Penulis,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
A. Ji’alah........................................................................................................2
B. Hadiah .......................................................................................................6
C. Sedekah......................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan memahami tentang Ji’alah, Hadiah dan Sodaqah ini lebih
sistematis, maka yang menjadi fokus/rumusan masalah dalam karya tulis ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan dasar hukum ji’alah, hadiah dan sodaqah?
2. Macam-macam dan hikmah ji’alah?
3. Hal-hal yang berkaitan dengan ji’alah, hadiah dan sodaqah?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. JI’ALAH
1. Pengertian Dan Dasar Hukum Ji’alah
Ji’alah atau ju’alah berasal dari kata ja’ala – yaj’lu – ja’lan. Secara
harfiah bermakna mengadakan atau menjadikan, sedangkan ju’alah berarti upah.
Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq ji’alah adalah sebuah
akad untuk mendapatkan materi (upah) yang di duga kuat dapat diperoleh.
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu
memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang
atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air
atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan hanya terbatas
pada barang yang hilangnamun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan
seseorang.
Kata jialah dapat dibaca jaalah. Pada zaman rasulullah jialah telah
dipraktikkan. Dalam shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadis yang
menceritakan tentang seorang badui yang disengat kala kemudian dijampi oleh
seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing.
Menurut Mazhab Hanafi ji’aah tidak diperbolehkan karena di dalam
ji’alah ada gharar atau tidak diketahuinya pekerjaan yang akan dilakukan dan
waktu pekerjaannya. Hanya saja berdasarkan isthsan ji’alah dibolehkan, misalkan
menjanjikan upah untuk mengembalikan budak yang melarikan diri. Ulama
Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membolehkan ji’alah berdasarkan QS Yusuf
[12: 72]
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya”.
Masyarakat membutuhkan ji’alah sebb terkadang pekerjaan (untuk
mencapai suatu tujuan) tidak jelas bentuk dan waktu pelaksanaannya, seperti
mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang dan sebagainya. Untuk
2
pekerjaaan ini tidak sah dilakukan akad ijarah padahal seseorang
membutuhkannya agar kedua barang yang hilang bisa kembali. Sementara itu, ia
dapat menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya sacara sukarela
(tanpa imbalan). Oleh karena itu, adanya kebutuhan masyarakat dalam keadaan
seperti itu mendrong agar akad ji’alah dibolehkan sekalipun bentuk dan masa
pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak jelas. Dari pengertian ini, dalam ji’alah
terdapat unsur-unsur:
a. Pekerjaan khusus, misalnya mencari barang yang hilang, atau
menyembuhkan penyakit. Biasanya pekerjaan yang akan dilakukan
merupakan pekerjaan yang sulit bagi orang-orang yang membuat
pengumuman. Hal inilah yang membedakan antara ji’alah (sayembara)
dengan musaqah (perlombaan) atau dengan undian.
b. Upah terhadap orang yang berhasil melakukan pekerjaan. Apakah hadiah
itu berbentuk materiil atau imateriil, seperti diangkat menjadi saudara.
Para ulama sepakat tentang kebolehan ji’alah, karena memang diperlukan
untuk mengembalikan hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup
dikerjakan dan tidak ada orang yang bisa membantu secara sukarela. Pekerjaan itu
tidak dapat dilakukan dengan akad ijarah karena tidak jelas batas pekerjaan waktu
dan sebagainya sehingga yang boleh dilakukan dengan memberinya ja’alah seperti
akad sewa dan bagi hasil.
3
pekerjaan jika ia ditentukan maka ia harus orang yang cakap melakkan
pekerjaan tersebut dan mendengar jiala boleh melakukannya.
b. Ju’lah (upah), Upah dalam ja’alah harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: Pertama, upah yang dijanjikan harus berupa sesuatu yang bernilai
harta dan dalam jumlah yang jelas. Jika upah berbentuk barang haram
seperti minuman keras maka jialah tersebut batal. Kedua, bayaran itu harus
diketahui dan harus ada pengetahuan tentangnya, misalnya “siapa yang
mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang maka dia mendapat
pahala, atau ridha, akad seperti ini tidak sah. Ketiga, upah yang bleh
disyaratkan diberikan di muka (sebelum pelaksaan ju’alah).
c. ‘Amal (pekerjaan), Pekerjaan dalam ja’alah harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut: Pertama, pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus
mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut syara’.
