Anda di halaman 1dari 77

HADIS-HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI

( Studi Ma’āni al-Hadisׂ)

SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU THEOLOGI ISLAM

OLEH :
A. BURHANUDDIN
NIM : 0053 0094

JURUSAN TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2005

i
ABSTRAK

Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk

memenuhi kebutuhan hidup, dan setiap orang pun bebas untuk berusaha

mendapatkan harta dan mengembangkannya. Untuk memperoleh keuntungan

yang didambakan, ada banyak cara yang dilakukan penjual untuk mempengaruhi

konsumen agar membeli barang dagangannya.

Cara yang mungkin dilakukan produsen atau penjual biasanya dengan

menjual produk jauh lebih murah dari harga pasar. Untuk beberapa saat mungkin

penjual tidak memperoleh keuntungan, bahkan penjual tersebut memborong

semua produk tersebut dengan maksud agar terjadi kekosongan barang di pasar,

yang akibatnya konsumen sangat bergantung kepadanya. Setelah saingannya

bangkrut, lambat laun si penjual tersebut mulai menguasai pasar dan

memonopolinya, maka dengan leluasa si penjual akan menaikkan harga dengan

harga yang tidak wajar. Tingginya harga jual diakibatkan oleh banyaknya

permintaan. Apabila seorang penjual telah menguasai pasar maka penjual tersebut

akan membuat harga yang menghasilkan keuntungan lebih banyak dengan cara

menaikkan harganya. Dampak dari persaingan bisnis yang ketat antara para

pedagang menimbulkan kerugian yang besar bagi para konsumen selaku pihak

kedua dalam transaksi jual beli dengan menaikkan dan menurunkan harga

seenaknya tanpa memikirkan nasib para konsumen khususnya dari kalangan

masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Padahal pada dasarnya kebutuhan akan

barang-barang primer/pokok antara konsumen yang satu dengan yang lainnya

adalah sama.

ii
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana relevansi hadis tentang

keuntungan jual beli jika dikaitkan degan konteks kekinian, sehingga para

pedagang dapat mengambil keuntungan dalam transaksi jual beli dan tujuan dari

jual beli itu sendiri dapat terpenuhi.

Tujuan dari penelitian ini selain mengetahui relevansi hadis tentang

keuntungan jual beli jika dikaitkan dengan konteks kekinian diharapkan dapat

bermanfaat bagi kajian hadis keuntungan jual beli lebih lanjut dan dapat

menambah khazanah literature studi hadis.

Hadis merupakan sumber tasyri' kedua setelah al-Qur'an, pengkajian ulang

serta pengembangan pemikiran terhadap hadis perlu dilakukan dengan pemaknaan

kembali terhadap hadis. Salah satu hadis yang perlu dikaji adalah hadis yang

secara tekstual membolehkan mengambil keuntungan jual beli lebih dari seratus

persen. Setelah dikaji dengan menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ, hadis

tentang keuntungan jual beli tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi bisa

dipahami secara kontekstual, faktor historis pada saat disabdakannya hadis ini

sangat membantu dalam memahami hadis secara benar.

Islam tidak memberikan batasan tertentu terhadap laba atau keuntungan

dalam perdagangan, hal ini diserahkan kepada masing-masing pedagang dan

tradisi masyarakat sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan

kebijakan serta larangan memberikan madarat terhadap diri sendiri ataupun

terhadap orang lain.

BAB I

PENDAHULUAN

iii
A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan sempurna

memberi tempat sekaligus menyatukan unsur kehidupan lahir dan bathin

dengan memayunginya di bawah prinsip keseimbangan atau dengan bahasa

Afzalur Rahmān mengkombinasikan keduanya secara harmonis.1

Jelaslah bahwa Islam bukan ajaran tentang akhirat saja, yang

menyuruh manusia hanya agar menyelamatkan jiwa mereka untuk akhirat

melalui ritual ibadah belaka, akan tetapi juga kebutuhan fisik harus terpenuhi.

Ajaran tentang perlunya keseimbangan ini sesungguhnya tidak bisa dilepaskan

dari tujuan Islam itu sendiri, yaitu memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan adanya keseimbangan ini pula diharapkan manusia dapat mengambil

kerahmatan dari Islam. Sistem ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

adalah sistem yang membawa bahagia bagi seluruh umat manusia dan

memimpinnya kepada kesempurnaan.2

Meskipun demikian, suatu kerahmatan pada dasarnya adalah sebuah

potensi yang perlu diaktualisasikan. Islam tidak bisa menyebarkan

kemaslahatan atau kerahmatan tanpa diaktualisasikan oleh manusia itu sendiri

dalam setiap aspek kehidupan.

Dalam kaitan ini, akan dikaji salah satu aspek kehidupan manusia,

yaitu aspek hubungan dengan manusia yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa

1
Afzalur Rahmān, Doktrin Ekonomi Islam, Alih Bahasa Soeroyo dkk (Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Wakaf, 1995), I: 14.
2
Hamka, Tafsir al-Azhār (Surabaya: Pustaka Islam, 1983), XVII: 149.

iv
pada dasarnya setiap manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan

hidupnya sendiri, tanpa adanya bantuan dari yang lain, hal ini disebabkan

karena manusia itu kodratnya sebagai makhluk sosial.

Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum

Mu'amalat menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosial disadari atau

tidak selalu berhubungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melaksanakan pergaulan

perbuatan dalam hubungannya dengan orang lain, dalam agama Islam disebut

dengan istilah mu'amalat.3 Masalah mu'amalat senantiasa berkembang di

dalam kehidupan masyarakat, tetapi dalam perkembangannya perlu sekali

adanya perhatian dan pengawasan, sehingga tidak menimbulkan kesulitan

(mudarāt), ketidakadilan, dan penindasan atau pemaksaan dari pihak-pihak

tertentu sehingga prinsip-prinsip dalam bermu'amalat dapat dijalankan.4

Sejarah telah membuktikan, bahwa lantaran perdagangan kekayaan

dan kemakmuran, bangsa Quraisy terus berkembang. Perdagangan merupakan

induk keberuntungan. Ia berkedudukan lebih tinggi dibanding pertanian,

industri, dan jasa. Perdagangan merupakan pertanda baik dan kesejahteraan

yang akan menjadi tulang punggung untuk memperoleh kekayaan.

Dunia perdagangan yang lengkap dengan seluk beluk di dalamnya,

memungkinkan untuk memperluas wawasan pergaulan dan gerakan geografis

menjelajahi dunia serta persaingan ketat sehingga memberikan dorongan

3
Aḥmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu'amalat (Hukum Perdata Islam)
(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 11.
4
Ibid., hlm. 17.

v
untuk tidak menyerah.5 Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam

mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia adalah jalan penuh liku

yang menghendaki keuletan dan kepandaian untuk memperoleh keuntungan

bersih dari pokok pembelian. Oleh karena itu ia memberlakukan kepintaran

atau ilmu, karenanya ia sama sekali tidak merampas hak-hak milik orang lain,

melainkan dilakukan secara timbal balik antara masing-masing pihak.6

Seorang penjual berhak mendapatkan keuntungan dari usahanya, sedang

seorang pembeli berkewajiban untuk memberikan konpensasi bagi jasa yang

telah ia terima dari penjual. Dalam keuntungan yang wajar, tidak saja

dimaksudkan untuk kebutuhan konsumtifnya saja tetapi juga ia mampu

mengembangkan usahanya (produktif).7

Yūsuf al-Qaradawi dalam bukunya Peran Nilai dan Moral dalam

Perekonomian Islam mengemukakan bahwa ekonomi Islam merupakan

ekonomi Ilahiyyah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya untuk

mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syari’at-

Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi

diikatkan pada prinsip Ilahiyyah dan pada tujuan Ilahi.8

5
Buchari Alma, Ajaran Islam dalam Bisnis (Bandung: CV. Alfabeta, 1993), hlm. 47.
6
Ibnu Khaldun, Ibnu Khaldun tentang Sosial dan Ekonomi, editor Rus'an (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), hlm. 108.
7
Syarifuddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Jakarta:
Haji Masagung, 1988), hlm. 113.
8
Yūsuf al-Qaradawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, ahli bahasa.
Didin Hafiduddin, Setiawan Budi Utomo, Aunurrafiq, Saleh Tahmid (Jakarta: Rabbani Press,
1997), hlm. 25.

vi
Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad saw. merupakan sumber ajaran

Islam.9 Sebagai sumber ajaran yang kedua setelah al-Qur'an, kebenaran hadis

disamping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan juga

menjadi bahasan kajian yang menarik dan tiada henti-hentinya. Dilihat dari

periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur'an. Al-Qur'an, semua

periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawātir, sedang hadis Nabi,

sebagian periwayatannya berlangsung secara āhād.10

Oleh karena itu, al-Qur'an mempunyai kedudukan sebagai qat'i al

wurūd, sedangkan hadis Nabi sebagian ada yang qat'i dan sebagian lagi

bahkan sebagian besar berkedudukan sebagai zanni al-wurūd.11 Dengan

demikian, diihat dari periwayatannya al-Qur'an tidak perlu dilakukan

penelitian tentang orisinilitasnya. Sedangkan hadis Nabi dalam hal ini yang

berkategori āhād diperlukan penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui

apakah hadis yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan

periwayatannya berasal dari Nabi ataukah tidak.12 Karena begitu pentingnya

dilakukan penelititan baik dari segi sanad maupun matan hadis, maka

kemungkinan besar penulis akan mendapatkan hasil penelitian yang

semaksimal mungkin baik dari segi kualitas hadis itu sendiri maupun diterima

9
Muhammad 'Ajjāj al-Khātib, Usūl al-Hadisׂ 'Ulūmuhu wa Mustalāhuhu (Beirut:
Dār al-Fikr, 1989), hlm. 35.
10
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
hlm. 3.
11
Salāh al-Din Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, alih bahasa. M.
Qadirun, Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 210.
12
M. Syuhudi Isma'il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm.4.

vii
atau tidaknya hadis tersebut di kalangan masyarakat. Sebab bagaimanapun

juga suatu matan hadis itu adakalanya memerlukan pemahaman secara

tekstual ataupun kontekstual. Tetapi ada juga hadis yang memerlukan

pemahaman secara tekstual sekaligus kontekstual. Dengan memahami hadis

secara tekstual dan kontekstual, maka menjadi jelaslah bahwa dalam Islam,

ada ajaran yang bersifat universal, temporal dan lokal.13

Al-Qur'an maupun hadis telah terbentuk di masa Nabi, dengan

demikian tidak dapat dimodifikasi dengan penambahan atau pengurangan.

Sementara kehidupan yang dijalani dan dihadapi umat pasca Nabi mengalami

perkembangan dalam berbagai bidang. Hal ini menurut penyesuaian dengan

dan dari al-Qur'an maupun hadis. Penyesuaian ini dilakukan dengan mengkaji

ulang keduanya demi mendapatkan ajaran yang sejati, orisinal dan sālih

likulli zamān wa makān.

Pengkajian terhadap al-Qur'an lebih banyak dilakukan oleh para ulama

melalui gagasan-gagasan dan pemikiran mereka yang tertuang dalam kitab-

kitab tafsir, sejarah dan lain-lain. Berbeda dengan hadis, para ulama lebih

mengendalikan diri dan lebih mengutamakan sikap reserve (segan) untuk

melakukan telaah ulang dan pengembangan pemikiran hadis secara apresiatif,

karena khawatir adanya anggapan ingkar al-Sunnah.14

Mengingat hadis sebagai sumber tasyri' kedua, maka pengkajian ulang

serta pengembangan pemikiran terhadap hadis perlu dilakukan dengan

13
M. Syuhudi Isma'il, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, hlm. 89.
14
Fazlūr Rahmān, Wacana Studi Hadis Kontemporer, editor Suryadi dan Hamim Ilyas
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 143.

viii
pemaknaan kembali terhadap hadis. Hal ini menjadi kebutuhan mendesak

ketika wacana-wacana keislaman banyak mengutip literatur-literatur hadis

yang pada gilirannya mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku umat Islam

itu sendiri. Di samping itu juga dapat memberikan informasi, apakah

kandungan hadis termasuk kategori temporal, lokal, atau universal sekaligus

tekstual atau kontekstual.

Salah satu hadis Nabi yang perlu dikaji adalah hadis yang secara

tekstual kaitannya dengan pernyataan tentang keuntungan dalam jual beli,

hadis tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri, sebagai

berikut:

‫عن عروة البارقى أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا يشترى‬
‫له به شاة فاشترى له به شاتين فباع إحداهما بديناروجاءه بدينار وشاة‬
15 15
‫فدعاله بالبركة فى بيعه وكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه‬
Artinya : Dari ‘Urwah al-Bāriqi . "Bahwasannya Nabi saw. memberinya
uang satu dinar untuk dibelikan kambing. Maka dibelikannya dua
ekor kambing dengan uang satu dinar tersebut, kemudian
dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu ia
datang kepada Nabi saw. dengan membawa satu dinar dan seekor
kambing. Kemudian beliau mendo'akan semoga jual belinya
mendapat berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah,
niscaya mendapat keuntungan pula"

Hadis di atas seringkali dijadikan patokan oleh para pedagang untuk

mengambil keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dengan meminimalkan

modal yang dikeluarkan, sehingga tujuan dari perdagangan yaitu untuk

memperoleh laba semaksimal mungkin dapat cepat terwujud.

15
Abi Abdillāh Muhammad ibn Isma'il ibn Ibrāhim ibnu al-Mugirah ibn Bardizbah al-
Bukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz IV (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), hlm. 187.

ix
Berdasarkan latar belakang inilah, penulis menganggap bahwa hadis

tentang keuntungan jual beli perlu dikaji untuk mendapatkan jawaban tentang

bagaimana pemaknaan hadis tersebut dan bagaimana relevansinya pada masa

sekarang. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

Ma’āni al-Hadisׂyang dipandang penting sebagai upaya elaborasi akademik

dalam memahami hadis secara kontekstual dan kekinian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dikemukakan diatas,

maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pemaknaan hadis-hadis tentang keuntungan

jual beli?

2. Bagaimana relevansi hadis tentang keuntungan jual beli

dalam konteks kekinian?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan:

1. Menerapkan metode Ma'āni al-Hadisׂ dalam memaknai

hadis tentang keuntungan jual beli.

2. Mengetahui bagaimana relevansi hadis keuntungan jual

beli dalam konteks sekarang.

Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah:

x
1. Diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian hadis lebih

lanjut.

2. Diharapkan dapat menambah khazanah literatur studi

hadis.

D. Telaah Pustaka

Telaah pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah

yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan tentang informasi yang

digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan dengan tema

yang dibahas.

Berkenaan dengan masalah yang sedang dikaji, sepengetahuan penulis

belum ada kitab yang secara khusus membahas tentang keuntungan jual beli.

