Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh allah disamping sebagai makhluk individu juga sebagai
makhluk sosial artinya manusia tidak dapat hidup tanpa pesan orang lain. Supaya
kepentingan manusia yang begitu banyak itu saling terpenuhi maka dibutuhkan
norma dan aturan-aturan. Sehingga dengan norma ataupun aturan-aturan tersebut
kehidupan masyarakat akan berjalan teratur an terhindar dari sikap mendzolimi orang
lain dan menempuh jalan batil dalam usaha mencari rizki.
Agama islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berusaha dan mencari rizki
yang halal. Salah satunya dengan jalan melakukan jual beli. Jual beli menurut islam
aalah tukar menukar dan transaksi barang dengan cara memberi manfaat bagi kedua
belah pihak dengan jalan yang halal. Karena dalam hal muamalah, islam tidak
membiarkan manusia menuruti kehendak hawa nafsunya yang cenderung berlebihan
terhadap dunia dan idak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan Hadits Tentang Sengketa Jual Beli
2. Apa Pengertian Jual Beli
3. Bagaimana Hukum Jual Beli
4. Jelaskan bagaimana hukum Jual Beli Yang Dibolehkan
5. Jelaskan bagaimana hukum Jual Beli Yang Dilarang
6. Apa Hikmah Jual Beli
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
palsu dengan tujuan untuk merebut harta dan darah orang lain. Maka, bukti
dibutuhkan untuk membedakan tuntunan yang benar dan yang palsu.
Sedangkan bagi yang dituntut, bila ia ingin mengingkari tuntutan yang
dialamatkan padanya, maka wajib baginya bersumpah. Jika dia tidak mau
bersumpah, maka tuntutan itu jatuh pada dirinya. Sedangkan bila ia bersumpah,
maka dia dihukumi berdasarkan sumpahnya yang terucap, adapun bila ia berdusta
pada sumpahnya maka itu akan menjadi bebannya di hadapan Allah kelak.
Adapun bila kemudian terjadi keduanya, di mana orang yang menuntut
membawa bukti sementara yang dituntut bersumpah mengingkari tuntutan, maka
pada kejadian seperti ini diperlukan pembuktian-pembuktian lebih lanjut pada
pengadilan tersebut.
Maksud hadis secara gobal
maksud hadits tersebut adalah bahwa Rasulullah memberitakan tentang tingkah
laku manusia yang bila dibiarkan tanpa hukum yang mengatur dan dibebaskan untuk
mendakwa (menuduh, mengaku-ngaku) secara sembarangan bahwa seseorang telah
membunuh atau seseorang telah mengambil hartanya, maka tentu setiap orang akan
melakukan hal itu tanpa haq. Oleh karena itu, beliau mewajibkan kepada orang yang
didakwa/terdakwa pada hadits pertama untuk bersumpah sebagai bukti bahwa dia
tidak bersalah dan tidak melakukan hal yang dituduhkan kepadanya.
Hukum pembuktian
Ahkam al-bayyinat (hukum-hukum pembuktian) sama seperti halnya hukum-
hukum Islamyang lain, merupakan hukum-hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil
yang bersif at rinci. Bayyinat(pembuktian) kadang-kadang terjadi pada kasus pidana
(‘uqubat), kadang-kadang terjadi pula pada kasus-kasus perdata (mu’amalat).
Namun demikian, para ulama fikih tidak membedakan hukum-
hukum bayyinat dalam perkara mu’amalat dengan hukum-hukum bayyinat dalam
perkara ’uqubat. Semuanya mereka bahas dalam kitab Syahadat (kitab tentang
Kesaksian). Sebagian pembahasan mengenai hukum-hukum bayyinat juga mereka
cantumkan dalam kitab Aqdliyyah (kitab Peradilan), dan dalam kitab ad-Da’awiy wa
al-Bayyinaat (kitab Tuduhan dan Pembuktian). Sebagian pembahasan mengenai
hukum bayyinat juga mereka jelaskan dalam sebagian kasus-kasus ’uqubat, s
ebab, al-bayyinat(pembuktian) merupakan salah satu syarat dari ‘uqubat (pidana),
3
disamping sebagai bagian terpenting dari pembahasan mengenai perkara-perkara
‘uqubat.
Bukti (al-bayyinat) adalah, semua hal yang bisa membuktikan sebuah
dakwaan. Buktimerupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Dari
‘Amru bin Syu’aib daribapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi saw bersabda:
Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi
orang yang didakwa.
Oleh karena itu, bukti merupakan hujjah bagi pendakwa, yang digunakan untuk
menguatkandakwaannya. Bukti juga merupakan penjelas untuk menguatkan
dakwaannya. Sesuatu tidak biasmenjadi bukti, kecuali jika sesuatu itu (bersif at) pasti
dan meyakinkan. Seseorang tidak bolehmemberikan kesaksian kecuali kesaksiannya
itu didasarkan pada ‘ilm, yaitu didasarkan padasesuatu yang meyakinkan. Kesaksian
tidak sah, jika dibangun di atas dzan(keraguan). Sebab,Rasulullah saw telah bersabda
kepada para saksi:
Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah.
(Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah.
Oleh karena itu, bukti yang didapatkan dari jalan tertentu, atau jalan yang bisa
mengantarkankepada keyakinan, seperti diperoleh dari proses penginderaan salah
satu alat indera, sedangkanyang diindera itu bisa dibuktikan validitasnya, maka bukti
semacam ini termasuk bukti yangmeyakinkan. Masyarakat diperbolehkan
memberikan kesaksian dengan bukti semcam ini. Sedangkan bukti yang tidak
diperoleh dari jalan seperti itu, maka bersaksi dengan bukti tersebut
tidak diperbolehkan. Karena bukti tersebut bukanlah bukti yang meyakinkan. Jika
bukti tersebut berasal dari sesuatu yang meyakinkan, seperti halnya kesaksian yang
diperoleh dengan jalan as-sama’ (mendengar inf ormasi dari orang lain), contohnya
kesaksian dalam kasus nikah, nasab, kematian, dan lain-lain, maka secara otomatis
seorang saksi boleh memberikan kesaksiannya (dengan buktibukti tersebut). Inf
ormasi yang ia dengar itu telah membuat dirinya yakin, meskipun ia
tidak menjelaskan keyakinannya itu dengan kesaksiannya. Sebab, keyakinan yang ia
miliki merupakan sesuatu yang telah lazim bagi dirinya, sehingga dirinya sah untuk
memberikan kesaksian.
4
Macam-macam Bukti
Bukti itu ada empat macam, tidak lebih dari itu; yakni, pengakuan, sumpah,
kesaksian, dan dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan. Selain empat jenis
bukti tersebut tidak ada lagi yang lainnya. Mengenai indikasi (qarinah), maka secara
syar’iy tidak termasuk bukti. Pengakuan telah ditetapkan (sebagai bukti) berdasarkan
dalil, baik yang tercantum di dalam al-Quran maupun hadits. Allah Swt ber irman:
ۤ
ِ ََواِ ْذ اَخَ ْذنَا ِم ْيثَاقَ ُك ْم اَل تَ ْسفِ ُكوْ نَ ِد َما َء ُك ْم َواَل تُ ْخ ِرجُوْ نَ اَ ْنفُ َس ُك ْم ِّم ْن ِدي
ار ُك ْم ۖ ثُ َّم
َاَ ْق َررْ تُ ْم َواَ ْنتُ ْم تَ ْشهَ ُدوْ ن
Terjemahan: Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu
tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan
mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu
berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. (QS. al-Baqarah
[2]: 84)
Dalam hadits tentang Ma’iz telah disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi
saw bertanya kepada Ma’iz bin Malik:
Apakah benar apa yang telah disampaikan kepadaku tentang dirimu? Ma’iz
balik bertanya, ”Apa yang disampaikan kepada engkau tentangdiriku?’ Nabi
saw menjawab, ”Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah berzina
dengan budak perempuan keluarga si fulan’. Ma’iz menjawab, “Benar.”
Kemudian bersaksilah empat orang saksi. Lalu, Rasulullah saw
memerintahkan agar Ma’iz dirajam. Maka dirajamlah al-Ma’iz.
Dalam haditsnya Abu Bakar diceritakan tentang kisah Ma’iz, bahwa ia (Ma’iz)
mendatangi Rasulullah, kemudian ia mengaku telah berzina sebanyak empat kali.
Rasulullah saw pun memerintahkan untuk menjilidnya.
5
beli merupakan hukum yang dilakukan para pihak melalui akad (transaksi)
kesepakatan antara pihak yaitu penjual dan pembeli.sehingga dengan itu
mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban satu sama lain.Dimana kelangsungan
jual beli tersebut harus berlangsung berdasarkan prinsip kerelaan,tidak ada unsur
paksaan,penipuan,ketidakpastian dan manipulasi yang dapat merugikan salah satu
pihak.
6
bapaknya dari kakeknya berkata, “Nabi melarang jual beli urbun.” Diriwayatkan oleh
Ibnu Majah. Imam Ahmad mendhaifkannya.
Pengecualian yang diketahui: Saya menjual pohon-pohon di kebun ini
seluruhnya kecuali pohon ini, ini dan ini. Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah
melarang pengecualian dalam jual beli.” Diriwayatkan oleh Muslim. An-Nasa`i dan
at-Tirmidzi menambahkan, “Kecuali bila diketahui.”
Menjual dengan laba atau tanpa laba tanpa rugi atau dengan rugi: Yang
pertama menjual di atas harga modal, yang kedua dengan harga modal dan yang
ketiga di bawah harga modal. Yang pertama sudah umum. Yang kedua dan ketiga
adalah haknya, termasuk membeli dari orang yang menjual karena terpaksa oleh
keadaan.
Calo: Ibnu Abbas berkata, ‘Tidak mengapa seseorang berkata, ‘Juallah kain ini,
kelebihan harga dari sekian adalah milikmu.” Imam al-Bukhari berkata, “Ibnu Sirin,
Atha`, Ibrahim dan al-Hasan berpendapat calo itu boleh.”
Adapun hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda, “Orang kota jangan menjual
untuk orang desa.” Lalu Ibnu Abbas ditanya tentang maksudnya dan dia berkata,
“Tidak menjadi calo baginya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, maka
maksudnya adalah pada barang-barang pokok yang bila dicaloi akan menyulitkan
masyarakat.
Lelang: Menjual kepada penawar tertinggi, berbeda dengan penjualan di atas
penjualan orang lain atau pembelian di atas pembelian orang lain. Yang pertama,
seseorang datang kepada calon pembeli dan berkata, “Saya punya barang yang sama
dengan harga lebih murah atau barang lebih bagus dengan harga sama.” Yang kedua,
seseorang datang kepada calon penjual dan berkata, “Saya membelinya dengan harga
lebih tinggi.” Keduanya dilarang dalam hadits, “Seseorang jangan menjual di atas
penjualan saudaranya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah.
Menjual dengan harga tunda lebih tinggi: Bila akad jual beli terjadi antara
barang dengan alat pembayaran, buku seharga Rp. 10 misalnya, maka penyerahan
barang dan pembayaran harga kembali kepada kesepakatan kedua belah pihak.
7
Menjual atau membeli dengan syarat: Penjual menetapkan syarat atas pembeli
untuk mendiami rumah yang dijual selama satu bulan atau pembeli mensyaratkan
atas penjual untuk mengantarkan barang yang dibeli ke rumahnya.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Jabir menjual unta kepada Nabi
dan dia mensyaratkan mengendarainya sampai ke Madinah. Nabi shallAllah u ‘alaihi
wasallam bersabda, “Kaum muslimin di atas syarat-syarat mereka.” Diriwayatkan
oleh Abu Dawud, Ahmad dan al-Hakim dari Abu Hurairah.
Inilah pendapat yang shahih dalam masalah ini. Adapun hadits, “Tidak halal
dua syarat dalam jual beli.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-
Nasa`i. At-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih.” maka maksudnya adalah jual beli ‘Inah
atau dua penjualan dalam satu penjualan.
Ada syarat lain, yaitu syarat yang menjadi konsekuensi akad itu sendiri, seperti
serah terima. Atau syarat demi kemaslahatan akad seperti penundaan pembayaran,
jaminan atau gadai, atau kriteria tertentu pada barang seperti burung bersuara merdu.
Syarat-syarat ini tidak diperdebatkan kebolehannya.
“dari ibnu umar ra, berkta; Rosulullah saw telah melarang menjual mani”
c. Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya. Jual beli
seperti ini dilarang karena barangnya belum ada dan tidak tampak
8
d. Jual beli dengan muhaqallah (menjual tanam-tanaman yang masih di ladang
atau sawah) hal ini di larang agama sebab ada persangkaan riba di dalamnya
e. Jual beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang belum
pantas di panen
f. fJual beli dengan muammassah yaitu jual beli secara sentuh menyentuh
g. Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar melempar
h. Jual beli dengan muzabanah yaitu menjual buah yang basah dengan buah
yang kering
i. Menentukan dua harga untuk satu barang yang di perjual belikan
j. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul)
k. Jual beli gharar yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi
penipuan
l. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang di jual
m. Larangan menjual makanan hingga dua kali di takar
ۗ اَلَّ ِذ ْينَ يَأْ ُكلُوْ نَ الر ِّٰبوا اَل يَقُوْ ُموْ نَ اِاَّل َك َما يَقُوْ ُم الَّ ِذيْ يَتَخَ بَّطُهُ ال َّشي ْٰطنُ ِمنَ ْال َم
سِّ ٰذلِكَ بِاَنَّهُ ْم قَالُ ْٓوا اِنَّ َما
ۗ َوا فَ َم ْن َج ۤا َء ٗه َموْ ِعظَةٌ ِّم ْن َّرب ِّٖه فَا ْنت َٰهى فَلَهٗ َما َسل
َف ۗ وا َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ ٰب
ۘ ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل الرِّ ٰب
ٰۤ هّٰللا
َار ۚ هُ ْم فِ ْيهَا ٰخلِ ُدوْ ن
ِ َّكَ اَصْ ٰحبُ النŸَِواَ ْمر ٗ ُٓه اِلَى ِ ۗ َو َم ْن عَا َد فَاُول ِٕٕى
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.
Al-Baqarah: 275)
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Definisi menurut syara’ yang di maksud jual beli ialah tukar menukar harta
secara suka sama suka atau memindahkan milik dengan mendapat tukar menukar
cara yang di izinkan agama. Sedangkan menurut bahasa اartinya menukar atau
menjual.
Jual beli adalah muamalah yang di perintahkan oleh allah bagi para hambanya,
sebagai sarana memperoleh rizkinya dan sebagai sarana mencari keuntungan,
B. Saran
Demikianlah pemaparan makalah ini semoga bermanfaat bagi yang
mempelajarinya, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
10
DAFTAR PUSTAKA
11