Anda di halaman 1dari 17

HUKUM GADAI (RAHN)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Noventa Yudiar

Disusun Oleh:
(Kelompok 7)
Miroan Dohiroh (2151040288)
Nazdri Maulana Hasym (2151040301)
Putri Puspitasari (2151040323)

PRODI MANAJEMEN BISNIS SYARI’AH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Hukum Gadai (Rahn)”.
Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak dan sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak dan sumber yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Akhir kata dari
kami berharap semoga makalah tentang “Hukum Gadai (Rahn)” ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

B. Lampung, 9 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

2.1 Pengertian Gadai ...................................................................................... 3

2.2 Dasar Hukum Gadai (Rahn) ..................................................................... 4

2.3 Syarat dan Rukun Gadai ........................................................................... 7

2.4 Gadai Dalam Konteks Gadai Konvensional dan Syariah ....................... 10

BAB 3 PENUTUP .............................................................................................. 13

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 13

3.2 Saran ....................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia merupakan mahluk sosial yang saling membutuhkan, menerima dan
memberikan perang masing-masing, saling bermu’amalah untuk memenuhi
kebutuhan dan mencapai kemajuan dalam hidupnya.

Islam merupakan ajaran sempurna yang mengajarka berbagai aspek,


termasuk hubungan antara sesama manusia dalam bentuk mu’amalah sehingga
memberikan dampak kemaslahatan bagi umat manusia. Dengan sistem mu’amalah
kebutuhan tiap-tiap individu yang berbeda antara satu dengan lainnya dapat
terpenuhi dengan baik dan benar sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam kenyataan hidup ini ada kalanya seseorang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga diperlukan adanya bantuan pihak yang
berkecukupan dana (surplus) terhadap pihak yang mengalami kekurangan (deficit).
Bentuk bantuan tersebut dapat berupa bantuan tanpa ada pengembalian kembali
seperti zakat, infaq dan shadaqah ataupun pinjaman yang harus dikembalikan
minimal berupa pokok pinjamannya.

Untuk memenuhi kebutuhan, terkadang terpaksa meminjam uang dengan


suatu jaminan barang sebagai pegangan sekiranya uang pinjaman itu tidak dapat
dikembalikan. Alternatif pinjaman tersebut merupakan bentuk gadai, yang dalam
hukum ekonomi Islam dikenal dengan rahn yaitu suatu jenis perjanjian untuk
menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.

Pada hakekatnya sistem gadai pada saat ini merupakan suatu jenis mumalah
yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah SAW., beliau malakukan transaksi gadai
pada saat di Madinah dan tidak mempunyai uang untuk membeli gandum, maka
praktek yang dilakukan adalah dengan cara menggadaikan baju besi beliau kepada
orang Yahudi untuk dijadikan jaminan akan hutangnya.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gadai dan dasar hukumnya?
2. Apa saja syarat dan rukun sah dalam gadai?
3. Apa yang dimaksud dengan gadai dalam konteks gadai konvensional
dan syariah?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan gadai dan dasar hukumnya.
2. Mengetahui apa saja syarat dan rukun gadai.
3. Mengetahui gadai dalam konteks gadai konvensional dan syariah.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gadai


Gadai merupakan pinjam meminjam uang dalam batas waktu tetrtentu
dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya
tidak ditebus, maka barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman. Gadai
merupakan perjanjian (akad) pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang
sebagai tanggungan utang.1

Gadai dikenal dengan agunan (borg) merupakan barang yang


dijadikansebagai penguat kepercayaan dalam hutang piutang. Gadai yaitu hutang
yangdilakukan oleh seorang dengan jaminan suatu barang miliknya sebagai
tandapenguat (borg) hutangnya itu, sebanyak uang yang dihargakan terhadap
barangjaminan tersebut.

Dalam syari’at Islam yang dimaksud gadai adalah menjadikan suatubarang


yang bernilai menurut syara’, sebagai jaminan atas utang yang memungkinkan
terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikanpinjaman.

Gadai dikenal dengan ar-Rahn yang dalam bahasa Arab berarti al-
Habs(tertahan), yang menurut istilah pengertian al-Rahn berarti:
“Menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta lain dalampandangan
Syara’ untuk kepercayaan sesuatu utang, sehingga memungkinkan mengambil
seluruh atau sebagian utang dari benda itu.”

Pengertian Gadai Syariah (ar-Rahn) Secara etimologi, kata ar-Rahn berarti


tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-Rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan
barang jaminan, agunan dan rungguhan. Dalam Islam ar-Rahn merupakan sarana
saling tolong menolong (ta’awun) bagi umat Islam dengan tanpa adanya imbalan
jasa. Sedangkan secara terminologi, ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik
si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang tersebut

1
Chatimul Umam, dkk, Fiqih, (Kudus : PT. Menara Kudus, 1996), Cet. Ke-1, hal. 100

3
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperolah
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Jadi, ar-Rahn adalah semacam jaminan utang atau lebih dikenal dengan
istilah gadai. Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan
atas utang yang dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya dan
semua barang yang pantas sebagai barang dagangan dapat dijadikan jaminan.

Dalam kitab undang-undang hukum perdata Islam pasal 701


dinyatakanbahwa barang gadaian merupakan barang yang ditahan dan disisihkan
untukmendapat pembayaran suatu utang. Barang itu disebut barang yang
digadaikan(al-Marhun) dan disebut pula sebagai barang gadaian (al-rahn)”.

Gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi


milikpeminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan
barangyang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang
menahan(murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh
atausebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yangmenggadaikan
tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.

Gadai adalah menjadikan sesuatu benda yang berupa harta dan


adaharganya, sebagai jaminan hutang dan akan dijadikan pembayaran
hutangnyajika hutang itu tidak dapat dibayar. Benda yang boleh digadaikan sebagai
tanggungan utang adalah semua barang yang boleh dijual belikan, sehingga barang-
barang yang tidak boleh dijual-belikan maka tidak boleh digadaikan, karena pada
hakikatnya gadai berarti menjual nilai dari barang itu.2

2.2 Dasar Hukum Gadai (Rahn)


Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan hukum
Pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al
Quran dan Hadist Nabi SAW. Terdapat tiga landasan hukum Pegadaian Syariah,
yaitu Al Quran, hadist, dan ijtihad para ulama.

2
Muhamad Turmudi, Operasional Gadai Dalam Sisitem Hukum Ekonomi Islam, hal. 165

4
1. Al-Qur’an
Landasan hukum yang bersumber pada Al-Qur’an adalah Surat Al Baqarah
ayat 283, yang diterjemahkan sebagai berikut:

َ‫ضةٌ ۗفَا ِْن ا َ ِمن‬َ ‫سفَ ٍر َّولَ ْم ت َِجد ُْوا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقب ُْو‬ َ ‫ع ٰلى‬ َ ‫۞ َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم‬
‫ّٰللاَ َربَّهٗ ۗ َو ََل ت َ ْكت ُ ُموا‬
‫ق ه‬ ِ َّ ‫ضا فَ ْلي َُؤ ِد الَّذِى اؤْ ت ُ ِمنَ ا َ َمانَت َهٗ َو ْل َيت‬
ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬ ُ ‫َب ْع‬
ࣖ ‫ع ِل ْي ٌم‬ ‫ش َهادَ ۗة َ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْم َها فَ ِانَّهٗ ٓٗ ٰاثِ ٌم َق ْلبُهٗ ۗ َو ه‬
َ َ‫ّٰللاُ ِب َما ت َ ْع َملُ ْون‬ َّ ‫ال‬
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”3
2. Hadits
Terdapat empat hadist yang menjadi landasan hukum Pegadaian Syariah,
yaitu:
a. Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda: Rasulullah membeli makanan dari
seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi (HR Bukhari dan
Muslim). 4
b. Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan
barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat
dan menanggung risikonya (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu
Majah). 5
c. Nabi Bersabda: Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat
diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan

3
QS. Al-Baqarah : 283
4
HR Bukhari dan Muslim
5
HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah

5
kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan (HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai). 6
d. Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: Apabila ada ternak digadaikan,
maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan,
maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima
gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang
yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya
(HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari).7
3. Ijtihad Ulama
Ijtihad atau kesepakatan para ulama membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985). Ijtihad tersebut diperkuat dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang
menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan berikut:
a. Ketentuan Umum:
1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang)
dilunasi.
2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban rahin.
4) Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

6
HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai
7
HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari

6
5) Penjualan marhun
a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi.
c) Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.
b. Ketentuan Penutup
1) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan
sebagai mana mestinya.8

2.3 Syarat dan Rukun Gadai


Dalam pelaksanaannya, ada rukun dan syarat yang harus terpenuhi sehingga
gadai tersebut sesuai dengan syariah. Rukun dan syarat tersebut adalah:
1. Ar Rahin yaitu orang yang menggadaikan. Ar rahin disyaratkan merupakan
orang yang sudah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang
digadaikan.
2. Al Murtahin yaitu yang menerima gadai. Al Murtahin merupakan orang, bank
atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan
jaminan barang (gadai). Tentang rahin dan murtahin diisyaratkan keduanya
merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan Hukum
sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam yaitu berakal dan baligh.

