Anda di halaman 1dari 11

JI’ALAH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah:


“Fiqh Muamalah Kontemporer”
Dosen Pengampu :
Dr. Jamaludin Achmad Kholik, Lc. MA

Disusun oleh :

Kelompok 8

1. Siti Nurul Hidayah (21403083)


2. Mega Arum Nur Savitri (21403097)
3. Zidni Nurul Qolbi (21403100)

PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberi kenikmatan, kemampuan,
kekuatan, serta keberkahan baik waktu, maupun pikiran kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ji’alah” tepat pada waktunya. Dalam penyusunan
makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan.

Akan tetapi semua bisa teratasi dengan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Jamaludin Achmad Kholik, Lc. MA selaku dosen
mata kuliah Fiqh Muamalah Kontemporer atas bimbingan pengarahan dan kemudahan yan
telah diberikan kepada penulis dalam mengerjakan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penyusanan dan penulisan
makalah ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun semangat penulis sangat
diharapkan dari pembaca, dan penulis berharap semoga isi dari makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua yang membacanya khususnya bagi penulis.

Kediri, 30 April 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 1

DAFTAR ISI ................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................3

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
C. Tujuan .................................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 4

A. Definisi Akad Ji'alah ............................................................................................ 4


B. Landasan Hukum Akad Ji'alah ............................................................................ 4
C. Rukun dan Syarat Akad Ji'alah .............................................................................5
D. Pengertian shigah akad ji’alah ..............................................................................7
E. Pembatalan akad ji’alah ....................................................................................... 7
F. Contoh pengaplikasian dari ji’alah ..................................................................... 8
G. Hikmah dari ji’alah .............................................................................................. 8

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 9

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 9
B. Saran .................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 10

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi
tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-
Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya
sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam
secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya
yang tidak mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang
lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku tolong-
menolong dengan sesamanya.

Dalam hubungan sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui bahwa ada salah satu
akad yaitu ji’alah. Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah
pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia
berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan
kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk
dijalankan. Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi membahas
tentang apa itu sebenarnya akad ji’alah yang telah ada sejak zaman dahulu ini

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari akad ji’alah?


2. Bagaimana Landasan hukum akad ji’alah?
3. Apa rukun dan syarat ji’alah?
4. Apa yang dimakasud dengan shigah akad ji’alah?
5. Bagaimana terjadi pembatalan akad ji’alah?
6. Bagaimana contoh pengaplikasian dari ji’alah ??
7. Apa Hikmah dari ji’alah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa definisi dari akad ji’alah.


2. Untuk mengetahui Landasan hukum akad ji’alah?
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ji’alah?
4. Untuk mengetahui apa maksud dengan shigah akad ji’alah?
5. Untuk mengetahui Bagaimana terjadi pembatalan akad ji’alah?
6. Untuk mengetahui contoh pengaplikasian dari ji’alah ??
7. Untuk mengetahui Hikmah dari ji’alah?

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Akad Ji'alah

Akad ji'alah, ju'l atau ju'liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang
dipersiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang selesai melaksanakan suatu perbuatan
tertentu, atau juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada seseorang setelah
melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli fikih, akad ji'alah bisa disebut janji
untuk memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), jadi ji'alah adalah akad atau
perikatan dengan kehendak salah satu pihak. Sedangkan menurut syara', akad ji'alah adalah
komitmen untuk memberikan imbalan yang jelas atau pekerjaan tertentu atau tidak tertentu
yang sulit diketahui.1

Ji'alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja'l) kepada orang yang telah
melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang yang mengembalikan hewan liar (dhalalah),
mengembalikan budak buronan, membangun tembok, dan laki-laki menjahit apkandajaan.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji'alah adalah kesepakatan imbalan tertentu
dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/jasa oleh pihak kedua
untuk kepentingan pihak pertama.2

Akad ji'alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum
pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan, maka ia berhak mendapatkan
upah atau hadiah. Secara harfiah, ji'alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang
lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.
Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menjelaskan ji'alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu
yang diduga kuat akan diperolehnya.3

B. Landasan Hukum Akad Ji'alah

1
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 432.
2
Mardani , Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), 314.
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III (Bandung: Alma'arif, 1986), 171.

4
Menurut ulama Hanafiah, akad ji'alah tidak diperbolehkan karena mengandung unsur
penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan perbuatan dan waktunya. Ini dibandingkan dengan
semua akad Ijarah (sewa) yang mensyaratkan kejelasan dalam pekerjaan, karyawan itu
sendiri, gaji dan waktu. Namun, mereka mengizinkan - dengan bukti istihsan - untuk
memberikan hadiah hanya kepada mereka yang dapat mengembalikan budak yang melarikan
diri atau melarikan diri setelah menempuh perjalanan tiga hari atau lebih, bahkan tanpa
syarat. Jumlah hadiah adalah empat puluh dirham untuk menutupi biaya perjalanan.4 

Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah dibolehkan
dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as. bersama saudara-saudaranya.

