Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok dari mata kuliah Fikih Ekonomi
TA. 2023/2024
KATA PENGANTAR
Kami selaku penyusun dari makalah ini berterimakasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu atau telah berkontribusi dalam pembuatan dan penyusunan makalah
kami, dan kami juga membutuhkan kritik dan saran dari semua pihak jika makalah yang
kami susun ini kurang tepat, kami akan menerima masukan yang disuarakan dari teman-
teman atau bapak/ibu dosen.
Dan akhir kata kami ucupkan terimakasih atas perhatian dan mudah-mudahan
dari makalah yang kami susun ini dapat memberikan wawasan yang baru dan pelajaran
yang bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
[ii]
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................................2
2.1 Akad Hawalah......................................................................................................2
2.2 Akad Wadi’ah......................................................................................................3
2.3 Akad Rahn............................................................................................................4
2.4 Akad Wakalah......................................................................................................5
2.5 Akad Kafalah/Dhaman.........................................................................................6
2.6 Akad Ju’alah/Ji’alah.............................................................................................7
2.7 Akad Syuf’ah.......................................................................................................8
BAB III
PENUTUP..................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................11
[iii]
BAB I
PENDAHULUAN
Bagaimana akad dari jasa Akad Hawalah, Akad Wadi’ah, Akad Rahn, Akad
Wakalah, Akad Kafalah/Dhaman, Akad Ju’alah/Ji’alah, Akad Syuf’ah
[1]
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam bahasa, kata “al-hiwalah” dalam huruf ha’ akan dibaca kasrah atau
kadang ada juga yang dibaca fathah, dan berasal dari kata “at-tahawwul” yang artinya
pemidahan/pengalihan. Ada juga Orang Arab yang mengatakan “Hala ‘anil’ahdi” yaitu
melepaskan dari tanggung jawabnya. Abdurrahman Al-Jaziri juga berpendapat bahwa
dalam bahasa al-hiwalah merupakan “Perpindahan daritempat lama ke tempat yang
baru”.
Akad hawalah adalah orang yang berhutang dialihkan hutangnya ke orang lain
yang wajib menanggungnya. Secara istilah, akad hawalah merupakan pemindahan
hutang dari yang berhutang dialihkan ke tanggungan yang berkewajiban membayar.
Akad satu ini terkadang ada yang menyebutkan Hawalah dengan Hiwalah. Jadi sama
saja, namun penyebutannya saja yang ada dua macam. Beberapa Lembaga Keuangan
Syariah ada yang menyebutkan Hiwalah namun artinya tetap sama. Hawalah yaitu utang
dari orang yang berhutang dialihkan ke orang lain untuk menanggungnya dan wajib
dilakukan. Dalam istilah Islam menyebutkan dengan beban utang dari muhil (orang
yang berhutang) dengan cara memindahkannya ke tanggungan muhal ‘alaih (orang yang
berkewajiban membayarnya).
Dalam landasan hukum al-hawalah ulama juga mengemukakan tiga pendapat, yaitu:
[2]
belum melunasi utangnya kepada muhal (pihak kedua), karena mereka
memandang bahwa persetujuan awal tersebut berdasarkan pada prinsip saling
percaya bukan menggunakan prinsip pengalihaan hak dan kewajiban.
b) Lahirnya hak bagi muhal disebabkan oleh akad hawalah dan untuk menuntut
pembayaran utang kepada pihak ketiga.
c) Akad hawalah mutlaqah jika terjadi karena inisiatif muhil (pihak pertama), maka
kewajiban dan hak antara pihak muhil (pihak pertama) dan muhal (pihak ketiga)
yang mereka tentukan sendiri ketika melakukan proses kesepakatan utang-
piutang sebelumnya masih tetap berlaku. Khususnya jika jumlah utanng piutang
antara pihak tidak sama. Pendapat dari Mazhab Hanafi yang sudah dibenarkan
perihal terjadinya hawalah mutlaqah.
Kata Wadhi’ah berasal dari wada asy syai-a yaitu meninggalkan sesuatu.
Sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah,
karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-
wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik
individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendakinya.
Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat
membatalkan perjanjian akad ini kapan saja, karena dalam wadiah terdapat unsur
permintaan tolong maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’i. Kalau ia
tidak mau maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan. Namun kalau wadi’i
mengharuskan pembayaran semacam biaya administrasi maka akad wadi’ah ini berubah
menjadi akad sewa “ijaroh” dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadi’i harus
[3]
menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadi’I
tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak kerena sudah dibayar.
A. Pengertian Akad
Rahn adalah sebuah perjanjian dalam sistem pinjaman syariah di mana pihak
pemberi pinjaman akan menahan salah satu harta milik si peminjam. Harta tersebut
digunakan sebagai jaminan pinjaman atau dapat juga kita sebut sebagai agunan atau
gadai. Orang yang menerima pinjaman dan menggadaikan hartanya disebut sebagai
rahin. Sedangkan orang yang memberi pinjaman dan menerima harta jaminan disebut
murtahin. Apabila pihak peminjam tidak dapat membayar seluruh atau sebagian utang,
harta yang digadaikan tersebut akan digunakan untuk melunasinya. Asal kata rahn
adalah dari bahasa arab, yang artinya gadai. Sedangkan secara etimologi, ar-rahn berarti
tetap dan lama. Kata lain dari rahn adalah al-habsu, yaitu penahanan suatu harta untuk
dijadikan sebagai pelunasan pinjaman.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama fiqh, rukun akad rahn harus memenuhi
beberapa persyaratan. Adapun syarat-syarat akad rahn adalah:
Syarat terkait aqid: menurut jumhur ulama, orang yang berakad harus sudah
balig dan berakal
Syarat Marhun Bih (pinjaman): utang harus dikembalikan oleh peminjam
kepada pemberi pinjaman dengan barang jaminan. Selain itu, jumlah utang harus
jelas dan terhitung.
Syarat marhun (barang gadai):
Jelas dan dapat ditunjukkan.
Milik sah si pemberi agunan.
Bisa dijual dan memiliki nilai yang sama besarnya dengan utang.
Dapat dimanfaatkan menurut ketentuan hukum Islam.
[4]
Tidak terkait dengan pihak lain.
Utuh.
Bisa diserahterimakan ke pihak lain secara materi atau manfaatnya.
Akad rahn tidak bisa dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang. Sebab, akad ini sama seperti akad jual beli. Semisal akad itu dibarengi
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya
batal.
A. Pengertian Wakalah
Akad wakalah adalah akad pemberian kekuasaan oleh seseorang kepada orang
lain untuk melakukan suatu yang bersyarat hukum, sedangkan pemberian kekuasaan itu
sendiri bisa denggan mengggunakan dan atau tanpa pemberian upah. Pemberian upah
pada akada wakalah inilah yang dinamaka sebagai wakalah bil ujrah.
[5]
B.Akad dalam wakalah
1. Akad ayah yaitu ayah berhak menjual menyewakan harta anaknya untuk
keuntungan anaknya, tetapi jika perbuatan ayah dapat merugikan anaknya, maka
ayah mengganti kerugian anak.
2. Akad wasi adalah seseorang yang diangkat sebagai pemangku untuk mengurus
diri dan harta anak yang masih kecil. Penyerahan wasi berlaku dengan ketentuan
3. Wasi berlaku jika anak yang diwali belum dewasa.
4. Orang yang diwali itu sudah dewasa, wasi’ seperti ini tidak berlaku jika ijab
kabul tidak ada semasa hidup orang yang mewasikan.
[6]
zaman Rasulullah, yang bahkan sampai saat ini pun tidak ada pertentangan
mengenai hal tersebut dikarenakan maslahah yang ada didalamnya.
[7]
2.7 Akad Syuf’ah
A. Pengertian Syufah
Syuf’ah berasal dari kata syaf’ yang berarti “memadukan”, maksudnya adalah
memadukan kepemilikan menjadi satu melalui akad jual beli. Sedangkan, secara
terminology syuf’ah adalah akad yang objeknya memindahkan hak milik kepada rekan
syirkah sesuai harga pembelian untuk mencegah kemudharatan. Perlu diketahui bahwa,
syuf’ah adalah hal yang sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman Jahiliyyah.
Dahulu seseorang yang akan menjual rumah atau kebun mereka selalu didatangi oleh
tetangga, teman atau sahabatnya untuk meminta syuf’ah dari apa yang akad jualnya.
Kemudian pemilik menjual dengan memprioritaskan yang lebih dekat daripada yang
jauh, terlebih lagi pihak yang belum dikenal. Hikmahnya dibolehkannya syuf’ah ialah
untuk mencegah terjadinya kemudharatan. Karena hak pemilikan oleh syafi’ dapat
menghindari pembelian pihak asing (ajnabi) yang keberadaannya belum dikenal.
Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima Syuf’ah. Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi antara lain:
Orang yang membeli secara syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang
tersebut. Perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak
adanya perbedaan batasan diantara keduanya sehingga benda itu menjadi milik
mereka berdua secara bersamaan.
[8]
Syarat yang kedua adalah bahwa Syafi’I meminta dengan segera. Maksudnya,
Syafi’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan segera jika hal
itu memungkinkan. Jika ia telah mengetahuinya, kemudian memperlambat
permintaan tanpa adanya uzur, maka haknya gugur.
Syafi’i memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah ditentukan ketika
akad, kemudian Syafi’I mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual beli itu
mitslian atau dengan suatu nilai jika dihargakan.
Syafi’I mengambil keseluruhan barang. Maksudnya, Jika syafi’I meminta untuk
mengambil sebagian, maka semua haknya gugur.
[9]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
A. Kesimpulan
1. Akad Wadi`ah adalah salah satu bentuk tolong-menolong yang diperintahkan oleh
Allah dalam al-Quran. Prinsip utama yang tidak boleh dilanggar dalam akad wadi`ah
adalah pentip barang boleh mengambil kapanpun barangnya yang telah dititipkan dan
pihak yang dititipkan wajib mengembalikan barang titipan ketika sang penitip barang
memintakembali barangnya.
2. Implementasi akad wadi`ah yang diterapkan oleh Pegadaian Syariah Unit Perjuangan
Cirebon ternyata tidak hanya akad wadi`ah saja namun juga terdapat akad murabahah.
a. Akad murabahah terjadi saat nasabah membeli emas yang akan ditipkan dan menjual
kembali emas yang telah dititipkan (buyback).
b. Akad Wadi`ah terjadi ketika emas yang dibeli dititipkan (ditabung) di Pegadaian
Syariah Unit Perjuangan Cirebon. Pihak Pegadaian Syariah Unit Perjuangan Cirebon
menerima kompensasi sebagai pihak yang dititipkan sebesar 15.000/tahun.
3. Intensitas jumlah nasabah sejak tahun 2015 sampai tahun 2020 mengalami
peningkatan jumlah nasabah yang tidak tetap. Alasan nasabah tertarik dengan produk
tabungan emas Pegadaian Syariah Unit Perjuangan Cirebon adalah karena biayanya
tidak memberatkan pihak nasabah dan sistem tabungan ini memudahkan nasabah untuk
berinvestasi kapapun.
[10]
DAFTAR PUSTAKA
http://etheses.iainkediri.ac.id/2374/3/931203316%20bab2.pdf
file:///C:/Users/ACER/Downloads/
AKAD_KAFALAH_Implementasi_Akad_Kafalah_dalam_Perbankan_Syariah
%20(1).pdf
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2023/01/10/akad-rahn-adalah
https://www.pa-pekanbaru.go.id/images/stories2017/berkas2017/ARTIKEL-
DETWATI-WADIAH.pdf
http://repo.iain-tulungagung.ac.id/18495/6/BAB%20II.pdf
[11]