Anda di halaman 1dari 25

Nama

: Igman Yuda Pratama

Jurusan

: Ilmu Politik B

NIM

: 11141120000036

Mata kuliah

: al-quran dan hadist

Dosen

: Alai Nadjib, MA.

ULUMUL HADITS II
A. HADIS SHAHIH
1. Pengertian dan syarat-syarat hadits shahih
Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih ialah hadis yang sanadnya
bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi
dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak muallal (terkena illat).1
Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu Hadis yang
bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah
pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat.2 Dengan
demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk
dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya, b. Perawi-perawinya
adil, c. Perawi-perawinya dhabit, d. Yang diriwayatkan tidak syaz, e. Yang
diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya).
Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam
melihat keshahihan sebuah hadis, yaitu:
a. Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b. Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang
terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c. Hadis shahih bukan hadis yang terkena illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang
mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya
terhindar dari illat.
d. Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat.3

Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu Wamusthalahatuhu (Beirut: Dar al-Fikr,
1975), h. 304
2
Ibid., h. 305
3
Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu (Beirut; Dar alIlm, 1988), h. 145-146

1|Page

Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang


hadis shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya
perbedaan dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah hadis
dikatakan shahih, jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil)
sampai ke rasulullah saw. dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya
unsur syaz maupun muallal (terkena illat).
Dengan demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi, mudal dan
muallaq dan sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis
shahih. Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat
maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisin
tentang hadis shahih di atas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis
shahih, namun dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak sama,
misalnya dalam hal persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan bersambung sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan periwayat thabaqah
berikutnya harus betul-betul serah terima hadis, peristiwa serah terima ini dapat
dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan sebab tidaklah menjamin bahwa
proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara langsung.

2. Pembagian Hadis Shahih


Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a. Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat
hadis maqbul secara sempurna, dinamakan shahih li Dzatihi karena telah memenuhi
semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada
puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya. Untuk lebih
jelasnya, berikut contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:


:

:
:
. :
:
. :



:
:
.
(Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah di atas, adalah salah satu hadis shahih
yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat).
2|Page

b. Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna
syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang
sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat
keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain. Berikut contoh hadis shahih
li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :





:
.


:

Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi


sebagaimana dijelaskan di atas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin
Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga
hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut
didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Araj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li
dzatihi).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada
kedhabitan dan keadilan para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi,
makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya yang diistilah oleh
para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib
mengemukakan, bahwa di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai
ashahhul asanid, ada yang mengatakan:
a. Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
b. Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-Amasy dari
Ibrahim an-Nakhaiy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Masud.
c. Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam
Malik ibn Anas dari Nafi maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafii
merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan
Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam
Syafii, maka sebagian ulama mutaakhirin cenderung menilai bahwa ashahhul

3|Page

asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafii dari Imam Malik dari Nafi
dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).4

B. HADIS HASAN
1. Pengertian Hadis Hasan
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil
namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz
dan illat.5 Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang
sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis asan.6
Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis
mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi
sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih
li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi.7
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang
memenuhi syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau
sebagiannya, kurang kedhabitannya dibanding dengan perawi hadis shahih.8
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas, para
ulama hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih,
Hanya saja pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau
lebih rendah dari perawi hadis shahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria
sebagai berikut:
a. Sanad hadis harus bersambung.
b. Perawinya adil
c. Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari
yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d. Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e. Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)9
4

Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu Wamusthalahatuhu, h. 307


Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, h. 156.
6
Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdol
Abdurrahman dalam judul Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 121.
7
Mahmud Thahhan, Musthalah al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 38.
8
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu Wamusthalahatuhu, h. 332.
5

4|Page

2. Pembagian Hadis Hasan


Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hadis hasan li dzatihi
Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria
hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk
mengangkatnya ke derajat hasan.
b. Hadis hasan li ghairihi
Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dhaif apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih
dari satu), dan sebab-sebab kedhaifannya bukan karena perawinya fasik atau
pendusta.10
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dhaif,
yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas
hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus
dhaif.
Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn
Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn
Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad
shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.11
Contoh hadis hasan:





:








:





)( .


Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk
orang-orang terpercaya kecuali Mabad al-Juhany menurut

adz-Zahaby,Mabad

termasuk orang yang kurang ke-adilan-nya.


Contoh hadis shahih li ghairihi:
9

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,(T.tp.: Mutiara sumber Widya, 2001), h. 230.


Ibid., h. 230
11
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul Hadis Ulumuhu Wamusthalahatuhu, h. 334.
10

5|Page


.



" :
"
)( . :
. :
Diriwayatkan

oleh

at-Tirmidzi

dari

jalur

Syubah

dari

ashim

bin

Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabiah, dari ayahnya bahwasanya seorang
wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Kemudian atTirmidzi berkata,pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari Umar, Abi
Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.Jalur Ashim didhaifkan karena buruk hafalannya,
kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang lain.12
Hadis dhaif dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua
ketentuan,yaitu:
a. hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat
bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari
padanya.
b. bahwa sebab kedhaifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya
sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal.
Jadi hadis dhaif yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah
hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis
munkar, hadis matruk betapapun syahid dan muttabi kedudukannya tetap saja dhaif,
tidak bisa berubah menjadi hasan.

C. HADIS DHAIF
1. Pengertian dan Pembagian Hadis Dhaif
Dhaif menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dhaif ada dua macam, yaitu
lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dhaif maknawiyah.
Hadis dhaif menurut istilah adalah hadis yang di dalamnya tidak didapati syarat hadis
shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.13
Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis
dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.
12

Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadis, h. 124.

13

Ibid., h. 129.

6|Page

An-Nawawi mendefinisikannya dengan:


hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis
hasan14
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul,
atau dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi di dalamnya syarat-syarat hadis
maqbul
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat
dibagi kepada dua bahagian, Pertama: Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat
bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.
A. Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis
ini di bagi lagi menjadi :
1) Hadis Muallaq
Hadis muallaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih
rawi baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari:

"
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik

padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,


Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya
setelah tabiin, seperti bila seorang tabiin mengatakan,Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda begini atau berbuat seperti ini.15 Contoh hadits ini adalah:

14

Ibrahim Abdul Fattah, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif (Kairo: Dar Thibaah alMuhammadiyah, 1992), h. 6.
15
Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadis, h. 134.

7|Page

Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang
menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
3) Hadis Munqathi'
Hadis munqathi menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai hadis
yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi. Sedangkan menurut para ulama
hadis mutaakhkhirin adalah suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang perawi
atau beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut.16
Contoh hadits ini adalah;



Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman
bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis
dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang
sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang
munqthi.
4) Hadis Mu'dhal
Hadis mudhal menurut istilah adalah hadis yang gugur pada sanadnya dua
atau lebih secara berurutan.17
Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qanaby dari Malik
bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, rasulullah bersabda,

"
Al-Hakim berkata hadis ini mudhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa,
Letak ke-muadalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu
Muhammad bin Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan.18
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi di atasnya. Tadlis
sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
16

Ibid., h. 138.
Ibid., h. 136-137
18
Ibid.,
17

8|Page

a. Tadlis Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang
semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar
hadis tersebut langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia
mendengar langsung hadis tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak
termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis qathi, apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan
meringkas menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan telah
berkata kepadaku, kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan al-Amasi . . .
umpamanya. Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi
secara langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan
tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
c. Tadlis Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal Dan). Yaitu bila perawi
menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan
guru lain padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah, apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan
gurunya karena dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh
orang-orang yang terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis
taswiyah merupakan jenis tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan
yang keterlaluan.
e. Tadlis Syuyukh yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat
yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang
berbeda dengan yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya.
Contoh: Seseorang mengatakan: Orang yang sangat alim dan teguh pendirian
bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafalannya berkata kepadaku.
f. Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama
tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu
tempat di pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan
tadlis suyukh, adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat
yang belum dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak
guru atau karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan
hadis darinya dan lain sebagainya.
B. Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya
Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan keadalahan perawi ada
lima, dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.
9|Page

Adapun yang berkaitan dengan keadalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan, c)


berdusta, d) Fasik, e) bidah, f) al-Jahalah (ketidakjelasan). Adapun yang berkaitan
dengan keadalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat buruk, b) Buruk hafalan, c)
Kelalaian, d) Banyaknya waham, e) menyelisihi para perawi yang tsiqah.
Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab di atas:
1) Hadis Maudhu'
Hadis maudhu adalah hadis kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak
mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalah khabar yang di buat oleh
pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor
kepentingan.19 Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang
diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:


Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang
pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka
berdusta.20 Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan oleh
Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.

...
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap
hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang
menyalahi orang kepercayaan.21 perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan
seorang dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan
dengan riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga
bisa terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul
19
20

Subhi Shalih, Ulumul Hadis Wamustalahatuhu, h. 263.


Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), h.

262.
21

Ibid., h. 264.

10 | P a g e

a. Majhul 'aini: hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya
hadis yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn
Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al
Kindi

.
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn
'utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b. Majhul hali: diketahui lebih dari satu orang namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.
contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.

.
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5) Hadis Mubham
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam
rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan.22 Contohnya adalah hadis Hujaj
ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.


6) Hadis Syadz
Hadis syadz yaitu hadis yang bertentangan dengan hadis lain yang riwayatnya
lebih kuat.23
7) Hadis Maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar balikkan
(mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan
mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya didahulukan.
8) Hadis Mudraj
Secara terminologis hadits mudraj ialah yang di dalamnya terdapat sisipan atau
tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi
terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal
matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.

22
23

Ibid., h. 300.
Ibid., h. 268.

11 | P a g e

9) Hadis Mushahaf
Hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah.
Perubahan ini juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis
menjadi jauh berbeda dari makna dan maksud semula.
Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if
antara lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis
dan juga Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits

D. HADIS MAUDHU
1. Pengertian Hadis Maudhu
Maudhu menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut
istilah adalah sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada
rasulullah secara dusta.24
Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya.
Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan maudhu.
Maka maudhu menjadii satu bagian tersendiri.25
Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu dinamakan
juga hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.26

2. Sejarah Munculnya Hadis Maudhu


Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis,
berikut pendapat mereka:
a. Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudhu terjadi sejak masa rasulullah masih
hidup.
b. Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan
masalah keduniaan yang terjadi pada masa rasulullah saw.

24

Ibrahim Abdul Fattah, Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif, h. 119.


Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits Fi Ulum al-Hadis, h. 145.
26
Hasby as-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, h. 361.
25

12 | P a g e

c. Menurut jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib.27

ILMU TAKHRIJ HADITS


1. Pengertian Takhrij Hadits
Secara etimologi, kata takhrij berasal dari fiil madli kharaja yang berarti
mengeluarkan. Kata tersebut merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj yang
berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Dengan demikian takhrij hadis berarti
mengeluarkan hadis dari sumbernya.
Sedangkan secata terminology takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada
sumber-sumber aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan
sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.28
Sedangkan menurut Al-Thahhan, setelah menyebutkan beberapa macam
pengertian takhrij di kalangan ulama hadis, menyimpulkan bahwa: takhrij hadis adalah
menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber-sumbernya yang asli
yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya masingmasing,

kemudian,

manakala

diperlukan,

dijelaskan

kualitas

hadis

yang

bersangkutan.dari definisi tersebut terlihat bahwa hakikat dari takhrij al-hadis


adalah:penelusuran atau pencarian sumbernya yang asli yang di dalamnya dikemukakan
secara lengkap matan dan sanad-nya.29

2. Metode Takhrij
Takhrij suatu metode untuk menentukan kehujjahan hadits serta unsur-unsurnya.
Yang terbagi menjadi tiga, yaitu :
A. Takhrij Naql.
Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran, penukilan dan
pengambilan hadits dari beberapa kitab/diwan hadits (mashadir al-asliyah), sehingga
dapat diidentifikasi hadits-hadits tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan
sanadnya masing-masing. Pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh
27

Mudassir, Ilmu Hadis (Bandung: T.pn., 2007), h. 172.


Mahmud Al-Tahhan, Usul al-Takhrij Wa Dirasat al-Isanid, (Beirut: Dar al-Quran al-Karim,
1978), h. 9.
29
Nawir Yuslem, Kitab Induk Hadis (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2011), h. 152.
28

13 | P a g e

para ahli hadits, diantaranya yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud al-Thahhan yang
menyebutkan lima teknik dalam menggunakan metode takhrij Naql diantaranya:
1) Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits
2) Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits
3) Takhrij dengan mengetahui lafadz matan hadits yang kurang dikenal
4) Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits
5) Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits
Dalam hal ini dapat diringkas metode tersebut menjadi empat, karena metode
yang dikemukakan oleh Dr. Mahmud al-Thahhan, dari lima metode tersebut salah satu
metodenya telah dibahas oleh metode sebelumnya.
1) Takhrij dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits
Metode ini hanya digunakan bilamana nama sahabat itu tercantum pada hadits
yang akan ditakhrij apabila nama sahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan
tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya , maka sudah barang tentu metode ini
tidak dapat dipakai. Apabila nama sahabat itu tercantum dalam hadits tersebut atau tidak
tercantum. Masih dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dapat digunakan tiga
macam kitab, yaitu kitab-kitab musnad, mujam dan athraf.
2) Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits
Metode ini hanya menggunakan satu kitab penunjuk saja, yaitu Al-Mujam alMufarhas li alfazh al-Hadits al-Nabawi. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis
barat yang bernama Dr.A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad Abd al-Baqi. Kitab-kitab
yang jadi rujukan dari kitab ini adalah kitab yang Sembilan, diantaranya: Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan an-NasaI,
SSunan ibn Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi. Yang mana
masingmasing mempunyai kode tersendiri.
3) Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits
Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli
dalam hadits. Orang yang awam akan hadits akan sulit menggunakan metode ini, karena
yang dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadits
yang akan ditakhrijkan. Baru kita membuka kitab yang mengandung tema tersebut.
Adapun kitab-kitab yang akan digunakan dalam metode ini adalah kitab-kitab yang
disusun secara tematis.
14 | P a g e

4) Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits


Yang dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan dan
sifat hadits baik yang ada pada matan maupun sanadnya. Pertama yang harus
diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan kemudian yang ada pada sanad
lalu kemudian yang ada pada keduanya.
a) Dari segi matan : apabila pada hadits itu tampak ada tanda-tanda kemaudhuan, maka
cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadits itu adalah mencari dalam kitabkitab yang mengumpulkan hadits maudhu. Dalam kitab ini ada yang disususn dalam
alfabetis antara lain kitab al-mashnu al-hadits al-maudhuli al syaikh al qori al
syariah. Dan ada yang secara matematis antara lain kitab tanzih al-syariah almarfuah al-ahadits al-syafiah al-maudhu li al kanani.
b) Dari segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadits ada ciri tertentu, misalnya isnad
hadits itu mursal, maka hadits itu dapat dicari dalm kitab-kitab yang mengumpulkan
hadits-hadits mursal atau ada seorang perawi yang lemah sanadnya, maka dapat dicari
dalam kitab mizan al-Itidal li al- dzahahi.
Dari segi matan dan sanad ada beberapa sifat dan keadaan yang kadang-kadang
terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits
semacam itu dapat di cari dalam kitab : ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi dan AlMustafad min Mubhamat al- matn wa al- isnad li abi Zarah Ahmad Ibn al- Rahim alIraqi.

B. Takhrij Tashhih
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama di atas. Tashhih dalam arti
menganalisis keshahihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan
kaidah. Kegiatan tashhih dengan menggunakan kitab Ulum al-Hadits yang berkaitan
dengan Rijal, Jarh wa al-Tadil, maan al-Hadits Gharib al- Hadits. Kegiatan ini
dilakukan oleh Mudawin ( kolektor ) sejak Nabi Muhammad saw. Sampai abad 3 H.
Dan dilakukan oleh para Syarih (komentator) sejak abad 4 H. sampai sekarang.

C. Takhrij Itibar
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang kedua di atas. Itibar berarti
mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur, baik kitab yang asli, kitab syarah
15 | P a g e

dan kitab fan yang memuat dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang
perlu ditempuh dalam studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
1) Dilihat, apakah hadits tersebut benar-benar sebagai hadits.
2) Memperhatikan unsur hadits seperti : sanad, matan dan perawi.
3) Termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawi, matan dan sanadnya.
4) Bagaimana kualitas hadits tersebut.
5) Bila hadits itu maqbul, bagaimana taamulnya , apakah mamul bih (dapat
diamalkan) atau ghoir maul bih.
6) Teks hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
7) Memahami asbab wurud hadits.
8) Apa isi kandungan hadits tersebut.
9) Menganalisis problematika.

3. Tujuan dan Faedah Takhrij Hadits


Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian
serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber
hadist itu berasal. Di samping itu, di dalamnya di temukan banyak kegunaan dan hasil
yang di peroleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Takhrij hadist bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan
lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadist-hadist tersebut. Dengan cara
ini, kita akan mengetahui hadist-hadist yang pengutipannya memerhatikan kaidahkaidah ulumul hadist yang berlaku sehingga hadist tersebut menjadi jelas, baik asal-usul
maupun kualitasnya.
Adapun faedah takhrij hadis antara lain :
a. Dapat di ketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadist yang sedang
menjadi topic kajian.
b. Dapat di ketahui kuat tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat.
Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan tidak
bertambah.
c. Dapat di temukan status hadist shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih,
atau hasan li ghairih. Demikian juga akan dapat di ketahui istilah hadist mutawatir,
masyhur, aziz, dan gharibnya.
d. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui
bahwa hadist tersebut adalah makbul (dapat di terima). Sebaliknya, orang tidak akan
16 | P a g e

mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadist tersebut tidak dapat diterima


(mardud).
e. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadist adalah benar benar berasal dari
Rasulullah SAW. Yang harus di ikuti karena adanya bukti bukti yang kuat tentang
kebenaran hadist tersebut, baik dari segi sanad maupun matan
ILMU JARH WA TADIL
1. Pengertian Ilmu Jarh Wa Tadil
Kata al-jarh adalah bentuk isim masdar dari kata
yang
berarti melukai atau luka yang mengalirkan darah.30 Atau memaki, menista, dan
menjelek-jelekan (baik secara berhadapan langsung maupun dari belakang).31
Dalam istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti terlihatnya sifat pribadi periwayat
yang tidak adil, atau sifat buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang
menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Atau sifat seorang
rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Al-jarh dapat pula diartikan
memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan
riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.
Ilmu al-jarh adalah ilmu yang mempelajari cacat para perawi seperti pada
keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadits mendefinisikan al-jarh dengan:





kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan
atau kedhabitan perawi
Lawan dari kata al-jarh adalah at-tadil. Kata at-tadil adalah bentuk masdar dari
kata
yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh
seseorang. Artinya, membersihkan dan mensucikan perawi dan menetapkan bahwa ia
adil dan dhabit.
Ajjaj al-Khatib, seorang ahli hadits kontemporer dari suriah mengatakan, bahwa
at-tadil adalah orang yang tidak tampak padanya sifat-sifat yang dapat merusak agama
dan perangainya, sehingga berita dan kesaksiannya dapat diterima sebagai suatu
kebenaran.32
Hasbi Ash Shiddieqy mendefenisikannya, sebagai berikut:
30

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya, 1989), h. 86.


Louis Maluf, al-munjibfi al-Lughat wa al-Alam (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 86.
32
Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989), h.
31

260.

17 | P a g e






mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya
adi, yang menjadi puncak penerimaan riwayatnya.
Adilnya rawi terlihat pada pengamalan dan ketekunannya dalam menunaikan
ajaran agama, terhindar dari perbuatan terlarang dan keji, memprioritaskan kebenaran
serta memelihara ucapannya dari hal-hal yang merusakkan agama dan kepribadiannya.
Atas dasar tersebut, maka ilmu al-jarh wa at-tadil bisa diartikan sebagai ilmu
yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang
pentadilannya (memandang lurus perangai) para perawi dengan memakai kata-kata
yang khusus untuk menerima atau menolak riwayat mereka.33 Ali Mustafa Yaqub
mendefinisikannya dengan ilmu yang mengupas karakteristik masing-masing rawi,
apakah ia seorang yang bertaqwa, jujur, kuat ingatannya, dan sebagainya, atau ia
seorang yang suka berbuat maksiat, pelupa, pendusta, dan sebagainya.
Abd al-Maujuf mendefenisikan ilmu al-jarh wa at-tadil adalah ilmu yang
menerangkan tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang
pentadilannya (memandang adil para perawi dengan memakai kata-kata yang khusus
dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.34
Dengan demikian, maka ilmu al-jarh wa at-tadil adalah ilmu yang membahas
hal ihwal rawi dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan
demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.
Al-Ghazali dan an-Nawawi, sebagaimana dikutip oleh Hasbi Ash Shiddieqy
mengatakan, bahwa tajrih termasuk kategori umpat yang dibolehkan untuk tujuan
kemaslahatan. Mengumpat orang (tajrih) dibolehkan baik dia masih hidup ataupun
sudah meninggal karena ada kepentingan agama yang harus dicapai dengan mengumpat
itu.35
Mengumpat (tajrih) yang dibolehkan ada enam macam, yaitu:
a. Karena teraniaya. Boleh bagi seseorang yang teraniaya mengatakan kepada hakim
bahwa dia telah dizalimi oleh seseorang dengan tindakannya begini-begini.
b. Meminta pertolongan untuk membasmi kemungkaran. Seseorang boleh mengatakan
kepada penguasa atau kepada yang dapat membasmi kemungkaran bahwa seseorang
telah berbuat jahat, maka tegurlah dia.

33

Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1998), h. 155.
34
Abd al-Maujuf, Al-Jarh wa at-tadil (Kairo: Dar al-Salafiyah, 1988), h. 17.
35
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 155.

18 | P a g e

c. Untuk meminta Fatwa. Seorang mustafti boleh mengatakan kepada seorang mufti
bahwa ia telah dizalimi. Maka dia boleh menceritakan bagaimana jalan melepaskan
diri dan kezaliman itu.
d. Untuk menghidarkan manusia dari kejahatan orang yang jahat. Dalam hal ini,
mencela diri saksi di depan hakim atau mencela para perawi hadits yang memang
patut dicela. Tindakan ini boleh hukumnya dengan ijma ulama, bahkan ada yang
mengatakan hukumnya wajib.
e. Orang yang dijarah itu orang yang terang-terangan berbuat bidah, maka boleh
disebut secara terang-terangan bidah yang dianut dan maksiat-maksiat yang
dilakukannya.
f. Untuk memperkenalkan pribadi yang sebenarnya. Apabila seseorang terkenal dengan
suatu sifat yang menunjuk kepada suatu keaiban, seperti si tuli, maka kita boleh
mengatakan si A yang tuli dengan maksud menerangkan keadaan orang itu dan
bukan dengan maksud menjelekkannya.36

2. Fungsi Ilmu Jarh Wa Al-Tadil


Ilmu jarh wa al-tadil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan
seseorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi
dijarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.
Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain
dipenuhi.37
Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya, biasanya dikategorikan ke dalam lingkup perbuatan: bidah, yakni
melakukan tindakan tercela atau di luar ketentuan syariah; mukhalafah, yakni berbeda
dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni banyak melakukan
kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya
secara jelas dan lengkap; dan dawat al-inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya
tidak bersambung.
Adapun informasi jarh dan tadilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua
jalan yaitu:
a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai
orang yang adil, atau rawi yang mempunyai aib. Bagi yang sudah terkenal di
kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi
36
37

Ibid., h. 329-330.
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis wa Musthalahuh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 109.

