Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

(Diajukan memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan)


“”

Dosen Pengampu
Khozainul Ulum, S.H.I., M.H.I

Disusun oleh :
Abdullah Yazid Mubarrok (142210001)
Virdyanata Putri Ayunda (142210029)

PROGAM STUDY EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2022-2023
KATA PENGANTAR
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata- kata yang kurang
berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
di masa depan. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, nikmat serta hidayah-nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga
kami berterima kasih pada Bapak Khozainul Ulum, S.HI., M.HI selaku dosen
mata kuliah Kwarganegaraan yang telah memberikan tugas ini pada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai media pembelajaran.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu,
kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan di masaa yang
akan datang, mengingat tidak adaa sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun.
Adapun makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder
yang diperoleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan komponen
kurikulum serta informasi dari media masa yang berhubungan dengan tema.
Semoga makalah sederhana ini dapat difahami bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Sebelumnya

Lamongan. 20 November 2022

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG.............................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH .......................................................................................4
C. TUJUAN MASALAH.............................................................................................4
BAB II PENDAHULUAN .....................................................................................................5
A. Pengertian Riba .............................................................................................................5
B. Alasan Diharamkannya
Riba................................................................................................................................5
C. Penerapan al-Qawā‘id al-Fiqhiyah dalam Kasus Riba......................................................
D. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah...........................................................................................
1. Pengertian Muamalah.................................................................................................
2. Ruang Lingkup Muamalah..........................................................................................
3. Kaidah Muamalah.......................................................................................................

BAB III PENUTUP......................................................................................................................

A. Kesimpulan.......................................................................................................................
B. Saran..................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Kata riba (‫( الربا‬secara kebahasaan bermakna Ziyādah, yang memiliki arti
bertambah.1 Sedangkan makna riba secara istilah yaitu pengambilan nilai tambah
terhadap harta pokok dan atau modal dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syariat
(batil).2 Sedangkan riba menurut Imam al-Nawawi dari Madzhab Syaf’i yaitu:
‫طلب الزيادة في المال بزيادة االجل‬
“Dikenakannya tambahan terhadap harta pokok dengan sebab unsur waktu.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa definisi riba ialah diambilnya suatu tambahan
atas harta pokok ataupun modal yang terjadi dengan cara batil, yang disebabkan
karena adanya unsur waktu (adanya tambahan waktu atau perpanjangan waktu dari
batas waktu telah ditentukan sebelumnya).

1
Harun, fiqh muamalah (surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), hlm 150.
2
Dadan Ramdhani, dkk, Ekonomi Islam Akuntansi dan Perbankan Syariah (Filosofis dan
Praktis di Indonesia dan Dunia) (Boyolali: CV Markumi, 2019), hlm 42.
B. Alasan Pengharaman Riba

Al-Zuhaili menerangkan dalam kitab tafsirnya bahwa pelarangan terhadap


praktik riba dalam Alquran terbagi ke dalam empat tahapan. 3 Tahapan pertama
adalah penolakan terhadap dugaan bahwasanya riba yang jelas-jelasmerupakan
bentuk ertolongan kepada orang-orang yang memerlukan dan sebagai bentuk
perbuatan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di samping itu, menurut Alī al-
Ṣābunī, tahapan pertama ini merupakan isyarat kuat akan tidak sukanya Allah atas
praktik riba serta jelas-jelas bahwa di dalamnya tidak ada pahala sediktpun. Hal itu
tergambar dalam QS. al-Rūm ayat 39 berikut:

"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah,
ma tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yan maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang
yang melipatga (pahalanya)."

Tahap kedua, riba dinyatakan sebagai hal yang buruk, di mana Allah ta‘āla
mengharamkan riba kepada orang-orang Yahudi, tetapi mereka tetap memakannya,
sehingga Allah memberikan hukuman kepada mereka.17 Hal itu terlihat dalam QS.
alNisā’ ayat 160-161 berikut:

"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan


makana baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak meng (manusia) dari jalan Allah (160) Dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesung mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka

3
Abdul Wahid dan Nashr Aakbar, Tafsir Ekonomi Komtemporer
memakan harta benda orang dengan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu sik pedih (161)"

Tahap ketiga, di tahapan ketiga ini Allah SWT melarang praktik riba fahisy, yang
mana uang yang harus dibayar berjumlah lipatan ganda. Riba ini juga disebut
dengan riba jahiluah sebab seringkali dipraktikan di masa jahiliyah atau masa
sebelum kedatangan Islam. 18 Tahap ini riba diharamkan terhadap kaitannya dengan
sesuatu tambahan yang dilipatgandakan. Sebagaimana disebut dalam QS. Alī ‘Imrān
ayat 130 Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan."

Tahap keempat, pada tahapan keempat ini Allah SWT melarang segala bentuk riba
atau bentuk tambahan apapun yang itu diambil dengan ukuran lebih dari pinjaman
pokok. 19Ayat Alquran yang menegaskan ini adalah QS. al-Bāqarah ayat 278
sampai 279, berikut ayatnya:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba). ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."

Dari ayat-ayat di atas yang merupakan dalil-dalil tentang pengharaman riba, para
ulama membahas dan memperdebatkan isi kandungannya terhadap QS. Alī
‘Imrān:130- 131 dan QS. al-Bāqarah: 275-279. Ketika para ulama membahas QS.
Alī ‘Imrān: 130 dan menekankan pada perdebatan makna kalimat aḍ‘āfam
muḍā‘afah, maka lahir dua perbedaan pendapat atasnya. Pertama, ulama yang
meyakini bahwa penyebutan kata tersebut sekadar merupakan informasi tentang
perilaku orang-orang sebelum Islam dan tidak ada kaitannya dengan pengharaman
riba. Sementara kelompok yang lain berkeyakinan bahwa hal itu merupakan dalil
keharaman riba dengan adanya isyarat “lipat ganda”.20 Sedangkan terhadap QS. al-
Bāqarah: 275-279, kalimat yang isi kandungannya diperdebatkan yaitu “lā
Taẓlimūna wa lā Tuẓlamūn”, yang maknanya tidak menzalimi dan tidak dizalimi.
Kaitannya dengan hal itu, maka tidak diperbolehkannya riba karena akan
menyebabkan kezaliman.
C. Penerapan al-Qawā‘id al-Fiqhiyah dalam Kasus Riba
al-Qawā‘id al-Fiqhiyah merupakan ketentuan-ketentuan syar’i yang dapat
diamalkan dan bersifat umum, yang dengannya dapat diketahui hukum-hukum yang
bersifat spesifik. Adapun salah satu al-Qawā‘id al-Fiqhiyah yang dapat digunakan
dalam kasus riba, yaitu:
‫كل قرض اشترط فيها النفع‬
‫مقدما فه ربا‬
“Setiap pinjaman yang disyaratkan adanya manfaat di awal transaksi adalah riba.”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap transaksi muamalah yang
memberikan jasa pinjaman dana tertentu dan dalam transaksi tersebut diharuskan
membayar hutang dengan lebih besar dana yang telah dihutanginya (pinjaman
berbunga), maka perbuatan tersebut adalah riba dan hukumnya adalah haram.
Contohnya adalah si A memberikan pinjaman sebesar Rp 100.000,00 kepada
si B. Ketika di awal kontrak disyaratkan bahwa si B wajib mengembalikan
utangnya Rp 100.00,00 ditambah Rp 200.000,- menjadi Rp 120 000,00. Praktik
muamalah ini adalah Riba yang dilarang.
D. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah
1. Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah secara etimologi, kata muamalah berasal dari:
‫معاملة‬-‫يعامل‬-‫ عامل‬berarti saling berarti ‫ َمعا‬bertindak, saling berbuat, saling
mengamalkan. Sedangkan pengertian secara terminologi muamalah dapat
dilihat sebagai muamalah secara luas dan muamalah secara sempit.
Pengertian muamalah secara luas, al-Dimyati memberikan rumusan: ‫التخصيل‬
‫ الدنيوي ليكون سببا لالخير‬menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya
masalah ukhrawi. Muhammad Yusuf Musa mengatakan muamalah adalah
peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Dari pengertian tersebut di atas, berarti muamalah secara luas adalah
segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya dalam hidup dan kehidupan di dunia (pergaulan sosisial)
mencapai suksesnya kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Ibn
Abidin memasukkan hukum kebendaan (muawadhah Maliyah), hukum
perkawinan (munakahat), hukum acara (Muhasanat), pinjaman (‘ariyah), dan
harta peninggalan (tirkah). Tetapi apabila dilihat dari muamalah secara
sempit, maka hukum perkawinan diatur tersendiri dalam bab fiqh munakahat,
demikian pula harta peninggalan (warisan) diatur tersendiri dalam fiqh pada
bab mawarits, dan hukum acara diatur dalam fiqh pada bab murafaat.
2. Ruang Lingkup Muamalah
Ruang lingkup kajian fikih muamalah dapat dibagi menjadi dua kajian
pokok, yaitu kajian mädiyyah dan adabiyah. Ruang lingkup muamalah madiyyah
adalah muamalah yang mengkaji objeknya sehingga sebagian ulama berpendapat
bahwa muamalah al-madiyah adalah muamalah bersifat kebendaan karena objek
fikih muamalah adalah benda yang halal, haram, dan syubhat untuk
diperjualbelikan, benda-benda yang memudaratkan dan benda yang
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, serta segi-segi yang lainnya. Seperti,
jual beli, sewa- menyewa, kerja sama, gadai, utang-piutang, dan sebagainya.
Adapun muamalah adabiyah ialah muamalah yang ditinjau dari segi cara
tukar-menukar benda yang bersumber dari pancaindra manusia, yang unsur
penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya jujur, hasud,
dengki, dendam. Hal-hal yang termasuk ruang lingkup muamalah adabiyah
adalah ijab kabul, saling meridai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak,
hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan
segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta.
3. Kaidah Muamalah
Pada dasarnya semua muamalah boleh dilakukan, terkecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
Sumber Qaidah :
a. Dalil al-Qur’an :
1) Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 29:

