Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

UTANG PIUTANG, HIWALAH DAN WAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas

Mata kuliah: Fiqih Muamalah dan Jinayah

Dosen pengampu: Widodo Hami, M.Ag

Disusun oleh:

1. Ahmad Khotib Al Chariz (2121116)

2. Susi Sulistyoningsih (2121117)

3. Siti Nur Hidayah (2121121)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan
karunia-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi
Agung Muhammad Saw. yang selalu kita nantikan syafaatnya kelak di hari kiamat.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah Swt. atas nikmat-Nya yang masih
memberikan kami kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan
makalah ini dengan judul, “Hutang Piutang, Hiwalah, dan Wakalah”

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah dan Jinayah.
Dalam makalah ini membahas tentang pengertian Qardh, pengertian Hiwalah, pengertian
Wakalah, dasar hukum Qardh, dasar hukum Hiwalah, pengertian Wakalah, syarat dan
rukun Qardh, syarat dan rukun Hiwalah, syarat dan rukun Wakalah, pembagian Hiwalah,
pembagian Wakalah, aplikasi Qardh dan aplikasi Hiwalah di perbankan syari’ah.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan juga
penulis. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan guna
terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Pekalongan, 22 Maret 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I......................................................................................................................................1

PENDAHULUAN..................................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................................1

C. Tujuan Rumusan Masalah......................................................................................................1

BAB II....................................................................................................................................3

PEMBAHASAN....................................................................................................................3

A. Pengertian Qardh, Hiwalah dan Wakalah..............................................................................3

B. Dasar Hukum Qardh, Hiwalah, dan Wakalah........................................................................5

C. Syarat dan Rukun Qardh, Hiwalah, dan Wakalah................................................................10

D. Pembagian Hiwalah dan Wakalah........................................................................................16

E. Aplikasi Qardh dan Hiwalah di Perbankan Syari’ah............................................................18

BAB III.................................................................................................................................20

PENUTUP............................................................................................................................20

A. Simpulan..............................................................................................................................20

B. Saran....................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa modern seperti sekarang ini, segala tentang muamalah semakin
dibutuhkan dan bervariasi. Seperti utang-piutang yang berkonotasi pada uang dan
barang yang dipinjam dengan kewajiban untuk membayar kembali apa yang sudah
diterima dengan yang sama. Kemudian hiwalah yang merupakan pemindahan suatu
hutang dari pihak satu ke pihak yang lain. Juga wakalah yang merupakan usaha
seseorang dalam menguasakan sesuatu yang boleh baginya melakukan sendiri dari
barang yang dapat memperoleh pengantian dengan orang lain itu melakukan
sesuatu tersebut ketika dia masih hidup. Akan tetapi, sekarang kita hidup di masa
yang jauh dengan masa Nabi Muhammad Saw. di mana semua hukum yang
mengatur segala kehidupan termasuk bermuamalah dietetapkan, sehingga tidak
jarang banyak hal-hal yang melenceng dalam bermuamalah, termasuk dalam utang-
piutang, hiwalah dan wakalah. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dijelaskan
pengertian utang-piutang, hiawalah dan wakalah, kemudian dasar-dasar hukum,
syarat dan rukun serta pengaplikasiannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Qardh, Hiwalah, dan Wakalah ?

2. Apa dasar-dasar hukum Qardh, Hiwalah, dan Wakalah ?

3. Apa saja syarat dan rukun Qardh, Hiwalah, dan Wakalah

4. Apa saja Pembagian Hiwalah dan Wakalah ?

5. Bagaimana pengaplikasian Qardh dan Hiwalah di perbankan syari’ah ?

C. Tujuan Rumusan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Qardh, Hiwalah, dan Wakalah.

1
2. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum Qardh, Hiwalah, dan Wakalah.

3. Untuk mengetahui syarat dan rukun Qardh, Hiwalah, dan, Wakalah.

4. Untuk mengetahui pembagian Hiwalah dan Wakalah.

5. Untuk mengetahui pengaplikasian Qardh, Hiwalah, dan Wakalah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qardh, Hiwalah dan Wakalah


1. Pengertian Qardh

Secara etimologi, utang-piutang (qardh) berasal dari kata ‫قرضا – يقرض‬


‫رض‬FF‫ ق‬yang bermakna ‫قطع‬, maksudnya adalah memutus atau memotong. 1
Qardh merupakan mashdar dari ‫رض‬FF‫رض ق‬FF‫ا – يق‬FF‫ قرض‬yang memiliki makna
putus. Sedangkan menurut Rahmat Syafei, qardh adalah sinonim dari al-qath,
maksudnya adalah potongan dari harta orang yang memberikan pinjaman.2
Qardh memiliki sinonim makna dengan perjanjian pinjam-meminjam yang
ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 yang
berbunyi:“Pinjam-meminjam ialah suatu perjanjian yang mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah barang atau uang yang habis
karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang lain ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari barang atau uang yang
dipinjamnya”.

Sedangkan dalam literatur fiqh terdapat banyak pendapat terkait dengan


Qardh, di antaranya:
a. Berdasarkan pendapat Syafi’iyah yang dikutip oleh Ahmad Wardi
Muslich, ialah:

Artinya:
“Syafi’iyah berpendapat bahwa qardh (utang-piutang) dalam istilah
syara’ dimaknakan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain
(yang pada suatu saat harus dikembalikan).”
1
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: PP. al-Munawwir,
1997), hlm. 1108.
2
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), hlm.
331.

3
b. Berdasarkan pendapat Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili
Al- qardh (utang-piutang) adalah harta yang memiliki kesepadanan yang
diberikan untuk ditagih kembali. Atau dengan kata lain, suatu transaksi
yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan
kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.
c. Berdasarkan pendapat Yazid Afandi Al- qardh (utang-piutang) ialah
memberikan harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, untuk
dikembalikan dengan pengganti yang sama dan dapat ditagih kembali
kapan saja sesuai kehendak yang menghutangi. Akad qardh ialah akad
tolong menolong bertujuan untuk meringankan beban orang lain.”
d. Berdasarkan pendapat Gufron A. Mas’adi, Al-qardh (utang-piutang)
adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan pengembalian yang
sama. Sedangkan utang ialah kebalikan definisi piutang, yakni menerima
sesuatu (uang/barang) dari seseorang dengan perjanjian ia akan
membayar atau mengembalikan utang tersebut dalam jumlah yang sama
pula.
Jadi dapat dipahami bahwa qardh (utang-piutang) adalah akad
yang dilaksanakan oleh dua orang bilamana diantara dari dua orang
tersebut mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan
harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan
harta tersebut senilai dengan apa yang diambilnya dahulu, atau suatu
akad antara dua pihak bilamana pihak pertama menyerahkan uang atau
barang kepada pihak kedua, guna dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa
uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis seperti apa yang ia
terima dari pihak pertama. Qardh (utang-piutang) pada dasarnya
merupakan format akad yang bercorak ta’awun (pertolongan) dan kasih
sayang kepada pihak lain yang membutuhkan. Sebab memberi pinjaman
ialah perbuatan ma’ruf yang dapat menanggulangi kesulitan sesama
manusia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pinjaman lebih baik
daripada sedekah, karena sesorang tidak bakal meminjam kecuali bila
sangat membutuhkan.

4
2. Pengertian Hiwalah
Menurut Bahasa, hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya adalah
memindahkan atau mengoperkan.3 Secara istilah para ulama berbeda
pendapat tentang pengertian hiwalah ini, menurut hanafiah mengidefinisikan
hiwalah adalah perpindahan dari seseorang ke orang lain, yang kedua
menurut malikiah mendefinisikan hiwalah adalah perpindahan hutang dari
seseorang ke orang lain dengan nilai yang sama dan orang yang berhutang
terbebas dari tanggungan untuk membayar hutangnya, sedangkan menurut
ulama syafiiah mendefinisikan hiwalah adalah akad yang bertujuan untuk
memindahkan suatu hutang, dari tanggung jawab ( satu pihak) menjadi
tanggung jawab pihak lain, sedangkan menurut ulama hanabila memberikan
pengertian bahwa hiwalah adalah perpindahan hak dari tanggung jawab
muhil kepada tanggung jawab muhal’alaih. 4 Maka dapat disimpulkan bahwa
definisi hiwalah adalah permindahan suatu hutang dari pihak satu ke pihak
yang lainnya.
3. Pengertian Wakalah
Wakalah menurut bahasa adalah pasrah.5 Sedangkan dalam pengertian
syara’ wakalah adalah usaha seseorang dalam menguasakan sesuatu yang
boleh baginya melakukan sendiri dari barang yang dapat memperoleh
pengantian dengan orang lain itu melakukan sesuatu tersebut ketika dia masih
hidup.6
B. Dasar Hukum Qardh, Hiwalah, dan Wakalah
1. Dasar Hukum Qardh
Konsensus Para Ulama’ bahwa qardh hukumnya dibolehkan
berdasarkan AI-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Adapun dalil dari AI-
Qur’an antara lain Firman Allah Swt. dalam surat AI-Muzammil ayat 20
sebagai berikut.
3
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 99.
4
Syafri Muhammad Noor, Lc, Akad Hiwalah ( Fiqih Pengalihan Hutang ), ( Jakarta Selatan:
Rumah Fiqih Publishing, 2019), hlm. 8.
5
Syaikh Al-Imam Al-Alim Al-Alammah Syamsudduin Abu Abdillah Muhammad Bin Qosim
Asy-Syafi’i, Terjemah Fathul Qorib Al-Mujib, ( Kudus: Menara Kudus, 1983), hlm. 270.
6
Syaikh Al-Imam Al-Alim Al-Alammah Syamsudduin Abu Abdillah Muhammad Bin Qosim
Asy-Syafi’i.., hlm. 8.