Ji’alah tidak diperolehkan terhadap pekerjaan dalam bentuk mengeluarkan
jin dari diri seseorang atau membebaskan dari sihir. Karena keluar atau
bebas dari sihir tdak dapat diketahui secara jelas. Oleh karena itu, ji’alah
tidak boleh terhadap sesuatu yang diharamkan. Kedua, Mazhab Maliki
mensyaratkan, ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waku tertentu, seperti
mengembalikan (menemukan) orang yang hilang dalam satu hari. Ketiga,
Mazhab Malikyiah menyatakan baha pekerjaan tersebut merupakan
pekerjaan yang mudah dilakukan meskipun dilakukan berulang kali seperti
mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
Keempat, pekerjaan yang ditawarkan secara hukum bukan pekerjaan yang
wajib bagi pekerja, jika ia wajib secara syar’i maka dia tidak berhak
mendapat upah, misalnya seseorang mengatakan “siapa yang
mengembalikan hartaku yang hilang maka ia mendapat begini, kemudian
dikembalikan oleh orang yang merampasnya maka orang tersebut tidak
berhak mendapat upah yang telah disebutkan, sebab sesuatu yang wajib
dilakukan secara syar’i tidak ada upah baginya.
d. Shighat (ucapan), Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji’alah sedangkan
dari pihak pekerja tidak disyratkan ada ucapan kabul darinya dan ji’alah
4
tidak batal seandainya dia menjawab, misalnya ia berkata: saya akan
kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran satu
dinar. Kemudian, pemberi ja’alah berkata ya maka itu sudah dianggap
cukup. Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan
upah walaupun tanpa ucapa kabul dari pihak yang melaksanakan
pekerjaan. Lafaz, diisyaratkan mengandung izin untuk melakukan
pekerjaan kepada setiap orang yang mampu, dan tidak dibatasi waktunya.
5
maka keadaan ini tidakmemunculkan keadaan hukum. Artinya, pihak kedua tidak
berhak terhadap upah yang dijanjikan karena pekerjaan yang belum dilaksanakan.
Apabila pihak pertama membatalkan ji’alah ketika pekerjaan sedang berlangsung
menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, pihak pertama wajib membayar upah
kepada pihak kedua, sesuai dengan volume dan masa kerja yang telah
dilaksanakannya
B. HADIAH
1. Pengertian Hadiah
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud
untuk mmnuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW
menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang
demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara
sesama.
Hadiah adalah memberikan sesuatu tanpa ada imbalannya dan dibawa ke
tempat orang yang akan di beri, karena hendak memuliakanya. Hadiah merupakan
suatu penghargaan dari pemberi kepada si penerima atas prestasi atau yang
dikehendakinya. Rasulullah SAW bersabda : Artinya: "Hendaklah kalian saling
memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi " ( HR. Abu Ya'la )
2. Hukum Hadiah
Hukum hadiah adalah boleh ( mubah ). Nabi sendiripun juga sering
menerima dan memberi hadiah kepada sesama muslim, sebagaimana sabdanya:
Artinya: "Rasulullah SAW menerima hadiah dan beliau selalu membalasnya".
(HR. AI Bazzar).
Hadiah telah di syariatkan penerimaanya dan telah ditetapkan pahala bagi
pemberinya.Dalil yang melandasi hal itu adalah sebuah hadist dari Abu Hurairah,
bahwa nabi telah bersabda : “sekiranya aku diundang makan sepotong kaki
binatang, pasti akan aku penuhi undangan tersebut.begitu juga jika sepotong
lengan atau kaki dihadiahka kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR.Al-
Bukhari)
6
Dan diriwayatkan imam Ath-Thabrani dari Hadist Ummu Hakim Al-Khuza’iyah,
dia berkata : wahai rasulullah apakah engkau tidak menyukai penolakan terhadap
kelembutan ?" beliau menjawab :”betapa buruknya yang demikian itu, sekiranya
aku diberi hadiah sepotong kaki binatang,pasti aku akan menerimanya”.
Hadiah diperbolehkan dengan kesepakatan umat, apabila tidak terdapat
disana larangan syar’I terkadang di sunattkan untuk memberikan hadiah apabila
dalam rangka menyambung silaturrahmi, kasih sayang dan rasa cinta.terkadang
disyariatkan apabila dia termasuk di dalam bab membalas budi dan kebaikan
orang lain dengan hal yang semisalnya.dan terkadang juga menjadi haram dan
perantara menuju perkara yang haram dan ia merupakan hadiah yang berbentuk
suatu yang haram, atau termasuk dalam kategori sogok menyogok dan yang
sehukum dengannya.
7
Dan didalam sebuah riwayat, Umar ra berkata “ketahuilah demi dzat yang jiwaku
ditangan-nya!saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikitpun dan tidaklah
aku diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku
mengambilnya,” (shahih At Targhib 836)
Rasulullah SAW tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan oleh sebab yang
syar’I.oleh karena adanya dalil-dalil ini maka wajib menerima hadiah apabila
tidak dijumpai larangan syar’i.
