Anda di halaman 1dari 26

RAHN

Oleh :
MIA ANGGRAINI
180105020018

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERTITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

BANJARMASIN

2020

1
DAFTAR ISI
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A. Latar Belakang.........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................3
C. Tujuan.......................................................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN MATERI....................................................................................................................4
A. Pengertian Rahn......................................................................................................................4
B. Rukun dan Syarat Rahn........................................................................................................10
a. Ketentuan Umum...............................................................................................................11
b. Ketentuan Penutup............................................................................................................12
C. Dasar hukum rahn/gadai.......................................................................................................14
D. Pandangan Ulama’ tentang Pemanfaatan Barang Gadai (al-Marhuun)...........................17
E. Aplikasi Akad Dalam Produk...............................................................................................18
BAB III...............................................................................................................................................22
PENUTUP..........................................................................................................................................22
A. Kesimpulan.........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................23

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar
dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah
(hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling
menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena itulah sangat perlu
sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya
yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan
berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.

Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan


fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang
terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan
salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh
dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak
sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang
melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu
kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Gadai (Rahn) ?
2. Apa saja Rukun dan Syarat Gadai (Rahn) ?
3. Apa saja Dasar Hukum Rahn ?
4. Apa saja aplikasi akad dalam produk rahn ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Gadai (Rahn)
2. Untuk mengetahui Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)
3. Untuk mengetahui Dasar Hukum Rahn
4. Untuk mengetahui aplikasi akad dalam produk rahn

3
BAB II

PEMBAHASAN MATERI

A. Pengertian Rahn

Menurut bahasa, gadai (al-rahn) merupakan al-tsubut dan al-habs berarti penetapan
dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat 1.
Rahn menurut syariah berarti menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang
memungkinkan ditarik kembali. Rahn juga berarti menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan utang. Dengan kata lain, rahn
merupakan akad berupa menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain dengan
utang sebagai gantinya2. Rahn (Mortgage) merupakan pelimpahan kekuasaan dari satu
pihal kepada pihak lain (bank) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan3. Rahn menurut
istilah syara adalah akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang
mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.

Rahn telah dengan jelas dinyatakan dalam al-Quran dan tradisi kenabian. Lebih jauh
dijelaskan oleh para cendekiawan muslim dari berbagai bidang dan latar belakang sejak
masa salafi hingga masa modern yang menantang. Rahn tidak hanya dibahas dalam buku-
buku yurisprudensi Islam tetapi juga dalam disiplin ilmu lainnya seperti teologi Islam dan
sejarah Islam. Dalam teologi Islam misalnya, ada topik tentang penerimaan ar-rahn yang
telah dibahas oleh Al-Tamimi . Demikian pula dalam sejarah Islam, al-Sahmi (al-Sahmi,
1989) juga berbicara tentang rahn tetapi ia mempresentasikannya dengan cara naratif
selama masa nabi. Jelas konsep ar-rahn terkenal tidak hanya di antara para sarjana fiqih
tetapi para sarjana dari disiplin ilmu lainnya juga4

Gadai atau al-rahn secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu
penetapan dan penahanan. Istilah hukum positif di indonesia rahn adalah apa yang disebut
barang jaminan, agunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan. Azhar Basyir
memaknai rahn (gadai) sebagai perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut

1
Prof.Dr.H.Hendi Suhemdi,M.Si., “Fiqh Muamalah” (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2017).
2
Khotibul Umam,S.H., LL.M., “Perbankan Syariah” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2016). 3 Ascarya, “Akad & Produk Bank Syariah” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).
4
Dziauddin Sharif et al., “The Improvement of Ar-Rahn (Islamic Pawn Broking) Enhanced Product in
Islamic Banking System,” Asian Social Science 9, no. 2 (2013): 36.

4
pandangan syara’ sebagai tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi
tanggungan itu di seluruh atau sebagian utang dapat di terima. Dalam hukum adat gadai
di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai,
dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan
jalan menebusnya kembali. Al-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang di tahan tersebut memiliki nilaiekonomis.
Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya5.

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau
gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang mengutangkan yaitu orang
yang mengambil barang tersebut serta menahannya disebut murtahin, sedangkan barang
yang di gadaikan disebut rahn. Sedangkan dalam dalam dunia perbankan syari`ah biasa
disebut dengan agunan dan jaminan.Agunan adalah jamianan tambahan,baik berupa
benda bergerak menerima maupun tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan
kepada bank syari`ah guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas.

Menurut Syafei Antonio, rahn adalah menahan salah satu harta milik si pemilik
sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya. Sedangkan menurut Bank Indonesia,
rahn adalah akad penyerahan barang/harta dari nasabah kepada bank sebagai jaminan atau
seluruh utang. Rahn adalah menjamin utang dengan barang yang dimungkinkan dapat
memenuhi nilai utang tersebut. Debitur memberikan asset miliknya kepada kreditur untuk
dijadikan jaminan dalam transaksi hutang diantara kedanya. Kreditur menahan asset
tersebut selama utang masih berlangsung. Jika debitur tidak mampu membayar utangnya,
maka barang jaminan tersebut dapat dijadikan sebagai pembayaran utang. Secara
sederhana, rahn disebut gadai. Aktivitas gadai dalam bahasa inggris disebut mortgage,
sedangkan barang yang digadaikann atau barang jaminan dissebut collateral6.

Pemahaman tentang gadai (rahn) menurut Sutedi adalah sistem muamalah di mana
satu pihak memberikan pinjaman dan satu menyimpan barang berharga atau berharga
sebagai jaminan untuk pinjaman kepada orang yang menerima hipotek, secara eksplisit
rahn memberikan barang kepada dipegang atau digunakan sebagai jaminan / pegangan
ketika kesalahan peminjam tidak dapat membayar kembali pinjaman sesuai dengan waktu

5
BIMA ADITIA WIJAYA, “RAHN ATAU GADAI,” n.d., 3.
6
muhammad syarif hidayatullah SE, “Perbankan Syariah” (banjarbaru: CV Dreamedia, 2017).

