Anda di halaman 1dari 18

NAFKAH, KISWAH DAN TEMPAT TINGGAL BERSAMA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

kepenghuluan pada Program Studi hukum

keluarga islam (HKI) 6

Oleh:
KEOMPOK 10

HELMI SYAHYANI
01161146

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


(IAIN) BONE
2018

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatillohi Wabarakatuh


Puji Syukur kehadirat Allah Swt. yang senantiasa memberikan taufik dan
hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
Nafkah, Kiswah dan Tempat Tinggal Bersama.
Dan terima kasih pula kami ucapkan kepada seluruh teman-teman yang
telah memberikan motivasi agar makalah kami ini cepat selesai, yang pada
akhirnya kami dapat menyelesaikannya tepat waktu.
Apabila terdapat kekurangan dari makalah kami ini, baik dari segi narasi
maupun penulisan isi mohon dimaafkan. Dan kami juga membutuhkan kritik dan
saran dari teman-teman agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik
kedepannya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh

Watampone, Desember 2018

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafkah .......................................................................................... 2
B. Dasar Hukum Nafkah .................................................................................... 2
C. Syarat-Syarat Nafkah ..................................................................................... 5
D. Perempuan Yang Tidak Berhak Menerima Nafkah ....................................... 6
E. Kadar Nafkah ................................................................................................. 9
F. Nafkah Iddah Talak dalam Fikih Konvensional ............................................ 11
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan .................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nafkah adalah pemberian dari suami yang diberikan kepada istri


setelah adanya suatu akad pernikahan. Nafkah wajib karena adanya akad yang
sah, penyerahan diri istri kepada suami, dan memungkinkan untuk terjadinya
bersenang-senang. Syari’at mewajibkan nafkah atas suami kepada istrinya.

Kedudukan suami dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga.


Yang mana suami wajib memberikan nafkah baik rumah, sandang, maupun
pangan. Dan istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengatur
keuangan dalam rumah tangga yang diperoleh dari nafkah yang diberikan
oleh suami kepada istri.

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,


mawaddah dan rahmah. Faedah terbesar dalam suatu pernikahan ialah untuk
menjaga dan memelihara perempuan, sebab seorang perempuan, apabila ia
sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh
suaminya. Dengan adanya pernikahan maka suami wajib menafkahi istrinya
baik nafkah lahir maupun batin. Kewajiban suami adalah pembimbing
terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan
rumah tangga yang penting diputuskan oleh suami isteri bersama. Suami
wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Jika terjadi perceraian dalam suatu rumah tangga maka seorang suami
tetap memberikan nafkah terhadap mantanistrinya yaitu memberikan nafkah
iddah maupun mut’ah. Iddah artinya suatu masa di mana perempuan yang
telah diceraikan, baik cerai hidup maupun cerai mati, harus menunggu untuk
meyakinkan apakah. rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan nafkah ?
2. Apa syarat-syarat dari nafkah ?
3. Bagaimana kadar nafkah ?
4. Bagaimana nafkah iddah talak ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari nafkah
2. Untuk mengetahui syarat-syarat dari nafkah
3. Untuk mengetahui kadar nafkah
4. Untuk menetahui bagaimana nafkah iddah talak

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengerian Nafkah
Nafkah diambil dari kata “ ‫” قافنالا‬yang artinya mengeluarkan. Nafkah
juga berarti belanja, maksudnya sesuatu yang diberikan oleh seorang suami
kepada istri, seorang bapak kepada anak, dan kerabat dari miliknya sebagai
keperluan pokok bagi mereka. Dalam buku syari’at Islam, kata nafkah
mempunyai makna segala biaya hidup merupakan hak isteri dan anak-anak
dalam hal makanan, pakaian dan tempat kediaman serta beberapa kebutuhan
pokok lainnya, bahkan sekalipun si isteri itu seorang wanita yang kaya
Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa kewajiban
seseorang untuk mengeluarkan nafkah kepada siapa yang berhak
menerimanya, seperti suami berhak untuk memberi nafkah kepada isterinya,
anak-anaknya bahkan nafkah yang utama diberi itu bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok kehidupan, yakni makanan, pakaian dan tempat
tinggal. Kewajiban memberi nafkah tersebut diberikan menurut
kesanggupannya, hal ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan agar selaras dengan keadaan dan standar kehidupan mereka.
Begitu pula terhadap kaum kerabat yang miskin, dan anak-anak terlantar.1
Sebuah keluarga sampai pada taraf atau tingkat tertentu wajib
memberikan nafkah oleh yang bertanggung jawab terhadap keluarga itu. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Hanafi yang
bahwa: ”Setiap keluarga sampai pada derajat atau tingkat tertentu berhak
untuk dinafkahi, seandainya dia masih kanak-kanak dan miskin, lemah atau
buta dan melarat”.
B. Dasar Hukum Nafkah.
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isteri (sekalipun si isteri
orang yang kaya), orang tua terhadap anak-anak, terhadap orang tuanya serta