19 | P a g e

diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan


kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan pujian atau pentajrihan dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang
adil mentadilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadilannya, maka
telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan
periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang
rawi yang adil telah mentajrihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.

3. Tingkatan Al-Jarh Wa Al-Tadil


Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya al-jarh wa at-tadil telah
membagi jarh dan tadil menjadi empat macam. Masing-masing tingkatan dijelaskan
hukumnya. Lalu para ulama telah menambah lagi dengan dua tingkatan jarh dan tadil,
sehingga menjadi empat tingkatan, yaitu:
1) Tingkatan Tadil Dan Lafadz-Lafadznya
a. Lafadz yang menunjukkan mubalaghah (kelebihan) dalam hal ketsiqahan
(keteguhan), atau lafadz yang mengikuti wazan afala. Contohnya: fulanun ilaihi almuntaha fi at-tatsabbut (si Fulan itu paling tinggi keteguhannya), atau fulanun
atsbata an-nas (si Fulan itu termasuk orang yang paling teguh).
b. Lafadz yang memperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsiqah. Seperti, tsiqatun tsiqah
(orang yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun (orangnya tsiqah dan teguh).
c. Lafadz (ungkapan) yang menunjukan ketsiqahan tanpa ada penguatan. Seperti,
tsiqatun (orangnya tsiqah), atau hujjatun (orangnya ahli argumen).
d. Lafadz yang menunjukan tadil tanpa menampakkan kedlabitan. Seperti, shaduqun
(orangnya jujur), atau yang sama kedudukannya dengan shaduq, atau la basa
(orangnya tidak punya masalah cacat) yang diungkapkan selain oleh Ibnu Main,
karena kata labasa bihi yang ditujukan terhadap rawi dan dikatakan oleh Ibnu Main
mempunyai arti tsiqah.
e. Lafadz yang tidak menunjukkan ketsiqahan atau tidak menunjukkan adanya jarh.
Contohnya, fulanun syaikhun (si Fulan itu seorang syekh/guru), atau ruwiya anhu
an-nas (manusia meriwayatkan dirinya)
f. Lafadz yang mendekati adanya jarh. Seperti, fulanun shalih al-hadis (si Fulan orang
yang hadisnya shalih), yuktabu hadistuhu (orang yang Hadisnya dicatat).38

38

Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h. 195-196.

20 | P a g e

2. Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Ta'dil


a. Untuk tiga tingkatan yang pertama, orang-orangnya dapat dijadikan sebagai hujjah,
meski sebagian dai mereka kekuatannya berbeda dengan sebagian lainnya.
b. Untuk tingkatan keempat dan kelima, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah. Meski demikian, hadisnya bisa dicatat dan diberitakan, walaupun mereka
tergolong tingkatan yang kelima, bukan yang keempat.
c. Untuk tingkatan keenam, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski
demikian hadis-hadis mereka dicatat hanya sebagai pelajaran, bukan sebagai sebuah
berita (hadis yang bisa diriwayatkan), ini karena menonjolnya ketidakdlabitan
mereka.39

3. Tingkatan Jarh Dan Lafadz-Lafadznya


a. Lafadz yang menunjukkan lunak (yaitu yang paling ringan jarhnya). Contohnya,
fulanun layyinun al-hadis (si Fulan hadisnya linak), atau fihi maqalun (di dalamnya
diperbincangkan).
b. Lafadz yang menunjukkan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, atau yang serupa.
Contohnya, fulanun la yuhtajju bihi (si Fulan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah),
atau dlaif (lemah), lahu manakir (dia hadisnya munkar).
c. Lafadz yang menunjukkan tidak bisa ditulis hadisnya, atau yang lainnya. Contohnya,
fulanun la yuktabu haditsuhu (si Fulan hadisnya tidak bisa dicatat), la tahillu
riwayatu anhu (tidak boleh meriwayatkan hadis darinya), dlaif jiddan (amat lemah),
wahn bi marratin (orang yang sering melakukan persangkaan).
d. Lafadz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta, atau yang sejenisnya.
Contohnya, fulanun muhtammun bi al-kadzib (si Fulan orang yang dituduh berbuat
dusta), atau muthammun bi al-wadlI (orang yang dituduh berbuat palsu), atau
yasriqu al-hadis (yang mencuri hadis), atau saqithun (gugur), atau matruk
(ditinggalkan), atau laisa bi tsiqatin (tidak tsiqah).
e. Lafadz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta, atau yang semacamnya.
Contohnya, kadzdzab (pendusta), atau dajjal, atau wadla (pemalsu), atau
yukadzdzibu (didustakan), atau yadlau (pembuat hadis palsu).
f. Lafadz yang menunjukkan adanya mubalaghah (tingkatan yang amat berat) dalam
perbuatan dusta. Dan ini tingkatan yang paling buruk. Contohnya, fulanun akdzabu
an-nas (si Fulan itu orang yang paling pendusta), ilaihi al-muntaha fi al-kadzbi (dia

39

Ibid., h. 196.

