Anda di halaman 1dari 52

Gharar

1.    Pengertian Gharar

Maksud al-Gharar ialah “Ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi


muamalah ialah: “Terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan ianya
boleh menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak yang lain”. Menurut
Ibnu Rush maksud al-Gharar ialah: “Kurangnya maklumat tentang keadaan barang (objek),
wujud keraguan pada kewujudkan barang, kuantiti dan maklumat yang lengkap berhubung
dengan harga. Ia turut berkait dengan masa untuk diserahkan barang terutamanya ketika wang
sudah dibayar tetapi masa untuk diserahkan barang tidak diketahui”. Ibn Taimiyah menyatakan
al-Gharar ialah: “Apabila satu pihak mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa
yang sepatutnya dia dapat”.

Al-Gharar ditakrifkan dalam Kitab Qalyubi wa Umairah menyatakan Mazhab Imam Al-
Shafie mendefinasikan gharar sebagai: “Satu (aqad) yang akibatnya tersembunyi daripada kita
atau perkara di antara dua kemungkinan di mana yang paling kerap berlaku ialah yang paling
ditakuti”.

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan). Sehingga Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul
al-’aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan)
dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Sehingga , dari
penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah semua jual beli
yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian.

2.   Hukum gharar

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi. “Artinya: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.”

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil.
Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam
firmanNya. “Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188)

3.    Jenis-jenis gharar

  Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al habalah (janin dari hewan
ternak).

  Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang: “Saya
menjual barang dengan harga seribu ringgit,” tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang: “Aku jual keretaku ini kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun
jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan
seseorang: “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh ribu”, namun ukuran tanahnya tidak
diketahui.

  Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau
jual beli kereta yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad
jual belinya.

4.       Gharar yang diperbolehkan

  Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya
(ma’dum).

  Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran
serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena
merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.[2]

C.    Riba

1.    Pengertian riba

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (- tambahan). Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Surat Ar-Rum ayat 39


ِ َّ‫َو َما َءاتَ ْيتُ ْم ِم ْن ِربًا لِيَرْ ب َُو فِي أَ ْم َوا ِل الن‬
‫اس فَاَل يَرْ بُو ِع ْن َد هَّللا ِ َو َما َءاتَ ْيتُ ْم ِم ْن َز َكا ٍة‬
َ ُ‫ك هُ ُم ْال ُمضْ ِعف‬
‫ون‬ َ ِ‫ون َوجْ هَ هَّللا ِ فَأُولَئ‬ َ ‫تُ ِري ُد‬.
Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu masudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikin) itulah orang-
orang yang melipat gandakan (pahalanya). 

2.    Hukum riba

Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ditu-runkan sekaligus, melainkan
diturunkan dalam empat tahap:
  menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang
memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah .

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar Rum: 39).

  riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba.

  riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena
yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.

3.    Jenis-jenis riba

  Riba al-fadhl

Adalah tambahan pada salah satu dua ganti kepada yang lain ketika terjadi tukar menukar
sesuatu yang sama secara tunai. Islam telah mengharamkan jenis riba ini dalam transanksi karena
khawatir pada akhirnya orang yang akan jatuh kepada riba yang hakiki yaitu riba an-nasi’ah yang
sudah menyebar dalam tradisi masyarakat arab. Dalam hal ini rosulullah saw bersabda:
yang artinya janganlah kamu menjual satu dirham dengan dua dirham sesungguhnya saya takut
terhadap   kalian dengan rima, dan rima adalah riba.

  Riba al-yadd (tangan).

Adalah jual beli dengan mengakhirkan penyerahan kedua barang ganti atau salah satunya tanpa
menyebutkan waktunya.

  Riba an-nasi’ah

Adalah jual beli yang mengakhirkan tempo pembayaran. Riba jenis inilah yang terkenal dijaman
zahiliyah. Salah seorang dari mereka memberikan hartanya untuk orang lain sampai waktu
tertentu dengan syarat dia mengambil tambahan tertentu dalam setiap bulannya sedangkan
modalnya tetap dan jika sudah jatuh tempo ia akan mengambil modalnya, dan jika belum
sanggup membayarnya, maka waktu bunganya akan bertambah.[3]

BAB III
KESIMPULAN
A.    KESIMPULAN
Kata Maysir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja.
al-Gharar ialah “Ketidakpastian”. Maksud ketidakpastian dalam transaksi muamalah
ialah: “Terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh sebelah pihak dan ianya boleh
menimbulkan rasa ketidakadilan serta penganiayaan kepada pihak yang lain”.
riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-
meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Gharar, Maisir, Riba, dan Dzat yang Dilarang


serta Argumentasi atas Pelarangannya
I.                   PENDAHULUAN
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek
muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam
tersebut dalam banyak ayat, antara lain: (Q.S 5:3, 6:38, 16:89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi
(mua’malah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak dan ini menunjukkan
bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-
Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau
aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Al-Baqarah, yang menurut Ibnu
Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/masalah ekonomi).
Sejak zaman Rasulullah saw semua bentuk perdagangan yang tidak pasti (uncertainty) telah
dilarang, berkaitan dengan jumlah yang tidak ditentukan secara khusus atas barang-barang yang
akan ditukarkan atau dikirimkan. Bahkan disempurnakan pada zaman kejayaan Islam (bani
Umayyah dan Abbasiyah) dimana kontribusi Islam adalah mengidentifikasi praktik bisnis yang
telah dilakukan harus sesuai dengan Islam, selain itu mengkodifikasikan, mensistematis dan
memformalisasikan praktik bisnis dan keuangan ke standar legal yang didasarkan pada hukum
Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.[1]
Pelarangan gharar, maisir dan riba semakin relevan untuk era modern ini karena pasar
keuangan modern banyak mengandung usaha memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain
(dalam asuransi konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung
unsur perjudian). Dimana setiap usaha bisnis pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari.
Sistem inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan
persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melalukan transaksi
dalam pasar keuangan.
Dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang konsep dasar dan defenisi dari
berbagai istilah yang berkaitan dengan “gharar, maisir, riba dan segala dzat yang dilarang”
II.                PEMBAHASAN
A.  Gharar
1.    Pengertian dari Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak
mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. Dalam kitab
fikih, gharar berasal dari kata Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathar
(pertaruhan) dan menghadang bahaya.[2] Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan,
al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah).[3] Sedangkan menurut Al-
Musyarif, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan) serta jual
beli dalam bahaya, yang tidak diketahui harga, barang, keselamatannya, dan kapan
memperolehnya, dan hal ini termasuk dalam kategori perjudian.
Menurut ahli bahasanya lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang lahirnya menggiurkan
pembeli sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari menyatakan: “Termasuk dalam jual beli gharar
semua jual beli tidak jelas yang mana kedua pihak berakad tidak mengetahui hakikatnya
sehingga ada faktor atau pihak lain yang menjelaskannya.[4]
2.    Dalil tentang Pelarangan Gharar
Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar yang
dilarang dan diharamkan berdasarkan beberapa rujukan hadist antara lain:
Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar.
Menjual suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu telah
diketahui keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan
baginya mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung unsur
penipuan dan ketidakjelasan yang diharamkan.[5] “Rasulullah SAW telah melarang jual beli
muhaqalah, muzabanah dan tsunayya, kecuali jika telah diketahui” (HR At Tirmizi).
3.    Hukum-hukum Gharar dan Hikmah dari Adanya Larangan Jual-Beli Gharar
Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:[6]
a.    Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al-gharar al-katsir)
yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual
beli mulaamasah, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih, bai’ al-madhamin, dan sejenisnya.
Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
b.    Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-gharar al-yasir). Para ulama
sepakat, jika suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad.
Contohnya seseorang membeli rumah dengan tanahnya
c.    Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua?
Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah,
bawang dan lain-lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut,
namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian
mereka diantaranya Imam Malik memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas
darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya.
Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang
dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain. Oleh karena itu
dapat dilihat adanya hikmah larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas (Gharar) ini. Dimana
dalam larangan ini mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan
menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis jual beli ini.
4.    Klasifikasi Gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep
game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.
a.    Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang
dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh.
b.    Zero Sum Game
     Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang
hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak
adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik
tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-
game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi
kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak
berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi)[7] juga
mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran
dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak
pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang
bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game
of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga
bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan
kewajiban setiap pihak.
c.    Normal Exchange
     Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah
pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini
dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar
dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.
     Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya
adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam
mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka
rasionalitas (bersifat duniawi).[8] Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat
yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan
dan digunakan serta dapat bermanfaat.[9]
     Dimana menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya
adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan
akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan
semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis,
kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan.[10] Jadi utilitas individu dalam islam sangat
tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat terbentuk
kemaslahatan.
d.   Risk Concept
     Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921)
risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur.
Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis.
5.    Dampak dari Gharar, Alasan Pelarangan Gharar beserta Contoh Singkatnya.
Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia
dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam
mempunyai peranan yang begitu hebat dan menjamin keadilan.
Ketidaktentuan dan ketidakjelasan berkenaan timbul khususnya daripada aspek-aspek berikut:
      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan ataupun tidak;
      Kaedah transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas tetapi menarik perhatian sehinggakan
mungkin wujud elemen penipuan bagi menarik pihak-pihak untuk bertransaksi;
      Akad atau kontrak yang mendasari sesuatu transaksi itu sendiri sifatnya tidak jelas.
Contoh jual-beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak lembu yang masih di dalam
perut ibunya. Menjual burung yang terbang di udara. Ia menjadi gharar karena tidak dapat
dipastikan. Yang menjadi pertanyaan adalah Sempurnakah janin yang akan dilahirkan, dapatkah
ditangkap burung itu. Maka, jika harga dibayar, tiba-tiba barangnya tidak sempurna, lalu pembeli
tidak puas hati hingga terjadi permusuhan dan keributan. Islam melarang gharar untuk
menghindari kejadian seperti ini. Akan tetapi, Islam memaklumi gharar yang sedikit yang tidak
dapat dielakkan.
Contoh berikutnya, Gharar/ketidakjelasan bisa terjadi pada asuransi konvensional,
dikarenakan tidak adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung,
sementara kita sepakat bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali
seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara
pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya,
perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua
belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi
tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan
ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat
bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.

B.  Maisir
1.    Pengertian dari Maisir dan Dalil yang Mendasari Pelarangannya
Kebiasaannya perjudian (maisir) menerangkan permainan yang memberi peluang pada nasib
daripada permainan yang menunjukkan skill kemahiran. Walaupun perjudian ini biasanya
dimotivasikan dengan kegembiraan, pada masa yang sama mendapat ganjaran yang berganda,
namun terdapat risiko transaksi yang dimotivasikan oleh insentif sebenar. Kita sudah maklum
bahawa maisir telah diamalkan sejak zaman Arab Jahiliyyah untuk membantu kepada orang yang
susah dan memberi kepada orang yang memerlukan.
Perbedaan antara perjudian dan gharar di dalam transaksi ialah telah mengurangkan, dan oleh
itu ahli ekonomi telah menyedari akan struktur pada kedua-duanya. Menurut pendapat Ahli
Ekonomi Goodman (1995):Pertambahan peningkatan bagi bisnes perjudian di dalam beberapa
tahun dilihat melebarkan banyak masalah di dalam Ekonomi Amerika terutamanya
kecenderungan perkembangan mengendalikan nasib ekonomi yang dilihat bertentangan dengan
asas kemahiran dan kerja sebenar.
Maysir atau Qimar secara harfiah bermakna judi. Secara tekniknya adalah setiap permainan
yang di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa loteri) yang diambil dari pihak yang kalah
untuk pihak yang menang
Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:
1.    Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi
2.    Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah
3.    Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan
pihak yang kalah kehilangan hartanya
Jika 3 syarat diatas terpenuhi maka termasuk kategori judi dan Islam mengharamkannya.
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (al-maysir),
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (Al-Maidah 90)
Disebutkan bahawa istilah lain dari judi adalah spekulasi. Hal ini biasa terjadi dalam bursa
saham. Setiap menitnya selalu saja terjadi transaksi spekulasi yang sangat merugikan penerbit
saham. Setiap perusahaan yang memiliki right issue selalu saja didatangi para spekulasi. Ketika
harga saham suatu badan usaha sedang jatuh maka spekulan buru-buru membelinya sedangkan
ketika harga naik para spekulan menjualnya kembali atau melepas ke pasar saham. Hal ini sering
membuat indeks harga saham gabungan menurun dan mempeburukkan perekonomian bangsa.
Makna Bahasa: Maisir dan Undian
Maisir dan qimar adalah dua kata dalam bahasa Arab yang artinya sama,yaitu menjadi judi
Makna Istilah: Maisir dan Undian
Berikut beberapa definisi judi (Maisir/Qimar) :
Menurut Ibrahim Anis dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 758 menyatakan bahawa judi adalah
setiap permainan (la’bun) yang mengandung taruhan dari kedua pihak (muraahanah).
Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Rawa’i’ Al-Bayan fi Tafsir Ayat
Al-Ahkam (I/279),menyebut bahawa judi adalah setiap permainan yang menimbulkan
keuntungan (rabh) bagi satu pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya.
Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga darinya dapat disimpulkan
sebuah definisi judi yang menyeluruh. Jadi, judi adalah segala permainan yang yang
mengandung unsur taruhan (harta/materi) dimana pihak-pihak yang menang mengambil
harta/materi dari pihak yang kalah.
Dengan demikian, dalam judi terdapat tiga unsur :
(1)      Adanya taruhan harta/materi (yang berasal dari kedua pihak yang berjudi),
(2)      Ada suatu permainan, yang digunakan untuk menetukan pihak yang menang dan yang kalah,
dan
(3)      pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya/kelipatan) yang menjadi taruhan
(murahanah), sedang pihak yang kalah akan kehilangan hartanya.

C.  Riba
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.” al-Quran 2 : 275 – 278
Malik meriwayatkan kepadaku bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn Mas’ud pernah
berkata, “Jika seseorang membuat pinjaman, mereka tak boleh menetapkan perjanjian lebih dari
itu. Meski hanya segenggam rumput, itu adalah riba.” Al-Muwatta Imam Malik : 31.44.95
Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi,
dalam bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai
barang yang diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’
Kelebihan ini mengacu pada dua hal:
1.Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot
maupun ukuran, dan
2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.
Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd (al-hafid) seorang fakih,
dalam kitabnya Bidaya al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd memaparkan beberapa sumber
riba ke dalam delapan jenis transaksi:
a.         Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran (dalam
pelunasan) dan saya akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)
b.         Penjualan dengan penambahan yang terlarang;
c.         Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;
d.        Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
e.         Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;
f.          Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;
g.         Penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;
h.        atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.
Ada dua jenis riba:
1.    Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang
Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik
penundaan maupun penambahan nilai hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja
seperti bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang
habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda
yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah
transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl,
karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.
Riba al-fadl mengacu pada jumlah (kuantitas). Riba an-nasiah mengacu pada penundaan waktu.
Riba al-fadl sangat mudah untuk dipahami. Dalam peminjaman, riba al-fadl merupakan bunga
yang harus dibayar. Namun pada umumnya riba ini mewakili peningkatan tambahan terhadap
nilai tanding yang diminta oleh satu pihak.
2.    Riba an-nasiah adalah kelebihan karena penundaan
Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam waktu (penundaan)
yang secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang berlangsung. Penundaan ini tidak
dibolehkan. Hal ini mengacu pada benda nyata (‘ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium
pembayaran (emas, perak dan bahan makanan – yang digunakan sebagai uang).
Riba an-nasiah secara khusus mengacu pada penggunaan dayn dalam pertukaran (safar) jenis
benda yang serupa. Tetapi pengharaman ini diperluas sampai perdagangan umum jika dayn
mewakili uang yang melampaui ciri privatnya dan menggantikan ‘ayn sebagai alat pembayaran
umum. Memahami riba an-nasiah amat sangat penting agar mampu mengerti kedudukan kita
berkenaan dengan uang kertas. Alasan mengapa kaum ulama modernis mengambil pandangan
yang menyimpang tentang riba jelas-jelas untuk mensahkan perbankan yang sebetulnya tidak
bisa diterima. Pembenaran ini kemudian hari menjelma menjadi perbankan Islam. Prinsip darurat
digabung dengan penghapusan riba an-nasiah telah memungkinkan mereka membenarkan
penggunaan uang kertas dan pada gilirannya membenarkan perbankan dengan cadangan uang
(fractional reserve banking) yang merupakan basis sistem modern perbankan.