1
Bahri, Konsep Nafkah dalam Hukum Islam ,(No. 66, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,2015) h. 381

3
terhadap orang-orang yang tidak mampu. Dalil-dalil yang mewajibkan nafkah
sebagai berikut:
a. Firman Allah dalam Surat Ath-Thalaq ayat (6)
   
   
   
   
   
Artinya:
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin ...” (Q.S. Ath-Thalaq: 6)2
b. Firman Allah dalam Surat Ath-Thalaq ayat (7)
    
    
     
    
    
 
Artinya:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allahkepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S. Ath-Thalaq:
7)
c. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat: 233

2
Bahri, Konsep Nafkah dalam Hukum Islam,(No. 66, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,2015) h. 381

4
   
 
     

Artinya:
...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya... (Q.S. Al-Baqarah ayat: 233)
Selain firman Allah yang menjelaskan tentang wajibnya nafkah
terhadap isteri, terdapat juga dalam Sunnah Nabi, yaitu Rasulullah SAW
bersabda:
“Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dalam urusan perempuan.
Karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah,
kamu menghalalkan kemaluan (kehormatan) mereka dengan kalimat Allah.
Wajib bagi mereka (isteri-isteri) untuk tidak memasukkan ke dalam rumahmu
orang yang tidak kamu sukai. Jika melanggar yang tersebut pukullah mereka,
tetapi jangan sampai melukai. Mereka berhak mendapatkan belanja (nafkah)
dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma’ruf (H.R. Ibnu Majah)
Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda: “Dari ‘Aisyah r.a
berkata: “Bahwa Hindun binti “Utbah Isteri Abu Sufyan telah menghadap
kepada Rasulullah SAW dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya
Abu Sufyan itu adalah orang yang kikir, ia tidak mau memberi belanja yang
cukup buat saya dan anak-anak saya, melainkan dengan hartanya yang saya
ambil tanpa setahu dia, apakah itu dosa bagi saya. Maka beliau bersabda:
“Ambillah dari hartanya yang cukup buat kamu dan anak-anakmu dengan
cara yang baik.
C. Syarat-syarat Nafkah
Untuk mendapatkan nafkah harus dipenuhi beberapa syarat, apabila
tidak dipenuhi maka tidak berhak mendapatkan nafkah.3
1. Akadnya shah

3
Alhamdani, Risalah Nikah , (Jakarta: Pustaka Amani,1989) ,h. 125

5
2. Perempuan itu sudah menyerahkan dirinya kepada suaminya
3. Istri itu memungkinkan bagi si suami untuk dapat menikmati dirinya
4. Istrinya tidak berkeberatan untuk pindah tempat apabila suami
mengkehendakinya, kecuali apabila suami bermaksud jihad dengan
kepergiannya itu atau tidak memebuat aman diri si istri dan kekayaannya,
atau pada waktu akad sudah ada janji untuk tidak pindah dari rumah istri
atau tidak akan pergi dengan istrinya
5. Kedua suami istri masi mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami
istri
Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka suami tidak berkewajiban
memberi nafkah kepada istri
D. Kadar Nafkah
Apabila seorang suami tinggal bersama istrinya dan ia memberi
nafkah dengan mencukupi segala keperluan istrinya seperti makanan, pakaian
dan sebagainya, maka istri tidak berhak menutut ditentukan jumlah
nafkahnya, karena suami selalu memenuhi kewajibannya. Apabila suami itu
kikir, tidak memenuhi keperluan-keperluan isytrinya atau meninggalkan
tanpa memberi nafkah maka istri boleh mengajukan jumlah atau besarnya
kadar nafkah atau dirinya, untuk makan, pakaian serta tempat tinggal. Hakim
berkewajiban untuk memutuskan nafkannya dan suami berkewajiban untuk
memenuhinya apabila dakwaan istri benar.4
Istri juga boleh mengambil kekayaan suaminya untuk mencukupi
kebutuhannya dengan cara yang baik, sekalipun suaminya tidak tahu karena
suami dianggap tidak melaksanakan kewajibannya sedangkan istri berhak
mendapatkaan nafkah dari padanya dan orang yang punya hak boleh
mengambil haknya manakala ia sanggup mengambilnya.
Alasan lain bahwa Hindun istri Abu Sufyan-ibunya Mu’awiyah
berkata kepada Rasulullah SAW.:
Artinya:

