FIQH MUAMALAH
“KAFALAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ASURANSI”
DOSEN PENGAMPU : Dr. H. Muslihun Muslim, M.Ag.
KELOMPOK : 7
Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan Makalah
ini yang berjudul “Kafalah Dan Hubungannya Dengan Asuransi” sesuai dengan waktu yang
direncanakan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh Muamalah.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi lebih jauh tentang Kafalah Dan
Hubungannya Dengan Asuransi.
Penulis
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
B. Kafalah ............................................................................................................ 4
C. Asuransi .......................................................................................................... 7
1) Pengertian Asuransi................................................................................ 7
2) Macam-Macam Asuransi ....................................................................... 7
3) Pendapat Ulama Tentang Asuransi ...................................................... 8
F. Kesimpulan ..................................................................................................... 14
G. Saran .............................................................................................................. 14
ii
A. Latar Belakang
Persoalan kafalah dalam fiqh islam berkaitan dengan masalah utang-piutang antara
seseorang dan pihak lain dengan melibatkan pihak ke tiga sebagai penjamin.
Asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak
yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang
mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum
jelas akan terjadi. Masalah asuransi dalam pandangan ajaran islam termasuk masalah
ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh
Di dalam makalah ini akan dijelaskan tentang kafalah dan hubungannya dengan
asuransi. Yang mana terdapat banyak pendapat dari ulama- ulama tentang asuransi dan
kafalah.
3
B. KAFALAH
1. Pengertian Kafalah
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan
za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-kafalah
sebagai mana dijelaskan oleh para ulama dijelaskan sebagai berikut:
a) Jumhur ulama mendifinisikan kafalah dengan mengumpulkan tanggung jawab
penjamin dengan tanggung jawab orang yang dijamin dalam masalah hak atau
utang, sehingga hak atau utang itu menjadi tanggung jawab keduanya.
b) Madzhab hanafi mendefinisikan dengan mempersatukan tanggung jawab
dengan tanggung jawab lainnya dalam hal tuntutan secara mutlak, baik
berkaitan dengan jiwa, utang, materi, maupun pekerjaan.1
Perbedaan definisi ini terlihat dalam persoalan objek tanggung jawab tersebut.
Ulama madzhab hanafi mengatakan bahwa objek kafalah tidak hanya menyangkut
harta, melainkan juga jiwa, materi dan pekerjaan. Sementara itu jumhur ulama
mengatakan bahwa objek kafalah tersebut berkaitan dengan harta. Seperti utang
piutang. Dengan demikian definisi madzhab hanafi lebih umum objeknya
dibandingkan dengan definisi jumhur ulama.
2. Dasar Hukum
Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. Terbukti dengan firmanNya:
ٌقالٌ ا ُن ْفقِد صواعٌ ْالملِكٌِ ولِمنٌْ جاءٌ ِب ٌِه حِمْ لٌ بعِيرٌ وأنا ِب ٌِه زٌ عِ يم
”Qālụ nafqidu ṣuwā'al-maliki wa liman jā`a bihī ḥimlu ba'īriw wa ana bihī za'īm”
(Q.S Yusuf : 72)
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku
menjamin terhadapnya".
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa kafalah dibolehkan karena
mengandung maksud yang baik yaitu tolong menolong antara sesama manusia dalam
masalah utang piutang. Baik yang menyangkut harta maupun jiwa. Dasar hukum yang
membolehkan ini adalah fiman Allah yang diatas.
1
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi hukum islam, icktiar bar van hoeve, (Jakarta: 1996), hlm 847.
4
Dasar hukum yang kedua adalah al-sunnah, dalam hal ini Rasulullah Saw
bersabda: “Hutang itu ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus
membayarnya.” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh ibnu Hibban).
4. Macam-Macam Al-Kafalah
Secara umum al-kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa
dan kafalah dengan harta. kafalah dengan jiwa dikenal dengan al-kafalh bi al-wajhi,
yaitu adanya kemestian (keharusan) pada pihak penjamin (al-kafil,aldhamin atau al-
zaim) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan
tanggungan.
Jaminan yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang
ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan karena kafalah menyangkut badan
bukan harta. Penanggungan tentang hak Allah, seperti had al-khamar dan had
menuduh zina tidak sah. Alasan berikutnya ialah karena menggugurkan dan menolak
had adalah perkara syubhat.
2
Dr.H.Hendi suhendi, M.Si. fiqh muamalah, (Bandung : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm 191.
5
Madzhab syafi’i berpendapat bahwa kafalah dinyatakan tidak sah dengan
menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia, seperti qishas
dan qadzaf karena kedua hal tersebut menurut syfiiyah termasuk hal yang lazim.
Ibnu hazim menolak pendapat tersebut. Menjamin dengan menghadirkan
badan pada pokoknya tidak boleh, baik menyangkut persoalan harta maupun
menyangkut masalah had. Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitabullah adalah
bathil.
Namun sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa, dengan alasan
bahwa Rasulullah Saw pernah menjamin urusan tuduhan. Namun, menurut ibnu hazm
bahwa hadis yang menceritakan tentang penjaminan rasulullah adalah bathil. Karena
hadis tersebut diriwatkan oleh Ibrahin khaitsam bin arrak.
Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti
ditunaiakan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran berupa harta. Kafalah harta
ada tiga macam yaitu:
a) Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban
orang lain. Dalam kafalah hutang disyaratkan sebagai berikut:
1) Hendaklah nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya trnsaksi
jaminan, seperti utang qiradh, upah dan mahar.
2) Hendaklah barang yang dijamin diketahui
b) Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-
benda tertentu yang ada ditangan orang lain, seperti mengembalikan barang
yang dighasab.
c) Kafalah dengan aib’, maksudnya bahwa barang yang didapat berupa harta
terjual dan mendapat bahaya (cacat) karena waktu yang terlalu lama atau
karena hal-hal lainnya.
5. Pelaksanaan Al-Kafalah3
Kafalah dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk, yaitu a) munjaz (tanjiz), b)
mu’allaq (ta’liq) dan c) mu’aqqat (tauqit).
a) Munjaz atau tanjiz ialah tanggungan yang ditunaikan seketika seperti
seseorang berkata “saya tanggung fulan dan saya jamin si fulan sekarang”
3
Ibid 195
6
b) Mu’allaq atau ta’liq adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu,
seperti seseorang berkata “jika kamu mengutangkan padsa anakkuu, maka aku
akan membayarnya.
c) Mu’aqqat atau ta’qit adalah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan
pada suatu waktu, seperti ucapan seseorang “bila di tagih bulan ramadhan,
maka aku yang menanggung pembayaran hutangmu”
C. ASURANSI
1. Pengertian Asuransi
Menurut pasal 246 wetboek van koophandel yang dimaksud asuransi adalah
suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin
untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti uang kerugian, yang
mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang
belum jelas akan terjadi.4
2. Macam-Macam Asuransi
a. Asuransi timbal balik
b. Asuransi dagang
c. Asuransi pemerintah
d. Asuransi jiwa
e. Asuransi atas bahaya yang menimpa badan
f. Asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggung jawaban sipil.
4
Masyfuk Zuhdi, islam dan keluarga berencana di Indonesia, (Surabaya : Bina ilmu, 1986), hlm 162.
7
3. Pendapat Ulama Tentang Asuransi
Masalah asuransi dalam pandangan ajaran islam termasuk masalah ijtihadiyah,
artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh al-
qur’an dan as-sunah secara eksplisit. Dikalangan ulama atau cendikiawan muslim
terdapat 4 pendapat tentang hukum asuransi, yaitu:
a) Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya termasuk
asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq, Abdullah al-qolqili,
Muhammad yusuf alqardhawi, dan Muhammad bakhit al-muth’I dengan alas
an sebagai berikut:
1) Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi.
2) Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti
3) Mengandung unsure riba
4) Mengandung unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak
bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi
uang preminya
5) Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar
dalam pratik riba
6) Asuransi termasuk akad sharfi artinya jual beli atau tukar menukar
mata uang tidak dengan uang tunai
7) Hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti
mendahului takdir tuhan yang Maha Esa.
b) Membolehkan semua asuransi dalam praktik dewasa ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh abdul wahab khalaf, Mustafa ahmad
zarqa, Muhammad yusuf musa, dengan alas an-alasan yang dikemukan
sebagai berikut;
1) Tidak ada nash Alqur’an maupun nash alhadis yang melarang asuransi
2) Kedua pihak yang berjanji dengan penuh kerelaan menerima operasi
ini dilakukan dengan memikul tanggung jawab masing-masing
3) Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan
bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak
4) Asuransi mengandung kepentingan umum
5) Asuransi termasuk akad mudharabah
6) Asuransi termasuk syirkah ta’awuniyah
7) Dianalogikan atau diqiyaskan dengan sistem pension
8
8) Operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan
kepentingan bersama
9) Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda,
kekayaan dan kepribadian.
c) Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang
bersifat komersial semata.
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad abu zahrah. Alasan yang
dapat digunakan untuk membolehkan asuransi yang bersifat sosial sama
dengan alasan pendapat kedua, sedangkan pengharaman asuransi bersifat
komersial semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat
pertama.
d) Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dalil-dalil
syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya.
5
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah. hlm 140.
9
dibagikan sesuai dengan perjanjian muda>rabah yang disepakati bersama misalnya
70% dari keuntungan untuk peserta dan 30% untuk perusahaan takaful.
Atas bagian keuntungan milik peserta (70%) akan ditambahkan kedalam
rekening tabungan dan rekening khusus secara proporsional. Selanjutnya akan
diberikan kepada peserta dalam bentuk manfaat takaful (klaim) apabila :6
1. Peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum jatuh tempo), dalam
hal ini maka ahli warisnya akan menerima:
a) Pembayaran klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah disetorkan
dalam rekening peserta ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil
investasi.
b) Sisa saldo angsuran premi yang seharusnya dilunasi dihitung dari tanggal
meninggalnya sampai dengan saat selesai masa pertanggungannya. Dana
untuk maksud ini diambil dari rekening khusus/tabarru’ para peserta yang
memang disediakan untuk itu.
Pada kasus tersebut perhitungan klaim dan aplikasi Kafalahnya dapat dicontohkan
sebagai berikut :
Usia peserta Asuransi Takaful : 30 tahun
Masa Pertanggungan (klaim) : 10 tahun
Angsuran (premi) per tahun : Rp. 1.000.000,-
Rekening investasi peserta (98%) : 98% x Rp.1.000.000,- = Rp. Rp. 980.000,-
Rekening khusus (tabarru’) (2%) : 2% x Rp. 1.000.000,- = Rp. 20.000,-
Rasio bagi hasil keuntungan : 70% untuk peserta dan 30% untuk perusahaan
Apabila peserta meninggal dunia pada tahun ke-5 masa angsuran, maka:
- Jumlah rekening peserta, Rp. 980.000,- x 5 = Rp.4.900.000,-
- Keuntungan dari bagi hasil selama 5 tahun = Rp.400.000,-
- Sisa premi yang belum dibayar, Rp. 1.000.000,- = Rp.5.000.000,-
Jumlah klaim yang diterima oleh ahli warisnya = Rp.10.300.000,-
6
Muhammad Syafi‟i Antonio, Asuransi dalam Perspektif Islam,hlm 258.
10
Hutang yang menjadi obyek Kafalah disyaratkan, (1) hutang telah pasti pada
waktu jaminan tersebut diberikan, (2) hutang diketahui oleh kafil.
Bila ditinjau dari aspek pemenuhan unsur-unsur Kafalah maka dapat diidentifikasi
bahwa kafil (penjamin) adalah para peserta asuransi yang secara bersama-sama
menjamin peserta lain yang sedang terkena musibah. Makful’anhu pada kasus ini
adalah peserta asuransi yang meninggal dunia. Makfulbih nya adalah hutang
makful’anhu kepada perusahaan asuransi berupa sisa premi yang belum terbayar.
Sedangkan pihak penerima jaminan (makful lahu) adalah perusahaan asuransi takaful.
Para ulama mensyaratkan bahwa obyek Kafalah (makful bih) harus diketahui oleh
kafil (penjamin), namun pada aplikasinya di perusahaan asuransi takaful sulit
terealisasi dikarenakan peserta asuransi terdiri dari berbagai kalangan masyarakat
yang tidak mengenal satu sama lain. Namun demikian dapat di atasi dengan
memposisikan pihak syarikat (perusahaan asuransi) sebagai mediator antara kafil
dengan makful’anhu.
2. Peserta masih hidup hingga masa pertanggungan selesai (misalnya setelah sepuluh
tahun). Dalam hal ini peserta yang bersangkutan akan menerima :
a) Seluruh angsuran premi yang telah disetorkan ke dalam rekening peserta,
ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi
b) Kelebihan dari rekening khusus/tabarru’ setelah dikurangi biaya operasional
perusahaan dan pembayaran klaim masih ada kelebihan
Perhitungan klaimnya (manfaat takaful) dapat dicontohkan sebagai berikut :
- Jumlah rekening peserta: Rp. 980.000 x 10 = Rp. 9.800.000,-
- Keuntungan dari bagi hasil untuk 10 tahun = Rp. 1.800.000,-
- Rekening khusus (tabarru’) jika ada = “x”
Jumlah klaim yang akan diterima oleh yang bersangkutan : Rp. 11.600.000,-
Jika peserta masih hidup hingga masa pertanggungan jatuh tempo maka
aplikasi Kafalah-nya dapat menggunakan cara ta’liq (kafalah al-mu’allaqah), yaitu
Kafalah yang pelaksanaan jaminannya dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain
yang disyaratkan atau digantungkan kepada suatu hal tertentu. Misalnya peserta
asuransi menyatakan “bahwa dia akan menjamin peserta lain yang mendapat musibah
jika Ia masih menjadi peserta asuransi hingga habis masa pertanggungan”. Maka pada
posisi ini dia berkedudukan sebagai kafil yang menjamin peserta lain (makful’anhu)
11
apabila ada yang mendapat musibah atau meninggal dunia. Untuk melunasi sisa premi
yang menjadi tanggungjawabnya (makful bihi) melalui dana tabarru’ yang telah
terkumpul kepada perusahaan asuransi sebagai pihak yang menerima jaminan (makful
lahu).
Antara pengertian kafalah dan asuransi itu saling berhubungan satu sama lain,
yakni sama-sama megumpulkan tanggung jawab antara penjamin dan orang yang dijamin
dalam masalah hak, berupa jiwa.
13
F. KESIMPULAN
Pada prinsipnya semua asuransi termasuk asuransi jiwa itu boleh menurut
pandangan islam. Untuk memasyaratkan asuransi dikalangan bangsa Indonesia yang
mayoritas agama islam, hendaknya pihak perusahaan asuransi meengadakan
pembaharuan manajemen dan sistem asuransi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan
jiwa syariat islam.
Secara global, dasar filosofis adanya asuransi dalam tinjauan fiqih
muamalah merupakan hal yang mubah (boleh), kecuali ada hal yang menjadikannya
dilarang (mengharamkan).
G. SARAN
Demikianlah makalah yang penulis susun. Tentunya masih banyak kesalahan yang
terdapat dalam makalah ini untuk menuju yang lebih baik lagi, kritik dan saran kami
butuhkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah yang penulis susun
ini dapat sangat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan dan menambah
pengetahuan tentang Kafalah Dan Hubungannya Dengan Asuransi.
14
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Icktiar Bar Van Hoeve. Jakarta. 1996.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. “Asuransi dalam Perspektif Islam”. Mustafa Kamal (ed).
Wawasan Islam dan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Lembaga Penerbit
15
HASIL DISKUSI TANYA JAWAB
16
karena tertanggung secara hukum wajib membayar kerugian keuangan yang
diderita seseorang (pihak ketiga) akibat adanya kelalaian yang dilakukan oleh
tetanggung. Asuransi ini adalah asuransi yang diadakan terhadap benda-benda,
contohnya seperti asuransi rumah, perusahaan, mobil, dan yang lainnya.
17