Anda di halaman 1dari 11

FILSAFAT IBADAH

MAKALAH

Diajukan guna memenuhi tugas

dalam mata kuliah Filsafat

Disusun Oleh :

RUDI ISHAK

12350085

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIA’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2013
BAB I

PENDAHULUAN

Meskipun tidak didapati suatu definisi yang tunggal mengenai agama di kalangan para ahli filsafat
agama, tetapi perbedaan pendefinisian agama dapat dipersatukan pada beberapa ciri dasar dari suatu
yang dinamakan agama. Di antara ciri dasar dari suatu agama adalah adanya kepercayaan yang
teguh kepada suatu kekuatan yang Mahagaib, dimana kepercayaan tersebut menuntut manusia untuk
berkomunikasi dan menyembahnya lewat upacara-ritual tertentu yang diatur dalam ajaran
kepercayaan tersebut. Adakalanya ajaran tersebut terhimpun dalam satu kitab suci. Kepercayaan itu
juga kemudian membentuk cara pandang terhadap alam (dunia dan akhirat) dan membentuk pola
prilaku tertentu bagi para penganutnya.

Jika ditinjau dari batasan dasar suatu agama seperti ini maka Islam sebagai agama mempunyai
ajaran yang sangat jelas. Zat yang Mahagaib, Mahakudus, dan Mahasempurna yang merupakan
pusat kepercayaan agama, dalam Islam tegas dinyatakan adalah Alla Azza wa Jalla. Pedoman ajaran
Islam tertuang dalam kitab suci Al-Quran yang dibawa oleh Rasul Allah. Hubungan dan
penyembahan manusia kepada Tuhan telah rinci. Pandangannya tentang alam, baik tentang dunia
maupun apa yang di luar dunia sangat jelas. Demikian juga pola prilaku yanga diinginkan dari para
pemeluknya.

Karena agama berperan dalam memberi jalan penghubung manusia dengan zat mutlak yang
Mahagaib, maka disamping doktrin tentang ketuhanan, doktrin agama yang dianggap terpenting
adalah tentang ritual atau tatacara manusia menyembah Tuhan. Tatacara ritual biasanya baku dan
disakralkan. Tatacara ritual ini dalam batas tertentu dalam Islam disebut tatacara ibadah.
BAB II

PEMBAHASAN

Filsafat ibadah
Berpikir secara filsafat berarti berfikir sistematis dan radikal. Objek material dari pemikiran filsafat
adalah segala yang ada, baik yang nampak ataupun yang tidak nampak dalam indra manusia.
Sedang objek formal dari filsafat adalah sudut pandang pemikiran filsafat yang bersifat menyeluruh,
radikal dan objektif. Ibadah sebagai sesuatu bagian dari yang "ada" dapat dikaji dari pendekatan
filsafat. Filsafat ibadah dapat berarti memahami ibadah dengan pendekatan filsafat atau metode
pemikiran filsafat dalam menggali pemahaman terhadap ibadah. Kerangka metodologis filsafat
dalam mengkaji sesuatu tidak lepas dari tiga rumus dasar ilmu, yaitu ontologis, epistemologis, dan
aksiologis. Dengan demikian, untuk memahami ibadah dari pendekatan filsafat paling tidak harus
menjawab beberapa pertanyaan mendasar: Apa hakikat dari ibadah itu? Bagaimana ibadah diketahui
sebagai sesuatu keharusan? Siapakah yang berhak diibadahi? Apa tujuan dan manfaat dari ibadah?
Paper ini akan coba mengurai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis di atas.