21 | P a g e

orang yang menjadi pangkalnya dusta), hawa ruknu al-kadzbi (dia orang yang
menjadi penopang dusta).40

4. Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh


a. Untuk dua tingkatan yang pertama, maka hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orangorang itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Akan tetapi hadis-hadis mereka bisa
ditulis sebagai pelajaran saja, meski mereka itu termasuk kelompok tingkat yang
kedua, bukan yang pertama.
b. Sedangkan yang termasuk empat tingkat terakhir, hadis-hadis mereka tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dijadikan
sebagai pelajaran.41

ILMU RIJAL AL-HADITS


1. Pengertian Ilmu Rijal Al-Hadits
Menurut bahasa, rijal artinya para kaum pria. Sedangkan Ilmu Rijal Al-Hadits
yang dimaksud disini adalah :
a. Menurut Muh. Zuhri dalam bukunya Hadis Nabi menyatakan bahwa ilmu Rijal
Hadits adalah Ilmu yang membicarakan tentang tokoh / orang yang membawa hadis,
semenjak dari Nabi sampai dengan periwayat terakhir ( penulis kitab hadis).42
b. Munzier Suparta menyatakan, Ilmu Rijal Hadis adalah Ilmu untuk mengetahui para
perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi hadits.43
c. Menurut Teungku Muhamad Hasbi Ash-Shiddieqy Ilmu Rijalul Hadits adalah ilmu
yang mempelajari sejarah perawi-perawi hadits yang berpegang pada mazhab itu,
dapat diterima atau tidak tokoh riwayat mereka menerima hadits. Suatu ilmu yang
di dalam itu dibahas tentang keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik
mereka digolongkan sahabat, golongan tabiin dan tabiit tabiin.44
Setelah melihat pengertian Ilmu Rijal Al-Hadits dari tiga pengertian di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa Ilmu Rijal Hadits adalah suatu cabang ilmu dalam ilmu
hadits yang membahas tentang para perawi hadits untuk mengetahui kapasitasnya
sebagai perawi hadits.

40

Ibid., h. 195-196.
Ibid., h. 197-198.
42
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1997), h. 117.
43
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 30.
44
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 201.
41

22 | P a g e

Ilmu Rijal Al Hadits merupakan jenis ilmu hadis yang sangat penting. Karena
ilmu hadits mencakup kajian terhadap sanad dan matan. Rijal (tokoh-tokoh) yang
membentuk sanad merupakan para perawinya.45
Perbedaan antara ilmu rijal al-hadits dengan ilmu sejarah perawi (tarikh rijal),
ilmu thabaqhat dan ilmu jarh wa tadil, yaitu:
a. Ilmu sejarah perawi ialah ilmu yang membahas tentang hari kelahiran dan wafat
perawi. Dengan ilmu ini, kita dapat menetapkan kemustahilan (kesinambungan)
sanadnya atau kemuqhatiannya (terputus). Seorang perawi yang mengaku
mendengar hadits dari seorang, tidak dapat kita tolak pengakuannya, terkecuali kalau
kita mengetahui hari lahirnya ketika orang yang sebelum wafat.
b. Ilmu thabaqat ialah yang membahas tentang orang-orang yang berserikat dalam suatu
urusan (orang orang yang semasa dan sekerja). Faedah mengetahui ilmu ini ialah
dapat membedakan antara orang-orang yang senama dan tidaklah disangka pada
yang lain, hal ini diketahui dengan jalan umur dan pengambilan (sama-sama berguru
pada seorang guru).
c. Ilmu jarh wa tadil ialah ilmu yang dengannya dapat diketahui siapa yang diterima
dan ditolak dari perawi-perawi hadits.46

2. Ruang Lingkup Pembahasan dan Kegunaannya


a. Ruang Lingkup Pembahasan
Hal yang terpenting di dalam Ilmu Rijal Al-Hadtis adalah sejarah kehidupan
para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, ke negeri
mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa
saja mereka memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka menyampaikan hadits.47
Oleh karena itu, mereka (perawi) yang menjadi objek ilmu rijal al hadits. Karena itu
tidak aneh (bila demikian keadaannya) ulama memberikan perhatian yang sangat besar
terhadapnya.
Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi,
madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu
menerima hadits. Jadi yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam ilmu rijal alhadits ini adalah para perawi hadits yang akan diteliti bagaimana kisah hidupnya
sehingga akan membantu dalam melihat tingkatan suatu hadits berdasarkan sanadnya.
45

Muhammad Ajaj Al-Khatib, Ushul Al Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ), h. 227.
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, h. 201.
47
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1997), h. 117-118.
46

23 | P a g e

b. Kegunaan Ilmu Rijal Al-Hadits Beserta Contoh


Sejarah merupakan senjata terbaik yang digunakan oleh ulama dalam
menghadapi para pendusta. Sufywan Al Tsaury mengatakan Sewaktu para perawi
menggunakan kedustaan, maka kami menggunakan sejarah untuk melawan mereka.
Ulama tidak cukup hanya menunjukkan urgensi mengetahui sejarah para perawi,
tetapi mereka sendiri juga mempraktekkan hal itu. Contoh mengenai hal itu sangat
banyak, sampai tak terhitung. Antara lain yang diriwayatkan oleh Ufair ibn Madan Al
Kalayi, katanya Umar ibn Musa datang kepada kami di Himsh. Lalu kami berkumpul
di mesjid. Lalu beliau berkata Telah meriwayatkan kepada kami guru kalian yang
shaleh. Ketika sering mengungkap kata itu, aku bertanya kepadanya Siapa yang anda
maksud guru kami yang shaleh? Sebutlah namanya agar kami bisa mengenalnya. Ia
menjawab Khalid Ibn Madan. Aku bertanya kepadanya Tahun berapa anda bertemu
dengannya?. Ia menjawab Aku bertemu dengannya pada tahun seratus delapan. Aku
bertanya lagi Di mana anda bertemu dengannya?. Ia berkata Aku bertemu di dalam
peperangan Armenia. Lalu aku bertanya kepadanya Bertakwalah kepada Allah, wahai
Syeikh dan jangan berdusta. Khalid ibn Madan wafat tahun seratus empat. Jadi anda
mengaku bertemu dengannya empat tahun sesudah ia meninggal. Aku tambahkan
pula, ia tidak turut serta dalam peperangan ke Armenia. Dia hanya ikut dalam perang
Romawi.48
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang menerima
hadits dari Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat dan
seterusnya. Dan dengan ilmu ini, dapat ditentukan kualitas serta tingkatan suatu hadits
dalam permasalahan sanad hadits.
Jadi dapat diketahui bahwa ilmu rijal hadits berguna untuk mengetahui tentang
para perawi yang ada dalam tingkatan sanad hadits. Dengan mengetahui para perawi itu
akan dapat mencegah terjadinya pemalsuan hadits, penambahan matan hadits, juga
dapat mengetahui tingkatan keshahihan tiap-tiap hadits yang ditemui.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ajjaj al-Khatib. Ushul Hadis Ulumuhu Wamusthalahatuhu. Beirut: Dar alFikr, 1975.
Subhi Shalih. Ulumul Hadis Wamustalahatuhu. Beirut; Dar alIlm, 1988.

48

Muhammad Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998 ), h. 227.

24 | P a g e

Manna Khalil al-Qatthan. Mabahits Fi Ulum al-Hadis. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,


2006.
Mahmud Thahhan. Musthalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Nawir Yuslem. Ulumul Hadis. T.tp.: Mutiara sumber Widya, 2001.
Ibrahim Abdul Fattah. Alqaul al-Hasif Fi Bayani al-hadis ad-Dhaif. Kairo: Dar
Thibaah al-Muhammadiyah, 1992.
Hasby as-Shiddieqy. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1987.
Mahmud, Al-Tahhan. Usul al-Takhrij Wa Dirasat al-Isanid. Beirut: Dar al-Quran alKarim, 1978.
Nawir Yuslem. Kitab Induk Hadis. Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2011.
Abdul Majid Khon. Ulumul Hadits. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009.
Thahhan Mahmud. Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid. Riyadh: Maktabah alMaarif, 1991.
Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1989.
Louis Maluf. al-munjibfi al-Lughat wa al-Alam. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Abd al-Maujuf. Al-Jarh wa at-tadil. Kairo: Dar al-Salafiyah, 1988.
Ajjaj Al-Khathib. Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Beirut: Darul Fikr,
1989.
Hasbi Ash Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1998.
Badri Khaeruman. Ulum Al-Hadis wa Musthalahuhu. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Mahmud Thahan. Ilmu Hadis Praktis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005.
Muh. Zuhri. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1997.
Munzier Suparta. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Muhammad Ajaj Al-Khatib. Ushul Al Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.

25 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai