Anda di halaman 1dari 12

Al-Hakim, Mahkum Fih, Mahkum ‘Alaih

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester III


Mata Kuliah ‘Ushul Fiqh

Disusum oleh :
Ahmad Sakhoyan Ashfari
Alfian Hamdani

Pembimbing :
MUHAMMAD NASIRUDIN, M.Pd

PROGRAM STUDI PERBANKKAN SYARIAH SEKOLAH TINGGI ILMU


EKONOMI SYARI’AH (STIES) BABUSSALAM KALIBENING MOJOAGUNG
JOMBANG
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi rabbil ‘ alamin segalah puji syukur kami haturkan kehadirat


ALLAH SWT. Yang telah memberikan rahmat, hidayah serta pertolongannya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul AL-HAKIM, MAHKUM FIH,
MAHKUM ‘ALAIH. Sholawat serta salam tetep tercurah limpahkan kepada junjungan
kita Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pencerahan kepada kita
semua, yakni berupa ajaran agama islam.

Kami ucapkan terimah kasih kepada bapak MUHAMMAD NASIRUDIN, M.Pd


yang senantiasa mendidik, membimbing dan mengarahkan kami dengan penuh kesabaran.
Bapak dan Ibu serta teman-teman yang ikut berpatisipasi atas terselesaikannya makalah
ini.
Kami pun menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
dikarenakan terbatasnya kemampuan yang kami miliki, maka dari itu demi perbaikan
makalah ini, kami berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Mojokerto, 17 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................i

DAFTAR ISI ..................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................1

A. Latar Belakang .......................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN .............................................................................2

A. Pengertian Al-Hakim...............................................................................2
B. Mahkum Fih............................................................................................3
C. Mahkum ‘Alaih.......................................................................................5

BAB III : PENUTUP .....................................................................................8

A. Kesimpulan .............................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara
menginstinbath (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul setelah fiqh, tetapi
secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan
fiqh. Artinya sebelum orang ulama menetapkan suatu perkara untuk haram, ia telah
mengkaji yang telah menjadi alasan perkara itu diharamkan. Hukum haramnya disebut
fiqh, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia telah
megkaji ushul fiqh terlebih dahulu, sehingga dapat mengethui alasan-alasan ulama
menetapkan suatu hukum fiqh, dan tujuan mempelajari ushul fiqh ini tercapai, yaitu
terhindar dari sifat taqlid atau sifat ikut-ikutan karena buta terhadap dalil al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Gambaran orang yang mengkaji fiqh tanpa usul fiqh adalah seperti orang yang
membaca teks berbahasa arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu sharaf dalam
bahasa Arab. Demikian pentingnya ushul fiqh dan hubungannya dengan fiqh.
Dalam kajian ushul fiqh terdapat sumber-sumber hukum islam yang mencakup
sumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Al-Ra’yu (ijtihad). Dan dalam Hukum syara’
terdapat berbagai aspek yaitu Hakim, Mahkum fiih, dan Mahkum ‘Alaih.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah yang ingin
dicapai yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang disebut Hakim ?
2. Apa yang disebut Mahkum fiih ?
3. Apa yang disebut Mahkum ‘Alaih ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam
istilah fiqhi kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di
pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian Ushul Fiqh. Kata hakim
berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari
hukum syariat adalah Allah. hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur'an dalam surat Al-An‟am
ayat 57:
َّ ۖ ‫ بِ ِۚۦه َما ِعن ِدي َما ت َۡست َۡع ِجلُونَ بِ ۚ ِٓۦه إِ ِن ۡٱلح ُۡك ُم إِاَّل هَّلِل ۖ ِ يَقُصُّ ۡٱل َح‬n‫قُ ۡل إِنِّي َعلَ ٰى بَيِّن َٖة ِّمن َّربِّي َو َك َّذ ۡبتُم‬
‫ق َوهُ َو خ َۡي ُر‬
ِ َ‫ۡٱل ٰف‬
َ‫صلِين‬
Artinya :
Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu
minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.
Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik".