4
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 127

6
“Ya Rasulullah, Abu Sufyan itu kikir sekali, ia tidak memenuhi kecuali
keperluan-keperluan saya dan anaknya yang saya ambil dari miliknya dan ia
tidak mengetahuinya. Maka Rasulukkah SAW. Menjawab : ambillah untuk
memenuhi keperluanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik
(secukupnya).”(Riwayat Bukhairi, Muslim, Abu Daud Dan Nasa’i)
Demikianlah keputusan nabi bahwa nafkah itu sekedar dapat
memenuhi kebutuhan istri. tidak terlalu banya tetapi juga tidak terlalu sedikit
disesuaikan dengan keadaan dan daerahnya dan sesuai dengan kemampuan.
Adapun pendapat para ulama tentang kadar nafkah5
1. Ulama Hanafiyah
Para ulama berselisih pendapat mengenai kadar nafkah. Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh syara’
tetapi suami wajib memenuhi keperluan-keperluan istrinya seperti
makanan dan lauknya, daging, sayur, buah-buahan, dan keperluan
lainnya yang lazim, sesuai dengan tempat dan keadaan selera orangnya.
Suami juga bekewajiban memerikan pakaian untuk istrinya. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa kadar nafkah itu disesuaikan dengan
kemampuan suami, bagaimanapun keadaan istri berdasarkan firman
Allah :
   
    
  
     
    
   

Artinya:
“hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut
kemampuanya dan orang yang sempit rezkinya hendaknya memberikan
harta yang diberikan kepadanya. Allah tidak memberikan beban kepada

5
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 128

7
orang melainkan sekedar yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan setelah adanya kesempitan”.(65 ath
thalaq:7)
    

Artinya:
“tempatkanlah mereka (istri-istrimu) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu”.(65. Ath Thalaq: 6)
2. Ulama syafi’iyah
Ulama syafi’iyah berbeda pendapat dengan ulama Hanafiyah yang
mengatakan bahwa syara’ tidak menetapkan batas kadar nafkah. Menurut
Ulama syafi’iyahnafkah itu tertentu kadarnya, beralasan dengan firman
Allah :6
     
   
    
Artinya :
“hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut
kemampuannnya dan orang yang sempit rezkinya hendaknya memberi
nafkah dengan harta yang diberikan Allah kepadanya.”(65 Ath Thalaq:7)
Sekalipun ulama syafi’iyah sependapat dengan ulama Hanafiyah
tentang kemampuan suami sebagai dasar untuk menetapkan nafkah dengan
melihat harta kekayaan suami, tetapi mereka berkata: tetapi Allah
membedakan yang kaya dengan yang miskin. Allah mewajibkan atas
keduanya, tetapi Allah tidak menetapkan kadarnya karna itu harus
ditetapkan dengan dasar ijtihad dan ukuran yang terdekat adalah kadat
makanan yang dipergunakan untuk membayar kiffarah, karena makanan
itu untuk menghilangkan lapar. Kaffara itu paling banyak dua mud. Dan
sekurang-kurangnya satu mud yaitu kaffarat orang yang bersetubuh
dengan istrinya pada siang hari bulan ramadhan. Apabila diambil tengah-