‫ص َوا َع ا ْل َملِ ِك َولِ َمنْ َج ۤا َء بِ ٖه ِح ْم ُل بَ ِع ْي ٍر َّواَنَ ۠ا بِ ٖه زَ ِع ْي ٌم‬


ُ ‫قَالُ ْوا نَ ْفقِ ُد‬

“Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta dan aku jamin itu.”(QS. Yusuf: 72).5

C. Rukun dan Syarat Akad Ji'alah

a. Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang lain yang
mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan, atau memiliki pekerjaan.

b. Pekerja, yaitu mencari barang yang hilang yang mempunyai izin untuk bekerja dari orang
yang punya harta, jika dia bekerja tanpa ada izin darinya seperti ada harta yang hilang lalu
dia menemukannya atau hewan tersesat lalu dia mengembalikan kepada pemiliknya, maka
dalam hal ini dia tidak berhak mendapat ji'alah.6

c. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang atau benda yang tertentu. Kalau yang
kehilangan itu berseru: “Barangsiapa yang mendapat barang atau bendaku, akan saya beri
uang sekian. Kemudian dua orang pekerja mencari barang itu, sampai keduanya

4
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 433.
5
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, QS. Yusuf: 72 , (Jakarta: CV. Karya Insan Indonesia,
2002), 329.
6
Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), 334.

5
mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah yang dijanjikan itu berserikat
antara keduanya (dibagi-bagikan).

d. Shighat, Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji'alah sedangkan dari pihak pekerja, maka
tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun
barangnya sudah jelas sebab yang dinilai adalah pekerjaanya sama dengan akad perwakilan,
dan tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya dia berkata kepadanya saya akan
kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran datu dinar kemudian si
pemberi ja'alah berkata ya atau menjawabnya, maka sudah dianggap cukup.7 Adapun syarat
ji'alah yaitu:

a. Pihak-pihak yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah al-


tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak dalam perwalian). Jadi ji'alah tidak sah
dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.

b. Upah yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas,
maka akad ji'alah batal adanya, karena ketidakpastian kompensasi, Upah yang tidak jelas
akan menimbulkan perselisihan dimasyarakat.

c. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktifitas yang mubah, bukan yang haram
dan diperbolehkan secara syar'i. Tidak diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk
mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap
asset yang boleh dijadikan sebagai objek transaksi dalam akad ji'alah.

d. Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma'lum),
di samping itu tentunya harus halal.8

D. Pengertian shigah akad ji’alah

Akad ji’alah merupakan kesepakatan atau komitmen berdasarkan kehendak salah satu pihak,
sehingga akad ji’alah tidak terjadi kecuali dengan adanya shigat dari yang akan memberi upah
(ja’il). Shigat ini berisikan persetujuan untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas,

7
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1986), 306.
8
Ibid.

6
menyebutkan imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya komitmen untuk
memenuhinya.

Apabila seseorang pelaksana akad (‘amil) memulai pekerjaan ji’alah tanpa izin dari pemberi
upah atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang mengerjakannya orang lain, maka orang
itu tidak berhak mendapatkan apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekerja
dengan sukarela; dan pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak disyaratkan
bagi ja’il harus seorang pemilik barang dalam ji’alah, sehingga dibolehkan bagi selain pemilik
barang untuk memberikan upah dan orang yang mendapatkan ‘sesuatu’ itu berhak menerima
upah tersebut.9

Juga tidak disayaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil (pelaksana), sekalipun ja’il
telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad ji’alah tersebut, karena akad ini
merupakan komitmen dari satu pihak sebagaimana telah dijelaskan di atas. Akad ji’alah
diperbolehkan untuk orang tertentu saja atau untuk umum. Seorang ja’il juga bebas untuk
memberikan bagi orang khusus imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang berbeda.

E. Pembatalan akad ji’alah

Sifat dari akad muamalah ada dua kemungkinan, bisa jadi akadnya lazim (mengikat) atau akad
jaiz yakni setiap akad yang bisa di fasakh atau dibatalkan oleh pihak-pihak akad tanpa harus
mendapatkan izin pihak lain.

Pembatalan ju'alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang
dengan orang yang dijanjikan ju'alah atau orang yang diserahi mencari barang sebelum bekerja).
Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan
upah sekalipun ia telah bekerja. Tetapi jika yang membatalkan dari pihak yang menjanjikan upah
maka yang bekerja berhak menuntut upah sejumlah pekerjaan yang telah dilakukannya.

Ju'alah bersifat akad jaiz, hal ini dicontohkan jika setelah diumumkan: “Siapa yang menemukan
bahan tambang di atas tanah saya ini, maka untuknya sekian milyar rupiah,” Jika setelah dia
mengataan demikian ternyata ada yang membatalkan sepihak. Misalnya ada perusahaan A yang
datang ke tanahnya dengan membawa peralatan-peralatan pencarian bahan tambang. Setelah
melihat kontur tanah, kondisi alam, cuaca, dan lain sebagainya, dia merasa tidak mungkin untuk
melanjutkan. Maka hal ini boleh.

