FIQIH
Disusun oleh :
1. SALMA SEPTIANA
2. ALINIA HIKMAH
3. KHAEDAR LAFID DAENI (2019010294)
2020
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
COVER......................................................................................................................
....................................................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gadai dalam Bahasa Arab disebut rahn, yang berarti tetap, kekal,
dan jaminan. Secara syara, rahn adalah menyandera sejumlah harta yang
diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali
sebagai tebusan. Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian
utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang
berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai
jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang
menggadaikan (orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai
(yang berpiutang). Konsep tersebut dalam fiqh Islam dikenaldengan istilah
rahn atau gadai.
Rahn adalah penyerahan barang yang dilakukan oleh
muqtaridh(orang yang berhutang) sebagai jaminan atas hutang yang
diterimanya.Dengan demikian, pihak yang memberi hutang memperoleh
jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya
apabila peminjam tidak mampu membayar hutangnya, dengan beberapa
ketentuan.
B. Rumusan Masalah
1. Definisi Gadai Dalam Islam
2. Dasar Hukum Gadai
3. Rukun dan Syarat Gadai
4. Batalnya Akad Gadai
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi gadai
2. Untuk mengetahui dasar hokum gadai
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat gadai
4. Untuk mengetahui batalnya akad gadai
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gadai
Pengertian gadai menurut Antonio adalah suatu hak yang diperoleh oleh
seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak.
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat ayat al-
Quran, Hadis Nabi Muhammad SAW, ijma’ ulama, dan fatwa MUI. Adapun dasar
hukum tentang kebolehan gadai sebagai berikut:
1. Dasar hukum al-Quran Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 283.
Yang artinya :“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia
adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.
Para ulama sepakat bahwa gadai (rahn) itu boleh. Mereka tidak pernah
mempertentangkan kebolehan dari aspek landasan hukumnya. Jumhur
berpendapat bahwa disyari’atkan pada waktu tidak bepergian atauwaktu
bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulah SAW, terhadap orang
Yahudi di Madinah. Adapun dalam masa perjalanan (penjelasan tentang dhahir
ayat yang menjelaskan gadai dalam perjalanan, safar) mereka (jumhur)
berpendapat bahwa apa yang dijelaskan pada ayat di atas, merupakan suatu
kebiasaan atau kelaziman pada saat itu, dimana pada umumnya gadai (rahn)
dilakukan pada waktu bepergian
a.) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang)
sampai semua hutang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b.) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
c.) pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
1.Rukun gadai
Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau
transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun mutlak adanya dalam sebuah
akad, layaknya sebuah transaksi gadai dapat dikatakan sah apabila memenuhi
rukun dan syaratnya. Rukun gadai menurut ulama Hanafiyahadalah, ijab dari
rahin dan qabul dari murtahin. Disamping itu, menurut mereka untuk sempurna
dan mengikatnya akad al-rahn ini, maka diperlukan al-qabd (penguasaan barang).
Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan dan
hutang, menurut Ulama Hanafiyah termasuk syarat-syarat al-rahn, bukan
rukunnya.
Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa transaksi gadai itu bisa sah dengan
memenuhi tiga syarat yaitu :
3.)Barang yang digadaikan bisa dijual manakala pelunasan hutang itu sudah jatuh
tempo.31Menurut Sayyid sabiq dalam bukunya “fiqh sunnah” disyaratkan untuk
sahnya akad rahn (gadai) adalah :
Berakal
Baligh
Bahwa barang yang dijadikan borg (jaminan ) itu ada pada saat akad
sekalipun tidak satu jenis.
Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima gadaian
(murtahin) atau wakilnya.
2.)Sighat a.) Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan
suatu waktu di masa depan. b.) Rahn mempunyai sisi melepaskan barang dan
pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan
syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan. c.) Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang
yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang
bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang
tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah
merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini
bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam.
Menurut ulama’ fiqh mengemukakan syarat-syarat ar-rahn sesuai dengan
rukun ar-rahn itu sendiri. Dengan demikian, syarat-syarat ar-rahnmeliputi :
1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum,
kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama’ adalah orang yang baligh dan
berakal. Sedangkan menurut Hanafiyah kedua belah pihak yang berakal tidak
disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu menurut mereka anak
kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat akad rahn yang
di lakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan walinya.
2. Syarat marhun bih (utang) syarat dalam hal ini adalah wajib dikembalikan oleh
debitor kepada kreditor, utang itu dapat di lunasi dengan agunan tersebut, dan
utang itu harus jelas dan tertentu (spesifik).
3. Syarat marhun (agunan) syarat agunan menurut ahli fiqh adalah harus dapat di
jual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang, agunan harus bernilai dan
dapat di manfaatkan menurut ketentuan hukum islam, agunan harus jelas dan
dapat di tunjukkan, agunan milik sah debitor, agunan tidak terkait dengan pihak
lain, agunan harus
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat
dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”, Rahn
termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam,
titipan dan qirad. Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi di
perbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis. Rukun gadai yaitu
akad dan ijab Kabul, akid, barang yang di jadikan jaminan (borg).
Perbedaan rahn syariah dan konvensional yaitu gadai syariah dilakukan
secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional
dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan.
Dan persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan (barang jaminan)
sebagai jaminan utang.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, 1974, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Bumi Restu.