Disusun oleh :
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan
kami semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah yang
berjudul “Pinjam Meminjam & Hutang Piutang” dapat selesai seperti waktu yang telah
kami rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak
yang telah memberikan bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ayu Lestari M.Pd.I, selaku dosen mata kuliah Fiqh UIN Raden Intan Lampung
yang sudah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada kami sehingga
makalah ini dapat terselesaikan
Selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan, makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqh. Makalah ini membahas tentang “Pinjam
Meminjam & Hutang Piutang”.
Tak ada gading yang tak retak, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah-makalah
selanjutnya.
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. Pinjam Meminjam................................................................................
1. Pengertian ‘Ariyah/Meminjam.......................................................
2. Hukum Pinjam Meminjam..............................................................
3. Rukun dan Syarat Barang Pinjam Meminjam................................
4. Hak dan Kewajiban Peminjam........................................................
5. Jenis-Jenis Pinjaman dan Fadlilahnya............................................
6. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman..........................................
B. Hutang Piutang.....................................................................................
1. Pengertian Hutang Piutang.............................................................
2. Dasar Hukum Hutang Piutang........................................................
3. Rukun dan Syarat Hutang Piutang..................................................
4. Faktor Terjadinya Hutang Piutang..................................................
5. Etika dalam Transaksi Hutang Piutang...........................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Utang piutang berkonotasi pada uang dan barang yang di pinjam dengan
kewajiban untuk membayar kembali apa yang sudah di terima dengan yang sama. Utang
piutang yang memberikan sesuatu dengan yang lain dengan perjanjian dia akan
mengembalikanya dengan yang sama. Sedangkan menurut bahasa arab hutang disebut
dengan Qard. Hukum utang piutang pada asalnya di perbolehkan dalam syariat Islam.
Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat
membutuhkan adalah hal yang di sukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat
pahala yang besar. Piutang termasuk salah satu pos dalam Aset. Piutang adalah hak
yang berhak untuk ditagih oleh pihak satu ke pihak lainnya karena terjadinya suatu
transaksi, biasanya karena transaksi penjualan secara kredit. Dalam pengertian
akuntansi secara konvensional, terdapat beberapa macam piutang, yaitu piutang dagang,
piutang wesel, piutang gaji, dll. Piutang ini dapat termasuk dalam Aset Lancar jika
diperkirakan dapat ditagih dalam waktu kurang dari satu tahun.Piutang yang termasuk
dalam Aset Lancar adalah piutang dagang, dan piutang bisnis.
Oleh Islam bukanlah sesuatu yang harus di cela dan di benci karena nabi sendiri
pernah berhutang namun meskipun demikian sebisa mungkin hutang piutang atau
meminjam barang dan uang harus dihindari semaksimalnya. Memberikan hutang atau
pinjaman adalah perbuatan yang baik, karena merupakan salah satu kegiatan ekonomi
yang terdapat unsur tolong menolong sesama manusia sebagai mahkluk sosial. Dalam
tolong menolong seseorang hendaknya di perhatikan bahwa memberi pertolongan itu
tidak mencari keuntungan tetapi hanya sekedar mengurangi atau menghilangkan beban
atas kebutuhan yang sedang seseorang butuhkan, janganlah mencari keuntungan dengan
cara yang batil dalam melakukan setiap perniagaan.
Secara umum utang piutang ialah memberi sesuatu kepada seseorang dengan
perjanjian dia akan mengembalikanya sama dengan yang itu (sama nilainya) setiap
perbuatan yang mengacu pada perniagaan maupun hutang piutang tentunya melalui
proses awal yaitu akad, sebelum terjadinya perikatan antara pihak satu dengan pihak
lain. Disaat pengembalian barang yang telah di sepakati pada awal akad, apabila si
berhutang melebihkan banyaknya hutang itu karena kemauan sendiri maka hal itu
diperbolehkan atau halal, tetapi jika tambahan dikehendaki oleh yang menghutangi atai
telah menjadi suatu akad maka hal itu tidak boleh, dan tambahan itu tidak halal. Riba
dapat menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara
hutang piutang maka riba itu cenderung memeras orang miskin daripada menolong
orang miskin
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ‘Ariyah/Meminjam
2. Hukum Pinjam Meminjam
3. Rukun dan Syarat Barang Pinjam Meminjam
4. Hak dan Kewajiban Peminjam
5. Jenis-Jenis Pinjaman dan Fadlilahnya
6. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman
7. Pengertian Hutang Piutang
8. Dasar Hukum Hutang Piutang
9. Rukun dan Syarat Hutang Piutang
10. Faktor Terjadinya Hutang Piutang
11. Etika dalam Transaksi Hutang Piutang
C. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Fiqh dan
membahas, mengetahui, mengkaji materi yang ada pada rumusan masalah tentang
pinjam meminjam dan hutang piutang sesuai dengan fiqh muamalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PINJAM MEMINJAM
1. Pengertian ‘Ariyah
Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan. Dalam istilah ilmu
fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda. Ulama
hanafiyyah dan malikiyyah mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:
“Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap
dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.”
Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan
darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika
meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang,
atauhanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada
orang yang bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang
tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak dipinjami baju.
‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang dilarang.
Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan
untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.
3. Rukun dan Syarat Barang Pinjam Meminjam
Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua
syarat berikut:Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus
memusnahkan atau menghabiskannya. Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang
dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan
sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh.Kedua,
barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak
digunakan untuk tujuan yang diharamkan.
اطرشطورشمال ًكافرعفورعمل
Menurut pendapat ulama pinjaman itu ada dua macam yakni pinjaman konsumtif
dan pinjaman produktif. Pinjaman konsumtif adalah pinjaman yang diambil untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan pinjaman produktif yang diambil sebagai modal
untuk menjalankan usaha. Adapun ulama Sayyid Bazarghan membagi pinjaman
konsumtif ke dalam tiga macam yakni:
Pinjama yang dimaksud disini adalah pinjaman yang diberikan kepada mereka
yang bukan orang miskin namun membutuhkan bantuan dan mereka bisa
mengembalikannya di masa yang akan datang.
Pinjaman ini diberikan kepada orang dengan kondisi yang lebih baik daripada dua
kategori diatas namun orang yang meminjam ini membutuhkan pinjaman untuk
melunasi hutangnya pada orang lain dengan segera.
6. Waktu Pengembalian Barang Pinjaman
1. Pendapat Pertama
2. Pendapat Kedua
B. HUTANG PIUTANG
Dalam terminologi fikih muamalah, utang piutang disebut dengan ‚dayn‛ ( )دين.
Istilah ‚dayn‛ ( )دينini juga sangat terkait dengan istilah ‚qard ( )قرضyang dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan pinjaman. Sebagian ulama ada yang mengistilahkan utang
piutang dengan istilah iqrad atau qard. Salah satunya adalah Syekh Zainuddin bin Abdul
Aziz al-Malibary, dalam kitab Fathal-Mu’in beliau mendefinisikan iqrad dengan
memberikan hak milik kepada seseorang dengan janji harus mengembalikan sama
dengan yang diutangkan. Dalam pengertian umum, utang piutang mencakup transaksi
jual beli dan sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai (kontan), transaksi
seperti ini dalam fiqih dinamakan mudayanah atau tadayyun.
1.Menurut ulama Hanafiyahdan Syafi’iyah, qard adalah harta yang diserahkan kepada
orang lain untuk diganti dengan harta yang sama. Ataudalam arti lain suatu transaksi
yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang
lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.
2.Menurut ulama Malikiyah, qard adalah penyerahan harta kepada orang lain yang tidak
disertai imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.
3.Menurut ulama Hanabilah, qard adalah penyerahan harta kepada seseorang untuk
dimanfaatkan dan ia wajib mengembalikan dengan harta yang serupa sebagai gantinya.
4.Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qard sebagai harta
yang diberikan oleh muqrid (pemberi pinjaman) kepada muqtarid (orang yang
meminjam), agar muqtarid mengembalikan yang serupa dengannya kepada muqrid
ketika telah mampu.
5.Menurut Hasbi as-Siddiqi utang piutang (qard) adalah akad yang dilakukan oleh dua
orang yang salah satu dari kedua orang tersebut mengambil kepemilikan harta dari
lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus
mengembalikan barang tersebut senilai dengan apa yang dia ambil dahulu. Berdasarkan
pengertian ini maka qard} memiliki dua pengertian yaitu: I’arah yang mengandung arti
tabarru’ atau memberikan harta kepada seseorang dan akan dikembalikan, dan
mu’awadah karena harta yang diambil bukan sekedar dipakai kemudian dikembalikan,
melainkan dihabiskan dan dibayar gantinya.
“ Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS Al-Baqarah [2] :
245)
Bahkan di jaman sekarang ini, banyak orang yang memanfaatkan hutang piutang
dengan mengambil riba. Hukum riba dalam islam sangat diharamkan karena tidak
sesuai dengan syari’at Islam. Bahkan Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275
yang artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharapkan riba” (QS Al-Baqarah
[2] : 275)
Allah juga berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 130 yang artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba” (QS Ali-Imran [3] :
130)
Dari dua firman Allah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Allah sangat
mengharamkan riba dan memerintahkan hamba-Nya untuk menjauhi riba.
Hutang piutang berbeda dengan kredit, karena dalam sistem kredit ada tambahan
yang harus dibayar. Sedangkan dalam hutang piutang tidak ada, jumlah yang
dikembalikan harus sama dengan jumlah yang dipinjam dan jika ada tambahan maka
dinamakan riba dan hukumnya haram.
Dalam Islam, ada contoh hutang piutang yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallalluhu ‘Alaihi Wasallam. Pada saat itu, beliau pernah berhutang kepada seseorang
Yahudi dan Beliau melunasi hutangnya dengan memberikan sebuah baju besi yang telah
Beliau gadaikan. Seperti yang diriwayatkan dalam Hadist Al-Bukhari no. 2200 yang
berbunyi:
“ Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Al-Bukhari no. 2200)
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
pernah berhutang, namun itu tidak diartikan bahwa Beliau sangat gemar berhutang.
Karena Rasulullah sendiri sangat menghindari kegiatan berhutang kecuali dalam
keadaan mendesak atau terpaksa. Hal ini dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Aisyah Radhiallahu ‘Anhaa yang berbunyi:
Berhutang sendiri bukanlah merupakan dosa dan bukan perbuatan yang tercela
jika seseorang yang berhutang tersebut menggunakan apa yang dihutangnya sesuai
dengan kebutuhannya. Namun, dalam hal ini Islam juga tidak membenarkan untuk
gemar berhutang dan tidak bisa mengendalikan diri untuk selalu berhutang. Hendaknya
anda mengetahui hukum tidak membayar hutang agar tidak mudah melakukan hutang.
Karena hal tersebut akan mengarahkan kepada perbuatan yang munkar. Orang
yang terlilit hutang secara otomatis akan menjadi orang yang ingkar janji dan selalu
berdusta.
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu shighah, ‘aqidain (dua pihak yang
melakukan transaksi), dan harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut
beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan
fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang
menunjukkan maknanya , seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku
menghutangimu”.
Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti
“aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2. ‘Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi
hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli
tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat,
dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka
berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh
karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti
shadaqah.
1. Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta
yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang
megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar,
ditimbang, ditahan, dan dihitung. Tidak boleh menghutangkan harta yang
nilainya satu sama lain dalam satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu
mempengaruhi harga, seperti hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini
karena tidak ada cara untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara
mengembalikan harga sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena
perbedaan harga dan taksiran nilainya.
2. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan
manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan
Hanabilah. Berbeda dengan kalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak
mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja
menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini
karena bagi mereka semua yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh
dihutangkan, sedangkan bagi mereka salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti
halnya benda padaa umumnya. Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan
ahli ilmu lainnya adalah bolehnya menghutangkan manfaat (jasa).
3. Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha’
karena dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta
semisalnya (yang sama).
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1). Diketahui kadarnya dan 2)
Diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak
mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.
1.Under Earning
2.Over Spending
3.Un-Expected
Sedangkan menurut H.A Khumedi Ja‟far dalam bukunya Hukum Perdata Islam
di Indonesiadijelaskanbahwafaktor yang mendorong seseorang berhutang, antara lain
keadaan ekonomi yang memaksa (darurat) atau tuntunan kebutuhan ekonomi.
5. Etika dalam Transaksi Hutang Piutang
2. Pemberi hutang (muqrid) tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari
orang yang berhutang (muqtarid) dalam bentuk apapun. Dengan kata lain, bahwa
pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram
berdasarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Keharaman itu meliputi segala macam
bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan hutang
(muqrid) kepada si penghutang (muqtarid).
3. Berhutang dengan niat yang baik, dalam arti berhutang tidak untuk tujuan yang
buruk seperti : berhutang untuk foya-foya (bersenang-senang), berhutang dengan
niat meminta karena jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang
agar mau memberi dan berhutang dengan niat akan melunasinya.
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam ‘ariyah tentang nilai dan sopan
santun yang terkait di dalamnya, ialah:
Lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim. Sedangkan solusi Islam
untuk orang yang tidak mampu membayar hutang adalah sebagai berikut:
3. Membebaskan hutang
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Pinjam Meminjam
b. Hutang piutang
2. Saran
Wahab, Moch Abdul, Lc. 2018. Fiqih Pinjam Meminjam. Jaksel:Rumah Fiqih
Publishing
Wahab, Moch Abdul, Lc. 2018. Hutamg dan Inflasi dalam Perspektif Fiqih Muamalah.
Jaksel:Rumah Fiqih Publishing
https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-hutang-piutang-dalam-islam
https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/24/fiqh-muamalah-8-qardh-hutang-piutang/