Anda di halaman 1dari 12

KAIDAH USHULIYAH DAN FIQIYAH

Kaidah Tentang Rugi Merugikan

Dosen Pengampu : Dr. H. Farkhan, M.Ag

Disusun Oleh :

1. Lafifah Suci A. ( 202131003)/HPI 4A

2. Ika Susilowati (202131018)/HPI 4A

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini tentu masih jauh dari kata sempurna dan
masih terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharap kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian, apabila terdapat kesalahan dari makalah ini penulis mohon maaf
yang sebesar
besarnya. Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN........................................................................................................................................4
Latar Belakang.........................................................................................................................................4
Rumusan Masalah...................................................................................................................................4
Tujuan.......................................................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...........................................................................................................................................5
BAB III........................................................................................................................................................10
PENUTUP...............................................................................................................................................10
Kesimpulan.........................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................11

3
BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara moral dan hukum, Islam sangat menganjurkan berperilaku jujur, amanah, dan adil
dalam bermuamalah. Konsep keberperilakuan ini harus didukung dengan perbuatan dalam
berpraktik ketika bermuamalah, sepertimelarang memakan harta orang lain secarabatil,
melakukan penipuan dalam berbisnis, dansampai kepada berperilaku seimbang atau adildalam
penggantian kerugian. Rugi merugikan ini masuk kedalam kaidah “Hak mendapatkan hasil
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian."

Rumusan Masalah
1. Apakah kaidah rugi merugikan?

2. Bagaimana cara penerapan kaidah ini dalam muamalah?

Tujuan
1. Mengetahui tentang rugi merugikan

2. Mengetahui tentang cara penerapan kaidah ini dalam mualmalah

4
BAB II

PEMBAHASAN
Kaidah

‫الخراج الضمان‬

Artinya: “Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian." (as-
Suyuthi. t.t: 93)

Pada suatu hari ada seseorang menjual budak. Budak tersebut telah bertempat tinggal di
tempat pembeli selama beberapa hari. Lantas, si pembeli menemukan cacat pada budak tersebut,
dan melaporkan masalah itu kepada Nabi Saw. Maka nabi mengembalikan budak itu kepada
penjual. Si penjual berkata : "Wahai Rasulullah, ia (si pembeli) telah mengambil manfaat dari
budakku". Rasulullah menjawab:”Al-Kharaj (Hak mendapatkan hasil) disebabkan oleh
keharusan menanggung kerugian." Dalam kaitan ini, Abu 'Ubaid mengatakan : yang
dimaksudkan dengan al-kharaj dalam hadits ini adalah pekerjaan hamba yang telah dibeli
seseorang, yang kemudian orang tersebut menyuruh menyuruh supaya hamba itu bekerja
untuknya dalam waktu tertentu. Lantas diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh penjual,
kemudian ia kembalikan kepada penjual tersebut, dengan diambil seluruh uang hargaanya.
Pembeli itu sesungguhnya memang telah memanfaatkan hamba itu, dengan memperkerjakannya.
Pemanfaatan yang dilakukan pembeli tersebut dapat dibenarkan, karena ia telah memberikan
nafkah kepadanya selama berada di tangannya.

Sedangkan al-Nadwi mengutip pendapat alKhusni mengatakan bahwa dhirar adalah


sebagai perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tetapi merugikan orang lain, sedangkan
dharar adalah perbuatan yang merugikan orang lain tetapi tidak menguntungkan diri sendiri. 1
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil simpulan, bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

Qaidah fiqh tersebut di atas mencakup banyak masalah fiqh dan dapat dijadikan sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, baik bidang ibadah, muamalat, munakahat, maupun jinayat.

1
Al-Suyuthi, Op.Cit, h.60

5
Dalam masalah hukum muamalat, qaidah fiqhiyyah itu dapat dijadikan dalil untuk
mengembalikan barang yang dibeli karena ada cacat dan memberlakukan khiyar dengan berbagai
macamnya dalam suatu transaksi jual beli karena terdapat beberapa sifat yang tidak sesuai
dengan yang telah disepakati. Begitu pula dapat dijadikan sebagai dalil untuk melarang mahjur
alaih membelanjakan harta kekayaannya, membatasi melakukan tindakan hukum bagi muflis
(orang yang jatuh pailit), safih (orang dungu) untuk melakukan transaksi dan hak syuf’ah.
Pertimbangan utama diberlakukan ketentuan-ketentuan itu untuk menghindarkan semaksimal
mungkin kemudharatan yang merugikan pihak-pihak yang terkait dengan transaksi tersebut.

3. Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah :

‫الضرریزال‬

Kemudharatan wajib dihilangkan

a. Mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya cacat dalam masa khiyar
diperbolehkan. Begitu pula larangan terhadap mahjur (orang yang dilarang
membelanjakan harta kekayaannya), muflis (yang jatuh pailit, yang safih (orang dungu)
untuk bertransaksi. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan tersebut untuk
menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di
dalam transaksi tersebut.
b. Jika seseorang meminjam uang dengan kadar tertentu, kemudian uang tersebut tidak
berlaku lagi karena penggantian uang, atau yang lainnya, maka menurut Abu Yusuf
(w.182 H) orang tersebut wajib mengembalikannya sesuai dengan harga uang tersebut,
yaitu pada hari akhir berlakunya uang pinjaman tersebut.
c. Hakim berhak mencegah orang yang berutang untuk bepergian (safar) atas permintaan
yang punya piutang sehingga ia menunjuk seorang wakil yang mewakilinya dan tidak
boleh ia memberhentikan wakilnya selama ia dalam bepergian, untuk menghilangkan
mudharata (bahaya) bagi yang punya piutang.” 2

Agus Yudha Hernoko membagi ganti rugi menjadi dua jenis yaitu ganti rugi alternatif dan
ganti rugi pelengkap. Ganti rugi pengganti adalah ganti rugi yang disebabkan oleh tidak adanya
kontrak atau akses ke kinerja (default), hak pihak yang dirugikan untuk menerima, dan pihak
2
Syarif Hidayatullah, Op.cit. h. 60-61.

6
yang dirugikan akan menderita. Ganti rugi pelengkap adalah ganti rugi yang mungkin harus
dibayarkan kepada yang dirugikan karena keterlambatan (pembayaran, angsuran). 3 Dilihat dari
pokok materi Sertifikat yang dikenakan ganti rugi, jenis ganti rugi dapat berupa: 1. Pelanggaran
norma. 2. Wanprestasi pada persekutuan dari kesepakatan; 3. Melanggar hukum, yaitu
persekutuan yang didirikan secara sah.4 Ada kemungkinan orang akan dimintai ganti rugi,
misalnya karena penyewa telah merugikan barang sewaan karena kelalaian. 5 Ganti rugi pula
mampu diterapkan ke negara, contohnya pengambilan tanah bengkok desa sang kementerian
terkait buat kepentingan umum.6

Di sisi lain, tanggung jawab ganti rugi menurut KUHPerdata Islam dapat dibagi menjadi dua
jenis: tanggung jawab ganti rugi berdasarkan kontrak (almas`ûliyahalta`aqqudiyah) dan tanggung
jawab ganti rugi karena kelalaian (almas`ûliyahaltaqsîriyah). Contoh tanggung jawab atas
kerugian akibat wanprestasi adalah penjual tidak mau melepaskan barang, lessor tidak mau
melepaskan barang sewaan, kelalaian pihak yang melanggar aturan sehingga terjadi barang
hilang.7

Ide untuk meminta ganti rugi dari korban kriminal dan sipil telah disampaikan dalam teks-
teks Al-Qur'an dan hadits Nabi sejak awal. Dari nash-nash tersebut, para ulama telah
mengembangkan berbagai aturan fiqih Islam mengenai kompensasi, baik dari Daman, Tawid,
maupun Galama.8

Dalam hukum Islam modern, ganti rugi disebut dengan Al-tawid. Ta'wîd adalah mengganti
yang rusak dengan sesuatu yang serupa atau setara nilainya. 9 Ta`wîd secara harfiah berarti
"membayar" atau "membayar ganti rugi". Istilah tersebut dimaksudkan untuk menutupi kerugian

3
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil (Jakarta: Kencana,
2010), 264.
4
M Tjoanda, “WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA” 16, no. 4
(2010): 49
5
Iza Hanifuddin dan Sunan Autad Sarjana, “Ijarah Muntahiyah Bi al-Tamlik: Sebuah Alternatif Pemberdayaan
Tanah Wakaf,” Muslim Heritage 3, no. 1 (2 Mei 2018): 9, https://doi.org/10.21154/muslimheritage.v3i1.1239.
6
Iza Hanifuddin, “WAQF AL-IRSÂD: Menyoal Pelaksanaan dan Kedudukan Wakaf Tanah ‘Béngkok’ sebagai
Suatu Fenomena Wakaf Negara dalam Kajian Fiqh,” Muslim Heritage 4, no. 1 (23 Juni 2019): 24,
https://doi.org/10.21154/muslimheritage. v4i1.1606.
7
Ibnu Syahru, “Implementasi Ganti Rugi (Ta‘wid) dalam Hukum Perdata,” Jurnal Ekonomi Islam 9 (2010): 140.
8
A. Rahmad Asmuni, Ilmu Fiqh 3 (Jakarta: Direktoret Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam, 2007), 120.
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 10 (Bandung: Al-Maarif, 1978), 158.

7
yang timbul akibat pelanggaran tersebut. 10 Secara bahasa, Gharamah berarti denda, tetapi denda
dalam bahasa Indonesia memiliki arti sebagai berikut:

1). Putusan oleh hakim berupa pembayaran uang atau hukuman penjara

2). Jumlah yang dibayarkan sebagai denda karena melanggar aturan dan hukum. Jika tidak
mau membayar, pilihannya adalah penahanan.11

Galama ini ditentukan oleh syarat dan harus diwujudkan dengan putusan hakim. Misalnya,
hukuman mencuri buah yang masih tergantung di pohon adalah dua kali lipat harga buah, atau
hukuman lain yang sesuai untuk pencurian.12 Menurut ulama Hanafi, Daman harus bertanggung
jawab atas apa yang dia butuhkan, seperti pakaian gasab dan barang hilang. Oleh karena itu,
tidak masuk akal untuk menjaminkan dalam bentuk nilai selama barang yang dijaminkan masih
tersedia.13 Menurut Syamsul Anwar, Daman dalam arti ganti rugi bisa terjadi karena dua alasan.
Artinya, jika salah satu pihak gagal memenuhi kontrak, dan jika pemenuhan kontrak adalah
alpha.14

Kompensasi secara etimologis berasal dari dua kata yaitu replacement yang berarti
penggantian atau perubahan, dan loss yang berarti kurang menguntungkan atau kurang
menguntungkan. Kompensasi berarti menukar sesuatu dengan sesuatu yang buruk.15

Hasil perjanjian jual beli berkaitan dengan kewajiban pelaksanaan penjual dan pembeli atau
keduanya hak dan kewajiban. Kewajiban Penjual adalah memberikan jaminan bahwa Mabi (Real
Estat Komersial) dan Mabi bebas dari cacat. Ini adalah pengalihan hak milik, pelaksanaan atau
kelanjutan kegiatan kontrak penjualan, dan mencegah melakukan transaksi kontrak penjualan.
Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang diperdagangkan kepada pembeli tidak
dipenuhi kecuali dengan penyerahan tunggal dari Mabi. Jika Mabi rusak sebelum pembeli
menerimanya, transaksi penjualan dianggap rusak dan Anda tidak berhak menerima harga yang
10
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), 635. Lihat
juga Ali dan Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1332.
11
Abû al-Ma‘âlî Burhân al-Dîn Mahmûd bin Ahmad bin ‘Abd al-‘Azîz bin ‘Umar bin Mâzah al-Bukhârî al-Hanafî,
al-Muhît al-Burhânî fî al-Fiqh al-Nu‘mânî, 8 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 53.
12
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, trans. oleh Abdul Hayyie dan
Kamaluddin Nurdin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 457.
13
Ungkapan yang cukup baik dalam mazhab ini terkait kaidah damân ini adalah lâ mu‘tabara fî qîmatin ma‘a baqâi
‘aynin. Muhammad bin Ahmad bin Abî Sahl Shams al-Aimmah al-Sarakhsî, al-Mabsût (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah,
1993), 98.
14
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 318.
15
Aris Anwaril Muttaqin, Sistem Transaksi Syariah: Konsep Ganti Rugi dalam Hukum Bisnis, 12.

8
disepakati dan menanggung kerugian. Namun, jika kerusakan tersebut disebabkan oleh orang
lain (pihak ketiga), maka transaksi penjualan tidak akan rusak secara hukum. Artinya, pembeli
dapat melanjutkan atau membatalkan transaksi penjualan, dan penjual mewajibkan pihak ketiga
untuk ganti rugi atas kerusakan produk. Jika kerusakan terjadi setelah penjual menyerahkan dan
menerima mabi kepada pembeli, situasinya berbeda dan transaksi penjualan tidak terpengaruh.
Dalam hal ini, pembeli berkewajiban untuk mengganti kerusakan barang.16

16
http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jei

9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Nadwi mengutip pendapat al-Khusni mengatakan bahwa dhirar adalah sebagai
perbuatan yang menguntungkan diri sendiri tetapi merugikan orang lain, sedangkan dharar
adalah perbuatan yang merugikan orang lain tetapi tidak menguntungkan diri sendiri.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil simpulan, bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

Agus Yudha Hernoko membagi ganti rugi menjadi dua jenis yaitu ganti rugi alternatif
dan ganti rugi pelengkap. Ganti rugi pengganti adalah ganti rugi yang disebabkan oleh tidak
adanya kontrak atau akses ke kinerja (default), hak pihak yang dirugikan untuk menerima, dan
pihak yang dirugikan akan menderita. Ganti rugi pelengkap adalah ganti rugi yang mungkin
harus dibayarkan kepada yang dirugikan karena keterlambatan (pembayaran, angsuran).

Di sisi lain, tanggung jawab ganti rugi menurut KUHPerdata Islam dapat dibagi menjadi dua
jenis: tanggung jawab ganti rugi berdasarkan kontrak (almas`ûliyahalta`aqqudiyah) dan tanggung
jawab ganti rugi karena kelalaian (almas`ûliyahaltaqsîriyah). Contoh tanggung jawab atas
kerugian akibat wanprestasi adalah penjual tidak mau melepaskan barang, lessor tidak mau
melepaskan barang sewaan, kelalaian pihak yang melanggar aturan sehingga terjadi barang
hilang.

Dalam hukum Islam modern, ganti rugi disebut dengan Al-tawid. Ta'wîd adalah mengganti
yang rusak dengan sesuatu yang serupa atau setara nilainya. Ta`wîd secara harfiah berarti
"membayar" atau "membayar ganti rugi". Istilah tersebut dimaksudkan untuk menutupi kerugian
yang timbul akibat pelanggaran tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuthi, Op.Cit, h.60
Syarif Hidayatullah, Op.cit. h. 60-61.

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil
(Jakarta: Kencana, 2010), 264.

M Tjoanda, “WUJUD GANTI RUGI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM


PERDATA” 16, no. 4 (2010): 49
Iza Hanifuddin dan Sunan Autad Sarjana, “Ijarah Muntahiyah Bi al-Tamlik: Sebuah Alternatif
Pemberdayaan Tanah Wakaf,” Muslim Heritage 3, no. 1 (2 Mei 2018): 9,
https://doi.org/10.21154/muslimheritage.v3i1.1239.
Iza Hanifuddin, “WAQF AL-IRSÂD: Menyoal Pelaksanaan dan Kedudukan Wakaf Tanah
‘Béngkok’ sebagai Suatu Fenomena Wakaf Negara dalam Kajian Fiqh,” Muslim Heritage
4, no. 1 (23 Juni 2019): 24, https://doi.org/10.21154/muslimheritage. v4i1.1606.
Ibnu Syahru, “Implementasi Ganti Rugi (Ta‘wid) dalam Hukum Perdata,” Jurnal Ekonomi Islam
9 (2010): 140.
A. Rahmad Asmuni, Ilmu Fiqh 3 (Jakarta: Direktoret Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), 120.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 10 (Bandung: Al-Maarif, 1978), 158.
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2013), 635. Lihat juga Ali dan Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1332.
Abû al-Ma‘âlî Burhân al-Dîn Mahmûd bin Ahmad bin ‘Abd al-‘Azîz bin ‘Umar bin Mâzah al
Bukhârî al-Hanafî, al-Muhît al-Burhânî fî al-Fiqh al-Nu‘mânî, 8 (Beirut: Dâr al-Kutub al
‘Ilmiyyah, 2004), 53.
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, trans. Oleh
Abdul Hayyie dan Kamaluddin Nurdin (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 457.
Ungkapan yang cukup baik dalam mazhab ini terkait kaidah damân ini adalah lâ mu‘tabara fî
qîmatin ma‘a baqâi ‘aynin. Muhammad bin Ahmad bin Abî Sahl Shams al-Aimmah al
Sarakhsî, al-Mabsût (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1993), 98.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 318.

11
Aris Anwaril Muttaqin, Sistem Transaksi Syariah: Konsep Ganti Rugi dalam Hukum Bisnis, 12.
http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jei

12

Anda mungkin juga menyukai