Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUTANG PIUTANG

Di susun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat & Hadis Ekonomi

Dosen Pengampu :

Dr. Abdul Rokhim, S.Ag., M.E.I.

Disusun Oleh:

Dahlia Amirah Safitri (221105030015)


Asyiatur Rhodiyah (221105030017)
Samsul Arifin (221105030028)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ


JEMBER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmatnya sehingga
penulis dapat menyusun makalah tentang Hutang Piutang.
Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu,
memfasilitasi, memberi masukan, dan mendukung penulisan makalah ini sehingga
selesai tepat pada waktunya. Semoga dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran
yang berlimpah.
Tidak lupa juga penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Abdul
Rokhim, S.Ag., M.E.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Tafsir Ayat & Hadis
Ekonomi yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Makalah
ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat & Hadis
Ekonomi sekaligus untuk menambah wawasan kepada pembaca terkait
pemahaman Hutang piutang.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf sekaligus mengharap
adanya kritik serta saran dari pembaca demi perbaikan dan perkembangan karya
penulis.

Jember, 24 Oktober 2023

Tim penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ............................................................................................. i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1.Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3.Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
2.1. Pengertian Hutang Piutang .................................................................... 3
2.2. Dasar Hukum Hutang Piutang .............................................................. 4
2.3.Rukun dan Syarat Hutang Piutang ........................................................ 7
2.4 Faktor terjadinya Hutang Piutang ......................................................... 11
2.5 Tata Krama berhutang ............................................................................ 12
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 14
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 14
3.2. Saran ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hutang piutang berkonotasi pada uang dan barang yang kewajiban
untuk membayar kembali apa yang sudah di terima dengan yang samaUtang
piutang yang memberikan sesuatu dengan yang lain dengan perjanjian dia
akan mengembalikanya dengan yang sama. Sedangkan menurut bahasa arab
hutang disebut dengan Qard) Hukum hutang piutang pada asalnya di
perbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang
atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang
di sukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang
besarPiutang termasuk salah satu pos dalam Aset Piutang adalah hak yang
berhak untuk ditagih oleh pihak satu ke pihak lainnya karena terjadinya suatu
transaksi, biasanya karena transaksi penjualan secara kredit. Dalam
pengertian akuntansi secara konvensional, terdapat beberapa macam piutang,
yaitu piutang dagang, piutang wesel, piutang gaji, dll. Piutang ini dapat
termasuk dalam Aset Lancar jika diperkirakan dapat ditagih waktu dari satu
tahunPiutang yang oleh Islam bukanlah termasuk dalam Aset Lancar adalah
piutang dagang, dan piutang bisnis.
Oleh Islam bukanlah sesuatu yang harus di cela dan di benci karena
nabi sendiri pernah berhutang namun meskipun demikian sebisa mungkin
hutang piutang atau meminjam barang dan uang harus dihindari
semaksimalnya Memberikan hutang atau pinjaman adalah perbuatan yang
baik, karena merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang terdapat unsur
tolong menolong sesama manusia sebagai mahkluk sosial Dalam tolong
menolong seseorang hendaknya di perhatikan bahwa memberi pertolongan itu
tidak mencari keuntungan tetapi hanya sekedar mengurangi atau
menghilangkan beban atas. kebutuhan yang sedang seseorang butuhkan,

1
janganlah mencari keuntungan dengan cara yang batil dalam melakukan
setiap perniagaan.
Secara umum hutang piutang ialah memberi sesuatu kepada seseorang
dengan perjanjian dia akan mengembalikanya sama dengan yang itu (sama
nilainya) setiap perbuatan yang mengacu pada perniagaan maupun hutang
piutang tentunya melalui proses awal yaitu akad, sebelum terjadinya
perikatan antara pihak satu dengan pihak lain. Disaat pengembalian barang
yang telah di sepakati pada awal akad, apabila si berhutang melebihkan
banyaknya hutang itu karena kemauan sendiri maka hal itu diperbolehkan
atau halal, tetapi jika tambahan dikehendaki oleh yang menghutangi atai telah
menjadi suatu akad maka hal itu tidak boleh, dan tambahan itu tidak halal.
Riba dapat menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia
dengan cara hutang piutang maka riba itu cenderung memeras orang miskin
daripada menolong orang miskin.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Pengertian Hutang Piutang?
2. Bagaimana Dasar Hukum Hutang Piutang ?
3. Apa yang menjadi Faktor terjadinya Hutang Piutang?
4. Bagaimana Rukun Syarat Hutang Piutang ?

1.3 Tujuan
1. Dapat menjelaskan Hutang Piutang.
2. Dapat menjelaskan Dasar Hukum Hutang Piutang.
3. Dapat menjelaskan Faktor terjadinya Hutang Piutang.
4. Dapat menjelaskan Rukun Syarat Hutang Piutang.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hutang Piutang


Hutang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu uang yang
dipinjamkan dari orang lain. Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang
dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).1
Pengertian hutang piutang sama dengan perjanjian pinjam meminjam yang
dijumpai dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754
yang berbunyi: “pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang
tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama
pula.2
Hutang piutang secara Etimologi dalam bahasa arab adalah ( )

diambil dari kata( yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian

pendapat, ‘ariyah berasal dari saling menukar atau mengganti,


yakni dalam tradisi pinjam meminjam.3 Secara terminologi syara’, ulama fiqh
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:4
a) Menurut Hanafiyah
Hutang piutang adalah memiliki manfaat secara cuma-cuma.
b) Menurut Malikiyah
Hutang piutang adalah memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa
imbalan.
c) Menurut Syafi’iyah
Hutang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang

1
Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:BalaiPustaka,2003), h.1136
2
R.Subekti Dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya
Paramita, 1992), h.451.
3
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II, h.263.
4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Rajawali Press, 2014), h.91-92.

3
membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan serta tetap zat
barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
d) Menurut Hanabilah
Hutang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat suatu zat barang tanpa
imbalan dari peminjam atau yang lainnya.
e) Menurut Ibnu Rif’ah
Hutang piutang adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan
halalserta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.
f) Menurut Al-Mawardi
Hutang piutang adalah memberikan manfaat-manfaat.

Ahli fiqh berpendapat bahwa ‘Ariyah adalah memberikan izin kepada


orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang boleh diambil
manfaatnya dengan tetapnya benda tersebut setelah diambil manfaatnya.
Sehingga orang yang memanfaatkannya dapat mengembalikannya kepada
pemiliknya.5
‘Ariyah dapat disimpulkan perikatan atau perjanjian antara kedua belah
pihak, di mana pihak pertama menyediakan harta atau memberikan harta
dalam arti meminjamkan kepada pihak kedua sebagai peminjam uang atau
orang yang menerima harta yang dapat ditagih atau diminta kembali harta
tersebut, dengan kata lain memijamkan harta kepada orang lain yang
membutuhkan.
Ayat dan Hadist Hutang Piutang
1. Al-Qur’an surat al-Baqarah(2): 245

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman


yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan merlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan

5
Shaleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta:Gema Insani, 2005), h.493.

4
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan” 6
2. Hadist riwayat Abu Bukhari

“Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:


Menunda membayar hutang bagi yang mampu adalah kezhaliman dan apabila
seorang dari kalian telah mampu membayar hutang nya, hendaklah dibayar.”

2.2 Dasar Hukum Hutang Piutang


Landasan hukum disyariatkan qardh terdapat pada Al-Qur’an, As- Sunnah
dan Ijma’. Berikut landasan hukum qard.7
1. Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) : 245

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman


yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan merlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan” 8
Berdasarkan firman Allah diatas telah jelas bahwa apabila seseorang
memberikan pinjaman berupa harta yang baik maka Allah akan memberikan
balasan yang berlipat-lipat dan akan dimasukkan ke dalam surgaNya. Berarti
utang-piutang yang merupakan pinjaman tersebut adalah tindakan baik untuk
mendekatkan diri seseorang kepada sang pencipta yakni Allah SWT.

2. As-Sunnah
Selain Al-qur’an sebagai dasar utang piutang terdapat sunnah atau
hadist yang menerangkan tentang utang piutang, yaitu:

6
QS. Al-Baqarah (2): 245.
7
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah...,169-171.
8
QS. Al-Baqarah (2): 245.

5
a. Hadist riwayat Ibnu Mas’ud9
“Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
tidaklah seorang Muslim memberi pinjaman kepada seorang Muslim yang
lain dua kali, melainkan pinjaman itu seperti sedekah sekali”
b. Hadis riwayat Abu Hurairah
“Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
Barangsiapa melepaskan satu kesusahan diantara sekian banyak kesusahan
dunia dasri seorang muslim, niscaya Allah akan melepaskan dari satu
kesusahan dari sekian banyak kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa
memberi kemudahan kepada orang yang sedang dalam kesulitan, niscaya
Allah akan memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong
saudaranya.”
Memberikan Pinjaman adalah perbuatan yang baik dan mulia dimana
mereka yang berkehidupan cukup memudahkan dan membantu mereka yang
berkehidupan kekurangan. Dari hadist diatas dapat dijelaskan bahwa
seorang yang mampu membantu melepaskan kesusahan dari seseorang yang
lain maka ia akan mendapatkan balasan dari Allah berupa mendapatkan pula
pertolongan dari Allah di dunia dan akhirat. Maka, dengan demikian tidak
ada salahnya apabila meminjamkan atau mengutangkan sebagian harta kita
kepada orang yang lebih membutuhkan untuk memenuhi hajatnya.

c. Ijma’
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa qardh disyariatkan
bermuamalah. Hal ini karena di dalam qardh terdapat unsur untuk
meringankan beban orang lain tanpa mengharap balasan. Karena qardh
merupakan pinjaman tanpa syarat.

9
Muhammad bin Yazid Abu Abdullah, Sunan Ibnu Majah (Bairut: Dar Al-Fikr) II, 812.

6
2.3 Rukun dan Syarat Hutang Piutang
Akad berasal dari kata al-‘aqd yang berarti ikatan, mengikat, menyambung
atau menghubungkan (ar-rabt). Menurut Jumhur Ulama definisi akad adalah
pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menimbulkan akibat
hukum terhadap objeknya.10 Pelaksanaan akad qardh tentu diiringi dengan rukun
dan syarat yang sesuai dengan syara’. Menurut Jumhur Ulama rukun dari qardh
terdiri dari tiga yaitu dua orang yang berakad (muqridh atau yang memberi utang
muqtaridh atau yang diberi utang), qardh (barang yang dipinjamkan) dan shigat
ijab dan kabul. Selain rukun, qardh juga memiliki syarat yakni diantaranya:11
1. Dua pihak yang berakad yakni orang yang berutang (muqtaridh) dan orang
yang memberikan pinjaman (muqridh), disyaratkan:
a. Baligh, berakal cerdas dan merdeka, tidak dikenakan hajru. Artinya
cakap bertindak hukum.
b. Muqtaridh, adalah orang yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan
untuk melakukan akad tabarru’. artinya harta yang diutang adalah
miliknya sendiri.
2. Harta yang diutangkan
a. Harta yang diutangkan merupakan mal musliyat yakni harta yang dpat
ditakar (makilat), harta yang dapat ditimbang(mauzunat), harta yang
diukur (za’riyat), harta yang dapat dihitung (addiyat). Ini merupakan
pendapat ulama Hanafiyah.
b. Setiap harta yang dapat dijual beli salam, baik itu jenis harta makilat,
mauzunat, za’riyat, addiyat. Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah,
Syafiiyah, Hanabilah. Atas dasar ini tidak sah mengutangkan manfaat
(jasa) ini merupkan pendapat mayoritas fuqoha.
c. Al-Qabdh atau penyerahan. Akad utang piutang tidak sempurna kecuali
dengan adanya serah terima, karena didalam akad qardh ada tabarru’.
Akad tabarru’ tidak akan sempurna kecuali dengan serah terima (al-

10
Harun, Fiqh Muamalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), 32.
11
Rozalinda, Fikih Ekonomi. ............. ,232-234.

7
qabdh).
d. Utang piutang tidak memunculkan keuntungan bagi muqtaridh
(orang yang mengutangkan).
e. Utang itu menjadi tanggung jawab muqtaridh (orang yang berutang).
Artinya orang yang berutang mengembalikan utangnya dengan harga atau
nilai yang sama.
f. Barang itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan dalam Islam (mal
mutaqawwimin).
g. Harta yang diutangkan diketahui, yakni diketahui kadar dan sifatnya.
h. Pinjaman boleh secara mutlak, atau ditentukan dengan batas waktu

1. Rukun Hutang Piutang


Syarkhul Islam Abi Zakaria al-Ansari sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Syafe’i Antonio dalam bukunya yang berjudul Bank Syari’ah
dari Teori ke Praktek memberi penjelasan bahwa rukun hutang piutang itu
sama dengan jual beli, yaitu:
a) Yang berhutang dan yang berpiutang
b) Barang yang dihutangkan.
c) Bentuk persetujuan antara kedua belah pihak.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun hutang piutang (ariyah)
hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan
merupakan rukun, ariyah. Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ‘ariyah
disyaratkan adanya lafazh sighat akad yakni ucapan ijabdan qabul dari
peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab
memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin. Sedangkan Drs.
Chairuman berpendapat bahwa rukun hutang piutang ada 4 macam12, yaitu:
a) Orang yang memberi hutang
b) Orang yang berhutang
c) Barang yang dihutangkan (objek)

12
Chairuman Pasaribu dan Suharwadi K.Lubis, Op. Cit., h.136.

8
d) Ucapan Ijab dan Qabul (Lafadz)
Dengan demikian hutang piutang dianggap telah terjadi apabila sudah
terpenuhi rukun dan syarat dari hutang piutang itu. Secara umum, jumhur
ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat yaitu:
a) Mu’ir (peminjam)
Syarat-syarat bagi mu’ir adalah:
1. Baligh
2. Berakal
3. Orang tersebut tidak dimahjur
b) Musta’ir (yang meminjamkan)
Syarat-syarat bagi musta‟ir adalah:
1. Baligh
2. Berakal
3. Orang tersebut tidak dimahjur
c) Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
Syarat-syarat bagi benda yang dihutangkan:
1. Materi yang dipinjam dapat dimanfaatkan,maka tidak sah ‘ariyah yang
materinya tidakdapat digunakan.
2. Pemanfaatan itu diperbolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan
manfaat materinya dibatalkan oleh syara’ seperti meminjam benda-
benda najis.
d) Sighat (yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk mengambil
manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan). Kalimat mengutangkan
(lafazh), seperti orang berkata “saya hutangkan benda ini kepada kamu”
dan yang menerima berkata, “saya mengaku berhutang kepada kamu
(sebutkan benda yang dipinjam)”.

2. Syarat Hutang Piutang

9
Dr. H. Nasrun Haroen MA dalam bukunya Fiqh Muamalah13
menyebutkan bahwa syarat dalam akad ‘ariyah adalah sebagai berikut:
a) Mu’ir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan
barang. Orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah,
sedangkan ‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang
yang memanfaatkannya.
1. 'ariyah batal jika dilakukan oleh anak kecil
2. ‘ariyah batal jika dilakukan oleh orang yang sedang tidur atau orang gila
3. ‘ariyah tidak sah jika dilakukan oleh orangyang berada di bawah
perlindungan, seperti pemboros.
b) Pemegangan barang oleh peminjam
‘Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan,yang dianggap sah
memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah. Adapun
syarat barang yang akan dipinjamkan adalah:
1. Barang tersebut halal atau milik sendiri
2. Barang yang dipinjamkan memiliki manfaat
3. Barang yang akan dipinjamkan bukanlah barang rusak
c) Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar
tidak dapat dimanfaatkan maka akad menjadi tidak sah.
1. ‘ariyah tidak sah apabila materinya tidak dapat digunakan, seperti
meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan
untuk menyimpan padi.
2. ‘ariyah batal apabila pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh
syara’, seperti meminjam benda-benda najis.
d) Manfaat barang yang dipinjamkan itu termasuk manfaat yang mubah
(dibolehkan syara’) .

13
H.Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), h.240.

10
2.4 Faktor Terjadinya Hutang Piutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam ‘ariyah tentang nilai dan
sopan santun yang terkait di dalamnya 14, ialah:
1. Sesuai dengan QS Al-Baqarah: 282, hutang piutang supaya dikuatkan dengan
tulisan dari pihak berhutangdengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau
denganseorang saksi laki-laki dengan dua orang saksiperempuan. Tulisan
tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai.
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan membayarnya /mengembalikannya.
3. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepadapihak
berhutang.
4. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya
dipercepat pembayaran hutangnya.Lalai dalam pembayaran pinjaman
berartiberbuat zalim.

Sedangkan solusi Islam untuk orang yang tidak mampu membayar hutang
15
sebagai berikut:
1. Mengambil hutang pokoknya saja (kapital). Mengambil hutang pokok tidak
akan mendzalimi orang yang berhutang dengan mengambil laba dari
hutangpokok.
2. Menambah penangguhan waktu pembayaran hutang, seperti dijelaskan dalam
firman Allah SWT QS. Al -Baqarah:280 yang artinya “Dan jika orang yang
berhutang itu dalam kesukaran maka berilah penangguhan sampaidia lapang”.
3. Membebaskan hutang adalah proses memberikan penghapusan atau keringanan
terhadap jumlah hutang yang harus dibayar oleh seseorang atau entitas tertentu.
Ini bisa terjadi dalam berbagai situasi, seperti restrukturisasi utang,
penghapusan utang oleh pemberi pinjaman, atau kebijakan pemerintah.
14
H. Hendi Suhendi, Op, Cit., h.98
15
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), h.98.

11
Namun, langkah-langkah untuk membebaskan hutang sangat tergantung pada
kasus dan aturan yang berlaku.

2.5 Tata Krama Berhutang


Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam ‘ariyah tentang nilai dan
sopan santun yang terkait di dalamnya 16, ialah:
1. Sesuai dengan QS Al-Baqarah: 282, hutang piutang supaya dikuatkan dengan
tulisan dari pihak berhutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau
dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan. Tulisan
tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai.
2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
3. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
berhutang.
4. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya
dipercepat pembayaran hutangnya. Lalai dalam pembayaran pinjaman berarti
berbuat zalim.
Sedangkan solusi Islam untuk orang yang tidak mampu membayar hutang17
adalah sebagai berikut:
1. Mengambil hutang pokoknya saja (kapital). Mengambil hutang pokok tidak
akan mendzalimi orang yang berhutang dengan mengambil laba dari hutang
pokok.
2. Menambah penangguhan waktu pembayaran hutang, seperti dijelaskan dalam
firman Allah SWT QS. Al -Baqarah:280 yang artinya “Dan jika orang yang
berhutang itu dalam kesukaran maka berilah penangguhan sampai dia lapang”.
3. Membebaskan hutang adalah proses memberikan penghapusan atau keringanan
terhadap jumlah hutang yang harus dibayar oleh seseorang atau entitas tertentu.
Ini bisa terjadi dalam berbagai situasi, seperti restrukturisasi utang,
penghapusan utang oleh pemberi pinjaman, atau kebijakan pemerintah.

16
H. Hendi Suhendi, Op. Cit., h.98.
17
Arif Munandar Riswanto,Buku Pintar Islam, (Bandung:PT Mizan Pustaka, 2010), h.98.

12
Namun, langkah-langkah untuk membebaskan hutang sangat tergantung pada
kasus dan aturan yang berlaku.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hutang adalah kewajiban keuangan yang harus dibayar oleh entitas kepada
pihak ketiga. Ini bisa berupa pinjaman, utang dagang, atau kewajiban lainnya.
Manajemen hutang yang bijak penting untuk menjaga kesehatan keuangan
perusahaan. Piutang adalah klaim atas uang atau aset yang dimiliki oleh suatu
entitas dari pihak ketiga. Ini bisa berupa piutang dagang, piutang usaha, atau
klaim lainnya. Penting untuk mengelola dan mengumpulkan piutang dengan
efisien. Pengukuran dan pelaporan hutang piutang diatur oleh prinsip-prinsip
akuntansi, termasuk aturan pengakuan, pengukuran, dan pengungkapan yang
ditentukan oleh standar akuntansi yang berlaku.
Hutang dan piutang adalah komponen penting dalam neraca, yang
mencerminkan posisi keuangan perusahaan pada suatu titik waktu. Piutang adalah
aset, sementara hutang adalah kewajiban. Manajemen yang baik dari hutang dan
piutang dapat memengaruhi arus kas dan profitabilitas perusahaan. Manajemen
risiko hutang dan piutang dapat membantu melindungi perusahaan dari masalah
likuiditas dan kerugian. Hutang dan piutang dapat memiliki berbagai jenis dan
karakteristik, termasuk jangka pendek dan jangka panjang, bunga atau non-bunga,
dan berbagai ketentuan pembayaran.

3.2 Saran
Materi hutang dan piutang sangat terkait dengan manajemen keuangan.
Pelajari konsep manajemen keuangan yang mencakup pengelolaan likuiditas,
analisis risiko, dan strategi pengelolaan hutang dan piutang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010)

Harun, Fiqh Muamalah (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017),

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Rajawali Press, 2014)

H.Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007),

Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz II.

Muhammad bin Yazid Abu Abdullah, Sunan Ibnu Majah (Bairut: Dar Al-Fikr) II

Muhammad Syarif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar (Jakarta:


Kencana Prenada Media Group, 2012)
Poerwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,2003)

R.Subekti Dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,


(Jakarta:Pradnya Paramita, 1992)

Shaleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta:Gema Insani, 2005)

15

Anda mungkin juga menyukai