Demikian pula diantara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadist Abu Hurairrah ra, beliau berkata
bahwa rasulullah SAW pernah bersabda :”barang siapa yang Allah datangkan
kepadanya sesuatu dari harta ini, tana dia memintanya, maka hendaklah
menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang allah kirimkan
kepadanya.” (Shahih At-Targhib 839).
b) Hukum menolak hadiah
Setelah jelas bagi kita wajib menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya
kecuali dikarenakan unsur syar’i dan nabi saw melarang kita untuk menolak
hadiah dengan sabda beliau: “ jangan kalian menolak hadiah”. (telah lewat
takhrijnya).
3. Syarat-syarat hadiah
a. Orang yang memberikan hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah
perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang
sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
b. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya
yang terlantar.
c. Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi
shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.
d. Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi
penerimanya.
8
4. Rukun Hadiah
a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan yang
berhak mentasyarrufkannya
b. Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki .
c. Ijab dan qabul
d. Barang yang diberikan, syaratnya barangnya dapat dijual
5. Hikmah Hadiah
a. Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang
b. Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.
Sabda Nabi Muhammad SAW : “Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena
dapat menghilangkan tipu daya dan kedengkian” (HR. Abu Ya’la).
“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan
dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami).
C. SADAQAH
1. Pengertian Sadakah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa arab yang secara bahasa
berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan
sebagai pemberiaan yang disunahkan. Sedekah secara bahasa berasal dari huruf
shad, dal, dan qaf, serta dari unsur ash-shidq yang berarti benar atau jujur.
Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah SWT.
Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal
yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian sedekah adalah
pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT, dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa
mengharapkan pengganti pemberian tersebut.
2. Hukum sedekah
Secara ijma, ulama menetapkan bahwa hukum sedekah ialah sunnah. Islam
mensyariatkan sedekah karena didalamnya terdapat unsur memberikan
9
pertolongan kepada pihak yang membutuhkan. Didalam al-qur’an banyak ayat
yang menganjurkan agar kita bersedekah seperti.
surah al-baqoroh : 261
artinya : perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
3. Syarat Sadaqah
a. Orang yang memberikan shadaqah itu sehat akalnya dan tidak dibawah
perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang
sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
b. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya
yang terlantar.
c. Penerima shadaqah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau
hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.
d. Barang yang dishadaqahkan harus bermanfaat bagi penerimanya
4. Rukun Sadaqah
10
Rukun shadaqah dan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut :
a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak
untuk mentasharrufkan ( memperedarkannya )
b. Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak syah
memberi kepada.anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi
kepada binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu.
11
c. Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersngketa
d. Memberikan senyumn kepada orang lain
e. Membimbing orang buta, tuli, dan bisu serta menunjuki orang yang meminta
petunjuk tentang sesuatu seperti alamat rumah.
f. Menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari perbuatan kemungkaran
g. Melangkahkan kaki kejalan allah
h. dll
8. Hikmah Shadaqah
a. Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah
b. Dapat menghindarkan dari berbagai bencana
c. Akan dicintai Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
12
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui seluk beluk tentang
Ji’alah, Hadiah dan Sadaqah. Setelah di jelaskan segala macam tentang yang
berhubungan dengan Ji’alah, Hadiah dan Sadaqah maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: Menurut bahasa, Ji’alah atau ju’alah berasal dari kata ja’ala –
yaj’lu – ja’lan. Secara harfiah bermakna mengadakan atau menjadikan, sedangkan
ju’alah berarti upah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq
ji’alah adalah sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang di duga kuat
dapat diperoleh.
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud
untuk mmnuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW
menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang
demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara
sesama.
Sedekah secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta dari
unsur ash-shidq yang berarti benar atau jujur. Sedekah menunjukkan kebenaran
penghambaan seseorang kepada Allah SWT. Secara etimologi, sedekah ialah kata
benda yang dipakai untuk suatu hal yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pengertian sedekah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan diberikan kepada orang yang
sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut.
B. Saran
Setelah mempelajari materi perkuliahan, semoga mahasiswa mampu
memahami mengenai ji’alah, sedekah dan hadiah Mengingat permasalahan hukum
ini sangat ketat, kami menyadari pentingnya informasi dalam segala hal.
DAFTAR PUSTAKA
13
Helmi Karim, 1997, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, edisi
1,Cet. 2.
Sayyid Sabiq, 1987, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Bandung: PT. Al-
Ma’arif,Cet. XX.
Abu Bakr Jabir Al-jazairi, Ensiklopedi Muslim Jati waringin: 2009
H. Satria Effendi M. Zein, MA, 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam
Konteporer, Jakarta: Kencana, Cet. I.
Abu Bakr Jabir Al-Jaza’iri Pedoman Hidup Muslim Jakarta 2008.
Hafifuddin, 2005, Panduan praktis tentang zakat, infak dan sedekah, depok :
gemainsani.
Al-imam asy-syaikh ahmad bin Abdurrahman, 1999, Mahnajul qashidin,
Jakarta:pustaka al-kautsar.
14