D.  Dzat yang Dilarang dan Argumentasi atas Pelarangannya


Dalam Qur’an beberapa dzat yang dilarang, diantaranya : alkohol (khamr), babi,
darah, dan bangkai.
Tentang ini bisa dilihat pada ayat al Quran : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang
mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS Al Baqoroh: 219).
Juga pada ayat yang lain disebutkan : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu
(memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula
melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An
Nahl 115)
Menyinggung sedikit tentang masalah rokok, karena Muhammadiyah belum lama ini
mengeluarkan fatwa haramnya rokok. oleh karena itu, disini akan dijelaskan sedikit secara
saintifik, mengapa zat-zat tersebut haram. Kira-kira seperti apa penjelasannya, sehingga
masyarakat tidak hanya tau bahwa hukumnya haram, tetapi juga alasan mengapa zatnya
diharamkan. Diharapkan dengan adanya penjelasan secara saintifik, akan menambah keyakinan
akan haramnya zat-zat yang memang dinyatakan haram tersebut.
Ketika menjelaskan manfaat dan mudharat alkohol, maka sudah banyak dipersiapkan bahan
perihal alkohol tersebut. Tentang bahaya alkohol telah banyak diperbincangkan di berbagai
kesempatan. Benar adanya jika dikatakan pada jumlah tertentu dan bentuk tertentu, alkohol
bermanfaat. Alkohol memang merupakan pelarut yang baik untuk banyak jenis obat, alkohol
juga penyari yang baik bagi zat-zat dari dalam tanaman. Ia juga punya efek antiseptik (untuk
pemakaian luar). Tetapi bahayanya memang  lebih besar daripada manfaatnya. Di banyak
kesempatan para ahli menyarankan pada jama’ah/masyarakat luas untuk  jeli jika memilih obat
dalam bentuk sirup yang kadang mengandungetanol/alkohol sebagai pelarut. Walaupun
mungkin tidak sampai memberikan efek memabukkan, tetapi untuk prinsip kehati-hatian lebih
baik dihindarkan, kecuali jika memang tidak ada pilihan yang lain. Adapun cara untuk
mengetahui obat yang akan digunakan bebas alkohol atau tidak bisa dengan menanyakannya
terlebih dahulu kepada apoteker yang lebih mengerti mengenai obat-obatan tersebut.
Juga tentang rokok yang lebih banyak merugikan daripada bermanfaat, rasanya tidak terlalu
sulit karena banyak informasinya. Korelasi paparan rokok dengan kejadian kanker
paru dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) mudah dijumpai di mana-mana. Bangkai
dan darah juga demikian, relatif tidak kesulitan. Dan dalam babi sendiri terkandung cacing pita,
yang mana mudharatnya lebih besar daripada manfaat yang didapat.

III. PENUTUP
Dari berbagai pemaparan diatas dapat kita ambil beberapa poin, diantaranya :
1.    Segala bentuk pekerjaan, transaksi yang mengandung unsur maisir, gharar, riba adalah haram
hukumnya.
2.    Baik maisir, gharar maupun riba, apabila salah satu dari ketiganya dijalankan maka
sesungguhnya akan ada salah satu pihak yang dirugikan.
3.    Ketidaktentuan dan ketidakjelasan berkenaan timbul khususnya daripada aspek-aspek berikut:
      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan ataupun tidak;
      Kaedah transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas tetapi menarik perhatian sehinggakan
mungkin wujud elemen penipuan bagi menarik pihak-pihak untuk bertransaksi;
      Akad atau kontrak yang mendasari sesuatu transaksi itu sendiri sifatnya tidak jelas.
4.    judi adalah segala permainan yang yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dimana
pihak-pihak yang menang mengambil harta/materi dari pihak yang kalah.
5.    Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi,
dalam bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai
barang yang diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’
6.    Beberapa dzat yang haram hukumnya seperti alkohol, daging babi dan bangkai telah termaktub
dalam kalam Ilahi sebagaimana berikut :
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi
dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang
terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An Nahl 115)

Daftar Pustaka :
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004.
Karim , Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi;
penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin. Jakarta: Migunani, 2008.
Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing.
Mgyasni.niriah.com
Gharar, Maisir dan Riba Dalam Muamalat Islam. Mahir al-hujjah. Diposting pada tanggal 3 Agustus
2009
Zullies Ikawati. Babi Mirip Manusia(Maap). Zullis Ikawati’s Weblog. Diposting pada tanggal 2 Juni
2010

[1] Abbas Mirakhor dan Zamir Iqbal, Pengantar Manajemen Keuangan Islam dari Teori ke Praktik, edisi
terjemahahan. Jakarta: Kencana, 2008.
[2] Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
[3] Majmu Fatawa, 29/22
[4] Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi;
penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin. Jakarta: Migunani, 2008. lihat juga: al-jauhariy, ash-shahih, 23:786
[5] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Darul Haq, hal
459
[6] ibid Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad hal 289.
[7] Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing.
Mgyasni.niriah.com
[8] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004. hal 193
[9] al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’im. Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia:
Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1997. hal 555.
[10] Adiwarman, Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hal 62
Diposting oleh Yuli Anggraini di 23.34 
Kirimkan Ini lewat Email

Makalah Fiqh Mualamalah : MAISIR

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada khususnya serta resesi dan
ketidakseimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi di atas salah total,
bahkan ada sesuatu yang “tidak beres” dalam sistem yang kita anut selama ini. Tidak adanya nilai-nilai
Illahiyah yang melandasi operasional Perbankan dan lembaga keuangan lainnya telah menjadikan lembaga
“penyuntik darah” pembangunan ini sebagai “sarang-sarang perampok berdasi” yang meluluhlantahkan
sendi-sendi perekonomian bangsa.

Dengan latar belakang inilah, maka seluruh praktik perbankan modern, yang mulai tumbuh dan
berkembang sejak abad ke-16, sistem operasionalnya tidak bisa lepas dari riba. Akibat terlalu lama dan
mendalamnya sistem riba dalam sistem perbankan ini menyebabkan hal tersebut sangat sukar untuk
dipisahkan. Bahkan telah berakar dan berkarat dalam kerangka pikiran para bankir konvensional bahwa
riba adalah darah dan nadi dari seluruh sistem perbankan.

Sekarang saatnya para Bankir yang masih mengimani Al Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan
Hadits sebagai panduan aktivitasnya berperan aktif dalam memajukan sistem Perbankan Syari’ah.

Oleh karena itu, akan sedikit kami ulas secara singkat tentang Maisir/Judi baik kecil ataupun
besar,  merupakan faktor yang dominan atau faktor kecil dari sebuah transaksi hukumnya adalah
haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-
untungan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :         

‫الش ْي َطانُ أَن‬


َّ ‫ إِ َّن َم ا ُي ِري ُد‬. َ‫اج َتنِ ُبوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُح ون‬
ْ ‫ان َف‬
ِ ‫الش ْي َط‬
َّ ‫س مِّنْ َع َم ِل‬ٌ ‫اب َواألَ ْزالَ ُم ِر ْج‬ َ َ‫َيا أَ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنو ْا إِ َّن َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي ِس ُر َواأل‬
ُ ‫نص‬
َ‫الص الَ ِة َف َه لْ أَن ُتم ُّمن َت ُه ون‬ َّ ‫ص دَّ ُك ْم َعن ذ ِْك ِر هّللا ِ َو َع ِن‬ ُ ‫ض اء فِي ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْي ِس ِر َو َي‬ َ ‫ُيوقِ َع َب ْي َن ُك ُم ا ْل َع دَ َاو َة َوا ْل َب ْغ‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)

1.2     Rumusan Masalah

1.        Apakah yang dimaksud dengan Maisir secara bahasa dan istilah?

2.        Sebutkan dalil – dalil yang mengharamkan Maisir ?

3.        Apakah perbedaan antara Maisir dan Gharar ?

4.        Jelaskan tentang Maisir dalam asuransi konvensional !

5.        Sebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan Maisir dalam asuransi konvensional !

1.3     Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen
pembimbing mata kuliah Fiqih Mu’amalah.

 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1         Definisi Maisir

Kata Maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat
mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi.
Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti praktek perjudian.

Secara bahasa Maisir bisa dimaknakan dalam beberapa kalimat : Gampang/mudah, orang


yang kaya dan wajib. Secara istilah, Maisiradalah setiap Mu’amalah yang orang masuk kedalamnya dan
dia mungkin rugi dan mungkin beruntung. Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam
Mu’amalat jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung mungkin rugi. Namun Mu’amalat jual
beli ini berbeda dengan Maisir, seorang pedagang bila mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang
dan dengan barang itu ia bermu’amalat untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat
kerugian, tapi Maisir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak dapat
apapun dan mungkin ia beruntung.

 Ini definisi Maisir dalam istilah ulama, walaupun sebagian orang mengartikan Maisir ini ke
dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit, yaitu judi. Judi dalam terminologi agama diartikan
sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan
suatu tindakan atau kejadian tertentu”.

Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya berperan
sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya
mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita
mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan.
Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.

Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk


taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram di dalam
Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari
untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau terkaan (misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.

Perbedaan antara Gharar dan Maisir : Dalam membandingkan definisi gharar dan definisi
maisir secara istilah nampak ada bentuk kemiripan. Kalimat maisir dan qimar lebih khusus dari gharar
sebab tidaklah diragukan bahwa maisir dan qimar itu adalah gharar. Karena itu para ulama setiap maisir
adalah gharar dan tidak setiap gharar adalah maisir. Contoh : Menjual pohon yang belum jelas hasilnya
adalah gharar tapi tidak bisa di golongkan maisir.

2.2     Dalil – dalil Pengharaman Maisir :

          Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :           


‫الش ْي َطانُ أَن‬
َّ ‫ إِ َّن َم ا ُي ِري ُد‬. َ‫اج َتنِ ُبوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُح ون‬
ْ ‫ان َف‬
ِ ‫الش ْي َط‬
َّ ‫س مِّنْ َع َم ِل‬ٌ ‫اب َواألَ ْزالَ ُم ِر ْج‬ َ َ‫َيا أَ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنو ْا إِ َّن َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي ِس ُر َواأل‬
ُ ‫نص‬
َ‫الص الَ ِة َف َه لْ أَن ُتم ُّمن َت ُه ون‬ َّ ‫ص دَّ ُك ْم َعن ذ ِْك ِر هّللا ِ َو َع ِن‬ ُ ‫ض اء فِي ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْي ِس ِر َو َي‬ َ ‫ُيوقِ َع َب ْي َن ُك ُم ا ْل َع دَ َاو َة َوا ْل َب ْغ‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersada :
ٍ‫ْيء‬ َ ‫دَّقْ ِب‬
‫ش‬ َ ‫ام ِْر َك َف ْل َي َت‬
‫ص‬ ‫ال َ أُ َق‬ ‫اح ِِب ِه َت َع‬ ‫ِص‬
َ ‫ال َ ل‬ ‫مَنْ َق‬
“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”,

maka hendaknya ia bershodaqoh.”


Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya
pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan
haramnya maisir/qimar dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh.
Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama tentang haramnya maisir.

“Diriwayatkan  oleh Abdullah bin Omar bahwa Rasulullah s.a.w. melarang berjualbeli yang
disebut  habal-al-habla  semacam jual beli yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah. Dalam jual beli ini
seseorang harus membayar seharga seekor unta betina yang unta tersebut belum lahir tetapi akan
segera lahir sesuai jenis kelamin yang diharapkan “.

“Diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi, termasuk Jabir, Abu Hurairah, Abu Said Khudri, Said bin Al
Musayyib dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah s.a.w. melarang
transaksi  muzabanah  dan  muhaqalah”.

Kedua jenis bisnis transaksi diatas sangat merakyat pada zaman sebelum Islam.  Muzabanah  adalah
tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan cara bahwa jumlah buah yang
kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang segar ditukarkan hanya dapat ditebak
karena masih berada di pohon. Sama halnya dengan  muhaqalah  yaitu penjualan gandum ditukar
dengan gandum yang masih ada dalam bulirnya yang jumlahnya masih ditebak-tebak.

Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya, maka dalam
Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang  maisir (judi dan semacamnya) sebagaimana ayat
berikut:
“Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada keduanya
terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya…”
(QS. Al Baqarah 2:219). 

Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi. Selain judi itu rijs  yang berarti busuk,
kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan.
Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya. Bahkan , pada gilirannya akan
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, setiap perbuatan yang melawan
perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.

Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk
menguburkan makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia, adalah
mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baik dan menarik,  atau dengan
nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya seakan-akan halal. Allah SWT
berfirman:

“Dan demikianlah  kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia
dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu manusia” (QS. Al-An`am: 112)

Juga perhatikan firman-Nya:

“Dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan keindahan apa yang selalu mereka kerjakan”
(QS. Al-An`am: 43)

Rasulullah SAW juga mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu sebagai, “Surga itu
dikelilingi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan mereka (setan) dikelilingi oleh sesuatu
yang menyenangkan”. (HR. Bukhari – Muslim).

2.3     Maysir  Dalam Bisnis.

Maisir  (judi/untung-untungan)

“Akad judi menurut Dr. Husain Hamid Hisan  merupakan akad gharar, karena masing-masing
pihak yang berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau jumlah
yang ia berikan, itu bisa ditentukan nanti, tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu
jika  menang  maka ia mengetahui jumlah yang diambil, dan jika  kalah  maka ia mengetahui jumlah
yang ia berikan”.

Undian dapat dipandang sebagai perjudian dimana aturan mainnya adalah dengan cara
menentukan suatu keputusan dengan pemilihan  acak. Undian biasanya diadakan untuk   menentukan
pemenang suatu  hadiah.
Contohnya adalah undian di mana peserta harus membeli sepotong tiket yang diberi nomor.
Nomor tiket-tiket ini lantas secara acak ditarik dan nomor yang ditarik adalah nomor pemenang.
Pemegang tiket dengan nomor pemenang ini berhak atas hadiah tertentu.

“Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk
kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan
cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.

Judi baik kecil ataupun besar,  merupakan faktor yang dominan atau faktor kecil dari sebuah
transaksi hukumnya adalah haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk mendatangkan uang yang
diperoleh dari untung-untungan. Dan Pada jaman jahiliah, maysir terdapat dalam dua hal yaitu :

  Dalam permainan dan atau perlombaan.

  Dalam  transaksi bisnis/mu'amalat.

Dalam peraturan Bank Indonesia  No  7/46/PBI/2005   dalam penjelasan pasal 2 ayat 3


menjelaskan bahwa  maysir  adalah  transaksi  yang mengandung perjudian, untung-untungan  atau
spekulatif yang tinggi.

