Anda di halaman 1dari 7

Tahammul wal Ada’ al-Hadits

A. Pengertian Tahammul al-Hadits dan Ada’ al-Hadits


Pengertian Tahammul al-Hadits
Menurut bahasa Tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ً‫تَ َح ُّمال‬-ُ‫يَتَ َح َّمل‬-‫)تَ َح َّم َل‬
yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Para
Ulama mengistilahkan bahwa Tahammul al-Hadits adalah menerima dan mendengar suatu
periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan
hadits.[1]
Tahammul menurut istilah ialah :

ِ ‫ث َواَخَ َذ ع َِن ال َّشي‬


‫ْخ‬ َ ‫ تَلَقِّ ْى ْا‬: ُ‫التَّ َح ُّم ُل َم ْعنَاه‬
ِ ‫لح ِد ْي‬
“Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru”.
Definisi lain dikatakan dalam Ilmu Mustalah Hadits

ِ ْ‫ق ِم ْن طُرُو‬
‫ق التَّ َح ُّم ِل‬ ِ ‫ هُ َواَ ْخ ُذ ْال َح ِد ْي‬: ‫التَّ َح ُّم ُل‬
ِ ‫ث َع ِن ال َّشي‬
ٍ ‫ْخ بِطَ ِر ْي‬
“Tahammul adalah mengambil hadis dari seorang syeikh dengan metode tertentu dari
beberapa metode”.[2]
Pengertian Ada’ al-Hadits
Kata ada’ (‫ )أَدَا ٌء‬berasal dari kata ً‫ أَ َّدى – ي ُْؤ ِدى – تَاْ ِديَة‬yang artiya melaksanakan pekerjaan pada
waktunya, membayar pada waktunya, atau menyampaikan kepadanya. Misalnya,
melaksanakan shalat, zakat, dan puasa pada waktunya, sedangkan jika melaksanakan di luar
waktuny itu disebut qada’. Para ulama mengistilahkan menyampaikan atau meriwayatkan
hadits kepada orang lain dengan istilah al-ada’.[3]
Secara terminologi ada’ adalah :

َ ْ‫صيَ ٍغ َم ْخصُو‬
‫ص ٍة‬ ِ ‫ِر َوايَةٌ ال َح ِد ْي‬
ِ ِ‫ث َوتَ ْبلِ ْي ُغهُ لِ َغي ِْر ِه ب‬
“Meriwayatkan hadits dan menyampaikan kepada orang lain dengan menggunakan bentuk
kata tertentu”.
Definisi lain dikemukakan dalam Ilmu Mustalah al-Hadits
: ‫ ُد ُل‬A‫ فَالَ يَ ْب‬,‫يَ ِغ ْاألَدَا ِء‬A‫ص‬
ِ ‫ ِم َعهُ َحتَّى فِ ْي‬A‫اس‬ َ ‫ْث َك َم‬ َ ‫ ِدي‬A‫ َؤدِّي ْال َح‬A ُ‫ إِ ْبالَ ُغهُ إِلَى ْال َغي ِْر َوي‬: ‫ث‬
ِ ‫ أَدَا ُء ْال َح ِد ْي‬,ُ‫ث َوأَدَائُه‬
ِ ‫ْاالَدَا ُء هُ َو تَ ْبلِ ْي ُغ ْال َح ِد ْي‬
ْ َ ْ
َّ َ‫ظ‬A‫ ْع لَف‬Aِ‫ اِتَّب‬: ‫ا َل‬AAَ‫ نُقِ َل ع َْن ا ِإل َم ِام أحْ َم َد أضنَّهُ ق‬,‫ح‬ ْ َ
ِ َ‫ْت أوْ نَحْ َوهَا اِل ِ ْختِال‬ ُ ‫َح َّدثَنِ ْي بِأ َ ْخبَ َرنِ ْي أَوْ َس ِمع‬
‫ْخ فِ ْي‬ ِ ‫ي‬A‫الش‬ ِ َ‫ف َم ْعنَا هَافِ ْي ا ِالصْ ِطال‬
ُ‫ َواَ ْخبَ َرنَا َوالَتَ ْع ُده‬, ‫ْت‬ُ ‫ َو َس ِمع‬, ‫ َو َح َّدثَنَا‬, ‫ َح َّدثَنِ ْي‬: ‫قَوْ لِ ِه‬.

