Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PINJAM MEMINJAM & HUTANG PIUTANG

Disusun oleh :

Novi Deka Valentina (2011040212)

Arga Andrean Tito (2011040366)

Aulia Salsa Fadhila (2011040273)

Dosen Pengampu : Ayu Lestari M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH & KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN


LAMPUNG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan
kami semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah yang
berjudul “Pinjam Meminjam & Hutang Piutang” dapat selesai seperti waktu yang telah
kami rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak
yang telah memberikan bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ayu Lestari M.Pd.I, selaku dosen mata kuliah Fiqh UIN Raden Intan Lampung
yang sudah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami

2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada kami sehingga
makalah ini dapat terselesaikan

3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar


makalah ini dapat di selesaikan

Selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan, makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqh. Makalah ini membahas tentang “Pinjam
Meminjam & Hutang Piutang”.

Tak ada gading yang tak retak, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah-makalah
selanjutnya.

Bandar Lampung, 22 Oktober 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................

A. Pinjam Meminjam................................................................................
1. Pengertian ‘Ariyah/Meminjam.......................................................
2. Hukum Pinjam Meminjam..............................................................
3. Rukun dan Syarat Barang Pinjam Meminjam................................
4. Hak dan Kewajiban Peminjam........................................................
5. Jenis-Jenis Pinjaman dan Fadlilahnya............................................
6. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman..........................................
B. Hutang Piutang.....................................................................................
1. Pengertian Hutang Piutang.............................................................
2. Dasar Hukum Hutang Piutang........................................................
3. Rukun dan Syarat Hutang Piutang..................................................
4. Faktor Terjadinya Hutang Piutang..................................................
5. Etika dalam Transaksi Hutang Piutang...........................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Utang piutang berkonotasi pada uang dan barang yang di pinjam dengan
kewajiban untuk membayar kembali apa yang sudah di terima dengan yang sama. Utang
piutang yang memberikan sesuatu dengan yang lain dengan perjanjian dia akan
mengembalikanya dengan yang sama. Sedangkan menurut bahasa arab hutang disebut
dengan Qard. Hukum utang piutang pada asalnya di perbolehkan dalam syariat Islam.
Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah hal yang di sukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat
pahala yang besar. Piutang termasuk salah satu pos dalam Aset. Piutang adalah hak
yang berhak untuk ditagih oleh pihak satu ke pihak lainnya karena terjadinya suatu
transaksi, biasanya karena transaksi penjualan secara kredit. Dalam pengertian
akuntansi secara konvensional, terdapat beberapa macam piutang, yaitu piutang dagang,
piutang wesel, piutang gaji, dll. Piutang ini dapat termasuk dalam Aset Lancar jika
diperkirakan dapat ditagih dalam waktu kurang dari satu tahun.Piutang yang termasuk
dalam Aset Lancar adalah piutang dagang, dan piutang bisnis.

Oleh Islam bukanlah sesuatu yang harus di cela dan di benci karena nabi sendiri
pernah berhutang namun meskipun demikian sebisa mungkin hutang piutang atau
meminjam barang dan uang harus dihindari semaksimalnya. Memberikan hutang atau
pinjaman adalah perbuatan yang baik, karena merupakan salah satu kegiatan ekonomi
yang terdapat unsur tolong menolong sesama manusia sebagai mahkluk sosial. Dalam
tolong menolong seseorang hendaknya di perhatikan bahwa memberi pertolongan itu
tidak mencari keuntungan tetapi hanya sekedar mengurangi atau menghilangkan beban
atas kebutuhan yang sedang seseorang butuhkan, janganlah mencari keuntungan dengan
cara yang batil dalam melakukan setiap perniagaan.
Secara umum utang piutang ialah memberi sesuatu kepada seseorang dengan
perjanjian dia akan mengembalikanya sama dengan yang itu (sama nilainya) setiap
perbuatan yang mengacu pada perniagaan maupun hutang piutang tentunya melalui
proses awal yaitu akad, sebelum terjadinya perikatan antara pihak satu dengan pihak
lain. Disaat pengembalian barang yang telah di sepakati pada awal akad, apabila si
berhutang melebihkan banyaknya hutang itu karena kemauan sendiri maka hal itu
diperbolehkan atau halal, tetapi jika tambahan dikehendaki oleh yang menghutangi atai
telah menjadi suatu akad maka hal itu tidak boleh, dan tambahan itu tidak halal. Riba
dapat menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara
hutang piutang maka riba itu cenderung memeras orang miskin daripada menolong
orang miskin

B. Rumusan Masalah

1. Pengertian ‘Ariyah/Meminjam
2. Hukum Pinjam Meminjam
3. Rukun dan Syarat Barang Pinjam Meminjam
4. Hak dan Kewajiban Peminjam
5. Jenis-Jenis Pinjaman dan Fadlilahnya
6. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman
7. Pengertian Hutang Piutang
8. Dasar Hukum Hutang Piutang
9. Rukun dan Syarat Hutang Piutang
10. Faktor Terjadinya Hutang Piutang
11. Etika dalam Transaksi Hutang Piutang

C. Tujuan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Fiqh dan
membahas, mengetahui, mengkaji materi yang ada pada rumusan masalah tentang
pinjam meminjam dan hutang piutang sesuai dengan fiqh muamalah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PINJAM MEMINJAM

1. Pengertian ‘Ariyah

Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan. Dalam istilah ilmu
fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda. Ulama
hanafiyyah dan malikiyyah mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:

‫تمليك منفعة مؤقتة بال عوض‬

“Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa


imbalan.”

Sedangkan ulama Syafi’iyyah, Hanbilah dan Zahiriyyah, mendefinisikan ‘ariyah


sebagai berikut:

‫باحة االنتفاع بما يحل االنتفاع به مع يقاءعينه بال عوض‬

“Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap
dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.”

Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum


yang berbeda. Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah
penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya,
peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau
menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang. sebab
dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut.Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan
Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan
barang, bukan memiliki hak guna barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh
meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.

2. Hukum Pinjam Meminjam

Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi


yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam (musta’ir)
merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik
barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak menggunakan pinjamannya untuk
tujuanmaksiat atau hal-hal yang makruh.

Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan
darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika
meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang,
atauhanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada
orang yang bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang
tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak dipinjami baju.

Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi


makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya
untuk bekerja kepada seorang kafir.

‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang dilarang.
Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan
untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.
3. Rukun dan Syarat Barang Pinjam Meminjam

Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua
syarat berikut:Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus
memusnahkan atau menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang
dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan
sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh.Kedua,
barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak
digunakan untuk tujuan yang diharamkan.

4. Hak dan Kewajiban Peminjam

Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak memberikan


batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh
memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang dibenarkan secara ‘urf
(kebiasaan). Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa pun
selama penggunaannya masih dalam batas kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah
fiqih:

‫اطرشطورشمال ًكافرعفورعمل‬

“Sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”

Contohnya, seseorang meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama


temannya itu tidak memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam boleh
menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai pemakaian
wajar. Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.

Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut


beras misalnya, atau mengangkut hewan qurban. Karena, secara ‘urfhal tersebut sudah
keluar dari batas kewajaran.

Jika pemilik barang memberikan syarat atau batasan-batasan tertentu dalam


pemakaian barangnya, maka peminjam harus patuh terhadap syarat tersebut. Jika tidak,
si peminjam dianggap sebagai ghasib. Contohnya, pemilik mobil hanya
memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau selama
dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi apa yang
disyaratkan oleh pemilik barang.

5. Jenis-Jenis Pinjaman dan Fadilahnya

Menurut pendapat ulama pinjaman itu ada dua macam yakni pinjaman konsumtif
dan pinjaman produktif. Pinjaman konsumtif adalah pinjaman yang diambil untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan pinjaman produktif yang diambil sebagai modal
untuk menjalankan usaha. Adapun ulama Sayyid Bazarghan membagi pinjaman
konsumtif ke dalam tiga macam yakni:

1. Pinjaman orang lemah

Pinjaman orang lemah adalah pinjaman yang mendesak untuk memenuhi


kebutuhannya dan mereka yang meminjam tidak memiliki orang lain atau eluarga untuk
membantu misalnya orang miskin dalam keadaan sakit dan butuh pengobatan.

2. Pinjaman orang yang memerlukan bantuan

Pinjama yang dimaksud disini adalah pinjaman yang diberikan kepada mereka
yang bukan orang miskin namun membutuhkan bantuan dan mereka bisa
mengembalikannya di masa yang akan datang.

3. Orang yang memiliki hutang.

Pinjaman ini diberikan kepada orang dengan kondisi yang lebih baik daripada dua
kategori diatas namun orang yang meminjam ini membutuhkan pinjaman untuk
melunasi hutangnya pada orang lain dengan segera.
6. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman

Kapankah pemilik boleh mengambil kembali barangnya yang dipinjam? Apakah


boleh mengambil sewaktu-waktu, atau hanya boleh mengambil pada waktu yang sudah
disepakati? Dalam hal ini para ulama membagi ke dalam dua pendapat.

1. Pendapat Pertama

Ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zhahiriyyah


memandang bahwa pemilik barang boleh meminta barangnya dari peminjam kapan pun
dia mau. Dengan syarat tidak menimbulkan mudarat bagi si peminjam.

2. Pendapat Kedua

Sedangkan Malikiyyah berpendapat, pemilik barang tidak boleh meminta


barangnya kecuali setelah jangka waktu yang telah disepakati. Atau setelah jangka
waktu yang sewajarnya, jika tidak ada ketentuan berapa lama batas waktu peminjaman
dari pemilik barang. Atau setelah barang pinjaman tersebut selesai digunakan untuk
keperluan peminjam.

B. HUTANG PIUTANG

1. Pengertian Hutang Piutang

Dalam terminologi fikih muamalah, utang piutang disebut dengan ‚dayn‛ ( ‫)دين‬.
Istilah ‚dayn‛ (‫ )دين‬ini juga sangat terkait dengan istilah ‚qard (‫ )قرض‬yang dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan pinjaman. Sebagian ulama ada yang mengistilahkan utang
piutang dengan istilah iqrad atau qard. Salah satunya adalah Syekh Zainuddin bin Abdul
Aziz al-Malibary, dalam kitab Fathal-Mu’in beliau mendefinisikan iqrad dengan
memberikan hak milik kepada seseorang dengan janji harus mengembalikan sama
dengan yang diutangkan. Dalam pengertian umum, utang piutang mencakup transaksi
jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai (kontan), transaksi
seperti ini dalam fiqih dinamakan mudayanah atau tadayyun.

Utang piutang (qard) menurut bahasa artinya al-qat‘u (memotong). Dinamakan


demikian karena pemberi utang (muqrid) memotong sebagian hartanya dan
memberikannya kepada pengutang. Secara istilah, menurut Hanafiyah qard adalah harta
yang memiliki kesepadanan yang anda berikan untuk anda tagih kembali. Atau dengan
kata lain suatu transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki
kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.

Madhhab-madhhab yang lain mendefinisikan qard sebagai bentuk pemberian


harta dari seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan ganti harta sepadan
yang menjadi tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang diambil, hal itu
dimaksudkan sebagai bantuan kepada orang yang diberi saja. Harta tersebut mencakup
harta mithliyat (barang yang memiliki kesepadanan dan kesetaraan dipasar), hewan dan
barang dagangan. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan
pengertian utang piutang (qard), antara lain:

1.Menurut ulama Hanafiyahdan Syafi’iyah, qard adalah harta yang diserahkan kepada
orang lain untuk diganti dengan harta yang sama. Ataudalam arti lain suatu transaksi
yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang
lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.

2.Menurut ulama Malikiyah, qard adalah penyerahan harta kepada orang lain yang tidak
disertai imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.

3.Menurut ulama Hanabilah, qard adalah penyerahan harta kepada seseorang untuk
dimanfaatkan dan ia wajib mengembalikan dengan harta yang serupa sebagai gantinya.
4.Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qard sebagai harta
yang diberikan oleh muqrid (pemberi pinjaman) kepada muqtarid (orang yang
meminjam), agar muqtarid mengembalikan yang serupa dengannya kepada muqrid
ketika telah mampu.

5.Menurut Hasbi as-Siddiqi utang piutang (qard) adalah akad yang dilakukan oleh dua
orang yang salah satu dari kedua orang tersebut mengambil kepemilikan harta dari
lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus
mengembalikan barang tersebut senilai dengan apa yang dia ambil dahulu. Berdasarkan
pengertian ini maka qard} memiliki dua pengertian yaitu: I’arah yang mengandung arti
tabarru’ atau memberikan harta kepada seseorang dan akan dikembalikan, dan
mu’awadah karena harta yang diambil bukan sekedar dipakai kemudian dikembalikan,
melainkan dihabiskan dan dibayar gantinya.

Sehingga dengan demikian,utang piutang (qard) adalah adanya pihak yang


memberikan harta baik berupa uang atau barang kepadapihakyang berutang, dan pihak
yang berutang menerima sesuatu tersebut dengan perjanjian dia akan membayar atau
mengembalikanharta tersebut dalam jumlah yang sama. Selain itu akad dari utang
piutang itu sendiri adalah akad yang bercorakta‘awun (pertolongan) kepada pihak lain
untuk memenuhi kebutuhannya.

2. Dasar Hukum Hutang Piutang

Hutang piutang hukumnya sangat fleksibel tergantung bagaimana situasi dan


keadaan yang terjadi. Dalam agama Islam, disebutkan ada beberapa dalil tentang hukum
piutang dan selama bertujuan baik untuk membantu atau mengurangi kesusahan maka
hukumnya jaiz atau boleh. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam
surat Al-Baqarah ayat 245 yang artinya:

“ Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS Al-Baqarah [2] :
245)

Bahkan di jaman sekarang ini, banyak orang yang memanfaatkan hutang piutang
dengan mengambil riba. Hukum riba dalam islam sangat diharamkan karena tidak
sesuai dengan syari’at Islam. Bahkan Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275
yang artinya:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharapkan riba” (QS Al-Baqarah
[2] : 275)

Allah juga berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 130 yang artinya:

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba” (QS Ali-Imran [3] :
130)

Dari dua firman Allah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Allah sangat
mengharamkan riba dan memerintahkan hamba-Nya untuk menjauhi riba.

Hutang piutang berbeda dengan kredit, karena dalam sistem kredit ada tambahan
yang harus dibayar. Sedangkan dalam hutang piutang tidak ada, jumlah yang
dikembalikan harus sama dengan jumlah yang dipinjam dan jika ada tambahan maka
dinamakan riba dan hukumnya haram.

Dalam Islam, ada contoh hutang piutang yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallalluhu ‘Alaihi Wasallam. Pada saat itu, beliau pernah berhutang kepada seseorang
Yahudi dan Beliau melunasi hutangnya dengan memberikan sebuah baju besi yang telah
Beliau gadaikan. Seperti yang diriwayatkan dalam Hadist Al-Bukhari no. 2200 yang
berbunyi:

“ Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Al-Bukhari no. 2200)
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
pernah berhutang, namun itu tidak diartikan bahwa Beliau sangat gemar berhutang.
Karena Rasulullah sendiri sangat menghindari kegiatan berhutang kecuali dalam
keadaan mendesak atau terpaksa. Hal ini dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Aisyah Radhiallahu ‘Anhaa yang berbunyi:

“ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dari


fitnah Al-Masiih, Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah!
Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dari
berhutang.”

Berhutang sendiri bukanlah merupakan dosa dan bukan perbuatan yang tercela
jika seseorang yang berhutang tersebut menggunakan apa yang dihutangnya sesuai
dengan kebutuhannya. Namun, dalam hal ini Islam juga tidak membenarkan untuk
gemar berhutang dan tidak bisa mengendalikan diri untuk selalu berhutang. Hendaknya
anda mengetahui  hukum tidak membayar hutang agar tidak mudah melakukan hutang.

Karena hal tersebut akan mengarahkan kepada perbuatan yang munkar. Orang
yang terlilit hutang secara otomatis akan menjadi orang yang ingkar janji dan selalu
berdusta.

Agama Islam telah menyediakan jalur alternatif untuk melakukan hutang


piutang dengan aman. Seperti kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu
menggadaikan barang yang Beliau miliki.

3. Rukun dan Syarat Hutang Piutang

Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu shighah, ‘aqidain (dua pihak yang
melakukan transaksi), dan harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut
beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Shighah

Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan
fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang
menunjukkan maknanya , seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku
menghutangimu”.

Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti
“aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.

2. ‘Aqidain

Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi
hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.

a. Syarat-syarat bagi pemberi hutang:

Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli
tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat,
dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka
berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh
karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti
shadaqah.

b. Syarat bagi penghutang:

1. Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai


ahliyah al-mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-
tabarru’ (kelayaka bersosial). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan
penghutangkan mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta)
secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
2. Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tidak
ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah memberi hutang kepada
masjid, sekolah, atau ribath (berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua
ini tidak mempunyai potensi menanggung.

c. Harta yang dihutangkan

Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.

1. Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta
yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang
megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar,
ditimbang, ditahan, dan dihitung. Tidak boleh menghutangkan harta yang
nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu
mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini
karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara
mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena
perbedaan harga dan taksiran nilainya.
2. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan
manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan
Hanabilah. Berbeda dengan kalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak
mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja
menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini
karena bagi mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh
dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti
halnya benda padaa umumnya. Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan
ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan manfaat (jasa).
3. Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha’
karena dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta
semisalnya (yang sama).
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1). Diketahui kadarnya dan 2)
Diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak
mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.

4. Faktor Terjadinya Hutang Piutang

Ada 3 penyebab utama terjadinya hutang piutang yaitu:

1.Under Earning

Ini terjadi karena penghasilan terlalu kecil dibandingkan kebutuhan sehari-hari.

2.Over Spending

Boros merupakan gaya hidup seseorang dimana mereka yang memiliki


penghasilan yang cukup tapi pengeluarannya pun cukup besar. Penghasilannya mungkin
akanmenutupi kebutuhan hidupnya, tapi mereka bisa mengontrol keinginan pribadinya
yang begitu besar.

3.Un-Expected

Biasanya terjadi karena kecelakaan dan sesuatu yang diduga-duga. Seperti


halnya tertipu orang, terkena musibah dan lain-lain sehingga mereka terpaksa berhutang
karena harus menanggung kerugian tersebut.

Sedangkan menurut H.A Khumedi Ja‟far dalam bukunya Hukum Perdata Islam
di Indonesiadijelaskanbahwafaktor yang mendorong seseorang berhutang, antara lain
keadaan ekonomi yang memaksa (darurat) atau tuntunan kebutuhan ekonomi.
5. Etika dalam Transaksi Hutang Piutang

Disamping adanya syarat dan rukun hutang piutang,juga terdapat ketentuan-


ketentuan mengenai adab atau etika yang harus diperhatikan dalam masalah-masalah
hutang piutang (qardh), yaitu:

A. Etika bagi pemberi hutang (muqtarid).

1. Orang yang menghutangkan wajib memeberi tempo membayaran bagi yang


meminjam agar ada kemudahan untuk membayar.

2. Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan.

3. Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut dan penuh maaf.

4. Memberikan penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam


melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.

B. Etika bagi orang yang berhutang (muqtarid)

1. Diwajibkan kepada orang yang berhutang untuk sesegera mungkin melunasi


hutangnya tatkala ia telah mampu untuk melunasinya, Sebab orang yang
menunda-nunda pelunasan hutang padahal ia mampu, maka ia tergolong orang
yang berbuat zalim.

2. Pemberi hutang (muqrid) tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari
orang yang berhutang (muqtarid) dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, bahwa
pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram
berdasarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Keharaman itu meliputi segala macam
bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan hutang
(muqrid) kepada si penghutang (muqtarid).

3. Berhutang dengan niat yang baik, dalam arti berhutang tidak untuk tujuan yang
buruk seperti : berhutang untuk foya-foya (bersenang-senang), berhutang dengan
niat meminta karena jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang
agar mau memberi dan berhutang dengan niat akan melunasinya.

4. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keungan, hendaknya orang berhutang


memberitahukan kepada orang yang memberikan hutang, karena hal ini
termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam
diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan merubah hutang yang
awalnya sebagai wujud tolong menolong menjadi permusuhan.

Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam ‘ariyah tentang nilai dan sopan
santun yang terkait di dalamnya, ialah:

1. Sesuai dengan QS Al-Baqarah: 282, hutang piutang supaya dikuatkan dengan


tulisan dari pihak berhutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau
dengan seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan. Tulisan
tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai.

2. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak


disertai niat dalam hati akan membayarnya /mengembalikannya.

3. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak


berhutang.

4. Pihak yang berhutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya


dipercepat pembayaran hutangnya.

Lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim. Sedangkan solusi Islam
untuk orang yang tidak mampu membayar hutang adalah sebagai berikut:

1. Mengambil hutang pokoknya saja (kapital). Mengambil hutang pokok tidak


akan mendzalimi orang yang berhutang dengan mengambil laba dari hutang
pokok.
2. Menambah penangguhan waktu pembayaran hutang, seperti dijelaskan dalam
firman Allah SWT QS. Al-Baqarah:280 yang artinya “Dan jika orang yang
berhutang itu dalam kesukaran maka berilah penangguhan sampai dia lapang”.

3. Membebaskan hutang

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Pinjam Meminjam

Pinjam meminjam adalah suatu kegiatan menyerahkan kepemilikan suatu hak


guna benda dalam jangka waktu tertentu untuk dipinjamkan kepada seseorang.
Hukum pinjam meminjam dapaat menjadi hal yang sunah, wajib, makruh dan
haram hal tergantung niat dari si peminjam atau yang memili kepemilikan
benda. Adapun rukun dan syarat pinjam meminjam seperti barang tersebut bisa
diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau menghabiskannya dan
barang yang dipinjam merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan
tidak digunakan untuk tujuan yang haram. Adapun jenis-jenis pinjaman seperti
pinjaman orang lemah, pinjaman orang yang memerlukan bantuan, dan orang
yang memiliki hutang dan untuk waktu pengembalian para ulama memiliki dua
jenis pendapat seperti pemilik barang boleh meminta barangnya daari peminjam
kapan pun dia mau dan pemilik barang tidak boleh meminta barangnya kecuali
setelah jangka waktu yang telah disepakati.

b. Hutang piutang

Hutang piutang adalah perlakuan meminja mkan sebagian hartanya kepada si


penghutang dengan janji harus mengembalikannya secara utuh atau sama
nominalnya dengan yang diutang. Dasar hukum utang piutang sangatlah
fleksibel tergantung dengan suasana dan keadaan yang terjadi serta di dalam
islam hutang piutang hanya diperuntukkan untuk membantu seseorang jika
seseorang tersebut dalam keadaan yang genting. Hutang piutang sangat
diharaman untuk menggunakan sistem riba karena Allah sangat melarang hal
tersebut. Ada tiga rukun untuk hutang piutang, seperti shighah, aqidain, dan
harta yang dibutuhkan. Di dalam hutang piutang kita harus mimiliki etika dalam
berhutang atau menghutanginya karena tanpa adanya etika dalam hal ini maka
akan timbul hal hal yang sangat tidak menguntungkan pihak lain contohnya
seperti telat membayar hutang. Hutang akan berakhir jika harta yang diutanginya
telah diserahkan atau dikembilakan kepada si pemilik dan hutang juga dapat
berakhir jika si muqrid membatalkan akad hutang tersebut atau menganggap
lunas

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, makalah ini mempunyai banyak kekurangan


dan jauhnya dari kesempurnaan, oleh karena itu segala kritik dan saran  yang
bersifat membangun sangat lah kami harapkan terutama dari bapak dosen
pembimbing dan rekan pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini
dimasa mendatang, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan
menambah wawasan kita.
DAFTAR PUSAKA

Wahab, Moch Abdul, Lc. 2018. Fiqih Pinjam Meminjam. Jaksel:Rumah Fiqih
Publishing

Wahab, Moch Abdul, Lc. 2018. Hutamg dan Inflasi dalam Perspektif Fiqih Muamalah.
Jaksel:Rumah Fiqih Publishing

https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-hutang-piutang-dalam-islam

https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/24/fiqh-muamalah-8-qardh-hutang-piutang/

Ibnu Abdin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar, hal. 282/5.

Anda mungkin juga menyukai