Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu: Noventa Yudiar
Disusun Oleh:
(Kelompok 7)
Miroan Dohiroh (2151040288)
Nazdri Maulana Hasym (2151040301)
Putri Puspitasari (2151040323)
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Hukum Gadai (Rahn)”.
Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak dan sumber sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak dan sumber yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Akhir kata dari
kami berharap semoga makalah tentang “Hukum Gadai (Rahn)” ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam kenyataan hidup ini ada kalanya seseorang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga diperlukan adanya bantuan pihak yang
berkecukupan dana (surplus) terhadap pihak yang mengalami kekurangan (deficit).
Bentuk bantuan tersebut dapat berupa bantuan tanpa ada pengembalian kembali
seperti zakat, infaq dan shadaqah ataupun pinjaman yang harus dikembalikan
minimal berupa pokok pinjamannya.
Pada hakekatnya sistem gadai pada saat ini merupakan suatu jenis mumalah
yang pernah dipraktekan oleh Rasulullah SAW., beliau malakukan transaksi gadai
pada saat di Madinah dan tidak mempunyai uang untuk membeli gandum, maka
praktek yang dilakukan adalah dengan cara menggadaikan baju besi beliau kepada
orang Yahudi untuk dijadikan jaminan akan hutangnya.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gadai dan dasar hukumnya?
2. Apa saja syarat dan rukun sah dalam gadai?
3. Apa yang dimaksud dengan gadai dalam konteks gadai konvensional
dan syariah?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan gadai dan dasar hukumnya.
2. Mengetahui apa saja syarat dan rukun gadai.
3. Mengetahui gadai dalam konteks gadai konvensional dan syariah.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Gadai dikenal dengan ar-Rahn yang dalam bahasa Arab berarti al-
Habs(tertahan), yang menurut istilah pengertian al-Rahn berarti:
“Menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta lain dalampandangan
Syara’ untuk kepercayaan sesuatu utang, sehingga memungkinkan mengambil
seluruh atau sebagian utang dari benda itu.”
1
Chatimul Umam, dkk, Fiqih, (Kudus : PT. Menara Kudus, 1996), Cet. Ke-1, hal. 100
3
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperolah
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Jadi, ar-Rahn adalah semacam jaminan utang atau lebih dikenal dengan
istilah gadai. Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan
atas utang yang dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya dan
semua barang yang pantas sebagai barang dagangan dapat dijadikan jaminan.
2
Muhamad Turmudi, Operasional Gadai Dalam Sisitem Hukum Ekonomi Islam, hal. 165
4
1. Al-Qur’an
Landasan hukum yang bersumber pada Al-Qur’an adalah Surat Al Baqarah
ayat 283, yang diterjemahkan sebagai berikut:
َضةٌ ۗفَا ِْن ا َ ِمنَ سفَ ٍر َّولَ ْم ت َِجد ُْوا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقب ُْو َ ع ٰلى َ ۞ َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم
ّٰللاَ َربَّهٗ ۗ َو ََل ت َ ْكت ُ ُموا
ق ه ِ َّ ضا فَ ْلي َُؤ ِد الَّذِى اؤْ ت ُ ِمنَ ا َ َمانَت َهٗ َو ْل َيت
ً ض ُك ْم َب ْع ُ َب ْع
ࣖ ع ِل ْي ٌم ش َهادَ ۗة َ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْم َها فَ ِانَّهٗ ٓٗ ٰاثِ ٌم َق ْلبُهٗ ۗ َو ه
َ َّٰللاُ ِب َما ت َ ْع َملُ ْون َّ ال
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”3
2. Hadits
Terdapat empat hadist yang menjadi landasan hukum Pegadaian Syariah,
yaitu:
a. Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda: Rasulullah membeli makanan dari
seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi (HR Bukhari dan
Muslim). 4
b. Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan
barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat
dan menanggung risikonya (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu
Majah). 5
c. Nabi Bersabda: Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat
diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan
3
QS. Al-Baqarah : 283
4
HR Bukhari dan Muslim
5
HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah
5
kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan (HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai). 6
d. Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: Apabila ada ternak digadaikan,
maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan,
maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima
gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang
yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya
(HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari).7
3. Ijtihad Ulama
Ijtihad atau kesepakatan para ulama membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985). Ijtihad tersebut diperkuat dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang
menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan berikut:
a. Ketentuan Umum:
1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang)
dilunasi.
2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya
marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin,
dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu
sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi
kewajiban rahin.
4) Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
6
HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai
7
HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari
6
5) Penjualan marhun
a) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
b) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi.
c) Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.
b. Ketentuan Penutup
1) Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
2) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan
sebagai mana mestinya.8
8
Nurmala, dkk, Pegadaian Syariah dalam Tinjauan Konseptual, hal. 3-4
7
3. Al Marhun/rahn yaitu barang yang digadaikan. Marhun merupakan barang
yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
Marhun disyaratkan sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga
barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Dalam operasional pegadaian syariah, marhun disyaratkan, sebagai berikut:
a) Dapat diperjualbelikan
b) Harus berupa harta yang bernilai
c) Harus bias dimanfaatkan secara syariah
d) Harus diketahui keadaan fisiknya
e) Harus dimiliki rahin
4. Al Marhun bih (utang) yakni sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada
rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk marhun bih, yaitu:
a) Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada
pemiliknya.
b) Memungkinkan pemanfaatannya.
c) Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
5. Sighat, Ijab dan Qabul yaitu kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam
melakukan transaksi gadai.
1) Syarat sighat yang harus dipenuhi dalam operasional pegadaian syriah
yaitu: Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan
suatuwaktu dimasa depan
2) Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang sepertihalnya
akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu ataudengan
suatu waktu dimasa depan.9
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh
memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, sebab rahnjual-
bel, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
9
Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi PSAK Syariah,
(Yogyakarta: P3EI Press), hal. 57
8
Menurut Sayyid Shabiq, gadai itu baru dianggap sah apabila
memenuhiempat syarat, yaitu orangnya sudah dewasa, berfikiran sehat, barang
yangdigadaikan, sudah ada pada saat terjadi aqad gadai dan barang gadaian itu
dapatdiserahkan/ dipegang oleh penggadai.
Disyaratkan kedua orang yang menggadaikan dan yang menerima
gadaiharus sehat akal pikirannya, mereka tidak perlu harus sudah dewasa. Jadi
seorang anak yang bisa membedakan baik dan buruk (mumayiz) dapat
menjadirahin (yang menggadaikan) atau murtahin (yang menerima gadai).
Ulama Hanafiyah mensyaratkan gadai sebagai berikut:
1) Dalam hal lafadz, dapat dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan,
asalkan saja di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai
diantara para pihak.
2) Orang yang beraqad disyaratkan orang yang cakap untuk melakukan
sesuatuperbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam, yaitu
berakal dan baligh.
3) Harta yang dijadikan agunan haruslah merupakan barang milik si
pemberigadai, dan barang itu ada pada saat diadakan perjanjian gadai.
Menyangkutbarang yang dijadikan agunan ini dapat dari macam-macam
jenis yangpenting agunan itu bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
utang, danbarang gadaian tersebut berada di bawah penguasaan penerima
gadai.
4) Utang disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata utang
tersebutbukan utang bertambah-tambah dan utang merupakan hak
wajibdikembalikan kepada kreditur serta utang bisa dilunasi dengan
agunan tersebut.10
10
Chaeruman Pasaribu, dan Suhgrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, hal. 141
9
2. Tidak sah menggadaikan barang rampasan (gasab) atau barang pinjaman dan
semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.
3. Gadai tidak sah apabila hutangnya tidak pasti.
4. Hutang piutang dalam gadai harus diketahui oleh kedua belah pihak.
5. Barang harus diterima pegadaian.
6. Jika barang belum diterima, akad gadai boleh batal.
7. Jika barang sudah diterima, akad gadai tida boleh dibatalkan.
8. Pembtalan boleh dilakukan dengan ucapan mauoun tindakan.
9. Barang gadai adalah amanah ditangan penerima gadai.
10. Jika barang gadai musnah tanpa kesengajaan maka pegadaian tidak wajib
menggantinya. Tetapi jika ada unsure kesengajaan dari pegadaian, maka
pegadaian wajib menggantinya.11
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah
yaitu, akad rahn dan akad ijaroh. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik
si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Dengan akad ini Pegadaian rnenahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang
nasabah.
Akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
11
Rifqi Muhammad, Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implementasi PSAK Syariah,
(Yogyakarta: P3EI Press), hal. 58-59
10
barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad
rukun dari akad transaksi tersebut.
12
Febri Gunawan, dkk, Studi Komparatif Antara Gadai Konvensional dan Gadai Syariah (Rahn),
hal. 73-74
11
Perbedaan prinsip antara gadai syariah dan konvensional tersebut dalam
prakteknya dapat dilihat dari segi tekhnis operasional yang dilakukan pada PT.
Pegadaian dan PT. Pegadaian Syariah, yakni gadai konvensional menggunakan
bunga sedangkan gadai syariah pinjaman, menggunakan pendekatan bagi hasil
(mudharabah) atau feebased income, dengan sistem ijarah. Gadai konvensional
berlaku satu perjanjian saja yakni hutang piutang dengan penyerahan barang
sebagai jaminan, sedangkan gadai syariah perjanjian dilakukan dengan akad, yakni
tergantung pada jenis akad atau pinjaman yang akan dilakukan dengan
menggunakan harta sebagai barang jaminan, yang terdiri dari akad rahn, akad
ijarah, akad qardh hasan, akad mudharabah, akad bai muqayyadah dan akad
musyarakah.
13
Febri Gunawan, dkk, Studi Komparatif Antara Gadai Konvensional dan Gadai Syariah (Rahn),
hal. 76
12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konstruksi hubungan hukum Rahn (Gadai Syariah) identik (persamaan dalam
unsur) dengan konstruksi hubungan hukum gadai (pand) menurut KUH. Perdata,
yaitu sebagai perjanjian ikutan (accessoir) terhadap perjanjian pokok yang pada
umumnya berupa perjanjian peminjaman sejumlah uang, obyeknya berupa benda
bergerak dan benda tersebut harus dikeluarkan dari kekuasaan debitur (asas
inbezitstelling), dan memberikan hak kepada kreditur untuk mengambil pelunasan
lebih dahulu atas hasil eksekusi benda yang secara khusus diperikatkan. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa Rahn sebagai varian dari ketentuan gadai (pand)
dalam KUH. Perdata, sehingga berbagai ketentuan dalam gadai (pand) yang bersifat
lebih lengkap dan rinci dapat diterapkan dalam Rahn dengan penerapan secara
analogi dalam rangka pembentukan hukumnya. Sedangkan perbedaannya adalah
pada transaksi pokok yang dijamin, dimana dalam Rahn merupakan transaksi
peminjaman sejumlah uang tanpa bunga, sedangkan dalam gadai (pand) pada
umumnya adalah transaksi peminjaman uang dengan disertai bunga. Kedudukan
Rahn dalam sistematika hukum jaminan nasional adalah sebagai salah satu sub
sistem yang mengatur tentang lembaga jaminan benda bergerak.
3.2 Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
13
DAFTAR PUSTAKA
Turmudi, Muhamad Operasional Gadai Dalam Sisitem Hukum Ekonomi Islam,
(Kendari : IAIN Kendari, 2016)
Umam, Chatimul, dkk, Fiqih, cet. ke-1 (Kudus : PT. Menara Kudus, 1996)
Febri Gunawan, dkk, Studi Komparatif Antara Gadai Konvensional dan Gadai
Syariah (Rahn), (Metro : IAIN Metro, 2022)
14