Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AYAT DAN HADIST EKONOMI

PINJAMAN

DOSEN PENGAMPU:

SALITO,M.Pd.I.

DI SUSUN OLEH

ADELIA SETIA ANDINI ( 12115028)

YULI ISNANDA (12115018)

NADYA RAHMADANI (12115113)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PONTIANAK

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ayat Dan Hadist Ekonomidengan judul :
“PINJAMAN”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran , dan keritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya kami berharap semoga malah ini dapat memeberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Pontianak, 15 Desember 2021

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii

BAB 1...........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN........................................................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
C. Tujuan Masalah...........................................................................................................2

BAB II...........................................................................................................................................3

PEMBAHASAN...........................................................................................................................3

A. Pengertian Pinjam Meminjam.....................................................................................3


B. Hukum Pinjam Meminjam..........................................................................................6
C. Rukun Pinjam Meminjam...........................................................................................7
D. Etika Pinjam Meminjam.............................................................................................8

BAB III.........................................................................................................................................10

PENUTUP.....................................................................................................................................10

A. Kesimpulan.................................................................................................................10
B. Saran............................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................11

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan pinjam-meminjam uang atau istilah yang lebih dikenal sebagai utang-piutang
telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan bermasyarakat yang telah mengenal uang sebagai
alat utama dalam pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah
menjadikan pinjam meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung
perkembangan kegiatan ekonominya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.

Pinjam-meminjam atau utang-piutang merupakan suatu perbuatan hubungan hukum


antara seorang manusia dengan manusia yang lainnya yang sering dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Dalam hal ini yang menjadi obyek pokok dari utang piutang adalah uang, dengan
artian bahwa uang yang dipinjam/diutang tersebut memberikan kewajiban kepada pihak yang
berutang untuk mengembalikan apa yang sudah diterimanya dengan kondisi/jumlah yang sama
dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan demikian suatu utang-
piutang harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan atau dengan istilah lain harus
didahului dengan adanya suatu perjanjian untuk mengikatnya.

Menurut ketentuan dalam KUHPerdata Pasal 1313, menyebutkan bahwa “Perjanjian


adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu
orang atau lebih lainnya”. Menurut pendapat M. Yahya Harahap pengertian perjanjian adalah
suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak
lain untuk menunaikan prestasi.3 Sedangkan menurut pendapat Subekti, menyatakan bahwa
“Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.

Perjanjian utang-piutang uang termasuk dalam jenis perjanjian pinjam- meminjam, hal ini
telah diatur dan ditentukan dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang secara jelas menyebutkan
bahwa, “Perjanjian Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu

1
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah terntentu barang-barang yang menghabis
karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Oleh karena itu, pengertian
perjanjian utang piutang disini merupakan perjanjian antara pihak yang satu (kreditur) dengan
pihak yang lainnya adalah pihak yang menerima pinjaman uang tersebut (debitur) dan objek
yang diperjanjikan pada umumnya adalah uang. Dimana uang yang dipinjam itu akan
dikembalikan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang diperjanjiannya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pinjaman?

2. Mengetahui hukum pinjam meminjam?

3. Mengetahui rukun pinjam meminjam?

4. Mengetahui etika dalam pinjaman?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pinjam meminjam

2. Untuk mengetahui hukum pinjam meminjam

3. Untuk mengetahui rukun pinjam meminjam

4. Untuk mengetahui etika dalam pinjam meminjam

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian pinjam meminjam

Pinjam meminjam dalam bahasa arab disebut “Ariyah”. Kata “Ariyah” menurut bahasa
artinya pinjman. Pinjam-meminjam menurut istilah “syara” ialah akad berupa pemberian
manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak
mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikan setelah di ambil manfaatnya.

Rasullullah saw. Bersabda:

“Dan Allah menolong hamba-n-Nya selama hamba itu mau menolong saudaranya.”

Allah akan membantu orang yang berutang yang berniat melunasinya

“tiada seorang hamba pun yang mempunyai niat di dalam hatinya untuk melunasi utangnya,
kecuali allah pasti akan membantunya “ ( Riwayat Ahmad melalui Aisyah r.a )

Dalam hadis lain Rarulullah saw. Bersabda:

“Dari Abu Umamah ra. Dari Nabi saw. bersabda, “Pinjaman itu harus dikembalikan dan orang
yang meminjam dialah yang berutang, dan utang itu wajib dibayar.” (HR. At-Turmudzi).

ad-Dailami meriwayatkan hadist melalui abu sa’id al-khudhairi r.a

‘’ orang yang berutang, di dalam kuburnya terbelenggu, ia tidak dapat terlepas dari belenggu itu
kecuali bila utangnya telah terbayar ‘’

Pinjam Meminjam Ribawi Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu secara
marfu’:

‫ض َج َّر َم ْنفَ َعةً فَه َُو ِربًا‬


ٍ ْ‫ُكلُّ قَر‬

3
Artinya ; “Setiap pinjaman yang membawa manfaat keuntungan adalah riba.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Haris ibnu Abi
Usamah dan di dalam sanad ada seorang rawi yang gugur periwayatan . Hadits ini memiliki
syahid yang dhaif pula dari Fadhalah bin ‘Ubaid yg diriwayatkan oleh Al-Baihaqi Pendukung
lain adalah hadits mauquf diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Salam radhiyallahu
‘anhu .” Al-Hafizh juga mengatakan dalam At-Talkhish : “Dalam sanad hadits ini ada Sawar
ibnu Mush’ab dia adalah rawi yg matruk .”

Hadits ini didhaifkan pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul Munir Abdul
Haq di dalam Al-Ahkam Ibnu Abdil Hadi dlm At-Tanqih dan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dlm Irwa`ul Ghalil . Ketahuilah tiap pinjam meminjam yang mendatangkan
keuntungan teranggap riba . Namun karna hadits dhaif tentu kita tidak boleh memakai sebagai
hujjah. Hanya saja makna hadits di atas terpakai diperkuat oleh ushul syariat dan telah
dinukilkan ada ijma’ para ulama dalam masalah ini. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu
Hazm Al-Andalusi rahimahullahu bahwa tiap pinjam meminjam yang di dalam dipersyaratkan
sebuah keuntungan penambahan kualitas ataupun kuantitas termasuk riba.

Pinjam meminjam pada asal adalah perbuatan kebaikan dimana seseorang memberikan
kepada yang lain suatu barang atau uang untuk nanti dikembalikan yg sama pada waktu yg
telah disepakati. Namun manakala ada penambahan dalam pengembalian atau dikembalikan
dengan sesuatu yang lebih bagus atau baik terjadilah riba. Dalam hal ini ada beberapa syubhat
yg beredar di tengah kaum muslimin yg sengaja disebarkan oleh ahlus syubhat yang dipandang
tokoh oleh sebagian orang. Kami nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut
jawaban dari kitab Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid Darari yang ditulis guru kami Asy-
Syaikh Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’i Al-’Adni hafizhahullah.

Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam
meminjam yg memberi faedah. dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:

1. Riba yg diharamkan hanyalah riba jahiliah yaitu riba dalam hutang piutang. Misalnya
seseorang menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo tertentu namun
ternyata sampai tempo yg ditentukan orang yang berhutang belum melunasinya. Akibat si
pemberi piutang memberi denda dengan jumlah tertentu yang harus dibayarkan bersama hutang

4
sehingga bertambahlah jumlah hutang dari orang yang berhutang tersebut. Adapun pembayaran
tambahan yang telah disebutkan di awal akad pinjam meminjam mereka mengatakan bahwa itu
bukan riba yg diharamkan. Mereka yang berpendapat seperti ini di antara Muhammad Rasyid
Ridha penulis Tafsir Al-Manar murid Muhammad Abduh serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq As-
Sanhawuri seorang “pakar” hukum di masa ini. Mereka menguatkan pendapat tersebut dengan
beberapa dalil berikut ini:

a. Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan tentang hanyalah berupa
‘’engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah’’.

b. Menurut mereka riba jahiliah dilarang karna mengambil ziyadah dari pokok harta . Hal itu
terjadi karna tertunda pembayaran hutang kepada pihak yg memberi piutang bukan disebabkan
ingin memberikan kemanfaatan kepada si pemberi hutang.

c. Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa. Ia berkata “Huruf lif dan lam pada
kata ‫ ال ِّربَا‬adalah lil-’ahd sehingga riba yg dilarang dan dicerca adalah riba yang dikenal
dimaklumi dan diketahui kalangan orang 2 jahiliah yaitu ‘engkau bayar atau hutangmu
bertambah’’.

2. Membatasi riba hanya dlm jual beli saja. Adapun dalam pinjam meminjam riba tidaklah
berlaku. Mereka berdalil sebagaimana berikut:

a. Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh hadits-hadits Rasulullah saw.
Namun dalam hadits tersebut hanya disebutkan jual beli dan tidak ada penyebutan qardh.

b. Mereka berdalil dengan penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yg membatasi riba hanya
dalam jual beli.

c. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari
berderma sehingga tidak terjadi riba di dalamnya. Karena yg nama riba hanya berlangsung
pada sesuatu yg di dalam ada penggantian.

5
B. HUKUM PINJAM MEMINJAM

1. Harus sesuatu yang boleh dipinjamkan. “…dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran…” (Al Maaidah 2)

2. Jika yang meminjamkan mensyaratkan kepada peminjam untuk mengganti barang yang
dipinjamkan jika mengalami kerusakan, maka pihak peminjam wajib mengganti. Jika yang
meminjamkan tidak mensyaratkan, tetapi barang rusak bukan karena keteledoran peminjam,
maka disunnahkan untuk mengganti, tidak diwajibkan. Tetapi jika rusak karena keteledoran
peminjam, maka wajib diganti walaupun pemilik tidak mensyaratkannya.

3. Peminjam harus menanggung biaya pengangkutan pada saat pengembalian. “ orang berutang
( bila mati ) di dalam kuburnya ditahan oleh hutangnya, ia mengadu kepada allah tentang
kesepian yang menimpanya “. (riwayat thabrani melalui al-barra )

4. Peminjam tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Boleh meminjamkan lagi ke
orang lain dengan izin dari pemilik.

5. Jika seseorang meminjamkan kebun untuk ditembok, peminjam tidak boleh mengambil lagi
hingga temboknya roboh. Jika meminjamkan sawah untuk ditanami, peminjam tidak boleh
mengambilnya hingga panen usai.

6. Jika meminjamkan dalam jangka waktu tertentu, peminjam disunnahkan untuk tidak
mengambil barangnya sebelum masa waktunya habis.

َ َ‫َوإِ ْن َكانَ ُذو ُع ْس َر ٍة فَن َِظ َرةٌ إِلَ ٰى َم ْي َس َر ٍة ۚ َوأَ ْن ت‬


‫ص َّدقُوا‬

َ‫َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ۖ إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

Artinya: Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui. (QS Al-baqarah {2}:280)

6
C. Rukun Pinjam Meminjam

1. Orang-orang yang meminjamkan. disyaratkan;

a. Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa dan anak kecil
tidak sah meminjamkan.

b.Barang yang dipinjamkan itu milik sendiri atau menjadi tanggung jawab orang yang
meminjamkannya.

2. Orang-orang yang meminjam, disyaratkan;

a. Berhak menerima kebaikan. Oleh sebab itu, orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam.

b. Hanya mengambil manfaat dari barang dari barang yang dipinjam.

3. Barang yang dipinjam, disyaratkan;

a. Ada manfaatnya.

b. Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu, makanan yang
setelah dimanfaatkan menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah dipinjamkan. Akad, yaitu
ijab dan qabul

c. Pinjam-meminjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan
harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya.

d. Pinjam-meminjam berakhir apabila salah satu dari kedua belah pihak meninggal dunia atau
gila.

َ ِ‫ص َر بَ ْع َد ظُ ْل ِم ِه فَأُو ٰلَئ‬


‫ك َما َعلَ ْي ِه ْم ِم ْن َسب‬ َ َ‫َولَ َم ِن ا ْنت‬

Artinya: Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu
dosapun terhadap mereka. (QS Al-syura {42}:41

e. Barang yang dipinjam dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam meminjam
bukan merupakan perjanjian yang tepat.

7
f. Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dengan yang meminjam barang
tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan adalah yang
meminjamkan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan padda hokum asalnya yaitu belum
dikembalikan.

D. ETIKA PINJAM MEMINJAM

Hudhur aba telah mengingatkan kita dalam khutbah beliau aba tanggal 13-8-2004, agar
para Ahmadi dengan secermatnya mengikuti petunjuk yang ada di dalam KS Alquran (2 :283–
284: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang pada sesamamu, hendaklah
menuliskannya …..)

ْ ‫ق ْاثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما ت ََركَ ۖ َوإِ ْن َكان‬


‫َت‬ •َ ْ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اأْل ُ ْنثَيَي ِْن ۚ فَإِ ْن ُك َّن نِ َسا ًء فَو‬
َّ ِ‫صي ُك ُ•م هَّللا ُ فِي أَوْ اَل ِد ُك ْ•م ۖ ل‬
ِ ‫يُو‬
ُ‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ إِ ْن َكانَ لَهُ َولَ ٌد ۚ فَإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ أَبَ َواه‬ ِ ‫َوا ِح َدةً فَلَهَا النِّصْ فُ ۚ وَأِل َبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َو‬
َ‫ُوصي بِهَا أَوْ َد ْي ٍن ۗ آبَا ُؤ ُك ْ•م َوأَ ْبنَا ُؤ ُك ْ•م اَل تَ ْدرُون‬ ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ‫ث ۚ فَإِ ْن َكانَ لَهُ إِ ْخ َوةٌ فَأِل ُ ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬ ُ ُ‫فَأِل ُ ِّم ِه الثُّل‬
َ ‫أَيُّهُ ْم أَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري‬
‫ضةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal
itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ( QS AL-nisa’ [4]:11 )

Dalam hubungan di masyarakat acapkali kita terpaksa membuat transaksi seperti


meminjam dan meminjamkan. Dan disebabkan urusan pinjam dan meminjamkan ini acapkali

8
terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara saudara dan di antara teman-teman, yang bisa
sampai ke pengadilan, dan dapat menyebabkan kebangkrutan dan kehinaan. Dalam ajaran
Islam, Allah, Taala telah memberikan petunjuk agar urusan pinjam – meminjam ini harus
ditulis; dengan syarat-syaratnya kapan pinjaman akan dikembalikan, kalau dicicil berapa dan
berapa lama, kapan penyelesaiannya. Seringkali orang merasa berkeberatan untuk menuliskan
urusan pinjam-meminjam ini, dengan alasan bahwa kami berteman sangat dekat dan bersahabat
sangat kental, kami bersaudara dekat, dan kalau kami menuliskannya, maka seolah-olah kami
tidak saling mempercayai. Atau karena merasa jumlahnya pinjamannya ini sedikit atau tidak
banyak, maka kami segan untuk menuliskannya. Padahal perintah dalam Islam sudah tegas,
ialah harus ditulis, berapa pun besarnya atau dengan siapa pun. Perintah ini harus diikuti atau
ditaati, sebagai orang beriman yang takwa; yang meminjam harus menulisnya dengan benar
dan dengan perasaan takut kepada Tuhan; jumlahnya syarat-syaratnya, cicilannya, waktu
penyelesaiannya.

Dalam transaksi besar, seperti jual beli besar, maka diperlukan 2 orang saksi laki-laki; 1 orang
saksi laki-laki dapat diganti dengan 2 saksi perempuan, sehingga jika wanita yang satu itu lupa
maka yang lainnya bisa mengingatkannya.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menyusun makalah ini yang berjudul, “Pinjam Meminjam dalam Islam”, Penulis
menyimpulkan bahwa dalam proses pinjam meminjam di kalangan masyrakat harus
memperhatikan beberapa hal sebelum melakukannya, Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan seperti yang terjadi saat sekarang ini.

B. Saran

Setelah menyusun makalah ini yang berjudul, “Pinjam Meminjam dalam Islam”, Penulis
menyimpulkan bahwa dalam proses pinjam meminjam di kalangan masyrakat harus
memperhatikan beberapa hal sebelum melakukannya, Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan seperti yang terjadi saat sekarang ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

Qal’ahji, Muhammad Rawwas. 1999. Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra.Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada

Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama

Ayyub, Hasan. 2006. Al Muamalah Al Maliyah. Iskandaria : Dar Al Salam

11

Anda mungkin juga menyukai