Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KAFALAH
Disusun Untuk Menambah Pengetahuan dan Wawasan Mahasiswa

Disusun Oleh :
Nanda Putri Nur Fazriyah (T.2212689)
Siti Nur Bashiroh Badriyah (T.2212719)

Dosen Pengampu :
Dr. H. AH. Bahruddin, MA.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT PEMBINA ROHANI ISLAM JAKARTA (IPRIJA)
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan
HidayahNya. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kami
sangat bersyukur karena atas kehendak Allah SWT yang telah memberikan kesehatan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan tersusunnya makalah ini, kami berharap dapat
lebih memahami secara mendalam tentang “Kafalah”. Kami menyadari makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang membangun sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah serta untuk penyusunan makalah berikutnya agar
menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada Dosen Pengampu kami
Bpk. Dr. H. AH. Bahruddin, MA. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan keberkahan kepada
kita semua. Aamiin Allahumma Aamiin.

Jakarta, 17 Juni 2022

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................i2
BAB I.....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................................1
C. Tujuan.........................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN....................................................................................................................................2
1. PENGERTIAN KAFALAH........................................................................................................2
2. DASAR HUKUM KAFALAH....................................................................................................3
3. RUKUN DAN SYARAT- SYARAT KAFALAH.......................................................................4
4. MACAM-MACAM KAFALAH.................................................................................................5
5. BERAKHIRNYA AKAD KAFALAH........................................................................................8
6. HIKMAH KAFALAH.................................................................................................................9
BAB III................................................................................................................................................10
PENUTUP...........................................................................................................................................10
A. Kesimpulan................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu produk perbankan syariah yang saat ini sedang dikembangkan adalah produk
dengan akad kafalah (jaminan). Perbankan sebagai lembaga penjamin terhadap nasabah akan
memperoleh pendapatan berupa fee (ujrah) dari nasabah atas jasa yang diberikan bank
tersebut. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan
bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa
khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk
memenuhi prestasinya. Namun masih diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang
kafalah ini untuk lebih meningkatkan perkembangan ekonomi Islam atau ekonomi syariah
pada umumnya dan perbankan syariah pada khususnya sehingga nantinya akan lebih menarik
dan mampu bersaing dengan perkembangan perbankan konvensional.
Oleh sebab itu dalam makalah kali ini kami akan mencoba menguraikan bagaimana
kafalah diterapkan dalam bidang ekonomi khususnya dalam dunia perbankan. Semoga
melalui makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita. Amin

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kafalah itu?
2. Apa yang dijadikan landasan hukum diperbolehkannya kafalah?
3. Apa rukun dan syarat kafalah?
4. Apa macam- macam dari kafalah?
5. Bagaimana berakhirnya akad kafalah?
6. Apa Hikmah Kafalah?

C. Tujuan
1. Dapat Mengetahui Pengertian Kafalah
2. Dapat Mengetahui Landasan Hukum Kafalah
3. Dapat Mengetahui Rukun dan Syarat Kafalah
4. Dapat Mengetahui Macam-Macam Kafalah
5. Dapat Mengetahui Kapan Berakhirnya Kafalah
6. Dapat Mengetahui Hikmah Kafalah

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN KAFALAH

Kafalah dalam arti bahasa berasal dari kata kafala artinya “menanggung”.
Kafalah dalam istilah dikemukakan juga oleh ulama madzab sebagai berikut:

a. Menurut Hanafiyah:
Ulama’- ulama’ hanafiyah mengemukakan dua definisi umtuk kafalah, definisi pertama
adalah kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan suatu tanggungan yang lain dalam
penuntutan terhadap jiwa, harta, atau benda. Definisi kedua adalah kafalah atau dhaman
adalah mengumpulkan tanggungan kepada tanggungan yang lain didalam pokok utang.
Dari kedua definisi tersebut, definisi pertama lebih shahih karena lebih umum, yakni
mencakup tiga jenis kafalah, yaitu kafalah terhadap jiwa, utang, atau benda. Sedangkan
definisi kedua hanya mencakup kafalah terhadap utang saja.

b. Menurut Malikiyah
Kafalah, dhaman dan hamalah mempunyai arti yang sama, yaitu penggabungan oleh
pemilik hak terhadap tanggungan penanggung dengan tanggungan orang yang ditanggung,
baik penggabungan tanggungan tersebut bergantung kepada adanya sesuatu atau tidak.

c. Menurut Syafi’iyah
Dhamman dalam pengertian syar’i adalah suatu akad yang menghendaki tetapnya suatu
hak yang ada dalam tanggungan orang lain, atau menghadirkan benda yang dihadirkan atau
menghadirkan badan yang harus dihadirkan.

d. Menurut Hanabilah
Dhaman adalah menetapkan sesuatu yang wajib kepada orang lain sedangkan sesuatu itu
tetap dalam genggaman.

2
Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua atau yang ditanggung (makful ‘anhu)

2. DASAR HUKUM KAFALAH

Kafalah hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan


Ijma’.
a) Al-Qur’an
Surah Yusuf ayat: 72
‫ص َوا َُع ا ْل َملِ ُِك َولِ َم ْنُ َجا َُء بِهُِ ِح ْم ُُل بَ ِعي ُر َوأنَا َ بِهُِ زَ ِعي ُم‬
ُ ‫قَال ُوا نَ ْفقِ ُُد‬
Artinya: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya".

b) Hadist
Hadist Nabi riwayat Bukhari: “Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah
seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’
Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi
jenazah lain, Rasulullah punbertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat menjawab.
‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau
mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah’.
Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” (HR. Bukhari dari Salamah bin
Akwa’).

c) Ijma’
Sedangkan dalam Al-Ijma, Para ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena
sangat dibutuhkan dalam mu’amalah masyarakat. Dan agar pihak yang berpiutang tidak
dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang. Perlu diketahui, kafalah yang
dilakukan dengan niat yang ikhlas mempunyai nilai ibadah yang berbuah pahala.

3
3. RUKUN DAN SYARAT- SYARAT KAFALAH

Menurut ulama hanafiyah rukun kafalah itu satu yakni ijab dan qabul. Akan tetapi
menurut ulama’ ulama’ yang lain rukun kafalah ada lima, yaitu:
1) Shighat yaitu ijab dari penjamin atau ijab-qabul dari akad transaksi.
2) Dhamin atau kafil (penjamin)
3) Pemilik hak, atau yang mempunyai piutang (makful lahu)
4) Pihak yang dijamin (makful ‘anhu)
5) Obyek kafalah (makful bih).

Adapun syaratnya sebagai berikut:

1. Syarat shighat
Ulama’ hanafiah tidak memberikan syarat-syarat khusus untuk shighat (redaksi) ijab
qobul dalam kafalah. Menurut mereka sighat kafalah bisa dengan setiap lafal yang
mengandung arti tanggungan atau iltizam seperti kafaltu (saya tanggung), dlomintu(saya
jamin), dan tahammaltu (saya pikul/tanggung jawab).

2. Syarat kafil (dlamin)


1) Baligh. Tidak sah bagi seorang anak yang masih dibawah umur untuk
menanggung kepentingan orang lain. Ulama’ fuqoha’ madzhab empat sepakat
namun hanafiah mengecualikan dalam hal kafalah bil mal, bukan bin nafsi, yaitu
apabilaanaktersebut anak yatim dan walinya berutang untuk menafakahinya. Maka
dalam hal ini anak tersebut dibolehkan menanggungnya dengan perintah walinya
dan kafalahnya hukumnya sah.
2) Berakal. Tidak sah kafalah yang dilakukan oleh orang gila.
3) Tidak mahjur’alaih karena boros. Apabila kafil dinyatakan mahjur’alaih karena
sebab yang lain selainboros maka kafalahnya hukumnya sah.
4) Kafil tidak berada dalam keadaan marodlulmaut (sakit keras). Dalam keadaan ini,
maka kafalahnya tidak sah dengan dua syarat yaitu:
i Ia mempunyai hutang yang menghabiskan hartanya.
ii Tidak ada tambahan harta yang baru setelah ia meninggal. Apabila ada
tambahan harta baru setelah ia meninggal, maka kafalahnya hukumnya sah.

4
5) Tidak dipaksa. Dengan demikian kafalah orang yang dipaksa hukumnya tidak sah.
6) Hanafiah menambahkan syarat kafil harus orang merdeka. Tetapi bukan sarat sah
melainkan sarat nafadz.

3. Syarat makful lahu


Makful lahu adalah orang yang kepentingannya ditanggung yaitu pemilik utang,
syarat untuk pemilik utang adalah:
1) Harus jelas (diketahui) dengan demikian tidak sah menjamin seseorang yang ia
(penjamin) tidak mengetahuinya.
2) Berakal. Tidak sah menjamin seseorang gila. Hal tersebut dikarenakan dalam kafalah
harus ada qobul (penerimaan), dan orang gila qobulnya tidak sah.

4. Syarat makful ‘anhu


Makful ‘anhu adalah al-mudin yaitu orang yang memiliki beban utang, syarat untuk
almudin ialah ia tidak mahjur ‘alaih karena boros. Menurut hanabilah dan syafiiyyah, ia
(makful ‘anhu) tidak disyaratkan harus diketahui oleh penjamin. Alasan hanabilah antara
lain tindakan ali dan abu qotadah, yang memberikan jaminan kepada orang yang
makful’anhunya tidak diketahui mereka berdua, sebagaimana dikemukakan di atas.

5. Syarat makful atau makful bih


Makful atau makful bih adalah obyek kafalah, baik berupa barang, utang, orang,
maupun pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh makful ‘anhu.

4. MACAM-MACAM KAFALAH
Secara garis besar, kafalah terbagi dua bagian:
1. Kafalah bi an-nafs.
Pengertian kafalah bi an-nafs menurut Sayid Sabiq adalah:
“kafalah bi an-nafs adalah kewajiban seorang penjamin untuk mendatangkan orang yang
ditanggung (makful) kepada makful lahu (tertanggung).

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kafalah bi an-nafs adalah suatu kafalah
dimana objek tanggunganya mendatangkan orang ke hadapan tertanggung. Shighat yang
digunakan bisa dengan lafal: “saya jamin untuk mendatangkan si fulan, atau membawa
badannya atau wajahnya.”

5
Kafalah bi an-nafs hukumnya jaiz (boleh) apabila makful bih-nya hak manusia. Apabila
kafalah berkaitan dengan hukumnya had, seperti hukuman zina atau hukuman qadzaf, maka
kafalah semacam ini menurut kebanyakan ulama hukumnya tidak sah. Alasanya adalah hadis
Amr ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Nabi SAW bersabda:
“tidak ada kafalah dalam hukuman had. (HR. Baihaqi dengan sanad yang dha’if).

Menurut syafi’iyah, kafalah untuk menghadirkan orang yang dijatuhi hukumnya had,
yang ada kaitanya dengan hak adami (manusia), seperti had qadzaf dan qishash, hukumnya
dibolehkan. Hal tersebut dikarenakan hukuman tersebut merupakan hak yang
lazim(mengikat). Akan tetapi, apabila hukuman had tersebut merupakan hak Allah, maka
kafalah dalam hal ini hukumnya tidak sah.

Menurut Ibnu Hazm dari mazhab Zhahiri, kafalah bi an-nafs sama sekali tidak
dibolehkan, baik berkaitan dengan harta, hukuman had maupun dalam hal lainnya, karena
tidak ada dasarnya dalam al-qur’an, sedangkan hadis yang dijadikan dasar sangat lemah,
karena didalam sanadnya terdapat Ibrahim ibnu Khaiam ibnu ‘Arak sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai dalil.

Ulama Syafi’iyah memberikan syarat-syarat untuk kafalah bi an-nafs sebagai berikut:


a. Makful dan makful lahu harus diketahui.
b. Makful harus setuju.
c. Harus ada izin (persetujuan) wali apabila makful belum mukallaf.
d. Hak yang berkaitan dengan makful bih adalah hak adami (manusia/individu), bukan
hak Allah SAW.

Apabila seorang penjamin (kafil) telah sanggup untuk mendatangkan makful bih maka ia
berkewajiban untuk mendatangkannya. Apabila ia kesulitan untuk mendatangkanya, padahal
makful bih masih hidup, atau ia (penjamin/kafil) menolak menghadirkannya maka ia
dikenakan ganti rugi. Hal ini didasarkan kepada Nabi SAW dari Anas bin Malik dan
Abdullah bin Abbas bahwa nabi SAW bersabda:
“orang yang menjamin harus memberikan ganti rugi.(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan
ia menghasakannya, dan Ibnu Hibban dan ia mensahihkannya).
Menurut malikiyah, penjamin (kafil) dibebaskan dari kewajiban mengganti kerugian,
apabila dalam perjanjian kafalah nya disyaratkan ia sanggup menghadirkan makful bih tanpa

6
dibebani imbalan ganti rugi berupa harta. Sedangkan menurut hanafiah, penjamin (kafil)
harus

ditahan (dipenjara) sampai ia bisa mendatangkan makful bih atau diketahui bahwa makful bih
telah meninggal dunia, dan ia tidak dibebani ganti rugi berupa harta kecuali apabila dalam
perjanjian kafalah nya hal tersebut jelas disebutkan.

Apabila al-ashil atau makful ‘anhu meninggal dunia maka penjamin (kafil) tidak
berkewajiban untuk menanggung hak/kewajiban yang ditinggalkan oleh makful ‘anhu karena
ia hanya sanggup mendatangkan orangnya dan tidak menjamin utang atau hartanya. Pendapat
ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i.

2. Kafalah bi al-mal.
Pengertian kafalah bi al-mal adalah sebagai berikut: “kafalah bi al-mal adalah suatu
bentuk kafalah dimana penjamin terikat untuk membayar kewajiban yang bersifat harta.”
Kafalah bi al-mal dibagi tiga bagian:

a) Kafalah bi Ad-Dain
Yaitu kewajiban penjamin (kafil) untuk melunasi utang yang ada dalam tanggung jawab
orang lain. Dalam hadis Salamah bin Al-Akwa’ diceritakan bahwa nabi SAW menolak untuk
menyalatkan jenazah yang masih memilikiutang. Kemudian Abu Qatadah menyatakan bahwa
ia yang menjamin utang jenazah tersebut. Barulah Nabi SAW menyalatkanya. Untuk kafalah
bi ad-dain ini disyaratkan:

➢ Utang harus sudah tetap pada saat dilangsungkanya kafalah, seperti utang pinjaman,
utang karena jual beli, utang karena sewa menyewa, dan utang karena mahar. Apabila
utang belum tetap maka kafalah tidak sah. Misalnya seorang penjamin mengatakan:
“juallah kepada si fulan, saya yang akan menjamin harganya.” Dalam contoh ini
utang tersebut belum terjadi, sehingga kafalah hukumnya tidak sah.
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Hasan, dan
Zhahiriyah. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Malik, dan Abu Yusuf membolehkan
kafalah dalam kasus seperti dalam contoh diatas.

➢ Utang tersebut harus jelas, tidak majhul, karena bisa menimbulkan gharar (penipuan).
Ini menurut mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazm. Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah,
Malik dan Ahmah, kafalah dalam utang yang tidak jelas (majhul), hukumnya sah.
7
3. Kafalah bi Al-‘Ain
Disebut juga kafalah bi at-taslim, yaitu kewajiban penjamin (kafil) untuk menyerahkan
barang tertentu yang ada ditangan orang lain. Contohnya mengembalikan barang yang
dighasab (dicuri) dari orang yang meng-ghasab atau menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli. Dalam hal ini disyaratkan barang yang akan diserahkan menjadi tanggungan ashil
(makful ‘anhu), seperti dalam barang yang di-ghasab. Apabila barang tersebut bukan menjadi
tanggunganya, seperti barang pinjaman atau titipan maka kafalah hukumnya tidak sah.

4. Kafalah bi Ad-Darak
Yaitu kafalah atau tanggungan terhadap apa yang timbul atas barang yang dijual, berupa
kekhawatiran karena adanya sebab yang mendahului akad jual beli. Dengan demikian,
kafalah dalam hal ini adalah jaminan terhadap hak pembeli dari pihak penjual, apabila
terhadap barang yang dijual ada pihak lain yang merasa memiliki. Seperti barang yang
diperjual belikan ternyata dimiliki oleh orang lain, atau sedang digadaikan kepada pihak lain.

5. BERAKHIRNYA AKAD KAFALAH

Apabila jenis kafalah-nya kafalah bi al-mal, maka kafalah berakhir dengan salah
satu dari dua perkara.
1) Harta telah diserahkan kepada pemilik hak (ad-dain) atau dalam pengertian diserahkan,
baik penyerahan tersebut oleh peminjam (kafil) maupun oleh ashil atau makful ‘anhu (al-
mudin). Demikian pula kafalan berakhir apabila pemilik hak (ad-dain) menghibahkan
hartanya kepada peminjam (kafil) atau ashil (makful ‘anhu), atau menyedekahkan kepada
peminjam (kafil) atau ashil (makful ‘anhu). Kafalah juga berakhir apabila pemilik hak
(ad-dain) meninggal dan hartanya diwariskan oleh kafil atau ashil karena dengan warisan
ia memiliki apa yang berada dalam tanggungannya
2) Utang telah dibebaskan atau dalam pengertian dibebaskan. Apabila pemilik hak (ad-
dain) membebaskan pinjaman (kafil) atau ashil (makful ‘anhu), maka kafalah berakhir.
Hanya saja apabila ad-dain membebaskan kafil (pinjaman) maka ashil (makful ‘anhu)
belum bebas dari utang. Sebaliknya, apabila ad-dain membebaskan ashil (makful ‘anhu),
maka pinjaman (kafil) menjadi bebas, karena utang tersebut ada pada ashil, bukan kepada
kafil. Demikian pula kafalah dapat berakhir dengan adanya perdamaian (shulh).

8
Apabila jenis kafalah-nya bi an-nafs, maka kafalah berakhir karena tiga sebab,
sebagai berikut.
1) Penyerahan diri kepada orang yang dituntut ditempat yang memungkinkannya untuk
dihadapkan di muka siding pengadilan, misalnya dikota A. Apabila penyerahan
dilakukan dilapangan atau di tempat yang tidak mungkin terdakwa terhadap di muka
siding, maka kafil (peminjam) belum bebas karena tujuan penyerahan belum
terwujud. Apabila disyaratkan kafil harus menyerahkan diri makful di kota A,
tapipenyerahan di kota B, maka menurut Imam Abu Hanifah, kafil sudah bebas,
karena terdakwa memungkinkan untuk dihadapkan di muka sidang pengadilan di kota
A. Sedangkan menurut Muhammad dan Abu Yusuf tidak bebas kecuali makful
diserahkan di kota yang ditentukan (A).
2) Pembebasan terhadap kafil oleh pemilik hak dari kewajiban kafalah bi an-nafs.
Tetapi ashil (makful ‘anhu) tidak bebas karena pembebasan tersebut hanya kafil saja.
Apabila pembebasannya termasuk juga makful ‘anhu maka kedua-duanya bebas.
3) Meninggalnya makful ‘anhu. Apabila al-ashil meninggal dunia maka kafalah menjadi
berakhir, dan kafil (peminjam) telah bebas dari tugas kafalah bi an-nafs, karena
makful tidak mungkin untuk dihadirkan. Demikian pula kafalah berakhir karena
meninggalnya pinjaman (kafil). Tetapi apabila makful ‘anhu yang meninggal, maka
kafalah bi an-nafs tidak gugur, dan kedudukannya digantikan oleh ahli waris atau
pemegang wasiatnya.

Apabila jenis kafalah-nya kafalah bi al-‘ain, maka kafalah dapat berakhir karena dua
hal, yaitu sebagai berikut.
1) Penyerahan benda yang ditanggung (dijamin), apabila barangnya masih ada, atau
persamaanya, atau harganya, apabila barangnya telah rusak.
2) Pembebasan kafil (peminjam) dari tugas kafalah. Misalnya perkataan pemilik hak:
“saya bebaskan engkau dari kafalah”. Demikian pula kafalah dapat gugur (berakhir)
karena pembebasan ashil (makful) dari kewajiban menyerahkan barang yang ada
padanya.

6. HIKMAH KAFALAH
1. Adanya unsur tolong menolong antar sesama.
2. Orang yang jamin (ashiil) terhindar dari perasaan malu atau tercela.

9
3. Makful lahu akan terhindar dari unsur penipuan.
4. Kafiil akan mendapatkan pahala dari Allah SWT karena telah menolong orang lain.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

➢ Kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil) kepada
pihak lain (makful ‘anhu) dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas
pembayaran suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful lahu). Dan
pengertian kafalah sendiri dikemukakan juga oleh beberapa madzab.
➢ Dan dibolehkannya mengenai hukum kafalah karena dapat membantu orang lain yang
sedang membutuhkan pertolongan khususnya orang yang berada dalam jeratan utang.
➢ Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan
bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati
tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji
untuk memenuhi prestasinya.
➢ Sedangkan dalam kafalah terdapat rukun- rukunnya antara lain: shighat, kafil, makful
lahu, makful ‘anhu, dan makful bih dimana masing- masing mempunyai syarat atau
ketentuan- ketentuan tertentu sesuai dengan syari’at islam.
➢ Kafalah terdapat dua macam kafalah diantaranya yaitu: Kafalah bi an-nafs, dan
kafalah bi al- mal, dimana berakhirnya akad berbeda- beda.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, Jakarta : Amzah, 2010


Dewan Syaiah Nasional MUI, Himpunan Fatwa DSN MUI, Jakarta: DSN MUI dan BI, 2006
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Jakarta: Gema Insani, 2001
Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta, Zikrul Hakim,
2003

11

Anda mungkin juga menyukai