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
2) Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 87:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang


baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan
transaksi, pada dasarnya dibolehkan, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai,
kerjasama (mudharabah atau musyarakah), dan lain sebagainya, kecuali
adanya dalil yang tegas yang mengharamkan muamalah atau transaksi
tersebut seperti riba, perjudian, zalim, gharar, dan sebagainya. Berdasarkan
kaidah ini, setiap muamalah baik yang telah ada pada masa sekarang maupun
yang mungkin akan muncul dikemudian hari sebagai bagian dari kreativitas
dan inovasi manusia, yang tidak ditentukan dalil yang mengharamkannya
dari Al quran dan hadist tetap dihukumi boleh karena ia tetap berada dalam
naungan asas muamalah dan tidak ada yang memindahkannya dari hukum
asal tersebut. Adapun haramnya sebagian muamalah sebagian muamalah
maka merupakan pengecualian dari kaidah ini.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Kaidah ini merupakan spesifikasi dari kaidah sebelumnya yang


bermakna universal dalam setiap muamalah. Dalam kaidah ini redaksinya
lebih spesifik, yaitu setiap akad/perjanjian dan syarat-syarat hukumnya boleh
dan sah, sampai adanya dalil yang mengharamkan atau membatalkannya. Co
ntohnya adalah akad dan syarat dalam sebuah perjanjian yang tidak
mengandung unsur yang dilarang seperti riba, judi, gharar, dan zalim maka
hukumnya adalah boleh.
‫فان االصل في العقود رضى المتعاقدين و نتيجتها هوما او جباه على انفسهما بالتعاقد‬

“Hukum asal dalam transaksi adalah keridaan kedua belah pihak


yang melakukan transkasi, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan"

Keridaan dalam transaksi adalah merupakan sebuah prinsip. Oleh


karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridaan kedua
belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam
keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada
waktu akad sudah saling meridhai, akan tetapi kemudian salah satu pihak
merasa tertipu, artinya kehilangan keridhaan, maka akad tersebut bisa batal.
Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh
penjual karena barangnya terdapat cacat.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai