DOSEN PENGAMPUH
Dr. Muhammad Gazali Rahman, M.H.I.
DISUSUN OLEH :
Kelompok 2
1. Halik Kohongia
2. Jenab Mulane
A. Kaidah Pertama
Artinya: “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad.” (as-Suyuthi. t.t:71)
Kaidah ini memberikan penjelasan bahwa pada perinsipnya suatu hasil ijtihad yang
dilakukan pada masa yang lalu tidak boleh dibatalkan oleh ijtihad yang dilakukan kemudian,
baik oleh seseorang mujtahid itu sendiri maupun mujtahid yang lain. Kaidah dirumuskan
berdasarkan pendapat-pendapat para sahabat ini, dapat dicontohkan pada masalah
pembagian harta warisan yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dan dua orang saudara
seibu dan saudara sekandung.
Tegasnya, hukum hasil ijtihad terdahulu tidak dapat dibatalkan oleh hukum hasil ijtihad
kemudian. Sebab, hasil ijtihad kedua tidaklah lebih kuat nilai dan bobotnya dari hasil ijtihad
pertama. Di samping itu, apabila suatu hukum hasil ijtihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad
yang lain, maka akan akan terjadi ketidakpastian hukum, sehingga akan berakibat adanya
kesulitan dan kekacauan yang besar. Dalam kaitan ini, imam AL-Ghazali menyatakan bahwa
seandainya suatu hukum hasil ijtihad terdahulu dibatalkan oleh hasil ijtihad kemudian, maka
akan menimbulkan efek negatif; akan terjadi apa yang disebut tasalsul hukum, yaitu akan
terjadi mata rantai pembatalan hukum yang tidak berkesudahan, sehingga muncul
ketidakstabilan hukum (idhtirab al-ahkam).
Tetapi hasil ijtihad atau keputusan hakim berdasarkan ijtihadnya dapat dibatalkan
apabila menyalahi nash atau dalil yang qath‟i (al-Ghazali, 1324 H. 2:382). Dengan ungkapan
lain, manakala hasil ijtihad seorang mujtahid dan hasil ijtihad seorang hakim itu bertentangan
dengan nash-nash atau dalil qath’i maka ijtihad tersebut harus di batalkan (al-Dzarwy,
1983:52).
B. Kaidah Kedua
Artinya: “Apabila berkumpul halal dan haram, maka dimenangkan yang haram.”
Yakni dipegangi hukum yang haram. (as-Suyuthi. t.t:74)
Untuk memahami kaidah ini diilustrasikan terlebih dahulu sebagai berikut: Seorang
pemburu menembak seekor binatang buruan (umpamanya rusa), tembakannya kena tetapi
binatang rusa itu terus belari ke suatu tempat yang tinggi. Dari tempat yang tinggi itu,
binatang tersebut tergelincir dan jatuh hingga mati. Dalam kondisi semacam ini, pemburu
tersebut diharamkan untuk makan daging binatang tersebut. Karena kematian binatang itu
ada kemungkinan karena luka tembakan (sehingga halal dimakan) dan ada kemungkinan
kematiannya itu karena terjatuh (sehingga haram dimakan). Manakala berkumpul
kemungkinan halal dan haram ini, maka menurut kaidah di atas, seorang pemburu itu tidak
dibolehkan makan binatang rusa tersebut.
D. Kaida Keempat
Artinya: “Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh dan dalam
urusan selainnya (urusan dunia) adalah disenangi.” (as-Suyuthi. t.t:80)
Dari kaidah ini dipahami bahwa mengutamakan orang lain dalam pengambilan shaf
(barisan) terdepan untuk shalat berjama‟ah adalah makruh. Tetapi mengutamakan orang lain
dalam hal menerima infaq adalah disenangi atau dipuji agama.
E. Kaidah Kelima
Artinya: “Pengikut itu adalah pihak yang mengikut” (as-Suyuthi. t.t: 81)
Masuk dalam kaidah ini adalah:
3. Seandainya ada ulat dalam buah-buahan, seperti dalam biji petai, jengkol, alpukat, apel
dan sayur-sayuran, maka hukumnya boleh dimakan selama tidak dipisahkan.
4. Seandainya ada transaksi jual-beli tanah, maka tanaman apapun yang ada di dalamnya
termasuk objek jual-beli, kecuali ada transaksi tersendiri.
F. Kaidah Keenam
Artinya: “Hukuman Had gugur karena subhat (samar-samar).” (as-Suyuthi. t.t: 84)
Kaidah ini mengandung makna bahwa manakala sebelum didapatkan bukti yang
menunjukkan perbuatan yang dilakukan seseorang itu adalah melanggar aturan maka
seseorang itu tidak dapat dijatuhi hukuman had (yang telah ditentukan syara‟). Sebelum
memberikan hukuman, seorang hakim harus benar-benar yakin bahwa yang melakukan
kejahatan itu benar-benar melakukan pelanggaran nash atau undang-undang yang jelas. Oleh
karena itu, manakala masih ada keraguan (syubhat), maka hukuman had belum dapat
diterapkan terhadap pelaku.
Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan syubhat adalah suatu perbuatan
yang menurut faktanya terjadinya tetapi sebenarnya tidak terjadi. Umpamanya, seseorang
mencuri harta yang dimiliki bersama orang lain. Secara faktual seseorang itu dapat disebut
pencuri karena ia benar-benar melakukan tindakan pencurian, namun sebenarnya ia
bukanlah pencuri sungguhan yang dapat diberi sanksi hukum, karena masih ada syubhat
(kesamaran). Unsur syubhat-nya terletak pada batasan mencuri, yaitu mengambil milik orang
lain dengan cara tersembunyi dalam simpanan yang wajar. Dalam konteks ini, batasan
mencuri tersebut tidak terpenuhi, mengingat ia juga pemilik barang yang dicuri tersebut.
Ada tiga macam syubhat:
1. Disebut syubhat subjektif (syubhat fi al-fa‟il), yaitu : syubhat yang berawal pada
dugaan pihak pelaku. Perbuatan yang dilanggarnya diduga sebagai perbuatan yang
dibolehkan, sehingga dalam melakukannya tanpa ada keraguan sedikitpun, tetapi
ternyata ada kekeliruan.
2. Disebut syubhat objektif (syubhat fi al-mahall), yaitu syubhat yang terdapat pada
objek itu sendiri, mengingat di satu sisi ada nash yang melarang dan di sisi lain ada
nash yang membolehkan.
3. Disebut syubhat prosedural (syubhat fi ath-thariq), yaitu: syubhat yang timbul
disebabkan adanya perbedaan pendapat para ulama tentang hukum suatu
perbuatan.
H. Kaidah Kedelapan
Artinya: “Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud
dari keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain.”
(as-Suyuthi. t.t: 86)
Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa apabila ada dua perkara yang masuk
kepada yang lain, maka cukup dikerjakan salah satu yang lebih besar dari dua perkara
tersebut, karena sebenarnya yang lebih besar itu telah mencakup yang lebih kecil.
Umpamanya, manakala seseorang berhadats kecil dan hadats besar (junub), maka
cukup bersuci dengan mandi saja. Demikian juga, seseorang masuk masjid kemudian
shalat fardhu, dalam hal ini sudah tercakup shalat tahiyyatul masjid.
J. Kaidah Kesepuluh
P. Kaidah Keenambelas
S. Kaidah Kesembilanbelas
Artinya: “Fardhu itu lebih utama daripada sunnat.” (as-Suyuthi, t.t: 99)
Dari kaidah ini dipahami bahwa perbuatan fardhu atau wajib lebih utama dari
perbuatan sunnat. Kendatipun demikian, ada beberapa contoh perbuatan sunnat
lebih utama dari perbuatan wajib, yaitu : Pertama, Pembebasan pembayaran utang
orang yang dalam kesulitan, lebih utama dari pada penundaan pembayaran.
Pembebasan hukumnya sunnah, sedangkan penundaan hukumnya wajib,
seperti dijelaskan dalam firman Allah surat al-baqarah:28. Kedua, memulai memberi
salam hukumnya sunnat, tetapi lebih utama daripada yang menjawabnya, walaupun
hukum menjawab salam adalah wajib. Ketiga, wudhu‟ sebelum masuk waktu shalat
itu sunnat, dan itu lebih baik daripada wudhu‟ (yang wajib) karena telah masuk
waktu, sebab wudhu‟ sebelum masuk waktu mengandung beberapa kemaslahatan.
T. Kaidah Keduapuluh
Dari kaidah di atas dipahami bahwa: Pertama, Shalat fardhu di masjid lebih
utama daripada di luar masjid. Tetapi shalat di luar masjid dengan berjama'ah adalah
lebih utama daripada shalat di masjid sendirian (tanpa berjama’ah), sebab berjama'ah
adalah berkaitan dengan ibadat itu sendiri. Kedua, shalat sunnat di rumah adalah
lebih utama daripada shalat di masjid, sebab adanya keutamaan yang langsung ada
pada shalat, yaitu menjadi sebab kesempurnaan khusyu‟, ikhlas, jauh dari riya‟.
U. Kaidah Keduapuluh Satu
2. Apabila seseorang perempuan mau dinikahi oleh seseorang laki-laki yang melarat,
dan berakibat kemelaratan semakin parah, maka pada prinsipnya perempuan itu tidak
dibenarkan menggugat suami untuk fasakh nikah. Sebab, kemelaratan yang ada
adalah akibat dari kemelaratan sebelumnya yang telah direlakannya ketika akan
menikah.
1. Tidak dibolehkan ihram dengan Umrah bagi orang yang sedang berada di Mina,
sebab perhatiaannya sedang dipusatkan untuk melempar jumratul „aqabah dan mabit
atau bermalam di Mina tersebut.
2. Barang yang dijadikan jaminan utang kepada kreditur tidak boleh dijadikan sebagai
jaminan lagi kepada kreditur yang lain, karena transaksi dengan kreditur pertama
belum selesai.
3. Tidak dibolehkan seseorang mempekerjakan orang lain yang masih terikat kontrak
kerja dengan pihak lain, hingga kontraknya berakhir.
W. Kaidah Keduapuluh Tiga
Artinya: “Sesuatu yang mewajibkan kepada yang lebih besar di antara
dua hal secara khusus, tidak mewajibkan kepada yang lebih kecil di
antara keduanya secara umum. (as-Suyuthi, t.t: 101)
Berdasarkan kaidah ini, manakala suatu perbuatan secara khusus dikenai
tuntutan lebih berat, dan secara umum juga dikenai tuntutan yang lebih ringan, maka
seandainya tuntutan yang lebih berat telah dilaksanakan, tuntutan yang lebih ringan
tidak perlu dilakukan lagi.
Atas dasar kaidah di atas, maka:
1. Dalam kasus: Pencuri yang mencuri harta dengan mendobrak pintu. Secara umum,
merusak pintu rumah orang lain harus menggantinya, dan secara khusus mencuri itu
manakala telah dilaksanakan hukuman yang berat di antara dua macam hukuman
tersebut, (umpamanya potong tangan, karena sudah memenuhi persyaratannya),
maka hukum yang lebih ringan, yaitu mengganti pintu yang rusak tidak perlu
dilakukan.
2. Dalam kasus: Pelaku zina. Secara umum, sebelum melakukan zina mereka
melakukan cumbu rayu, berciuman dan berpelukan umpamanya, dan secara khusus
pelaku telah melakukan zina. Dalam hal ini, apabila telah dilaksanakan hukuman had
zina, maka tidak perlu lagi dilakukan hukuman ta’zir karena berciuman.
3. Sesesorang yang masih berwhudu‟, tiba-tiba mengeluarkan sperma. Secara umum
dia harus berwhudu‟ karena mengeluarkan sesuatu dari salah satu dua jalan buang
kotoran. Tetapi, secara khusus dia dikenakan kewajiban mandi, yang mandi itu lebih
berat dari berwhudu‟. Apabila seseorang telah mandi, maka tidak perlu lagi
berwhudu‟ kecuali kalau batal sebab-sebab lain.
X. Kaidah Keduapuluh Empat
Artinya: “Perwalian khusus lebih kuat dari perwalian umum.” (as-Suyuthi, t.t:
104)
Atas dasar kaidah di atas, maka:
1. Seorang wali hakim tidak boleh menikahkan seorang perempuan yang masih
mempunyai wali nasab. Sebab, wali nasab sifatnya khusus sehingga lebih kuat
sedangkan wali hakim sifatnya umum.
2. Seorang wali nasab yang statusnya khusus dapat menuntut qishas atau diyat atau
meberikan pengampunan terhadap pembunuh orang yang melakukan pembunuhan
orang yang berada di bawah perwaliannya. Tetapi, wali hakim yang statusnya wali
umum tidak dapat menuntut hak-hak tersebut.
3. Manakala seorang perempuan dinikahkan dengan seorang laki-laki oleh wali hakim,
sementara wali atau melalui perwakilan menikahkan perempuan itu dengan laki-laki
yang lain, maka yang dianggap sah adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali yang
sebenarnya, bukan yang dinikahkan oleh wali hakim.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA