Anda di halaman 1dari 16

WADHI’AH DAN RAHN

DIPRESENTASIKAN OLEH KELOMPOK 10 PRODI HKI

Disusun oleh:

IVANA PUTRI YOSHINIDA (2202016017)


NAJWA RIZKIA RAMADHANI (2202016003)
SANIYATUS SAIDAH (2202016025)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan rahmat- Nya berbentuk peluang serta pengetahuan sehingga kami sebagai
penyusun makalah bisa menuntaskan tugas makalah Fikih Muamalah yang berjudul
“WADHI’AH DAN RAHN". Makalah ini diajukan buat penuhi salah satu tugas mata kuliah
Fikih Muamalah semester II dengan dosen Ibu Fithriyatus Sholihah. Kesimpulannya, kami
sebagai penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini. Serta kami
berharap mudah- mudahan makalah ini berguna untuk kita semua. Dengan seluruh
kerendahan hati, anjuran serta kritik yang konstruktif penulis harapkan dari pembaca guna
meningkatkan pembuatan makalah pada tugas yang lain pada waktu mendatang.

Semarang, Kamis, 11 Mei, 2023.

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................1

DAFTAR ISI.....................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................3

A. Latar Belakang.......................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..................................................................................................3
C. Tujuan....................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................4

A. Definisi..................................................................................................................4
1. Wadhi’ah..........................................................................................................4
2. Rahn.................................................................................................................4
B. Dasar Hukum dan Contoh Kasus...........................................................................5
1. Dasar Hukum Wadhi’ah...................................................................................5
2. Contoh Kasus Wadhi’ah..................................................................................6
3. Dasar Hukum Rahn.........................................................................................8
4. Contoh Kasus Rahn.........................................................................................9
C. Syarat dan Rukun.................................................................................................11
1. Wadhi’ah........................................................................................................11
2. Rahn...............................................................................................................12

BAB III PENUTUPAN...................................................................................................14

A. Kesimpulan..........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia tidak akan pernah bisa terlepas dari kegiatan ekonomi, karena
setiap manusia mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya disebut kegiatan ekonomi. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk
mencapai aktivitas ekonomi. Islam juga mengatur aktivitas ekonomi tidak untuk pemeluknya
tetapi untuk umat seluruh dunia. Hal tersebut karena Islam merupakan agama yang syamil
mukammil, yaitu agama yang tidak hanya menyeluruh tetapi juga universal.

Wadhi’ah dan Rahn adalah dua konsep penting dalam fiqih Islam yang terkait dengan
prinsip-prinsip keuangan Islam. Wadhi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dengan
pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Sementara itu, Rahn
adalah perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan itu di seluruh atau
sebagian utang dapat diterima. Kedua konsep ini menjadi penting dalam konteks keuangan
Islam. Konsep-konsep ini sering digunakan dalam sistem perbankan syariah dan keuangan
Islam modern.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakan pengertian dari Wadhi’ah dan Rahn?
2. Apa saja yang termasuk dasar hukum dan contoh kasus dari Wadhi’ah dan Rahn?
3. Bagaimana syarat dan rukun dari Wadhi’ah dan Rahn?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi tentang Wadhi’ah dan Rahn.
2. Mengetahui dasar hukum dan contoh kasus yang berkaitan dengan Wadhi’ah dan
Rahn.
3. Memahami syarat dan rukun dari Wadhi’ah dan Rahn.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
1. Wadhi’ah

Kata wadhi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang ditempatkan bukan pada
pemiliknya agar dijaga. Ulama juga menjelaskan bahwa arti wadhi’ah secara
etimologi adalah perwakilan dalam pemeliharaan harta dan sesuatu yang disimpan di
tempat orang lain yang bukan miliknya agar dipelihara. Wadhi’ah dapat diartikan
sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak lain baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si pemilik kehendaki1.

Wadhi’ah menurut pasal 20 ayat 17 kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ialah


penitipan dana antara pihak pemilik dengan pihak penerima titipan yang dipercaya
untuk menjaga dana tersebut. Dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
wadhi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada orang lain dengan
menitipkan benda untuk dijagannya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda
titipan tidak wajib menggantinya, tetapi apabila kerusakan tersebut disebabkan oleh
kelalaiannya maka diwajibkan untuk menggantinya2.

2. Rahn

Gadai atau rahn secara bahasa dapat diartikan sebagai penetapan atau
penahanan. Istilah hukum positif di Indonesia, rahn adalah barang jaminan, agunan,
rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan. Menurut Azhar Basyir memaknai
rahn sebagai perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan
syara’ sebagai tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan itu
di seluruh atau sebagian utang dapat diterima. Sedangkan dalam dunia perbankan
syriah biasa disebut dengan agunan dan jaminan. Agunan adalah jaminan tambahan,
baik berupa benda bergerak menerima maupun tidak bergerak yang diserahkan oleh
pemilik agunan kepada bank syariah guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah
penerima fasilitas. Pasal 20 ayat 14 (KHES) mendefinisikan rahn adalah penguasa

1
Ckamilatun Nikmah, Konsep Wadhiah Menurut Fikih, hal. 3.
2
Menara Ilmu, Akad Wadhiah Dalam Perspektif Fiqih Muamalah, Vol. XIII No. 3 Januari 2019, hal. 28.

4
barang milik pinjaman oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan 3. Dalam akad rahn
pemilik barang gadai disebut rahin, sedaangkan orang yang mengambil barang
tersebut serta menahan harta disebut murtahin.

Ulama Madzab Hanafi mendefinisikan rahn dengan menjadikan sesuati


(barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan
Ulama Madzab Syafi’I dan Madzab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad,
yaitu menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutang tersebut4.

B. Dasar Hukum Dan Contoh Kasus


1. Dasar Hukum Wadhi’ah

Menurut Al-Qur’an surat An-Nissa ayat 58 memperbolehkan wadhi’ah,


sebagai berikut:

ِ ‫ٰت اِ ٰلٓى اَ ْهلِ َه ۙا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم َبنْي َ الن‬


ۗ ٖ‫َّاس اَ ْن حَتْ ُك ُم ْوا بِالْ َع ْد ِل ۗ اِ َّن ال ٰلّهَ نِعِ َّما يَعِظُ ُك ْم بِه‬ ِ ‫اِ َّن ال ٰلّه يْأمر ُكم اَ ْن ُت ُّدوا ااْل َ ٰمن‬
‫َ َ ُ ُ ْ َؤ‬
‫اِ َّن‬ ِ ‫ال ٰلّه َكا َن مَسِ يع ۢا ب‬
‫صْيًرا‬ َ ًْ َ

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan (manyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia hendaklah kamu menetapkannya secara adil. Sungguh, Allah Maha
Mendengar, dan Maha Melihat.”

Menurut ayat di atas tredapat dasar hukum yang bersifat umum, yaitu perintah
saling tolong menolong dalam kebaikan dan perintah menyampaikan amanat kepada
pemiliknya. Hal tersebut terdapat dalam akad wadhi’ah sehingga kebolehan akad ini
berdasarkan kepada keumuman makna ayat di atas.

Dalam salah satu riwayat hadist Rasulullah Saw berisikan sejumlah perintah
untuk menyampaikan amanat, termasuk amanat barang titipan wadhi’ah, hadist yang
dimaksud yaitu, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah pernah
bersabda: “sampaikanlah amanat kepada orang yang telah memberikannya kepada
kamu dan janganlah kalian menhianati orang yang telah menghianati kamu.” (HR.
3
Bima Aditya Wijaya, Rahn Atau Gadai, 2017, hal. 3.
4
Bernevi Almy, Pengertian, Dasar Huku, Syarat dan Rukun, Serta Berakhirnya Akad Rahn, Journal of Islamic
Law Volume 01 Nomor 01 Juni 2020, hal. 16.

5
Abu Dawud). Rasullah Saw juga pernah bersabda: “barang siapa yang meringankan
kesulitan dari orang mukmin satu saja, maka Allah Swt akan meringankan kesempitan
yang akan dia hadapi kelak di hari kiamat.” (HR. Bukhari). Menunaikan amanah
menurut ayat dan hadist tersebut sangat jelas diperintahkan sehingga hukumnya tidak
hanya boleh (jaiz) melainkan dianjurkan (sunnat atau mandub).5

Menitipkan ataupun menerima titipan hukum asalnya adalah boleh atau jaiz.
Namun, hukumnya sunat bagi orang yang yakin pada dirinya mampu untuk
memelihara barang titipan. Menerima titipan bisa menjadi wajib apabila wadi’ (orang
yang menitipkan barang) sangat membutuhkan, sedangkan orang ketika itu dan
dianggap mampu menerima amanat hanya dia seorang. Hukum menerima amanat
dapat menjadi makruh terhadap orang yang mampu memelihara barang yang
diamanatkan, tetapi dia tidak percaya kepada dirinya. Boleh jadi, di kemudian hari dia
akan berkhianat terhadap apa yang diamanatkan kepadanya. Bahkan, bisa menjadi
haram terhadap orang yang tidak mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya
sebagaimana mestinya.6

Para ulama ahli fikih yang mengamati kondisi dan keadaan umatnya pasti
akan melihat bahwa akad wadhi’ah ini merupakan sebuah kebutuhan bagi mereka
secara umum. Berdasarkan realita tersebut dapat disimpulkan bahwa akad wadhi’ah
adalah kebutuhan umum, bahkan bisa menjadi kebutuhan darurat. Oleh karena itu,
hukum kebolehannya juga karena merupakan kebutuhan yang darurat bagi manusia
dalam kehidupan sosial ekonominya.7

2. Contoh Kasus Wadhi’ah

Contoh penerapan wadhi’ah pada zaman sekarang yaitu, ada pada bank
syariah yang terdiri dari dua bentuk sebagai berikut:

a. Wadhi’ah yad al-amanah, karakteristiknya yaitu:


1. Barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima
titipan.
2. Penerima titipan hanya berperan sebagai penerima amanah yang memiliki
tugas dan kewajiban memelihara barang titipan.
5
Pudjihardjo, H.M, Muhith, dan Nur Faizin. (2019). Fikih Muamalah Ekonomi Syariah. Hal. 131.
6
Rozalinda. Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan Syariah. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2016). Hal. 160.
7
Ibid. hal. 132.

6
3. Penerima titipan diperbolehkan untuk membebankan biaya kepada penitip.8

Pengapikasian wadhi’ah ini yaitu dengan Safe Deposit Box (SDB) yang
merupakan jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau surat-surat berharga yang
dirancang secara khusus dari bahan baja yang ditempatkan dalam ruangan khasanah
yang kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan barang yang disimpan dan
memberikan rasa aman bagi penggunanya. SDB sebagai fasilitas yang diberikan bank
kepada nasabah untuk menitipkan barang-barang maupun surat-surat berharga. Bank
selaku penerima titipan dalam akad Wadhi'ah amanah tidak dapat memanfaatkan
barang titipan tersebut. akan tetapi, bank dapat meminta jasa titipan kepada nasabah.
Produk ini diaplikasikan berdasarkan fatwa DSN No. 24/DSN-MUI/III/2002. Dalam
fatwa ini dinyatakan bahwa akad yang diterapkan dalam penggunaan fasilitas DSB
adalah akad ijarah dan bank membebankan kepada pengguna jasa berupa biaya sewa.

b. Wadhi'ah yad al-dhamanah

Dalam wadhi’ah ini benda yang dititipkan dapat dimanfaatkan oleh


penerima titipan. wadhi’ah jenis ini diterapkan pada perbankan syariah dalam
bentuk giro (current account). Giro wadhi’ah adalah giro yang dijalankan
berdasarkan akad wadhi’ah, yaitu titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika
pemiliknya menghendaki. Sarana penyimpanan dana dengan pengelolaan
berdasarkan prinsip al-wadhi’ah yad dhamanah yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan media cek atau bilyet giro. Bank
syariah dalam Giro Wadhi’ah memberikan bonus kepada nasabah penitip dana.
Akn tetapi, tidak diperjanjikan dalam akad. Jumlah bonus yang akan diberikan
kepada nasabah sepenuhnya merupakan kewenangan bank syariah.9

Mekanisme akad wadhi’a yad al-dhamanah dilakukan melalui proses


nasabah sebagai penitip, menitipkan dana atau barang berharganya kepada bank
yang bertindak sebagai penerima titipan. Untuk jasa titipan dana melalui Giro
Wadhi’ah bank, penerima titipan dapat memanfaatkan dana tersebut dengan
menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Kepada nasabah,
penitip dana Giro Wadhi’ah akan diberi bonus oleh bank.

3. Dasar Hukum Rahn

8
Ibid. hal. 166.
9
Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001). Hal. 89.

7
Dasar hukum rahn terdapat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283 yang
berbunyi:
ٰ ِ ِ ِ ِ ‫واِ ْن ُكْنتُم ع ٰلى س َف ٍر َّومَل جَتِ ُدوا َكاتِبا فَ ِر ٰهن َّم ْقبو‬
َ‫ضا َف ْلُيَؤ ِّد الَّذى اْؤ مُت َن اََما َنتَهٗ َولْيَت َِّق اللّه‬
ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬ُ ‫ضةٌۗفَا ْن اَم َن َب ْع‬ َ ُْ ٌ ً ْ ْ َ َ ْ َ
‫َّه َاد ۗةَ َو َم ْن يَّكْتُ ْم َها فَاِنَّهٗٓ اٰمِث ٌ َق ْلبُهٗ ۗ َوال ٰلّهُ مِب َا َت ْع َملُ ْو َن َعلِْيم‬
َ ‫َربَّهٗ ۗ َواَل تَكْتُ ُموا الش‬
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermua’malah tidak secara tunai)
sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)
dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya,
sungguh, hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Para ulama ahli fikih sepakat bahwa akad rahn (gadai) hukumnya boleh baik
dilakukan sewaktu dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim atau menetap.
Dalam konteks ayat diatas yang menyebutkan “dalam perjalanan” hanyalah konteks
umum pada waktu turunnya ayat saja, dan ayat ini menunjukan keadaan yang
biasanya memerlukan sistem rahn, bukan menjadi syarat atau ketentuan. Hal ini
dipertegas dengan perbuatan Rasulullah yang melakukan gadai dalam keadaan
bermukim, sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah bahwa Rasulullah Saw pernah
membeli (dengan hutang) makanan dari seorang yahudi dan Rasulullah Saw
memberikan baju besinya sebagai barang gadai (HR Bukhari).10

Dalam hadist lain yang berupa perkataan Rasulullah Saw yang menunjukan
bolehnya akad rahn dan dapat dipahami dari penjelasan beliau yang cukup mendetail
tentang biaya pemeliharaan dan pemanfaatan dari barang gadai. Dari sahabat Abu
Hurairah berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda “mengendarai hewan dengan
nafkahnya (biayanya) jika hewan itu barang gadai, susu perahan hewan juga dengan
nafkahnya (biayanya) jika hewan itu adalah barang gadaian. Orang yang mengendarai
dan meminum susunya harus menanggung nafkahnya” (HR. Bukhari).11

Penjelasan Rasulullah Saw bahwa penerima gadai harus menanggung nafkah


atau biaya barang gadaian jika dia mengambil manfaatnya jelas memberikan dasar

10
Ibid. hal. 86.
11
Ibid. hal. 86-87.

8
hukum bolehnya akad gadai ini. Dari Sanalah kemudian muncul kaidah fikih yang
berbunyi “al-ghurmu bil ghunmi” (kerugian sebanding lurus dengan keuntungan).12
Memberikan barang gadai saat melakukan hutang piutang dalam perjalanan
bukanlah perintah yang wajib, hanya sebagai arahan atau petunjuk yang boleh
digunakan. Membuat jaminan atas hutang piutang dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain memberikan hutang kepada orang yang jelas tempat tinggal dan
penghasilannya, mencatatnya agar jangan sampai lupa atau mengelak saat ditagih
pembayarannya, atau dengna meminta barang gadai yang dapat digunakan untuk
menutup hutang saat hutang tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah terlampau
lama.

Allah mensyariatkan rahn (gadai) untuk kemaslahatan masyarakat, saling


memberikan pertolongan di antara manusia, karena ini termasuk tolong menolong
dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis,
memperkecil permusuhan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 283 di atas sudah dijelaskan,
bahwa apabila hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu
transaksi hutang piutang dengan suatu bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan
menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang
dapat dipegang. Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar kedua belah
pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling mempercayai antara satu
sama lainnya.13

4. Contoh Kasus Rahn

Salah satu contoh penerapan rahn (gadai) ada pada aplikasi akad rahn di
dalam lembaga keuangan syariah demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan
kegiatan pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang. Akad ini
dibolehkan dengan ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn, sebagai berikut:

a. Murtahin (LKS) mempunya hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua
utang rahin (nasabah) dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.

12
Ibid. hal. 87.
13
Ibid. hal. 254.

9
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi utangnya.
f. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
g. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
h. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangan menjadi kewajiban
rahin.14

Pada masa sekarang lazimnya masyarakat menjadikan emas menjadi objek


rahn untuk jaminan utang untuk mendapatkan pinjaman uang. Kemudian Majelis
Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 26/DSN-
MUI/III/2002 tentang rahn emas. Rahn emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn
yang diatur pada Fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn. Kemudian,
ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) pada gadai emas ditanggung oleh
penggadai (rahin) yang besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata.

Secara sederhana mekanisme gadai emas adalah calon nasabah pembiayaan


emas dengan akad rahn mendatangi kantor pegadaian syariah dengan membawa emas
yang akan dijadikan barang jaminan dan fotocopy KTP yang masih berlaku. Untuk
emas yang berupa lantakan harus disertai dengan sertifikat kepemilikan. Kemudian
juru taksir menaksir barang jaminan yang dibawa nasabah, supaya dapat diketahui
pembiayaan yang didapat oleh nasabah. Setelah tahap penaksiran selesai, kemudian
tahap pelaksanaan akad perjanjian pembiayaan emas. Pihak LKS akan memproses
dan melengkapi semua persyaratan nasabah dan menentukan besar nilai pembiayaan
yang dibutuhkan oleh nasabah.15
C. Syarat dan Rukun
1. Wadhi’ah

14
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn.
15
Ibid. Hal. 266.

10
Ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan akad
wadhi’ah (titipan). Menurut Ulama Hanafiyah, rukun whadi’ah (titipan) hanya satu,
yaitu ijab dan qabul. Ijab artinya ucapan penitipan barang dari pemilik, seperti “saya
titipkan tas dan bukunya ini kepada saudara”. Dan qabul adalah menerima titipan oleh
yang dititipi, seperti “ya, saya terima titipan tas dan buku saudra”.

Menurut Hanafiyah, dalam sighat ijab dianggap sah apabila ijab (penyerahan)
tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas atau dengan perkataan sindiran atau
samaran (kinayah). Hal yang sama juga berlaku untuk qabul (menerima), disyaratkan
bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang sama-sama mukallaf (orang yang bisa
dibebani). Tidak sah apabila yang menitipkan dan yang menerima barang titipan
adalah orang gila atau anak yang belum dewasa (anak kecil).

Menurut jumhur ulama fikih bahwa rukun wadiah (titipan) ada 3 (tiga) 16,
yakni:
a. Orang yang berakad (orang yang menitipkan dan yang menerima titipan).
Menurut pendapat ulama Hanafiyah, yang menjadi syarat bagi kedua orang
yang berakad adalah harus berakal. Jika anak kecil yang telah berakal dan
diizinkan oleh walinya untuk melakukan transaksi wadiah, maka hukumnya sah,
mereka tidak mensyaratkan baligh dalam persoalan wadiah. Akan tetapi anak
kecil yang belum berakal, atau orang yang kehilangan kecakapan bertindak
hukumnya seperti orang gila, tidak sah melakukan wadiah. Adapun menurut
jumhur ulama, pihak-pihak yang melakukan akad wadiah disyaratkan telah
baligh, berakal, dan cerdas, karena akad wadiah merupakan akad yang banyak
mengandung risiko penipuan. Oleh karena itu, anak kecil, sekalipun berakal tidak
dibenarkan melakukan akad wadiah, baik sebagai orang yang menitipkan barang
maupun sebagai orang yang menerima titipan barang. Di samping itu, jumhur
ulama juga mensyaratkan orang yang berakad harus cerdas. Sekalipun telah
berakal dan baligh, tetapi kalau tidak cerdas, tidak sah untuk melakukan akad
wadiah.
b. Barang yang dititipkan.
Syarat barang yang dititipkan itu harus jelas dan diketahui identitasnya dengan
jelas dan boleh dikuasai untuk dipelihara. Apabila seseorang menitipkan ikan
yang ada di laut, tambak, atau sungai, sekalipun ditentukan jenis, jumlah dan

16
Abu Azam, Fikih Muamalah Kontemporer, Depok: RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 181-182.

11
identitasnya, hukumnya tidak sah, karena ikan itu tidak dapat dikuasai oleh pihak
yang dititipi. Menurut ulama fikih, syarat kejelasan dan dapat dikuasai ini
dianggap penting karena terkait dengan masalah kerusakan barang titipan yang
mungkin akan timbul atau barang itu hilang selama dalam penitipan. Apabila
barang yang dititipkan tidak dapat dikuasai orang yang dititipi, kemudian hilang
dan rusak, maka orang yang dititipi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban di
pengadilan.
c. Sighat ijab dan qabul (ungkapan serah terima barang titipan)
Sighat ijab dan qabul disyaratkan dimengerti oleh kedua orang yang berakad,
baik dengan jelas maupun sindiran.
2. Rahn

Menurut jumhur Ulama, rukun rahn (gadai) itu ada empat 17. Pertama, sighat
(lafal penyerahan dan penerimaan). Kedua, Rahim (yang menggadaikan) dan
murtahin (yang menerima gadai). Ketiga, marhun (barang yang dijadikan jaminan).
Keempat, marhun bih (utang). Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
rukun tersebut yaitu:
a. Sighat (lafal penyerahan dan penerimaan).
Syarat ini menurut ulama Hanafiyah, rahn (jaminan) tidak boleh dikaitkan
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa mendatang karena perjanjian
rahn sama dengan perjanjian jual beli. Jika perjanjian tersebut diikuti dengan syarat
tertentu atau dikaitkan dengan masa mendatang, maka syaratnya tidak sah atau
batal, sedang perjanjiannya tetap sah. Sebuah contoh, orang yang berutang
mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar,
maka rahn itu diperpanjang satu bulan, atau pemberi utang mensyaratkan barang
jaminan itu boleh ia manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah
mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran
perjanjian, maka syarat tersebut dibolehkan, tetapi apabila syarat tersebut
bertentangan dengan perjanjian rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam
contoh tentang perpanjangan rahn satu bulan dan jaminan boleh dimanfaatkan,
termasuk syarat yang tidak sesuai dengan perjanjian yang sedang berlaku,
karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu sebuah contoh,
untuk sahnya rahn itu pihak pemberi utang minta agar perjanjian itu disaksikan

17
Al-dardir, Al-sharh Al-saghir bi Sharh Al-sawi, Vol. 3, hl. 304

12
oleh dua orang saksi. Sedang syarat yang batal, sebuah contoh, disyaratkan bahwa
jaminan itu tidak boleh dijual apabila masih dalam waktu jatuh tempo, dan orang
yang berutang tidak mampu membayarnya.
b. Rahin (yang menggadaikan) dan murtahin (yang menerima gadai).
Syarat orang yang berakad harus cakap bertindak hukum, kecakapa bertindak
hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang sudah baligh dan berakal.
Sedang menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak tidak disyaratkan baligh,
tetapi cukup berakal sehat. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang
mumayyiz (bisa membedakan) boleh melakukan perjanjian rahn, dengan syarat
perjanjian rahn dilaksanakan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat
persetujuan dari walinya.
c. Marhun (barang yang dijadikan jaminan).
Barang yang dijadikan jaminan menurut ulama fikih disyaratkan sebagai berikut:
1. Barang jaminan boleh dijual dan nilainya sesuai dengan besar utangnya, tetapi
dengan syarat sudah melewati jatuh tempo yang telah disetujui dalam
perjanjian.
2. Barang jaminan itu harus memiliki nilai dan manfaat, boleh dimanfaatkan
dengan persetujuan orang yang menggadaikan. Oleh karenanya barang-barang
yang tidak manfaat, dan membahayakan bagi kehidupan manusia, serta tidak
bertentangan Islam.
3. Barang jaminan harus jelas.
4. Barang jaminan adalah milik sah orang yang menggadaikan,
5. Barang jaminan itu bukan milik orang lain atau masih dalam sengketa.
6. Barang jaminan boleh diserahkan baik bendanya maupun surat kepemilikannya.
d. Marhun bih (utang).
Orang yang berhutang disyaratkan:
1. Berkewajiban mengembalikan sejumlah uang atau barang yang menjadi
tanggungannya.
2. Utang boleh dibayar dengan barang jaminan.
3. Utang tersebut harus jelas jumlah dan barangnya.

BAB III
PENUTUP

13
A. Kesimpulan
Gadai merupakan aktivitas secara umum yang dilakukan seseorang dalam upaya
mendapatkan pinjaman dari barang yang digadaikan. Gadai sering dilakukan pada Lembaga
Keuangan seperti di pegadaian. Namun, gadai sendiri dilakukan dalam berbagai objek, mulai
dari gadai barang, gadai emas, dan gadai-gadai lainnya. Simpanan yang menggunakan prinsip
titipan sering dilakukan di masyarakat dalam bentuk simpanan tabungan. Khusunya bentuk
simpanan tabungan dengan mode titipan yang menggunakan akad wadhi’ah di Bank Syariah.

Akad rahn merupakan akad untuk menahan salah satu harta milik peminjam atas
pinjaman yang telah diterimanya. Dalam konteks akad rahn, objek yang ditahan oleh pihak
yang memberikan pinjaman tersebut memiliki nilai ekonomis (nilai jual). Dalam akad rahn
pemilik barang gadai disebut rahin, sedaangkan orang yang mengambil barang tersebut serta
menahan harta disebut murtahin. Akad wadhi’ah merupakan akad menitipkan Sebagian dana
atau objek. Wadhi’ah diterapkan pada Bank Syariah dalam Produk Tabungan.

DAFTAR PUSTAKA

Aditya Wijaya, Bima, Rahn Atau Gadai, 2017.

14
Almy, Bernevy, Pengertian, Dasar Huku, Syarat dan Rukun, Serta Berakhirnya Akad Rahn,
Journal of Islamic Law Volume 01 Nomor 01 Juni 2020.

Al-sharh Al-saghir bi Sharh Al-sawi, Al-dardir, Vol. 3.

Azam, Abu, Fikih Muamalah Kontemporer, Depok: RajaGrafindo Persada, 2017.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn.


Menara Ilmu, Akad Wadhiah Dalam Perspektif Fiqih Muamalah, Vol. XIII No. 3 Januari
2019.

Muhith, Pudjihardjo, dan Nur Faizin. (2019). Fikih Muamalah Ekonomi Syariah.

Nikmah, Ckamilatun, Konsep Wadhiah Menurut Fikih.

Rozalinda. Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan
Syariah. (Jakarta: Rajawali Pers, 2016).

Syafi’I, Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001).

15

Anda mungkin juga menyukai