“Ada’ adalah menyampaikan hadits dan meriwayatkannya, sedangkan ada’ al-hadits adalah
menyampaikan hadits kepada orang lain dan meriwayatkannya sebagaimna ia mendengar
sehingga dalam bentuk-bentuk lafal yang digunakan dalam periwayatan. Tidak boleh lafal
‫ َح َّدثَنِ ْي‬tetapi diganti dengan ‫ َرنِ ْي‬Aَ‫ أَ ْخب‬atau ‫ْت‬
ُ ‫ ِمع‬A‫ َس‬atau persamaannya karena berbeda makna
dalam istilah. Diriwayatkan dari Imam Ahmad , ia berkata: ikutilah lafalnya syeikh yang
ُ ‫ َس ِمع‬dan ‫ اَ ْخبَ َرنَا‬jangan engkau
digunakan dalam periwayatan pada perkataan ‫ َح َّدثَنِ ْي‬, ‫ َح َّدثَنَا‬, ‫ْت‬
lewatkan.”[4]
‫ء‬,dengan
ِ istilah ada’nerimaan hadits tertentu.
B. Macam-macam cara menerima riwayatnya
Macam-macam menerima riwayat ada 8, yaitu :
As-Sama’ (‫)السماع‬
As-Sama’ mempunyai arti mendengarkan. Maksudnya yaitu, seorang rawi mendengarkan
sendiri lafal syaikh saat syaikh membaca atau menyebut hadis bersama sanadnya.
Mendengarkan lafal dari seorang syeikh bisa melalui tatapan muka secara langsung maupun
mendengarkan dari belakang tabir asalkan suara tersebut sudah dikenalinya dan diyakini
bahwa org yang berbicara itu adalah gurunya.
Lafal yang digunakan untuk menyampaikan hadits-hadits yang berdasarkan as-sama’
adalah :
‫ َح َّدثَنِى‬atau ‫( ّح َّدثَنَا‬seorang telah bercerita kepada ku/kami)
‫ أَ ْخبَ َرنِى‬atau ‫( أَ ْخبَ َرنَا‬seorang telah mengkhabarkan kepada ku/kami)
‫ْت فُآلَنَا‬
ُ ‫( َس ِمع‬saya telah mendengar seorang)

‫( أَ ْنبَأَنَا‬seorang telah memberitakan kepada kami)


‫( َذ َك َرلَنَافُالَن‬seorang telah menuturkan kepada kami)
‫ال لَنَا فُالَن‬
َ َ‫( ق‬seorang telah berkata kepada kami)[5] [6] [7]

Al-‘Ardu (‫)العرض‬
Al-‘Ardu disebut juga sebagai Al-Qira’ah yang mempunyai arti membaca. Maksudnya adalah
seorang membaca suatu hadits kepada gurunya baik halan maupuntulisan yang ada
padanya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain.
Para ulama sepkat cara periwayatan seperti ini sah namun banyak perbedaan pendapat
mengenai kedudukan periwayatan Al Qira’ah. Sufyan as-Sauri dan Abu Hanifah beranggapan
cara periwayatan seperti ini lebih baik dari pada cara periwayatan as-Sama’, sebab dalam
as-Sama’ apabila bacaan guru salah maka murid tidak leluasa menolak kesalahannya, tapi
dalam al-Qira’ah bila bacaan murid salah maka seorang guru segera membenarkannya.
Imam Malik, Bukhari, kebanyakan ulama Hijaz dan Kufah beranggapan antara as-Sama dan
al-Qiraah itu kedudukannya sama. Ibnu Abas mengatakan (kepada muridnya) “Bacakanlah
kepadaku, sebab bacaan kalian kepadaku seperti bacaan ku kepada kalian” sementara Ibnu
as’Salah, Imam Nawawi, dan beberapa ulama lainnya beranggapan bahwa as-Sima’ lebih
tinggi derajatnya dibanding dengan cara al-Qira’ah.[8]
Lafal-lafal yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis berdasarkan Qira’ah, yaitu
ُ ‫( قَ َر ْأ‬aku telah membacakan dihadapannya)
‫ت َعلَ ْي ِه‬
‫ َم ُع‬AAAA‫ئ َعلَى فُاَل ٍن َوأَنَااَ ْس‬ ِ ُ‫( ق‬dibacakan oleh seorang dihadapannya(guru) sedangkan aku
َ ‫ر‬AAAA
mendengarkannya)
‫ ِه‬AAْ‫ َّدثّنَاأَوْ خَ بَ َرنَا قِ َرا َءةً َعلَي‬AA‫( َح‬telah mengabarkan / menceritakan padaku secara pembacaan di
hadapannya).

Al Ijazah (‫)االجازة‬
Ijazah yaitu pemberian izin oleh gurunya kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits yang
berasal darinya (guru). MenurutJumhurul-Muhadisin, diperkenankan meriwayatkan dan
mengamalkan, bahkan diduga keras hal ini sudah mendapat persepakatan umat.
Ijazah mempunyai 3 tipe, yaitu
Ijazah fi mu’ayyanin limu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada
orang yang tertentu)
Misalnya:
‫ب ْالفُاَل نِىِّ َعنِّى‬
ِ ‫أَ َج ْزتُلَكَ ِر َوايَةَ ْال ِكتَا‬
“Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulandari saya”
Ijazah seperti ini yang paling tinggi nilainya.
Ijazah fighari ma’ayyaninli mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tentu
kepada orang yang tidak tentu)
Misalnya:
‫ك َج ِم ْي َع َم ْس ُموْ عَاتِى أَوْ َمرْ ِويَّاتِى‬ ُ ‫أَ َج ْز‬
َ َ‫ت ل‬
“Kuijazahkan kepadamu seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”
Ijazah ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin (ijazah untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu kepada orang yang tidak tertentu)
Misalnya:
‫ت لِ ْل ُم ْسلِ ِم ْينَ َج ِم ْي َع َم ْس ُموْ عَاتِى‬
ُ ‫أَ َج ْز‬

“kuijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”
Sebagian ulama, termasuk Al-Khatib dan Abut-Thayyib membolehkan ijazah tipe ini.

Al-Munawalah
Munawalah mempunyai arti memberi, menyerahkan. Maksudnya adalah seorang guru
memberikan kitabnya kepada murid agar kitabnya disalin, atau seorang rawi memberikan
kitabnya kepada guru untuk diperiksanya, kmudian dikembalikan lagi stelah benar-benar
diperiksa oleh gurunya.
Al-Munawalah dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
1. Dengan dibarengi ijazah
Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan:
“Riwayatkanlah darisaya ini. Atau naskah yang dibacakan seorang murid dihadapan serang
guru, lalu dikatakan: “itu adalah periwayatannya saya, karena riwayatkanlah.”
Periwayatan berdasarkan ini diperbolehkan dan ada yang berpendapat kebolehanya itu
secara ijma’, karenanya tidak ragu lagi kewajiban untuk mengamalkannya.
2. Tanpa dibarengi ijazah
Yakni ketika naskah asli atau turunannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan
bahwa itu adalah apa yang didengar dari si fulan, tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk
meriwayatkannya.
Menurut Ibnu Shalah dan An-Nawawy, meriwayatkan dengan cara ini tidak dianggap sah
oleh para ahli ushul dan ahli fiqih. Mereka mencela Muhaditsin yang membolehkan
meriwayatkan hadits yang diterimanya dengan munawalah tanpa dibarengi ijazah.
Lafal-lafal yang digunakan untuk memberikan munalarah bareng dengan ijazah, yaitu:
‫اعى أَوْ ِر َوايَتِى ع َْن فُاَل ٍن فَارْ ِو ِه‬
ِ ‫هَ َذا َس َم‬
“Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah!”
Lafal-lafal yang digunakan untuk memberikan munalarah tanpa dengan ijazah, yaitu:
‫هَ َذا َس َما ِعى أَوْ ِم ْن ِر َوايَتِى‬
“Ini adalah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku.”
Lafal-lafal yang digunakan oleh rawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar:
Munawalah bersama ijazah ialah:
‫( اَ ْنبَأَنَا ; أَ ْنبَأَنِ ْى‬seorang telah memberi tahuku/kami)
Munawalah tanpa bersama ijazah:
‫َاولَنِى‬
َ ‫َاولَنَا ; ن‬
َ ‫( ن‬seseorang telah memberikan kepadaku/kami)