8
Nurmala, dkk, Pegadaian Syariah dalam Tinjauan Konseptual, hal. 3-4

7
3. Al Marhun/rahn yaitu barang yang digadaikan. Marhun merupakan barang
yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
Marhun disyaratkan sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga
barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Dalam operasional pegadaian syariah, marhun disyaratkan, sebagai berikut:
a) Dapat diperjualbelikan
b) Harus berupa harta yang bernilai
c) Harus bias dimanfaatkan secara syariah
d) Harus diketahui keadaan fisiknya
e) Harus dimiliki rahin
4. Al Marhun bih (utang) yakni sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada
rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk marhun bih, yaitu:
a) Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada
pemiliknya.
b) Memungkinkan pemanfaatannya.
c) Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
5. Sighat, Ijab dan Qabul yaitu kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam
melakukan transaksi gadai.
1) Syarat sighat yang harus dipenuhi dalam operasional pegadaian syriah
yaitu: Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan
suatuwaktu dimasa depan
2) Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang sepertihalnya
akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu ataudengan
suatu waktu dimasa depan.9
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh
memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, sebab rahnjual-
bel, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.

9
Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi PSAK Syariah,
(Yogyakarta: P3EI Press), hal. 57

8
Menurut Sayyid Shabiq, gadai itu baru dianggap sah apabila
memenuhiempat syarat, yaitu orangnya sudah dewasa, berfikiran sehat, barang
yangdigadaikan, sudah ada pada saat terjadi aqad gadai dan barang gadaian itu
dapatdiserahkan/ dipegang oleh penggadai.
Disyaratkan kedua orang yang menggadaikan dan yang menerima
gadaiharus sehat akal pikirannya, mereka tidak perlu harus sudah dewasa. Jadi
seorang anak yang bisa membedakan baik dan buruk (mumayiz) dapat
menjadirahin (yang menggadaikan) atau murtahin (yang menerima gadai).
Ulama Hanafiyah mensyaratkan gadai sebagai berikut:
1) Dalam hal lafadz, dapat dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan,
asalkan saja di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai
diantara para pihak.
2) Orang yang beraqad disyaratkan orang yang cakap untuk melakukan
sesuatuperbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam, yaitu
berakal dan baligh.
3) Harta yang dijadikan agunan haruslah merupakan barang milik si
pemberigadai, dan barang itu ada pada saat diadakan perjanjian gadai.
Menyangkutbarang yang dijadikan agunan ini dapat dari macam-macam
jenis yangpenting agunan itu bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
utang, danbarang gadaian tersebut berada di bawah penguasaan penerima
gadai.
4) Utang disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata utang
tersebutbukan utang bertambah-tambah dan utang merupakan hak
wajibdikembalikan kepada kreditur serta utang bisa dilunasi dengan
agunan tersebut.10

Dari rukun dan syarat yang dikemukakan, untuk menggadaikan barang di


pegadaian syariah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Barang yang tidak bias dijual tidak boleh digadaikan

10
Chaeruman Pasaribu, dan Suhgrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, hal. 141

9
2. Tidak sah menggadaikan barang rampasan (gasab) atau barang pinjaman dan
semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.
3. Gadai tidak sah apabila hutangnya tidak pasti.
4. Hutang piutang dalam gadai harus diketahui oleh kedua belah pihak.
5. Barang harus diterima pegadaian.
6. Jika barang belum diterima, akad gadai boleh batal.
7. Jika barang sudah diterima, akad gadai tida boleh dibatalkan.
8. Pembtalan boleh dilakukan dengan ucapan mauoun tindakan.
9. Barang gadai adalah amanah ditangan penerima gadai.
10. Jika barang gadai musnah tanpa kesengajaan maka pegadaian tidak wajib
menggantinya. Tetapi jika ada unsure kesengajaan dari pegadaian, maka
pegadaian wajib menggantinya.11

2.4 Gadai Dalam Konteks Gadai Konvensional dan Syariah


Pada dasarnya konstruksi hukum gadai syariah (rahn) adalah identik dengan
gadai konvensional, yaitu: sama-sama memandang perjanjian gadai sebagai
perjanjian ikutan (accessoir) dari perjanjilin pokok yang dijamin, obyek gadai
adalah benda bergerak, benda gadai dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai, hak
utama kreditur penerima gadai adalah menjual benda gadai (eksekusi) dalam hal
debitur wanprestasi untuk mengambil pelunasan dengan kewajiban mengembalikan
uang sisa hasil penjualan (eksekusi).

Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah
yaitu, akad rahn dan akad ijaroh. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik
si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Dengan akad ini Pegadaian rnenahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang
nasabah.

Akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas

11
Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi PSAK Syariah,
(Yogyakarta: P3EI Press), hal. 58-59

10
barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad
rukun dari akad transaksi tersebut.

Mekanisme operasional Pegadaian Syariah melalui akad rahn, nasabah


menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan
merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul
dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi
tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas
dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai
jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi


akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang
jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas. Marhunbih (Pinjaman). Pinjaman
merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan
barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu. Marhun bisa
dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,
milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan
baik materi maupun manfaatnya. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi
barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur. Rahin
dibebani jasa manajemen atas barang berupa biaya asuransi, biaya penyimpanan,
biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi. 12

Adapun yang menjadi perbedaan antara gadai konvensional dengan gadai


syariah adalah dari segi prinsip, gadai konvensional menggunakan prinsip
berdasarkan pada hukum perdata sedangkan gadai syariah/arrahn menggunakan
prinsip berdasarkan hukum Islam. Dari sumber hukum, gadai konvensional
rnerujuk kepada KUHPerdata, sedangkan gadai syariah bersumber pada Alquran,
Hadits, ljtihad Ulama dan Fatwa Dewan Syariah Nasional.

12
Febri Gunawan, dkk, Studi Komparatif Antara Gadai Konvensional dan Gadai Syariah (Rahn),
hal. 73-74

11
Perbedaan prinsip antara gadai syariah dan konvensional tersebut dalam
prakteknya dapat dilihat dari segi tekhnis operasional yang dilakukan pada PT.
Pegadaian dan PT. Pegadaian Syariah, yakni gadai konvensional menggunakan
bunga sedangkan gadai syariah pinjaman, menggunakan pendekatan bagi hasil
(mudharabah) atau feebased income, dengan sistem ijarah. Gadai konvensional
berlaku satu perjanjian saja yakni hutang piutang dengan penyerahan barang
sebagai jaminan, sedangkan gadai syariah perjanjian dilakukan dengan akad, yakni
tergantung pada jenis akad atau pinjaman yang akan dilakukan dengan
menggunakan harta sebagai barang jaminan, yang terdiri dari akad rahn, akad
ijarah, akad qardh hasan, akad mudharabah, akad bai muqayyadah dan akad
musyarakah.

Gadai konvensional selain bertujuan untuk menolong masyaraat ekonomi


lemah juga berorientasi pada bisnis oriented yakni menarik keuntungan melalui
penarikan bunga atas sewa modal. Sedangkan gadai syariah dilakukan murni secara
sukarela atas dasar tolong menolong (ta'awun) tanpa mencarikeuntungan atau
berfungsi sosial.13

13
Febri Gunawan, dkk, Studi Komparatif Antara Gadai Konvensional dan Gadai Syariah (Rahn),
hal. 76

12
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konstruksi hubungan hukum Rahn (Gadai Syariah) identik (persamaan dalam
unsur) dengan konstruksi hubungan hukum gadai (pand) menurut KUH. Perdata,
yaitu sebagai perjanjian ikutan (accessoir) terhadap perjanjian pokok yang pada
umumnya berupa perjanjian peminjaman sejumlah uang, obyeknya berupa benda
bergerak dan benda tersebut harus dikeluarkan dari kekuasaan debitur (asas
inbezitstelling), dan memberikan hak kepada kreditur untuk mengambil pelunasan
lebih dahulu atas hasil eksekusi benda yang secara khusus diperikatkan. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa Rahn sebagai varian dari ketentuan gadai (pand)
dalam KUH. Perdata, sehingga berbagai ketentuan dalam gadai (pand) yang bersifat
lebih lengkap dan rinci dapat diterapkan dalam Rahn dengan penerapan secara
analogi dalam rangka pembentukan hukumnya. Sedangkan perbedaannya adalah
pada transaksi pokok yang dijamin, dimana dalam Rahn merupakan transaksi
peminjaman sejumlah uang tanpa bunga, sedangkan dalam gadai (pand) pada
umumnya adalah transaksi peminjaman uang dengan disertai bunga. Kedudukan
Rahn dalam sistematika hukum jaminan nasional adalah sebagai salah satu sub
sistem yang mengatur tentang lembaga jaminan benda bergerak.

3.2 Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.

Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

13
DAFTAR PUSTAKA
Turmudi, Muhamad Operasional Gadai Dalam Sisitem Hukum Ekonomi Islam,
(Kendari : IAIN Kendari, 2016)

Umam, Chatimul, dkk, Fiqih, cet. ke-1 (Kudus : PT. Menara Kudus, 1996)

Muhammad, Rifqi, Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi


PSAKSyariah, (Yogyakarta: P3EI Press, 2010)

Pasaribu, Chairuman dan Suhgrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,


(Jakarta : PT Sinar Garafika, 1994)

Nurmala, dkk, Pegadaian Syariah dalam Tinjauan Konseptual, ttp.

Febri Gunawan, dkk, Studi Komparatif Antara Gadai Konvensional dan Gadai
Syariah (Rahn), (Metro : IAIN Metro, 2022)

14

Anda mungkin juga menyukai