Kalau pihak perusahaan yang menerima akad jualah tadi yang membatalkan sepihak, maka dia
tidak memperoleh apapun dari pembatalan sepihak. Akan tetapi jika pembatalan dari pihak yang
memberikan ju'alah tadi, dan pembatalan terjadi setelah perusahaan ada yang masuk ke lahan
tanahnya dan membawa peralatan-peralatan canggihnya untuk mendeteksi dan mencari tambang.

9
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Jakarta, Gema Insani, 2011.

7
Maka konsekuensinya adalah bagi pihak perusahaan yang akan melakukan pendeteksian tadi
berhak mendapatkan upah atas hal itu

E. Contoh pengaplikasian dari  ji’alah

Ibnu Qudamah Al-Hanbali mengatakan, “Jialah adalah semisal ucapan, ‘Siapa yang
menemukan lalu mengembalikan barangku atau hewan ternakku yang hilang atau membuat
tembok ini maka untuknya upah sebesar sekian.’ Siapa saja yang melakukan apa yang dikatakan
di atas dia berhak mendapatkan upah yang dijanjikan. Contoh ji’alah yang lain adalah hadiah
dalam bentuk uang dalam nominal tertentu, yang dijanjikan oleh pemerintah atau pun aparat
keamanan, bagi siapa saja yang bisa menginformasikan keberadaan penjahat yang menjadi
buronan semisal pengedar narkoba atau yang lain.

Termasuk transaksi jualah adalah seorang dermawan yang mengatakan, “Siapa saja yang
melakukan amal ketaatan A maka untuknya hadiah senilai sekian.” Dengan demikian, termasuk
jualah adalah berbagai hadiah yang dijanjikan oleh pemerintah, sebagian dermawan, atau
yayasan sosial bagi orang yang dapat menghafal Alquran 30 juz, menghafal 50 hadis, atau
kepintaran bidang keilmuan tertentu.10

F. Hikmah dari ji’alah

1. Berlomba-lomba dalam kebaikan yaitu menolong orang yang sangat memerlukan


pertolongan manusia
2. Dapat menemukan orang yang punya prestasi atau loyalitas yang tinggi
3. Menumbuhkan semangat dan percaya diri untuk melakukan sesuatu
4. Menumbuhkan rasa solidaritas dan kebersamaan antara sesama muslim
5. Meningkatkan rasa syukur dan keikhlasan dalam beribadah. Ji'alah merupakan salah satu
bentuk amal ibadah yang dapat meningkatkan keimanan dan keikhlasan dalam beribadah.
6. Mempererat tali silaturahmi antara sesama muslim.
7. Mendorong pengembangan potensi sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam prakteknya,
ji'alah juga dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan ekonomi masyarakat,
terutama jika hadiah yang diberikan adalah dalam bentuk barang atau jasa yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan,

BAB III
PENUTUP

10
Syarh Umdah Al-Fiqh, jilid 2,Bandung,Sinar Abadi, 954–955

8
A. Kesimpulan
Akad ji'alah, ju'l atau ju'liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang
dipersiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang selesai melaksanakan suatu perbuatan
tertentu, atau juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada seseorang setelah
melakukan pekerjaan tertentu. Menurut ulama Hanafiah, akad ji'alah tidak diperbolehkan
karena mengandung unsur penipuan (gharar), sedangkan imam malikiyah dan syafiiyah
memperbolehkan.

Rukun akad ji’alah yaitu orang yang menggaji, pekerja, upah, shigat dalam beberapa hal
Menumbuhkan rasa solidaritas dan kebersamaan antara sesama muslim dengan berlomba-
lomba dalam kebaikan yaitu menolong orang yang sangat memerlukan pertolongan manusia.
Mempererat tali silaturahmi antara sesama muslim. Ketika kita memberikan hadiah kepada
seseorang, maka hal itu dapat menjadi bentuk menguatkan hubungan baik antara kita dengan
orang tersebut, dst.

B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan pembaca. Apabila makalah ini masih terdapat banyak kesalahan baik
kesalahan dalam penulisan maupun pembahasan kami selaku penyusun mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.

9
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fiqh,Syarh Umdah, jilid 2,Bandung, Sinar Abadi,2010
Az- Zuhaili,Wahbah,Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011)
Azam,Abdul Aziz Muhammad,Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010)
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, QS. Yusuf: 72 , (Jakarta: CV. Karya
Insan Indonesia, 2002)
Mardani , Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012)
Rasjid, Sulaiman,Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1986)
Sabiq,Sayyid,Fiqih Sunnah, Jilid III (Bandung: Alma'arif, 1986)

10

Anda mungkin juga menyukai