Anda di halaman 1dari 17

“KAFALAH DAN IKTIKAR"

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah II

Dosen pengampu: Uswatun Hasanah

Disusun Oleh Kelompok 2:

DESI YANIANUR (0204192108)

AULIA NISMA (0204193112)

LARA NOPI DAYANTI (0204192107)

M RAJA RAMBE (0204193113)

RONI SYAHPUTRA HASIBUAN (0204192085)

AMIRUL NAHWI P

HES IV-C

FAKULTAS SYARIAH & HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2021-2022
KATA PENGANTAR
Segala puja, puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan hidayah dan taufik
serta inayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul “KAFALAH
DAN IKTIKAR” Penulis tak lupa pula menghaturkan salawat dan salam kepada seorang nabi
dan utusan yang paling mulia, yaitu Nabi Muhammad saw. dan kepada keluarganya, serta kepada
para sahabat semuanya. Makalah ini merupakan bahan ajar bagi Mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum .

Penulis telah berusaha maksimal dan juga menyadari sepenuhnya keterbatasan kemampuan
dalam menyelesaikan tulisan ini, untuk itu banyak pihak yang memberikan bantuan, baik berupa
bimbingan, saran-saran dan motivasi yang sangat menunjang dalam menyelesaian pembelajaran.

Medan , 22 Juni 2021

Kelompok2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG...................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................4
C. TUJUAN MASALAH....................................................................................................................4
BAB II ISI..................................................................................................................................................5
A. PENGERTIAN KAFALAH..........................................................................................................5
B. LANDASAN HUKUM KAFALAH..............................................................................................6
C. RUKUN DAN SYARAT KAFALAH...........................................................................................7
D. JENIS-JENIS KAFALAH KAFALAH DIBAGI DALAM LIMA JENIS, YAITU SEBAGAI
BERIKUT..............................................................................................................................................9
E. PENGERTIAN IHTIKAR..........................................................................................................10
F. HUKUM IHTIKAR.....................................................................................................................11
G. JENIS - JENIS IKTIAR..........................................................................................................12
H. PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG LKHTIAR...............................................14
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................16
KESIMPULAN...............................................................................................................................16
DAFTAR PUSAKA.................................................................................................................................17
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam mempertahankan kesejahteraan manusia diberi kebebasan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya selama tidak bertentangan dengan kepentingan orang lain. Peraturan
syariat Islam telah mengatur mengenai perbuatan yang diperbolehkan oleh Allah SWT, dan
perbuatan yang dilarangnya. Hal ini juga dalam bentuk bisnis para umat Islam dalam
melaksanakan aktivitas ekonominya, baik dalam bentuk bisnis perdagangan maupun dalam
bentuk lainnya. Syariat Islam menjadi landasan utama dalam bermuamalah karena apabila
bermuamalah sesuai dengan prinsip syariah maka tidak akan menimbulkan suatu hal yang
dilarang oleh Allah SWT. demikian juga sebaliknya jika dalam bermuamalah tidak sesuai dengan
prinsip syariah maka akan menimbulkan konflik diantara sesama.
Sistem ekonomi islam tidak terlepas dari seluruh sistem ajaran islam secara integral dan
komprehensif. Sehingga prinsip-prinsip dasar ekonomi islam mengacu pada saripati ajaran
islam. Kesesuaian sistem tersebut dengan fitrah manusia tidak ditinggalkan dan dengan
keselarasan inilah terjadi benturanbenturan dalam pelaksanaanya. Kebebasan berekonomi
terkendali menjadi ciri dan prinsip sistem ekonomi islam, kebebasan memiliki unsur produksi
dalam menjalankan roda perekonomian merupakan bagian penting dengan tidak merugikan
kepentingan kolektif.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa Pengertian Kafalah?
b. Apa Dasar Hukum Kafalah?
c. Bagaimana Rukun dan Syarat kafalah?
d. Apa Saja Macam-macam Kafalah
e. Apa Pengertian Iktikar?
f. Bagaimana Dasar Hukum Iktikar
g. Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Iktikar?
C. TUJUAN MASALAH
a. Untuk mengetahui tentang kafalah
b. Yaitu untuk memahami tentang iktikar
BAB II ISI
A. PENGERTIAN KAFALAH

Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yang
memeneuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah juga
berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung
jawab orang lain sebagai penjamin.

Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za‟mah
(tanggungan). Menurut Sayyid Sabiq yang di maksud dengan al-kafalah adalah proses
penggabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan dengan benda (materi) yang
sama baik utang barang maupun pekerjaan. Menurut Iman Taqiyyudin yang dimaksud dengan
kafalah adalah mengumpulkan satu beban dengan beban lain. Menurut Hasbi Ash Shidiqi al-
kafalah ialah menggabungkan dzimah kepada dzimah lain dalam penagihan.

Menurut syariah, kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan orang yang
menanggung dengan tanggungan penanggungan utama terkait tuntutan yang berhubungan
dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan. Kafalah terlaksana dengan adanya penanggung,
penanggung utama, pihak yang ditanggung haknya, dan tanggungan.

Penanggung atau disebut kafil adalah orang yang berkomitmen untuk melaksanakan tanggungan.
Syarat untuk menjadi kafil adalah harus baligh, berakal sehat, memiliki kewenangan secara
leluasa dalam menggunakan hartanya dan ridha terhadap tindak penanggungnya. Penanggung
utama adalah orang yang berhutang, yaitu pihak tertanggung. Sebagai pihak tertanggung tidak di
syaratkan harus baligh, sehat akalnya, kehadirannya, tidak pula keridhaannya terkait
penanggung, tetapi penanggung boleh dilakukan terhadap anak kecil yang belum baligh, orang
gila, dan orang yang sedang tidak berada ditempat. Tetapi pihak penanggung tidak boleh
menuntut baik siapapun yang ditanggungnya, jika dia telah menunaikan tanggungannya tapi
tindakannya itu dianggap sebagai perbuatan sukarela, kecuali dalam kasus jika penanggungan
dilakukan terhadap anak kecil yang diperlakukan untuk melakukan perdagangan, dan
perdagangannya itu atas perintahnya.1

1
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002
B. LANDASAN dasar HUKUM KAFALAH 

Kafalah merupakan salah satu bentuk ikatan antar sesama umat manusia telah disyariatkan baik
dalam Al-Quran, Al-hadist, dan ijma ulama.

1. Al-Quran

Penjelasan Al-kafalah atau jaminan di dalam al-Qur'an terdapat pada surat Yusuf ayat 72, yaitu:

‫ك َولِ َم ْن َجا َء بِ ِه ِح ْم ُل بَ ِعي ٍْر َواَنَاْ بِ ِه َز ِع ْي ٌم‬


ِ ِ‫قَا لُوْ ا نَ ْفقِ ُد ص َُوا َع ْال َمل‬

Artinya: "Dan barang siapa yang dapat mengembalikannya piala raja, maka ia akan memperoleh
bahan makanan seberat beban unta, dan aku yang menjamin terhadapnya". (QS. Yusuf: 72)

2. Al-Hadist 

Transaksi kafalah (penjaminan) telah terjadi semenjak masa Rasulullah SAW. Salah satu hadist
Nabi yang berkaitan dengan kafalah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yaitu:

‫ي رواه ابن مجاه‬ ِ ‫ار ٌم َوال َّد ِء ُن َم ْق‬


َّ ‫ض‬ ِ ‫ال َّز ِع ُم َغ‬
Artinya: "Penjamin adalah orang yang berkewajiban harus membayar dan hutang juga harus
dibayar". (HR. Ibnu Majah)

3. Ijma Ulama 

Mengenai kafalah para ulama berijma membolehkannya. Orang-orang Islam pada masa
Nubuwwah mempraktikkan hal ini, bahkan sampai saat ini tanpa adanya teguran dari seseorang
ulama-pun. Ketentuan-ketentuan yang menjadi dasar pembolehan kafalah adalah berupa Kaidah
Fiqih yang berbunyi “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkan dan bahaya (beban berat) harus dihilangkan".

Sebagai landasan hukum, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa tentang kafalah dan
menetapkan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 11/DSN-MUI/ IV/2000 tentang kafalah yang
ditetapkan tanggal 08 Muharram 1421 H atau tanggal 13 April 2000. Fatwa ini menetapkan
bahwa pemberian jasa kafalah dilakukan dengan prosedur masing-masing bank syariah yang
memberikan, denga n mengacu pada ketentuan umum bank garansi yang telah ditetapkan Bank
Indonesia dan rukun kafalah yang telah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.2

C. RUKUN DAN SYARAT KAFALAH


a. Rukun kafalah

Menurut Suhendi (2002), rukun kafalah adalah sighat kafalah (ijab qabul), makful bih (objek
tanggungan), kafil (penjamin), makful'anhu (tertanggung), dan makful lahu (penerima hak
tanggungan). Adapun penjelasan atas rukun kafalah tersebut adalah sebagai berikut3:

Sighat kafalah (ijab qabul). Sighat atau ijab qabul bisa diekspresikan dengan ungkapan yang
menyatakan adanya kesanggupan untuk menanggung sesuatu, sebuah kesanggupan untuk
menunaikan kewajiban. Seperti ungkapan "aku akan menjadi penjagamu" atau "saya akan
menjadi penjamin atas kewajibanmu atas seseorang" atau ungkapan lain yang sejenis. Ulama
tidak mensyaratkan kalimat verbal yang harus diungkapkan dalam akad kafalah, semuanya
dikembalikan pada akad kebiasaan. Intinya, ungkapan tersebut menyatakan kesanggupan untuk
menjamin sebuah kewajiban.

Makful Bihi (objek tanggungan). Objek pertanggungan harus bersifat mengikat terhadap diri
tertanggung, dan tidak bias dibatalkan tanpa adanya sebab syar'i. Selain itu objek tersebut harus
merupakan tanggung jawab penuh pihak tertanggung. Seperti menjamin harga atas pihak
transaksi barang sebelum serah terima, menanggung beban hutang yang bersifat mengikat
terhadap diri seseorang. Selain itu, nominal objek tertanggung harus jelas, tidak diperbolehkan
menanggung sesuatu yang tidak jelas (majhul).

Kafil (penjamin). Ulama fiqh mensyaratkan seorang kafil haruslah orang yang berjiwa filantropi,
orang yang terbiasa berbuat baik demi kemaslahatan orang lain. Selain itu, ia juga orang yang
baligh dan berakal. Akad kafalah tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang-orang safih
ataupun orang yang terhalang untuk melakukan transaksi. Karena bersifat charity, akad kafalah
harus dilakukan oleh seorang kafil dengan penuh kebebasan, tanpa adanya paksaan. Ia memiliki

2
Al-Jumanatul Ali, Al-qur‟an dan Terjemahan ( Bandung, CV Penerbit J-Art, 2004)

3
Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.187
kebebasan penuh guna menjalankan pertanggungan. Karena dalam akad ini, kafil tidak memiliki
hak untuk merujuk pertanggungan yang telah ditetapkan.

Makful'Anhu (tertanggung). Syarat utama yang harus melekat pada diri tertanggung
(makful'anhu) adalah kemampuannya untuk menerima objek pertanggungan, baik dilakukan oleh
diri pribadinya atau orang lain yang mewakilinya. Selain itu makful'anhu harus dikenal baik oleh
pihak kafil.

Makful lahu (penerima hak tanggungan). Ulama mensyaratkan makful lahu harus dikenali oleh
kafil, guna meyakinkan pertanggungan yang menjadi bebannya dan mudah untuk memenuhinya.
Selain itu, ia juga disyaratkan untuk menghadiri majlis akad. Ia adalah orang yang baligh dan
berakal, tidak boleh orang gila atau anak kecil yang belum berakal4.

b. Syarat kafalah

Kafalah sebagai suatu jasa penjaminan merupakan salah satu bentuk perikatan dalam Islam.
Menurut Sabiq (2009), syarat sahnya suatu perikatan adalah sebagai berikut:5

1. Tindak hukum syariah yang disepakati.

Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bertentangan dengan hukum syariah, sebab perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan hukum syariah adalah tidak sah. Maka dengan sendirinya tidak
ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut.
Dengan kata lain segala bentuk perjanjian yang bertentangan dengan hukum syariah dengan
sendirinya batal demi hukum.

2. Harus sama rida dan ada pilihan.

Maksudnya perjanjian yang diadakan para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua
belah pihak, yaitu masing-masing pihak rida atau rela akan isi perjanjian tersebut atau dengan
kata lain isi perjanjian tersebut adalah kehendak para pihak. Dalam hal ini tidak boleh ada
paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Apabila perjanjian terdapat unsur
4
Dimyaudin Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, hlm.247

5
Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Hlm 202
pemaksaan, maka dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai kekuatan
hukum.

3. Harus jelas dan gamblang.

Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi
perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak
tentang apa yang mereka perjanjikan di kemudian hari. Dengan demikian maka pada saat
perjanjian dibuat maka masing-masing pihak harus mempunyai interpretasi yang sama tentang
apa yang telah mereka perjanjikan baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh
perjanjian itu.

D. JENIS-JENIS KAFALAH KAFALAH DIBAGI DALAM LIMA JENIS, YAITU


SEBAGAI BERIKUT6:

1. Kafalah bin-Nafs. Merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal quarantee).
Sebagai contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafis adalah seseorang
nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau
pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank
berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai
mengalami kesulitan.

2. Kafalah bil-Maal. Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk
kafalah ini merupakan medan yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada
para nasabahnya dengan imbalan fee tertentu.

3. Kafalah bit-Taslim. Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian atas
barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir. Jenis jaminan ini dapat dilaksanakan oleh
bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan penyewaan
(leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposit/ tabungan dan bank
dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.

4. Kafalah al-Munajazah. Merupakan jaminan mutlak yang tidak dapat dibatasi oleh jangka
waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-munajazah adalah
6
Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Fhatul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari Jilid 19, hlm 2624
pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds (jaminan prestasi), suatu hal yang lazim di
kalangan perbankan dan hal sesuai dengan bentuk akad ini.

5. Kafalah al-Muallaqah. Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-
munajazah, baik boleh industri perbankan maupun asuransi, dimana jaminan dibatasi oleh kurun
waktu dan tujuan-tujuan tertentu.

E. PENGERTIAN IHTIKAR
Ikhtikar (‫ ) االحتكار‬dala bahasa Arab artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan
(‫) اساء المعاشرة‬, upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga barang
penimbunan barang adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama
karena bisa membawa madhorot. Para ulama mengemukakan arti atau definisi ihtikar
(menimbun) berbeda-beda sepertinya halnya yang diterangkan dibawah ini Imam Muhammad
bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan : Penimbunan atau penahan barang dagangan dari
peredarannya.
Defenisi lain Ikhtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang
masyarakat dirugikan7. Menurut Adimarwan "Monopoli secara harfiah berarti di pasar hanya ada
satu penjual"8. Berdasarkan hadist :
َ ِ ‫ِّث َأ َّن َم ْع َمرًا قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ِن احْ تَ َك َر فَهُ َو خَا ِطٌئ‬ ِ َّ‫ع َْن َس ِعي ُد بْنُ ْال ُم َسي‬
ُ ‫ب يُ َحد‬
dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda,
'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim (1605). jelas monopoli seperti
ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan demikian didorong oleh nafsu
serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak.
Selain itu juga menunjukan bahwa pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.

F. HUKUM IHTIKAR

7
. H. A. Aziz Salim Basyarahil, 22 Masalah Agama, hlm.56, Gema Insani Press, Jakarta. Tanpa Tahun.
8
Ir. Adiwarman A. Karim, Ekonomi mikro islami, hlm. 173, PT Raja Grafindo, Jakarta, .
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut:
1. Haram secara mutlak(tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi
SAW:
‫َم ِن احْ تَ َك َر فَهُ َو خَا ِطٌئ‬
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)
2. Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar
adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
3. Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan,
dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang
dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan
4. Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan
tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan
Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar
salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka
akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas,
apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi
perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya
terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam
hadits:
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْنهَوْ نَ َأ ْن‬
َ ِ ‫ْت الَّ ِذينَ يَ ْشتَرُونَ الطَّ َعا َم ُم َجا َزفَةً َعلَى َع ْه ِد َرسُو ِل هَّللا‬
ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل َرَأي‬
ِ ‫ع َْن اب ِْن ُع َم َر َر‬
‫يَبِيعُوهُ َحتَّى يُْؤ ُووهُ ِإلَى ِر َحالِـ ِه ْم‬
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan
dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus
mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:
"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini), karena
Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih dahulu ke
rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka
Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440). 9 Demikian pula
pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama yang mengharamkan ihtikar setiap
waktu secara mutlaku, tanpa membedakan masa paceklik dengan masa surplus pangan,
berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits yang sudah lalu.

G. JENIS - JENIS IKTIAR

1. Kerja Keras

Semangat berusaha dengan sepenuh hati harus ditanamkan pada diri manusia untuk mencapai
tujuan hidup di dunia maupun akhirat. Manusia memiliki kesempatan yang diberikan oleh Allah
SWT untuk menjadi lebih baik dengan potensi fisik dan psikisnya. Allah berfirman dalam surat
Al-Ankabut ayat 6 yang artinya :

“ Barangsiapa bekerja keras, maka sesungguhnya ia bekerja keras untuk dirinya sendiri, sungguh
Allah itu maha kaya dari segala makhluk. ” (Surat Al-Ankabut ayat 6).