Namun ada beberapa pendapat ulama yang membahas tentang jual beli dalam

berbagai kitab fiqih ataupun syarah hadis, misalnya dalam Kitab al-Fiqh 'Alā

Mażāhib al-'Arba'ah, karya 'Abd al-Rahmān al-Juzairi. Buku ini cukup

representativ membahas masalah yang berkenaan dengan jual beli dengan

menunjuk kepada pendapat ulama-ulama fiqih empat mazhab.16

Di samping buku di atas, terdapat pula beberapa buku lain yang

penulis jadikan acuan, di antaranya Sofyan Safri Harahap dalam bukunya

Akuntansi Pengawasan dan Manajemen dalam Perusahaan Islam

menyebutkan bahwa, pertama kalau yang menjadi dasar konsep manajemen

Islam adalah konsep maksimasi yang meliputi kesejahteraan manajemen,


16
'Abd al-Rahmān al-Jazairi, Kitab al-Fiqh 'Alā Mażāhib al-'Arba'ah (Beirut: Dār al-
Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), hlm. 141.

xi
pemilik modal dan sosial. Hal ini dapat dipahami bahwa, antara ketiga

komponen itu harus tercipta keadilan (dapat haknya masing-masing secara

layak).17 Dalam bukunya Syeikh Gazali Syeikh Abad dan Zanbury yang

berjudul Pengurusan Perniagaan Islam dijelaskan bahwa kedudukan untung

atau laba itu sebagaimana upah dan gaji bagi pekerja, yang mana tanpa

keuntungan stabil maka akan melumpuhkan perniagaan dan tidak

memberikannya berarti kezaliman.18 Yūsuf al-Qaradawi dalam bukunya

yang berjudul Fatwa-fatwa kontemporer jilid II menyebutkan bahwa hakekat

perdagangan adalah untuk mendapatkan keuntungan di mana tidak ada nas

yang memberikan batasan tertentu dalam hal mendapatkan keuntungan ini.

Dengan demikian jika tidak ada laba maka bukanlah perdagangan dan matilah

dunia dagang.19

Ibnu Khaldūn dalam al-Mukaddimah mengemukakan bahwa

keuntungan yang wajar akan mendorong tumbuhnya perdagangan, sedangkan

keuntungan yang sangat rendah akan membuat lesu perdagangan karena

perdagangan kehilangan motivasi. Sebaliknya, bila pedagang mengambil

keuntungan sangat tinggi juga akan membuat lesu perdagangan karena

lemahnya permintaan konsumen. Beliau menjelaskan akan pentingnya

keuntungan yang wajar untuk memicu dunia perdagangan. Beliau juga

17
Sofyan Safri Harahap, Akuntansi dan Manajemen dalam Perusahaan (Jakarta: FE.
Univ. Trisakti, 1992), hlm. 127.
18
Syeikh Gazali Syeikh Abad dan Zanbury, Perniagaan Islam (Malaysia: Hizbi Shah Alam,
1991), hlm.258.
19
Yūsuf al-Qaradawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa As'ad Yasin (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), II: 594.

xii
menyebutkan bahwa tujuan satu-satunya yang sah bagi bisnis adalah

maksimasi laba.20

Syauqi 'Abduhu al-Sāhi dalam kitabnya yang berjudul al-Māl wa al-

Turūq Istismāruhū fi al-Islam menyatakan bahwa yang dimaksud laba

adalah semata-mata hal dari pengembangan harta dalam kegiatan perdagangan

atau produksi, untuk itu tidak diketahui secara jelas atau pasti serta tak terbatas

banyaknya, karena ini tergantung kepada kondisi barang dan pasar serta

kepandaian pedagang.21 Adapun 'Abd Mannān al-Namr dalam kitabnya al-

Ijtihād menyatakan larangan pembatasan laba perdagangan bagi pedagang

karena hal ini menyebabkan lesunya kegiatan perdagangan, berbeda halnya

jika hal ini diterapkan pada perusahaan maka penerapan harga itu harus

dengan perhitungan Akuntansi mendetail.22

Mochtar Effendi dalam bukunya Manajemen Suatu Pendekatan

Berdasarkan Ajaran Islam menyebutkan bahwa prinsip keseimbangan itu

tersirat makna Allah menyuruh kita untuk mencari rizki sebanyak mungkin.

Karena itu untuk mendapatkannya harus mampu berbuat sosial dengan harta

benda seperti mengeluarkan zakat dan menolong sesama. Selanjutnya dalam

kajian titik impas sebagai ukuran efisiensi dalam Islam disebutkan bahwa pada

badan usaha (industri maupun niaga) efisiensi diukur dari beberapa persen

keuntungan yang didapat dari setiap rupiah yang dikeluarkan untuk biaya total

20
Ibnu Khaldūn, Ibn Khaldun Tentang Sosial dan Ekonomi, hlm. 108.
21
Syauqi Abduhu al-Sāhi, al-Māl wa al-Turūq Istismāruhu fi al-Islām (Beirut: Dār al-Fikr,
t.t), hlm. 198.
22
Abd al-Mannān al-Namr, al-Ijtihād (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), hlm.279.

xiii
dari seluruh output dalam nilai uang. Sedangkan keuntungan adalah

penerimaan di atas titik impas, kalau tidak demikian maka perusahaan akan

terancam kerugian.23 Basu Swastha DH. dalam bukunya Pengantar Bisnis

Modern disebutkan bahwa salah satu tujuan usaha adalah pencapaian laba

maksimal.24

Penulis juga menjumpai dalam beberapa skripsi yang membahas

tentang jual beli yaitu skripsi yang disusun oleh Siti Qamariyyah yang

berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Maksimasi Laba Usaha

Perdagangan Barang Konsumsi. Pada skripsi ini penulis meneliti laba atau

keuntungan atas dasar motif ekonomi yaitu langkah yang ditempuh untuk

mencapai hasil yang maksimal dengan modal yang minim.25

Dari berbagai teori yang terkumpul di atas, maka dapat diketahui

bahwa pembahasan jual beli dilihat dari pemaknaan hadis, khususnya yang

berkenaan dengan masalah keuntungan jual beli belum ada. Oleh karena itu,

penelitian dalam skripsi ini akan lebih menekankan pada aspek pemahaman

sebuah hadis yang tepat, khususnya tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan

keuntungan jual beli. Dalam hal ini penulis mencoba untuk membuat analisa

tentang keuntungan jual beli barang pokok (maksimasi laba) dengan

menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ.

23
Mochtar Effendi, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam (Jakarta:
Bhatara Karya Aksara, 1986), hlm. 173.
24
Basu Swastha dan Ibnu Sukojo, Pengantar Bisnis Modern, cet ke-10 (Yogyakarta:
Liberty, 2002), hlm. 215.
25
Siti Qamariyah, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Maksimasi Laba Usaha Perdagangan
Barabg Konsumsi,” skripsi IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta Fakultas Syari'ah (2001).

xiv
E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research). Secara

garis besar penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu pengumpulan data dan

pengelolaan data. Pada tahap pertama, metode yang digunakan adalah metode

dokumentasi,26 yaitu menginventarisasi data sebanyak mungkin yang terkait

dengan tema dan pada tahap kedua mengolah data berupa hadis-hadis yang

terkumpul tersebut. Maka pertama penulis mengajukan data hadis serta

menguraikannya secara objektif kemudian dianalisis secara konseptual dengan

metode Ma'āni al-Hadisׂ yaitu metode pemaknaan hadis dengan

mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait dengan tema.27

Penelitian ini menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ yang

digunakan oleh Yūsuf al-Qaradawi dengan tiga prinsip dasarnya, yakni:

pertama, meneliti dengan seksama tentang kesahihan hadis yang dimaksud

sesuai dengan acuan ilmiah yang diterapkan oleh para pakar hadis yang

dipercaya, yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan

Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya. Kedua, dapat memahami

dengan benar nas-nas yang berasal dari Nabi saw. sesuai dengan

pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab

wurud (diucapkannya) oleh beliau.28 Untuk memahami nas (matan) hadis,

terdapat delapan petunjuk yang diisyaratkan oleh Yūsuf al-Qaradawi, yaitu:

26
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), hlm. 202.
27
M. Syuhudi Isma'il, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, hlm. 7.

xv
1. Memastikan makna kata-kata dalam hadis.
2. Memahami al-Sunnah sesuai petunjuk al-Qur'an.
3. Menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.
4. Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang bertentangan.
5. Memahami hadis-hadis sesuai latar belakangnya, situasi dan kondisinya,
serta tujuannya.
6. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap dari
setiap hadis.
7. Membedakan antara fakta dan metafora dalam memahami hadis.
8. Membedakan antara yang gaib dan yang nyata.29

Prinsip yang ketiga, memastikan bahwa nas tersebut tidak

bertentangan dengan nas lainnya yang lebih kuat kedudukannya. Hal ini

dimaksudkan untuk mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang śubūt-

nya (atau keberadaannya sebagai nas).30

Dalam skripsi ini langkah-langkah yang ditawarkan Yūsuf al-

Qaradawi di atas tidak diikuti secara ketat dikarenakan ada beberapa

ketentuan yang tidak dapat diaplikasikan dalam menganalisis hadis-hadis

tentang keuntungan jual beli tersebut. Dalam pengaplikasian metode Yūsuf al-

Qaradawi yang dipakai atau digunakan dalam menganalisis hadis tentang

keuntungan jual beli yang dikaji dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Kritik untuk membuktikan keotentikan sanad hadis.

2. Memahami nas (matan) hadis untuk menentukan makna dan maksud

hadis yang sesungguhnya. Susunan hirarkis lima pedoman tersebut adalah:

a. Memastikan makna kata-kata dalam hadis.

b. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur'an.

28
Yūsuf al-Qaradawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-
Baqir, cet IV (Bandung: Karisma, 1993), hlm. 26-27.
29
Ibid., hlm. 92.
30
Ibid., hlm. 27.

xvi
c. Menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama.

d. Penggabungan atau pentarjihan hadis-hadis yang bertentangan.

e. Memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi

serta tujuannya.

F. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini diuraikan dalam lima bab, yaitu:

Bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka,

metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, mencakup pemaparan seputar jual beli, makna jual beli,

syarat dan sahnya jual beli, macam-macam jual beli, prinsip dan dasar

ekonomi Islam.

Bab ketiga, kajian Ma'āni al-Hadisׂ mencakup hadis-hadis tentang

keuntungan jual beli, kritik otentisitas hadis, dan pemaknaan hadis dengan

menerapkan metode yang ditawarkan Yūsuf al-Qaradawi.

Bab keempat, keuntungan jual beli dalam pandangan praktisi ekonom

Islam dan relevansi hadis tentang keuntungan jual beli dalam konteks

kekinian.

Bab kelima, merupakan akhir yang terdiri dari kesimpulan hasil

penelitian dan beberapa saran penulis yang perlu disampaikan berkaitan

dengan hasil penelitian.

BAB II

xvii
TINJAUAN UMUM JUAL BELI

MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Tujuan Jual Beli

Jual beli menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer adalah

persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan

barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga yang dijual.31

Dalam bahasa Arab, jual beli disebut al-Bai’ (‫ )البيع‬yang merupakan

bentuk masdar dari‫اع‬X‫ ب‬- ‫ يبيع‬- ‫ بيعا‬yang artinya menjual.32 Sedangkan kata beli

dalam bahasa Arab dikenal dengan ‫شراء‬yaitu masdar dari kata – ‫شرى – يشرى‬

‫راء‬X‫ ش‬artinya membeli.33 Namun pada umumnya kata ‫ بيع‬itu sudah mencakup

keduanya, kata ‫ بيع‬diartikan dengan‫ق المبادلة‬XX‫ مطل‬yang artinya mutlak tukar

menukar.34

Di kalangan ulama ada yang mempunyai kesamaan pendapat dalam

merumuskan pengertian jual beli menurut bahasa yaitu: ‫ مقابلة شئ بشئ‬pendapat

ini dikemukakan oleh Muhammad Syarbini35 dan Syekh Zainuddin.36 Jadi

31
Peter Salim dan Yunny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer
(Yogyakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 626.
32
A.W. Munawir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet 14 (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), hlm. 124.
33
Ibid., hlm. 716.
34
Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah (Qahirah: Dār al-Fath Lili'lāmi al-'Arabi, 1990), III:
198.
35
Muhammad Syarbini, al-Iqna’ (Bandung: Syirkatu al-Ma’ārif, t.t.), II: 2.
36
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu'in (Mesir: Dār al-Kutub al-‘Arabi, t.t.),
hlm. 66.

xviii
kesimpulannya jual beli menurut bahasa ialah mengganti atau menukar

sesuatu dengan sesuatu.

Sedangkan pengertian jual beli menurut istilah, para ulama berbeda

pendapat. Al-Sayyid Sābiq mengemukakan bahwa jual beli menurut istilah

ialah:

37
‫مبادلة مال بمال على سبيل التراضى أو نقل ملك بعوض على الوجه المأذون فيه‬

Artinya : Tukar menukar harta dengan harta yang dilakukan berdasarkan


kerelaan atau memindahkan hak milik dengan (mendapatkan
benda lain) sebagai ganti dengan jalan yang diizinkan oleh syara'.

Maksudnya bahwa melepaskan harta dengan mendapat harta lain

berdasarkan kerelaan, atau memindahkan milik dengan mendapatkan benda

lain sebagai gantinya secara rela sama rela.

Imam Taqiyudin mengatakan bahwa pengertian jual beli ialah:

38
8
‫ بإيجاب وقبول على الوجه المأذون فيه‬X‫مقابلة مال بمال قابلين للتّص ّرف‬

Artinya : Tukar menukar harta dengan harta yang sebanding untuk


dimanfaatkan dengan menggunakan ijab dan qabul menurut
jalan yang diizinkan oleh syara'.

Maksudnya bahwa tukar menukar harta tersebut harus dapat

dimanfaatkan sesuai dengan syara’ dan harus disertai dengan adanya ijab dan

qabul.

Hasbi al-Shiddieqy mengatakan bahwa jual (menjual sesuatu) adalah

memilikkan pada seseorang sesuatu barang dengan menerima dari padanya

37
Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, hlm.198.
38
Imam Taqiyudin, Kifāyatu al-Akhyār (Semarang: Toha Putra, t.t.), hlm. 239.

xix
harta (harga) atas dasar kerelaan dari pihak penjual dan pihak pembeli.39

Dari beberapa defenisi di atas, Abdul Mujib merumuskan defenisi “al-

bai'” sebagai pelaksanaan akad untuk penyerahan kepemilikan suatu barang

dengan harta atau atas saling rida, atau ijab dan qabul atas dua jenis harta

yang tidak berarti bederma, atau menukarkan harta dengan harta bukan atas

dasar tabarru’.40

Dengan memahami beberapa arti di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa jual beli itu dapat terjadi dengan cara:

1. Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela.

2. Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu

berupa alat tukar yang sah dalam lalu lintas perdagangan.41

Dalam cara pertama, yaitu pertukaran harta atas dasar saling rela itu

dapat dikatakan jual beli dalam bentuk barter (dalam pasar tradisional),

sedangkan dalam cara yang kedua, berarti barang tersebut dipertukarkan

dengan alat ganti yang dapat dibenarkan. Adapun yang dimaksud dengan

ganti rugi yang dapat dibenarkan berarti milik atau harta tersebut

diperuntukkan dengan alat pembayaran yang sah dan diakui keberadaannya,

misalnya uang rupiah dan lain sebagainya.42

39
Hasbi al-Siddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putera,1997),
hlm. 336.
40
M. Abdul Mujib dkk, Kamus Istilah Fiqh, cet 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm.
34.
41
Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994), hlm. 33.
42
Ibid., hlm. 34.

xx
Dengan melaksanakan transaksi jual beli ini, manusia mempunyai

tujuan yaitu untuk kelangsungan hidup manusia yang teratur dengan saling

membantu antara sesamanya di dalam hidup bermasyarakat, dimana pihak

penjual mencari rizki dan keuntungan, sedangkan pembeli mencari alat untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Selain itu jual beli juga mempunyai tujuan untuk memperlancar

perekonomian pribadi secara langsung dan perekonomian negara secara tidak

langsung, serta dapat membuat orang lain lebih produktif dalam menjalankan

kehidupan di dunia sehingga hidupnya lebih terjamin.

Sebagai umat beragama, tujuan yang terpenting dalam jual beli adalah

untuk mendapatkan ridā Allah agar jual beli tersebut menjadi berkah dan

berhasil. Untuk itu hendaklah setiap pedagang (pengusaha) muslim dan

pembeli dapat menerapkan syari’at Islam dalam segala usahanya.

B. Rukun dan Syarat Sahnya Jual Beli

1. Rukun Jual Beli

Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat, yaitu:

a. Adanya pihak penjual (al-bāi')

b. Adanya pihak pembeli (al-musytari)

c. Adanya barang yang diakadkan (ma'qūd 'alaihi)

d. Adanya sigat akad (ijāb dan qabūl)43

2. Syarat Jual Beli

43
Ibid.

xxi
a. Pihak yang mengadakan akad

1) Berakal atau Tamyiz

Beberapa ulama memberikan batasan umur terhadap orang yang

dapat dikatakan balig, tetapi menurut Ahmad Azhar Basyir,

kecakapan seseorang untuk melakukan akad lebih ditekankan pada

pertimbangan akal yang sempurna bukan pada umur, karena

ketentuan dewasa itu tidak hanya dibatasi dengan umur tetapi

tergantung juga dengan faktor rusyd (kematangan pertimbangan

akal).44

2) Atas kehendak sendiri

Dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak

tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan terhadap pihak lain,

sehingga apabila terjadi transaksi jual beli bukan atas kehendak

sendiri tetapi disebabkan oleh adanya paksaan, maka transaksi jual

beli tersebut tidak sah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah yang

berbunyi:

45
....‫إالّ أن تكون تجارة عن تراض‬...

Artinya : Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan


suka sama suka di antara kamu.

3) Bukan pemboros (mubāżir)

Maksudnya adalah bahwa pihak yang mengikatkan diri dalam

perjanjian jual beli tersebut bukanlah orang yang pemboros,


44
Ibid., hlm. 35-36.
45
Al-Nisā' (4): 29.

xxii
karena orang yang pemboros dalam hukum dikategorikan sebagai

orang yang tidak cakap bertindak hukum, ia tidak dapat

melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun hukum itu

menyangkut kepentingannya sendiri. Orang pemboros dalam

perbuatan hukumnya berada dalam pengawasan walinya. Hal ini

ditegaskan dalam firman Allah SWT:

‫وهم‬XX‫ا واكس‬XX‫ فيه‬X‫وهم‬XX‫ الّتى جعل هللا لكم قيما وارزق‬X‫وال تؤتوا السّفهاء أموالكم‬

X‫ قوالمعروفا‬X‫وقولوالهم‬
46

Artinya : Dan janganlah kamu serahkan yang belum sempurna


akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)
yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

b. Syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan47

1) ‫(طهارة العين‬suci barangnya)

Artinya barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang

dikategorikan barang yang najis atau diharamkan oleh syara’,

seperti minuman keras.

2) ‫( اإلنتفاع به‬dapat dimanfaatkan)

Maksudnya setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya

dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda

yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan

atau ditukarkan dengan benda lain, karena termasuk dalam arti


46
Al-Nisā' (4): 5.
47
Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, hlm. 37-
40.

xxiii
perbuatan yang dilarang oleh Allah yaitu menyia-nyiakan harta.

Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat

relatif, sebab pada hakekatnya seluruh barang dapat dimanfaatkan,

baik untuk dikonsumsi secara langsung atau tidak. Sejalan dengan

perkembangan jaman yang semakin canggih, banyak barang yang

semula tidak bermanfaat kemudian dinilai bermanfaat, seperti

sampah plastik yang didaur ulang.

3) ‫( ملكية العاقد له‬milik orang yang melakukan akad)

Maksudnya bahwa orang yang melakukan transaksi jual beli atas

suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut. Dengan

demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah

atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah dipandang sebagai

jual beli yang batal.

4) ‫( القدرة على تسليمة‬dapat diserahkan)

Maksudnya bahwa barang yang ditransaksikan dapat diserahkan

pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus

diserahkan seketika. Maksudnya adalah pada saat yang telah

ditentukan obyek akad dapat diserahkan karena memang benar-

benar ada di bawah kekuasaan pihak yang bersangkutan.

5) ‫( العلم به‬dapat diketahui barangnya)

Maksudnya keberadaan barang diketahui oleh penjual dan

pembeli, yaitu mengenai bentuk, takaran, sifat, dan kualitas

barang.

xxiv
6) ‫بيع مقبوضا‬XX‫ون الم‬XX‫( ك‬barang yang ditransaksikan ada di

tangan)

Maksudnya obyek akad harus telah wujud pada waktu akad

diadakan. Penjualan atas barang yang tidak berada dalam

penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan

kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan

sebagaimana diperjanjikan.

c. Syarat sah akad (Ijab dan Qabul)

Akad adalah suatu perkataan antara ijab dan qabul dengan cara

yang dibenarkan syara' yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum

pada obyeknya.48 Akad yang dilakukan antara penjual dan pembeli

dengan jalan suka sama suka dapat menimbulkan suatu kewajiban di

antara masing-masing pihak yang berakad. Pihak penjual

berkewajiban untuk menyerahkan barangnya dan bagi pembeli berhak

menerima barang yang telah dibelinya. Hal ini bertujuan untuk

mewujudkan adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang

bertransaksi.

Ahmad Azhar Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat

dalam ijab dan qabul, yaitu:

1) Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-

kurangnya telah mencapai umur tamyiz, yang menyadari dan

mengetahui isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapannya itu


48
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, hlm. 65

xxv
benar-benar marupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain,

ijab dan qabul harus keluar dari orang yang cakap melakukan

tindakan hukum.

2) Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu obyek yang

merupakan obyek akad.

3) Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu

majlis apabila kedua belah pihak sama-sama hadir, atau sekurang-

kurangnya dalam majlis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak

hadir.49

Ijab qabul (sigat akad) dapat dilakukan dengan berbagai

macam cara, yaitu:

1) Secara lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau

perkataan apapun asalkan dapat dimengerti oleh masing-masing

pihak yang berakad.

2) Dengan tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan

oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berakad. Cara

yang demikian ini dapat dilakukan apabila orang yang berakad

tidak berada dalam satu majlis atau orang yang berakad salah satu

dari keduanya tidak dapat berbicara.

3) Dengan isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan

bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang

berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila salah

49
Ibid., hlm. 66-67.

xxvi
satu atau kedua belah pihak yang berakad tidak dapat berbicara

dan tidak dapat menulis.50

Mengingat posisi akad demikian pentingnya, maka unsur yang

paling asasi dalam akad adalah adanya suka sama suka atau kerelaan,

sebagaimana firman Allah SWT:

‫ارة عن‬XX‫ون تج‬XX‫ل إالّ أن تك‬XX‫والكم بينكم بالباط‬XX‫أكلوا أم‬XX‫وا الت‬XX‫امن‬ ‫ياأيّها الّذين‬
51
...‫تراض منكم‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu….

Selanjutnya, menurut Ahmad Azhar Basyir, ada beberapa hal

yang dipandang dapat merusakkan akad, yaitu adanya paksaan, adanya

penipuan atau pemalsuan, adanya kekeliruan dan adanya tipu

muslihat.52

Suatu akad jual beli dapat dikatakan mengandung unsur

penipuan apabila penjual menyembunyikan aib terhadap barang

dagangannya agar tidak tampak seperti sebenarnya, atau dengan

maksud untuk memperoleh keuntungan harga yang lebih besar.

Penipuan itu dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu penipuan

yang dilakukan dalam suatu harga atau disebut dengan penipuan yang

50
Ibid., hlm.68-70.
51
Al-Nisā' (4): 29.
52
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, hlm. 101.

xxvii
bersifat ucapan dan penipuan yang terdapat dalam sifat suatu barang

atau disebut dengan penipuan yang bersifat perbuatan.

Kejujuran dan kebenaran dalam jual beli merupakan nilai yang

terpenting. Sehubungan dengan ini, maka sikap mengeksploitasi orang

lain dan menjahili atau membuat pernyataan palsu merupakan

perbuatan yang dilarang.53 Hadis Nabi Saw.:

54
‫نهى رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر‬

Artinya : Rasulullah telah melarang jual beli dengan lempar batu dan
jual beli yang samar.

Jika akad telah berlangsung dan terpenuhi segala rukun dan

syaratnya, maka akibat dari adanya akad tersebut adalah pemilik

barang (penjual) memindahkan barangnya kepada pihak pembeli dan

pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual dengan ketentuan

harga yang telah disepakati.

Dengan demikian kedudukan akad adalah sebagai syarat

sahnya jual beli dan berfungsi sebagai pemindahan hak milik dari satu

pihak kepada pihak lain.

C. Macam-macam Jual Beli

53
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi dalam Islam, Alih bahasa Anas Sidiq
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 58.
54
Al-Tirmiżi, al-Jāmi' al-Ṣaḥiḥ “Kitab al-Buyū’” (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) II: 349. Hadis
riwayat Abū Kuraib diceritakan oleh Abū Usāmah dari 'Ubaidillah Ibn Umar dari Abi al-Zinād
dari al-A'rāj dari Abū Hurairah.

xxviii
Selagi manusia masih hidup dan bermasyarakat serta masih

berhubungan dengan orang lain akan selalu mengadakan transaksi jual beli

dalam rangka memenuhi segala kebutuhannya. Seiring dengan kebutuhan

manusia yang bermacam-macam, baik kecil maupun besar, bersifat rutin

maupun insidental, maka jual beli juga bermacam-macam.

1. Jual beli dilihat dari sifatnya55

a. Jual beli yang sah

Yaitu jual beli yang dibenarkan oleh syara' dan telah

memenuhi segala rukun dan syaratnya, baik yang berkaitan dengan

orang yang mengadakan transaksi, obyek transaksi serta ijab dan

qabul.

b. Jual beli yang batal

Yaitu jual beli yang seluruh atau salah satu syarat dan

rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli yang menurut asalnya tidak

dibenarkan oleh syara', seperti transaksi jual beli yang dilakukan

oleh orang gila, anak kecil, atau jual beli barang yang haram.

Termasuk jual beli yang batal antara lain:

1) Jual beli sesuatu yang tidak ada pada penjual.

2) Menjual belikan sesuatu yang tidak dapat

diserahterimakan dari penjual kepada pembeli.

3) Menjual benda-benda yang hilang, seperti lepas dari

pemeliharaan.
55
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pramana, 2000), hlm.
120-125.

xxix
4) Jual beli yang mengandung unsur penipuan.

5) Jual beli benda najis, seperti babi, khamr, bangkai,

anjing dan lain sebagainya.

6) Jual beli yang menjadi milik umum, seperti air,

sungai, danau, laut dan sebagainya.

c. Jual beli yang fasid

Ulama Hanafiah membedakan antara jual beli yang fasid

dan jual beli yang batal. Apabila dalam jual beli tersebut terkait

dengan barang yang diperjual belikan, maka hukumnya batal, seperti

jual beli barang-barang yang haram diperjualbelikan. Tetapi jika

kerusakan tersebut terkait dengan harga barang dan dapat diperbaiki,

maka hukumnya menjadi jual beli fasid.

Di samping beberapa bentuk jual beli yang telah tersebut di atas,

terdapat juga pembagian jual beli yang lain, yaitu:

a. Jual beli yang tidak sah

Yaitu jual beli yang tidak diizinkan oleh syari'at Islam karena ada

alasan-alasan tertentu, seperti:

1) Menyakiti kepada salah satu pihak atau orang lain

yang terlibat dalam jual beli tertentu.

2) Menyempitkan gerakan pasaran.

3) Merusak ketentraman umum.56

b. Jual beli yang sah tapi dilarang, antara lain:


56
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), hlm. 60-61.

xxx
1) Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari

harga pasar, padahal si pembeli tidak menginginkan barang tersebut,

tetapi semata-mata bertujuan supaya orang lain tidak membeli barang

tersebut.

2) Membeli barang yang sudah dibeli orang lain atau

sudah ditawar orang lain yang masih dalam masa khiyār.

3) Membeli barang dari orang yang datang dari luar kota

sebelum sampai di pasar dan mereka belum mengetahui harga yang

ada di pasar.

4) Membeli barang untuk ditahan dan dijual kembali pada

saat-saat tertentu dengan harga yang lebih mahal, padahal masyarakat

umum berhajat terhadap barang tersebut.

5)Jual beli yang sifatnya membohongi, yaitu jual beli yang mengandung

unsur kebohongan, baik di pihak penjual maupun pembeli, yang

terdapat dalam barang dan ukurannya.57

2. Jual beli dilihat dari segi harganya

a. Jual beli musāwamah, yaitu jual beli yang

dilakukan dengan cara tawar menawar antara penjual dan pembeli

sampai adanya kesepakatan harga di antara keduanya.

b. Jual beli murābahah, yaitu jual beli yang

dilakukan dengan menyebut barang beserta keuntungannya dengan

syarat-syarat tertentu.

57
Ibid., 61-62

xxxi
c. Jual beli tauliyah, yaitu jual beli yang dilakukan

dengan menjual harga pembelian tanpa adanya penambahan harga.

d. Jual beli al-Wadi'ah, yaitu jual beli yang harga

jual lebih rendah dibandingkan dengan harga pembelian barang

tersebut.58

D. Prinsip dan Dasar Ekonomi Islam

Islam sebagai agama universal tidak hanya berisi ajaran mengenai

hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa ibadah, tetapi juga

mengatur hubungan manusia dengan manusia yang disebut muamalah.

Muamalah merupakan kegiatan manusia dalam perannya sebagai khalifah di

muka bumi, yang bertugas menghidupkan dan memakmurkan bumi dengan

cara interaksi antar umat manusia, misalnya melalui kegiatan ekonomi.

Kegiatan ekonomi adalah kegiatan dalam upaya memudahkan manusia

memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut,

manusia senantiasa bertarung dengan kekuatan-kekuatan alam untuk

mengeluarkan daripadanya makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.

Karena adanya berbagai macam kebutuhan, situasi dan lingkungan hidup yang

berbea-beda, maka terjadilah antara sesama warga masyarakat berbagai

macam perhubungan (mu'amalah).

Untuk menjamin keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan hidup

di dunia maupun di akhirat, Islam telah mengatur banyak tentang muamalah


58
Ali Fikri, al-Mu'amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah (Kairo: Matba'ah al-Bābi al-Halabi
wa Aulāduh, 1938), I : 16-17.

xxxii
tersebut dalam sebuah sistem ekonominya, yang terkenal dengan sistem

ekonomi Islam.

Ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang berlandaskan

kepada al-Qur’an dan al-hadis, yang menekankan kepada nilai-nilai keadilan

dan keseimbangan. Dengan demikian, Islam adalah agama yang memandang

betapa pentingnya keadilan demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur

dan sejahtera. Hal ini tercermin dari perhatiannya yang besar kepada kaum

yang lemah, yaitu menjamin dan melindungi kehidupan mereka tanpa

menganiaya mereka seperti yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Tidak pula

menganiaya hak-hak dan kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh

komunis. Tetapi Islam berada di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan dan

tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan. Islam

menginginkan agar sistem ekonominya terorganisir sedemikian rupa sehingga

harta tidak hanya ada dalam genggaman orang kaya saja. Untuk mencapai hal

tersebut, Islam telah memberikan konsep-konsep tentang prinsip-prinsip

ekonomi Islam, yaitu:

1. Kebebasan individu

2. Hak terhadap harta

3. Ketidaksamaan ekonomi dalam batasan

4. Kesamaan sosial

5. Keselamatan sosial

6. Larangan menumpuk kekayaan

7. Larangan terhadap institusi anti-sosial

xxxiii
8. Kebajikan individu dalam masyarakat.59

Selain prinsip-prinsip di atas, Islam juga telah memberikan dasar-dasar

ekonomi Islam sebagai acuan bagi para ekonom Islam dalam mencapai

masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dasar-dasar tersebut yaitu:

1. Bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera baik di dunia dan di

akhirat, tercapainya pemuasan optimal berbagai kebutuhan baik jasmani

maupun rohani secara seimbang, baik perorangan maupun masyarakat.