Beberapa dalil yang menjelaskan keharaman berjudi adalah :

.]219:‫ [البقرة‬ ‫ َن ْفع ِِه َما‬  ْ‫مِن‬ ‫أَ ْك َب ُر‬ ‫ َوإِ ْث ُم ُه َما‬   ‫اس‬


ِ ‫لِل َّن‬ ‫ َو َم َنافِ ُع‬ ‫ َك ِبي ٌر‬ ‫إِ ْث ٌم‬ ‫ِيه َما‬ َ ‫َيسْ أَلُو َن‬
ِ ‫ف‬ ‫قُ ْل‬  ِ ‫ َو ْال َميْسِ ر‬ ‫ ْال َخ ْم ِر‬  ْ‫ َعن‬ ‫ك‬

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan maysir, katakanlah bahwa didalamnya terdapat dosa
yang besar  dan beberapa manfaat yang banyak, tetapi dosanya lebih banyak daripada  manfaatnya
( QS Al-Baqarah  2:219).

Jadi unsur perjudian merupakan salah satu dari ketiga hal yang dilarangan paling mendasar
dalam  setiap   muamalat/bisnis. Larangan judi sering dijadikan alasan kritik atas praktek pembiayaan
konvensional seperti spekulasi, asuransi konvensional dan derivative.

Selanjutnya, Syaikh Hisan mengatakan tidak ada seorang pun dari para mujtahid yang
mengatakan bahwa tasharrufaat (pembelanjaan-pembelanjaan) yang mengandung unsur “hura-hura,
menghibur diri, dan menyia-nyiakan waktu” serta didalamnya tidak ada unsur riba dan grarar
merupakan perjudian dan taruhan. Illat (sebab) keharaman judi bukan itu semua, tetapi illatnya adalah
gharar, karena di dalam judi dan taruhan ada istilah “kemungkinan menang bagi satu pihak dan
kemungkinan kalah bagi pihak lain”.

Mohd Fadzli Yusof, menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional terjadi karena


didalamnya terdapat faktor gharar, beliau mengatakan: “adanya unsur al-maisir (perjudian) akibat
adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang asuransi jiwa meninggal
dunia, sebelum akhir periode polis asuransi, namun telah membayar sebagian preminya, maka
tertanggungnya akan menerima sejumlah uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang dan dari
mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal inilah yang dipandang sebagai al-
maisir (perjudian) dalam asuransi konvensional”.

Dengan argumentasi yang hampir sama, Syafi`i Antoniomengatakan bahwa


unsur maisir artinya adanya salah satu pihak yang untung namun dilain pihak justru mengalami
kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga (untuk produk tertentu) maka yang
bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.

Pada kesempatan lain Syafi`i Antonio menjelaskan tentang maisir dalam asuransi konvensional
sebagai berikut : Maisir adalah suatu bentuk kesepahaman antara beberapa pihak, namun ending yang
dihasilkan hanya satu atau sebagian kecil saja yang diuntungkan. Sedangkan maisir  (gambling/untung-
untungan) dalam asuransi konvensional terjadi dalam tiga hal:

a.  Ketika seorang pemegang polis mendadak kena musibah sehingga memperoleh hasil klaim, padahal baru
sebentar menjadi klien asuransi dan baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi, nasabah diuntungkan

b.  Sebaliknya jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu, sementara ia sudah membayar premi
secara penua/lunas. Maka perusahaanlah yang diuntungkan.

c.   Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum


masa reserving period,  maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah
dibayarkan (cash value)kecuali sebagian kecil saja, bahkan uangnya dianggap hangus.

Salah satu pakar asuransi dan sekaligus praktisi asuransi yang cukup ternama di Indonesia, 
Muhaimin Iqbal, ACII mengatakan: Unsur maisir (perjudian) sebenarnya juga tidak disetujui dalam teori
dasar asuransi konvensional. Dalam ilmu asuransi (konvensional) asuransi dianggap berbeda dengan judi
karena kontrak asuransi harus berdasarkan adanya kepentingan keuangan (insurable interest) dan atas
kepentingan keuangan tersebut hanya dijamin terhadap resiko murni (pure risk), artinya dengan ganti
rugi asuransi nasabah nasabah hanya akan dipulihkan ke kondisi financial sesaat sebelum kejadian suatu
resiko (principle indemnity), nasabah tidak boleh mendapatkan keuntungan dari terjadinya suatu resiko.
Di sisi lain judi tidak mengharuskan adanya insurable interest dan resiko yang diperjudikan bersifat
speculative atau salah satu pihak akan untung dan lain pihak rugi. Dari perbedaan inilah maka teori
dasar asuransi menganggap bahwa asuransi bukanlah judi.

Tapi kenyataannya lanjut Iqbal, memang di praktek sangat berbeda dengan teori. Untuk aspek
maisir (perjudian) misalnya, sangat sedikit pelaku asuransi yang menerapkan teorinya dengan serius dan
menghindarkan bisnisnya dari sifat yang menyerupai perjudian atau untung-untungan.

Untuk menghindarkan diri dari unsur maisir (perjudian) tersebut, para pelaku asuransi tidak
cukup hanya mengandalkan sisi klien harus memiliki insurable interest, dan kalau terjadi kerugian hanya
diganti rugi ke kondisi sesaat sebelum kejadian (indemnity), tetapi disisi pengelolaan usaha khususnya
dalam memilih portofolio resiko dan menentukan nilai premi juga harus sepadan (equitable) terhadap
resiko yang dijamin. Oleh karena itulah maka di Indonesia bahkan ada peraturan yang mengharuskan
suku premi asuransi dihitung berdasarkan statistik profil resiko sekurang-kurangnya 5 tahun.

Yang terjadi di lapangan adalah dari puluhan jenis produk asuransi (khususnya asuransi
umum), hanya satu produk asuransi yaitu asuransi kebakaran yang statistiknya cukup untuk menghitung
suku premi yang equitable. Selebihnya suku premi lebih banyak ditentukan oleh pengalaman dan
kekuatan pasar sehingga sulit untuk meyakinkan bahwa suku premi yang dibayar oleh nasabah atau
sekumpulan nasabah akan cukup untuk membayar ganti rugi nasabah yang kurang beruntung. Bahkan
statistik yang memadai di asuransi kebakaran pun  sering diabaikan oleh pelaku pasar. Sikap pelaku
asuransi yang tidak menghiraukan teori dasarnya sendiri inilah yang membawa praktek asuransi sangat
dekat atau bahkan bercampur dengan unsur maisir (perjudian).

2.4     Contoh Kasus

            Untuk memperjelas penelitian dalam hal ini, ada Kasus  yang dapat kami
sampaikan yaitu  kasus  SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) dan PORKAS.  Saat itu pemerintah
bermaksud menggalang dana dari masyarakat untuk kemajuan olah raga dengan menarik dana
sumbangan dari masyarakat, guna menarik masyarakat untuk berpartisipasi memberikan donasinya
maka  setiap orang yang menyumbang akan diberikan kupon, dan kupon-kupon tersebut akan diundi,
bagi yang beruntung akan mendapatkan hadiah dengan nilai yang sangat besar. Dengan cara ini panitia
dapat menghimpun dana sumbangan yang sangat besar , dan sebagian kecil dari sumbangan itu akan
diberikan kepada sebagaian pemenang dalam bentuk hadiah, sedangkan dana mayoritas akan
digunakan untuk kemajuan olahraga. Permasalahan  yang kemudian muncul adalah apakah transaksi
tersebut termasuk judi atau bukan, kasus ini berakhir dengan dicabutnya kupon SDSB dari peredaran
karena dianggap judi dan haram hukumnya.

Dalam industri asuransi, adanya maisir atau gambling disebabkan karena adanya gharar sistem
dan mekanisme pembayaran klaim. Jadi judi atau gambling terjadi illat-nya karena disana ada gharar.
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa mengatakan bahwa adanya unsur gharar  menimbulkan al-qumaar.
Sedangkan al-qumaar sama dengan al-maisir, gambling dan perjudian. Artinya ada salah satu pihak yang
untung tetapi ada pula pihak lain yang dirugikan.

 2.5     Beberapa Hukum Berkaitan Dengan Undian

Al Ustadz Dzulqornain bin Muhammad Sunusi dalam menguraikan tentang hukum undian


diharuskan untuk kembali mengingat beberapa kaidah syari’at Islam yang telah dijelaskan dalam tulisan
bagian pertama dalam pembahasan ini.
Kaidah - kaidah tersebut adalah sebagai berikut : Pertama : Kaidah yang tersebut dalam
riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu : “ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari jual beli gharar. ”Gharar adalah apa yang belum diketahui diperoleh tidaknya atau apa
yang tidak diketahui hakekat dan kadarnya. Kedua : Kaidah syari’at yang terkandung dalam firman Allah
Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr maisir berhala mengundi nasib dengan
panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan.

Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya


syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran
khamr dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang ; maka berhentilah
kamu ” Dan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu riwayat Al Bukhori dan Muslim Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“ Siapa yang berkata kepada temannya : Kemarilah saya berqimar
denganmu maka hendaknya dia bershodaqoh. ”Yaitu hendaknya dia membayar kaffaroh menebus dosa
ucapannya.

Ayat dan hadits di atas menunjukkan haramnya perbuatan maisir dan qimar dalam
mu’amalat. Maisir adalah tiap mu’amalah yang orang masuk ke dalamnnya setelah mengeluarkan biaya
dengan dua kemungkinan ; dia mungkin rugi atau mungkin dia beruntung. Qimar menurut sebagian
ulama adalah sama dengan maisir dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang
berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Berdasarkan dua kaidah di atas berikut ini kami akan berusaha
menguraikan bentuk-bentuk undian secara garis besar beserta hukumnya. Macam-macam undian dapat
dibagi menjadi tiga bagian: Satu : Undian Tanpa Syarat Bentuk dan contohnya : Di pusat-pusat
perbelanjaan pasar pameran dan semisalnya sebagai langkah untuk menarik pengunjung kadang
dibagikan kupon undian untuk tiap pengunjung tanpa harus membeli suatu barang. Kemudian setelah
itu dilakukan penarikan undian yang dapat disaksikan oleh seluruh pengunjung. Hukumnya : Bentuk
undian yang seperti ini adalah boleh. Karena asal dalam suatu mu’amalah adalah boleh dan halal. Juga
tidak terlihat dalam bentuk undian ini hal-hal yang terlarang berupa kezhaliman riba gharar penipuan
dan selainnya. Dua : Undian Dengan Syarat Membeli Barang Bentuknya : Undian yang tidak bisa diikuti
kecuali oleh orang membeli barang yang telah ditentukan oleh penyelenggara undian
tersebut. Contohnya : Pada sebagian supermarket telah diletakkan berbagai hadiah seperti kulkas radio
dan lain-lainnya. Siapa yang membeli barang tertentu atau telah mencapai jumlah tertentu dalam
pembelian maka ia akan mendapatkan kupon untuk ikut undian. Contoh lain : sebagian perusahaan
telah menyiapkan hadiah-hadiah yang menarik seperti Mobil HP Tiket Biaya Ibadah Haji dan selainnya
bagi siapa yang membeli darinya suatu produk yang terdapat kupon/kartu undian. Kemudian kupon atau
kartu undian itu dimasukkan ke dalam kotak- kotak yang telah disiapkan oleh perusahaan tersebut di
berbagai cabang atau relasinya. Hukumnya : undian jenis ini tidak lepas dua dari dua keadaan :- Harga
produk bertambah dengan terselenggaranya undian berhadiah tersebut. Hukumnya : Haram dan tidak
boleh. Karena ada tambahan harga berarti ia telah mengeluarkan biaya untuk masuk ke dalam suatu
mu’amalat yang mungkin ia untung dan mungkin ia rugi. Dan ini adalah maisir yg diharamkan dalam
syariat Islam.- Undian berhadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk. Perusahaan mengadakan
undian hanya sekedar melariskan produknya.Hukumnya : Ada dua pendapat dalam masalah ini : 1.
Hukumnya harus dirinci. Kalau ia membeli barang dengan maksud untuk ikut undian maka ia tergolong
ke dalam maisir/qimar yang diharamkan dalam syariat karena pembelian barang tersebut
adalah sengaja mengeluarkan biaya untuk bisa ikut dalam undian. Sedang ikut dalam undian tersebut
ada dua kemungkinan ; mungkin ia beruntung dan mungkin ia rugi. Maka inilah yang disebut
Maisir/Qimar adapun kalau dasar maksudnya adalahbutuh kepada barang/produk tersebut setelah itu ia
mendapatkan kupon untuk ikut undian maka ini tidak terlarang karena asal dalam muámalat
adalah boleh dan halal dan tidak bentuk Maisir maupun Qimar dalam bentuk ini. Rincian ini
adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin {Liqoul Babul Maftuh no.48 soal 1164 dan no.49 soal 1185.
Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} Syaikh Sholih bin ‘Abdul ’Aziz Alu Asy-
Syaikh {dalam muhadhoroh beliau yang berjudul “Al Qimar wa Shuwarihil Muharromah} Lajnah Baitut
Tamwil Al-Kuwaiti{Al Fatawa Asyar’iyyah Fi Masail Al Iqtishodiyah fatwa no.228. Dengan perantara kitab
Al-Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} dan Haiah Fatwa di Bank Dubai Al-Islamy{dalam fatwa mereka
no.102 Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At- Tijaiyah At-Taswiqiyah}.1. Hukumnya adalah haram
secara mutlak. Ini adalah pendapat Syaikh Abdul’Äziz bin Baz{Fatawa Islamiyah 2/367-368. Dengan
perantara kitab Al-Hawafidz At-Tijaiyah At- Taswiqiyah}dan Al-Lajnah Ad-Da’imah{Fatawa Islamiyah
2/366-367. Dengan perantara kitab Al- Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} Alasannya karena hal
tersebut tidak lepas dari bentuk Qimar/Maisir dan mengukur maksud pembeli apakah ia memaksudkan
barang atau sekedar ingin ikut undian adalah perkara yang sulit. Tarjih yang kuat dalam masalah ini
adalah pendapat pertama. Karena tidak hanya adanya tambahan harga pada barang dan dasar maksud
pembeli adalahmembutuhkan barang tersebut maka ini adalah mu’amalat yang bersih dari
Maisitr/Qimar dan ukuran yang menggugurkan alasan pendapat kedua. Dan asal dalam mu’amalat
adalah boleh dan halal. Wallahu A’lam.Tiga : Undian dengan mengeluarkan biaya. Bentuknya : Undian
yang bisa diikut tiap orang yang membayar biaya untuk ikut undian tersebut atau mengeluarkan biaya
untuk bisa mengikuti undian tersebut dengan mengeluarkan biaya. Contohnya : Mengirim kupon/kartu
undian ketempat pengundian dengan menggunakan perangko pos, tentunya mengirim dengan
perangko mengeluarkan biaya sesuai dengan harga perangkonya. Contoh Lain : Ikut undian dengan
mengirim SMS kelayanan telekomunikasi tertentu baik dengan harga wajar maupun dengan harga yang
telah ditentukan. Contoh lain : Pada sebagian tutup minuman tertera nomor yang bisa dikirim ke
layanan tertentu dengan menggunakan SMS kemudian diundi untuk mendapatkan hadiah yang telah
ditentukan.

Diposting oleh MUMALAH 10' BLOG'S di 16.36 

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

1 komentar:
1.
Ivan Priyambudi23 November 2015 06.31

mas, daftar pustakanya ada gak ya?