Ibadah Dan Dzat Yang Diibadati


Secara etimologis ibadah adalah kata dasar (masdar) dari 'abada-ya'budu-ibâdatan yang artinya
mengabdi atau menghambakan diri. Menurut para fakar bahasa Arab, seperti Ibnu mandhur Al
Afriqy, asal makna dari ibadah adalah "tunduk dan menghinakan diri" (al khudu'u wat tadzallul)
atau "kepatuhan dengan rasa tunduk" (at thâ'ah ma'al khudhu'i). Bagian tanah di padang pasir yang
menjadi rendah karena sering dilewati dan diinjak disebut "tharîq muta'abbad". Seorang budak atau
hamba sahaya dinamakn 'âbid karena ia tunduk dan patuh kepada perintah majikannya. Maka setiap
keta'atan atau kepatuhan dengan rasa tunduk dan rendah diri kepada sesuatu berarti telah beribadah
kepada sesuatu itu dan ia telah menjadi hambanya. Oleh sebab itu muncul istilah 'abadat thâghut
yang berarti para pengabdi syetan, 'abdud dînar wad dirhâm yang artinya para pengabdi uang Dinar
dan Dirham seperti yang disebutkan dalam hadits nabi, "celakalah para hamba dinar dan dirham dan
pakaian kebesaran…".
Dari pengertian kebahasaan di atas terkandung makna implisit bahwa dalam kata ibadah ada
hubungan timbal balik dua pihak, pihak yang mendominasi dan pihak yang didominasi. Pihak yang
mendominasi menguasai kebebasan dari pihak yang didominasi sehingga ia menundukan perasaan,
pikiran dan perbuatannya kepada apa yang dikehendaki dan disukai oleh yang ditaatinya. Sesuatu
yang diibadati itulah kemudian melahirkan apa yang disebut "Tuhan". Beribadah itu di satu sisi
menunjukan penyerahan diri kepada yang diakui sebagai Tuhan dan pengakuan sebagai makhluk
tidak berdaya di hadapan kekuasan-Nya meskipun seringkali ketundukan itu sendiri menuntut
pengorbanan yang pahit dan tidak sejalan atau bertentangan dengan dorongan naluri hawa nafsunya.
Inilah arti asal dari ibadah yang sesungguhnya. Tetapi di sisi lain, kata ibadah juga digunakan untuk
menunjukan kepatuhan yang membabibuta kepada kepuasan hawa nafsunya sendiri. Sehingga orang
yang hidupnya hanya mencari kepuasan dari uang dan jabatan juga disebut sebagai hamba atau
orang yang beribadah kepada Dinar, Dirham dan Kekuasaan. Semakna dengan hadits nabi ini adalah
pernyataan Al-Qur'an, "Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang menjadikan
hawanafsunya sendiri sebagai tuhan (yang disembah)" Sementara itu hakikat ibadah dikemukakan
oleh Ibnu Sayyidih dalam Al Mukhashish,

"Setiap ketundukan yang tidak ada lagi di atasnya ketundukan (puncak ketundukan) adalah ibadah,
baik dia itu taat ataupun tidak taat kepada yang diibadati. Maka setiap ketaatan kepada Allah dengan
cara tunduk dan merendahkan diri itulah ibadah. Ibadah merupakan satu jenis dari ketundukan yang
tidak layak dilakukan kecuali kepada yang memberi nikmat tertinggi seperti nikmat kehidupan,
pemahaman, pendengaran, penglihatan. Berterimakasih (syukur) dan beribadah tidak berhak
dilakukan kecuali terhadap nikmat. Karena ibadah itu khusus terkait dengan jenis nikmat tertinggi
dan tidak ada pemberi nikmat tertinggi selain Allah, karena itu ibadah yang sesungguhnya hanya
untuk Allah". (Abul Hasan Ali bin Ismail al Andalusy, yang terkenal dengan panggilan Ibnu
Sayyidih, Al Mukhashish, III/170
Adapun pengertian ibadah secara terminologis, menurut pengarang kitab At Ta'rîfat adalah
“Ibadah adalah perbuatan mukallaf meskipun bertentangan dengan hawanafsunya sebagai
pengagungan terhadap tuhannya”
Definisi ini mengandung pengertian bahwa ketundukan dan ketaatan dapat dikatagorikan ibadah
secara istilahi manakala ia dilakukan oleh orang yang sudah baligh dan berakal sehat dengan cara
sadar bukan paksaan, lahir dari keikhlasan menjalankan perintah bukan karena dorongan hawa
nafsu, bahkan ibadh terkadang bertentangan dengan hawa nafsunya sendiri, semata-mata tujuannya
mengagungkan Tuhannya.

Definisi yang lebih jelas dan lebih mencakup dikemukakan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa
ibadah adalah "nama yang mencakup setiap apa yang dicintai dan diridhai Allah dari perkataan dan
perbuatan baik yang tersembunyi maupun yang nyata".Dari definisi Ibnu Taimiyah di atas dapat
diuraikan lagi bahwa perkara yang dicintai dan diridhai Allah mencakup perbuatan dalam
mengerjakan apa saja yang diperintahkan Allah, perbuatan menjauhi yang dilarang-Nya, perbuatan
dalam mengerjakan atau meningglkan yang dibolehkan. Perbuatan manusia itu sendiri mencakup
perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Perbuatan hati itulah yang dimaksud tersembunyi, sedang
lisan serta anggota badan adalah perbuatan yang nampak. Perbuatan hati mencakup apa yang harus
diimani dan apa yang harus diingkari, apa yang harus dicintai dan dibenci, dan seterusnya. Maka
masalah I'tiqadiyah ditinjau dari sudut perbuatan hati, iapun termasuk bagian dari ibadah. Perbuatan
lisan mencakup keharusan mengatakan yang benar, jujur, adil, dan baik dan mencegah setiap
perkataan yang dusta, zalim, palsu dan buruk. Sedang perbuatan angggota badan adalah segala apa
yang harus atau boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dilakukan oleh tubuh manusia. Masing-
masing dari perbuatan hati, lisan dan badan secara hukum tidak akan lepas dari lima kemungkinan,
yaitu wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh. Maka ibadah dalam Islam sangat erat kaitannya
dengan hukum.
Dari segi praktisnya ibadah juga terbagi kepada ibadah yang langsung antara manusia dengan Allah
seperti shalat puasa, dzikir, dan doa yang diistilahkan dengan ibadah khusus (ibadah makhdhah).
Ada juga ibadah yang terkait dengan perbuatan manusia dengan sesamanya yang disebut ibadah
umum atau muamalah. Dengan demikian ibadah dalam pandangan Ibnu Taimiyah mencakup
seluruh perbuatan dalam hidup manusia baik perbuatan yang bersifat vertikal manusia dengan
Tuhan ataupun yang bersifat horizontal hubungan antar sesama manusia.

Kaidah-kaidah Ibadah
Sebagaimana dikemukakan pandangan Ibnu Taimiyah di atas, maka ibadah pada garis besarnya
dapat diklasifikasikan kepada dua bagian, ibadah ritual dan ibadah sosial. Prinsip yang membedakan
antara kedua jenis ibadah ini dapat diperhatikan dari objek material dan objek formal dari ibadah
tersebut. Secara meterial objek ibadah dan motivasi atau niyat yang melatarbelakngi ibadah ritual
adalah Dzat yang diibadati secara langsung, yaitu Allah SWT. seperti ketika seorang sedang
berdzikir, berdo'a, shalat, shaum, bertawakal, dan semacamnya maka manusia langsung
berkomunikasi secara vertikal dengan Allah SWT. Sedang objek material dalam ibadah muamalah
atau sosial adalah sesama manusia dan lingkungannya. Seorang yang menolong orang lain dengan
membantunya, memberinya makanan dan pakaian, umpamnya, atau orang yang sedang bekerja
menyelamatkan hutan dari kebakaran, secara lahiriyah ia berinteraksi dengan sesama dan
lingkungannya, tetapi motivasi orang itu mengharap kecintaan dan keridhaan Tuhan dengan
menciptakan kemaslahatan hidup di tengah masyarakatnya.

Dari sudut objek formalnya perbedaan ibadah ritual dengan ibadah sosial adalah bahwa ibadah ritual
telah mempunyai batasan-batasan yang baku dan detail. Shalat umpamanya telah ditatapkan dan
diatur waktu, tempat, jumlah, dan tatacaranya secara baku yang tidak boleh dirubah dan ditambah-
tambah lagi. Sehingga ada kaidah yang disepakati oleh para fuqaha, "Al-Ashlu fil ibadati al Buthlan
hatta yaqûma al dalîl 'ala 'amrihi", atau kaidah "Al ashlu fil 'ibâdati al ittiba", dan sebagainya.
Sedang ibadah muamalah kebalikan dari ibadah makhdhah, ia bersifat pleksibel. Syariat hanya
mengatur batasan-batasan umum saja.
Diantara batasan umum ibadah muamalah itu adalah al maslahat al mursalah atau kemaslahatan
umum. Sehingga di kalangan para fuqaha Islam terkenal kaidah, "Al Ashlu fil mu'amalati al ibahah
hatta yaquuma al dalîl 'ala tahrimihi".

Dengan kerangka berfikir dan kaidah-kaidah seperti di atas, maka ibadah dalam ajaran Islam ada
yang konstan dan baku yang tidak berubah karena perubahan tempat dan zaman, ada ibadah
mu'amalah yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman manusia dengan tidak keluar dari
akarnya. Dengan demikian, antara keaslian ubudiyah yang statis di satu sisi dengan pleksibilitas
ajaran Islam dalam merespons laju perkembangan kehidupan umat manusia dapat berjalan seiring
sejalan secara seimbang.

Tuntutan beribadah
Mengapa manusia harus beribadah? Untuk menjawab pertanyaan ini akan dikemukakan dua aliran
pemikiran. Yang pertama adalah yang berfaham bahwa kewajiban agama (ibadah) didapat pertama-
tama oleh akal. Pendapat kedua yang berfaham bahwa kewajiban agama hanya diketahui melalui
pewahyuan. Faham pertama adalah pendapat umum dari aliran Muktazilah. Al-Qadhi Abdul Jabbar
(w. 415 H) salah seorang tokoh Muktazilah yang sangat berpengaruh, berteori bahwa kewajiban ada
dua macam, kewajiban akli dan kewajiban syar'i. Kewajiban akli adalah kewajiban yang secara akal
dapat dicapai oleh manusia tanpa menunggu adanya wahyu. Seperti akal manusia akan mengetahui
bahwa mengembalikan titipan, membayar hutang, dan berterimaksih atas nikmat yang diperoleh
adalah wajib. Sedang kewajiban syariat adalah kewajiban yang diketahui manusia berdasarkan
syariat yang dibawa para nabi. Seperti wajibnya mengembalikan titipan, membayar hutang,
mensyukuri ni'mat, shalat, dan sebagainya, dengan niyat semata-mata sebagai mendekatkan diri dan
mengharap pahala dari Allah. sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah. Padahal semua itu
tidak akan terjadi kecuali ketika seseorang sudah mengenal Allah. Maka mengenal Allah adalah
kewajiban pertama manusia. Mengenal Allah tidak akan terjadi dan tidak mungkin diperoleh oleh
manusia melainkan dengan berfikir. Karena itu berfikir tentang Allah adalah kewajiban akal
manusia yang pertama.
Manusia mengenal Allah ketika memikirkan nikmat-nikmat-Nya. Nikmat berarti segala yang
memberi manfaat kebaikan. Nikmat yang paling pertama dan besar manfaatnya adalah kehidupan.
Secara akal manusia mengetahui bahwa nikmat harus dibalas dengan bersyukur. Bersyukur
hakikatnya adalah mengakui bahwa nikmat itu pemberian dari Allah. Bersyukur mencakup
pengakuan dengan hati, lisan dan perbuatan. Akal juga mengetahui bahwa setiap yang
membahayakan dan menimbulkan kerusakan pastilah tercela dan segala yang memberi manfaat dan
kebaikan pastilah terpuji. Dengan berfikir yang mendalam akal dapat mencapai pengetahuan bahwa
Allah pastilah Mahaesa dan Mahaadil. Keesaan dan keadilan sangat nyata dalam semua ciptaan dan
nikmat-Nya yang dapat difikirkan manusia. Pengenalan manusia akan Allah yang Mahaesa dan
Mahaadil memungkinkan manusia untuk menerima adanya wahyu dan diutusnya para nabi. Sebab
Allah yang mahaesa dan Mahaadil pasti membimbing manusia ke jalan kebaikan dan kebenaran
dengan menurunkan wahyunya. Maka pengetahuan manusia akan keesaan Allah dan keadilan-Nya
memastikan bahwa Allah wajib menurunkan Kitab bagi manusia. Sebab jika Allah tidak
menurunkan kitab dan tidak mengutus nabi-Nya berarti Allah tidak adil terhadap manusia. Dengan
demikian, akal adalah dasar sedang wahyu hanyalah penegasan dan perincian. Karena itu kewajiban
manusia beribadah kepada Allah pertama-tama ditetapkan oleh akal yang mengharuskan
berterimakasih atas nikmat dan kebaikan yang diterimanya. Kemudian diperjelas oleh syariat yang
dibawa para nabi.

