Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AKAD DALAM JASA

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok dari mata kuliah Fikih Ekonomi

Dosen Pengampu : Nazeri,M.E.Sy

Disusun Oleh Kelompok 9

Dera Wati 220261001

Danang Arianto 220261004

Program Studi : Ekonomi Syariah 2A

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI)

TULANG BAWANG LAMPUNG

TA. 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kepada Allah subhanahuwata’ala kami telah menyelesaikan tugas


kelompok yaitu makalah yang berjudul “akad dalam jasa” dari mata kuliah fikih
ekonomi yang mata kuliah tersebut diampu oleh bapak nazeri, M.E,Sy.

Kami selaku penyusun dari makalah ini berterimakasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu atau telah berkontribusi dalam pembuatan dan penyusunan makalah
kami, dan kami juga membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak jika makalah yang
kami susun ini kurang tepat, kami akan menerima masukan yang disuarakan dari teman-
teman atau bapak/ibu dosen.

Dan akhir kata kami ucupkan terimakasih atas perhatian dan mudah-mudahan
dari makalah yang kami susun ini dapat memberikan wawasan yang baru dan pelajaran
yang bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Cahyou Randu, 2023

Penyusun

[ii]
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN......................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................1

BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................................2
2.1 Akad Hawalah......................................................................................................2
2.2 Akad Wadi’ah......................................................................................................3
2.3 Akad Rahn............................................................................................................4
2.4 Akad Wakalah......................................................................................................5
2.5 Akad Kafalah/Dhaman.........................................................................................6
2.6 Akad Ju’alah/Ji’alah.............................................................................................7
2.7 Akad Syuf’ah.......................................................................................................8

BAB III
PENUTUP..................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11

[iii]
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia, sebagai negara


berkembang Indonesia memiliki perbankan yang berfungsi membantu masyarakat dan
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran1 baik dalam skala kecil skala menengah
maupun skala besar. Dalam pelaksanaannya terdapat bank konvensional dan juga bank
yang mengusung nilai ekonomi Syariah atau disebut bank syariah, Islam adalah agama
yang maha sempurna yang memberikan pentunjuk kepada manusia untuk menjalankan
kehidupan dengan sebaik baiknya agar mendapatkan ridho dari Allah SWT., oleh
karenanya tidak ada satu aspek pun dalam persoalan hidup manusia yang luput dari
kajian dan perhatian Islam. Yang bertujuan dalam menjalankan perekonomian agar
umat Islam terhindar dari riba.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana akad dari jasa Akad Hawalah, Akad Wadi’ah, Akad Rahn, Akad
Wakalah, Akad Kafalah/Dhaman, Akad Ju’alah/Ji’alah, Akad Syuf’ah

1.3 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui lebih dalam mengenai akad dalam jasa
1.4

[1]
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Akad Hawalah

A. Pengertian Akad Hawalah

Dalam bahasa, kata “al-hiwalah” dalam huruf ha’ akan dibaca kasrah atau
kadang ada juga yang dibaca fathah, dan berasal dari kata “at-tahawwul” yang artinya
pemidahan/pengalihan. Ada juga Orang Arab yang mengatakan “Hala ‘anil’ahdi” yaitu
melepaskan dari tanggung jawabnya. Abdurrahman Al-Jaziri juga berpendapat bahwa
dalam bahasa al-hiwalah merupakan “Perpindahan daritempat lama ke tempat yang
baru”.

Akad hawalah adalah orang yang berhutang dialihkan hutangnya ke orang lain
yang wajib menanggungnya. Secara istilah, akad hawalah merupakan pemindahan
hutang dari yang berhutang dialihkan ke tanggungan yang berkewajiban membayar.
Akad satu ini terkadang ada yang menyebutkan Hawalah dengan Hiwalah. Jadi sama
saja, namun penyebutannya saja yang ada dua macam. Beberapa Lembaga Keuangan
Syariah ada yang menyebutkan Hiwalah namun artinya tetap sama. Hawalah yaitu utang
dari orang yang berhutang dialihkan ke orang lain untuk menanggungnya dan wajib
dilakukan. Dalam istilah Islam menyebutkan dengan beban utang dari muhil (orang
yang berhutang) dengan cara memindahkannya ke tanggungan muhal ‘alaih (orang yang
berkewajiban membayarnya).