5
yang disepakati dan juga sebagai pengikat kepercayaan antara keduanya, sehingga
pemberi pinjaman tidak ragu pengembalian barang yang dipinjam7.

Rahn berarti janji atau keamanan yang terkait dengan pinjaman. Di bawah Syari'ah,
Rahn berarti memiliki jaminan. Rahn juga mengacu pada pengaturan di mana aset
berharga ditempatkan sebagai jaminan untuk utang. Jaminan dapat dibuang jika terjadi
default. Harga sangat penting dalam skema. Rahn karena biasanya melayani kelompok
orang yang kurang beruntung secara ekonomi. Biaya meminjam uang tunai dalam sistem
pialang Islam relatif lebih murah dibandingkan dengan sistem pialang konvensional8.

Sejak tahun 2002 atas dasar Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-
MUI/III/2002, tertanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa pinjaman dengan menggunakan
barangsebagai jaminan dalam bentuk Gadai Syariah (Rahn) diperbolehkan, yaitu suatu
bentuk penyerahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Rahn dikembang-kan melalui Bank Syariah dan lembaga ke-uangan bukan
bank yaitu Pegadaian Syariah9.

Rahn (gadai) adalah sebuah akad utang piutang yang disertai angunan (jaminan).
Sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan disebut marhun, pihak yang menyerahkan
jaminan disebut rahin, sedangkan pihak yang menerima jaminan disebut murtahin.
Sedangkan secara terminology para ulama fiqih mendefisikannya sebagai berikut:

1. Ulama Malikiyah mendefinisikannya harta yang dijadikan pemiliknya sebagai


jaminan utang yang bersifat mengikat.Menurut mereka, yang dijadikan barang
jaminan ( angunan ) bukan saja harta yangbersifat materi, tetapi juga harta yang
bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan
secara actual, tetapi boleh juga penyerahan secara hukum, seperti menjadikan sawah
sebagai jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya.
2. Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang ) itu,
baik seluruhnya maupun sebagiannya.
7
Suhadak Suhadak, “Accounting Treatment Analysis of Rahn Tasjily Financing,” Journal of Islamic
Accounting and Finance Research 1, no. 1 (October 1, 2019): 119–38,
https://doi.org/10.21580/jiafr.2019.1.1.3732.
8
Nor Zaihan bin Mohd Noar and Mohd Aminul Islam, “A STUDY ON THE EFFICACY OF ISLAMIC
PAWN BROKING SERVICES IN FULFILLING SOCIO –ECONOMIC NEEDS: A CASE OF TWO
CITIES-
KUANTAN AND KUALA TERENGGANU IN MALAYSIA,” PEOPLE: International Journal of
Social Sciences 1, no. 1 (July 1, 2015), https://grdspublishing.org/index.php/people/article/view/46.
9
Budiman Setyo, “Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) Dalam Sistem Hukum Jaminan Indonesia,”
6
Jurnal Dinamika Hukum 10, no. 1 (2010): 21–27.

7
3. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah mendefenisikan rahn dengan :Menjadikan materi
(barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayaran utang apabila
orang yang berutang tidak bisamembayar utangnya itu.
Definisi yang dikemukakakn Syafiiyah dan Hanabilah ini mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu hanyalah harta yang
bersifat materi, tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama
Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut mereka ( Syafiiyah dan
Hanabilah), termasuk pengertian harta. Sejalan dengan pengertian di atas, menurut
Muhammad Syafi’I Antonio, ar-rahn adalah menahan harta salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Menurut Masjfuk Zuhdi, ar-rahn adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam
dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang. Sementara menurut al-Ustad
H.Idris Ahmad berpandangan, ar-rahn adalah menjadikan harta benda sebagai
jaminan atas utang. Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam
kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi
rahn adalah “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai
kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang
digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya”. Dalam buku lain didefinisikan bahwa
rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat
darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah
sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara
keseluruhan atau sebagian dari barang itu. Sedangkan menurut S.A Hakim, yang
mengatakan jual gadai ialah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang
secara kontan, demikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu, masih
mempunyai hak untuk mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran
kembali sejumlah uang yang tersebut.
Dengan demikian gadai menurut syariat Islam berarti penahanan atau
pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua belah pihak
mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi
utangnya dan yang berpiutang bertanggug jawab menjamin keutuhan barang
jaminannya. Apabila utang telah dibayar maka pemahaman. Oleh sebab akad itu
dilepas, dan keadaannya bebas dari tanggung jawab dan kewajiban masing-masing10.

10
WIJAYA, “RAHN ATAU GADAI.”

8
Akad Rahn memiliki tingkat keamanan tinggi dan risiko yang rendah, karena
jaminannya adalah dengan menahan (rahn) barang bergerak yang likuid milik anggota.
Bila anggota melakukan wanprestasi maka dapat dilakukan eksekusi atau pinalti atas
barang yang dijaminkannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif
analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akad rahn memiliki prospek yang baik,
telah sesuai dengan Fatwa DSN-MUI tentang Rahn, namun masih lemah pengawasan
dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan terkendala oleh lemahnya SDM, persaingan
dengan lembaga keuangan lain, asuransi dan promosi11.

Tabel Perbandingan Gadai (Pand) dan Gadai Syariah (Rahn)12

Gadai (Pand) Gadai Syariah (Rahn)

Pengertian Hak kreditur untuk Hak kreditur untuk


mengambil pelunasan atas mengambil pelunasan atas
benda jaminan benda jaminan

Pemberi Gadai Debitur atau pihak III Debitur

Penerima Gadai Orang perseorangan, Bank Orang perseorangan, Bank

Hak Penerima gadai 1. Parate eksekusi (hak 1. Hak menguasai benda


menjual benda gadai atas gadai sampai hutang dilunasi
kekuasaan sendiri)
2. Hak
2. Hak revindikasi dan hak- menjual untuk mengambil
hak kebendaan lainnya pelunasan

3.Hak retensi

4.Hak mengambil pelunasan


lebih dahulu

5.Dibebaskan dari tuntutan

11
Edi Susilo, “Shariah Compliance Akad Rahn Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus BMT Mitra
Muamalah Jepara),” IQTISHADIA: Jurnal Ekonomi & Perbankan Syariah 4, no. 1 (2017): 120–136.
12
Setyo, “Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) Dalam Sistem Hukum Jaminan Indonesia.”

9
hukum yang berkaitan
dengan benda gadai

Kewajiban Penerima Gadai 1. memberi tahu debitur kalau 1. memelihara dan


melakukan eksekusi menyimpan benda gadai

2. memelihara benda gadai 2. memberi tahu debitur agar


dan menanggung kerusakan segera melunasi hutangnya
karena salahnya
3. mengembalikan uang sisa
3. mengembalikan uang sisa eksekusi
hasil eksekusi

4. berhak menerima bunga


dari piutang yang digadaikan

Hak penerima gadai 1. Menerima pengembalian 1. Menerima pengembalian


uang sisa eksekusi uang sisa eksekusi

2. Meminta pengembalian 2. Menerima ganti rugi kalau


benda gadai kalau benda gadai hilang/rusak
disalahgunakan

3. Menerima ganti rugi kalau


benda gadai hilang/rusak

Kewajiban pemberi gadai Menjamin bahwa benda 1. Membayar biaya


gadai adalah milik pemberi pemeliharaan dan
gadai penyimpanan

2. Menjamin bahwa benda


gadai adalah milik pemberi
gadai

B. Rukun dan Syarat Rahn

10
Mohammad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan rukun dan ketentuan
hukum perjanjian adalah sebagai berikut13 :
1. Ijab Qabul (Shigat), ini dapat dilakukan dalam bentuk tertulis atau lisan, asalkan berisi
maksud dari perjanjian perjanjian antara para pihak.
2. Transaksi (Aqid), syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi ikrar yaitu
rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah dewasa (baligh), cerdas
dan atas keinginannya sendiri.
3. Keberadaan barang yang digadaikan (Marhun), syarat yang harus dipenuhi agar
barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) dapat diterima,
menguntungkan, rahin (tukang gadai), jelas, tidak disatukan dengan aset lain ,
dikendalikan oleh seorang bhikkhu dan harta karun yang permanen atau dapat
ditransfer.
4. Marhun Bih (Utang), menurut Cendekiawan Hanafiyah dan Syafi'iyah, syarat utang
yang bisa dijadikan dasar hipotek adalah dalam bentuk utang yang masih bisa
dimanfaatkan, harus lazim pada saat itu. kontrak, dan harus jelas dan diketahui oleh
rahin dan murtahin.

Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antala lain :

1. Akad ijab dan Kabul, seperti seseorang berkata “aku gadaikan mejaku ini dengan
harga Rp.10.000,00” dan yang satu lagi menjawab. “Aku terima gadai menjamu
seharga Rp.10.000,00” atau bisa pula dilakukan selain dengan kata-kata, seperti
dengan surat, isyarat, dll.
2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Syarat
bagi berakad adalah ahli tasharuf, maksudnya mampu membelanjakan harta dan
dalam hal inimemahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadika jaminan ialah
keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.
4. Ada utang, diisyaratkan keadaan utang telah tetap.

Pegadaian syariah dalam melakukan pembiayaan rahn harus memenuhi rukun gadai
syariah. Rukun nya menurut Antonio (2001) adalah:

Ahmad Maulidizen, “IMPLEMENTATION OF RAHN IN SHARIA GOLD FINANCING AT


13

MODERN ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS (CASE STUDY IN BANK BRI SYARIAH


BRANCH OF
PEKANBARU).,” Hukum Islam 18, no. 1 (October 26, 2018): 40–57, https://doi.org/10.24014/hi.v18i1.5220.
11
1. Orang yang menggadaikan (Ar Rahn) telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang akan digadaikan.
2. Orang yang menerima Gadai (Al-Murtahin)adalah bank, atau lembaga yang dipercaya
oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
3. Barang yang digadaikan (Al-marhun/rahn)adalahBarang yang digunakan rahin untuk
dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
4. Utang (Al-marhun bih)Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas
dasar besarnya tafsiran marhun.
5. Sighat, Ijab, dan Qobul Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan
transaksi gadai.

Selain Al-Qur’an dan Hadits, gadai syariah juga merujuk pada Fatwa DSN-
MUINo.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai syariah (Ar-rhan) yang menyatakan bahwa
pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut14 :

a. Ketentuan Umum :
1. Murtahin(penerima barang) mempunyai hak untuk menahanMarhun(barang) sampai
semua utang Rahin(yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhundan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya Marhun tidak
boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin,dengan tidak mengurangi
nilai Mahrun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan
perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin,
namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan
penyimpanan tetap menjadi kewajiba rahin.
4. Besarnya biaya administrasi dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan Marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi
utangnya.
b. Apabila Rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
14
Fakultas Ilmu Agama Islam and Unuversitas Islam Indonesia, “Prinsip Prinsip Dasar Pada Aplikasi
Pegadaian Syariah,” n.d.

12
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi
kewajiban Rahin.

b. Ketentuan Penutup.
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbriterase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawara.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari
terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

Rukun-rukun rahn ada empat, yaitu15:


1. Marhun (harta yang digadaikan).
Syaratnya: Pertama, berupa harta benda,. Kedua, Sah untuk dijual-belikan, dengan
demikian, tidak sah akad gadai dengan jaminan benda najis, benda wakafan, dan lain
sebagainya.
2. Marhun bih (hutang yang ditanggung pihak penggadai)
Syaratnya: Pertama, Berupa tanggungan hutang yang sudah wujud. Dengan demikian
tidak sah akad gadai pada tanggungan yang belum wujud, seperti tanggungan nafkah
istri dihari esok. Kedua, Pihak rahin dan murtahin mengetahui kadar dan sifatnya,
maka tidak sah apabila tidak diketahui keduanya atau salah satunya. Ketiga, Tidak
memungkinkan untuk gugur. Dengan demikian tidak sah menggadaikan tanggungan
upah yang harus dibayarkan pihak ja’il (panitia sayembara) dalam transaksi ju’alah.
Karena akad tersebut bersifat ja’iz min al-tharafain (tidak mengikat dari kedua pihak
yang bertransaksi), sehingga memungkinkan gugurnya tanggungan upah yang harus
dibayarkan pihak panitia sayembara.
3. Dua pihak yang bertransaksi
rahin (pihak penggadai) dan murtahin (pihak penerima gadai), syaratnya: Pertama,
tidak adanya paksaan dalam bertransaksi. Kedua, ahli al-tabarru’ (Baligh, berakal dan
merdeka). Maka tidak sah akadnya anak kecil, orang gila, dan hamba sahaya.
4. Sighat/ ijab qabul.
15
Windy Indah Yulianda and Muhammad Syaifullah, “Practical Of Syariah Pawn (Rahn) In Fatwa Of
National Shariah Board Indonesia Ulama Council (Case Study At Syariah Indonesia National Bank (Bni),”
International Journal Of Scientific & Technology Research Volume 7 (2018).

13
Syarat-syarat sighat dalam akad gadai sama persis dengan syarat-syarat sighat dalam
akad jual beli.Adapun barang yang boleh digadaikan adalah barang-barang.

Analisis Fatwa Dewan Syariah......yang berharga dan dapat diperjual belikan, karena
gadai itu termasuk menjual nilai dari barang tersebut. Barang yang digadaikan harus sudah
tersedia sewaktu akad, sehingga bisa diserahkan kepada orang yang menerima gadai. Dan
dalam gadai tersebut, orang yang berhutang harus menyebutkan dengan jelas jumlah hutang
yang diinginkan. Jadi kalau di lain hari orang yang menggadaikan meminta tambahan hutang
dengan jaminan barang yang telah digadaikan, maka tidak boleh. Jumlah hutang yang
diinginkan oleh pihak yang berhutang harus jelas dan pada saat akad, dengan membawa
barang yang akan digadaikan (marhun). Hal ini penting supaya dikemudian hari tidak terjadi
keinginan untuk menambah jumlah hutang oleh si rahin.
Syarat-syarat pada akad rahn, yaitu:
1. Rahin dan murtahin.
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin, harus
mempunyai kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan
seseorang untuk melakukan transaksi kepemilikan. Setiap orang yang sah untuk
melakukan jual beli, maka ia juga sah melakukan rahn, karena gadai seperti jual beli,
yang merupakan pengelolaan harta.
2. Sighah (akad).
Sighah tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan waktu di masa
mendatang. Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti
halnya akad jual beli, sehingga tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan
suatu waktu tertentu atau dengan waktu di masa depan.
3. Marhun bih (utang).
Harus merupakan hak yang wajib diberikan dan diserahkan kepada pemiliknya dan
memungkinkan pemanfatannya. Bila sesuatu yang menjadi utang itu tidak bias
dimanfaatkan maka tidak sah. Harus dikuantifikasikan atau dihitung jumlahnya. Bila
tidak dapat diukur atau tidak dapat dikuantifikasikan, rahn tidak sah.
4. Marhun (barang).
Menurut ulama Syafi’iyah, sebagaimana yang dikutip Ismail Nawawi, gadai bisa sah
dengan dipenuhinya tiga syarat. Pertama, harus berupa barang, karena utang tidak bisa
digadaikan. Kedua, penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan
tidak terhalang. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba

14
pelunasan utang gadai. Jadi, para ulama sepakat bahwa syarat pada gadai adalah
syarat yang berlaku pada barang yang bias diperjual belikan.

Adapun syarat-syarat barang rahn ialah :


1. Harus bisa diperjua lbelikan.
2. Harus berupa harta yang bernilai.
3. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah, tidak berupa barang haram.
4. Harus diketahui keadaan fisiknya.
5. Harus dimiliki oleh rahn, setidaknya harus atas izin pemiliknya.

Rukun dari akad rahn yang perlu dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu :

1. Pelaku akad yaitu rahin (yang menyerahkan barang), dan murtahin(penerima


barang)
2. Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan)
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.

Sedangkan syarat-syarat dari akad rahn, yaitu :

1. Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan


2. Penjualaan jaminan

Contoh penggunaan dalam jasa perbankan adalah gadai.

C. Dasar hukum rahn/gadai


Hukum Gadai (Rahn) untuk menilai ketentuan dalam muamalah, maka harus diketahui
ketentuan tentang rahn dan akad secara umum. Secara syar’i, oleh Imam An-Nawawi dalam
al-Majmu’, kitab ar-rahn memberi pengertian rahn adalah menjadikan harta sebagai jaminan
kepercayaan atas utang agar utang bisa dibayar dengannya ketika orang yang wajib
membayarnya tidak mampu membayarnya.
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut islam, diatur dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad.
 Al-Qur’an
Ayat alquran dapat dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS Al-Baqaroh
ayat 282 dan 283

15
“ Hai orang orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah secara tunai untuk waktu
yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya”“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu
tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.
Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklahyang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya)”
 As-Sunnah
Aisyah berkata bahwa rasul bersabda: Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi
dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR Bukhari dan Muslim). Dari Abu Hurairahr.a
Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
mengendalikannya. Ia memperoleh manfaat dan menaggung resikonya.Nabi bersabda:
Tunggangan (kendaraan)yang digadaikan boleh dinaiki menanggung biayanya dan binatang
ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biyanya. Bagi yang
menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan.

Nabi SAW bersabda :

‫ﻒ اﻟﻨُﺒَﺮْ َﺷ َﻲ ُوﺑَ ْﻜ َﺮي ﯾِ ﱠﺬى اﻟَﻠَ َﻌﺎ ًووﻧُ ْﮭ َﺮ َﻣﺎﻧَﻚ‬


‫ا َ ِذ ِٕا ِھﺘَﻘَﻔَ ِﻦ ﺑُﺒَﺮْ شُ ﯾﱢ ﱠﺮ اﻟ ُﺪﻧَﺒَﻼَ ًووﻧُ ْﮭ َﺮ َﻣﺎﻧَﺎ َﻛ ِﺬ ِٕا ِھﺘَﻘَﻔَ ِﻦ ﺑُﺒَ ْﻜ ُﺮ ﯾُ ْﻨﮫﱠ“ اﻟ ُﺮةَﻗَ ﱠ‬

“Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu
hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi
menungganginya dan meminumnya nafkah.” (HR Al Bukhori no. 2512)

Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda :

‫ﻒ اﻟﻨُﺒَﺮْ َﺷ َﻲ ُوﺑَ ْﻜ َﺮ ﯾِ ﱠﺬى اﻟَﻠَ َﻌﺎ ًووﻧُ ْﮭ َﺮ َﻣﺎﻧَﻚ‬


‫ا َ ِذ ِٕا ِھﺘَﻘَﻔَ ِﻦ ﺑُﺒَﺮْ شُ ﯾﱢ ﱠﺮ اﻟ ُﺪﻧَﺒَﻼَ ًووﻧُ ْﮭ َﺮ َﻣﺎﻧَﺎ َﻛ ِﺬ ِٕا ِھﺘَﻘَﻔَ ِﻦ ﺑُﺒَ ْﻜ ُﺮ ﯾُ ْﻨﮭﱠﺎﻟ ُﺮةَﻗَ ﱠ‬

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya)


bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

‫ا ًوﻧُ ْﮭ َﺮ َﻣﺎﻧَﺎ َﻛ ِﺬ ُٕاﺑَﺮْ شُ ﯾﱢ ﱠﺮ اﻟ ُﺪﻧَﺒَﻼَ ًووﻧُ ْﮭ َﺮ َﻣﺎﻧَﺎ َﻛ ِﺬ ُٕاﺑَ ْﻜ ُﺮ ﯾُﺮْ ھﱠﺎﻟﻈُﺘَﻘَﻒَ ﻧُﺒَﺮْ َﺷ َﻲ ُوﺑَ ْﻜ َﺮي ﯾِ ﱠﺬى اﻟَﻠَ َﻌﻮ‬

16
Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya)
bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas
makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Tirmidzi; hadits shahih).

 Ijtihad

Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, Jumhur ulama juga berpendapat boleh
dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat
disyariatkan pada waktu tidak berpergian maupun pada waktubrpergian, berargumentasi
kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang yahudi tersebut di
Madinah. Adapun keadaan dalam perjalanan seperti ditentukan dalam QS. Al-Baqarah: 283,
karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan saaat berpergian ( Sayyid
Sabiq, 1987: 141). Adh-Adhahak dan penganut madzhab Az-Zahiri berpendapat bahsa rahn
tidak disyariatkan kecuali pada waktu berpergian, berdalil pada ayat tadi. Pernyataan meraka
telah terbantahkan dengan adanya hadist tersebut.

 Menurut hukum perdata,


antara gadai dan rahn dalam hukum Islam ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya
antara lain:
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang.
2. Adanya agunan sebagai jaminan utang.
3. Tidak boleh mengambil manfaat dan barang yang digadaikan.
4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai.
5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadai-kan boleh dijual
atau dilelang.
Sedangkan perbedaan gadai dengan rahn antara lain:
1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong
tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hu-kum perdata, disamping
berprinsip tolong menolong juga menarik ke-untungan melalui bunga atau sewa
modal yang ditetapkan.
2. Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan
dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta, baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak.
3. Dalam rahn menurut hukum Islam tidak ada istilah ”bunga uang’’.

17
Pengertian yang hampir serupa juga diungkapkan oleh Ahmad Azhar Basyir
bahwa perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu per janjian menahan sesuatu
barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti “tetap”,
“berlangsung”dan “menahan”. Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu
benda bernilai menur ut pendangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya
tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima16.

D. Pandangan Ulama’ tentang Pemanfaatan Barang Gadai (al-Marhuun).


Biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang diagunkan adalah milik orang yang
menggadaikan (rahin), sedangkan penerima barang (murtahin) tidak boleh mengambil
manfaat dari barang gadaian tersebut karena barang itu bukan miliknya secara penuh.
Penerima barang agunan hanya sebagai jaminan piutang, dan apabila orang yang memiliki
utang tidak mampu melunasinya, ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk
melunasi piutangnya. Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh
mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan
atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya
apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut).
Hal ini dikarenakan jumhur ulama beralasan dengan sabda Rasulullah Saw, yang
berbunyi :
‫ﺻ ِﻦ ُﻣﻨُﮫﱠ اﻟ ُﺮﻗَ ْﻠ ُﻎ َي»ﻻ‬
ْ ‫ ﻟُﮭَﻨَﮫَ رْ ِﯾ ﱠﺬ اﻟِ ِﮭﺒِﺎ َح‬،َ‫ُ ھُ َﻤ َﺮ ِﻏ ْﮭﯿَﻠَ َﻊ ُوھُ َﻤﻦَ ُﻏﮫ‬
“Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak
atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR as-
Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni).
Sebagian ulama Hanafiyyah memperbolehkan barang agunan dimanfaatkan apabila
pemilik barang telah mengijinkan, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang agunan
untuk memanfaatkannya. Akan tetapi sebagian ulama Hanafiiyah lainnya, ulama Malikiyah
dan ulama Syafi’iyah berpendapat sekalipun pemilik barang agunan itu mengijinkan, karena
jika barang agunan itu dimanfaatkan itu merupakan riba yang dilarang syara’ .Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa apabila dijadikan barang agunan tersebut adalah hewan, maka
pemegang barang agunan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya sesuai
dengan jumlah biaya pemeliharaannya yang dikeluarkan pemegang barang agunan.

16
Lutfi Sahal, “| Sahal,” At-Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi 6, no. 2 (March 7, 2016),
http://jurnal.uin- antasari.ac.id/index.php/taradhi/article/view/717.
18
Dalam kondisi sekarang, maka akan lebih tepat apabila marhun berupa hewan itu di-
qiyas-kan dengan kendaraan. Illat-nya yang disamakan adalah hewan dan kendaraan sama-
sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki. dan diperah susunya dapat di-illat-kan dengan
digunakannya kendaraan itu untuk hal yang ‘menghasilkan’, dengan syarat tidak merusak
kendaraan itu. Hal yang dapat dipersamakan illat-nya adalah ‘hasilnya’, yaitu apabila hewan
hasilnya susu, maka kendaraan hasilnya uang. Selanjutnya syarat bagi murtahin untuk
mengambil manfaat marhun yang bukan berupa hewan yaitu, adanya izin dari penggadai
rahin dan adanya gadai bukan sebab mengutangkan. Sedangkan apabila marhun itu tidak
dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi, maka barang tersebut dibagi menjadi 2 bagian:
1. Apabila marhun berupa hewan, maka boleh menjadikannya sebagai khadam.
2. Apabila marhun bukan hewan, seperti rumah, kebun, sawah dan sebagainya, maka
tidak boleh mengambil manfaatnya. Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari
marhun yang dapat ditunggangi dan diperah ialah berdasarkan hadist Nabi yang
berbunyi:
‫ ال ظﮭﺮ ﯾﺮﻛﺐ‬:‫وﺳﻠﻢ‬، ‫ ﻗﺎل ﻋﻨﺄﺑٮﮭﺮﯾﺮة وﻟﺒﻦ اﻟﺪر ﯾﺸﺮب ﺑﻨﻔﻘﺘﮫ‬:‫رﺳﻮﻻﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ رﺿٮﺎﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل‬
‫اذا ﻛﺎن ﻣﺮھﻮﻧﺎ‬، ‫ وﻋﻠﻰ اﻟﺬي ﯾﺮﻛﺐ‬.‫ﺑﻨﻔﻘﺘﮫ اذا ﻛﺎن ﻣﺮھﻮﻧﺎ(رواھﺎﻟﺒﺨﺎرٮﻮﯾﺸﺮب اﻟﻨﻔﻘﺔ‬
Artinya:”Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah Saw bersabda,”Punggung
hewan ditunggangi sesuai dengan biayanya apabila digadaikan. Air susu hewan
diminum sesuai biayanya apabila digadaikan. Bagi yang menunggang dan meminum
wajib menanggung biayanya.”(HR.Bukhari) Hadist lain yang dijadikan alasan
murtahin17.

E. Aplikasi Akad Dalam Produk


Sejumlah besar studi tentang dampak produk rahn telah dilakukan dan hasilnya
menunjukkan bahwa rahn merupakan alat yang signifikan dalam memberdayakan aspek
ekonomi dan sosial pelanggannya. Namun, ada studi yang sangat terbatas yang dianalisis,
meneliti tentang pengaruh wanita rahn khususnya dalam meningkatkan status ekonomi dan
sosial mereka18.
Aplikasi rahn dapat berupa :
1. Produk Tambahan

17
Rokhmat Subagiyo, “Tinjauan Syariah Tentang Pegadaian Syariah (Rahn),” An-Nisbah: Jurnal Ekonomi
Syariah 1, no. 1 (2014): 161–184.
18
Rusni Hassan, “THE EFFECT OF RAHN ON WOMEN’S ECONOMIC EMPOWERMENT: A CASE
STUDY IN KOTA BHARU, KELANTAN,” Journal of Global Business and Social Entrepreneurship (GBSE)
3, no. 7 (2017).

19
Rahn diaplikasikan sebagai produk tambahan, yakni sebagai pelengkap pada
produk utama. Dalam konteks pelengkap yang dimaksud adalah seperti pegadaian
jaminan oleh bank Syariah, dalam praktik pembiayaan, seperti terdapat pada
pembiayaan mudharabah, musyarakah, dan murabahah. Bank dapat menahan
barang nasabah sebagai konsekuensi dari adanya kesepakatan akad pembiayaan
antara bank dengan nasabah19.
2. Produk Awal Pilihan
Dalam rangka terhindar dari transaaksi dengan pengadaian konvensional yang
sifatnya non syariah, maka produk gadai syariah menjadi pilihan utama dalam
transaksi gadai pada lembaga keuangan. Biasanya aplikasi ini terdapat pada
pegadaian syariah. Berbeda halnya dengan gadai konvensional yang menerapkan
bunga (sewa modal berdasarkanpinjaman) yang mudah jelas haram kepada
nasabahnya, gadai syariah hanya menerapkan biaya penitipan atau pemeliharaan
(jasa simpananberdasarkan nilai taksiran)20. Menurut jenis barang yang digadaikan,
prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang
dihasilkan dan sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang
tersebut di tangan nasabah bukan karena hash praktek riba, gharar, dan maysir.
Keberadaan barang gadai selain karena alasan syariah, juga dikarenakan alasan
keterbatasan tempat penyimpanan barang jaminan, kesulitan dalam menaksirkan
barang jaminan, jenis barang jaminan mudah rusak dan jenis barang jaminan
berbahaya. Sedangkan menurut penaksiran barang, besarnya pinjaman dan
pegadaian syariah yang diberikan kepada nasabah tergantung dan besarnya nilai
barang yang akan digadaikan. Dalam penaksiran nilai barang gadai, pegadaian
syariah harus menghindari hasil penaksiran yang dapat merugikan nasabah atau
pihak pegadaian itu sendiri.
Secara umum, baik pegadaian konvensional maupun pegadaian syariah
merupakan lembaga keuangan non bank yang memberikan pinjaman kepada
masyarakat dengan dasar hukum gadai, atau dengan disertai barang yang bernilai
ekonomis yang dijadikan jaminan. Transaksi gadai pada pegadaian konvensional
membutuhkan beberapa persyaratan, yakni perjanjian hutang piutang sebagai
perjanjian pokok dan ditambah benda bergerak sebagai jaminan hutang. Adanya
gadai tergantung pada adanya perjanjian pokok hutang piutang. Selain Pegadaian

19
muhammad syarif hidayatullah SE, “Perbankan Syariah.”
20
muhammad syarif hidayatullah SE.
20
konvensional, terdapat pula lembaga pegadaian lain yaitu, pegadaian syariah.
Pegadaian syariah tidak jauh berbeda dengan pegadaian konvensional karena
pegadaian konvensional maupun pegadaian syariah merupakan suatu lembaga
yang memberikan pinjaman kepada masyarakat disertai barang sebagai jaminan
hutang. Pegadaian konvensional maupun pegadaian syariah sama-sama
mempunyai hak gadai atas pinjaman berupa uang dan sama-sama disertai barang
sebagai agunan atau sebagai jaminan hutang21. Pegadaian syariah dipandang
sebagai alternatif yang lebih baik daripada pegadaian konvensional terutama di
Malaysia yang memiliki komunitas mayoritas Muslim22.
Perbedaan mendasar pada kedua lembaga ini adalah dalam hal pemungutan
biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda pada
pegadaian konvensional. Hal ini berbeda dengan pegadaian syariah, pegadaian
syariah tidak menerapkan sistem bunga. “Transaksi gadai dalam Fiqh Islam
disebutar-rahn” Gadai menurut Hukum Islam bertujuan untuk menolong orang
yang membutuhkan bukan untuk kepentingan komersial23.
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian
konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga
menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak.Prosedur untuk
memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan
bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat
diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja)24.
Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah
uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.

Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah,
yaitu:

21
Indah Purbasari and Sri Rahayu, “Analisis Penerapan Akad Rahn (Gadai) Dan Pengenaan Biaya Administrasi
Rahn Di Pegadaian Syariah (Studi Empiris Di Kantor Cabang Pegadaian Syariah Pamekasan),” Jurnal Hukum
Ekonomi Islam 1, no. 1 (2017): 144–170.
22
Abdul Razak and Farha Nabila Binti Baharun, “Factors That Determine Customers Acceptance of Ar Rahn
Financing in Selangor,” International Journal of Asian Social Science 8, no. 11 (2018): 1017–1026.
23
Purbasari and Rahayu, “Analisis Penerapan Akad Rahn (Gadai) Dan Pengenaan Biaya Administrasi Rahn Di
Pegadaian Syariah (Studi Empiris Di Kantor Cabang Pegadaian Syariah Pamekasan).”
24
Shofia Purnamasari, “STRATEGI PEMASARAN PEGADAIAN SYARIAH DALAM MENINGKATKAN
PENJUALAN JASA PRODUK (Studi Kasus Pada Pegadaian Unit Layanan Syariah Sultan Adam
Banjarmasin),” At-Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi 9 (August 1, 2018): 25,
https://doi.org/10.18592/at- taradhi.v9i1.2085.

21
a. Akad Rahn.
Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si pemin-jam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang mena han memperoleh
jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebag an piutangnya. Dengan
akad ini Pegadaian menahan barang ber akad ini pegadaian menahan barang
ber-gerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
b. Akad ijarah (akad sewa tempat)
Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti de-ngan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk
menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah
melakukan akad. Dalam gadai syariah ijarah, pihak pegadaian (murtahin) lebih
cenderung mirip jasa tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada
nasabahnya. Barang titipan dapat berupa barang yang bisa di ma faatkan atau
tidak bisa dimanfa-atkan. Pihak pegadaian hanya mengambil ijrah (upah/sewa)
terhadap jasa penitipan dan perawatan barang.
Fenomena ini dapat terlihat ketika menjelang Lebaran Idul Fitri dengan
banyaknya masyarakat yang mudik menitipkan mobil atau barang berharga
lainnya kepada perum pegadaian dengan membayar sewa perawatan dan
pemeliharaan. Pada rahn, nasabah tidak dikenai bunga. Yang dipungut dan
nasabah ada lah biaya penaksiran (valuation), penitipan, pemeliharaan,
penjagaan serta administrasi. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah
rahn, dalam peng operasi an-nya menggunakan metode Fee Based Income
(FBI) atau mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan
marhunbih mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi,
atau untuk yang sifatnya produktif seperti untuk tambah an modal kerja.

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut bahasa, gadai (al-rahn) merupakan al-tsubut dan al-habs berarti penetapan
dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat. Rahn
menurut syariah berarti menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan
ditarik kembali. Rahn juga berarti menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut
pandangan syariah sebagai jaminan utang. Dengan kata lain, rahn merupakan akad berupa
menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain dengan utang sebagai gantinya. Rahn
(Mortgage) merupakan pelimpahan kekuasaan dari satu pihal kepada pihak lain (bank) dalam
hal-hal yang boleh diwakilkan. Rahn menurut istilah syara adalah akad yang objeknya
menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna
darinya.
Rukun dari akad rahn yang perlu dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu
1. Pelaku akad yaitu rahin (yang menyerahkan barang), dan
murtahin(penerima barang)
2. Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan)
3. Shighah, yaitu ijab dan qabul.

Sedangkan syarat-syarat dari akad rahn, yaitu :

1. Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan


2. Penjualaan jaminan

23
DAFTAR PUSTAKA
Ascarya. “Akad & Produk Bank Syariah.” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Hassan, Rusni. “THE EFFECT OF RAHN ON WOMEN’S ECONOMIC EMPOWERMENT:
A CASE STUDY IN KOTA BHARU, KELANTAN.” Journal of Global Business
and Social Entrepreneurship (GBSE) 3, no. 7 (2017).
Islam, Fakultas Ilmu Agama, and Unuversitas Islam Indonesia. “Prinsip Prinsip Dasar Pada
Aplikasi Pegadaian Syariah,” n.d.
Khotibul Umam,S.H., LL.M. “Perbankan Syariah.” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2016. Maulidizen, Ahmad. “IMPLEMENTATION OF RAHN IN SHARIA GOLD
FINANCING
AT MODERN ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTIONS (CASE STUDY IN BANK
BRI SYARIAH BRANCH OF PEKANBARU).” Hukum Islam 18, no. 1 (October
26,
2018): 40–57. https://doi.org/10.24014/hi.v18i1.5220.
muhammad syarif hidayatullah SE. “Perbankan Syariah.” banjarbaru: CV Dreamedia, 2017.
Noar, Nor Zaihan bin Mohd, and Mohd Aminul Islam. “A STUDY ON THE EFFICACY OF
ISLAMIC PAWN BROKING SERVICES IN FULFILLING SOCIO –ECONOMIC
NEEDS: A CASE OF TWO CITIES-KUANTAN AND KUALA TERENGGANU IN
MALAYSIA.” PEOPLE: International Journal of Social Sciences 1, no. 1 (July
1, 2015). https://grdspublishing.org/index.php/people/article/view/46.
Prof.Dr.H.Hendi Suhemdi,M.Si. “Fiqh Muamalah.” Depok: PT RajaGrafindo Persada,
2017. Purbasari, Indah, and Sri Rahayu. “Analisis Penerapan Akad Rahn (Gadai) Dan
Pengenaan
Biaya Administrasi Rahn Di Pegadaian Syariah (Studi Empiris Di Kantor Cabang
Pegadaian Syariah Pamekasan).” Jurnal Hukum Ekonomi Islam 1, no. 1 (2017):
144–
170.
Purnamasari, Shofia. “STRATEGI PEMASARAN PEGADAIAN SYARIAH DALAM
MENINGKATKAN PENJUALAN JASA PRODUK (Studi Kasus Pada Pegadaian
Unit Layanan Syariah Sultan Adam Banjarmasin).” At-Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi
9 (August 1, 2018): 25. https://doi.org/10.18592/at-taradhi.v9i1.2085.
Razak, Abdul, and Farha Nabila Binti Baharun. “Factors That Determine Customers
Acceptance of Ar Rahn Financing in Selangor.” International Journal of Asian Social
Science 8, no. 11 (2018): 1017–1026.
Sahal, Lutfi. “| Sahal.” At-Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi 6, no. 2 (March 7,
2016). http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/taradhi/article/view/717.
Setyo, Budiman. “Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) Dalam Sistem Hukum Jaminan
Indonesia.” Jurnal Dinamika Hukum 10, no. 1 (2010): 21–27.
Sharif, Dziauddin, Amir Shaharuddin, Nurul Aini Muhamed, Nasif Sidquee Pauzi, and
Mohamad Zaid Mohd Zin. “The Improvement of Ar-Rahn (Islamic Pawn Broking)
Enhanced Product in Islamic Banking System.” Asian Social Science 9, no. 2
(2013): 36.
Subagiyo, Rokhmat. “Tinjauan Syariah Tentang Pegadaian Syariah (Rahn).” An-Nisbah:
Jurnal Ekonomi Syariah 1, no. 1 (2014): 161–184.
Suhadak, Suhadak. “Accounting Treatment Analysis of Rahn Tasjily Financing.” Journal of
Islamic Accounting and Finance Research 1, no. 1 (October 1, 2019): 119–38.
https://doi.org/10.21580/jiafr.2019.1.1.3732.

24
Susilo, Edi. “Shariah Compliance Akad Rahn Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi
Kasus BMT Mitra Muamalah Jepara).” IQTISHADIA: Jurnal Ekonomi & Perbankan
Syariah 4, no. 1 (2017): 120–136.
WIJAYA, BIMA ADITIA. “RAHN ATAU GADAI,” n.d.

25
Yulianda, Windy Indah, and Muhammad Syaifullah. “Practical Of Syariah Pawn (Rahn) In
Fatwa Of National Shariah Board Indonesia Ulama Council (Case Study At Syariah
Indonesia National Bank (Bni).” International Journal Of Scientific & Technology
Research Volume 7 (2018).

26

Anda mungkin juga menyukai