Balas

Tambahkan komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda


Langganan: Posting Komentar (Atom)

Selamat Datang
Mengenai Saya
MUMALAH 10' BLOG'S

Lihat profil lengkapku

Jaga Waktumu

PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang

RISIKO, bagi sebagian orang merupakan satu kata yang menakutkan. Respon pertama
terhadap risiko adalah HINDARI. Tidak ada yang salah terhadap respon tersebut karena secara
naluri manusia cenderung menginginkan hasil yang baik dan menghindari akibat yang buruk.
Masalahnya adalah manusia dalam mempertahankan eksistensi kehidupannya harus
melakukan aktivitas. Tanpa aktivitas, tidak mungkin diperoleh hasil yang baik. Sebaliknya, pada
setiap aktivitas terkandung risiko terjadinya akibat yang buruk. Sebagai contoh, untuk
memperoleh kehidupan yang baik seseorang harus bekerja. Aktivitas bekerja memberikan
keuntungan finansial, karir, prestise pada gilirannya membutuhkan sesuatu yang dikorbankan,
seperti hilangnya waktu untuk bersenang-senang, gangguan kesehatan, hingga kemungkinan
hilangnya pekerjaan. Pengorbananan yang mungkin diderita itulah yang disebut sebagai risiko.
Dalam hal ini risiko merupakan konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan.
Risiko diawali dengan adanya ketidaksempurnaan informasi atas berbagai aspek dalam
proses pengambilan keputusan dan hasilnya. Sehingga, dikatakan bahwa “risk comes from not
knowing what you are doing” ketidak sempurnaan informasi akan mendatangkan ketidak pastian.
Bahkan, ketidak pastian itu sendiri melekat pada hidup dan kehidupan kita didunia. Tidak ada
yang tahu apa yang terjadi besok bukan hanya masalah untung atau rugi didunia, bahkan
kepastian apakah akan masuk surga sebagai puncak keberuntungan manusia atau masuk neraka
sebagai puncak kerugian pun juga tidak ada yang tahu. Tidak ada jaminan bahwa usaha atau
ikhtiyar pasti selalu mendatangkan keuntungan. Pasti ada setelah terjadi. Ketika belum terjadi,
yang ada adalah ketidakpastian. Dengan pemahaman ini, maka benarlah bahwa “risiko adalah
takdir Allah”, hanya Allah semata yang mengetahui apa yang akan terjadi besok. “setiap manusia
harus menyadari bahwa risiko dan ketidakpastian yang menyebabkan terjadinya risiko adalah
bagian dari rahasia Allah Ta’ala.
Manusia diberikan kelapangan seluas-luasnya untuk melakukan transaksi muamalah
selama tidak ada dalil yang melarang nya. inilah indahnya islam. Manusia diberikan koridor
dalam melakukan transaksi muamalah. Kebebasan yang ada bukanlah kebebasan yang mutlak,
seperti pada sistem ekonomi kapitalis. Sebaliknya, koridor batasan yang ditetapkan oleh syariat
tidak menghilangkan kebebasan manusia dalam bermuamalah, seperti pada sistem ekonomi
sosialis. Batasan-batasan yang diberikan  islam adalah dalam rangka menghilangkan dan
mencegah kemudharatan. Segala unsur yang berpotensi menciptakan kemudaratan dan
kedhaliman pasti dilarang dalam islam. apalagi  jika nyata-nyata menimbulkanya, seperti
larangan adanya riba, gharar, (ketidakjelasan), maysir(judi), tadlis(penipuan), batil, dan
pemaksaan.
Penjelasan tentang risiko, gharar dan maysir diharapkan akan memberikan pencerahan
dalam bersikap untuk menghadapi resiko. Oleh karena itu kami membuat makalah ini dengan
judul “risiko, gharar dan maysir” agar mampu meberikan manfaat bagi pembaca.

B.     Rumusan Masalah

       Dikarenakan keterbatasan waktu dan kemampuan kami dalam menyusun makalah ini, maka
kami membatasi rumusan masalah dalam materi ini sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksuddenganRISIKO?
2.      Apa yang dimaksuddengan GHARAR?
3.      Apa yang dimaksuddengan MAYSIR?

C.    Tujuan

       Adapun tujuan penyusunan makalah ini meliputi :


1.      Mengetahui definisi singkat risiko, gharar, maysir
2.      Dapat membedakan antara risiko, gharar, maysir
3.      Mengetahui manfaat mempelajari risiko, gharar, maysir

PEMBAHASAN
1.    Risiko.
Pengertian Resiko.
Risiko merupakan bahaya: resiko adalah ancaman atau perlindungan suatu tindakan atau
kejadian yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai. Resiko
juga merupakan peluang: resiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai
tujuan.
Kata kuncinya adalah “tujuan” dan “dampak/sisi yang berlawanan” Penjelasannya adalah
sebagai berikut: guna mempertahankan eksistensi kehidupan, maka diperlukan suatu tujuan.
Untuk mencapai tujuan, diperlukan tindakan atau aktivitas. Aktivitas memiliki resiko jika
dampaknya berlawanan. Sebaliknya, aktivitas memberikan peluang untuk memperoleh hasil
yang diinginkan.[1]
Menurut PBI No. 13/25/PBI/2011 tentang penerapan manajemen resiko bagi BUS dan
UUS. Resiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya peristiwa tertentu. Sementara itu, resiko
kerugian adalah kerugian yang terjadi sebagai konsekuensi langsung atau tidak langsung dari
kejadian resiko. Kerugian itu bisa berbentuk finansial dan nonfinansial.[2]
Pembahasan selanjutnya adalah keterkaitan antara risiko dengan organisasi.Setiap
organisasi pasti memiliki tujuan berupa visi dan misi yang ingin dicapai. Tujuan tersebut
berpeluang untuk dicapai, tetapi derdapat juga risiko untuk tidak tercapai.Pembahasan risiko
tidak terlepas dari pembahasan tentang tingkat kemungkinan risiko terjadi (frequency of risk
events) dan tingkat dampak kerugian dari resiko yang terjadi (impct/severity of risk losses).
            Risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tak
diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain “kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya
ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko. Dan
jika kita kaji lebih lanjut “kondisi yang tidak pasti” itu timbul karena berbagai sebab, antara lain:
-          Jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu berakhir. Makin panjang
jarak waktu makin besar ketidakpastiannya.
-          Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan.
-          Keterbatasan pengetahuan/ keterampilan/ teknik mengambil keputusan.
-          Dan sebagainya.[3]

Jenis-jenis Risiko.
            Pengelompokan risiko menjadi sangat penting, karena setiap kegiatan usaha baik
perseorangan sebagai suatu badan akan selalu berhadapan dengan risiko tersebut. Secara umum
risiko dapat dikelompokkan menjadi risiko spekulatif (speculative risk) dan risiko murni (pure
risk).
            Risiko spekulatif adalah risiko yang mengandung dua kemungkinan, yaitu kemungkinan
yang menguntungkan utau kemingkinan yang merugikan. Risiko ini biasanya berkaitan dengan
risiko usaha atau bisnis. Contoh: perjudian, pembelian saham, pembelian valuta asing, saving
dalam bentuk emas, perubahan tingkat suku bunga perbankan. Risiko murni adalah risiko yang
hanya mengendung satu kemungkinan, yaitu kemungkinan rugi saja. Contoh: bencana alam
seperti babjir, gempa, gunung meletus, tsunami, tanah longsor, topan, kebakaran, resesi ekonomi
dan sebagainya.
            Risiko dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab terjadinya atau dampak yang
ditimbulkannya. Berdasarkan penyebab terjadinya, risiko dibagi menjadi dua, yakni risiko
nonbisnis dan risiko bisnis. Risiko nonbisnis muncul dari berbagai faktor yang yang tidak terkait
dengan bisnis yang dijalankan, namun dampaknya akan mempengaruhi bisnis, seperti kebakaran,
banjir, dll. Risiko jenis ini termasuk risiko jenis murni. Sedangkan risiko bisnis muncul karena
proses bisnis yang dilakukan, seperti kesalahan saat membuat perencanaan, kurangnya informasi
saat pengambilan keputusan atau kurang optimalnya pengelolaan.
            Sementara itu, berdasarkan dampaknya, risiko dibagi menjadi dua. Pertama, risiko yang
dampaknya hanya ditanggung oleh proyek atau bank atau instansi tertentu, terisolasi dan tidak
merembet pada proyek atau institusi lain. Risiko ini disebut dengan risiko unik, risiko
nonsistematis (unsystematic risk). Risiko ini terjadi akibat faktor yang ada dan terjadi pada bank
atau institusi atau proyek tertentu, dan tidak ada selainnya. Kedua, risiko yang dampaknya
menyebabkan terjadinya efek domino, yakni menyeret proyek atau proses atau institusi atau
sektor atau bahkan negara lain untuk terkena dampak risiko tersebut, atau berdampak pada
keseluruhan pasar atau sistem yang ada. Risiko ini muncul sebagai akibat adanya faktoe risiko
bersama di pasar dan terjadinya hubungan interdependensi antar-unit atau institusi atau sektor
ekonomi. Faktor risiko ini umumnya terkait dengan variabel makro-ekonomi atau kondisi
sektoral atau geografis atau indikator pasar lainnya. Risiko ini disebut risiko pasar karena risiko
ini berdampak pada semua institusi atau proyek yang ada dalam cakupan pasar atau sektor atau
geografis tertentu, risiko ini tidak mungkin dapat dihilangkan dengan pendekatan diversifikasi
portofolio investasi, kecuali jika keluar dari cakupan tersebut. Karenanya, risiko pasar ini disebut
dengan risiko yang tidak diversifikasi (undiversifikasi risk), risiko sistematis (systemic risk).[4]

Faktor-faktor Risiko.
            Risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya peristiwa yang menyimpang dari apa yang
diharapkan. Tetapi, penyimpangan ini baru akan nampak bilamana sudah berbentuk suatu
kerugian. Jika tidak ada kemungkinan kerugian, maka hal ini tidak ada risiko. Jadi faktor yang
menyebabkan terjadinya suatu kerugian adalah penting dalam analisis risiko.
            Terdapat dua faktor yang bekerja sama menimbulkan kerugian adalah becana (perils) dan
bahaya (hazards). Bencana adalah penyebab penyimbangan peristiwa sesungguhnya dari yang
diharapkan. Bencana ini merupakan penyebab langsung terjadinya kerugian. Kehadirannya
menimbulkan risiko yang menyebabkan teejadinya kemungkinan penyimpangan yang tidak
diharapkan. Lingkungan kita selalu dihadapkan dengan bencana-bencana, seperti: banjir, tanah
longsor, gempa, gelombag laut yang tinggi, gunung meletus, kebakaran, pencurian, perampokan,
lematian dan masih banyak yang lainnya.
            Bahaya adalah keadaan yanng melatar belakangi terjadinya kerugian oleh bencana
tertentu. Bahaya meningkatkan risiko kemungkinan terjadinya kerugian. Keadaan-keadaan
tertentu disebut bahaya, misalnya: mengendarai mobil di jalan raya terlalu kencang, mendirikan
bangunan yang tinggi tanpa dilengkapi dengan alat pengaman, kondisi hujan badai dan sambaran
petir.
Bahaya dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: bahaya fisik (physical hazard),
adalah aspek fisik dari harta yang terbuak dari risiko. Misalnya, lokasi sebuah gedunng
mempengaruhi kepekaannya terhadap kerugian, karena terbakar atau terkena gempa. Bahaya
moral (moral hazard) juga mempengaruhi kemungkinan kerugian, contoh: ketidakjujuran adalah
bahaya moral yang dapat meningkatkan kemungkinan risiko. Bahaya morale (morale hazard)
adalah bahaya yang ditimbulkan oleh sikap ketidak hati-hatian dan kurangnya perhatian sehingga
meningkatkan terjadinya kerugian, seperti membuang putung rokok sembarangan sehingga dapat
menimbulkan kebakaran. Bahaya karena hukum atau peraturan (legal hazard), yaitu suatu bahaya
yang timbul karena mengabaikan undang-undang atau peraturan yang telah ditatapkan.

Sumber-sumber Risiko.
            Risiko sosial, yang sumber utamanya adalah masyarakat. Artinya, tindakan orang-orang
mencipkatan kejadian yang menyebabkan penyimpangan kerugian. Misalnya: pencurian,
vandalisme, huru-hara, peperangan, dan sebagainya.
            Risiko fisik, yang sumber utamanya sebagian merupakan fenomena alam dan sebagian
karena tingkah laku manusia. Kebakaran adalah penyebab utama cidera fisik, kematian maupun
keruakan harta. Kebakaran dapat disebabkan leh petir, konsluiting kabel, gesekan benda maupun
kecerobohan manusia.
            Risiko ekonomi, misalnya: inflasi, resesi, fluktuasi harga dan lain-lain. Selama periode
inflasi daya beli uang merosot. Para pensiunan dan mereka yang berpenghasilan tetap, tidak
mungkin lagi dapat mempertahankan tingkat hidup sebagaimana biasanya. Bahkan pada periode
ekonomi yang relatif stabil, daerah-daerah tertentu mungkin mengalami boom arau resesi.
Keadaan ini menempatkan orang-orang dan pengusaha pada risiko yang sama dengan risiko pada
fluktuasi umum kegiatan ekonomi.[5]

Risiko sebagai fitrah bisnis.


Islam merupakan agama fitrah yang komplit dan menyeluruh. Oleh karena itu, tidak ada
satupun urusan fitrah manusia yang luput dari perhatian agama islam. Tidak ada sesuatu pun,
dalam urusan dunia maupun akhirat, kecuali Islam telah menjelaskan perkaranya. Islam adalah
agama yang lengkap dan sempurna mengatur segala aspek kehidupan manusia. Syariatnya
mengatur hubungan manusia dengan Allah Ta’ala, hubungan manusia dengan pribadinya sendiri,
keluarganya, dan sesama manusia dalam bentuk muamalah (sosial) demi kemasylahatan hidup
mereka.
            Kegiatan bisnis merupakan salah satu fitrah dari manusia karena dengan berniaga
menusia dapat memenuhi berbagai kebutuhannya. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
bisnis adalah keuntungan dan kerugian, dengan demikian risiko itu sendiri merupakan fitrah
yang senantiasa melekat dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya, Islam tidak mengenal
adanya transaksi bisnis yang bebas risiko.
            Para ulama telah bersepakat bahwa terdapat dua kaidah penting yang harus diperhatikan
dalam menjalani bisnis dan setiap transaksi usaha, yaitu kaidah al-kharaj bidh dhaman
(pendapatan adalah imbalan atas tanggungan yang diambil) dan al-ghunmu bil ghurmi
(keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian). Maksud dari kedua kaidah
tersebut adalah orang yang berhak mendapatkan keuntungan adalah orang yang punya kewajiban
menanggung kerugian (jika hal itu terjadi). Keuntungan merupakan kompensasi yang pantas atas
kesediaan seseorang menanggung seluruh risiko terkait barang dagangannya (kerusakan barang
sebelum terjual, kehilangan barang dagang, tidak laku, dan lain sebagainya).
Pendekatan dalam mengakui risiko.
Sebagian respon atas suatu risiko adalah fobia dan semaksimal mungkin menghindari
berbagai faktor pemicu risiko tersebut. Sebagian merasa tidak mungkin aman dari risiko. Mereka
hidup bersama risiko. Maksimal yang mereka bisa lakukan adalah memitigasi keterjadian dan
dampak yang ditimbulkannya. Berbagai pendekatan dilakukan mulai dari pencegahan, mitigasi
dampak, mentransfer risiko, membagi risiko dan menerima risiko.
Mencegah dan meminimalkan risiko dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem
pengendalian internal, mengubah proses bisnis, atau mengganti elemen yang berbahaya
(termasuk melakukan rotasi pegawai). Berikut adalah manfaat jika mapu mengelola risiko
dengan andal dan profesional:
         Dapat terhindar dari berbagai kerugian yang tidak diperlukan, menghemat biaya, terjaminnya
kestabilan laba yaang diharapkan, dan terhindarnya dari kegagalan bisnis dan kebangkrutan
usaha.
         Keberlangsungan bisnis lebih terjamin, terciptanya pertumbuhan yang berkelanjutan,
penggunaan terbaik (best use) atas sumber daya, dan memungkinkan fokus pada pemberian
layanan yang terbaik dan inovasi.
          Proses bisnis berjalan sesuai rencana, jika terjadi penyimpangan dan gangguan operasi, dapat
segera mengantisipasi dan memberikan solusi tepat waktu dan tepat guna.
         Terbangunnya reputasi positif di mata masyarakat.[6]