5
‫ك يَ ْعلَ ُم اَنَّكَ تَقُوْ ُم اَ ْد ٰنى ِم ْن ثُلُثَ ِي الَّ ْي ِل َو نِصْ فَهٗ َوثُلُثَهٗ َوطَٓاِئفَةٌ ِّمنَ الَّ ِذ ْينَ َم َعكَ  ۗ  َوا هّٰلل ُ يُقَ ِّد ُر الَّي َْل َوا لنَّهَا‬ َ َّ‫اِ َّن َرب‬
‫ۙ و ٰا‬
َ  ‫ضى‬ ٰ ْ‫ب َعلَ ْي ُك ْم فَا ْق َرءُوْ ا َما تَيَ َّس َر ِمنَ ْالقُرْ ٰا ِن ۗ  َعلِ َم اَ ْن َسيَ ُكوْ نُ ِم ْن ُك ْم َّمر‬ َ ‫َر ۗ  َعلِ َم اَ ْن لَّ ْن تُحْ صُوْ هُ فَتَا‬
‫ۙ و ٰا َخرُوْ نَ يُقَا تِلُوْ نَ فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ ۖ فَا ْق َرءُوْ ا َما‬ ‫هّٰللا‬
َ  ِ ‫ن ِم ْن فَضْ ِل‬Fَ ْ‫ض يَ ْبتَ ُغو‬ ِ ْ‫َخرُوْ نَ يَضْ ِربُوْ نَ فِى ااْل َ ر‬
‫تَيَس ََّر ِم ْنهُ ۙ  َواَ قِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰا تُوا ال َّز ٰكوةَ َواَ ْق ِرضُوا هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا ۗ  َو َما تُقَ ِّد ُموْ ا اِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ِّم ْن خَ ي ٍْر‬
‫تَ ِج ُدوْ هُ ِع ْن َد هّٰللا ِ هُ َو َخ ْيرًا َّواَ ْعظَ َم اَجْ رًا ۗ  َوا ْستَ ْغفِرُوا هّٰللا َ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬

Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri


(sholat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama
kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui
bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu
itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara
kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi berperang di
jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada
Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk
dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan
yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Q.S AI-Muzammil: 20)
Qardh diperbolehkan dalam Islam yang didasarkan pada as-sunnah
dan ijma’. Nabi Muhammad Saw. bersabda:

6
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW. bersabda, tidak ada
seorang muslim yang menukarkan kepada seorang muslim qorodh dua kali,
maka seperti sedekah sekali”. (HR. Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban)
Berdasarkan konsensus kaum muslimin (ijma’), dihasilkan bahwa
qardh dibolehkan dalam Islam. Hukum qardh ialah dianjurkan bagi muqridh
(orang yang membayar) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang diajak akad
qardh), berdasarkan hadis di atas. Juga ada hadis lainnya:

Artinya: Abu Hurairah berkata,” Rasulallah Saw. Telah bersabda,”Barang


siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-
kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskan dia dari kesusahan-
kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang
yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya didunia
dan di akhirat, dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah
menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah selamanya menolong
hamba-Nya.”
2. Dasar Hukum Hiwalah
Hiwalah sebagai salah satu bentuk ikatan atau transaksi antar sesama
manusia dibenarkan oleh Rasulullah Saw. melalui sabda beliau yang
menyatakan:

‫مطل الغني ظلم وإذا اتبع أحدكـم على ملـي فـاليتيغ‬.


* ‫* رواه الجماعة‬
Artinya: “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan orang kaya
merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang
yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih.” (HR al Jama'ah
[mayoritas pakar hadis] dengan lafal yang berbeda).
Di samping itu, terdapat kesepakatan ulama (ijma') yang menyatakan
bahwa tindakan hiwalah boleh dilakukan. Mazhab Hanafi membagi hiwalah

7
kepada beberapa bagian. Ditinjau dari segi obyek akad, hiwalah dapat dibagi
dua. Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut utang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak). Sedangkan jika
yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang). Ditinjau dari sisi lain,
hiwalah terbagi dua pula, yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran
utang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-hiwalah al-
muqayyadah (pemindahan bersyarat) dan pemindahan utang yang tidak
ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak
kedua yang disebut al-hiwalah al-muthlaqah (pemindahan mutlak).
Contoh al-hiwalah al-muqayyadah: Syarif berpiutang kepada Kasman
sebesar satu juta rupiah, sedangkan Kasman berpiutang kepada Rusman juga
sebesar satu juta ringgit. Kasman kemudian memindahkan atau mengalihkan
haknya untuk menuntut piutangnya yang terdapat pada Rusman, kepada
Syarif, sebagai ganti dari pembayaran utang Kasman kepada Syarif. Dengan
demikian, al-hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-
haqq, karena Kasman mengalihkan hak menuntut piutangnya dari Rusman
kepada Syarif. Sedangkan pada sisi lain, sekaligus merupakan hiwalah ad-
dain, karena Kasman mengalihkan kewajibannya membayar hutang kepada
Rusman menjadi kewajiban Rusman kepada Syarif.
Sedangkan contoh al-hiwalah al-muthlaqah: Ahmad berhutang kepada
Burhan sebesar satu juta rupiah. Sulis berhutang kepada Ahmad juga sebesar
satu juta rupiah. Ahmad mengalihkan hutangnya kepada Sulis sehingga Sulis
berkewajiban membayar hutang Ahmad kepada Burhan, tanpa menyebutkan
bahwa pemindahan hutang itu sebagai ganti dari pembayaran hutang Sulis
kepada Ahmad. Dengan demikian al-hiwalah al-muthlaqah hanya
mengandung hiwalah ad-dain, karena yang dipindahkan hanya hutang
Ahmad terhadap Burhan menjadi hutang Sulis terhadap Burhan.
Di dalam kitab-kitab fiqh, pihak pertama yang memindahkan hak
menuntut pembayaran utang (dalam contoh pertama: Kaslan), ataupun yang
memindahkan hutang (dalam contoh kedua: Ahmad), disebut al-muhil. Pihak

8
kedua yang menerima pemindahan hak menuntut pembayaran hutang (dalam
contoh pertama: Syarif), ataupun yang menerima pemindahan kewajiban
membayar hutang (dalam contoh kedua: Burhan), disebut al-muhal. Pihak
ketiga yang berkewajiban membayar hutang (dalam contoh pertama:
Rusman dan kedua Sulis), disebut al-muhal 'alaih, sedangkan hutang itu
sendiri disebut dengan al-muhal bih.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kedua macam hiwalah di atas
boleh di laksanakan, dengan syarat, pihak ketiga menerima pemindahan
utang pada al-hiwalah al-muthlqah. mereka mendasarkan pendapat mereka
pada pengertian umum dari hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut.
‫ ( رواه أحمد بن حنبل‬.‫* ومن أحيل على ملئ فليحتل‬
Artinya: “Barangsiapa yang dialihkan kepada orang yang kaya, maka
hendaklah diturutinya. (HR Ahmad ibn Hanbal)."
Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah berpendapat
bahwa yang boleh dilakukan hanya al-hiwalah al-muqayyadah, karena di
dalam al-hiwalah al-muthlaqah kemungkinan terjadinya gharar (penipuan)
sangat besar.
3. Dasar Hukum Wakalah
Perwakilan (wakalah) merupakan bentuk akad, karena itu tidak sah
sebelum memenuhi rukun dan syarat yang telah ditetapkan syara’. Menurut
agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu
kepada orang lain di mana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa
atau yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh
didelegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan
itu, dasar hukum wakalah antara lain dari Al-qur’an yaitu firman Allah Swt.
sebagai berikut:
 ۗ ‫ـق هّٰللا ُ بَ ْينَهُ َما‬ ۤ
ِ ِّ‫ق بَ ْينِ ِه َما فَا ْب َعثُوْ ا َح َك ًما ِّم ْن اَ ْهلِ ٖه َو َح َك ًما ِّم ْن اَ ْهلِهَا ۚ اِ ْن ي ُِّر ْيدَا اِصْ اَل حًا يُّ َوف‬
َ ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم ِشقَا‬
‫اِ َّن هّٰللا َ َكا نَ َعلِ ْي ًما َخبِ ْيرًا‬
"Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai
dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud

9
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS An-Nisa’ [4]:35).
Sabda Rasulullah Saw.:
“Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang
Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR.
Malik dalam al-Muwaththa’).
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang
lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang,
mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan
unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain. Para ulama pun bersepakat
dengan ijma’ diperbolehkannya Wakalah. Mereka bahkan ada yang
cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk
jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-
menolong diserukan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an dan disunahkan oleh
Rasulullah Saw.
C. Syarat dan Rukun Qardh, Hiwalah, dan Wakalah
1. Syarat dan Rukun Qardh
Syarat yang harus dipenuhi dalam Qardh adalah sebagai berikut.
a. Aqid (orang yang berhutang dan berpiutang)
Aqid merupakan orang yang mengerjakan akad, keberadaannya
sangat Urgen sebab tidak dapat disebutkan sebagai akad andai tidak ada
aqid. Begitu pula tidak bakal terjadi ijab dan qabul tanpa adanya aqid.7
Berdasarkan pendapat Imam Syafi’i sebagaimana yang dilansir oleh
Wahbah az-Zuhaili mengungkapkan bahwa 4 (empat) orang yang tidak
sah akadnya ialah:
1) Anak kecil (baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum
mumayyiz).
2) Orang gila.
3) Hamba sahaya, walaupun mukallaf.
4) Orang buta.

7
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 53.

10
Sementara dalam Fiqh Sunnah disebutkan bahwa akad orang gila,
orang mabuk, anak kecil yang belum mampu membedakan mana yang
baik dan yang jelek (memilih) tidak sah.8
Sabda Nabi Muhammad SAW., ”Dari Aisyah ra., sesungguhnya
Nabi SAW. bersabda: Bahwasanya Allah mengangkat penanya dari tiga
orang yakni: dari orang tidur sampai dia bangun, orang gila sampai
sembuh, dan dari anak kecil sampai dia baligh atau dewasa.”(HR. Ibnu
Majah).
b. Obyek Utang
Obyek utang-piutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1) Benda bernilai
2) Dapat dimiliki.
3) Dapat diberikan kepada pihak yang berutang.
4) Telah ada pada masa perjanjian dilakukan.9
Barang yang dipinjamkan disyaratkan: barang yang memiliki
nilai ekonomis dan karakteristiknya diketahui karena dengan jelas.
Berdasarkan pendapat-pendapat shahih, “Barang yang tidak sah dalam
akad pemesanan tidak boleh dipinjamkan. Jelasnya setiap barang yang
tidak terukur atau jarang ditemukan karena untuk mengembalikan barang
sejenis akan kesulitan.”10
c. Akad (Ijab dan Qabul)
Akad secara etimologi mempunyai makna menyimpulkan,
mengikat (tali). Sedangkan berdasarkan istilah, perikatan ijab dan qabul
yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.11
Dari keterangan tersebut dapat dipahami, akad ialah perikatan antara ijab
dan qabul yang mengindikasikan adanya kerelaan dari kedua belah

8
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani,2011), hlm. 38.
9
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Arba’ah, Juz 2, ( Beirut:Darul Kitab Al-
Ilmiyah, 1996), hlm. 304.
10
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam…, hlm. 21.
11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, hlm. 46

11
pihak. maka terdapat ketentuan yang harus dipenuhi dalam akad, antara
lain:
1) Pihak yang bertransaksi keduanya mesti mengisi persyaratan: dewasa
(mampu bertindak), berakal sehat, dan tidak berada pada
pengampunan.
2) Mengenai suatu barang tertentu, barang yang menjadi obyek
3) Akad harus jelas dari kesamaran.
4) Mengenai suatu barang yang halal, suci dari najis dan yang tidak
haram dimakan”
Rukun- rukun Qardh adalah sebagai berikut.
Berdasarkan pendapat Syarkhul Islam Abi Zakaria al-Ansari, rukun
utang-piutang itu sama dengan jual beli, diantaranya:
a. Aqid (‫ ) عاقد‬yakni yang berhutang dan yang memberi hutang
b. Ma’qud alaih (‫) معقود عليه‬yakni barang yang dihutangkan.
c. Shigat (‫ ) صيغت‬yakni ijab qabul, format persetujuan antara kedua belah
pihak.12
Sedangkan berdasarkan pendapat M. Yazid Afandi, rukun utang-piutang
ada empat macam:
a. Muqridh yakni orang yang memberi hutang
b. Muqtaridh yakni orang yang berhutang
c. Muqtaradh yakni barang yang dihutangkan.
d. Shigat Akad yakni ijab qabul.13
Rukun utang-piutang di atas mesti dilakukuan oleh orang yang
berhutang karena rukun tersebut yang mengabsahkan hutang dalam hukum
islam.
2. Syarat dan Rukun Hiwalah
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan
kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima
hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah:
12
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm 173.
13
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, hlm. 143.

12
a. Orang yang memindahkan' utang (muhil) adalah orang yang berakal,
maka batal hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih
kecil.
b. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal,
maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal.
c. Orang yang dihiwalahkan (muhal ‘alaih) juga harus orang berakal dan
disyaratkan pula dia meridhainya.
d. Adanya utang muhil kepada muhal ‘alaih.14
Menurut Syafi'iyah, rukun hiwalah yang harus dipenuhi ada
empat, yaitu sebagai berikut.
a. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang memindahkan
utang.
b. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai
utang kepada muhil.
c. Muhal yaitu orang yang menerima hiwalah.
d. Shighat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya; "Aku
hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada aku" dan kabul dari
muhtal dengan kata-katanya. "Aku terima hiwalah engkau."15
Syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai
berikut.
a. Relanya pihak mihil dan muhal tanpa muhal 'alaih, jadi yang harus rela
itu muhil dan muhal 'alaih. Bagi muhal 'alaih rela maupun tidak rela,
tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah. Ada juga yang
mengatakan bahwa muhal tidak disya. ratkan rela, yang harus rela adalah
muhil, hal ini karena Rasul telah bersabda.
‫إذا أحيل أحد كم على مليء فليتبع‬
"Dan jika salah seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang yang
kaya, maka terimalah."

14
Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, (Kairo: Dar al Hadits., 1994),
hlm212-213.
15
Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah,1986), hlm. 57-58.

13
b. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya,
tempo waktu, kualitas, dan kuantitasnya.
c. Stabilnya muhal 'alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak
mampu membayar utang adalah batal.
d. Hak tersebut diketahui secara jelas.16
3. Rukun dan Syarat- syarat Wakalah
Menurut kelompok Hanafiah, rukun wakalah itu hanya ijab qabul, akan
tetapi jumhur ulama tidak memiliki pendapat yang serupa, mereka
berpendirian bahwa rukun dan syarat wakalah sekurang-kurangnya terdapat
empat rukun yaitu pihak pemberi kuasa (muwakkil), pihak penerima kuasa
(wākil), obyek yang dikuasakan (tawkil) dan ijab qabul (sighat). Keempatnya
dijelaskan sebagai berikut:17
a. Orang yang mewākilkan (al-muwakkil)
1) Seseorang yang mewākilkan atau pemberi kuasa harus yang memiliki
hak atau mempunyai wewenang untuk bertasharruf pada bidang-
bidang sesuatu yang di wākilkannya. Karena itu seseorang tidak sah
jika mewākilkan sesuatu yang bukan hak nya
2) Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang di kuasakannya
3) Pemberi kuasa sudah cakap bertindak atau mukallaf.
b. Orang yang di wakilkan (al-wākil)
1) Penerimaan kuasa harus memiliki kecakapan akan suatu aturan yang
mengatur proses akad wakalah, sehingga cakap hukum menjadi salah
satu syarat yang di wakilkan
2) Penerima kuasa adalah orang yang bisa menjaga amanah yang di
berikan oleh pemberi kuasa. Ini berarti bahwa Al-wakil tidak
diwajibkan menjamin sesuatu yang di luar batas, kecuali karena
kesengajaannya.
c. Objek yang diwakilkan

16
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, hlm. 102.
17
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah…, hlm. 234-235.

14
1) Obyek harus berbentuk pekerjaan yang pada saat dikuasakan
merupakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan pemberi kuasa (al-
muwakkil). Sehingga tidak sah mewakilkan suatu pekerjaan yang
bukan haknya.
2) Pekerjaan yang dikuasakan harus jelas spesifikasi dan kriterianya,
meskipun hanya dari satu tinjauan. Hukumnya sah mengatakan,
”Aku mewakilkanmu untuk mengirimkan barang”, meskipun al-
wākil tidak tahu barang yang mana ataupun barang apa yang harus
dia kirimkan.
3) Obyek harus dari jenis pekerjaan yang boleh dikuasakan pada orang
lain.Sehingga ulama berpendapat, tidak sah menguasakan sesuatu
yang bersifat ibadah badaniyah murni, seperti shalat dan puasa.
Namun boleh menguasakan ibadah yang kemampuan badan menjadi
syarat pelaksanaan, bukan syarat wajib, seperti haji dan umrah atau
menguasakan hal-hal yang bersifat penyempurna dalam sebuah
ibadah, seperti pembagian harta zakat pada mereka yang berhak.
d. Ṣighat / Ijab Kabul
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dari segi sighat/ Ijab
dan qabul, diantaranya adalah:
1) Bahasa dari pemberi kuasa harus mewakili kerelaan nya
menyerahkan kuasa kepada al-wākil , baik berbentuk sharih (jelas)
sebagaimana ucapan “Aku wakilkan kepadamu penjualan mobilku
ini”, maupun kinayah (tersirat atau sindiran dan dapat di tafsirkan
berbeda), seperti ucapan “aku jadikan dirimu menggantikan aku
untuk rumah ini”.
2) Dari pihak penerima kuasa (al-wākil) hanya cukup menerimanya
(qabul) meskipun tidak ada ucapan ataupun tidakan.
3) Bahasa penyerahan kuasa tidak dikaitkan dengan syarat tertentu,
seperti ucapan,”jika nanti adikku telah pulang, maka engkau menjadi
wakilku untuk menjualkan mobil ini”. berbeda halnya jika syarat di
berlakukan dalam urusan pembelanjaan pada jenis al-wakalah al-

15
munjazah (wujud pengusaan yang telah ada), seperti ucapan “Aku
wakilkan dirimu menjual rumah ini ,hanya saja tolong kamu jual
hanya awal bulan juni saja”
4) Sighat wakalah boleh dengan pembatasan masa tugas al-wākil,
seperti dalam tempo seminggu atau sebulan.
D. Pembagian Hiwalah dan Wakalah
1. Pembagian Hiwalah

Secara umum, hiwalah terbagi menjadi dua macam: Hiwalah


Muqayyadah (pengalihan hutang yang terikat) dan Hiwalah Muthlaqah
(pengalihan hutang secara mutlak).

a. Hiwalah Muqayyadah
Hiwalah Muqayyadah adalah sebuah istilah yang menerangkan bahwa
skema pengalihan hutangnya terikat dengan sesuatu. Contoh kasusya:
Tuan A ingin menagih/meminta hutang yang ada pada Tuan B karena
sudah jatuh tempo, namun Tuan B tidak memiliki uang untuk melunasi
pada saat itu. Maka Tuan B meminta kepada Tuan C agar membayarkan
hutangnya kepada Tuan A, dan Tuan A, Tuan B dan Tuan C
menyetujuinya.
Dari kasus di atas, dapat dipahami bahwa Tuan C sebenarnya tidak
mempunyai hubungan utang-piutang dengan Tuan A, Tuan C hanya
mempunyai hutang kepada Tuan B. Namun karena Tuan B mengalihkan
pembayaran hutangnya kepada Tuan C, maka jadilah Tuan C yang
menanggungnya. Skema seperti ini dinamakan dengan akad hiwalah
muqayyadah, karena Tuan C sebagai orang yang menerima pengalihan
hutang (muhal ’alaihi) mempunyai keterikatan utang-piutang dengan
Tuan B, yang mana kedudukannya sebagai orang yang mengalihkan
hutangnya (muhil). Maka ketika jumlah hutang Tuan C kepada Tuan B
setara dengan jumlah yang dibayarkan oleh Tuan C kepada Tuan A,
maka hutang Tuan C kepada Tuan B dianggap lunas melalui proses
pembayaran hutang tersebut.

16
Namun jika jumlah hutang Tuan C kepada Tuan B lebih banyak daripada
jumlah yang dibayarkan Tuan C kepada Tuan A, maka sisanya
dibayarkan kepada Tuan B. Dan sebaliknya, jika jumlah hutang Tuan C
kepada Tuan B lebih sedikit daripada jumlah yang dibayarkan Tuan B
kepada Tuan A, maka Tuan B menjadi berhutang kepada Tuan C.
b. Hiwalah Muthlaqah
Hiwalah Muthlaqah adalah sebuah istilah yang menerangkan bahwa
Tuan C sebagai orang yang menerima pengalihan hutang (Muhal
’Alaihi), tidak memiliki hutang kepada orang yang mengalihkan (Muhil).
Contoh Kasus: Tuan A ingin menagih/meminta hutang yang ada pada
Tuan B karena sudah jatuh tempo, namun Tuan B tidak memiliki uang
untuk melunasi pada saat itu. Maka Tuan B meminta kepada Tuan C agar
membayarkan hutangnya kepada Tuan A, dan Tuan A, Tuan B dan Tuan
C menyetujuinya.
Dari kasus diatas, dapat dipahami bahwa Tuan C sebenarnya tidak
mempunyai hubungan utang-piutang dengan Tuan B. Namun karena
Tuan B mengalihkan pembayaran hutangnya kepada Tuan C, maka
jadilah Tuan C yang menanggungnya. Skema seperti ini dinamakan
dengan akad hiwalah muthlaqah, karena Tuan C sebagai orang yang
menerima pengalihan hutang (muhal ’alaih) tidak mempunyai keterikatan
utang-piutang dengan Tuan B.18
2. Pembagian Wakalah

Wakalah dapat dibedakan menjadi: al-wakalah al-ammah dan al-


wakalah al-khāṣṣah;

a. Wakalah al- khāṣṣah adalah wakalah dimana pemberian wewenang


untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan
telah dijelaskan secara mendetail segala sesuatu yang berkaitan dengan
apa yang diwākilkannya, seperti mengirim barang berupa pakaian atau
menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.

18
Syafri Muhammad Noor, Lc., Akad Hiwalah…, hlm. 21-25.

17
b. Al-wakalah al- ammah adalah akad wakalah dimana pemberian
wewenang bersifat umum, tanpa adanya penjelasan yang rinci. Seperti
belikanlah aku komputer apa saja yang kamu temui. Selain itu juga
dibedakan atas al-wakalah al-muqayyadah dan al-wakalah muṭlaqah,
yaitu:
1) Al-wakalah al-muqayyadah adalah akad wakalah dimana wewenang
dan tindakan si wākil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya
jualah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika
kredit.
2) Al-wakalah al-muṭlaqah akad wakalah dimana wewenang dan wakil
tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya jualan
mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.19
E. Aplikasi Qardh dan Hiwalah di Perbankan Syari’ah
1. Aplikasi Qardh di Perbankan Syari’ah
Penerapan qardh di perbankan syariah’ah biasanya diterapkan sebagai
berikut :
a. Sebagai produk pelengkap bagi nasabah yang telah terbukti loyalitas
dan bonafiditasnya disaat membutuhkan dana talangan segera, untuk
masa yang relatif pendek, nasabah tersebut akan mengembalikan
secepatnya sejumlah uang yang dipinjam itu.
b. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia
tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk
deposito.20Atau pinjaman Qardh biasanya diberikan oleh bank kepada
nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah
mengalami overdraft. Fasilitas ini merupakan bagian dari satu paket
pembiayaan lain untuk memudahkan nasabah bertransaksi.21

19
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…, hlm. 234-235.
20
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hlm. 133.
21
Ascariya, Akad dan Produk Perbankan Syari‟ah, (Jakarta : Rajawali Pers, 2007), hlm. 48.

18
c. Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau
membantu sektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah
dikenal suatu produk khusus yaitu al-qard al-hasan.22
2. Aplikasi Hiwalah di Perbankan Syari’ah
Kontrak hiwalah biasanya diterapkan dalam hal-hal berikut:
a. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki
piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank,
bank lalu.
b. Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
c. Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan
hiwalah. Hanya saja, dalam bill discounting nasabah hanya membayar
fee, sedangkan pembahasan fee tidak di dapati dalam kontrak hiwalah.
d. Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
e. Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan
hiwalah. Hanya saja, dalam bill discounting nasabah hanya membayar
fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah.

22
Muhammad Syafi‟i Antonio…, hlm.133.

19
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Qardh (utang-piutang) adalah akad yang dilaksanakan oleh dua orang
bilamana diantara dari dua orang tersebut mengambil kepemilikan harta dari
lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian
ia harus mengembalikan harta tersebut senilai dengan apa yang diambilnya
dahulu, atau suatu akad antara dua pihak bilamana pihak pertama
menyerahkan uang atau barang kepada pihak kedua, guna dimanfaatkan
dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis
seperti apa yang ia terima dari pihak pertama. Hiwalah adalah permindahan
suatu hutang dari pihak satu ke pihak yang lainnya. Wakalah adalah usaha
seseorang dalam menguasakan sesuatu yang boleh baginya melakukan sendiri
dari barang yang dapat memperoleh pengantian dengan orang lain itu
melakukan sesuatu tersebut ketika dia masih hidup.
Rukun dan syarat-syarat qardh adalah aqid, obyek utang dan sighat
akad. Rukun dan syarat-syarat hiawalah adalah muhil, rah al-dayn, muhal
‘alaih dan adanya utang muhil kepada muhal ‘alaih. Jika menurut syafi’iyah,
maka syaratnya adalah muhil, muhtal, muhal dan sighat hiwalah. Kemudian
syarat dan rukun wakalah adalah al-muwakkil, al-wakil, objek yang
diwakilkan dan sighat (ijab qobul).
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan. Kami menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang kontruktif untuk memperbaiki makalah
berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah referensi
pengetahuan kita.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazairi, Abd al-Rahman. 1994. Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah. Kairo: Dar
al Hadits.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Arba’ah Juz 2.
Beirut: Darul Kitab Al-Ilmiyah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani.
Idris, Ahmad. 1986. Fiqh al-Syafi’iyah. Jakarta: Karya Indah.
Mardani. 2012. Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja
Grafindo.
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al-Munawir Arab-Indonesia.
Yogyakarta: PP. al-Munawwir.
Noor, Syafri Muhammad. 2019. Akad Hiwalah ( Fiqih Pengalihan Hutang ).
Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing.
Suhendi, Hendi. 2007. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Syamsudduin Abu Abdillah Muhammad Bin Qosim Asy-Syafi’i, Syaikh Al-
Imam Al-Alim Al-Alammah. 1983. Terjemah Fathul Qorib Al-Mujib.
Kudus: Menara Kudus.

21

Anda mungkin juga menyukai