Untuk itu alat pemuas dicapai secara optimal dengan pengorbanan tanpa

pemborosan dan kelestarian alam tetap terjaga.

2. Hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal

dan dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.

3. Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlantar.

4. Dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang selalu

meminta, oleh karena itu harus dinafkahkan sehingga dicapai pembagian

rizki.

5. Pada batas tertentu, hak milik relatif tersebut dikenakan zakat.

6. Perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang.

7. Tiada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama dan yang menjadi

ukuran perbedaan adalah prestasi kerja.60

Kemudian landasan nilai yang menjadi tumpuan tegaknya sistem

ekonomi Islam adalah sebagai berikut:

1. Nilai dasar sistem ekonomi Islam:

59
Budiono, Ekonomi Mikro (Jogjakarta: BPFE-UGM, t.th), hlm. 2.
60
Ibid., hlm. 3.

xxxiv
a. Hakikat pemilikan adalah kemanfaatan, bukan penguasaan.

b. Keseimbangan ragam aspek dalam diri manusia.

c. Keadilan antar sesama manusia.

2. Nilai instrumental sistem ekonomi Islam:

a. Kewajiban zakat.

b. Larangan riba.

c. Kerjasama ekonomi.

d. Jaminan sosial.

e. Peranan negara.

3. Nilai filosofis sistem ekonomi Islam:

a. Sistem ekonomi Islam bersifat terikat yakni nilai.

b. Sistem ekonomi Islam bersifat dinamik, dalam arti penelitian dan

pengembangannya berlangsung terus-menerus.

4. Nilai normatif sistem ekonomi Islam:

a. Landasan aqidah.

b. Landasan akhlaq.

c. Landasan syari'ah.

d. Al-Qur'anul Karim.

e. Ijtihad (Ra'yu), meliputi qiyās, maslalah mursalah, istihsān, istishāb,

dan 'urf.61

Salah satu nilai dasar pada sistem ekonomi Islam adalah keadilan antar

sesama manusia. Ini menunjukkan bahwa masalah keadilan berkaitan secara

timbal balik dengan kegiatan bisnis, khususnya bisnis yang baik dan etis. Di
61
Ibid., hlm. 3-4.

xxxv
satu pihak terwujudnya keadilan dalam masyarakat akan melahirkan kondisi

yang baik dan kondusif bagi kelangsungan bisnis yang baik dan sehat. Tidak

hanya dalam pengertian bahwa terwujudnya keadilan akan menciptakan

stabilitas sosial yang menunjang kegiatan bisnis, melainkan juga dalam

pengertian sejauh prinsip keadilan dijalankan akan lahir wajah bisnis yang

baik dan etis. Di lain pihak, praktek bisnis yang baik, etis, adil, dan fair akan

ikut mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Sebaliknya, jika ketidak adilan

yang merajalela akan menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan para

pelaku bisnis.

Islam memiliki suatu konsep masyarakat yang berkeadilan. Kata kunci

yang digunakan al-Qur'an dalam masalah ini adalah adl dan ihsan di satu sisi

dan istikbar di sisi lain. Masyarakat Islam yang ideal harus didasarkan pada

keadilan dan nilai-nilai kebaikan serta tiadanya eksploitator yang angkuh,

yang disebut istikbar, karena mengeksploitasi mustad'afin. Keadilan dan

eksploitasi tidak dapat menjadi satu. Perkembangan kapitalisme didasarkan

pada eksploitasi dan akumulasi modal, sedangkan al-Qur'an mengajarkan

praktek dagang yang jujur dan mencari keuntungan dengan cara yang adil

(bukan mencari keuntungan secara berlebih-lebihan, profiteering).62 Keadilan

dan kebijakan merupakan prinsip pokok ekonomi Islam agar tercapai dua

sasaran, yaitu:

1. Kekayaan tidak dipusatkan pada sebagian kecil tangan

manusia, namun melalui situasi yang kontinyu pada komunitas.


62
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 127.

xxxvi
2. Berbagai ragam rakyat yang berpartisipasi dalam bidak

kekayaan nasional mendapatkan imbalan secara adil dan pantas.63

Dari beberapa konsep di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Islam

menghendaki agar sumber-sumber kekayaan tidak tertumpuk pada satu tempat

secara besar-besaran, tetapi beredar dan berpindah-pindah di antara individu

hingga masing-masing memperoleh bagian kekayaan yang sah dan layak.

Maka menjadi tugas dan kewajiban pemimpin atau penguasa untuk

mengembalikan distribusi kekayaan dalam masyarakat manakala tidak ada

keseimbangan di antara yang dipimpinnya.

Termasuk dari ciri-ciri Islam adalah bahwa Islam telah mengakui

manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah dan insting-insting sosial,

khususnya kecintaan terhadap harta benda. Namun harus diketahui juga bahwa

ekonomi Islam merupakan bagian dari sistem Islam. Maka ekonomi Islam

tidak bisa terlepas dari aqidah dan syari’at Islam, bahkan mempunyai

hubungan yang sempurna. Dengan demikian pada dasarnya kegiatan-kegiatan

ekonomi dalam Islam bersifat pengabdian, dan merupakan cita-cita luhur yang

semata-mata tidak untuk merealisir keuntungan materiil saja. Kebebasan

ekonomi Islam bukanlah merupakan kebebasan yang mutlaq atau tanpa batas,

akan tetapi terikat oleh norma-norma yang digariskan dalam Islam, yaitu

ikatan keadilan demi terwujudnya kemaslahatan umum. Oleh karena itu, jika

tujuan ekonomi tidak semata-mata untuk merealisir keuntungan materiil yang

sudah melekat pada pelaku ekonomi, maka persaingan, egoisme, dan

63
Afzalurrahmān, Al-Qur'an dalam Berbagai Disiplin Ilmu (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm.
30.

xxxvii
monopoli akan berubah menjadi saling pengertian dan saling tolong-menolong

demi kemaslahatan seluruh umat manusia.64 Sehingga tujuan dari sistem

ekonomi Islam tidak lain adalah untuk kemaslahatan umat manusia secara

menyeluruh dapat terwujud.

Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sistem ekonomi Islam

merupakan sistem yang berwatak sosial tanpa meniadakan hak-hak asasi yang

menjadi fitrah manusia.

BAB III

KAJIAN MA’ANI AL-HADIŚ

A. Hadis-hadis tentang Keuntungan Jual beli

Langkah awal yang dilakukan dalam kajian ma’āni al-hadisׂ, adalah

mengemukakan hasil takhrij pada setiap hadis yang dijadikan objek kajian

sebagaimana terdapat dalam sumber data primer.

Setelah diupayakan takhrij terhadap hadis yang dimaksud dalam kitab

sumber primer (al-Kutūb al-Tis’ah) dengan menggunakan kitab al-Mu’jām al-

Mufakhrās li Alfāz al-Hadisׂ al-Nabawi, dengan menggunakan kata -‫ يبيع‬-‫باع‬

‫بيع‬65, serta dibantu penelusuran melalui Islamic software CD Mausū’āt al-

Hadiś al-Syarif, maka ditemukan bahwa hadis dimaksud terdapat dalam

beberapa kitab hadis.

64
Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abd al-Karim, Sistem Ekonomi Islam,
Prinsip-prinsip dan Tujuannya, alih bahasa H. Ahmadi dan Anshori Umar Sitanggal (Surabaya:
P.T. Bina Ilmu, 1980), hlm. 20-22.
65
AJ. Wensinck, Al-Mu'jām al-Mufakhrās li Alfāz al-Hadisׂ al-Nabawi, terj. Muhammad
Fuad Abd al-Baqi', Juz III (Laeiden: E.J. Brill, 1937), hlm. 119.

xxxviii
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, hadis tentang keuntungan jual

beli terdapat dalam beberapa kitab yaitu Sahih Bukhāri sebanyak 1 buah,

Sunan Ibn Mājah sebanyak 1 buah, Sunan Abū Dāwud sebanyak 1 buah,

Sunan al-Tirmiżi sebanyak 1 buah, dan Musnad Ahmad Ibn Hanbal

sebanyak 2 buah. Sehingga hadis-hadis tentang keuntungan jual beli dalam

Kutub al-Tis’ah sebanyak 6 buah.

Dari semua kitab hadis tersebut sahabat yang meriwayatkan hadis

tentang keuntungan jual beli adalah ‘Urwah.

Adapun teks-teks hadis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hadis dalam Sahih al-Bukhāri

‫ عن عروة البارقىِّ أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا‬.١
‫يشترى له به شاة‬
‫فاشترى له به شاتين فباع إحداهما بديناروجاءه بدينار وشاة‬
266
‫فدعاله بالبركة فى بيعه وكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه‬

Artinya : Dari ‘Urwah al-Bāriqi"Bahwasannya Nabi saw. memberinya


uang satu dinar untuk dibelikan kambing. Maka dibelikannya
dua ekor kambing dengan uang satu dinar tersebut,
kemudian dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar.
Setelah itu ia datang kepada Nabi saw. dengan membawa
satu dinar dan seekor kambing. Kemudian beliau
mendo'akan semoga jual belinya mendapat berkah. Dan
seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya mendapat
keuntungan pula"

2. Hadis dalam Sunan at-Tirmiżi

‫ ح ّدثنا ال ّزبير‬X‫ ح ّدثنا أحمد بن سعيد ال ّدارم ّى ح ّدثنا حبّان ح ّدثنا هارون بن موسى‬.١

‫ى قال دفع إل ّى رسول هللا صلى الله‬


Xّ ‫الخرّيت عن أبى لبيد عن عروة البارق‬
66
Abi Abdillāh Muhammad ibn Ismā'il ibn Ibrāhim ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-
Bukhāri al-Ja’fiyyi, Sahih Bukhāri, Juz IV (Beirut: Dār al-Fikr, 1401 H/ 1981 M), hlm. 187.

xxxix
‫عليه وسلّم دينارا ألشترى له شاة فاشتريت له شاتين فبعت إحداهما بدينار‬

‫وجئت بال ّشاة و ال ّدينار إلى النّب ّى صلى الله عليه وسلّم فذكر له ما كان‬
‫من أمره فقال له بارك الله لك فى صفقة يمينك فكان يخرج بعد ذلك‬
‫إلى كناسة الكوفة فيربح الرّبح العظيم فكان من أكثر أهل الكوفة‬
‫مالا حدّثنا أحمد بن سعيد الدّارمىّ حدّثنا حبّان حدّثنا سعيد بن‬

‫زيد قال حدّثنا ال ّزبيرخرّيت فذكر نحوه عن أبى لبيد قال أبو عيسى وقد‬

‫ به وهو قول أحمد وإسحق ولم يأخذ‬X‫ذهب بعض أهل العلم إلى هذا الحديث وقالوا‬

‫بعض أهل العلم بهذا الحديث منهم ال ّشافعى وسعيد بن زيد أخو حمّاد بن‬
673 ‫زيد وأبو لبيد اسمه لمازة بن زبّار‬

Artinya : Telah menceritakan Ahmad bin Sa'id al-Dārimi kepada


kami, telah menceritakan Habbān kepada kami, telah
menceritakan Harun bin Mūsā kepada kami, telah
menceritakan Zubair bin Khirit kepada kami dari Abu
Labid dari Urwah al-Bāriqi berkata: Rasulullah saw.
menyerahkan kepadaku uang satu dinar untuk dibelikan
seekor kambing. Maka saya membelikan untuknya dua ekor
kambing dan saya menjualnya lagi yang seekor dengan
harga satu dinar. Saya datang kepada Nabi saw. dengan
membawa seekor kambing dan keuntungan satu dinar dan
saya sebutkan kejadiannya kepada beliau. Maka sabda
Nabi:" Semoga Allah memberi keberkahan kepadamu di
dalam jual belimu." Sesudah peristiwa itu Urwah al-Bāriqi
pergi ke kota Kurasan yang ada di Kufah untuk berdagang
dan mendapatkan keuntungan yang banyak dan dialah
orang yang terkaya di Kufah. Ahmad bin Sa'id
menceritakan kepada kami, Habban menceritakan kepada
kami, Sa'id bin Zaid menceritakan kepada kami, Zubair
bin Khirit menceritakan kepada kami dari Abu Labid dan
menyebutkan hadis ini seperti di atas. Sebagian ulama
sependapat dengan hadis ini dan mereka mengatakan
dengan hadis ini. Inilah pendapat Ahmad dan Ishāq.
Sebagian ulama yang lain tidak mau menggunakan hadis
ini, diantaranya Syāfi'i, Sa'id bin saudara Hammād bin

67
Imām al-Hafiz Abi 'Isā Muhammad bin 'Isā bin Suran al-Tirmiżi, Sunan al-Tirmiżi, Juz
II (Beirut: Dar al-Fikr, 1983 M), hlm. 365.

xl
Zaid dan Abu Labid yang nama aslinya Lizāmah bin
Zabbār.

3. Hadis dalam Sunan Abū Dāud

‫ ح ّدثنا مس ّدد ح ّدثنا سفيان عن شبيب بن غرقدة ح ّدثنى الح ّى عن عروة يعنى ابن‬.١

‫ى قال أعطاه النّبىّ صلى الله عليه وسلّم دينارا‬


Xّ ‫أبى الجعد البارق‬
‫يشترى به أضحيّّة أو شاة فاشترى شاتين فباع إحداهما بدينارفأتاه‬
‫بشاة و دينار فدعاله بالبركة فى بيعه كان لو اشترى التّرابَ لربح‬

‫ ح ّدثنا سعيد بن زيد هو أخوح ّماد‬X‫صبّاح ح ّدثنا أبوالمنذر‬


ّ ‫فيه ح ّدثنا الحسن ابن ال‬

‫ابن زيد ح ّدثنا ال ّزبير بن الخرّيت عن أبى لبيد ح ّدثنى عروة البارقى بهذا الخبر‬
684
‫ولفظه مختلف‬

Artinya :Telah menceritakan Musaddād kepada kami, telah


menceritakan Sufyān kepada kami dari Syabib bin
Garqadah, segolongan manusia menceritakan kepada saya
dari Urwah bahwasannya Ibn Abi al-Ja'ād al-Bāriqi
berkata:" Bahwasannya Nabi saw. memberinya uang satu
dinar untuk dibelikan kambing. Maka dibelikannya dua
ekor kambing dengan uang satu dinar tersebut, kemudian
dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu
ia datang kepada Nabi saw. dengan membawa satu dinar
dan seekor kambing. Kemudian beliau mendo'akan semoga
jual belinya mendapat berkah. Dan seandainya uang itu
dibelikan tanah, niscaya mendapat keuntungan pula."
telah menceritakan al-Hasān Ibn al-Sabah kepada kami,
telah menceritakan Abu al-Munżir kepada kami, telah
menceritakan Sai'id bin Zaid saudara Hammad Ibn Zaid,
Zubair bin al-Khirit kepada kami dari Abi Labid, Urwah
al-Bāriqi menceritakan kepada saya dengan hadis ini dan
lafaznya dipertentangkan.

4. Hadis dalam Sunan Ibn Mājah

68
Imām al-Hafiz al-Musnif al-Mutqin Abi Daud Sulaiman Ibn al-'As'ad al-Sajsatani al-
Azali, Sunan Abū Dāud, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 265.

xli
‫ ح ّدثنا أبو بكر بن أبى شيبة ح ّدثنا سفيان بن عيينة عن شبيب بن غرقدة عن‬.١

ّ X‫عروة البارقى‬
‫أن النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا يشترى‬
‫له شاة فاشترى له شاتين فباع إحداهما بدينارفأتىالنّبىّ صلّى الله‬
‫عليه وسلّم بدينار وشاة فدعاله رسول الله صلّى الله عليه وسلّم‬

‫بالبركة قال فكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه ح ّدثنا أحمد بن سعيد‬

‫ال ّدارم ّى ح ّدثنا حبّان بن هالل ح ّدثنا سعيد بن ال ّزبير بن الخرّيت عن أبى لبيد‬

‫ بن زبّار عن عروة بن أبى الجعد البارق ّى قال قدم جلب فأعطانى النّبى‬X‫لمازو‬
695
‫صلّى الله عليه وسلّم دينارا فذكر نحوه‬

Artinya : Telah menceritakan Abu Bakr bin Abi Syaibah kepada kami,
telah menceritakan Sufyān bin Uyainah kepada kami dari
Syabib bin Garqadah dari Urwah al-Bāriqi bahwasannya
Nabi saw. memberinya uang satu dinar untuk dibelikan
seekor kambing. Maka dibelikannya dua ekor kambing
dengan uang satu dinar tersebut, kemudian dijualnya yang
seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu ia datang kepada
Nabi saw. dengan membawa satu dinar dan seekor kambing.
Kemudian beliau mendo'akan semoga jual belinya mendapat
berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya
mendapat keuntungan pula."Telah menceritakan Ahmad bin
Sa'id al-Dārimi kepada kami, telah menceritakan Habbān
bin Hilāl kepada kami, telah menceritakan Sa'id bin Zubair
bin al-Khirit kepada kami dari Abi Labid Limāzah bin
Zabbār dari Urwah bin Abi al-Ja'ād al-Bāriqi berkata:"
Datangkanlah sesuatu itu". Maka Nabi saw. memberinya
uang satu dinar lalu ia pun menyebutkan kepada yang
lainnya.

5. Hadis-hadis dalam Sunan Ahmad Ibn Hanbal

ّ ‫ ح ّدثنا سفيان عن شبيب أنه سمع الح ّى يخبرون عن عروة البارق ّى‬.١
ّ‫أن النّبى‬
‫صلّى الله عليه وسلّم بعث معه بدينار يشترى له أضحيّّة وقال مرّة‬
‫أو شاة فاشترى له اثنتين فباع واحدة بدينار وأتاه بالأخرى فدعاله‬
69
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, terj, H. Abdullah Shonhaji dkk, Juz V (Semarang: Asy-
Syifa, 1992), hlm. 385.

xlii
‫بالبركة فى بيعه فكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه حدّثنا يحيى بن‬
‫سعيد عن زكريّا عن الشّعبىّ عن عروة بن أبى الجعد قال وحدّثنى‬
‫أبى حدّثنا أبو كامل عن سعيد بن زيد عن الزّبير عن أبى لبيد عن‬

‫عروة بن أبى الجعد قال أبى و حدّثنا يحيى بن آدم عن إسرائيل عن‬

706
‫أبى إسحاق عن عروة عن أبى الجعد كلّهم قال ابن أبى الجعد‬

Artinya : Sufyān menceritakan kepada kami dari Syabib bahwasannya


ia mendengar dari segolongan manusia yang
memberitahukan dari 'Urwah al-Bāriqi bahwasannya Nabi
saw. memberinya uang satu dinar untuk dibelikan seekor
kambing. Dan berkata satu atau seekor kambing. Maka
dibelikannya dua ekor kambing dengan uang satu dinar
tersebut, kemudian dijualnya yang seekor dengan harga satu
dinar. Setelah itu ia datang kepada Nabi saw. dengan seekor
kambing. Kemudian beliau mendo'akan semoga jual belinya
mendapat berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah,
niscaya mendapat keuntungan pula." Yahyā bin Sa'id
menceritakan kepada kami dari Zakariyyā dari al-Sya'biyyi
dari 'Urwah bin Abi al-Ja'ād berkata " Dan Bapak saya
mencertakan kepada saya, Abu Kamil menceritakan kepada
kami dari Sa'id bin Zaid dari al-Zubair dari Abi Labid dari
'Urwah bin Abi al-Ja'ād bapak saya berkata: Dan Yahyā bin
Adam menceritakan kepada kami dari Israil dari Abi Ishāq
dari Urwah dari Abi al-Ja'ād dan mereka semua mengatakan
Ibn Abi al-Ja'ād

‫ حدّثنا أبو كامل حدّثنا سعيد بن زيد حدّثنا الزّبيربن الخرّيت‬.۲

‫ى قال عرض للنّبى صلّى‬


Xّ ‫حدّثنا أبو لبيد عن عروة بن أبى الجعد البارق‬
‫الله عليه وسلّم جلب فأعطانى دينارا وقال أى عروة ائت الجلب‬
‫فاشترلنا شاة فأتيت الجلب فساومت صاحبه فاشتريت منه شاتين بدينار‬
‫فجئت أسوقهما أو قال أقودهما فلقينى رجل فساومنى فأبيعه شاة‬
‫بدينار فجئت بالدّينار و جئت بالشّاة فقلت يا رسول الله هذا‬
‫ديناركم وهذه شاتكم قال وصنعت كيف قال فحدّثته الحديث فقال‬
70
CD Rom Mausū'ah al-Hadisׂ al-Syarif , Musnad Ahmad ibn Hanbal (Global
Islamic Software Conpany: Syirkah al-Baramij al-Islamiyyah al-Dawliyyah, 1991-1997), no.
18549.

xliii
‫بارك له فى صفقة يمينه فلقد رأيتنى أقف بكناسة الكوفة‬ ّ‫اللّهم‬
‫فأربح أربعين ألفا قبل أن أصل إلى أهلى وكان يشترى الجوارى ويبيع‬

‫حدّثنا إبراهيم الحجّاج حدّثنا سعيد بن زيد حدّثنا ال ّزبير بن الخرّيت‬

‫ى عن النّبى‬
Xّ ‫عن أبى لبيد وهو لمازو بن زبّارعن عروة بن أبى الجعد البارق‬
71
‫صلّى الله عليه وسلّم مثله‬

Artinya : Telah menceritakan Abū Kāmil kepada kami, telah


menceritakan Sa'id bin Zaid kepada kami, telah
menceritakan al-Zubair bin al-Khirit kepada kami, telah
menceritakan Abu labid kepada kami dari 'Urwah bin Abi
al-Ja'ād al-Bāriqi berkata bahwasannya ia menginginkan
sesuatu untuk Nabi saw maka ia memberiku satu dinar dan
ia pun berkata:"Wahai 'Urwah, datangkanlah sesuatu itu."
Lalu ia membelikan kami seekor kambing yang diinginkan.
Lalu saya pun menawar kepada sahib pemilik kambing itu,
maka saya pun membeli dua ekor kambing darinya. Lalu
saya pulang dengan menunggangi keduanya atau
dikatakan menggiring keduanya, lalu saya bertemu
seorang laki-laki dan ia pun menawar kambing itu dan
saya pun menjual satu ekor kambing dengan harga satu
dinar. Lalu saya pulang dengan satu dinar dan seekor
kambing dan saya pun berkata: "Ya Rosulullah, ini
dinarmu dan ini kambingmu." Lalu Nabi saw.
bertanya:"Bagaimana kejadiannya?". Maka saya pun
menceritakan kejadiannya. Maka sabda Nabi:" Ya Allah
berilah keberkahan kepadanya di dalam jual belinya."
Sesudah peristiwa itu saya melihatnya pergi ke kota
Kurasan yang ada di Kufah dan mendapatkan keuntungan
empat puluh ribu sebelum sampai ke tujuannya.
Bahwasannya ia membeli dari pedagang dan menjualnya
kembali. Telah menceritakan Ibrāhim al-Hajjāj kepada
kami, telah menceritakan Sa'id bin Zaid kepada kami,telah
menceritakan al-Zubair bin al-Khirit kepada kami dari Abi
Labid dan ia Limāzah bin Zabbār dari Urwah bin Abi al-
Ja'ād al-Bāriqi dari Nabi saw. seperti itu pula.

Dari pemaparan hadis-hadis tentang keuntungan jual beli, dapat

diketahui bahwa hadis tersebut diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan.

71
Ibid., no. 18554.

xliv
Setelah mengetahui semua hadis pokok sebagai hasil takhrij diperlukan

penelititan akan keasliannya sebelum melakukan pemahaman hadis. Penelitian

ini sangatlat penting didasarkan asumsi bahwa pemahaman sahih hanya

akan terjadi jika teks yang dipahami benar-benar otentik. Dalam hal ini hadis

yang akan dipahami minimal harus berstatus hasan, dan hadis-hadis di atas

semuanya berstatus marfū'.

B. Kritik Otentisitas Hadis

Kritik Sanad dan Matan

Selanjutnya untuk mempermudah I’tibār72, dapat dilihat pada skema

sanad yang terdapat pada bagian lampiran. Dari skema tersebut dapat

diketahui bahwa tidak ada periwayat yang berstatus Syāhid.73 Karena sahabat

Nabi yang meriwayatkan hadis tersebut hanya 'Urwah bin Ja'ad. Adapun

sahabat yang berstatus sebagai muttabi' adalah periwayat tingkat kedua

sampai ke empat.74 Syabib bin Garqadah mempunyai muttabi' 'Amir bin

Syarāhil, 'Amru, Limāzah bin Ziyād. Sufyān bin 'Uyainah mempunyai

muttabi' Sufyān bin Sa'id, Zakariyya, Isrāil, al-Zubair. 'Ali bin Ubaidillah

mempunyai muttabi' 'Ubaidillah bin Muhammad, Musa'adah bin Musrahad,

72
I’tibār adalah upaya penyertaan Sanad-sanad dalam meneliti suatu hadis yang pada
sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja dengan menyertakan sanad lain akan
diketahui adakah periwayat-periwayat lain atau tidak. Lihat Muhammad Tahhan, Tafsir
Mustalāh al-Hadisׂ (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, t. th) hlm. 15. dari kegiatan ini
diterapkan ada tidaknya suatu pendukung baik berupa syāhid maupun muttabi’.
73
Syāhid adalah seorang sahabat yang meriwayatkan hadis menyerupai sahabat lain baik
lafaz-lafz maupun makna. Lihat Muhammad 'Ajjāj al-Khatab, Usūl al-Hadisׂ Ulūmuhu wa
Mustalāhuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), hlm, 366.
74
Ibid.

xlv
Yahyā bin Sa'id, Yahyā bin Adam, Sa'id bin Zaid, Harun bin Mūsā.

Sedangkan hadis tersebut juga diriwayatkan oleh sejumlah Mukharrij

al-Hadisׂ seperti al-Bukhāri, al-Tirmizi, Abū Dāud, Ibn Mājah, dan Ahmad

Ibn Hanbal.

Yūsuf al-Qaradawi dalam kitabnya Fatwa-fatwa Kontemporer

memberikan penjelasan tentang tashih dan tahqiqnya Syekh Abdul

Azis bin Abdullah yang dikutip dari Kitab Fathu al-Bari bahwasanya hadis

ini diriwayatkan melalui jalan Syabib bin Garqadah, ia berkata: "Saya

mendengar segolongan manusia menceritakan dari Urwah". Dan segolongan

manusia ini, walaupun keadaan mereka tidak diketahui, tidak memungkinkan

mereka melakukan kebohongan, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafizd,

dengan menyandarkan datangnya hadis ini dari jalan lain yang merupakan

saksi bagi kesahihannya dan diriwayatkan oleh Imām Ahmad, Abu

Daud, al-Tirmizi, Ibn Mājah dari jalan Sa'id Ibn Zaid dari Zubair al-Khirit dari

Labid berkata bahwasannya telah menceritakan kepada saya 'Urwah al-Bāriqi

dengan pernyataan makna hadis yang sama, juga adanya kesaksian dari

Hakim bin Hazām dan telah diriwayatkan oleh Ibn Mājah dari Abi Bakr bin

Abi Syaibah dari Sufyān dari Syabib dari 'Urwah dengan tidak disebutkan

seorangpun diantara keduanya dan riwayat Ali bin Abdullah yakni Ibn al-

Madani Syeikh al-Bukhāri yang menunjukkan kesamaan dalam

periwayatannya, maka inilah yang dijadikan sandaran bahwasannya hadis ini

meskipun pada jalur periwayat al-Bukhāri melalui segolongan orang yang

tidak diketahui, tetapi hal itu dikuatkan dengan adanya periwayat dari jalur

xlvi
yang lain yakni al-Tirmizi, Abū Dāud, Ibn Mājah dan Ahmad Ibn Hanbal

yang menguatkan kedudukannya,75 maka hadis ini dikategorikan sebagai hadis

yang marfū' yakni hadis yang periwayatannya sampai kepada Nabi.76

Setelah dilakukan penelitian sanad, maka proses berikutnya adalah

meneliti kualitas matannya. Adapun langkah-langkah dalam penelitian matan

seperti dirumuskan oleh M. Syuhudi Ismā'il adalah:

1. Meneliti matan dengan kualitas sanadnya.


2. Meneliti susunan matan yang semakna.
3. meneliti kandungan matan.77

Untuk menetili matan hadis yang diteliti, diperlukan tolak ukur tentang

kesahihan matan, sebuah hadis dinilai sahih matannya. Menurut Salah al-

Din Ibn Ahmad al-Adlabi kriteri kritik matan adalah sebagai berikut:

1. Tidak bertentangan dengan al-Qur'an al-Karim.


2. Tidak bertentangan dengan dengan hadis dan sirah nabawiyyah
yang sahih.
3. Tidak bertentangan dengan akal, indera atau sejarah.
4. Tidak mirip dengan sabda kenabian.78

Ulama hadis barulah menganggap penting penelitian matan untuk

dilakukan setelah sanad dan matan itu telah diketahui kualitasnya, dalam hal

ini kualitas sahih, atau minimal tidak termasuk berat keda'ifannya.

75
Ahmad ibn Ali bin Hajar al-Asqalāni, Fathu al-Bari: Syarh Sahih al-Imām
Abū Abdullah ibn Ismā'il al-Bukhāri, juz II (Beirut: al-Maktabah al-Salafiyah,t.th), hlm. 635.
76
CD Rom Mausū'ah al-Hadisׂ al-Syarif (Global Islamic Software Conpany: Syirkah
al-Baramij al-Islamiyyah al-Dawliyyah, 1991-1997)
77
M. Syuhudi Ismā'il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
hlm. 2002-204..
78
Salāh al-Din Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, alih bahasa.
M. Qadirun, Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 209.

xlvii
Kriteria pertama, tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Firman Allah

yang berkenaan dengan jual beli sebagai berikut:

79
....‫ الرّبوا‬X‫وأح ّل هللا البيع وح ّرم‬...

Artinya : Padahal Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan


riba.

‫ارة عن‬XX‫ون تج‬XX‫ل إالّ أن تك‬XX‫والكم بينكم بالباط‬XX‫أكلوا أم‬XX‫وا الت‬XX‫امن‬ ‫ذين‬XXّ‫ياأيّها ال‬
80
....‫تراض منكم‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu….

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan halalnya jual beli, kendatipun

menurut asbāb al-nuzūl ayat-ayat tersebut ditekankan untuk maksud-maksud

yang lain yang tidak memberi faedah langsung halalnya jual beli. Sebab pada

ayat pertama menekankan keharaman riba, ayat kedua memberikan tuntunan

agar hendaknya jual beli dilakukan dengan didasarkan atas kerelaan dari

kedua belah pihak. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada suatu

pertentangan antara hadis-hadis yang dibahas dengan al-Qur'an al-Karim.

Kriteria kedua, pertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat

kedudukannya. Meskipun ada hadis yang membolehkan pengambilan

keuntungan melebihi 100 persen dari modal, tetapi penulis tidak menemukan

hadis yang menolak pengambilan keuntungan sebesar 100 persen. Dalam

79
Al-Bāqarah (2): 275.
80
Al-Nisā' (4): 29.

xlviii
artian bahwasanya hadis-hadis yang dibahas senuanya membolehkan

pengambilan keuntungan sebesar 100 persen. Walaupun ada hadis yang

membolehkan pengambilan keuntungan lebih dari 100 persen tetapi tidak

melarang pengambilan keuntungan sebesar 100 persen.

Kriteria ketiga, bertentangan dengan akal. Yang dimaksud akal di sini

adalah akal yang tercerahkan dengan al-Qur'an dan Hadis yang sahih.

Secara akal, sistem ekonomi yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-

hadis, yang menekankan kepada nilai-nilai keadilan dan keseimbangan demi

terciptanya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Dengan demikian

tidak adanya pertentangan hadis yang dibahas dengan akal.

Secara keseluruhan, hadis-hadis tentang keuntungan jual beli yang

diteliti yang diambil dari hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhāri, al-Tirmizi,

Abū Dāud, Ibn Mājah, dan Ahmad Ibn Hanbal, baik sanad maupun

matannya adalah sahih (sahih al-Matan wa sahih al-Isnād),

dengan kata lain, bahwa hadis-hadis tersebut bernilai sebagai hadis

sahih.

Karena hadis tersebut adalah sahih, maka hadis-hadis tersebut

dapat diterima (maqbūl), seperti disebutkan Muhammad 'Ajjāj al-Khatib

bahwa salah satu syarat suatu hadis dapat dikategorikan sebagai hadiś

maqbūl apabila telah diketahui perawi-perawi yang ada dalam hadis tersebut

tidak mengandung cacat/kelemahan (saqim).81

81
Muhammad 'Ajjāj al-Khatib, Usūl al-Hadisׂ 'Ulūmuhu wa Mustalāhuhu (Beirut:
Dār al-Fikr, 1989), hlm. 55-56.

xlix
C. Pemaknaan Hadis

1. Kata-kata Kunci dalam Hadis

Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam memahami matan

hadis adalah menjelaskan beberapa kata penting dari segi makna

istilahnya. Kata-kata tersebut adalah kata ‫ بيع‬, ‫ اشترى‬dan ‫ ربح‬.

b) ‫اشترى‬

‫ اشترى‬berasa dari kata ‫ شراء‬yaitu bentuk masdar dari kata – ‫شرى‬

‫ يشرى – شراء‬yang berarti membeli82, lawan katanya yaitu‫البيع‬ bentuk

masdar dari kata ‫ باع‬- ‫ يبيع‬- ‫ بيعا‬yang berarti menjual.83

c) ‫ربح‬

‫ ربح‬yaitu bentuk fi'l al-mudāri' dari kata ‫ ربح – يربح – ربح‬yang

berarti laba yakni pertumbuhan dalam dagang.84 Berkata Azhadi ‫ربح‬

‫ ورابحته‬,‫ فالن‬, maka jual beli adalah ribh (‫ )الربح‬dan perdagangan (

‫ارة‬XX‫ )تج‬adalah rābihah (‫ )رابحة‬yaitu laba atau hasil dagang yang

didahului ‫ المتناع الجواب المتناع ال ّشرطلو‬yang berarti jika, maka pasti ada

jawaban dari syarat itu dan ‫ ال ّشرطالم الجواب‬yang berarti jawaban akan

syarat.85

82
A.W. Munawir, Kamus al-Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, cet 14 (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), hlm. 716.
83
Ibid., hlm. 124.
84
Louwis al-Ma'lūf, al-Munjid fi al-Lugah wa al-A'lām, cet ke-28 (Beirut: Dār al-
Masyriq, 1986), hlm. 244
85
Ibid., hlm. 737.

l
Kata ini apabila dikaitkan dengan hadis yang sedang diteliti

mengandung pemahaman "jika ingin mendapat keuntungan maka

harus melakukan jual beli".

2. Pemahaman Hadis Sesuai dengan Petunjuk Qur’an

Dalam kaitannya dengan hadis yang sedang dibahas, yaitu hadis

tentang keuntungan jual beli, tidak terdapat satupun ayat al-Qur’an yang

secara tersurat menyatakan tentang batasan pengambilan keuntungan jual

beli. Adapun firman Allah yang berkenaan dengan jual beli sebagai

berikut:

....‫ الرّبوا‬X‫وأح ّل هللا البيع وح ّرم‬...


86

Artinya : Padahal Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan


riba.

‫راض‬XX‫ارة عن ت‬XX‫امنوا التأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إالّ أن تكون تج‬ ‫ياأيّها الّذين‬
87
....‫منكم‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu….

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan halalnya jual beli,

kendatipun menurut asbāb al-nuzūl ayat-ayat tersebut ditekankan untuk

maksud-maksud yang lain yang tidak memberi faedah langsung halalnya

jual beli. Sebab pada ayat pertama menekankan keharaman riba, ayat

86
Al-Bāqarah (2): 275.
87
Al-Nisā' (4): 29.

li
kedua memberikan tuntunan agar hendaknya jual beli dilakukan dengan

didasarkan atas kerelaan dari kedua belah pihak.

3. Hadis-hadis yang Setema

Dalam pencarian hadis-hadis yang setema dengan hadis yang

sedang dibahas, penulis menggunakan Kitab ‫ مفتاح كنوزالسنّة‬sebagai rujukan

dan menggunakan tema hadis.

‫نهى النّبى صلى هللا عليه وسلّم عن ربح مالم يضمن‬

Adapun hadis-hadis yang keluar yang setema dengan hadis-hadis

yang dibahas terdapat dalam kitab Sunan Ibn Mājah dan Musnad

Ahmad

Ibn Hanbal.88

Di sini akan dicantumkan sebagian hadis sebagai penguat bagi

hadis yang sedang dibahas yaitu hadis dalam Kitab Sunan Ibn Mājah dan

Musnad Ahmad Ibn Hanbal.

a. Hadis dalam Sunan Ibn Mājah

‫ أبو كريب ثنا إسماعيل بن‬X‫ ح ّدثنا أزهر بن مروان قال ثنا حقاد بن زيد وح ّدثنا‬.1

‫عليّة قاال ثنا أيوب عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن ج ّده قال رسول هللا‬
89 19
‫صلّى هللا عليه وسلّم ال يح ّل بيع ماليس عندك وال ربح مالم يضمن‬

Artinya : Telah menceritakan Azhar Ibn Marwān kepada kami, dia


berkata menceritakan Haqād bin Zaid kepada kami, dan
88
A.J. Weensick, Miftāh Kunūz al-Sunnah, terj. Muhammad Fuad Abd al-Baqi' (Beirut:
Dar Ihya' al-'Arabi, t.th), hlm 89.
89
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, juz II (Semarang: Toha Putra, t. th), hlm. 737.

lii
telah menceritakan Abū Karib kepada kami,
menceritakan Isma'il bin 'Aliyyah, mereka berdua
berkata (Abū Karib dan Isma'il bin 'Aliyyah)
menceritakan Ayyūb kepada kami dari 'Amru bin Syuaib
dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya Rasulullah
saw. bersabda: " Tidak halal menjual sesuatu yang belum
engkau miliki, dan tidak ada keuntungan sesuatu barang
yang belum ditanggungnya".
b. Hadis dalam Sunan Ahmad Ibn Hanbal

‫ ثنا الضحاك بن عثمان عن عمرو بن‬X‫ ح ّدثنا عبدهللا ح ّدثنا أبوبكرالحنفى‬.۱

‫شعيب عن أبيه عن ج ّده قال رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم عن بيعتين فى‬
90 20
‫بيعة وعن بيع وسلف وعن ربح مالم يضمن وعن بيع ماليس عندك‬

Artinya : Telah menceritakan 'Abdullah kepada kami,


menceritakan Abu Bakr al-Hanafi kepada kami,
menceritakan al-Dahaki bin 'Usman kepada kami,
dari 'Amru bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya
bahwasannya Rasulullhah saw. bersabda:"Dua akad
penjualan dalam satu penjualan, penjualan atas
dasar pinjaman, keuntungan dari suatu barang yang
belum ditanggungnya, dan menjual sesuatu yang
belum engkau miliki".

4. Ada dan Tidaknya Pertentangan dalam Hadis

Baik dari segi makna maupun lafaz hadis tentang pengambilan

keuntungan yang sedang dibahas tidak terdapat adanya suatu pertentangan

antara hadis satu dengan lainnya, dikarenakan tidak ditemukannya hadis

yang menolak pengambilan keuntungan sebesar 100 persen, hadis-hadis

yang dibahas yakni hadis-hadis tentang keuntungan jual beli baik dari segi

makna ataupun redaksi lafaznya tidak terdapat perbedaan. Dalam artian

90
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Juz II (Beirut: Dār al-Fikr,
t,th), hlm. 174.

liii
bahwasannya hadis-hadis yang dibahas senuanya membolehkan

pengambilan keuntungan sebesar 100 persen. Walaupun ada hadis yang

membolehkan pengambilan keuntungan lebih dari 100 persen tetapi tidak

melarang pengambilan keuntungan sebesar 100 persen.

5. Latar Belakang Historis Hadis

Langkah selanjutnya dalam pemahaman matan hadis menurut

Yūsuf al-Qaradawi adalah pencarian latar belakang (asbāb al-warūd),

kondisi dan tujuan penyampaian hadis.

Latar belakang turunnya hadis ini tidak ditemukan, sebagai

penguat hadis ini, penulis mencantumkan sebuah riwayat dari Abū

Hurairah yang berkaitan dengan hadis larangan mengambil keuntungan

dalam jual beli dengan jalan menipu, yaitu bahwasannya Rasulullah saw.

berpapasan dengan seorang penjual makanan, lalu beliau bertanya kepada

orang itu, "bagaimana caramu menjual makanan ini?", dan orang itupun

menerangkan apa yang ditanyakan Nabi itu. Kemudian Allah

mewahyukan kepada beliau: "Masukkan tanganmu dalam makanan itu".

Nabi lalu memasukkan tangan beliau, dan ternyata makanan yang ada di

bagian bawahnya busuk. Maka beliau pun lalu berkata: "Bukanlah

termasuk golongan kami, orang yang menipu kami". Juga riwayat dari Ibn

'Abbas, bahwasannya Rasulullah saw. bertemu dengan seorang penjual

makanan di pasar Madinah yang amat menarik perhatian beliau. Lalu

beliau memasukkan tangannya ke bahan makanan yang ada di bagian

bawah, dan mengeluarkan sesuatu yang tidak sama dengan yang ada di

liv
permukaan. Maka beliau pun memarahi penjual makanan itu, dan

kemudian berseru: Ayyuhā al-nās, tidak dibenarkan menipu dikalangan

kaum Muslimin, dan barangsiapa yang menipu kami, ia tidak termasuk

golongan kami. Jadi inti dari riwayat ini yaitu dilarangnya mengambil

keuntungan dalam jual beli dengan jalan menipu.91

Kondisi kehidupan perniagaan bangsa Arab merupakna fakta yang

telah dikenal dalam sejarah. Mata pencaharian penduduk di kawasan itu

khususnya dengan kondisi wilayah yang kering, padang pasir, penuh

dengan bebatuan dan pegunungan tandus adalah perdagangan. Oleh karena

itu secara khusus mereka memilih dan menempa diri mereka dalam bidang

perdagangan.

Secara umum, kehidupan politik bangsa Arab sangat tidak pasti,

kehidupan kesukuan yang mandiri merupakan cara hidup yang normal.

Tidak adanya kekuatan sentral ini telah mendorong setiap suku untuk

bertanggung jawab menjaga keselamatannya sendiri. Tidak diragukan lagi,

kaum Quraisy merupakan suku Arab yang paling berpengaruh dan

terhormat, suku dari mana Nabi saw. sendiri berasal.

Ketika berkecamuk peperangan antar suku yang menimbulkan rasa

saling permusuhan dan perasaan tidak aman, sepenuhnya mereka tetap

menikmati keamanan dengan kehormatan dan wibawa, baik dalam

maupun luar negeri. Kedudukan mereka sebagai pelayan dan pemelihara

rumah Allah itulah yang memberikan kemudahan-kemudahan ini. Mereka

91
Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Asbāb al-Wurūd, alih bahasa. O. Taufiqullah, Afif
Mohammad (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 166.

lv
dihormati sebagai pemimpin bangsa Arab ke wilayah manapun mereka

pergi berdagang. Stastus inilah yang memungkinkan mereka memperoleh

keuntungan dalam bidang perdagangan.92

Asbāb al-Wurūd hadis di atas dapat dipahami bahwasanya

larangan mengambil keuntungan atau laba yang diperoleh dengan jalan

menipu atau menyamarkan perdagangan dengan menyembunyikan

cacatnya barang dagangan, atau menampakkannya (mengemasnya) dalam

bentuk yang menipu, yang tidak sesuai dengan hakikatnya, dengan tujuan

mengecoh pembeli. Juga mengandung makna bahwasanya Islam tidak

memberikan batasan tertentu terhadap laba atau keuntungan dalam

perdagangan. Hal ini diserahkan kepada hati nurani masing-masing orang

muslim dan tradisi masyarakat sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-

kaidah keadilan dan kebijakan serta larangan memberikan madarat

terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang lain, yang memang menjadi

pedoman bagi semua tindakan dan perilaku seorang muslim dalam semua

hubungan. Keuntungan yang diperbolehkan oleh Islam adalah laba yang

diperoleh secara wajar, tidak merugikan dan mengurangi hak-hak bagi

kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli.

BAB IV

92
Afzalur Rahmān, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Alih Bahasa Dewi
Nurjuliyanti, Isnan, dkk, cet. ke-1 (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995), hlm. 1-3.

lvi
RELEVANSI HADIS TENTANG KEUNTUNGAN JUAL BELI DALAM

KONTEKS KEKINIAN

A. Keuntungan Jual Beli dalam Pandangan Praktisi Ekonom Islam.

Pada dasarnya perniagaan atau perdagangan itu bertujuan untuk

mendapatkan keuntungan atau laba. Barang siapa yang tidak beruntung

perdagangannya, maka hal itu dikarenakan ia tidak melakukan usaha dengan

baik dalam memilih dagangan atau dalam bermuamalah dengan orang lain.

Untung adalah kembalian kepada pengusaha sebagaimana upah dan

gaji merupakan bayaran kepada pekerja. Tanpa keuntungan yang stabil,

perniagaan pada umumnya tidak akan berjalan dengan lancar. Manakala

kerugian adalah berterusan, maka akan melumpuhkan perniagaan sama sekali.

Dalam ekonomi laba berasal dari kelebihan hasil atas biaya. Secara kasar,

dapat dikatakan bahwa keuntungan suatu perdagangan itu dipengaruhi oleh

harga barang, jumlah penjualan barang, dan biaya kepentingan harga barang.

Harga ialah penentuan nilai uang dan harga barang. Hal ini sangat

penting, karena dalam meraih keuntungan kaedah penentuan harga bukan

hanya wajib mencerminkan kecakapan, tetapi juga keadilan yang tidak

mendatangkan kemadaratan kepada masyarakat pengguna.93 Hal ini selaras

dengan firman-Nya:

942
‫وال تنس نصيبك من ال ّدنيا واحسن كما أحسن هللا إليك وال تبغ الفساد فى األرض‬

93
Syeikh Ghazali Syeikh Abad dan Zanbury Abdul kadir, Pengurusan Perniagaan Islam,
cet. ke-1 ( Malaysia: Hisbi Syah Alam, 1991), hlm. 274.
94
Al-Qaṣāṣ (28): 77.

lvii
Artinya : Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi ini.

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, keuntungan adalah laba atau

kelebihan yang didapat dari penjualan dan pembelian barang yang

diperdagangkan.95 Laba (al-ribhu) menurut Yūsuf al-Qaradawi adalah

tambahan harga barang yang diperoleh antara harga pembelian dan penjualan

barang yang diperdagangkan.96

Husein Syahatah dalam bukunya Pokok-pokok Pikiran Akuntansi

Islam memberikan beberapa defenisi keuntungan menurut para fuqaha, di

antaranya: menurut Ibnu Quddamah, laba dari harta dagangan ialah

pertumbuhan pada modal, yaitu pertambahan nilai barang dagang. Dari

pendapat ini bisa dipahami bahwa laba itu ada karena adanya pertambahan

atau kelebihan pada nilai harta yang telah ditetapkan untuk dagang.

Sedangkan menurut Ibnu al-Arabi, bahwa setiap mu'awwadah (barter)

merupakan perdagangan terhadap apapun bentuk barang penggantinya. Si

pelaku barter hanya menginginkan kualitas (sifat) barang atau jumlahnya,

sedangkan laba adalah kelebihan yang diperoleh oleh seseorang atas barang

pengganti. Dengan kata lain, laba ialah hasil dari selisih nilai awal harga

pembelian dengan nilai penjualan. Dalam Muqaddimah Ibnu Khaldūn

dikatakan bahwa perdagangan ialah usaha untuk mewujudkan pertumbuhan

95
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1976), hlm. 1132.
96
Yūsuf al-Qaradawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Alih bahasa As'ad Yasin (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), II: 588.

lviii
atau pertambahan harta dengan membeli barang dengan murah kemudian

menjualnya dengan harga mahal. Apapun jenis barangnya, jumlah

pertambahan itulah yang disebut laba. Adapun usaha untuk mendapatkan laba

itu adalah dengan menyimpan barang dan menunggu perubahan pasar dari

harga yang murah hingga harga mahal sehingga labanya akan lebih besar, atau

juga dapat dilakukan dengan membawa barang tersebut ke daerah lain yang di

sana bisa dijual dengan harga yang lebih mahal dari harga daerah asal, maka

labanya akan lebih besar. Dari beberapa defenisi di atas, Husein Syahatah

menyimpulkan laba ialah salah satu jenis pertumbuhan, yaitu pertambahan

pada modal pokok yang dikhususkan untuk perdagangan. Dengan kata lain,

laba ialah suatu pertambahan pada nilai yang terdapat pada harga beli dan

harga jual. Tujuan si pedagang dalam dagangannya ialah untuk

menyelamatkan modal pokok dan mendapatkan laba. Jadi, orang yang tidak

mendapatkan modal pokoknya tidak bisa dikatakan berlaba atau beruntung.97

Adapun istilah laba dalam produksi itu berarti jumlah pendapatan

dikurangi jumlah ongkos yang terdiri dari upah pekerja, sewa tanah, dan

bunga modal (ongkos-ongkos).98

Dalam perdagangan, keuntungan diperoleh melalui inisiatif, kerja

keras, dan tentu saja merupakan hasil dari suatu proses penciptaan nilai yang

jelas. Dalam meraih keuntungan, pemilik perusahaan tetap terlibat dan

berkepentingan dengan penggunaan modal tersebut seterusnya. Dengan

97
Husein Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, alih bahasa Husnul Fatarib
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001), hlm. 148.
98
Basu Swasta dan Ibn Sukotjo, Pengantar Bisnis Modern, cet ke-10 (Yogyakarta:
Liberty, 2002), hlm. 19.

lix
demikian keuntungan merupakan hasil angka produksi. Dalam mendapatkan

keuntungan, unsur usaha itu tetap terdapat dalam proses produksi dan

pemasaran, pemilik modal memang menentukan penggunaan modalnya secara

ekonomik, pengusaha menyetujui penemuan-penemuan baru untuk menambah

keuntungannya.99

Keuntungan itu tambahannya tidak pasti. Keuntungan dari pedagang

dan industri turun naik dan berhubungan langsung dengan usaha-usaha yang

diperbuat. Laba adalah pembayaran untuk asumsi resiko oleh pengusaha.

Karena asumsi resiko adalah pengorbanan maka ini harus dibayar dalam

bentuk laba. Pengusaha unggul dapat memperoleh keuntungan yang lebih

tinggi berkat kemampuan berorganisasi, kemampuan fisik, dan mental

lainnya.

Menurut Qiffal sebagaimana yang dikutip oleh Afzalur Rahmān,

keuntungan dari penjual merupakan imbalan bagi sesuatu yang sangat

berharga bagi pembeli, artinya kedua belah pihak saling memperoleh

manfaat.100

Menurut Ibn Khaldūn keuntungan yang wajar akan mendorong

tumbuhnya perdagangan, sedangkan keuntungan yang sangat rendah akan

membuat lesu perdagangan karena pedagang kehilangan motivasi. Sebaliknya,

99
M. Abdul Mannān, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Alih Bahasa M. Nastangin
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997), hlm. 133.
100
Afzalur Rahmān, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Alih Bahasa Dewi
Nurjuliyanti, Isnan, dkk, cet. ke-1 (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995), hlm. 324.

lx
bila pedagang mengambil keuntungan sangat tinggi juga akan membuat lesu

perdagangan karena lemahnya permintaan konsumen.101

Terkait dengan permasalahan yang penyusun kaji yaitu tentang

keuntungan jual beli, Husein Syahatah memberikan beberapa kriteria umum

Islami yang dapat memberi pengaruh dalam penentuan batas laba yang

diinginkan oleh si pedagang. Di antara kriteria-kriteria tersebut adalah:

1. Kelayakan dalam penetapan laba.

Islam menganjurkan agar para pedagang tidak berlebihan dalam

mengambil laba. Ali bin Abi Ṭālib, sebagaimana diceritakan oleh Husain

Syahatah, pernah menjajakan susu di pasar Kufah dan beliau berkata:

"Wahai para saudagar! Ambillah laba yang pantas maka kamu akan

selamat (berhasil) dan jangan kamu menolak laba yang kecil karena itu

akan menghalangi kamu dari mendapatkan laba yang banyak".102

Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Husain Syahatah pernah

berkata: "Sesungguhnya laba itu hendaklah kelebihan kecil dari modal

awal karena harta juga banyak, semakin besarlah labanya. Karena jumlah

yang sedikit jika dimasukkan ke dalam jumlah yang banyak, ia akan

menjadi banyak".103

Penyataan Ali dan Ibnu Khaldūn di atas menjelaskan bahwa

batasan laba ideal yang pantas dan wajar dapat dilakukan dengan

merendahklan harga. Keadaan ini sering menimbulkan bertambahnya

101
Syekh Ghazali, Sykh Abad dan Zanbury, Pengurusan Perniagaan Islam, hlm. 259.
102
Husain Syahatah, Pokok-pokok Pikiran Akuntansi Islam, hlm. 159.
103
Ibid.

lxi
jumlah barang dan meningkatkan peranan uang, yang pada gilirannya akan

membawa pada pertambahan laba.

2. Keseimbangan antara tingkat kesulitan dan laba.

Islam menghendaki adanya keseimbangan antara standar laba dan

tingkat kesulitan perputaran serta perjalanan modal itu. Semakin besar

tingkat kesulitan dan resikonya, maka semakin besar pula laba yang

diharapkan.

Para pakar konsep akuntansi Islam mendasarkan pandangan

mereka tentang laba pada pendapat ulama-ulama fiqh, seperti Syauqi

Isma'il Syahatah yang berpendapat: "Semua laba yang dihasilkan adalah

nilai terhadap proses interaksi dan resiko. Perbedaan tingkat laba di

berbagai macam bentuk usaha ini bergantung pada perbedaan elemen-

elemen yang mempengaruhi interaksi sebagaimana juga bergantung pada

perbedaan unsur-unsur yang mempengaruhi tingkat resiko setiap

perusahaan".

Dari pendapat ulama-ulama fiqh dan para pakar akuntansi Islam,

jelas bahwa ada hubungan sebab akibat (kausal) antara tingkat bahaya

serta resiko dan standar laba yang diinginkan oleh pedagang. Karenanya,

semakin jauh perjalanan, semakin tinggi resikonya, maka semakin tinggi

pula tuntutan pedagang terhadap standar labanya. Begitu juga sebaliknya.

Akan tetapi, semua ini dalam kaitannya dengan pasar Islami yang

bercirikan kebebasan bermuamalah hingga berfungsinya unsur penawaran

dan unsur permintaan. Pasar Islami juga bercirikan bebasnya dari praktek-

lxii
praktek monopoli, kecurangan, penipuan, perjudian, pemalsuan serta

segala jenis jual beli yang dilarang oleh syari'at. Jadi di sini, iman, akhlak,

dan tingkah laku yang baik mempunyai peran yang penting dalam

kesucian pasar.

3. Masa perputaran modal.

Peranan modal juga berpengaruh pada standarisasi laba yang

diinginkan pedagang, yaitu dengan semakin panjangnya masa

perputarannya dan bertambahnya tingkat resiko, maka semakin tinggi pula

standar laba yang diinginkan seorang pedagang atau pengusaha. Begitu

juga dengan semakin berkurangnya tingkat bahaya, pedagang dan

pengusaha akan menurunkan standarisasi labanya.

4. Cara menutupi harga penjualan.

Ada dua macam pembayaran harga, yaitu pembayaran tunai dan

pembayaran yang ditunda atau sistem pembayaran kredit. Sudah biasa di

kalangan pedagang bahwa harga pembelian secara kredit lebih mahal dari

pembayaran secara tunai, untuk itu standar laba menjadi lebih tinggi.

5. Unsur-unsur pendukung.

Di samping unsur-unsur yang dapat memberikan standarisasi laba,

unsur-unsur lain seperti keadaan ekonomi yang berbeda dari waktu ke

waktu juga tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum

Islam.104

Adapun jenis-jenis keuntungan yang diharamkan, menurut Yūsuf al-

Qaradawi di antaranya:
104
Ibid., hlm. 159-165.

lxiii
1. Keuntungan memperdagangkan barang haram.

Di antara keuntungan yang haram adalah yang diperoleh dengan

jalan berdagang barang-barang yang diharamkan oleh syara', seperti

menjual benda-benda memabukkan, ganja, bangkai, berhala, arca-arca

yang diharamkan, atau menjual segala sesuatu yang membahayakan

manusia, seperti makanan yang rusak, minuman yang kotor, benda-benda

yang membahayakan, obat-obat terlarang dan sebagainya.

2. Keuntungan dari jalan menipu dan menyamarkan.

Demikian pula hukum keuntungan atau laba yang diperoleh dengan

jalan menipu atau menyamarkan perdagangan dengan menyembunyikan

cacatnya barang dagangan, atau menampakkannya (mengemasnya) dalam

bentuk yang menipu, yang tidak sesuai dengan hakikatnya, dengan tujuan

mengecoh pembeli. Termasuk dalam hal ini iklan promosi yang berlebih-

lebihan, yang menyesatkan pembeli dari kenyataan yang sebenarnya. Nabi

Saw. melepaskan diri dari orang yang menipu, sebagaimana disebutkan

dalam hadis:

‫ هللا صلّى هللا عليه وسلّم مرّعلى صب ّرة من طعام فأدخل يده فيها فنالت‬X‫أن رسول‬
ّ

:‫أصابعه بلال فقال ما هذا يا صاحب الطّعام؟ قال أصابته السّماء يا رسول هللا قال‬
105 13
‫ الطّعام كى يراه النّاس؟ من غشّ فليس منّى‬X‫أفال جعلته فوق‬

Artinya : Bahwa Nabi Saw. berjalan-jalan di suatu pasar kemudian


memasukkan jarinya pada sebuah makanan dan mendapatinya
dalam keadaan basah, beliau bertanya kepada penjualnya,
kemudian dia menjawab kalau makanannya terkena hujan.
105
Al-San'āni, Subūl al-Salām, "Kitab al-Buyū'" (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th),
III: 52. Hadis dari Yahya ibn Ayyūb, Qutaibah, dan Ibn Hujr dari Ismail ibn Ja’far dari Ibn Ayyūb
dari Ismail dari al-Alā’ dari bapaknya dari Abi Hurairah.

lxiv
Nabi berkata: "kenapa tidak kamu letakkan di atas supaya bisa
dilihat orang lain, barang siapa berbohong maka bukan
termasuk golonganku".

106 14
‫المسلم أخو المسلم ال يح ّل لمسلم باع من أخيه بيعا فيه عيب إالّ بيّنه له‬

Artinya : Orang muslim itu adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak
halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya
sesuatu yang ada cacatnya melainkan harus dijelaskannya
kepadanya.

3. Manipulasi dengan merahasiakan harga saat penjualan.

Termasuk dalam kategori seperti tersebut pada poin sebelumnya

adalah merahasiakan harga ketika penjualan berlangsung. Berdasarkan hal

ini, maka wajib bagi seseorang, sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-

Gazāli, untuk berlaku jujur dan terus terang mengenai harga pasaran pada

waktu itu dan jangan merahasiakannya sedikitpun. Rasulullah Saw. telah

melarang menghadang kafilah-kafilah dan melarang berlomba menaikkan

harga.

4. Keuntungan dengan cara tipu daya yang buruk.

Sudah seyogiyanya seorang pedagang tidak melakukan daya upaya

yang tidak biasa dilakukan orang. Pada dasarnya melakukan daya upaya

itu diperkenankan, sebab tujuan jual beli adalah mendapatkan keuntungan,

dan keuntungan itu tidak mungkin didapat kecuali dengan melakukan

suatu upaya. Tetapi, daya upaya untuk memperoleh keuntungan ini jangan

sampai berlebihan sehingga dapat merugikan orang lain.

106
Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, "Kitab al-Tijārāh " (Semarang: Toha Putra, t. th), II: 755.
Hadis dari Muhammad bin Basyār dari Wahāb bin Jarir dari Bapaknya dari Yahya ibn Ayyūb
dari Yazid ibn Abi Habib dari Abdirrahman ibn Syumāsah dari Uqbah ibn ‘Amr.

lxv
5. Keuntungan dengan cara menimbun.

Di antara keuntungan yang tidak halal bagi pedagang muslim ialah

yang diperoleh dengan jalan menimbun sebagaimana telah dilarang

syara'.107

Selain keuntungan-keuntungan tersebut di atas, lebih lanjut

Adiwarman A. Karim menjelaskan dalam bukunya Ekonomi Mikro Islami

mengenai praktek bisnis yang juga dilarang oleh Islam, yaitu:

1. Talaqqi rukban yaitu pedagang membeli barang dagangan dari si penjual

sebelum mereka masuk ke kota. Praktek ini dilarang karena pedagang

yang menyongsong di pinggir kota mendapat keuntungan dari

ketidaktahuan penjual dari kampung akan harga yang berlaku di kota.

Mencegah masuknya pedagang desa ke kota ini akan menimbulkan pasar

yang tidak kompetitif.

2. Mengurangi timbangan, karena barang dijual dengan harga yang sama

untuk jumlah yang lebih sedikit.

3. Menukar kurma kering dengan kurma basah karena takaran kurma basah

ketika kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar.

4. Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas

sedang karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasarnya.

5. Transaksi najasy yaitu si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya

atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik.

107
Yūsuf al-Qaraḍawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, hlm. 603-615.

lxvi
6. Ikhtikar yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan

menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.

7. Gaban fāhisy yaitu menjual di atas harga pasar.108

Adapun fungsi dari keuntungan itu di antaranya:

1. Dapat mengembangkan usaha.

2. Dapat menggunakan kemampuan yang lebih besar.

3. Dapat memberikan tingkat kepuasan yang lebih besar pada

konsumen.

4. Dapat memperkuat kondisi perekonomian secara

keseluruhan.109

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis yang

penyusun bahas jika dipahami secara tekstual mengandung makna bahwa

Islam tidak membatasi pengambilan keuntungan dalam jual beli. Sedangkan

secara kontekstual mengandung makna bahwa pada dasarnya kegiatan-

kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat pengabdian bukan semata-mata untuk

merealisir keuntungan materiil saja. Kebebasan ekonomi Islam bukanlah

merupakan kebebasan yang mutlaq atau tanpa batas, akan tetapi terikat oleh

norma-norma yang digariskan dalam Islam, yaitu ikatan keadilan demi

terwujudnya kemaslahatan umum.

108
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, cet. ke-1 (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002),
hlm. 132-133.
109
Basu Swasta, Azas-azas Manajemen (Yogyakarta: Liberty, 1984), hlm. 21.

lxvii
B. Keuntungan Jual Beli dalam Konteks Kekinian

Syari'at Islam mendorong manusia untuk berniaga dan

menganjurkannya sebagai jalan mengumpulkan rizki, karena Islam mengakui

produktifitas perdagangan atau jual beli. Dalam praktek jual beli, Islam

menganut mekanisme kebebasan pasar yang mengatur bahwa penentuan harga

berdasarkan permintaan dan penawaran. Hal ini dimaksudkan untuk

melindungi pihak-pihak yang terkait dalam jual beli, agar tidak ada yang

dizalimi, seperti pemaksaan untuk membeli dengan harga yang tidak

diinginkan.

Islam sangat menekankan terciptanya pasar bebas dan kompetitif

dalam transaksi jual beli. Tetapi semua bentuk kegiatan jual beli itu harus

berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan mencegah kezaliman, sehingga

kegiatan perdagangan yang mendatangkan kezaliman dilarang oleh Islam,

seperti monopoli, menimbun barang-barang pokok, eksploitasi, dan

perdagangan lainnya.110

Perdagangan merupakan jalan yang wajar dalam mencari nafkah untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Ia adalah jalan penuh liku yang menghendaki

keuletan dan kepandaian untuk memperoleh keuntungan bersih dari pokok

pembelian.

Seorang penjual berhak atas keuntungan dari usahanya, sedangkan

pembeli berkewajiban untuk memberikan kompensasi bagi jasa yang telah

diterima dari penjual. Dalam keuntungan yang wajar, tidak saja dimaksudkan
110
Asmuni Abdurrahman, Qaidah-qaidah Fiqh, cet. ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm. 121.

lxviii
untuk konsumtifnya saja, tetapi juga agar ia mampu mengembangkan

usahanya (produktifitas).111

Setiap orang memiliki kebebasan untuk berusaha mendapat harta dan

mengembangkannya. Menurut hukum dagang Islam, berdagang atau berniaga

adalah suatu usaha yang bermanfaat yang menghasilkan laba, yaitu sisa lebih

setelah adanya kompensasi secara wajar terhadap faktor-faktor produksi. Jadi,

laba menurut ajaran agama Islam adalah keuntungan yang wajar dalam

berdagang dan bukan riba.

Untuk memperoleh keuntungan yang didambakan, ada banyak cara

yang dilakukan penjual untuk mempengaruhi konsumen agar membeli barang

dagangannya, di antaranya dengan memberikan diskon dari harga jual, hadiah,

undian maupun promosi lainnya yang intinya bertujuan untuk menarik minat

konsumen agar membeli barang dagangannya.

Pemberian-pemberian tersebut adalah wajar, sebab meskipun

keuntungan dari penjualan berkurang, namun dari sisi promosi akan sangat

bermanfaat bagi produsen dan penjual, karena produknya menjadi semakin

terkenal dan semakin banyak dicari konsumen.

Dari praktek pemberian berbagai fasilitas yang memanjakan konsumen

tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa di dalamnya juga terjadi persaingan

usaha di antara sesama produsen maupun penjual untuk memperebutkan

konsumen dan mengakibatkan rusaknya harga pasar.

111
Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Jakarta:
Haji Masagung, 1988), hlm. 113.

lxix
Cara yang mungkin dilakukan produsen atau penjual sebagaimana

dicontohkan di atas biasanya dilakukan dengan menjual produk jauh lebih

murah dari harga pasar dan bahkan disertai dengan berbagai hadiah yang dapat

diperoleh konsumen apabila membeli produk tersebut. Untuk beberapa saat

penjual mungkin tidak memperoleh keuntungan dari barang yang dijualnya

atau bahkan menderita kerugian, bahkan tidak jarang ada penjual yang

memborong semua produk dengan maksud adanya kekosongan barang

tersebut di pasaran.

Penjual tersebut jelas harus memiliki modal yang sangat besar apabila

ingin menguasai pasar dikarenakan beberapa hal, yaitu:

1. Untuk menarik konsumen, ia harus menjual barang

tersebut denga harga yang sangat murah bahkan disertai dengan berbagai

pemberian hadiah dan bonus.

2. Harus pula bertindak sebagai penimbun agar barang

tersebut langka bahkan kosong di pasaran.

Dengan usaha tersebut, dalam jangka pendek penjual akan mengalami

kerugian bahkan tidak jarang jumlahnya besar, namun untuk jangka panjang

penjual dapat memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, karena

produknya semakin dikenal dan semakin dicari konsumen dan ia sudah tidak

mempunyai saingan lagi, yang akibatnya konsumen akan sangat bergantung

kepadanya. Setelah saingannya bangkrut dan konsumen sudah semakin

mengenal produk atau penjualnya, maka lambat laun si penjual tersebut mulai

lxx
menguasai pasar bahkan mungkin memonopoli penjual barang tersebut di

pasaran.

Yūsuf al-Qaraḍawi, dalam bukunya Fatwa-fatwa Kontemporer

menyatakan bahwa pada hakikatnya, orang yang mengikuti dan mengkaji

Sunnah Rasul dan Sunnah Rasyidiyyah (al-Khulafa al-Rasyidūn) dan

sebelumnya telah meneliti al-Qur'an niscaya tidak akan mendapatkan satu pun

nash yang mewajibkan atau mensunahkan batas keuntungan tertentu, misalnya

sepertiga, seperempat, seperlima, atau sepersepuluh (dari pokok barang)

sebagai ikatan dan ketentuan yang tidak boleh dilampaui.112

Barangkali rahasianya, bahwa pembatasan laba dengan batasan

tertentu dalam perdagangan terhadap semua jenis barang, di semua

lingkungan, pada semua waktu, dalam semua kondisi, dan bagi semua

golongan manusia, merupakan hal yang selamanya tidak akan dapat

mewujudkan keadilan.

Ada perbedaan antara barang yang menurut tabiatnya berputar dengan

cepat seperti makanan dan sejenisnya, yang mengalami perputaran beberapa

kali dalam setahun, dengan harta atau barang-barang yang sedikit

perputarannya, yang hanya setahun sekali atau bahkan kadang-kadang lebih

dari setahun. Maka untuk jenis komoditas yang pertama ini hendaklah

mengambil keuntungan yang lebih kecil dari yang kedua.

Begitu juga antara orang yang berdagang dalam jumlah sedikit dengan

orang yang berdagang dalam jumlah yang banyak dan antara orang yang

memiliki modal kecil dengan orang yang memiliki modal besar, keuntungan
112
Yūsuf al-Qaradawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, hlm. 594.

lxxi
yang mereka tentukan berbeda. Karena laba sedikit dari modal yang besar

sudah cukup banyak jumlahnya.

Demikian juga berbeda antara orang yang menjual dengan tunai dan

orang yang menjual secara bertempo, yang telah dikenal bahwa dalam

penjualan tunai pengambilan keuntungan lebih kecil, sedangkan pada

penjualan bertempo labanya lebih tinggi. Hal ini disebabkan adanya

kemungkinan kesulitan dari orang-orang yang menunda pembayaran.

Juga ada perbedaan antara barang-barang kebutuhan pokok dan yang

menjadi kebutuhan orang banyak, dengan barang-barang pelengkap yang

biasanya hanya dibeli oleh orang kaya. Untuk barang yang pertama sebaiknya

laba dipungut sedikit saja demi kemanusiaan. Sedangkan untuk macam kedua

bisa dipungut laba yang lebih tinggi karena pembelinya tidak terlalu

membutuhkan.

Selain itu, sebaiknya dibedakan pula antara pedagang yang dapat

memperdagangkan dengan mudah dan orang yang harus susah payah

mendapatkan barang dagangannya dari sumbernya. Demikian pula antara

orang yang dapat menjualnya dengan mudah dengan orang yang harus

melakukan berbagai upaya dan mengeluarkan tenaga untuk menjualnya.

Ada perbedaan pula antara pedagang yang dapat membeli barang

dagangan dengan harga murah karena ia dapat membelinya langsung dari

produsen tanpa perantara, dengan pedagang yang membelinya dengan harga

yang lebih tinggi setelah barang-barang itu berpindah dari tangan ke tangan.

lxxii
Karena pedagang yang pertama itu mendapatkan keuntungan yang lebih besar

daripada yang kedua. 113

Beberapa uraian di atas, dimaksudkan bahwa di dalam al-Qur'an dan

as-Sunnah, tidak terdapat nas yang memberikan batasan tertentu terhadap

laba atau keuntungan dalam perdagangan. Yang jelas, hal ini diserahkan

kepada hati nurani masing-masing orang muslim dan tradisi masyarakat

sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan kebijakan serta

larangan memberikan madarat terhadap diri sendiri ataupun terhadap orang

lain, yang memang menjadi pedoman bagi semua tindakan dan perilaku

seorang muslim dalam semua hubungan.

Oleh karena itu, menurut konsep Islam, nilai-nilai keimanan, akhlak,

dan tingkah laku seorang pedagang memegang peranan utama dalam

mempengaruhi kadar laba dalam transaksi atau muamalah. Islam tidak

memisahkan antara ekonomi dan akhlak. Berbeda dengan falsafah kapitalisme

yang menjadikan "keuntungan materi" sebagai tujuan utama dan pemberi

motivasi terbesar untuk melakukan kegiatan perekonomian yang tidak banyak

terikat dengan ikatan-ikatan seperti Islam, sehingga mereka tidak melarang

mencari keuntungan dengan jalan riba atau menimbun barang-barang yang

sangat dibutuhkan masyarakat, atau menjual barang-barang memabukkan dan

lain-lainnya yang dapat menimbulkan madarat kepada orang banyak dan

mendatangkan keuntungan bagi pribadi-pribadi tertentu.

113
Ibid., hlm. 594.

lxxiii
Agama Islam bukan berarti melarang umatnya untuk mencari

keuntungan dan laba. Keuntungan yang diperbolehkan oleh Islam adalah laba

yang diperoleh secara wajar, tidak merugikan dan mengurangi hak-hak bagi

kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli. Ekonomi Islam tidak

hanya memfokuskan pada keuntungan materi atau duniawi semata, tetapi juga

keuntungan ukhrawi. Allah menegaskan dalam firman-Nya:

‫من كان يريد حرث األخرة نزدله فى حرثه ومن كان يريد حرث ال ّدنيا نؤته منهاوماله‬
114
‫فى األخرة من نصيب‬

Artinya : Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akherat akan Kami


tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang
menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bagianpun di akherat.

Berdasarkan ayat di atas, maka sebagai masyarakat muslim sudah

seharusnya dalam melakukan jual beli tidak hanya mengejar keuntungan

duniawi semata, tetapi juga keuntungan ukhrawi, yaitu bertindak secara jujur

dan amanah, bukan sebaliknya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapatlah penyusun ambil beberapa kesimpulan,

yaitu:

114
Al-Syurā (42): 20.

lxxiv
1. Dengan menggunakan metode Ma'āni al-Hadisׂ,

hadis tentang keuntungan jual beli tidak hanya bisa dipahami secara

tekstual tetapi juga dapat dipahami secara kontekstual. Faktor historis

pada saat disabdakan hadis ini, sangat membantu dalam memahami

hadis secara benar. Para ulama berbeda pendapat hadis keuntungan

jual beli. Dalam memahami hadis ini mereka ada yang memahami

secara tekstual hadis, ada juga yang memahaminya secara kontekstual.

Secara tekstual hadis tersebut mengandung makna bahwa Islam tidak

membatasi pengambilan keuntungan dalam jual beli, sedangkan secara

kontekstual mengandung makna bahwa pada dasarnya kegiatan-

kegiatan ekonomi dalam Islam bersifat pengabdian, dan tidak semata-

mata untuk melealisir keuntungan materiil saja. Kebebasan ekonomi

Islam bukanlah merupakan kebebasan yang mutlaq atau tanpa batas,

akan tetapi terikat oleh norma-norma yang digariskan dalam Islam,

yaitu ikatan keadilan demi terwujudnya kemaslahatan umum.

2. Islam tidak memberikan batasan tertentu terhadap

laba atau keuntungan dalam perdagangan. Yang jelas, hal ini

diserahkan kepada masing-masing pedagang dan tradisi masyarakat

sekitar, dengan tetap memelihara kaidah-kaidah keadilan dan

kebijakan serta larangan memberikan madarat terhadap diri sendiri

ataupun terhadap orang lain. Pembatasan keuntungan dengan batasan

tertentu dalam perdagangan terhadap semua jenis barang, di semua

lingkungan, pada semua waktu, dalam semua kondisi, dan bagi semua

lxxv
golongan manusia yang berbeda, merupakan hal yang selamanya tidak

akan dapat mewujudkan keadilan. Dengan demikian jelaslah bahwa

para pedagang diperbolehkan mengambil keuntungan dari barang

dagangannya sesuai dengan yang diinginkannya selama tidak dengan

jalan menipu, menimbun, atau dengan jalan haram lainnya yang tidak

sesuai dengan syari'at Islam.

B. Saran-saran

Harapan penulis, kajian ini tidak cukup hanya sampai di sini, tetapi

mengharapkan pengembangan lebih lanjut dari kajian ini, dan dalam

sebuah pasar diharapkan adanya persaingan yang sehat. Namun persaingan

sehat disini tidak berarti persaingan sempurna, tetapi suatu persaingan

yang bebas dari penimbunan, penyelundupan, dan lain sebagainya

sehingga akan terwujudnya suatu jalinan perdagangan yang sesuai dengan

syari'at Islam. Maka sebagai masyarakat muslim sudah seharusnya dalam

melakukan jual beli tidak hanya mengejar keuntungan duniawi semata,

tetapi juga keuntungan ukhrawi, yaitu bertindak secara jujur dan amanah,

bukan sebaliknya.

C. Penutup

Alhamdulillah, rasa syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas rahmat dan

Inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segala

kemampuan yang ada. Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan

lxxvi
kekurangan yang masih diperlukan saran dan kritik dari berbagai pihak

terhadap skripsi ini.

lxxvii

Anda mungkin juga menyukai