2.    Gharar.
Pengertian Gharar.
Secara bahasa gharar barmakna “khatar”, yakni mengandung bahaya, atau bisa juga
bermakna “ khida”, yakni menipu. Secara terminologi, definisi gharar merujuk pada
ketidakpastian yang dapat menyakibatkan seseorang berada dalam bahaya. Maksud ketidak
pastian dalam transaksi muamalah ialah “terdapat sesuatu yang ingin disembunyikan oleh
sebelah pihak dan hanya boleh menimbulkan rasa ketidak adilan serta penganiayaan kepada
pihak lain. Menurut Ibn Rush maksut al-gharar ialah “kurangnya maklumat tentang keadaan
barang (objek), wujud keraguan pada kewujudan barang, kuantiti, dan maklumat yang lengkap
terhubungnya dengan harga. Ibnu tamiyah menyatakan al-gharar itu ialah apabila satu pihak
mengambil haknya dan satu pihak lagi tidak menerima apa yang sepatutnya dia dapatkan.
            Al-gharar ditaqrifkan dalam kitab Qalyubi wa Umairah menyatakan madhab Imam Al-
Shaffi mendefinisikan Gharar sebagai, “suatu (aqad) yang akibatnya tersembunyi daripada kita
atau perkara diantara dua kemungkinan dimana yang paling kerab berlaku ialah yang paling
ditakuti”. Syaiful Azhar Rosly menyatakan, “Gharar yang dimaksut resiko dan ketidak pastian
yang puncak dari perbuatan manipulasi manusia mengakibatkan kemudharatan keatas pihak yang
di dzalimi. Umpamanya dalam jual beli mobil bekas, pembeli tidak dibertau tentang keadaan
sebenarnya kendaraan tersebut. Setelah selesai perjanjian jual beli,  Gharar dalam objek jual beli
itu boleh dijadikan alasan membatalkan kontrak. Ini karena Gharar itu berasal dari perbuatan
dzalim yang disengaja.
            Gharar secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak
mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subjek dan objek akad. Gharar adalah
semua jual beli yang mengandung ketidak jelasan atau keraguan tentang adanya komoditas yang
menjadi objek akad, Ketidak jelasan akibat dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi
( pertaruhan / perjudian).
Dalam al-Quran tidak ada nash secara khusus yang mengatakan tentang hukum gharar
akan tetapi secara umum dapat dimasukan dalam surat al-Baqarah yang artinya;
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian dari yang lain diantara kamu dengan
yang batil. (Q.S. Al-Baqarah: 188)
Mengenai dilarangnya jual beli gharar oleh Rasulullah didapati hadis yang berhubungan
dengan hal tersebut yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat antara lain;
Dari Abi Hurairah berkata: Rasullulah telah melarang jual beli hasah dan jual beligharar.[7]

Konsepsi gharar.
Konsep dasar yang berkaitan dengan konsep gharar antara lain: (1) Game, Sebuah
pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih
dikenal dengan mu’awadhah bi qash al-ribh (transaksi dengan keuntungan). (2) Zero sum game
(permainan dengan hasil bersih nol)
Konsep permainan yang hanya menghasilkan output win- lose (menang-kalah).
Kemenangan yang  diperoleh satu pihak atau secara terbalikkkerugian bagi pihak lain. Hasil
yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Menurut Friedman
(1990 h.20-21 ) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada
hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak  pihak yang tidak ada kerja sama. Disinilah
terletak adanya unsur Gharar  sifat dari kontrak berjangka yang zero sum-game (pasti ada yang
untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan
transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah
(volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergeraannya (khususnya pada kontrak
berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya
membuat kntrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas
mendorong perilaku spekulatif. Disampig itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain
mengimplikasikan ketidak seimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.[8]

Pembagian Gharar.
Gharar dalam sighat akad (bentuk transaksi), yaitu Gharar dalam sighat akad (bentuk
transaksi) mempunyai arti bahwa akad atau transaksi yang terselanggara didalamnya terdapat
gharar. Atau dalam artian gharar tersebut berhubungan langsung dengan akad tidak pada benda
yang diakadkan. Adapun macam-macam gharar dalam sighat akad atau gharar yang terdapat
dalam bentuk transaksi antara lain meliput : Dua jual beli dalam satu jual beli, Jual beli Urban,
Jual beli Munabazah, Jual beli Hasah, Jual beli Mulamasah, Aqad yang digantungkan dan akad
yang disandarkan.
Gharar dalam benda yang berlaku padanya akad/benda yang ditransasikan. Gharar
didalam barang yang dijual atau mahalul aqdi termasuk juga harga maka dapatlah dikembalikan
jika: Ketidakjelasan Pada Zat Yang Ditransaksikan, Ketidakjelasan Pada Jenis Benda Yang
Ditransaksikan, Ketidakjelasan pada macam barang yang ditransaksikan, Ketidakjelasan pada
sifat benda yang ditransaksikan, Ketidakjelasan pada kadar benda yang ditransaksikan,
Ketidakjelasan pada tempo penentuan harga, Tidak adanya kemampuan menyerahkan benda
yang ditransaksikan, Transaksi pada benda yang tidak ada, tidak bisa melihat benda yang
ditransaksikan.[9]
Ditinjau dari hukum keharaman dan kehalalanya, Macam-macam gharar dalam jual beli
terbagi menjadi tiga: (1) Bila kuantitas banyak, hukumnya dilarang berdasarkan ijma’. Seperti
menjual ikan masih dalam air dan burung yang masih diudara. (2) Bila jumlahnya sedikit,
hukumnya dibolehkan menurut ijma’ seperti pondasi rumah (dalam transaksi jual beli rumah) isi
bagian dalam pakaian dan sejenisnya. (3) Bila kuantitasnya sedang-sedang saja, hukumnya
masih diperrdebatkan. Namun parameter untuk mengetahui banyak sedikit kuantitas,
dikembalikan kepada kebiasaan.[10]

Gharar dan Tadlis.


            Gharar biasanya merujuk pada muamalah antar manusia, misalnya dalam berinteraksi
jual beli (bai’), utang-piutang (qard), sewa-menyewa (ijarah) wakalah dan syirkah.
Ketidaksempurnaan informasi ini bisa muncul secara alami dan tidak ada unsur kesengajaan dari
pihak yang bertransaksi. Inilah definisi gharar. Jika terdapat unsur kesengajaan dari salah satu
pihak untuk memanipulasi informasi atau menyembunyikannya maka ini disebut dengan tadlis
(penipuan) islam melarang adanya gharar dan tadlis dalam ransaksi. Gharar dan tadlis pasti
berujung pada kezaliman dan ketidakadilan. Islam datang untuk memerangi keduanya. Jika ada
transaksi yang mengamdung unsur gharar atau tadlis, maka transaksi tresebut akan menjadi rusak
atau batal.
            Terkait dengan unsur kesengajaan ini, sebagian orang membagi risiko menjadi dua ,
yakni risiko alamiah (natural risk) dan risiko sintetis (synthetic risk). Dalam konteks di atas,
risiko alamiah merujuk pada gharar yang tetap melekat pada kontrak, meskipun telah berusaha
dihilangkan, dan kalaupun dihilangkan dapat mendatangkan kenudaratan tebih besar
dibandingkan membiarkan gharar tersebut tetap ada. Lazimnya, ini unttuk gharar yang bersifat
ringan dan dapat diabaikan. Namun, bila gharar tersebut bersifat berat dan dapat dihilangkan
dalam konrrak, namun sengaja dibiarkan, maka ini termasuk dalam risiko sintetis.[11]

PerbedaanGharardenganGhurm/Risiko

Gharar  (ketidakjelasan)  danGhurm  (risiko)  adalahduaelemen  yang berbeda. Gharar


adalah elemen  yang  diharamkan dalam jual beli sementara ghurm adalah salah satu justifikasi
kenapa keuntungan dalam jual beli itu sesuatu  yang  baik.  Dalam kaedah fiqh dikenali stilah 
(Al-ghunmu bil ghurmi) setiap keuntungan mesti diikuti sebuah risiko.
Penjelasan lanjutan tentang Ghurm dilengkapkan dengan firman  Allah SWT :[12]

Bermaksud, "Untuk kebiasaan kaum Quraisy, Yaitu kebiasaan mereka dengan perjalanan pada
musim dingin dan musim panas, hendaklah mereka menyembah Tuhan Rumah ini,  yang 
menyediakan mereka makanan untuk melawan kelaparan, dan dengan keamanan terhadap takut
bahaya"
Pada zaman itu, ada dua jenis kontrak komersial yang dapat diamalkan di dalam
perdagangan  yang  dilakukan kabilah Quraisy, yaitu mudarabahdan  al-bay’.  Pada kontrak 
yang  pertama,  orang-orang  Mekah selalu menunggu kedatangan kabilah dengan harapan penuh
pada keuntungan  dalam perdagangan melalui mudarabah al-Qirad.
Perdagangan yang dilakukan kabilah tersebut tidaklah mudah dan selalu mengalami
kerugian.  Barang dagangan kadang-kadang hancur sebelum sampai kepasaran. Ribut pasir,
penyakit dan rompakan di  jalan serta masalah-masalah yang  timbul menjejaskan
lagi perjalanan kabilah tersebut dan mengangu kelancaran perniagaan mereka.  Hal-hal tersebut
adalah risiko perdagangan  yang  tidak mampu dihindari. Risiko seperti inilah yang disebut Al-
ghurm. Sedangkan gharar muncul jika terdapat ketidakjelasan dalam jenis barang  yang 
diperdagangkan, atau ketidakjelasan harga suatu barang atau servis. 
keterangan Risiko gharar
Pandanganislam Diperbolehkandengankaedahfiqh Al DilarangberdasarkanHadisdandalil-
ghurmubilghunm dalisyari’i
contoh Risikodidalamusahaperniagaan Tidakadanyapenetapan
hargadanspesifikasidalam
kontrakjualbeli
Kesan Menumbuhkansemangat Menimbulkanperselisihan
wirausahadansikap  yang
produktif

3.    MAYSIR.
Konsep maysir.
Halyang dilarang dalam islam selain gharar adalah maysir. Maysir atau qimar secara
harfiah bermakna judi (spekulasi). Secara teknis adalah setiap permainan yang di dalamnya di
syaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari pihak yangkalah untuk pihak yang
menang. Definisi judi (maysir atau qimar) menurut Ibrahim Anis dkk. Dalam al-mu’jam  al-
wasith hal. 758, judi adalah setiap permainan yang di dalamnya disyaratkan adanya sesuatu
(berupa materi) yang di ambil dari pihak yang kalah kepada pihak yang menang. Menurut
Muhamad Ali biAsh-Sabuni dalam kitab tafsirnya rawa’i Al-Bayan fi Tafsir Ayat Al-Ahkam
( 1/279), judi adalah setiap permainan yang menimbulkan keutungan (ribh) bagi satu pihak dan
kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya. 
Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga dapat disimpulkan
sebuah definisi judi yang menyeluruh, yaitu judi merupakan segala permainan yang mengandung
unsur taruhan (harta atau materi) dimana pihak-pihak yang menang mengambil harta atau materi
dari pihak yang kalah. Untuk bisa dikatagorikan sebagai judi harus ada tiga unsur yang harus
dipenuhi :
1.    Adanya taruhan harta atau materi yang berasal dari kedua belah pihak yang berjudi.
2.    Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah.
3.    Pihak yang menang mengambil harta ( sebagian atau seluruhnya) yang menjadi taruhan,
sedangkan pihak yang kalah kehilangan hartanya.
Judi ini bisa dilakukan dengan bandar (penyelenggara) atau tanpa bandar. Baik
penyelenggara pihak swasta ( misalnya bandar judi kapal pesiar untuk judi ), maupun pemerintah
(misalnya Departemen Sosial). Sama saja apakah dana yang terkumpul untuk tujuan
pembangunan, olahraga, sosial, atau yang lainya
Istilah lain dari judi  adalah spekulasi, hal ini bisa terjadi dalam bursa saham. Setiap
menitnya selalu saja terjadi transaksi spekulasi yang sangat merugikan si penerbit saham. Setiap
perusahaan yang memiliki right issue selalu didatangi para spekulan. Ketika harga saham suatu
badan usaha sedang jatuh maka spekulan buru-buru membeliya sedangkan ketika harga naik para
spekulan menjualnya kembali atau melepas kepasar saham. Hal ini sering membuat indeks harga
saham gabungan menurun dan memperburuk perekonomian bangsa.[13]

Dalil-dalil Pengharaman Maisir.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
َ ‫ش ْيطَانُ أَن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ا ْل َعد‬
َ‫َاوة‬ ْ َ‫ان ف‬
َّ ‫ إِنَّ َما يُ ِري ُد ال‬S. َ‫ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحون‬Sُ‫اجتَنِبُوه‬ ِ َ‫ش ْيط‬
َّ ‫س ِّمنْ َع َم ِل ال‬ ٌ ‫اب َواألَ ْزالَ ُم ِر ْج‬
ُ ‫نص‬ َ َ‫س ُر َواأل‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُو ْا إِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي‬
َ‫صالَ ِة فَ َه ْل أَنتُم ُّمنتَهُون‬
َّ ‫ص َّد ُك ْم عَن ِذ ْك ِر هّللا ِ َوع َِن ال‬ُ َ‫س ِر َوي‬ ِ ‫ضاء فِي ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْي‬ َ ‫َوا ْلبَ ْغ‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam bersada :
‫َي ٍء‬
ْ ‫ق ِبش‬
ْ ‫َص َّد‬ َ ‫اح ِب ِه تَ َعا َل أُقَا ِم ْركَ فَ ْليَت‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َمنْ قَا َل ل‬
“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”, maka hendaknya ia
bershodaqah.”
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada
mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya
qimar/maisir dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh. [14]

Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dan al-Qimaar


Para ulama berselisih dalam masalah ini dalam dua pendapat: pertama, Al-maisir (perjudian) dan al-
qimar adalah sinonim. Pendapat kedua, Keduanya tidak sinonim. Perbedaannya adalah:Al-qimar adalah
saling mengalahkan dan spekulatif pada harta. Al-maisir (perjudian) mencakup semua jenis mukhatharah
(spekulasi), baik dalam pertukaran (mu’awadhah) atau bukan.
Terkadang, ada pertukaran harta dan terkadang tidak ada. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim
rahimahullahu-–mengikuti pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah–, menyatakan,

‫ال فِي ْال َمي ِْس ِر‬


َ ‫ َولَ ْم يَ ْشت َِرطُوا ْال َم‬،‫اَل َّسلَفُ كَانُوْ ا يُ َعبِّرُوْ نَ ِبالَ َمي ِْس ِر ع َْن ُكلِّ َما فِ ْي ِه ُمخَ اطَ َر ٍة ُم َح َّر َم ٍة‬ 
Para salaf dahulu, mengungkapkan semua yang ada mukhatharah (spekulasi) yang diharamkan dengan
ungkapan al-maisir (perjudian), dan mereka tidak mensyaratkan adanya harta dalam al-maisir (perjudian).
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dengan al-Gharar.
Definisi al-gharar dan al-maisir (perjudian) tampak sekali hampir sama. Oleh karena itu, para ulama
menyebut keduanya adalah sinonim atau salah satunya bagian dari yang lain. Namun kesamaan ini tidak
berarti sama dalam pengertian keduanya. Hal itu karena sebagian jenis al-gharar tidak dapat dinamakan al-
maisir (judi). Karenanya, kata al-maisir (‫ )الميسر‬lebih khusus dari kata al-gharar (‫)الغرر‬. Dengan demikian,
setiap al-maisir adalah al-gharar, dan tidak semua al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah yang
mengandung gharar terkadang tidak mengandung unsur judi.
Dr. adh-Dharir menyatakan, “Contohnya adalah: muamalah yang berhubungan dengan ketidakjelasan
pondasi tembok atau buah yang belum jadi. Ini semua termasuk al-gharar, namun bukan al-maisir.” [15] 

PENUTUP
Kesimpulan
Risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tak
diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain “kemungkinan” itu sudah menunjukkan adanya
ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan tumbuhnya risiko.
Ketidaksempurnaan informasi ini bisa muncul secara alami dan tidak ada unsur
kesengajaan dari pihak yang bertransaksi. Inilah definisi gharar. Jika terdapat unsur kesengajaan
dari salah satu pihak untuk memanipulasi informasi atau menyembunyikannya maka ini disebut
dengan tadlis (penipuan) islam melarang adanya gharar dan tadlis dalam transaksi.
Maysir atau qimar secara harfiah bermakna judi (spekulasi). Secara teknis adalah setiap
permainan yang di dalamnya di syaratkan adanya sesuatu (berupa materi) yang diambil dari
pihak yang kalah untuk pihak yang menang. Setiap al-maisir adalah al-gharar, dan tidak semua
al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah yang mengandung gharar terkadang tidak
mengandung unsur judi.
            Islam mengajarkan kaidah “la darara wa la dirara”. Kita tidak diperbolehan  untuk
melibatkan diri kita dalam suatu kemudaratan yang akan merugikan atau membinasakan diri kita
sendiri tanpa adanya usaha untuk meminimalkan kemudaratan tersebut. Bahkan dalam surat Al
Baqarah ayat 95, Allah berfirman, “dan janganlah kamu menjatuhkan  dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan”. Kaidah ini mendorong untuk lebih berhati-hati dalam mengelola kegiatan usaha
sehingga setiap risiko yang belekat pada kita dapat diminimalisasi dan dikelola dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran,
Darmawan, Herman. 2013. MANAJEMEN RISIKO, Jakarta: Bumi Aksara.
Idroes, Ferry N.  2011. MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO
PERSADA.
Karim, W. A. (2004). Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq.Riyanto,
Kasidi. 2010. Manajemen Risiko, Bogor: Ghalia Indonesia.
M. Nur. 2011. Dasar-Dasar EKONOMI ISLAM, Solo: PT ERA ADICITRA INTERMEDIA.
Rustam, Bambang Rianto.2013. Manajrmen Risiko Perbankan Syariah Di Indonesia, Jakarta:
Salemba Empat.
Wahyudi, Imam. 2013. Manajemen Risiko Bank Islam, Jakarta: Salemba Empat.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2004-muhamadhar-
331-

Gharar, Maisir, Riba, dan Dzat yang Dilarang


serta Argumentasi atas Pelarangannya
I.                   PENDAHULUAN

Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah,
khususnya ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam
banyak ayat, antara lain: (Q.S 5:3, 6:38, 16:89).

Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah,
iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak dan ini menunjukkan bahwa perhatian Islam
dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang
masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah
ayat 282 dalam surah Al-Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/masalah
ekonomi).
Sejak zaman Rasulullah saw semua bentuk perdagangan yang tidak pasti (uncertainty) telah
dilarang, berkaitan dengan jumlah yang tidak ditentukan secara khusus atas barang-barang yang akan
ditukarkan atau dikirimkan. Bahkan disempurnakan pada zaman kejayaan Islam (bani Umayyah dan
Abbasiyah) dimana kontribusi Islam adalah mengidentifikasi praktik bisnis yang telah dilakukan harus
sesuai dengan Islam, selain itu mengkodifikasikan, mensistematis dan memformalisasikan praktik bisnis
dan keuangan ke standar legal yang didasarkan pada hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.[1]

Pelarangan gharar, maisir dan riba semakin relevan untuk era modern ini karena pasar keuangan
modern banyak mengandung usaha memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain (dalam asuransi
konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian).
Dimana setiap usaha bisnis pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang dihapus
oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak
menimbulkan permusuhan bagi yang melalukan transaksi dalam pasar keuangan.

Dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang konsep dasar dan defenisi dari berbagai
istilah yang berkaitan dengan “gharar, maisir, riba dan segala dzat yang dilarang”

II.                PEMBAHASAN

A.  Gharar

1.    Pengertian dari Gharar

Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak
mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. Dalam kitab fikih,
gharar berasal dari kata Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathar (pertaruhan) dan
menghadang bahaya.[2] Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang
tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah).[3] Sedangkan menurut Al-Musyarif, al-gharar adalah al-
mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan) serta jual beli dalam bahaya, yang tidak
diketahui harga, barang, keselamatannya, dan kapan memperolehnya, dan hal ini termasuk dalam
kategori perjudian.

Menurut ahli bahasanya lainnya, jual beli gharar adalah jual beli yang lahirnya menggiurkan pembeli
sedangkan isinya tidak jelas. Al-Azhari menyatakan: “Termasuk dalam jual beli gharar semua jual beli
tidak jelas yang mana kedua pihak berakad tidak mengetahui hakikatnya sehingga ada faktor atau pihak
lain yang menjelaskannya.[4]

2.    Dalil tentang Pelarangan Gharar

Jika dalam dasar hukum gharar adalah batil, dan yang dimaksudkan adalah gharar yang dilarang dan
diharamkan berdasarkan beberapa rujukan hadist antara lain:

Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar. Menjual
suatu barang dengan mengecualikan sebagiannya, kecuali yang dikecualikan itu telah diketahui
keberadaannya. Misalnya jika seorang menjual kebun, maka tidak diperbolehkan baginya
mengecualikan sutau pohon yang tidak diketahui karena didalamnya mengandung unsur penipuan dan
ketidakjelasan yang diharamkan.[5] “Rasulullah SAW telah melarang jual beli muhaqalah, muzabanah
dan tsunayya, kecuali jika telah diketahui” (HR At Tirmizi).

3.    Hukum-hukum Gharar dan Hikmah dari Adanya Larangan Jual-Beli Gharar

Berdasarkan hukumnya gharar terbagi menjadi tiga:[6]

a.    Gharar yang diharamkan secara ijma ulama, yaitu gharar yang menyolok (al-gharar al-katsir) yang
sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak perlu dilakukan. Contoh jual beli ini adalah jual beli
mulaamasah, munaabadzah, bai’ al-hashah, bai’ malaqih, bai’ al-madhamin, dan sejenisnya. Tidak ada
perbedaan pendapat ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.

b.    Gharar yang dibolehkan secara ijma ulama, yaitu gharar ringan (al-gharar al-yasir). Para ulama sepakat,
jika suatu gharar sedikit maka ia tidak berpengaruh untuk membatalkan akad. Contohnya seseorang
membeli rumah dengan tanahnya

c.    Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya
ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-
lainnya. Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda
dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka diantaranya Imam Malik
memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual,
sehingga memperbolehkannya.

Karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan.
Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain. Oleh karena itu dapat dilihat adanya
hikmah larangan jual beli tanpa kepastian yang jelas (Gharar) ini. Dimana dalam larangan ini
mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang
terjadi pada orang akibat jenis jual beli ini.

4.    Klasifikasi Gharar

Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep
game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.

a.    Game

Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam
terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh.

b.    Zero Sum Game

     Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang hanya
menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara
terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil
pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan
hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama.
Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang
untung disebabkan pasti ada yang rugi)[7] juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi
menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile)
pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing).
Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah
menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu
terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan
kewajiban setiap pihak.

c.    Normal Exchange

     Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak.
Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai
jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga
barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.

     Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya adalah
memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau
jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi).
[8] Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang
dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat.[9]

     Dimana menurut islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya adalah
untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta
kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan
kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang
berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan) dalam meningkatkan
kesejahteraan.[10] Jadi utilitas individu dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya
(interpendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.

d.   Risk Concept

     Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921) risiko
menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur. Karenanya, risiko
ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis.

5.    Dampak dari Gharar, Alasan Pelarangan Gharar beserta Contoh Singkatnya.

Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek
ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang
begitu hebat dan menjamin keadilan.

Ketidaktentuan dan ketidakjelasan berkenaan timbul khususnya daripada aspek-aspek berikut:

      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan ataupun tidak;

      Kaedah transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas tetapi menarik perhatian sehinggakan mungkin
wujud elemen penipuan bagi menarik pihak-pihak untuk bertransaksi;

      Akad atau kontrak yang mendasari sesuatu transaksi itu sendiri sifatnya tidak jelas.

Contoh jual-beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak lembu yang masih di dalam perut
ibunya. Menjual burung yang terbang di udara. Ia menjadi gharar karena tidak dapat dipastikan. Yang
menjadi pertanyaan adalah Sempurnakah janin yang akan dilahirkan, dapatkah ditangkap burung itu.
Maka, jika harga dibayar, tiba-tiba barangnya tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati hingga terjadi
permusuhan dan keributan. Islam melarang gharar untuk menghindari kejadian seperti ini. Akan tetapi,
Islam memaklumi gharar yang sedikit yang tidak dapat dielakkan.

Contoh berikutnya, Gharar/ketidakjelasan bisa terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak


adanya batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat
bahwa usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung
membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung merasa
untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung
merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama
masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan jangka waktu pembayaran dan
jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun akad, yang kita kenal sebagai gharar.
Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad tadabuli tersebut cacat secara hukum.

B.  Maisir

1.    Pengertian dari Maisir dan Dalil yang Mendasari Pelarangannya

Kebiasaannya perjudian (maisir) menerangkan permainan yang memberi peluang pada nasib
daripada permainan yang menunjukkan skill kemahiran. Walaupun perjudian ini biasanya dimotivasikan
dengan kegembiraan, pada masa yang sama mendapat ganjaran yang berganda, namun terdapat risiko
transaksi yang dimotivasikan oleh insentif sebenar. Kita sudah maklum bahawa maisir telah diamalkan
sejak zaman Arab Jahiliyyah untuk membantu kepada orang yang susah dan memberi kepada orang
yang memerlukan.

Perbedaan antara perjudian dan gharar di dalam transaksi ialah telah mengurangkan, dan oleh itu
ahli ekonomi telah menyedari akan struktur pada kedua-duanya. Menurut pendapat Ahli Ekonomi
Goodman (1995):Pertambahan peningkatan bagi bisnes perjudian di dalam beberapa tahun dilihat
melebarkan banyak masalah di dalam Ekonomi Amerika terutamanya kecenderungan perkembangan
mengendalikan nasib ekonomi yang dilihat bertentangan dengan asas kemahiran dan kerja sebenar.

Maysir atau Qimar secara harfiah bermakna judi. Secara tekniknya adalah setiap permainan yang di
dalamnya disyaratkan adanya sesuatu (berupa loteri) yang diambil dari pihak yang kalah untuk pihak
yang menang
Agar bisa dikategorikan judi maka harus ada 3 unsur untuk dipenuhi:

1.    Adanya taruhan harta/materi yang berasal dari kedua pihak yang berjudi

2.    Adanya suatu permainan yang digunakan untuk menentukan pemenang dan yang kalah

3.    Pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya) yang menjadi taruhan, sedangkan pihak
yang kalah kehilangan hartanya

Jika 3 syarat diatas terpenuhi maka termasuk kategori judi dan Islam mengharamkannya.

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (al-maysir), (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan  (Al-Maidah 90)

Disebutkan bahawa istilah lain dari judi adalah spekulasi. Hal ini biasa terjadi dalam bursa saham.
Setiap menitnya selalu saja terjadi transaksi spekulasi yang sangat merugikan penerbit saham. Setiap
perusahaan yang memiliki right issue selalu saja didatangi para spekulasi. Ketika harga saham suatu
badan usaha sedang jatuh maka spekulan buru-buru membelinya sedangkan ketika harga naik para
spekulan menjualnya kembali atau melepas ke pasar saham. Hal ini sering membuat indeks harga saham
gabungan menurun dan mempeburukkan perekonomian bangsa.

Makna Bahasa: Maisir dan Undian

Maisir dan qimar adalah dua kata dalam bahasa Arab yang artinya sama,yaitu menjadi judi

Makna Istilah: Maisir dan Undian

Berikut beberapa definisi judi (Maisir/Qimar) :

Menurut Ibrahim Anis dalam Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 758 menyatakan bahawa judi adalah setiap
permainan (la’bun) yang mengandung taruhan dari kedua pihak (muraahanah).

Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Rawa’i’ Al-Bayan fi Tafsir Ayat Al-Ahkam
(I/279),menyebut bahawa judi adalah setiap permainan yang menimbulkan keuntungan (rabh) bagi satu
pihak dan kerugian (khasarah) bagi pihak lainnya.

Beberapa definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi, sehingga darinya dapat disimpulkan
sebuah definisi judi yang menyeluruh. Jadi, judi adalah segala permainan yang yang mengandung unsur
taruhan (harta/materi) dimana pihak-pihak yang menang mengambil harta/materi dari pihak yang kalah.

Dengan demikian, dalam judi terdapat tiga unsur :

(1)      Adanya taruhan harta/materi (yang berasal dari kedua pihak yang berjudi),

(2)      Ada suatu permainan, yang digunakan untuk menetukan pihak yang menang dan yang kalah, dan
(3)      pihak yang menang mengambil harta (sebagian/seluruhnya/kelipatan) yang menjadi taruhan
(murahanah), sedang pihak yang kalah akan kehilangan hartanya.

C.  Riba

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat,
maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” al-Quran 2 : 275 –
278

Malik meriwayatkan kepadaku bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata, “Jika
seseorang membuat pinjaman, mereka tak boleh menetapkan perjanjian lebih dari itu. Meski hanya
segenggam rumput, itu adalah riba.” Al-Muwatta Imam Malik : 31.44.95

Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi, dalam
bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai barang yang
diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’

Kelebihan ini mengacu pada dua hal:

1.Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot
maupun ukuran, dan

2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.

Pengertian riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd (al-hafid) seorang fakih, dalam
kitabnya Bidaya al-Mujtahid, Bab Perdagangan. Ibn Rushd memaparkan beberapa sumber riba ke dalam
delapan jenis transaksi:

a.         Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran (dalam pelunasan) dan saya
akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)

b.         Penjualan dengan penambahan yang terlarang;

c.         Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;

d.        Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;

e.         Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;

f.          Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;

g.         Penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;

h.        atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.


Ada dua jenis riba:

1.    Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang

Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan
maupun penambahan nilai hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja seperti bangunan,
kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang habis terpakai dan tidak bisa
dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni
uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal
ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai
pada utang-piutang.

Riba al-fadl mengacu pada jumlah (kuantitas). Riba an-nasiah mengacu pada penundaan waktu. Riba al-
fadl sangat mudah untuk dipahami. Dalam peminjaman, riba al-fadl merupakan bunga yang harus
dibayar. Namun pada umumnya riba ini mewakili peningkatan tambahan terhadap nilai tanding yang
diminta oleh satu pihak.

2.    Riba an-nasiah adalah kelebihan karena penundaan

Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam waktu (penundaan) yang
secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang berlangsung. Penundaan ini tidak dibolehkan. Hal ini
mengacu pada benda nyata (‘ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium pembayaran (emas, perak dan
bahan makanan – yang digunakan sebagai uang).

Riba an-nasiah secara khusus mengacu pada penggunaan dayn dalam pertukaran (safar) jenis benda
yang serupa. Tetapi pengharaman ini diperluas sampai perdagangan umum jika dayn mewakili uang
yang melampaui ciri privatnya dan menggantikan ‘ayn sebagai alat pembayaran umum. Memahami riba
an-nasiah amat sangat penting agar mampu mengerti kedudukan kita berkenaan dengan uang kertas.
Alasan mengapa kaum ulama modernis mengambil pandangan yang menyimpang tentang riba jelas-
jelas untuk mensahkan perbankan yang sebetulnya tidak bisa diterima. Pembenaran ini kemudian hari
menjelma menjadi perbankan Islam. Prinsip darurat digabung dengan penghapusan riba an-nasiah telah
memungkinkan mereka membenarkan penggunaan uang kertas dan pada gilirannya membenarkan
perbankan dengan cadangan uang (fractional reserve banking) yang merupakan basis sistem modern
perbankan.

D.  Dzat yang Dilarang dan Argumentasi atas Pelarangannya

Dalam Qur’an beberapa dzat yang dilarang, diantaranya : alkohol (khamr), babi, darah, dan bangkai.

Tentang ini bisa dilihat pada ayat al Quran : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
supaya kamu berpikir (QS Al Baqoroh: 219).
Juga pada ayat yang lain disebutkan : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi
barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas,
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An Nahl 115)

Menyinggung sedikit tentang masalah rokok, karena Muhammadiyah belum lama ini mengeluarkan
fatwa haramnya rokok. oleh karena itu, disini akan dijelaskan sedikit secara saintifik, mengapa zat-zat
tersebut haram. Kira-kira seperti apa penjelasannya, sehingga masyarakat tidak hanya tau bahwa
hukumnya haram, tetapi juga alasan mengapa zatnya diharamkan. Diharapkan dengan adanya
penjelasan secara saintifik, akan menambah keyakinan akan haramnya zat-zat yang memang dinyatakan
haram tersebut.

Ketika menjelaskan manfaat dan mudharat alkohol, maka sudah banyak dipersiapkan bahan perihal
alkohol tersebut. Tentang bahaya alkohol telah banyak diperbincangkan di berbagai kesempatan. Benar
adanya jika dikatakan pada jumlah tertentu dan bentuk tertentu, alkohol bermanfaat. Alkohol memang
merupakan pelarut yang baik untuk banyak jenis obat, alkohol juga penyari yang baik bagi zat-zat dari
dalam tanaman. Ia juga punya efek antiseptik (untuk pemakaian luar). Tetapi bahayanya memang  lebih
besar daripada manfaatnya. Di banyak kesempatan para ahli menyarankan pada jama’ah/masyarakat
luas untuk  jeli jika memilih obat dalam bentuk sirup yang kadang mengandungetanol/alkohol sebagai
pelarut. Walaupun mungkin tidak sampai memberikan efek memabukkan, tetapi untuk prinsip kehati-
hatian lebih baik dihindarkan, kecuali jika memang tidak ada pilihan yang lain. Adapun cara untuk
mengetahui obat yang akan digunakan bebas alkohol atau tidak bisa dengan menanyakannya terlebih
dahulu kepada apoteker yang lebih mengerti mengenai obat-obatan tersebut.

Juga tentang rokok yang lebih banyak merugikan daripada bermanfaat, rasanya tidak terlalu sulit
karena banyak informasinya. Korelasi paparan rokok dengan kejadian kanker paru dan penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK) mudah dijumpai di mana-mana. Bangkai dan darah juga demikian, relatif tidak
kesulitan. Dan dalam babi sendiri terkandung cacing pita, yang mana mudharatnya lebih besar daripada
manfaat yang didapat.

III. PENUTUP

Dari berbagai pemaparan diatas dapat kita ambil beberapa poin, diantaranya :

1.    Segala bentuk pekerjaan, transaksi yang mengandung unsur maisir, gharar, riba adalah haram
hukumnya.

2.    Baik maisir, gharar maupun riba, apabila salah satu dari ketiganya dijalankan maka sesungguhnya akan
ada salah satu pihak yang dirugikan.

3.    Ketidaktentuan dan ketidakjelasan berkenaan timbul khususnya daripada aspek-aspek berikut:

      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
      Sama ada sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan ataupun tidak;

      Kaedah transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas tetapi menarik perhatian sehinggakan mungkin
wujud elemen penipuan bagi menarik pihak-pihak untuk bertransaksi;

      Akad atau kontrak yang mendasari sesuatu transaksi itu sendiri sifatnya tidak jelas.

4.    judi adalah segala permainan yang yang mengandung unsur taruhan (harta/materi) dimana pihak-pihak
yang menang mengambil harta/materi dari pihak yang kalah.

5.    Riba secara harfiah berarti “kelebihan” dalam bahasa Arab. Qadi Abu Bakar ibnu al Arabi, dalam
bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi sebagai: ‘Setiap kelebihan antara nilai barang yang
diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan).’

6.    Beberapa dzat yang haram hukumnya seperti alkohol, daging babi dan bangkai telah termaktub dalam
kalam Ilahi sebagaimana berikut :

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya
dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An Nahl 115)

Daftar Pustaka :

Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004.

Karim , Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. Problematika Investasi pada bank Islam solusi ekonomi;
penerjemah: Rafiqah Ahmad, Alimin. Jakarta: Migunani, 2008.

Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com

Gharar, Maisir dan Riba Dalam Muamalat Islam. Mahir al-hujjah. Diposting pada tanggal 3 Agustus 2009

Zullies Ikawati. Babi Mirip Manusia(Maap). Zullis Ikawati’s Weblog. Diposting pada tanggal 2 Juni 2010

Makalah Fiqh Mualamalah : MAISIR

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada khususnya serta resesi dan
ketidakseimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi di atas salah total,
bahkan ada sesuatu yang “tidak beres” dalam sistem yang kita anut selama ini. Tidak adanya nilai-nilai
Illahiyah yang melandasi operasional Perbankan dan lembaga keuangan lainnya telah menjadikan lembaga
“penyuntik darah” pembangunan ini sebagai “sarang-sarang perampok berdasi” yang meluluhlantahkan
sendi-sendi perekonomian bangsa.

Dengan latar belakang inilah, maka seluruh praktik perbankan modern, yang mulai tumbuh dan
berkembang sejak abad ke-16, sistem operasionalnya tidak bisa lepas dari riba. Akibat terlalu lama dan
mendalamnya sistem riba dalam sistem perbankan ini menyebabkan hal tersebut sangat sukar untuk
dipisahkan. Bahkan telah berakar dan berkarat dalam kerangka pikiran para bankir konvensional bahwa
riba adalah darah dan nadi dari seluruh sistem perbankan.

Sekarang saatnya para Bankir yang masih mengimani Al Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan
Hadits sebagai panduan aktivitasnya berperan aktif dalam memajukan sistem Perbankan Syari’ah.

Oleh karena itu, akan sedikit kami ulas secara singkat tentang Maisir/Judi baik kecil ataupun
besar,  merupakan faktor yang dominan atau faktor kecil dari sebuah transaksi hukumnya adalah
haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-
untungan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :         

‫الش ْي َطانُ أَن‬


َّ ‫ إِ َّن َم ا ُي ِري ُد‬. َ‫اج َتنِ ُبوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُح ون‬
ْ ‫ان َف‬
ِ ‫الش ْي َط‬
َّ ‫س مِّنْ َع َم ِل‬ٌ ‫اب َواألَ ْزالَ ُم ِر ْج‬ َ َ‫َيا أَ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنو ْا إِ َّن َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي ِس ُر َواأل‬
ُ ‫نص‬
َ‫الص الَ ِة َف َه لْ أَن ُتم ُّمن َت ُه ون‬ َّ ‫ص دَّ ُك ْم َعن ذ ِْك ِر هّللا ِ َو َع ِن‬ ُ ‫ض اء فِي ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْي ِس ِر َو َي‬ َ ‫ُيوقِ َع َب ْي َن ُك ُم ا ْل َع دَ َاو َة َوا ْل َب ْغ‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)

1.2     Rumusan Masalah

1.        Apakah yang dimaksud dengan Maisir secara bahasa dan istilah?

2.        Sebutkan dalil – dalil yang mengharamkan Maisir ?

3.        Apakah perbedaan antara Maisir dan Gharar ?

4.        Jelaskan tentang Maisir dalam asuransi konvensional !

5.        Sebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan Maisir dalam asuransi konvensional !


1.3     Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen
pembimbing mata kuliah Fiqih Mu’amalah.

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Definisi Maisir

Kata Maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat
mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga disebut berjudi.
Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti praktek perjudian.

Secara bahasa Maisir bisa dimaknakan dalam beberapa kalimat : Gampang/mudah, orang


yang kaya dan wajib. Secara istilah, Maisiradalah setiap Mu’amalah yang orang masuk kedalamnya dan
dia mungkin rugi dan mungkin beruntung. Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam
Mu’amalat jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung mungkin rugi. Namun Mu’amalat jual
beli ini berbeda dengan Maisir, seorang pedagang bila mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang
dan dengan barang itu ia bermu’amalat untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat
kerugian, tapi Maisir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak dapat
apapun dan mungkin ia beruntung.

 Ini definisi Maisir dalam istilah ulama, walaupun sebagian orang mengartikan Maisir ini ke
dalam bahasa Indonesia dengan pengertian sempit, yaitu judi. Judi dalam terminologi agama diartikan
sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan
suatu tindakan atau kejadian tertentu”.

Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya berperan
sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata (misalnya hanya
mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita
mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan.
Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.

Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk


taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram di dalam
Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari
untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau terkaan (misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.

Perbedaan antara Gharar dan Maisir : Dalam membandingkan definisi gharar dan definisi
maisir secara istilah nampak ada bentuk kemiripan. Kalimat maisir dan qimar lebih khusus dari gharar
sebab tidaklah diragukan bahwa maisir dan qimar itu adalah gharar. Karena itu para ulama setiap maisir
adalah gharar dan tidak setiap gharar adalah maisir. Contoh : Menjual pohon yang belum jelas hasilnya
adalah gharar tapi tidak bisa di golongkan maisir.

2.2     Dalil – dalil Pengharaman Maisir :

          Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :           

‫الش ْي َطانُ أَن‬


َّ ‫ إِ َّن َم ا ُي ِري ُد‬. َ‫اج َتنِ ُبوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُح ون‬
ْ ‫ان َف‬
ِ ‫الش ْي َط‬
َّ ‫س مِّنْ َع َم ِل‬ٌ ‫اب َواألَ ْزالَ ُم ِر ْج‬ َ َ‫َيا أَ ُّي َها الَّذِينَ آ َم ُنو ْا إِ َّن َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْي ِس ُر َواأل‬
ُ ‫نص‬
َ‫الص الَ ِة َف َه لْ أَن ُتم ُّمن َت ُه ون‬ َّ ‫ص دَّ ُك ْم َعن ذ ِْك ِر هّللا ِ َو َع ِن‬ ُ ‫ض اء فِي ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْي ِس ِر َو َي‬ َ ‫ُيوقِ َع َب ْي َن ُك ُم ا ْل َع دَ َاو َة َوا ْل َب ْغ‬
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan
berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu
‘alaihi wa alihi ‘ala
wa sallam bersada :
ٍ‫ْيء‬ َ ‫دَّقْ ِب‬
‫ش‬ ‫ص‬ َ
َ ‫ام ِْر َك ف ْل َي َت‬ َ ُ
‫ال َ أق‬ ‫اح ِِب ِه َت َع‬ ‫ِص‬
َ ‫ال َ ل‬ َ‫مَنْ ق‬
“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”,

maka hendaknya ia bershodaqoh.”


Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya
pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan
haramnya maisir/qimar dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh.
Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama tentang haramnya maisir.

“Diriwayatkan  oleh Abdullah bin Omar bahwa Rasulullah s.a.w. melarang berjualbeli yang
disebut  habal-al-habla  semacam jual beli yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah. Dalam jual beli ini
seseorang harus membayar seharga seekor unta betina yang unta tersebut belum lahir tetapi akan
segera lahir sesuai jenis kelamin yang diharapkan “.

“Diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi, termasuk Jabir, Abu Hurairah, Abu Said Khudri, Said bin Al
Musayyib dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah s.a.w. melarang
transaksi  muzabanah  dan  muhaqalah”.
Kedua jenis bisnis transaksi diatas sangat merakyat pada zaman sebelum Islam.  Muzabanah  adalah
tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan cara bahwa jumlah buah yang
kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang segar ditukarkan hanya dapat ditebak
karena masih berada di pohon. Sama halnya dengan  muhaqalah  yaitu penjualan gandum ditukar
dengan gandum yang masih ada dalam bulirnya yang jumlahnya masih ditebak-tebak.

Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya, maka dalam
Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang  maisir (judi dan semacamnya) sebagaimana ayat
berikut:

“Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada keduanya
terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya…”
(QS. Al Baqarah 2:219). 

Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi. Selain judi itu rijs  yang berarti busuk,
kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan.
Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya. Bahkan , pada gilirannya akan
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, setiap perbuatan yang melawan
perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.

Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk
menguburkan makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia, adalah
mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baik dan menarik,  atau dengan
nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya seakan-akan halal. Allah SWT
berfirman:

“Dan demikianlah  kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia
dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu manusia” (QS. Al-An`am: 112)

Juga perhatikan firman-Nya:

“Dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan keindahan apa yang selalu mereka kerjakan”
(QS. Al-An`am: 43)

Rasulullah SAW juga mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu sebagai, “Surga itu
dikelilingi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan mereka (setan) dikelilingi oleh sesuatu
yang menyenangkan”. (HR. Bukhari – Muslim).

2.3     Maysir  Dalam Bisnis.

Maisir  (judi/untung-untungan)
“Akad judi menurut Dr. Husain Hamid Hisan  merupakan akad gharar, karena masing-masing
pihak yang berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau jumlah
yang ia berikan, itu bisa ditentukan nanti, tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu
jika  menang  maka ia mengetahui jumlah yang diambil, dan jika  kalah  maka ia mengetahui jumlah
yang ia berikan”.

Undian dapat dipandang sebagai perjudian dimana aturan mainnya adalah dengan cara
menentukan suatu keputusan dengan pemilihan  acak. Undian biasanya diadakan untuk   menentukan
pemenang suatu  hadiah.

Contohnya adalah undian di mana peserta harus membeli sepotong tiket yang diberi nomor.
Nomor tiket-tiket ini lantas secara acak ditarik dan nomor yang ditarik adalah nomor pemenang.
Pemegang tiket dengan nomor pemenang ini berhak atas hadiah tertentu.

“Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk
kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan
cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu”.

Judi baik kecil ataupun besar,  merupakan faktor yang dominan atau faktor kecil dari sebuah
transaksi hukumnya adalah haram. Biasanya judi adalah merupakan untuk mendatangkan uang yang
diperoleh dari untung-untungan. Dan Pada jaman jahiliah, maysir terdapat dalam dua hal yaitu :

  Dalam permainan dan atau perlombaan.

  Dalam  transaksi bisnis/mu'amalat.

Dalam peraturan Bank Indonesia  No  7/46/PBI/2005   dalam penjelasan pasal 2 ayat 3


menjelaskan bahwa  maysir  adalah  transaksi  yang mengandung perjudian, untung-untungan  atau
spekulatif yang tinggi.

Beberapa dalil yang menjelaskan keharaman berjudi adalah :

.]219:‫ [البقرة‬ ‫ َن ْفع ِِه َما‬  ْ‫مِن‬ ‫أَ ْك َب ُر‬ ‫ َوإِ ْث ُم ُه َما‬   ‫اس‬


ِ ‫لِل َّن‬ ‫ َو َم َنافِ ُع‬ ‫ َك ِبي ٌر‬ ‫إِ ْث ٌم‬ ‫ِيه َما‬ َ ‫َيسْ أَلُو َن‬
ِ ‫ف‬ ‫قُ ْل‬  ِ ‫ َو ْال َميْسِ ر‬ ‫ ْال َخ ْم ِر‬  ْ‫ َعن‬ ‫ك‬

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan maysir, katakanlah bahwa didalamnya terdapat dosa
yang besar  dan beberapa manfaat yang banyak, tetapi dosanya lebih banyak daripada  manfaatnya
( QS Al-Baqarah  2:219).

Jadi unsur perjudian merupakan salah satu dari ketiga hal yang dilarangan paling mendasar
dalam  setiap   muamalat/bisnis. Larangan judi sering dijadikan alasan kritik atas praktek pembiayaan
konvensional seperti spekulasi, asuransi konvensional dan derivative.
Selanjutnya, Syaikh Hisan mengatakan tidak ada seorang pun dari para mujtahid yang
mengatakan bahwa tasharrufaat (pembelanjaan-pembelanjaan) yang mengandung unsur “hura-hura,
menghibur diri, dan menyia-nyiakan waktu” serta didalamnya tidak ada unsur riba dan grarar
merupakan perjudian dan taruhan. Illat (sebab) keharaman judi bukan itu semua, tetapi illatnya adalah
gharar, karena di dalam judi dan taruhan ada istilah “kemungkinan menang bagi satu pihak dan
kemungkinan kalah bagi pihak lain”.

Mohd Fadzli Yusof, menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional terjadi karena


didalamnya terdapat faktor gharar, beliau mengatakan: “adanya unsur al-maisir (perjudian) akibat
adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang asuransi jiwa meninggal
dunia, sebelum akhir periode polis asuransi, namun telah membayar sebagian preminya, maka
tertanggungnya akan menerima sejumlah uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang dan dari
mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal inilah yang dipandang sebagai al-
maisir (perjudian) dalam asuransi konvensional”.

Dengan argumentasi yang hampir sama, Syafi`i Antoniomengatakan bahwa


unsur maisir artinya adanya salah satu pihak yang untung namun dilain pihak justru mengalami
kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan
kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga (untuk produk tertentu) maka yang
bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.

Pada kesempatan lain Syafi`i Antonio menjelaskan tentang maisir dalam asuransi konvensional
sebagai berikut : Maisir adalah suatu bentuk kesepahaman antara beberapa pihak, namun ending yang
dihasilkan hanya satu atau sebagian kecil saja yang diuntungkan. Sedangkan maisir  (gambling/untung-
untungan) dalam asuransi konvensional terjadi dalam tiga hal:

a.  Ketika seorang pemegang polis mendadak kena musibah sehingga memperoleh hasil klaim, padahal baru
sebentar menjadi klien asuransi dan baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi, nasabah diuntungkan

b.  Sebaliknya jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu, sementara ia sudah membayar premi
secara penua/lunas. Maka perusahaanlah yang diuntungkan.

c.   Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum


masa reserving period,  maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah
dibayarkan (cash value)kecuali sebagian kecil saja, bahkan uangnya dianggap hangus.

Salah satu pakar asuransi dan sekaligus praktisi asuransi yang cukup ternama di Indonesia, 
Muhaimin Iqbal, ACII mengatakan: Unsur maisir (perjudian) sebenarnya juga tidak disetujui dalam teori
dasar asuransi konvensional. Dalam ilmu asuransi (konvensional) asuransi dianggap berbeda dengan judi
karena kontrak asuransi harus berdasarkan adanya kepentingan keuangan (insurable interest) dan atas
kepentingan keuangan tersebut hanya dijamin terhadap resiko murni (pure risk), artinya dengan ganti
rugi asuransi nasabah nasabah hanya akan dipulihkan ke kondisi financial sesaat sebelum kejadian suatu
resiko (principle indemnity), nasabah tidak boleh mendapatkan keuntungan dari terjadinya suatu resiko.
Di sisi lain judi tidak mengharuskan adanya insurable interest dan resiko yang diperjudikan bersifat
speculative atau salah satu pihak akan untung dan lain pihak rugi. Dari perbedaan inilah maka teori
dasar asuransi menganggap bahwa asuransi bukanlah judi.

Tapi kenyataannya lanjut Iqbal, memang di praktek sangat berbeda dengan teori. Untuk aspek
maisir (perjudian) misalnya, sangat sedikit pelaku asuransi yang menerapkan teorinya dengan serius dan
menghindarkan bisnisnya dari sifat yang menyerupai perjudian atau untung-untungan.

Untuk menghindarkan diri dari unsur maisir (perjudian) tersebut, para pelaku asuransi tidak
cukup hanya mengandalkan sisi klien harus memiliki insurable interest, dan kalau terjadi kerugian hanya
diganti rugi ke kondisi sesaat sebelum kejadian (indemnity), tetapi disisi pengelolaan usaha khususnya
dalam memilih portofolio resiko dan menentukan nilai premi juga harus sepadan (equitable) terhadap
resiko yang dijamin. Oleh karena itulah maka di Indonesia bahkan ada peraturan yang mengharuskan
suku premi asuransi dihitung berdasarkan statistik profil resiko sekurang-kurangnya 5 tahun.

Yang terjadi di lapangan adalah dari puluhan jenis produk asuransi (khususnya asuransi
umum), hanya satu produk asuransi yaitu asuransi kebakaran yang statistiknya cukup untuk menghitung
suku premi yang equitable. Selebihnya suku premi lebih banyak ditentukan oleh pengalaman dan
kekuatan pasar sehingga sulit untuk meyakinkan bahwa suku premi yang dibayar oleh nasabah atau
sekumpulan nasabah akan cukup untuk membayar ganti rugi nasabah yang kurang beruntung. Bahkan
statistik yang memadai di asuransi kebakaran pun  sering diabaikan oleh pelaku pasar. Sikap pelaku
asuransi yang tidak menghiraukan teori dasarnya sendiri inilah yang membawa praktek asuransi sangat
dekat atau bahkan bercampur dengan unsur maisir (perjudian).

2.4     Contoh Kasus

            Untuk memperjelas penelitian dalam hal ini, ada Kasus  yang dapat kami
sampaikan yaitu  kasus  SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) dan PORKAS.  Saat itu pemerintah
bermaksud menggalang dana dari masyarakat untuk kemajuan olah raga dengan menarik dana
sumbangan dari masyarakat, guna menarik masyarakat untuk berpartisipasi memberikan donasinya
maka  setiap orang yang menyumbang akan diberikan kupon, dan kupon-kupon tersebut akan diundi,
bagi yang beruntung akan mendapatkan hadiah dengan nilai yang sangat besar. Dengan cara ini panitia
dapat menghimpun dana sumbangan yang sangat besar , dan sebagian kecil dari sumbangan itu akan
diberikan kepada sebagaian pemenang dalam bentuk hadiah, sedangkan dana mayoritas akan
digunakan untuk kemajuan olahraga. Permasalahan  yang kemudian muncul adalah apakah transaksi
tersebut termasuk judi atau bukan, kasus ini berakhir dengan dicabutnya kupon SDSB dari peredaran
karena dianggap judi dan haram hukumnya.
Dalam industri asuransi, adanya maisir atau gambling disebabkan karena adanya gharar sistem
dan mekanisme pembayaran klaim. Jadi judi atau gambling terjadi illat-nya karena disana ada gharar.
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa mengatakan bahwa adanya unsur gharar  menimbulkan al-qumaar.
Sedangkan al-qumaar sama dengan al-maisir, gambling dan perjudian. Artinya ada salah satu pihak yang
untung tetapi ada pula pihak lain yang dirugikan.

 2.5     Beberapa Hukum Berkaitan Dengan Undian

Al Ustadz Dzulqornain bin Muhammad Sunusi dalam menguraikan tentang hukum undian


diharuskan untuk kembali mengingat beberapa kaidah syari’at Islam yang telah dijelaskan dalam tulisan
bagian pertama dalam pembahasan ini.

Kaidah - kaidah tersebut adalah sebagai berikut : Pertama : Kaidah yang tersebut dalam


riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu : “ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari jual beli gharar. ”Gharar adalah apa yang belum diketahui diperoleh tidaknya atau apa
yang tidak diketahui hakekat dan kadarnya. Kedua : Kaidah syari’at yang terkandung dalam firman Allah
Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr maisir berhala mengundi nasib dengan
panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan.

Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya


syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran
khamr dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang ; maka berhentilah
kamu ” Dan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu riwayat Al Bukhori dan Muslim Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“ Siapa yang berkata kepada temannya : Kemarilah saya berqimar
denganmu maka hendaknya dia bershodaqoh. ”Yaitu hendaknya dia membayar kaffaroh menebus dosa
ucapannya.

Ayat dan hadits di atas menunjukkan haramnya perbuatan maisir dan qimar dalam
mu’amalat. Maisir adalah tiap mu’amalah yang orang masuk ke dalamnnya setelah mengeluarkan biaya
dengan dua kemungkinan ; dia mungkin rugi atau mungkin dia beruntung. Qimar menurut sebagian
ulama adalah sama dengan maisir dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang
berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Berdasarkan dua kaidah di atas berikut ini kami akan berusaha
menguraikan bentuk-bentuk undian secara garis besar beserta hukumnya. Macam-macam undian dapat
dibagi menjadi tiga bagian: Satu : Undian Tanpa Syarat Bentuk dan contohnya : Di pusat-pusat
perbelanjaan pasar pameran dan semisalnya sebagai langkah untuk menarik pengunjung kadang
dibagikan kupon undian untuk tiap pengunjung tanpa harus membeli suatu barang. Kemudian setelah
itu dilakukan penarikan undian yang dapat disaksikan oleh seluruh pengunjung. Hukumnya : Bentuk
undian yang seperti ini adalah boleh. Karena asal dalam suatu mu’amalah adalah boleh dan halal. Juga
tidak terlihat dalam bentuk undian ini hal-hal yang terlarang berupa kezhaliman riba gharar penipuan
dan selainnya. Dua : Undian Dengan Syarat Membeli Barang Bentuknya : Undian yang tidak bisa diikuti
kecuali oleh orang membeli barang yang telah ditentukan oleh penyelenggara undian
tersebut. Contohnya : Pada sebagian supermarket telah diletakkan berbagai hadiah seperti kulkas radio
dan lain-lainnya. Siapa yang membeli barang tertentu atau telah mencapai jumlah tertentu dalam
pembelian maka ia akan mendapatkan kupon untuk ikut undian. Contoh lain : sebagian perusahaan
telah menyiapkan hadiah-hadiah yang menarik seperti Mobil HP Tiket Biaya Ibadah Haji dan selainnya
bagi siapa yang membeli darinya suatu produk yang terdapat kupon/kartu undian. Kemudian kupon atau
kartu undian itu dimasukkan ke dalam kotak- kotak yang telah disiapkan oleh perusahaan tersebut di
berbagai cabang atau relasinya. Hukumnya : undian jenis ini tidak lepas dua dari dua keadaan :- Harga
produk bertambah dengan terselenggaranya undian berhadiah tersebut. Hukumnya : Haram dan tidak
boleh. Karena ada tambahan harga berarti ia telah mengeluarkan biaya untuk masuk ke dalam suatu
mu’amalat yang mungkin ia untung dan mungkin ia rugi. Dan ini adalah maisir yg diharamkan dalam
syariat Islam.- Undian berhadiah tersebut tidak mempengaruhi harga produk. Perusahaan mengadakan
undian hanya sekedar melariskan produknya.Hukumnya : Ada dua pendapat dalam masalah ini : 1.
Hukumnya harus dirinci. Kalau ia membeli barang dengan maksud untuk ikut undian maka ia tergolong
ke dalam maisir/qimar yang diharamkan dalam syariat karena pembelian barang tersebut
adalah sengaja mengeluarkan biaya untuk bisa ikut dalam undian. Sedang ikut dalam undian tersebut
ada dua kemungkinan ; mungkin ia beruntung dan mungkin ia rugi. Maka inilah yang disebut
Maisir/Qimar adapun kalau dasar maksudnya adalahbutuh kepada barang/produk tersebut setelah itu ia
mendapatkan kupon untuk ikut undian maka ini tidak terlarang karena asal dalam muámalat
adalah boleh dan halal dan tidak bentuk Maisir maupun Qimar dalam bentuk ini. Rincian ini
adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin {Liqoul Babul Maftuh no.48 soal 1164 dan no.49 soal 1185.
Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} Syaikh Sholih bin ‘Abdul ’Aziz Alu Asy-
Syaikh {dalam muhadhoroh beliau yang berjudul “Al Qimar wa Shuwarihil Muharromah} Lajnah Baitut
Tamwil Al-Kuwaiti{Al Fatawa Asyar’iyyah Fi Masail Al Iqtishodiyah fatwa no.228. Dengan perantara kitab
Al-Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} dan Haiah Fatwa di Bank Dubai Al-Islamy{dalam fatwa mereka
no.102 Dengan perantara kitab Al-Hawafidz At- Tijaiyah At-Taswiqiyah}.1. Hukumnya adalah haram
secara mutlak. Ini adalah pendapat Syaikh Abdul’Äziz bin Baz{Fatawa Islamiyah 2/367-368. Dengan
perantara kitab Al-Hawafidz At-Tijaiyah At- Taswiqiyah}dan Al-Lajnah Ad-Da’imah{Fatawa Islamiyah
2/366-367. Dengan perantara kitab Al- Hawafidz At-Tijaiyah At-Taswiqiyah} Alasannya karena hal
tersebut tidak lepas dari bentuk Qimar/Maisir dan mengukur maksud pembeli apakah ia memaksudkan
barang atau sekedar ingin ikut undian adalah perkara yang sulit. Tarjih yang kuat dalam masalah ini
adalah pendapat pertama. Karena tidak hanya adanya tambahan harga pada barang dan dasar maksud
pembeli adalahmembutuhkan barang tersebut maka ini adalah mu’amalat yang bersih dari
Maisitr/Qimar dan ukuran yang menggugurkan alasan pendapat kedua. Dan asal dalam mu’amalat
adalah boleh dan halal. Wallahu A’lam.Tiga : Undian dengan mengeluarkan biaya. Bentuknya : Undian
yang bisa diikut tiap orang yang membayar biaya untuk ikut undian tersebut atau mengeluarkan biaya
untuk bisa mengikuti undian tersebut dengan mengeluarkan biaya. Contohnya : Mengirim kupon/kartu
undian ketempat pengundian dengan menggunakan perangko pos, tentunya mengirim dengan
perangko mengeluarkan biaya sesuai dengan harga perangkonya. Contoh Lain : Ikut undian dengan
mengirim SMS kelayanan telekomunikasi tertentu baik dengan harga wajar maupun dengan harga yang
telah ditentukan. Contoh lain : Pada sebagian tutup minuman tertera nomor yang bisa dikirim ke
layanan tertentu dengan menggunakan SMS kemudian diundi untuk mendapatkan hadiah yang telah
ditentukan.

Diposting oleh MUMALAH 10' BLOG'S di 16.36 

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

1 komentar:
1.

Ivan Priyambudi23 November 2015 06.31

mas, daftar pustakanya ada gak ya?


Balas

Tambahkan komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda


Langganan: Posting Komentar (Atom)

Selamat Datang

Anda mungkin juga menyukai