Dan menurut mereka juga, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu ialah
Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para rasulNya.
Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.
Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara’ itulah yang menjadi hakim sesudah
Rosul dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.
Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap
perbuatan mukallaf sebelum rasul dibangkit. Golongan mu’tazillah berpendapat, bahwa
sebelum rasul dibangkit, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia
dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena
sifatnya.
Oleh kerena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal
dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah akan memberikan pahala
kepada para mekallaf yang berbuat baikberdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana
Allah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantara syara’.
Golongan Asy’ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara’ tidak diberi
sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu’tazilah dan
Asy’ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk, yakni yang bersesuaian tabi’at: dipandang baik oleh akal yang tidak bersesuaian
dengan tabi’at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu’tazilah dengan golongan Asy’ariyah ialah
tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada
perbuatan, walaupun syara’ belum menerangkannya, sedang golongan jumhur
berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara’,
kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.
Meskipun ulama ushul sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah SWT, namaun
mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya
dapat diketahui dengan turunnya wahyu, atau akal dapat mengetahui hukum itu dengan
baik.
Dalam hal ini, Abu Husen al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan manusia
kedalam dua kategori:
a) Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal
pikiran.
b) Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum dan
bentuknya.
 Perbuatan kategori ini terdiri dari dua macam, yaitu:
a) Perbuatan dimana hanya dengan syariat dapat diketahui hukum, bentuk, dan
kedudukannya sebagai ibadah bagi pelakunya, seperti ibadah shalat’
b) Perbuatan dengan syariat berperan mengubah, menambah, atau mengurangi
persyaratan-persyaratan yang talah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini, syariat
memodifikasi sesuatu perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan yang bersifat
syar’i.
B. Pengertian Mahkum Fih
Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu
hukum (perbuatan hukum).
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih (
‫ )المحكم فيه‬adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah
syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan
suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukhshah, sah, serta batal.
Jadi, mahkum fih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat
hubungannya atau bersangkutan dengan hukum syara’ agama Islam. Misalnya perbuatan
manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara
lain:
1. Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih, sebab
bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
2. Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum fih,
dan bertalian dengan ketentuan Allah dalam firman-Nya:

‫وما فَقَ ۡد َج َع ۡلنَا لِ َولِيِِّۦه س ُۡل ٰطَ ٗنا فَاَل ي ُۡس ِرف‬ ِّ ۗ ‫س ٱلَّتِي َح َّر َم ٱهَّلل ُ إِاَّل بِ ۡٱل َح‬
ٗ ُ‫ق َو َمن قُتِ َل َم ۡظل‬ َ ‫وا ٱلنَّ ۡف‬
ْ ُ‫َواَل ت َۡقتُل‬
n‫ُورا‬ٗ ‫فِّي ۡٱلقَ ۡت ۖ ِل إِنَّ ۥهُ َكانَ َمنص‬
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim,
maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapat pertolongan.”
3. Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau orang
musafir/dalam prerjalanan jauh, maka masalah itu adalah mahkum fih, bertalian
dengan masalah ibadah.
Dengan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua
perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan
manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’, dan semua itu disebut
Mahkum Fih dalam hukum Islam.
Para kalangan madzab Hanafi yang berpendapat tidak akan terjadi takhlif sebelum
tercapai syarat sahnya takhlif mengemukakan alasan :
a) Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti takhlif tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak dilaksanakan adalah batal.
b) Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal menjadi Gubernur
Yaman beliau berkata:
“Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan aku adalah rasul Allah. Jika mereka telah menerimanya beri tahukan kepada
mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari
semalam. Kalau mereka telah mnerimanya beri tahukan Allah mewajibkan zakat
atas harta kekayaan dari orang yang kaya untuk diserahkan kepada yang miskin
dari mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban shalat dan zakat bergantung
kepada penerimaan terhadap ajakan dan kalau mereka tidak menerima berarti
tidak wajib bagi mereka. Alasan ini dijawab bahwa yang dimaksud menerima
kewajiban shalat dan zakat, tetapi kewajiban menerima iman karena tidak
mungkin menerima kewajiban tanpa menerima iman.
c) Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah memerlukan niat,
sedangkan niat dari orang yang kafir tidak sah kecuali terlebih dahulu beriman.
d) Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang kafir
tidak berhak menerima pahala.
e) Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya mereka
dikenakan hukuman di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan
sholat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat pertama adalah yang terkuat
dalilnya karena didukung oleh dalil Al-Quran yang menunjukkan bahwa orang yang kafir
masih dibebani ibadah. Karena itu, mereka mendapat hukuman tambahan di akhirat yang
berati kebolehan takhlif sekalipun syarat belum tercapai seperti yang dikemukakan oleh
madzab Syafi’i.
Kalau dilihat dari segi pelaksanaan hukuman di dunia, orang yang kafir itu tidak
dituntut hukuman, tetapi hukumannya hanya di akhirat. Keduanya dilihat dari segi
pelaksanaan hukuman dunia dan akhirat hanya berbeda tenntang hukuman akhirat.
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada
pembuatan orang mukallaf. Oleh karena itu, apabila syar’i mewajibkan atau
mensunnahkan suata perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu merupakan
perbuatan yang harus dikerjakan. Demikian juga apabila syar,i mengharamkan atau
memakruhkan sesuatu, maka beban tersebut juga merupakan perbutan yang harus
ditinggalkan.
Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai
tiga syarat sebagai berikut:
a. Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat
mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
b. Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai
kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-hukum
yang dibuatnya,
c. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan,
sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.
Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin
(mustahil) dapat dilakukan, sebagaimana firman Allah SWT :

‫اَل يُ َكلِّفُ ٱهَّلل ُ ن َۡفسًا إِاَّل ُو ۡس َعهَ ۚا لَهَا َما َك َسبَ ۡت َو َعلَ ۡيهَا َما ۡٱكتَ َسبَ ۡ ۗت َربَّنَا اَل تُؤَا ِخ ۡذنَٓا إِن نَّ ِسينَٓا أَ ۡو أَ ۡخطَ ۡأن َۚا َربَّنَا‬
‫ٱعفُ َعنَّا‬ ۡ ‫ص ٗرا َك َما َح َم ۡلتَهۥُ َعلَى ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِن َۚا َربَّنَا َواَل تُ َح ِّم ۡلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا بِ ِۖۦه َو‬
ۡ ِ‫َواَل ت َۡح ِم ۡل َعلَ ۡينَٓا إ‬
َ‫َٓا أَنتَ َم ۡولَ ٰىنَا فَٱنص ُۡرنَا َعلَى ۡٱلقَ ۡو ِم ۡٱل َكفِ ِرين‬nۚ‫ٱغفِ ۡر لَنَا َو ۡٱر َحمۡ ن‬
ٰ ۡ ‫َو‬

Artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
(QS.Al-Baqarah: 286).
Namun demikian, didalam al-Qur’an dan al-Hadits terdapat keterangan yang
menuntut suatu perbuatan diluar kemampuan manusia, seperti berjihat dengan jiwa dan
harta, atau bersabar dan tidak suka marah. Bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan oleh
Allah akan teras berat dan beban bagi manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini.
C. Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-
syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yakni:
a. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui
orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif
(pembebanan),
b. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh para
ulama ushuliyyun dibagi kepada dua macam, yaitu:
a) Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan kewajiban.
Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kanak-
kanan maupun dewasa, sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab
dasar dari kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih
hidup, kepantasan tersebut tetap dimiliknya,
b) Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang untuk dippandang
sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bila mengadakan suatu
perjanjian atau perikatan, tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat
hukum, sehingga masa datangnya aliyatul ada’ menurut syara’ adalah bersamaan
dengan tibanya usia taqlif yang dibatasi dengan aqil dan baligh.
 Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:
a) Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal mencapai
umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum syara’, dan balighnya orang yang
cakap dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
b) Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya
dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang
cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil dianggap
seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan dalam masalah muamallah
dianggap sah jual belinya.
Namun demikian, ada beberapa orang yang sudah dewasa dan pantas untuk
melaksakan hak dan kewajiban tetapi kondisi mereka tidak memungkinkan untuk
melaksanakan semua itu, dikarenakan ada hal-hal yang menghalangi.kondisi tersebut
disebut dengan awaridh ahliyah.
 Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.
Samawiyah adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia.
Halangan samawiyah ada sepuluh macam, yaitu:
1) Keadaan belum dewasa;
2) Sakit gila
3) Kurang akal
4) Keadaan tidur
5) Pingsan
6) Lupa
7) Sakit
8) Menstruasi
9) Nifas
10) Meninggal dunia.
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatann yang diusahakan manusia yang
menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasabiyah itu ada tujuh
macam, yaitu:
1) Boros,
2) Mabuk
3) Bepergian
4) Lalai
5) Bergurau (main-main)
6) Bodoh (tidak mengetahui)
7) Terpaksa (ikrah).
Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguan-gangguan itu terbagi
kepada beberapa jenis antara lain:
a. Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila dan sedang tidur.
b. Kurang ahliyatul ada’ (tidak gugur seluruhnya), seperti manusia makhluk (orang
yang lemah pikirannya) dan juga anak-anak yang mumayiz.
c. Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi ahliyatul ada’, tatpi hanya
mengubah sebagian hukum untuk kemaslahatan.
Maka terhadap poin a dan b diatas, tidak dibenarkan memelihara harta, demi untuk
memelihara hartanya sedangkan ahliyatnya tetap tidak hilang dan tidak pula berkurang.
Dan yang ketiga ahliyatul ada’ nya penuh, hanya tidak dibolehkan mengendalikan
hartyanya karena menjaga haknya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
a. Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam
istilah fiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum dipengadilan yang
sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, hakim juga berarti pihak
penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
b. Abu Husen al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan manusia kedalam dua
kategori:
1) Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan
akal pikiran.
2) Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan
hukum dan bentuknya.
c. Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu
hukum (perbuatan hukum).
d. Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-
syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam,
yakni:
1) Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang
terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun
melalui orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan
untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu
taklif (pembebanan),
2) Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.
e. Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh para
ulama ushuliyyun dibagi kepada dua macam, yaitu, Ahliyatul wujub, Ahliyatul
ada’,
Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:
1) Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal
mencapai umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum syara’, dan
balighnya orang yang cakap dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2) Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau
semisalnya dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif
syara’ bagi anak yang cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti
shalatnya anak kecil dianggap seperti orang yang tidak cakap (gila).
Sedangkan dalam masalah muamallah dianggap sah jual belinya.
f. Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh (metode istinbath dan istidlal). Bandung: Remaja
Rosdakarya. Cet. Kedua.

Umar Muin. Dkk. 1986. ushul fiqh 1. Jakarta: proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan
Tinggi Agama/IAIN.

Umam Khairul. dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Kedua.

Karim Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. cet. Kedua.

Anda mungkin juga menyukai