B. Landasan Hukum Akad Hawalah

Dalam landasan hukum al-hawalah ulama juga mengemukakan tiga pendapat, yaitu:

a) Mayoritas ulama juga mengemukakan pendapat bahwa kewajiban muhil (pihak


pertama) untuk membayar utang kepada muhal (pihak kedua) secara langsung
akan terlepas. Ada juga yang lain menurut ulama Mazhab Hanafi, yakni Kamal
ibn al-Humam, kewajiban itu masih ada selama muhal ‘alaih (pihak ketiga)

[2]
belum melunasi utangnya kepada muhal (pihak kedua), karena mereka
memandang bahwa persetujuan awal tersebut berdasarkan pada prinsip saling
percaya bukan menggunakan prinsip pengalihaan hak dan kewajiban.
b) Lahirnya hak bagi muhal disebabkan oleh akad hawalah dan untuk menuntut
pembayaran utang kepada pihak ketiga.
c) Akad hawalah mutlaqah jika terjadi karena inisiatif muhil (pihak pertama), maka
kewajiban dan hak antara pihak muhil (pihak pertama) dan muhal (pihak ketiga)
yang mereka tentukan sendiri ketika melakukan proses kesepakatan utang-
piutang sebelumnya masih tetap berlaku. Khususnya jika jumlah utanng piutang
antara pihak tidak sama. Pendapat dari Mazhab Hanafi yang sudah dibenarkan
perihal terjadinya hawalah mutlaqah.

2.2 Akad Wadiah


A. Pengertian Wadhi’ah.

Kata Wadhi’ah berasal dari wada asy syai-a yaitu meninggalkan sesuatu.
Sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah,
karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-
wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik
individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendakinya.

B. Sifat Akad Wadi’ah

Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat
membatalkan perjanjian akad ini kapan saja, karena dalam wadiah terdapat unsur
permintaan tolong maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’i. Kalau ia
tidak mau maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan. Namun kalau wadi’i
mengharuskan pembayaran semacam biaya administrasi maka akad wadi’ah ini berubah
menjadi akad sewa “ijaroh” dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadi’i harus

[3]
menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadi’I
tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak kerena sudah dibayar.

2.3 Akad Rahn

A. Pengertian Akad

Rahn adalah sebuah perjanjian dalam sistem pinjaman syariah di mana pihak
pemberi pinjaman akan menahan salah satu harta milik si peminjam. Harta tersebut
digunakan sebagai jaminan pinjaman atau dapat juga kita sebut sebagai agunan atau
gadai. Orang yang menerima pinjaman dan menggadaikan hartanya disebut sebagai
rahin. Sedangkan orang yang memberi pinjaman dan menerima harta jaminan disebut
murtahin. Apabila pihak peminjam tidak dapat membayar seluruh atau sebagian utang,
harta yang digadaikan tersebut akan digunakan untuk melunasinya. Asal kata rahn
adalah dari bahasa arab, yang artinya gadai. Sedangkan secara etimologi, ar-rahn berarti
tetap dan lama. Kata lain dari rahn adalah al-habsu, yaitu penahanan suatu harta untuk
dijadikan sebagai pelunasan pinjaman.

B. Syarat Akad Rahn

Sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama fiqh, rukun akad rahn harus memenuhi
beberapa persyaratan. Adapun syarat-syarat akad rahn adalah:

 Syarat terkait aqid: menurut jumhur ulama, orang yang berakad harus sudah
balig dan berakal
 Syarat Marhun Bih (pinjaman): utang harus dikembalikan oleh peminjam
kepada pemberi pinjaman dengan barang jaminan. Selain itu, jumlah utang harus
jelas dan terhitung.
 Syarat marhun (barang gadai):
 Jelas dan dapat ditunjukkan.
 Milik sah si pemberi agunan.
 Bisa dijual dan memiliki nilai yang sama besarnya dengan utang.
 Dapat dimanfaatkan menurut ketentuan hukum Islam.

[4]
 Tidak terkait dengan pihak lain.
 Utuh.
 Bisa diserahterimakan ke pihak lain secara materi atau manfaatnya.

Akad rahn tidak bisa dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang. Sebab, akad ini sama seperti akad jual beli. Semisal akad itu dibarengi
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya
batal.

2.4 Akad Wakalah

A. Pengertian Wakalah

Akad wakalah adalah akad pemberian kekuasaan oleh seseorang kepada orang
lain untuk melakukan suatu yang bersyarat hukum, sedangkan pemberian kekuasaan itu
sendiri bisa denggan mengggunakan dan atau tanpa pemberian upah. Pemberian upah
pada akada wakalah inilah yang dinamaka sebagai wakalah bil ujrah.

Adapula pengertian-pengertian lain dari wakalah yaitu:

1. Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian


mandat.
2. Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama
kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam
hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang
yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan
sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas
dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi
kuasa

[5]
B.Akad dalam wakalah
1. Akad ayah yaitu ayah berhak menjual menyewakan harta anaknya untuk
keuntungan anaknya, tetapi jika perbuatan ayah dapat merugikan anaknya, maka
ayah mengganti kerugian anak.
2. Akad wasi adalah seseorang yang diangkat sebagai pemangku untuk mengurus
diri dan harta anak yang masih kecil. Penyerahan wasi berlaku dengan ketentuan
3. Wasi berlaku jika anak yang diwali belum dewasa.
4. Orang yang diwali itu sudah dewasa, wasi’ seperti ini tidak berlaku jika ijab
kabul tidak ada semasa hidup orang yang mewasikan.

C. Dasar Hukum Wakalah

Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang


mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusan sendiri.
Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang
lain untuk mewakili dirinya.

2.5 Akad Kafalah/Dhaman


A. Pengertian kafalah
Secara umum kafalah merupakan pembahasan hukum islam yang telah menjadi
sorotan para ulama terdahulu. Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh
penanggung kepada orang yang memiliki tanggungan kepada orang lain atau dalam
artian lain yakni berarti pengalihan tanggung jawab terhadap sesuatu yang dijamin/
yang ditanggung
B. Dasar Hukum
Adapun dasar hukum kafalah menurut ijma’ ulama, yakni bahwa kaum muslim telah
berjimak atau memiliki kesepakatan atas diperbolehkannya akad kafalah secara
umum karena adanya keperluan atau hajat manusia untuk saling tolong-menolong
serta untuk menghindarkan atau menolak bahaya dari orang yang berhutang. Selain
hal tersebut diperbolehkannya kafalah juga karena akad tersebut sudah ada sejak

[6]
zaman Rasulullah, yang bahkan sampai saat ini pun tidak ada pertentangan
mengenai hal tersebut dikarenakan maslahah yang ada didalamnya.

2.6 Akad Ju’alah/Ji’alah


A. Pengertian Ju’alah
Kata ju,alah secara bahasa artinya mengupah, secara syar‟I sebagaimana
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq: Artinya: “sebuah akad untuk mendapatkan materi
(upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”. Istilah ju‟alah dalam kehidupan sehari-hari
diartikan oleh para fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat
menemukan barangnya yang hilang, mengobati orang yang sakit, atau seseorang yang
menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ju‟alah bukanlah hanya terbatas pada barang
yang hilang namun setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Mazhab Maliki mendefinisikan ju‟alah sebagai suatu upah yang di janjikan
sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang.
Madzab Syafi‟i mendefinisikan ju‟alah dengan “seseorang yang menjanjikan suatu
upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.

B. Rukun dan Syarat Ju’alah


Rukun ju‟alah ada empat yaitu, kedua belah pihak yang berakad (aqidain), ucapan
(shighat), pekerjaan, upah („iwadh). Adapun syarat ju‟alah adalah:
a. Kedua belah pihak yang berakad harus dengan syarat:
1) Pihak penyelenggara adalah orang yang bebas dalam mengalokasikan harta benda.
Maka tidak sah pelaku dari golongan anak kecil, orang gila atau orang yang
mengalokasikannya terbatasi sebab tidak cakap dalam mengelola harta.
2) Merupakan inisiatif dari pihak penyelenggara, bukan atas unsur paksaan.
3) Pengikut sayembara mengetahui adanya sayembara tersebut.
4) Pengikut sayembara yang ditentukan termasuk kategori orang yang cakap untuk
melakukan pekerjaan.

[7]
2.7 Akad Syuf’ah

A. Pengertian Syufah
Syuf’ah berasal dari kata syaf’ yang berarti “memadukan”, maksudnya adalah
memadukan kepemilikan menjadi satu melalui akad jual beli. Sedangkan, secara
terminology syuf’ah adalah akad yang objeknya memindahkan hak milik kepada rekan
syirkah sesuai harga pembelian untuk mencegah kemudharatan. Perlu diketahui bahwa,
syuf’ah adalah hal yang sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman Jahiliyyah.
Dahulu seseorang yang akan menjual rumah atau kebun mereka selalu didatangi oleh
tetangga, teman atau sahabatnya untuk meminta syuf’ah dari apa yang akad jualnya.
Kemudian pemilik menjual dengan memprioritaskan yang lebih dekat daripada yang
jauh, terlebih lagi pihak yang belum dikenal. Hikmahnya dibolehkannya syuf’ah ialah
untuk mencegah terjadinya kemudharatan. Karena hak pemilikan oleh syafi’ dapat
menghindari pembelian pihak asing (ajnabi) yang keberadaannya belum dikenal.

B.Rukun dan Syarat Syuf’ah


Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang al-Syuf’ah. Adapun syarat yang harus
dipenuhi, yaitu :
 Barang yang disyuf’ahkan berbentuk barang tetap (‘uqar), seperti tanah, rumah,
dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman, bangunan, pintu-
pintu, pagar, atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat
dilepas.

Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah. Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi antara lain:
 Orang yang membeli secara syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang
tersebut. Perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak
adanya perbedaan batasan diantara keduanya sehingga benda itu menjadi milik
mereka berdua secara bersamaan.

[8]
 Syarat yang kedua adalah bahwa Syafi’I meminta dengan segera. Maksudnya,
Syafi’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan segera jika hal
itu memungkinkan. Jika ia telah mengetahuinya, kemudian memperlambat
permintaan tanpa adanya uzur, maka haknya gugur.
 Syafi’i memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah ditentukan ketika
akad, kemudian Syafi’I mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual beli itu
mitslian atau dengan suatu nilai jika dihargakan.
 Syafi’I mengambil keseluruhan barang. Maksudnya, Jika syafi’I meminta untuk
mengambil sebagian, maka semua haknya gugur.

[9]
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

A. Kesimpulan

1. Akad Wadi`ah adalah salah satu bentuk tolong-menolong yang diperintahkan oleh
Allah dalam al-Quran. Prinsip utama yang tidak boleh dilanggar dalam akad wadi`ah
adalah pentip barang boleh mengambil kapanpun barangnya yang telah dititipkan dan
pihak yang dititipkan wajib mengembalikan barang titipan ketika sang penitip barang
memintakembali barangnya.

2. Implementasi akad wadi`ah yang diterapkan oleh Pegadaian Syariah Unit Perjuangan
Cirebon ternyata tidak hanya akad wadi`ah saja namun juga terdapat akad murabahah.

a. Akad murabahah terjadi saat nasabah membeli emas yang akan ditipkan dan menjual
kembali emas yang telah dititipkan (buyback).

b. Akad Wadi`ah terjadi ketika emas yang dibeli dititipkan (ditabung) di Pegadaian
Syariah Unit Perjuangan Cirebon. Pihak Pegadaian Syariah Unit Perjuangan Cirebon
menerima kompensasi sebagai pihak yang dititipkan sebesar 15.000/tahun.

3. Intensitas jumlah nasabah sejak tahun 2015 sampai tahun 2020 mengalami
peningkatan jumlah nasabah yang tidak tetap. Alasan nasabah tertarik dengan produk
tabungan emas Pegadaian Syariah Unit Perjuangan Cirebon adalah karena biayanya
tidak memberatkan pihak nasabah dan sistem tabungan ini memudahkan nasabah untuk
berinvestasi kapapun.

[10]
DAFTAR PUSTAKA

http://etheses.iainkediri.ac.id/2374/3/931203316%20bab2.pdf

file:///C:/Users/ACER/Downloads/
AKAD_KAFALAH_Implementasi_Akad_Kafalah_dalam_Perbankan_Syariah
%20(1).pdf

https://www.ocbcnisp.com/id/article/2023/01/10/akad-rahn-adalah

https://www.pa-pekanbaru.go.id/images/stories2017/berkas2017/ARTIKEL-
DETWATI-WADIAH.pdf

http://repo.iain-tulungagung.ac.id/18495/6/BAB%20II.pdf

[11]

Anda mungkin juga menyukai