Teori kekuatan akal dalam mengetahui kewajiban jauh sebelum masa Al Qadhi Abdul Jabbar, juga
telah dikemukakan oleh Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Al Razi seorang filosof Islam yang
hidup antara tahun 863 – 925 M. Ar Razi bahkan lebih ekstrim lagi dalam memposisikan akal
sebagai sumber kebenaran. Menurut Ar Razi, dengan kekuatan akalnya manusia dapat mengenal
Tuhan, mengetahui benar salah, baik dan buruk, serta sanggup mengatur hidupnya di dunia ini.
Karena itu ia berpendapat tidak perlu kepada wahyu dan nabi, serta mengingkari kemukjizatan Al-
Qur'an. Sementara aliran kedua yang dianut kaum Asy'ariyah dan Ahlus Sunnah menolak
kemampuan akal untuk mengetahui kewajiban yang bbersifat taklifi sebagaimana halnya kewajiban
beribadah. Akal hanya memperoleh pengetahuan secara umum tentang baik dan buruk. Tetapi untuk
mengetahuinya seuatu itu wajib atau haram hanya dapat diketahui dengan wahyu. Argumentasi
kaum Asy'ariyah dan Ahlus sunnah dalam masalah ini di antaranya merujuk kepada bukti bahwa
Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk mengajari manusia kewajiban beribadah kepadanya dan
ibadah yang paling pokok adalah mentauhidkan Allah. Bukti lain disebutkan pada ayat Al-Qur'an
bahwa adanya hukuman atas pembangkangan hanyalah setelah diutusnya Rasul. Ini maknanya
bahwa sebelum datangnya Rasul manusia belum dapat dihukumi sebagai mukmin atau kafir karena
belum mengetahui kewajiban beribadah dan mentauhidkan Allah meskipun mereka telah
mengetahui sebagian perkara yang dianggap baik dan buruk dengan kemampuan akalnya. Jadi akal
semata tidak sampai kepada kemampuan untuk menetapkan suatu itu wajib atau haram secara
hukum taklifi kepada manusia. Dengan demikian syariat yang berdasarkan wahyulah yang menjadi
dasar hukum pengetahuan wajibnya beribadah kepada Allah, kemudian akal memahamkan dan
berfikir sejalan dengan dalil-dalil syariat.

Tujuan dan hikmah ibadah:


Berkaitan dengan pertanyaan apakah ibadah mempunyai tujuan atau maksud dan manfaat? Ibnul
Qayim Al Jauziyah mengemukakan empat aliran pemikiran:

Pertama, aliran Jabariyah, yaitu mereka yang mengingkari adanya tujuan dan manfaat dari ibadah.
Ibadah hanyalah semata-mata menunaikan perintah Allah, tidak terkait dengan kebahagiaan maupun
keselamatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat. Argumentasi mereka dibangun di atas
prinsip pemikiran bahwa segala sesuatu berada dalam "iradah dan masyi'ah" (kehendak dan
kekuasaan) Allah yang mutlak dan bebas yang tidak terkait dengan sebab akibat, hikmah dan tujuan
yang bisa diketahui manusia. Allah maha berkehendak dan berkuasa sekiranya orang-orang yang
jahat masuk surga dan diberi segala kebahagiaan dan kenikmatan, atau sebaliknya orang-orang baik
dan taat dimasukan ke dalam neraka, dan kehendak Allah itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak
dapat dikatakan tidak adil sebab kehendak dan kekuasaan-Nya yang mutlak di luar dari apa yang
dapat diketahui manusia dan segala kehendak serta perbuatan Allah itu berada dalam ilmu dan
keadilan-Nya yang mutlak juga. Dengan demikian dalam pandangan mereka ibadah dan
kemaksiyatan sama saja sebagai manispestasi dari kehendak dan kekuasaan Allah pada makhluk-
Nya. Yang taat adalah taat karena telah diciptakan untuk taat, yang membangkang adalah
membangkan karena telah diciptakan untuk membangkang.
Kedua, mereka yang berpandangan sebaliknya dari aliran pertama. Mereka berpendapat bahwa
ibadah itu tujuannya semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Tidak ada sedikitpun yang
tujuannya untuk Tuhan. Nasib dan kebahagiaan manusia semata-mata ditentukan oleh perbuatannya
sendiri. Pandangan mereka didasarlkan atas teori kebebasan manusia dan keadilan Tuhan. Manusia
benar-benar bebas dan merdeka menentukan dan memilih kebaikan dan keburukan dan Tuhan tidak
mengintervensi kehendak dan pilihan manusia itu melainkan hanya membalsanya dengan adil.
Maka beribadah pada hakikatnya mengumpulkan balasan atau pahala demi kebahagiaan manusia
sendiri dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti.

Ketiga, aliran yang berpendapat bahwa ibadah semata-mata penyucian jiwa. Tujuan ibadah adalah
melatih manusia bagaimana meningkatkan derajat kemanusiaannya agar mencapai kedudukan yang
dekat kepada Allah. Manfaat ibadah adalah meningkatkan manusia dari kedudukannya sebagai
tumbuhan dan binatang kepada kemanusiaan dengan cara meningkatkan kualitas sepiritual untuk
sampai kepada maqam seperti malaikat. Maka ibadah yang sempurna akan melepaskan manusia dari
ketergantungan terhadap dan keterpasungan oleh dunia materi.

Keempat, mereka yang berpendapat bahwa tujuan ibadah adalah perwujudan dari tujuan penciptaan
makhluk itu sendiri dimana Allah menciptakan jin dan manusia agar beribadah kepada-Nya.
Hikmah ibadah bagi manusia adalah untuk meraih kebaikan dan kebahagiaan hidup dunia dan
akhirat. Kebahagiaan manusia ketika mereka merasakan kecintaan yang hakiki. Puncak ibadah
adalah kecintaan yang mutlak kepada Allah. Kecintaan kepada Allah menyebabkan manusia tunduk
dan patuh dengan rasa bahagia. Cinta kepada Allah menuntut cinta kepada segala yang dicintai
Allah dan membenci apa yang dibenci-Nya. Allah perintahkan bahwa jika manusia mencintai Allah
hendaklah mengikuti Rasul-nya. Ibadah dengan penuh kecintaan kepada Allah menyebabkan jiwa
menjadi suci dan kasih sayang terhadap makhluk, maka ibadah menjadi rahmat bagi semesta alam.
BAB III

PENUTUP

Pembahasan ibadah dengan pendekatan filosofis masih banyak segi dan aspeknya. Demikian juga
pemahaman ibadah dapat dilakukan dengan pendekatan teologis, sosiologis, dan psikologis. Ibadah
dalam Islam memang memberi ruang yang luas untuk dikaji dari berbagai aspeknya. Banyak ahli
yang telah meneliti bagian-bagian tertentu dari ibadah Islam dengan tinjaun yang berbeda-beda.
Seperti filosofi shalat, haji, shaum, zakat, dan sebagainya. Demikian juga shalat dalam tinjauan
kesehatan, tinjaun sosial, haji dalam tinjauan sosial-politik, dan seterusnya. Namun karena
keterbatasan penulis hanya dapat memaparkan sebagian kecil aspek filosofis dari ibadah
sebagaimana di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qadhi Abdul Jabbar, Syarah Ushul Al Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996)

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos, 1999)

Asy-Syahrastâni, Nihâyatul Iqdâm fi ilmil kalam, (www.alwaraq.com : maktabah syamilah)

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2001)

Ibnul Qayim Al Jauziyah, Madarijus Salikin Baina Manzilati Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in,
(Bairut: Darul Kitab Al Arabiyah, 1973) cet ke-2, juz I, hal. 91-98

Izzuddin Abdul Aziz bin Abdus Salam, Al Imâm fî bayâni adillatil ahkâm (Maktabah Syamilah)

Juhaya S Praja, Ringkasan Sejarah Filsafat Hukum Islam, (Bandung: UNISBA, 2009)

Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al Afriqy, Lisânul Arab, (Beirut: Dar el Shadir, tt)

Sidi Ghazalba, Ilmu, Flsafat, dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992)

Anda mungkin juga menyukai