6
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 129

8
tengahnya berarti satu setengah mud, jumlah ini dapat dibayar oleh orang
kaya maupun miskin, karena ringan, karena itu nafkah ditetapkan satu
setengah mud.
Apabila pintu untuk memenuhi kebutuhan kaum wanita dibuka
tanpa batas pati akan timbul sengketa yang tidak kunjung selesai.
Karenanya maka nafkah harus ditentukan kadarnya dengan cara yang
ma’ruf.7
Mereka berkata istri juuga berhak untuk mendapatkan pakaian
menurut kesanggupan suaminya, mampu atau miskin, istri orang mampu
berhak mendapatkan pakaian yang biasa dipakai oleh orang yang mampu,
dengan pakaian yang halus-halus. Istri orang yang tidak mampu cukup
dengan pakaian katun dan sebangsanya. Istri dari orang yang keadaanya
sedang saja maka ia berhak menerima pakaian yang sedang pula.
Istri juga berhak mendapatkan tempat tinggal, menurut
kemampuan suaminya demikin pula kelengkapan rumah tangganya.
Ulama Syafi’iyah berkata: apabila suaminya miskin, istri dapat
mendapatkan nafkah sekedar untuk memenuhi kebutuhannya, makanan
dengan lauk-pauknya dengan ma’ruf, demikian juga pakaian sekedar
untuk mencukupi keperluannya. Apabila suami termasuk golongan
mutawasith (menengah) nafkahnya supaya lebih longgaar, pakaianya juga
supaya yang lebih bagus, semuanya dengan cara yang ma’ruf, nafkah itu
diberikan dengan cara yang baik, karena menghindarkan kesulitan bagi
istri adalah wajib karena itu nafkah juga harus diberikan dan diatur dengan
baik, inilah tafsir dari kata-kata al ma’ruf’.
E. Perempuan Yang Tidak Berhak Menerima Nafkah
Wanita yang tidak berhak mendapatkan uang belanja atau nafkah
adalah:
1. Istri yang masih kecil dan belum dicampuri meskipun ia sudah
menyerahkan dirinya untuk dicampuri. Sebaliknya kalau yang masih kecil
itu suaminya sedang istrinya sudah baligh maka nafkah wajib dibayar,

7
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 129

9
sebab kemungkinan nafkaah itu ada di pihak istri sedang uzur tidak
menerima nafkah itu dipihak suami. Berdasarkan sunnah Rasulullah SAW.
Waktu kawin dengan Aisyah r.a. beliau tidak memberi nafkah selama 2
tahun karena belum dicampuri.
2. Apabila istri pindah dari rumah suaminya kerumah lain tanpa alasan syari
atau pergi tanpa izin suami
3. Apabila istri bekerja atau membuka usaha sedangkan suami melarangnya
untuk bekerja dan si perempuan tidak memperhatikan larangan suaminya.
4. Apabila istri berpuasa sunnah atau bertikaf sunnah
5. Apabila si istri dipenjara karena melakukan kejahatan atau karena tidak
membayar hutang
6. Apabila si istri diculik orang lain sehingga berpisah dengan suminya
7. Apabila istru nusyuz atau durhaka atau berbuat maksiatterhadap suaminya
atau tidak mau meladeni suaminya8
Sebab-sebab diatas menyebabkan seorang istri tidak berhak menerima
nafkah, karena karena dia telah menghalangi hak suami untuk menikmati
dirinya tanpa unsur yang dibenarkan oleh agama. Demikan menurut pendapat
jumhur ulama, lain dengan pendapat Ibnu Hamz.
Ibnu Hamz berkata: apabila terjadi perkawinan maka wajib nafkah,
suami berkewajiban memberi nafkan kepada istrinya semenjak adanya akad,
baik ia berniat membentuk rumah tangga ataupun tidak, meskipun istri masih
kanak-kanak, baik perempuan itu nusyuz kepada suaminya ataupun tidak, baik
istri itu miskin maupun kaya, masih punya ayah ataupun yatim, merdeka
maupun budak, menurut kemampuannya
Kata Ibnu Hamz: Abu Sulaimah serta sahabat-sahabatnya dan Ast
Sauri berkata bahwa nafkah itu wajib dibayarkan kepada istri yang masih kecil
sejak ia dinikah.
Selanjutnya Ibnu Hamz berkata: sama sekali tidak ada keterangan dari
para sahabat tentang wanita nusyuz kemudian tidak berhak mendapatkan
nafkah. Keterangan itu hanya berasal dari An Nakhai, Asy Sya’bi, Hammad

8
Alhamdani, Risalah Nikah, h. 125-126

10
Bin Sualiman, Al Hasan dan Az Zuhri. Kami tidak tahu apa alasan mereka
selain semata-mata karena soal hubungan kelamin, kalau istri tidak mau
dicampuri maka ia tidak berhak diberikan nafkah.

F. Nafkah Iddah Talak dalam Fikih Konvensional


Mengenai nafkah sebagai hak istri dalam iddah talak raj’i, para ulama
mazhab sepakat akan kewajiban suami dalam pemenuhannya. Namun,
kewajiban suami memberi nafkah tersebut akan gugur apabila istri nusyuz.
Para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai apa yang menjadi hak
istri, apabila wanita tersebut dalam talak ba’in. Menuru ulama Hanafiyyah,
sebagaimana pendapat Ibn Himam, tetap berhak mendapat nafkah dan tempat
tinggal. Dasar yang digunakan oleh Ibn Himam yaitu: (1) adanya penolakan
Umar, Zaid bin Sabit, Usamah bin Zaid, Jabir, serta ‘Aisyah; (2) adanya hadis
lain yang bertentangan dengan hadis Fatimah binti Qais, yaitu hadis yang
bersumber dari Umar dan Dar al-Qutni; (3) kisah dari Abi Ishak, yang
menceritakan tentang pelemparan tanah liat oleh Aswad kepada asy-Sya’bi
ketika mengatakan bahwa Fatimah binti Qais tidak mendapatkan nafkah
maupun sukna. Alasan mengapa Hanafiyyah lebih memilih hadis yang
bersumber dari Umar dibanding dari Fatimah bin Qais adalah karena adanya
keterangan dari Ibrahim, yang dikutip dari perkataan Umar, bahwa dia tidak
akan merubah suatu hukum di dalam agamanya sebab persaksian perempuan.
Dengan perkataan tersebut, akhirnya berimplikasi, dalam kasus nafkah ini,
lebih diunggulkannya pendapat Umar dari pada Fatimah binti Qais, (4) dan
beberapa keterangan atau tanggapan dari ‘Aisyah mengenai hadis Fatimah
binti Qais. 9
Imam Malik, jika istri yang ditalak ba’in tersebut tidak hamil, maka
kewajiban suami hanya menyediakan tempat tinggal, tidak wajib memberi

9
Muchammad Hammad, Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian,(al-Ahwal, Vol. 7, No. 1,
2014),h. 20

11
nafkah. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang bersumber dari Fatimah
binti Qais, yaitu ia tidak mendapatkan nafkah ketika dicerai oleh suaminya.
Menurut Imam Syafi’i, tidak ada kewajiban bagi suami memberikan
nafkah ataupun tempat tinggal. Pendapat ini didasarkan pada hadis Fatimah
binti Qais. Alasan tidak ada kewajiban suami memberikan tempat tinggal,
didasarkan pada perintah Nabi saw. Yang menyuruh Fatimah binti Qais untuk
menjalani masa iddahnya di rumah Ummi Syarik, bukan di rumah suaminya,
yang ini ia artikan bahwasannya tidak ada juga hak tempat tinggal. Selain itu,
di dalam kitab al-Mudawwanah karangan Sahnun, alasan Imam Syafi’i
berpendapat tidak adanya nafkah bagi perempuan yang ditalak ba’in kecuali
dalam keadaan hamil adalah dinisbatkan dengan tidak adanya kebolehan
suami untuk bersenang-senang dengan istri ketika dalam keadaan talak ba’in,
padahal nafkah dan sukma menjadi kewajiban suami apabila seorang suami
boleh bersenangsenang dengan istrinya.10
Ulama Hambaliyyah, dalam hal ini Ibn Qudamah, sependapat dengan
Imam Syafi’i mengenai tidak wajibnya suami memberikan nafkah dan tempat
tinggal bagi istri yang di talak ba’in. Pendapat ini di dasarkan atas hadits dari
Imam Ahmad, al-Asram dan al-Humaidi, bahwa Rasulullah saw.
Memberitahukan pada Fatimah binti Qais bahwasannya nafkah dan tempat
tinggal adalah untuk istri yang masih ada kebolehan bagi suaminya untuk
kembali. Pendapat tersebut diperkuat oleh Ibn Abd al-Bari yang menyatakan
bahwasannya pendapat Ahmad bin Hanbal serta para pengikutnya adalah
yang paling sah atau benar, karena itu menurutnya tidak ada yang lebih
mempunyai keabsahan untuk mentakwil surat at-Talak ayat 6, kecuali
Rasulullah saw.Selain itu, pendapat tersebut dikuatkan dengan hadis dari Ibn
Abbas dalam bab muttala’aini, yang menceritakan bahwa Rasulullah saw.
Memisahkan keduanya dan menetapkan bahwa tidak adanya makanan dan
tempat tinggal bagi istri, disebabkan karena tidak adanya kebolehan bagi
suami untuk ruju’ kembali. Meskipun hadis ini berkenaan dengan masalah

10
Muchammad Hammad, Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian,(al-Ahwal, Vol. 7, No. 1,
2014),h. 21

12
li’an, akan tetapi karena kesamaan ‘illat yang berupa tidak bisa rujuk kembali
yang menjadi sebab tidak adanya nafkah maupun tempat tinggal, menjadi
alasan juga bagi ketidak adaannya hak istri yang ditalak ba’in atas nafkah
maupun tempat tinggal.
Mengenai perkataan Umar tentang, “tidak akan dia rubah hukum di
dalam agamanya karena persaksian perempuan”, Ahmad mengingkari
perkataan tersebut. Menurut Ahmad perkataan Umar tersebut tidak sah,
karena telah menjadi kesepakatan, bahwasannya perkataan perempuan di
dalam sebuah periwayatan adalah diterima. Menanggapi perkataan‘Aisyah,
Ahmad juga berpendapat bahwasannya perkataan tersebut tidak sah, karena
Nabi saw. tidak memberikan hujjah sebagaimana yang dipegangi oleh
‘Aisyah, tetapi yang benar menurutnya adalah hadis yang diriwayatkan dari
al-Humaidi

13
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isteri (sekalipun si isteri
orang yang kaya), orang tua terhadap anak-anak, terhadap orang tuanya serta
terhadap orang-orang yang tidak mampu.untuk memperoleh nafkah dari
suami harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah di tetapkan.
Penentuan kadar nafkah ulama berbeda pendapat, menurut ulama
hanafiyah berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditetapkan oleh syara’ tetapi
suami wajib memenuhi keperluan-keperluan istrinya. Sedangkan ulama
Syafi’iyah berkata: apabila suaminya miskin, istri dapat mendapatkan nafkah
sekedar untuk memenuhi kebutuhannya, makanan dengan lauk-pauknya
dengan ma’ruf, demikian juga pakaian sekedar untuk mencukupi
keperluannya.
Sebab-sebab seorang istri tidak berhak menerima nafkah, karena
karena dia telah menghalangi hak suami untuk menikmati dirinya tanpa unsur
yang dibenarkan oleh agama
Mengenai nafkah, istri dalam iddah talak raj’i, para ulama mazhab
sepakat akan kewajiban suami dalam pemenuhannya. Namun, kewajiban
suami memberi nafkah tersebut akan gugur apabila istri nusyuz. apabila
wanita tersebut dalam talak ba’in Menurut Imam Syafi’i, tidak ada kewajiban
bagi suami memberikan nafkah ataupun tempat tinggal. Pendapat ini
didasarkan pada hadis Fatimah binti Qais.

B. Saran

14
Dari makalah yang telah kami buat, diharapkan semua mahasiswa
mampu menyerap informasi dan isi makalah ini. Baik itu sebagai referensi
maupun sebagai bahan acuan untuk mengerjakan tugas selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alhamdani. 1989, Risalah Nikah, Pustaka Amani: Jakarta

Bahri, S., 2015, Konsep Nafkah dalam Hukum Islam, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
No. 66.
Hammad,Muchammad. Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian,(al-Ahwal, Vol.
7, No.1, 2014)

15

Anda mungkin juga menyukai