Al-Mukatabah
Al-Mukatabah, yaitu seorang guru menuliskan atau orang lain yang menuliskannya untuk
diberikan kepada muridnya yang berada dalam satau tempat ataupun tidak.
Al Mukatabah ada dua macam, yaitu:
1. Yang dibarengi dengan ijazah
Yaitu ketika sang guru menuliskan beberapa hadits untuk diberikan kepada muridnyadisertai
dengan kata-kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah atau saya ijazahkan
kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukannya dalam bentuk ini
sama halnya dengan Muwalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima. Contoh
Mukatabah ini, seperti:

َ‫ك َما َكتَ ْبتُهُ إِلَ ْيك‬ ُ ‫ْت بِ ِه إِلَ ْيكَ ; أَ َج ْز‬
َ َ‫ت ل‬ ُ ‫( أَ َج ْز‬ku ijinkan apa-apa yang telah kutulis padamu)
ُ ‫ت َماكتَب‬

2. Tidak dibarengi dengan ijazah


Yaitu guru menuliskan hadits untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai
perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkannya. Al Mukatanah dalam bentuk
diperbolehkan oleh para ulama. Ayub, Mansur,al-Lais, dan tidak sedikit dari ulama safi’iyah
dan ulama usul menganggap sah periwayatannya. Sedangkan al-Mawardi menganggap tidak
sah. Contoh Mukatabah ini, seperti bila seorang guru mengirimkan tulisan/surat kepada
muridnya: ‫ال َح َّدثَنَافُاَل ٌن‬
َ َ‫( ق‬telah memberitahukan seorang padaku)
Lafal-lafal yang di gunakan untuk menyamoaikan hadits berdasarkan Mukatabah, ialah:
ً‫( َح َّدثَنِى فُاَل ٌن ِكتَابَة‬seorang telah bercerita padaku dengan surat-menyurat), atau
ً‫( أَ ْخبَ َرنِ ْى فُاَل ٌن ِكتَابَة‬seorang telah mengabarkan kepadaku dengan melalui surat), atau

‫ى فُاَل ٌن‬
َّ َ‫َب اِل‬
َ ‫( َكت‬seorang telah menulis padaku)

Al-I’lam
Al-I’lam, yaitu pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadis atau kitab yang
diriwayatkan dia terima dari seseorag, dengan tanpa memberikan kepada muridnya untuk
meriwayatkan hadis tersebut, atau tanpa perintah untuk meriwayatkannya.
Para ulama berselisih paham tentang boleh tidaknya orang meriwayatkannya. Al-ghazali
tidak membenarkan seorang thalib hadits meriwayatkan hadits yang diterima dengan cara
i’lam, karena kemungkinan gurunya tidak memberikan ijin lantaran mengetahui hadits
tersebut ada cacatnya. Namun kebanyak ulama Muhaditsin, fuqaha, dan ushuliyin,
diantaranya Ibnu Juraij, Abu Nasher Ibnu Sabbagh, Fakhruddin Ar Razy dan ulama
Dhahiriyah menetapkan bahwa i’lam yang tidak disertai ijin, sah dan meriwayatkannya
boleh.
Lafal yang digunakan menyampaikan hadits yang diterima berdasarkan i’lam seperti:
‫ َّدثَنَا…الخ‬A‫ا َل َح‬AAَ‫( أَ ْعلَ َمنِى فُاَل ٌن ق‬seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata
padaku…)
Al-Wasiyah
Al-Wasiyah, yaitu pesan seorang dikala akan mati atau berpergian, dengan sebuah kitab
supaya diriwayatkan.
Para ulama berselisih pendapat tentang boleh tidaknya orang yang diwasiatkan untuk
meriwayatkannya. Abu Qatadah dan Muhammad ibn Sirin membolehkan. Kata Al Qadli
‘iyadl “dibolehkan yang demikian, karena memberi kitab pada seseorang sudah
mengandung arti meemberi izin.” Ibn Shalah dan An Nawawi tidak membolehkan riwayat
dengan jalan ini dan menyalahkan orang yang membolehkan. Sebagian ulama membantah
ibn Shalah, mereka mengatakan bahwa wasiyah lebih tinggi ruthbahnya dari wijadah.
Lafal-lafal yang digunakan untuk menympaikan hadits berdasar wasiyah seperti:

ٍ ‫ى فُاَل ٌن بِ ِكتَا‬
‫ب قَا َل فِ ْي ِه َح َّدثَنَااِلى ا ِخ ِر ِه‬ َّ َ‫صىاِل‬
َ ْ‫اَو‬
“Seorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu:
‘telah bercerita padamu si fulan’.”

Al-Wijadah
AlWijadah, yaitu seorang memperoleh hadits orang lain dengan mempelajari kitab-kitab
hadits dengan tidak melalui cara as-sima’, al-ijazah, al-munawalah maupun yang lainnya.
Lafal-lafal yang digunakan untuk meriwayatkan hadits berdasarkan al-wijadah seperti :
ُ ‫( قَ َر ْا‬saya telah membca khath seseorang)
‫ت بِ َخطِّ فُاَل ٍن‬
‫…و َج ْدتُبِخَ طِّفُاَل ٍن َح َّدثَنَافُاَل ٌن‬
َ (kudapati khath seseorang, bercerita kepadaku si fulan)
DAFTAR PUSTAKA
Suparta,Munzier, dan ranuwijaya,utang, ILMU HADITS, Jakarta: Grafindo Persada, 1993
Faisal,Mukaram, HADITS, Solo: Wangsa Jatra Lestari, 2012
Rahman,Fatchur, IKHTISAR MUSTHOLAHULHADITS, Al Ma’arif
[1] Munzier Suparta dan utang ranuwijaya, ILMU HADITS, (Jakarta: Grafindo Persada, 1993),
hlm. 147
[2] Mukaram Faisal Rosidi Sugiyono, HADITS, (Solo: Wangsa Jatra Lestari, 2012), hlm. 14
[4] Mukaram Faisal Rosidi Sugiyono, HADITS, (Solo: Wangsa Jatra Lestari, 2012), hlm. 17
[5] Munzier Suparta dan utang ranuwijaya, ILMU HADITS, (Jakarta: Grafindo Persada, 1993),
hlm.150
[6] Hasbi Ash-Shiddiqy, POKOK-POKOK ILMU HADITS (2), (Jakarta : Bulan Bintang, 1994),
hlm. 44-45
[7] Fatchur Rahman, IKHTISAR MUSTHOLAHULHADITS, (Al Ma’arif), hlm. 244
[8] Munzier Suparta dan utang ranuwijaya, ILMU HADITS, (Jakarta: Grafindo Persada, 1993),
hlm. 151

Anda mungkin juga menyukai