sanadnya atau kemuqhatiannya (terputus). Seorang perawi yang mengaku
mendengar hadits dari seorang, tidak dapat kita tolak pengakuannya, terkecuali kalau
kita mengetahui hari lahirnya ketika orang yang sebelum wafat.
b. Ilmu thabaqat ialah yang membahas tentang orang-orang yang berserikat dalam suatu
urusan (orang orang yang semasa dan sekerja). Faedah mengetahui ilmu ini ialah
dapat membedakan antara orang-orang yang senama dan tidaklah disangka pada
yang lain, hal ini diketahui dengan jalan umur dan pengambilan (sama-sama berguru
pada seorang guru).
c. Ilmu jarh wa tadil ialah ilmu yang dengannya dapat diketahui siapa yang diterima
dan ditolak dari perawi-perawi hadits.46
Muhammad Ajaj Al-Khatib, Ushul Al Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ), h. 227.
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 201.
47
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1997), h. 117-118.
46
23 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ajjaj al-Khatib. Ushul Hadis Ulumuhu Wamusthalahatuhu. Beirut: Dar alFikr, 1975.
Subhi Shalih. Ulumul Hadis Wamustalahatuhu. Beirut; Dar alIlm, 1988.
48
Muhammad Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ), h. 227.
24 | P a g e
25 | P a g e