Usaha yang keras tidak akan menghasilkan hasil yang ingin dicapai. Ikhtiar dilakukan dengan
maksimal dan bersungguh-sungguh agar tercapai suatu yang diharapkan. Allah akan mengubah
kondisi hamba setelah hamba tersebut sungguh-sungguh mengubah keadaan menjadi lebih baik
dengan jalan ikhtiar.10

2. Pentang Menyerah

Pribadi pantang menyerah adalah sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu
yang terjadi dan menimpanya. Setiap kesuksesan besar pasti selalu didahului dengan kegagalan.
Kegagalan pada hakikatnya menuju akhir dalam sebuah perjalanan, melainkan jebatan untuk
melewati jalur menuju kesuksesan.

Kegagalan pasti dialami oleh setiap orang, dan hal itu wajar dalam kehidupan, yang adalah
bagaimana sikap setiap manusia dalam mempersiapkan kegagalan yang datang kepadanya antara
memilih untuk pantang menyerah atau berputus asa.

9
. Muhammad Ali, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, hlm.4, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7 Th. Ke-7, 1429 H
10
Imam Al-Ghazali. 1995.Tawakkal.
Namun, sifat putus asa sangat dibenci oleh Allah. Allah berfirman dalam al-Qur'an surat Yusuf
ayat 87 tentang larangan berputus asa:

" Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan
pergi berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir. " (surat Yusuf ayat 87).

3. Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang dilakukan
maupun tidak dilakukan. Tanggung jawab juga berarti sesuatu sebagai realisasi kesadaran akan
kewajibannya.

Maka dari itu, tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku manusia untuk melaksanakan tugas
dan kewajiban yang harus dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial,
dan budaya), Negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

4. Tekun dan Rajin Belajar

Dengan belajar, manusia bisa hidup bermartabat dan membangun peradaban yang bersandikan
nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Dalam Islam belajar adalah ibadah. “Menuntut ilmu itu
(belajar) wajib bagi muslim dan muslimah” (HR. Muslim). Belajar itu bukan sekedar datang ke
sekolah untuk mendengar dan mencatat apa yang disampaikan guru, melainkan juga berusaha
mengembangkan pemikiran, pengetahuan, kepribadian, moralitas dan profesionalitas.11

H. PENDAPAT BEBERAPA ULAMA TENTANG LKHTIAR

ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar. Diantara perbedaan hukum ihtikar tersebut
adalah sebagai berikut:12

1. Menurut Ulama‟ Maliki ihtikar hukumnya haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan
makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW:
11
Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal Dalam Islam Jakarta : DaarulQalam Damaskus.Imam Al-Ghazali.
1994.
12
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Op.Cit,157
َ ‫ِّث هَ َذا ْال َح ِد‬
‫يث َكانَ يَحْ تَ ِك ُر‬ ُ ‫ك تَحْ تَ ِك ُر قَا َل َس ِعي ٌد ِإ َّن َم ْع َمرًا الَّ ِذي َكانَ ي َُحد‬
َ َّ‫َم ِن احْ تَ َك َر فَهُ َو خَا ِطٌئ فَقِي َل لِ َس ِعي ٍد فَِإن‬

Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa.” (HR. Muslim).Menimbun yang
diharamkan menurut para ulama fiqh bila memenuhi tiga kriteria sebagai berikut:
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun
penuh. seseorang boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana
pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan
rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila
bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok
kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat maka itu tidak termasuk menimbun.

2. Mazhab Hanafi secara umum berpendapat, ihtikar hukumnya makruh tahrim. Makruh tahrim
adalah istilah hukum haram dari kalangan usul fiqh Mazhab Hanafi yang didasarkan pada dalil
zhanni (bersifat relatif). Dalam persoalan ihtikar, menurut mazhab ini, larangan secara tegas
hanya muncul dari hadits hadits yang bersifat ahad (hadits yang diriwayatkan satu, dua, atau tiga
orang dan tidak sampai ke tingkat mutawatir). Adapun derajat hujah hadits ahad adalah zhanni.
Sementara kaidah umum yang qath‟i (pasti) adalah setiap orang bebas membeli dan menjual
barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah
pribadi seseorang.Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam
menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu
berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai
kehendak mereka dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa
pun.

hadits yang bersifat ahad (hadits yang diriwayatkan satu, dua, atau tiga orang dan tidak
sampai ke tingkat mutawatir). Adapun derajat hujah hadits ahad adalah zhanni. Sementara kaidah
umum yang qath‟i (pasti) adalah setiap orang bebas membeli dan menjual barang dagangannya
tanpa campur tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah pribadi
seseorang.Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan
hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan
hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka
dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun.

3. Menurut Ulama‟ Syafi‟i ihtikar hukumnya haram, berdasarkan hadist Nabi dan ayat al-Qur‟an
yang melarangnya melakukan ihtikar.
4. Ulama Mazhab Hambali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa
mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara, karena Nabi SAW telah melarang
melakukan ihtikar terhadap kebutuhan manusia.
5. Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang
memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya
terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam
hadits:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ْنهَوْ نَ َأ ْن‬


َ ِ ‫ْت الَّ ِذينَ يَ ْشتَرُونَ الطَّ َعا َم ُم َجا َزفَةً َعلَى َع ْه ِد َرسُو ِل هَّللا‬
ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل َرَأي‬
ِ ‫ع َْن اب ِْن ُع َم َر َر‬
‫يَبِيعُوهُ َحتَّى يُْؤ ُووهُ ِإلَى ِر َحالِـ ِه ْم‬

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan
dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus
mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (Muslim).13

13
Al-Muslim, Shahih Muslim, Juz II (Beirut: Dar Ihya' Turats al-'Araby),710
BAB III PENUTUP

KESIMPULAN
Dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (yang menerima jaminan) (makful lahu) untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua (pihak yang dijamin) (makful ‘anhu, ashil). Akad ini
berlandaskan dalil baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan memiliki rukun-rukun yang harus
dipenuhi.Secara garis besar, kafalah dibagi menjadi dua bagian yaitu kafalah dengan jiwa
(kafalah bin-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bil-maal). Kafalah dapat dilaksanakan
dengan lima bentuk, yaitu, Kafalah Al-Mu’allaqah, Kafalah Al-Munjazah, Kafalah Bi At-Taslim,
Kafalah Bi An-Nafs, Kafalah Bi Al-Mal,Hukum Kafalah (menanggung seseorang) adalah boleh
apabila orang yang ditanggung memiliki tanggung jawab atas hak Adami (menyangkut hak
manusia). Tidak menyangkut hak Allah Swt.(hudud).

Kemudian dapat kami ambil kesimpulan bahwa i‟tikaf adalah berdiam di dalam masjid
dengan maksud mendekatkan diri kepada allah SWT.Hukum melakukannya adalah sunnah
khususnya pada bulan ramadhan, kecualikalau nadzar maka hukumnya wajib. Seseorang yang
berniat untuk beri‟tikaf hendaknya mempertimbangkan maslahat dan mudharat. Jika dia adalah
seorang pemuda yang sangat dibutuhkan orang tuanya maka hendaknya ia mendahulukan hak
kedua orang tuanya karena hal itu adalah wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri‟tikaf maka
itulah yang utama.
DAFTAR PUSAKA

Dimyaudin Djuwaini, pengantar fiqh muamalah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, hlm.247

Hendi Suhendi, fiqh muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.187

Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Hlm 202

Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Fhatul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari Jilid 19, hlm 2624

Imam Al-Ghazali. 1995. Tawakkal. Semarang : CV. Surya Angkasa.Syaikh Abu Bakar Jabir Al-
Jaza’iri. 2008.

Minhajul Muslim Konsep Hidup Ideal Dalam Islam Jakarta : DaarulQalam Damaskus.Imam
Al-Ghazali. 1994.Semarang : CV. Asy Syifa.Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji. 2006.

Basyarahil, Salim, Aziz, H. A., 22 Masalah Agama, Gema Insani Press, Jakarta. Tanpa Tahun.

Nurhayati, Sri, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2009.

Ali, Muhammad, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, Al-Furqon, Gresik, Edisi 7 Th.
Ke-7, 1429 H.

Ridwan, Ihtikar, http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ihtikar/

Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, , PT Raja Grafindo, Jakarta hlm. 173

http:// dugaliezers.blogspot.com/2011/03/ihtikar-fikih-muamalah-b.html

Al-Muslim, Shahih Muslim, Juz II (Beirut: Dar Ihya' Turats al-'Araby),710

Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Op.Cit,157

Anda mungkin juga menyukai