Anda di halaman 1dari 89

HADIS-HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK

PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SALAT


(Kajian Ma‘a>ni> al-H}adi>s|)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
untuk Memenuhi sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Theology Islam

Oleh :
UMMU HUMAIRO’ QURBANY
NIM. 00530179

JURUSAN TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
ABSTRAK

Ditegakkannya salat sebagai syarat larangan untuk menentang seorang


pemimpin yang paling burukpun, tentu menjadi keganjalan dan pertanyaan:
mengapa hanya karena pemimpin terburuk itu menegakkan salat, ia tidak boleh
ditentang oleh rakyatnya? Namun itulah yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW.
dalam sabdanya sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat tentang sikap
terhadap seburuk-buruk pemimpin tersebut. Padahal seburuk-buruk pemimpin
yang dicirikan dalam hadis itu sebagai pemimpin yang dibenci dan dilaknat oleh
rakyatnya serta begitu pula sebaliknya dengan sikapnya terhadap rakyat yang
dipimpinnya, diragukan kemampuannya –jika dilihat dari kondisinya- dalam
menunaikan amanatnya menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya.
Hadis ini tentunya tidak bisa ditelan mentah-mentah (tekstual), tetapi harus
diinterpretasi secara seksama untuk mengetahui, mengapa Nabi mensyaratkan
adanya penegakan salat untuk larangan menentang kepada seburuk-buruk
pemimpin, sehingga diperoleh suatu pemahaman yang tepat dan akhirnya
menghasilkan pengamalan yang tepat pula.
Proses pemahaman hadis tersebut diawali dengan penelusuran hadis-hadis
yang setema melalui metode penelusuran tema hadis atau lafaz hadis, yaitu kata
awal hadis melalui kitab-kitab yang membantu penelusuran hadis, yaitu Mifta>h
Kunu>z al-Sunnah, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi>
dibantu dengan CD Program Mausu>‘ah al-H}adi>>s| al-Syari>f, yang
menghasilkan bahwa hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan
salat terdapat dalam kitab S}ah}i>h} Muslim, Musnad Ah}mad bin H}anbal dan
Sunan al-Da>rimi>.
Sebelum metode ma‘a>ni> al-H}adi>>s| diterapkan, hadis tersebut harus
diteliti keotentikannya. Analisis keotentikan hadis dari segi sanad dan matan,
menghasilkan kesimpulan bahwa hadis ini sahih. Penelitian selanjutnya adalah
analisis matan meliputi kajian linguistik berupa kajian kata-kata kunci dalam
matan, dan kajian historis kepemimpinan Nabi supaya dapat digeneralisasikan
kandungan hadisnya. Analisis generalisasi menghasilkan makna universal bahwa
ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak
menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam
masyarakat.
Makna universal dari hadis tersebut kemudian dikontekstualisasikan
kepada realitas kekinian, yaitu pada realitas politik Islam dan Indonesia kekinian.
Upaya kontekstualisasi ini menunjukkan bahwa kemunduran dan kekacauan yang
terjadi di negara Islam termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam adalah sebagai bukti ketidakseriusan pemerintah dan para pejabat
negara dalam menjalankan amanat rakyat yang merupakan kewajiban mereka.
Keadilan dalam masyarakat belum direalisasikan dengan baik. Jika hukum dan
keadilan tegakkan maka tentunya akan tercipta kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang sejahtera, adil dan makmur, tidak ada pertentangan
dari rakyat.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

NOTA DINAS PEMBIMBING............................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................iii

HALAMAN MOTTO...........................................................................................iv

HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................ v

PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................................vi

ABSTRAK............................................................................................................xi

KATA PENGANTAR...........................................................................................xii

DAFTAR ISI........................................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1

Rumusan Masalah....................................................................................... 9

Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................................10

Telaah Pustaka.............................................................................................10

Metode Penelitian......................................................................................16

Sistematika Pembahasan.............................................................................19

BAB II KONSEP KEPEMIMPINAN DAN SALAT 21


A. Konsep Kepemimpinan.........................................................................21

B. Konsep Salat..........................................................................................31

BAB III INTERPRETASI HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK

PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SALAT...............................40


A. Redaksi Hadis-hadis tentang Seburuk-buruk Pemimpin Selama

Menegakkan Salat.................................................................................40

B. Kajian Otentisitas Hadis.....................................................................46

1. Analisis Sanad.................................................................................57

2. Analisis Matan.................................................................................48

C. Pemaknaan Hadis ...............................................................................52

1. Kajian Konfirmatif..........................................................................52

2. Kajian Tematik Komprehensif........................................................54

3. Kajian Linguistik.............................................................................57

4. Kajian Realitas Historis...................................................................61

5. Generalisasi Makna Hadis...............................................................66

BAB IV KONTEKSTUALISASI HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK

PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SALAT TERHADAP

REALITAS KEKINIAN .....................................................................68

A. Kepemimpinan dalam Politik Islam......................................................68

B. Fenomena Kepemimpinan dalam Dunia Politik Indonesia Kekinian.. .72

BAB V PENUTUP.............................................................................................

A. Kesimpulan............................................................................................81

B. Saran-saran............................................................................................82

C. Kata Penutup.........................................................................................82

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................83

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk individu dan sosial, selalu terdorong untuk

hidup bermasyarakat atau berkelompok,1 dengan mengaktualisasikan dirinya

untuk menemukan jati diri atau identitas masing-masing. Dalam proses ini, setiap

orang membutuhkan bantuan dan partisipasi orang lain. Hal ini bukan untuk

menjadi sama seperti orang lain, tetapi justru untuk menjadi pribadi yang berbeda

dari yang lain.

Setiap orang apabila dibandingkan antara satu dengan yang lain, akan

terlihat kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap orang memiliki

keinginan, kehendak, kemauan, pikiran, pendapat, kebutuhan, sifat dan tingkah

laku yang berbeda-beda. Dalam kondisi bervariasi yang bersifat kodrati ini,

manusia dalam mewujudkan kehidupan bersama perlu saling mengenal dan saling

menghargai, dan akhirnya perlu saling menolong.2

Namun, di antara perbedaan tersebut terdapat kesamaan yang menjadi

motivasi untuk membentuk suatu kelompok atau organisasi. Organisasi ini

dibentuk untuk meningkatkan efektifitas dalam memanfaatkan kesamaannya itu

sehingga mencapai tujuan bersama.3 Demi efisiensi kerja dalam upaya mencapai

1
Q.S. al-H}ujura>t (49): 13.
2
Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1993), hlm. 8.
3
Ibid.
tujuan dan mempertahankan hidup bersama, diperlukan bentuk kerja kooperatif

yang perlu diatur dan dipimpin.4 Oleh karena itu, diperlukan seorang pemimpin

dalam kelompok tersebut.

Al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia dibebani tugas untuk

memakmurkan bumi.5 Tugas yang disandangnya ini menempatkan setiap manusia

sebagai pemimpin (khalifah).6 Setiap orang harus memimpin –dimulai dari-

dirinya sendiri, dengan berbuat amal kebajikan bagi dirinya sendiri, orang lain

(masyarakat dan lingkungan sekitarnya, baik yang bernyawa maupun tidak

bernyawa) agar mencapai tujuan hidupnya berupa keselamatan, kebahagiaan dan

kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak. Setiap manusia harus mengendalikan

dirinya baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun sebagai makhluk Allah

yang memikul kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban atas segala tingkah

laku dan perbuatannya selama hidup di muka bumi.

Dalam masalah kepemimpinan, Nabi Muhammad SAW. menyatakan :

Ketahuilah, bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan bertanggung


jawab terhadap pimpinannya itu. Maka imam adalah seorang pemimpin
yang bertanggung jawab terhadap pimpinannya (rakyatnya). Seorang
lelaki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab
terhadap mereka. Seorang istri (wanita) adalah pemimpin di rumah
suaminya dan bertanggung jawab terhadapnya. sedangkan seorang hamba
(budak) adalah pemimpin dalam menjaga harta tuannya dan bertanggung
jawab terhadapnya. Ketahuilah, kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu
sekalian bertanggung jawab terhadap pimpinannya.7

4
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu ?
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 2.
5
Q.S. al-Baqarah (2): 30.
6
Dalam bahasa Arab, ada beberapa istilah yang menunjuk kepada arti pemimpin, di
antaranya Khali>fah, Ima>m dan Ami>r.
7
Muh}ammad bin Isma>‘i>l Abu> ‘Abdulla>h al-Bukha>ri> al-Ja‘fa>, S}ah}i>h} al-
Bukha>ri>, jilid V (Beiru>t: Da>r Ibnu Kas|i>r, 1987), hlm. 1988.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam posisi dan status apapun

juga, manusia sebagai pribadi maupun sebagai umat, tanggung jawab sebagai

pemimpin tidak dapat dielakkan. Apabila tanggung jawab ini ditunaikan, maka

akan menjadikannya sebagai orang-orang yang beruntung. Namun sebaliknya,

apabila diabaikan, maka ia termasuk orang-orang yang merugi.8

Tanggung jawab ini akan semakin berat, apabila seseorang menjadi

pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanggung

jawab ini menjadi berat, karena hakikat kepemimpinannya memiliki dua dimensi.

Pertama adalah pertanggungjawaban yang harus disampaikan pada orang-orang

yang dipimpinnya. Kedua adalah pertanggungjawabannya kepada Allah tentang

kesungguhan dan kemampuannya dalam mengikuti serta menjalankan petunjuk

Allah dan keteladanan Nabi Muhammad dalam memimpin. Dua dimensi ini akan

berpadu menjadi satu kesatuan, apabila tanggung jawab yang kedua tersebut telah

ditunaikan secara baik semata-mata karena Allah SWT., maka secara pasti

dimensi pertama juga terpenuhi.9 Dengan demikian, jelas bahwa kepemimpinan

berkenaan dengan hubungan vertikal dengan Tuhan (h}abl min Alla>h) dan

hubungan secara horizontal dengan sesamanya (h}abl min al-na>s).

Sosok pemimpin yang bisa memenuhi dua dimensi inilah yang diharapkan

ada pada setiap pemimpin pada wilayah terkecil hingga terbesar, yaitu sebuah

negara. Namun kenyataan yang terjadi, tidak semua pemimpin mampu

memenuhinya. Ada pemimpin yang baik, pemimpin yang buruk bahkan ada pula

8
Hadari Nawawi, op.cit., hlm. 10.
9
Ibid.
pemimpin yang abnormal.10

Kepemimpinan dalam dunia Islam dikenal dalam beberapa istilah,

khila>fah, ima>mah, ima>rah, wila>yah, sulta>n, mulk dan ri’a>sah. Di antara

para ulama, ada yang menyamakan istilah-istilah ini dan ada pula yang

membedakannya.11 Dalam menyebut pemimpin dalam pemerintahan (kepala

negara), istilah khalifah, imam dan amir yang sering digunakan.12

Masalah kepemimpinan dalam Islam merupakan masalah penting dan

menarik. Perselisihan terbesar di kalangan umat Islam yang terjadi pasca wafatnya

Nabi SAW. adalah dilatarbelakangi oleh masalah ini. Perselisihan masalah

kepemimpinan ini telah mengakibatkan pertumpahan darah dalam Islam yang

belum pernah terjadi sebelumnya. Masing-masing pihak yang berseteru saat itu

mengaku bahwasanya orang pilihan dari golongannyalah yang berhak menduduki

kursi kepemimpinan umat Islam.

Seorang pemimpin adalah tampuk kekuasaan. Pemimpinlah yang

memerintah dan memutuskan segala perkara yang berada dalam wilayahnya. Oleh

karena itu, tidaklah mengherankan apabila di antara mereka baik secara individu

maupun golongan saling berebut tahta tersebut. Namun tidak semua dari mereka

mempunyai niat baik dalam hal ini. Mereka yang berniat busuk hanya ingin

memerintah sesuka hati demi memuaskan hawa nafsu mereka yang tidak pernah

habis. Akibatnya, rakyat yang dipimpinlah menjadi “korban tak berdosa”.

10
Kartini Kartono, op.cit., hlm. 163.
11
Al-Mawardi>, Al-Ah{ka>m Al-Sult}a>niyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, [t.t]), hlm. 3; M.
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 346.
12
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1971), hlm. 32.
Salah satu hadis sahih riwayat Muslim yang membicarakan tentang

kepemimpinan dalam pemerintahan (al-Ima>rah) dan menyebut pemimpin

dengan istilah ima>m (A’immah), menyatakan bahwa Nabi Muhammad

menyebutkan ciri-ciri seorang pemimpin yang baik dan yang buruk. Redaksi hadis

ini adalah sebagai berikut. 13

‫َح َّدثَنَا دَا ُو ُد بْنُ ُر َش ْي ٍد َح َّدثَنَا ْال َولِي ُد يَ ْعنِي ا ْبنَ ُم ْسلِ ٍم َح َّدثَنَا َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن بْنُ يَ ِزي َد ب ِْن َجابِ ٍر‬
‫ف‬ِ ْ‫ظةَ ا ْبنَ َع ِّم عَو‬ َ ‫ق بْنُ َحيَّانَ أَنَّهُ َس ِم َع ُم ْسلِ َم ْبنَ قَ َر‬ ُ ‫ َموْ لَى بَنِي فَزَا َرةَ َوهُ َو ُر َز ْي‬ƒ‫أَ ْخبَ َرنِي‬
ِ ‫ول هَّللا‬ َ ƒ‫ْت َر ُس‬ ُ ‫ ِمع‬ƒ‫و ُل َس‬ƒƒُ‫ي يَق‬ َّ ‫ َج ِع‬ƒ‫ك اأْل َ ْش‬ƒ
ٍ ƒِ‫وْ فَ ْبنَ َمال‬ƒƒ‫ْت َع‬ ُ ‫ك اأْل َ ْش َج ِع ِّي يَقُو ُل َس ِمع‬ ٍ ِ‫ْب ِن َمال‬
َ ُ‫م َوت‬ƒْ ‫ا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُ ِحبُّونَهُ ْم َوي ُِحبُّونَ ُك‬ƒƒَ‫و ُل ِخي‬ƒƒُ‫م يَق‬ƒَ َّ‫ل‬ƒ ‫ ِه َو َس‬ƒ ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ƒ ‫ص‬
‫لُّونَ َعلَ ْي ِه ْم‬ƒ ‫ص‬ َ
‫م‬ƒْ ‫ونَ ُك‬ƒƒُ‫م َويَ ْل َعن‬ƒُْ‫ونَه‬ƒƒُ‫ونَ ُك ْم َوت َْل َعن‬ƒ‫ض‬
ُ ‫ونَهُ ْم َويُ ْب ِغ‬ƒ‫ض‬ُ ‫ َرا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُ ْب ِغ‬ƒ‫لُّونَ َعلَ ْي ُك ْم َو ِش‬ƒ‫ُص‬
َ ‫َوي‬
‫ا ُموا‬ƒƒَ‫صاَل ةَ اَل َما أَق‬ َّ ‫م ال‬ƒْ ‫ال اَل َما أَقَا ُموا فِي ُك‬ َ َ‫م ِع ْن َد َذلِكَ ق‬ƒُْ‫ُول هَّللا ِ أَفَاَل نُنَابِ ُذه‬
َ ‫قَالُوا قُ ْلنَا يَا َرس‬
‫أْتِي ِم ْن‬ƒƒَ‫ا ي‬ƒƒ‫ْصيَ ِة هَّللا ِ فَ ْليَ ْك َر ْه َم‬
ِ ‫صاَل ةَ أَاَل َم ْن َولِ َي َعلَ ْي ِه َوا ٍل فَ َرآهُ يَأْتِي َش ْيئًا ِم ْن َمع‬
َّ ‫فِي ُك ْم ال‬
.ٍ‫صيَ ِة هَّللا ِ َواَل يَ ْن ِزع ََّن يَدًا ِم ْن طَاعَة‬
ِ ‫َم ْع‬
Artinya: Telah bercerita kepada kami Da>wud bin Rusyaid bahwa: telah
bercerita kepada kami al-Wali>d yakni Ibnu Muslim bahwa: telah
bercerita kepada kami ‘Abdurrahman bin Yazi>d bin Jabi>r bahwa:
seorang budak dari Bani Faza>rah yang bernama Ruzaiq bin H{ayya>n
telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia telah mendengar Muslim
bin Qaraz}ah putra paman ‘Auf bin Ma>lik al-Asyja>‘i berkata bahwa ia
telah mendengar ‘Auf bin Ma>lik al-Asyja>‘i berkata bahwa ia telah
mendengar Rasululluh SAW. bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah

13
Hadis ini terdapat dalam kitab S}ah}i>h} Muslim, lihat : Abu> al-H}usain Muslim bin
al-H}ajja>j ibn Muslim al-Qusyairi> Al-Naisabu>ri> (selanjutnya disebut Muslim), al-Ja>mi‘ al-
S}ah}i>h}, jilid VI (Beiru>t: Da>r al-Fikr, [t.t.]), hlm. 24; Yah}ya>} bin Syaraf al-Nawaw}i>
(selanjutnya disebut al-Nawaw}i> ), S}ah}i>h} Muslim: Syarh} al-Ima>m al-Nawa>wi>, jilid VI,
juz XII (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1983), hlm. 245; Muh}ammad bin Ala>wi> al-Ma>liki al-
H}asani> (selanjutnya disebut al-H}asani>), al-Manhaj al-Lat}i>f fi> Us}u>l al-H}adi>s| al-
Syari>f ([t.k.]: [t.p.], [t.t.]) hlm. 98-99; CD Mausu>‘ah al-H}adi>>s| al-Syari>f al-Kutub al-
Tis‘ah, Produksi Sakhr, tahun 1991, edisi 1.2. Hadis ini bernilai sahih berdasarkan pendapat al-
Alba>ni>>, al-Suyu>t}i>> dan al-Bagawi>>, lihat: Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>>
(selanjutnya disebut al-Alba>ni>>), S}ah}i>h} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r wa Ziya>dah al-Fath} al-
Kabi>r, jilid II (Beiru>t: al-Maktab al-Isla>mi>, [t.t.]), hlm. 619; Jala>l al-Di>n ‘Abdurrah}ma>n
bin Abi> Bakr al-Suyu>t}i> (selanjutnya disebut al-Suyu>t}i>>), a l-Ja>mi‘ al-S{agi>r fi>
Ah}a>di>s| al-Basyi>r al-Naz|i>r , jilid II ([t.k.]: Da>r al-Fikr, [t.t.]), hlm. 8; Abu> Muh}ammad
al-H}usain bin Mas‘u>d al-Bagawi>> (selanjutnya disebut al-Bagawi>> ), Syarh} al-Sunnah, jilid
V (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm. 302-303.
pemimpin yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu
doakan dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk
pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka pun
membencimu, yang kamu laknat dan mereka pun melaknatmu.” Mereka
(yang hadir saat itu) berkata: “Wahai Nabi, jika demikian, tidakkah kita
menumbangkannya?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka
menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Tidak, selama mereka
menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di
antara kamu mendapatkan seorang penguasa terpilih, dan melihatnya
berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatan
buruknya tersebut saja dan jangan sekali-kali membangkang
terhadapnya.14

Hadis di atas secara implisit menyebutkan bahwa seorang pemimpin dapat

dikatakan baik jika mampu menciptakan suasana saling mendukung antara kedua

belah pihak yaitu antara pemimpin dan yang dipimpin yang didasari oleh perasaan

saling mencintai dan menyayangi. Suasana seperti ini dapat menjadi modal awal

yang sangat berpengaruh positif dalam mewujudkan tujuan bersama.

Sebaliknya, seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin yang

buruk, jika suasana yang terbangun di masa kepemimpinannya bernuansa negatif,

yaitu rasa saling membenci bahkan melaknat. Kondisi demikian tentunya dapat

menimbulkan efek negatif dalam proses perjalanan roda kepemimpinannya yang

dapat merugikan salah satu bahkan kedua belah pihak, yaitu ketertindasan yang

biasanya terjadi pada kalangan rakyat yang dipimpin.

Pernyataan Nabi dalam tentang kriteria seburuk-buruk pemimpin tentu

wajar jika ditanggapi dengan pertanyaan oleh para sahabat: apakah mereka boleh

menumbangkan seburuk-buruk pemimpin yang dimaksud Nabi. Yang menjadi

persoalan adalah jawaban Nabi atas pertanyaan ini yaitu kata “tidak” yang diikuti

14
Terjemahan ini disadur dari terjemahan berbahasa Inggris, lihat: Amira Zrein Matraji
(rev.), Shahih Muslim, Vol. 3.A (Beirut: Dar el-Fiker, 1993), hlm. 520-521; Abdul Hamid Siddiqi
(rend.), Shahih Muslim: Arabic-English, Vol. III (Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1996),
hlm. 520-521.
dengan syarat bahwa pemimpin tadi masih menegakkan (mendirikan) salat. Hal

ini menandakan bahwa pemimpin tersebut masih berhak untuk ditaati. Mengapa

Nabi mensyaratkan adanya penegakan salat untuk menentukan apakah pemimpin

yang buruk tersebut boleh ditentang (ditumbangkan) atau tidak ? Dalam

pernyataan Nabi itu tentu mengandung makna mendalam mengenai hubungan

antara kepemimpinan seseorang dengan salat ? Lalu apakah makna tersebut ?

Padahal seorang pemimpin yang membenci bahkan melaknat rakyatnya dan

begitupun sebaliknya dengan sikap rakyat terhadapnya, sangat tipis

kemungkinannya untuk bersedia dan mampu menciptakan kestabilan dan

kesejahteraan rakyatnya. Apakah salat dalam hal ini merupakan simbol dari

seorang pemimpin yang baik ?

Makna atau maksud sesungguhnya yang ditemukan dari sabda Nabi ini,

diharapkan dapat memberi pedoman dan arahan bagi kepemimpinan umat Islam

untuk masa kini dan masa yang akan datang. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi

bahwa kemunduran umat Islam –sejak Abad Pertengahan- disebabkan oleh

kemunduran dalam hal kepemimpinan akibat kesalahpahaman dalam memahami

bagaimana sikap dan pribadi seorang pemimpin yang dimaksud oleh Nabi sebagai

suri tauladan terbaik bagi umat Islam.15

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an

sekaligus penjelas al-Qur’an16 yang dapat menjadi pegangan hidup umat manusia

15
Q.S. al-Ah}za>b (33) : 21.
16
Fungsi hadis terhadap al-Qur’an adalah sebagai baya>n muta>bi‘,baya>n mula>zim
dan baya>n tada>mun. Lihat: Mus}t}afa> al-Siba>‘i>, al-Sunnah wa Maka>natuhu fi> al-
Tasyri>‘ al-Isla>mi>, (Beiru>t: al-Maktabah al-Isla>mi>, 1978), hlm. 379-381; Muh}ammad
‘Adib S}a>lih, Tafsi>r al-Nus}u>s} fi> al-Fiqh} al-Isla>mi>, jilid I (Beiru>t: al-Maktabah al-
Isla>mi>, 1984), hlm. 31-42.
khususnya umat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Seorang Nabi tidak mungkin mengatakan sesuatu, yaitu memerintah ataupun

melarang sesuatu tanpa ada tujuannya. Semua pernyataan beliau pasti mempunyai

alasan dan tidak terlepas dari faktor situasi sosio-historis yang ada pada

masyarakat masa Nabi. Dengan demikian, hadis tersebut harus diinterpretasi

untuk memperoleh petunjuk Tuhan yang tersembunyi dalam sabda Nabi secara

tepat. Oleh karena itu, berbagai pertanyaan berkenaan dengan hadis tentang

seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat di atas harus ditemukan

jawabannya, sehingga kesamaran yang dapat menyebabkan perselisihan karena

kesalahpahaman dalam interpretasi teks agama di antara umat Islam menjadi jelas

dan permasalahan dapat teratasi.

Permasalahan sebenarnya tidak berhenti sampai pemahaman matan hadis

saja, namun akan berlanjut ketika normativitas hadis harus dihadapkan dengan

realitas dan tuntutan historisitas perkembangan zaman. Masalah ini akan

bertambah karena sebuah teks atau matan hadis bukanlah sebuah narasi yang

berbicara dalam ruang hampa sejarah, vacum historis17, melainkan di balik sebuah

teks atau matan sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang

tersembunyi yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan

merekonstruksi makna sebuah hadis sehingga sesuai dengan tuntutan dan

perkembangan humanitas kontemporer.

17
Pernyataan vacum historis ini terinspirasi oleh pandangan Gadamer yang menyatakan
bahwa setiap pemahaman selalu merupakan sesuatu yang bersifat historik dialektik dan sekaligus
merupakan peristiwa kebahasaan. Sebagai hal yang bersifat historik, pemahaman sangat terkait
dengan sejarah, dalam pengertian bahwa pemahaman itu merupakan fusi masa lalu dengan masa
kini. Lihat: Lukman S. Thahir, “Memahami Matan Hadis Melalui Pendekatan Hermenetik”,
Hermeneia, Vol. 1/ No. 1, Januari-Juni 2002, hlm. 50.
Jika dihadapkan dengan kondisi kekinian, yaitu pada realitas

kepemimpinan yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana kontekstualisasi hadis

tersebut ? Ketika ada pemimpin yang berkualitas baik, sedikit baik, ada pemimpin

buruk, sedikit buruk bahkan pemimpin abnormal yang sakit secara sosial –yang

egoistis, overkompensatoris, sadistis, maha serakah, kejam, merajalela, neurotis,

koruptif- dan pasti akan menyebarkan penyakitnya serta menimbulkan banyak

kepedihan dan kesengsaraan di kalangan luas, bagaimana konsekuensi yang

terjadi jika dilihat melalui “kacamata” hadis ini ? Terlebih lagi melihat jumlah

pemimpin abnormal ini semakin meningkat pada zaman sekarang terutama di

Indonesia.18 Upaya kontekstualisasi ini dilakukan untuk menghidupkan kembali

"ruh" hadis dalam segala dimensi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia,

sehingga benar-benar menjadi rah}matan li al-'a>lami>n,| bukan hanya sekedar

goresan tinta di atas kumpulan kertas yang hanya memenuhi koleksi perpustakaan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kandungan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama

menegakkan salat ?

2. Bagaimana hubungan antara kepemimpinan dan salat yang dimaksud

dalam hadis tersebut ?

3. Bagaimana kontekstualisasi hadis terhadap realitas kekinian ?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian


18
Kartini Kartono, op.cit., hlm. 4.
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami

kandungan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat,

mengetahui hubungan antara kepemimpinan dan salat yang dimaksud hadis serta

untuk mengetahui kontekstualisasi hadis itu terhadap realitas kekinian.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah memberi pengertian kepada

masyarakat Islam tentang bagaimana seharusnya ihwal seorang pemimpin dan

yang dipimpin (rakyat) yang sesuai dengan ajaran Islam yang disampaikan

melalui hadis Nabi. Di samping itu, penelitian ini diadakan untuk menambah

khazanah keilmuan terutama di bidang Ma’a>ni> al-H}adi>s|.

Telaah Pustaka

Pembahasan tentang kepemimpinan dan salat memang cukup banyak.

Namun, mayoritas dari tulisan-tulisan yang ada membahasnya secara terpisah.

Adapun tulisan yang mengkajinya secara bersamaan, penyajian dalam

pembahasan terlalu singkat dan kurang memadai.

Tulisan-tulisan tentang masalah kepemimpinan yang ditemukan, mayoritas

membahas kepemimpinan dalam pemerintahan sebagai bagian dalam masalah

negara. Masalah kepemimpinan yang diangkat dalam tulisan-tulisan ini dibahas

secara umum saja. Berikut tulisan-tulisan yang membahas masalah kepemimpinan

dan salat.

Al-Nawawi>, dalam kitab syarahnya terhadap S}ah}i>h} Muslim,

membahas hadis yang diteliti ini. Namun pembahasannya lebih mengarah kepada

penjelasan sanad. Adapun pada penjelasan matannya, al-Nawawi hanya


mengartikan kata yus}allu>na dengan doa.19 Jika dibandingkan dengan penjelasan

hadis yang diberikan oleh Imam Muslim sendiri dalam kitab S}ah}i>h}-nya, maka

penjelasan Imam Muslim lebih lengkap.20

Karya Ali Ahmad al-Sulus yang berjudul Imamah dan Khilafah,

memaparkan pemikiran-pemikiran tentang konsep Imamah dan khilafah menurut

Jumhur dan berbagai madzhab Islam serta perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah

terhadap masalah ini.21 Tidak terdapat pembahasan tentang kepemimpinan

berdasarkan pemahaman hadis yang diteliti ini.

Sedangkan dalam Imamah dan Khilafah karya Murtadha Muthahhari

memaparkan konsep imam dan khalifah yang cenderung berorientasi kepada

ajaran Syi’ah. Menurut Syi'ah, kedudukan imam dan khalifah umat Islam hanya

diberikan kepada Ali dan keturunannya berdasarkan hadis S|aqalain, dan mereka

maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). 22

Al-Muba>rak dalam tulisannya yang berjudul Ni>za>m al-Isla>m: al-

Mulk wa al-Daulah menguraikan beberapa prinsip dan dasar Islam tentang

pemerintahan dan pendirian negara berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.23 Di

dalamnya juga mengulas masalah pemimpin pemerintahan.

Dalam buku Islam and Government Sistem: Teaching, History and

Reflection yang ditulis oleh Munawir Sjadzali, membahas tentang hubungan

19
Al-Nawawi, loc.cit.
20
Muslim, loc.cit.
21
Ali Ahmad al-Sulus, Imamah dan Khalifah, terj. Asmuni Sholihin Zamakhsyari
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 177.
22
Murtadha Muthahhari, Imamah dan Khilafah, terj. Satrio Pinandito (Jakarta: Firdaus,
1991), hlm. 8-15.
23
Muhammad al-Muba>rak, “Ni>za>m al-Isla>m: al-Mulk wa al-Daulah (Beiru>t: Dār
al-Fikr, 1984), hlm. 62-63.
antara Islam dan struktur negara (politik) yaitu pemerintahan dengan menengok

bagaimana kepemimpinan dalam pemerintahan pada masa Nabi SAW., Khulafa>'

al-Ra>syidi>n dan sesudahnya. Selain itu, buku ini membahas tokoh-tokoh ulama

dan pemikirannya dalam masalah kepemimpinan dari zaman klasik hingga

kontemporer.24

Sedangkan dalam Islam and Development : A Politico-Religious

Response”yang merupakan kumpulan tulisan-tulisan oleh Sri Mulyati dkk.

mengetengahkan berbagai pemikiran tokoh-tokoh Islam tentang negara, politik

dan perkembangan pergerakan-pergerakan di dunia dan di Indonesia.25

Zainal Abidin Ahmad dalam tulisannya Konsepsi Negara Bermoral

menurut Imam al-Ghazali, mengetengahkan teori-teori dan konsepsi-konsepsi

kenegaraan menurut Imam al-Gazali yang bernuansa tasawuf. Dalam tulisan ini,

hadis yang diteliti ini tercantum, namun dengan redaksi yang tidak lengkap

disertai penjelasan hadis yang minim.26

Adapun Fuad Mohammad Fachruddin dalam tulisannya Pemikiran Politik

Islam sedikit menyinggung masalah hubungan antara salat dan negara. Namun

pembahasannya terlalu singkat dan hal inipun ditempatkan pada bab Pendahuluan

tulisannya. Dalam pembahasan juga tidak menyinggung hadis yang diteliti ini.27

Ihwanuddin dalam skripsinya yang berjudul “Konsepsi Kepemimpinan

24
Munawir Sjadzali, Islam and Government Sistem: Teaching, History and Reflection
(Jakarta: Indonesia-Nederland Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1991), hlm. 1-2.
25
Sri Mulyati (dkk.), Islam and Development: A Politico-Religious Response
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. xvi-xxxii.
26
Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam al-Ghazali (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), hlm. 157-158.
27
Fuad Mohammad Fachruddin, Pemikiran Politik Islam (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu
Jaya, 1988), hlm. 16-17.
dalam Sahih al-Bukhari : Kajian atas Sanad dan Matan Hadis” mengetengahkan

pembahasan konsep kepemimpinan dari hadis-hadis tentang kepemimpinan yang

terdapat dalam kitab S}ah}i>h} Bukha>ri>. Pembahasan ini meliputi penelitian

terhadap sanad dan matan hadis. Ihwanuddin menyatakan bahwa hadis-hadis

tersebut sahih baik sanad maupun matannya. Sedangkan kandungan dalam

matannya mengindikasikan bahwa rakyat harus taat kepada pemimpinnya dalam

hal kebajikan dan amar ma’ruf. Apabila terdapat hal yang tidak menyenangkan

dalam kepemimpinannya, maka rakyat harus bersabar tanpa membangkang.28

Sedangkan Hendrik Imran dalam skripsinya “Hadis-hadis tentang

Kepemimpinan dari Suku Quraisy : Studi Kritik Sanad dan Matan” membahas

validitas hadis berdasarkan sanad dan matannya, serta bagaimana makna yang

dikandung hadis. Dalam pembahasannya ditemukan bahwa kepemimpinan dari

suku Quraisy sama sekali tidak dimaksudkan sebagai syarat mutlak bagi jabatan

pimpinan negara yang diterapkan oleh Nabi SAW. dan mengikat kepada umat

secara permanen.29

Hadari Nawawi dalam bukunya Kepemimpinan Menurut Islam hanya

membahas masalah kepemimpinan Islam secara umum.30 Sedangkan Muhadi

Zainuddin dan Abdul Mustaqim dalam karyanya Studi Kepemimpinan Islam :

Telaah Normatif dan Historis membahas pengertian kepemimpinan menurut

kacamata al-Qur’an dan hadis dan memahami konsep kepemimpinan melalui

28
Ihwanuddin, "Konsepsi Kepemimpinan dalam Sahih al-Bukhari : Kajian atas Sanad dan
Matan Hadis", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001, hlm. 67.
29
Hendrik Imran, "Hadis-hadis tentang Kepemimpinan dari Suku Quraisy : Studi Kritik
Sanad dan Matan", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2001, hlm.
75.
30
Hadari Nawawi, op.cit., hlm. 41-42.
sejarah Islam yaitu mulai kepemimpinan Nabi SAW., Khulafa>' al-Ra>syidi>n

hingga Daulah Abbasiyyah.31

Tulisan-tulisan di atas merupakan tulisan yang membahas masalah

kepemimpinan. Adapun tulisan-tulisan yang berkaitan dengan salat adalah sebagai

berikut.

Psikologi Shalat yang merupakan karya Sentot Haryanto membahas salat

dari segi sejarahnya, yaitu peristiwa Isra’ Mi’raj yang pada saat itu kewajiban

melaksanakan salat bagi umat Islam langsung disampaikan Allah kepada Nabi

SAW. tanpa adanya perantara.32 Salat juga dibahas dari segi psikologis dan

religiusnya. Dalam pembahasan ini dikatakan bahwa salat sangat berpengaruh

positif bagi jiwa dan raga pelakunya serta mampu membentuk manusia yang

bersih. Buku ini memaparkan pula bahwa di balik salat berjama’ah mengandung

keistimewaan terutama dalam terapi lingkungan dan kebersamaan.33

Mahmud Muhammad Thaha dalam bukunya Salat Perdamaian : Risalah

Kebebasan Individu dan Keadilan Sosial membahas salat melalui pendekatan

sufistik. Bagi Mahmud, salat bukanlah sekedar gerakan, tapi juga pengetahuan

dan sikap. Kedamaian di hati diwujudkan melalui salat yang benar, sadar dan

dewasa. Kedamaian di masyarakat pun diwujudkan melalui salat. Salat adalah

refleksi, pengoyakan selubung yang menutupi mata dan hati. Implikasi dari

31
Muhadi Zainuddin dan Abdul Mustaqim, Studi Kepemimpinan Islam : Telaah Normatif
dan Historis (Yogyakarta: al-Muhsin Press, 2001), hlm. 1-3.
32
Sentot Haryanto, Psikologi Shalat: Kajian Aspek-aspek Psikologis Ibadah Shalat
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12.
33
Ibid., hlm. 59-153.
pembahasan ini adalah untuk mewujudkan Islam yang hanif, toleran dan damai.34

Casmini dalam artikelnya berjudul “Keistimewaan Salat Ditinjau dari

Aspek Psikologi dan Agama” mengungkapkan bahwa salat selain menjadi

barometer ketaatan dan penginsyafan seorang hamba pada Sang Khalik, juga

mempunyai keistimewaan, yaitu pada peristiwa Isra’ Mi’raj disampaikan perintah

Allah kepada Nabi secara langsung tentang kewajiban salat bagi kaum muslimin,

dan keistimewaan salat dalam melindungi jiwa agar senantiasa bersih dan suci.35

Ahmad Fadhil Nasrullah dalam bukunya Celaka Orang yang Salat hanya

memaparkan penafsirannya tentang ayat-ayat al-Qur’an dalam surat al-Ma’un

terutama pada ayat yang menyatakan : “celakalah orang-orang yang salat”.36

Tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan salat yang dikemukakan di atas

tidak ada yang mengupas masalah kepemimpinan yang dikaitkan dengan salat

secara khusus, terlebih lagi penelitian atas hadis tentang seburuk-buruknya

pemimpin selama menegakkan salat. Adapun sejauh pengamatan penulis,

penelitian tentang korelasi antara kepemimpinan dan salat yang merupakan

sebuah kajian ma‘a>ni> al-h}adi>s| terhadap hadis yang bersangkutan belum

diadakan. Oleh karena itu, penelitian ini perlu diadakan dan tulisan inilah sebagai

realisasinya.

Metode Penelitian

34
Mahmud Muhammad Thaha, Shalat Perdamaian: Risalah Kebebasan Individu dan
Keadilan Sosial, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. vi.
35
Casmini, "Keistimewaan Salat Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Agama", Hisbah, Vol.
1/ No. 1, Januari-Desember 2002, hlm. 79-93.
36
Ahmad Fadhil Nasrullah, Celaka Orang yang Salat (Yogyakarta: Target Press, 2001),
hlm. 3.
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara

optimal.37 Berikut penulis paparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research),

yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber

tertulis seperti buku atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan,

sehingga dapat diperoleh data-data yang jelas.

Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu data yang telah terkumpul

diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk dianalisis secara

konseptual dengan menggunakan metode ma‘a>ni> al-h}adi>s|, yakni

pemaknaan dan interpretasi terhadap matan hadis dengan

mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.

Teknik Pengumpulan Data

Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka

tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah mengkaji dan menelaah

berbagai kitab hadis, kitab syarah, kitab ilmu hadis, buku, artikel dan

sumber lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini, baik yang

bersifat primer maupun sekunder.

Sumber Data

Setelah ditelusuri dalam kitab-kitab hadis dengan menggunakan kitab

37
Winarno Surachmad, Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Teknik
(Bandung: Warsito, 1990), hlm. 30.
Mifta>h Kunu>z al-Sunnah 38
melalui tema hadis dan al-Mu‘jam al-
39
Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi> melalui kata-kata dalam

matan hadis dan dibantu penelusuran hadis melalui CD Mausu>‘ah al-

H}adi>>s| al-Syari>f 40 dengan metode penelusuran lewat topik atau tema

hadis dan penelusuran lewat kata awal dalam matan hadis, hadis tentang

seburuk-buruknya pemimpin selama menegakkan salat terdapat dalam

kitab S}ah}i>h} Muslim, Musnad Ah}mad bin H}anbal dan Sunan al-

Da>rimi>. Dengan demikian, sumber data primer dalam penelitian ini

adalah ketiga kitab ini. Sedangkan sumber data sekunder adalah kitab-

kitab hadis dan syarah hadis, buku, artikel dan sumber tertulis lainnya

yang berkaitan dan relevan dengan topik yang dibahas, untuk membantu

dalam pemahaman hadis dan kontekstualisasinya.

Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data yang masih

mentah. Oleh karena itu, perlu diadakan analisis terhadap data-data

tersebut. Dalam menganalisis data ini, langkah-langkah yang diambil

penulis adalah sebagai berikut.41

a. Kritik Historis, yaitu analisis keotentikan hadis untuk menentukan

38
Muh}ammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qi>, Mifta>h Kunu>z al-Sunnah (Beiru>t: Da>r
Ah}ya>’ al-Tura>s| al-‘Arabi>, 2001), hlm. 55.
39
A.J. Wensick, Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi>>, jilid VI
(Leiden: E.J. Brill, 1967), hlm. 186.
40
CD Mausu>‘ah al-Hadi>>s| al-Syari>f al-Kutub al-Tis‘ah, Produksi Sakhr, tahun
1991, edisi 1.2.
41
Langkah-langkah yang diambil ini merupakan metodologi sistematis hermeneutika
yang ditawarkan oleh Musahadi HAM. Lihat: Musahadi HAM., Evolusi Konsep Sunnah:
Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 155-159.
validitas dan otentisitas hadis dari segi sanad dan matan dengan

menggunakan kaedah kesahihan yang telah ditetapkan oleh para

ulama.

b. Kritik Eidetis, yaitu berupa proses pemahaman yang memuat tiga

langkah utama:

1) Analisis matan, yaitu menjelaskan makna hadis setelah ditetapkan

derajat otentisitas hadis yang meliputi tiga tahap.

a) Kajian konfirmatif terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang relevan

dengan tema hadis, untuk memperoleh petunjuk di dalamnya.

b) Kajian Tematik Komprehensif, yakni mempertimbangkan

hadis-hadis lain yang memiliki tema yang relevan dengan tema

hadis yang bersangkutan, dalam rangka mendapatkan

pemahaman yang lebih komprehensif.

c) Kajian linguistik, berupa kajian terhadap teks hadis dengan

menggunakan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab,

misalnya menyangkut bentuk kata dan arti kata.

2) Analisis realitas historis. Dalam tahapan ini, makna atau arti suatu

pernyataan dipahami dengan melakukan kajian atas realitas, situasi

atau problema historis ketika pernyataan sebuah hadis muncul,

baik situasi makro maupun mikro.

3) Analisis Generalisasi, yaitu analisis untuk menangkap makna

universal yang tercakup dalam hadis.

c. Kritik Praksis, yaitu menganalisis perubahan makna hadis yang


diperoleh dari proses generalisasi ke dalam realitas kehidupan saat ini,

sehingga memiliki makna praktis bagi problematika hukum dan

kemasyarakatan. Analisis tahap ini juga dikenal dengan nama

kontekstualisasi hadis (proyeksi hadis) terhadap realitas kekinian.

Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dimulai dengan Bab I yaitu

Pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab ini

digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar

penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Sedangkan pada Bab II dibahas masalah tentang konsep kepemimpinan

dan salat. Pembahasan ini mengulas pengertian tentang kepemimpinan dan salat,

yang akan memberi gambaran tentang topik kepemimpinan dan salat, sebagai

pegangan sebelum memasuki pembahasan berikutnya di Bab III.

Pembahasan pada Bab III berupa interpretasi hadis sehingga kandungan

hadis dapat dipahami secara tepat. Pembahasan ini meliputi tinjauan redaksional

hadis-hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat.

Dilanjutkan pada analisis keotentikan hadis dari segi sanad dan matan, analisis

matan hadis meliputi kajian konfirmatif, kajian tematik-komprehensif, kajian

linguistik dan kajian realitas-historis, dan diakhiri dengan generalisasi kandungan

hadis.

Bab IV mengemukakan kontekstualisasi hadis terhadap realitas kekinian,

yaitu berupa analisis perubahan makna hadis yang diperoleh dari generalisasi
makna hadis ke dalam realitas kehidupan saat ini, sehingga memiliki makna

praktis bagi problematika politik dan kemasyarakatan.

Pembahasan dalam penelitian ini diakhiri dengan Bab V yang berisi

kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dihasilkan merupakan jawaban atas

rumusan masalah yang dikemukakan penulis pada Bab I.

BAB II
KONSEP KEPEMIMPINAN DAN SALAT

Konsep Kepemimpinan

Pengertian Kepemimpinan secara Umum

Kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan manusia dalam kehidupan.

Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat awalan “me” menjadi

“memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan

membimbing. Perkataan lain yang sama pengertiannya adalah mengetuai,

mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari

supaya dapat mengerjakan sendiri. Adapun pemimpin berarti orang yang

memimpin atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan

menunjukkan pada semua perihal dalam memimpin, termasuk

kegiatannya.42

Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan

yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil

42
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 769.
dari interaksi otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin

(ada relasi inter-personal). Kepemimpinan ini bisa berfungsi atas dasar kekuasaan

pemimpin untuk mengajak, mempengaruhi dan menggerakkan orang lain guna

melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan tertentu. Dengan demikian,

pemimpin tersebut ada apabila terdapat satu kelompok atau satu organisasi.43

Sebenarnya kepemimpinan merupakan cabang dari ilmu administrasi 44,

khususnya ilmu administrasi negara. Ilmu administrasi adalah salah satu cabang

dari ilmu-ilmu sosial, dan merupakan salah satu perkembangan dari filsafat.

Sedang inti dari administrasi adalah manajemen45. Dalam kaitannya dengan

administrasi dan manajemen, pemimpinlah yang menggerakkan semua sumber-

sumber manusia, sumber daya alam, sarana, dana dan waktu secara efektif-efisien

serta terpadu dalam proses manajemen dalam suatu kelompok atau organisasi..

Keberhasilan suatu organisasi atau kelompok dalam mencapai tujuan yang ingin

diraih, bergantung pada kepemimpinan seorang pemimpin. Jadi kepemimpian

menduduki fungsi kardinal dan sentral dalam organisasi, manajemen maupun

administrasi.

Konsep Kepemimpinan dalam Islam

Istilah Kepemimpinan dalam Islam ada beberapa bentuk, yaitu khila>fah,

ima>mah, ima>rah, wila>yah, sulta>n, mulk dan ri’a>sah. Setiap istilah ini

43
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal
itu ? (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 5.
44
Administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih
berdasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Lihat: ibid., hlm. 11.
45
Manajemen adalah aktifitas dalam organisasi yang terdiri dari penentuan tujuan-tujuan
(sasaran) suatu organisasi dan penentuan sarana-sarana untuk mencapai sasaran secara efektif.
Lihat: ibid.
mengandung arti kepemimpinan secara umum. Namun istilah yang sering

digunakan dalam konteks kepemimpinan pemerintahan dan kenegaraan, yaitu

Khila>fah, ima>mah dan ima>rah.46 Oleh karena itu, pembahasan kepemimpinan

dalam Islam akan diwakili oleh ketiga istilah ini.

Khila>fah

Kata khila>fah berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfun yang berarti

al-‘aud} atau al-balad yakni mengganti, yang pada mulanya berarti belakang.

Adapun pelakunya yaitu orang yang mengganti disebut khali>fah dengan bentuk

jamak khulafa>’ 47 yang berarti wakil, pengganti dan penguasa.48

Kata khali>fah sering diartikan sebagai pengganti, karena orang yang

menggantikan datang sesudah orang yang digantikan dan ia menempati tempat

dan kedudukan orang tersebut. Khali>fah juga bisa berarti seseorang yang diberi

wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang

memberi wewenang.49 Menurut al-Ragi>b al-Asfah}a>ni>, arti “menggantikan

yang lain” yang dikandung kata khali>fah berarti melaksanakan sesuatu atas

nama yang digantikan, baik orang yang digantikannya itu bersamanya atau tidak.
50

46
Ketiga istilah ini merupakan bentuk kata yang menyatakan perihal dalam memimpin,
sedangkan bentuk kata yang menunjuk pada pelakunya adalah khali>fah, ima>m dan ami>r.
47
Al-Ima>m al-Alla>mah Abi> Fad}l Jama>l al-Di>n Muh{ammad bin Mukram ibn
Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri> (selanjutnya disebut al-Mis}ri>), Lisa>n al-‘Arab, jilid IX
(Beiru>t: Da>r al-S}a>dir, 1992), hlm. 82-83; Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus
Arab-Indonesia (Yogyakarta: [t.p.], 1984), hlm. 390-391; Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin
dalam Perspektif al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 21.
48
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis
(Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 30.
49
Taufiq Rahman, op.cit., hlm. 22.
50
Ibid.
Istilah ini di satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam

pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan

pengertiannya sama dengan kata sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula

pengertiannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mempunyai dua

pengertian. Pertama, wakil Tuhan yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau

kepala negara. Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan

Tuhan yang paling sempurna.51

Menurut M. Dawam Rahardjo, istilah khali>fah dalam al-Qur’an

mempunyai tiga makna. Pertama, Adam yang merupakan simbol manusia

sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai

khalifah dalam kehidupan. Kedua, khali>fah berarti pula generasi penerus atau

generasi pengganti; fungsi khali>fah diemban secara kolektif oleh suatu generasi.

Ketiga, khali>fah adalah kepala negara atau pemerintahan.52

Khila>fah sebagai turunan dari kata khali>fah, menurut Abu> al-A‘la> al-

Maudu>di>, merupakan teori Islam tentang negara dan pemerintahan.53 Adapun

menurut Ibnu Khald{u>n dalam bukunya Muqaddimah, khila>fah adalah

kepemimpinan. Istilah ini berubah menjadi pemerintahan berdasarkan kedaulatan.

Khila>fah ini masih bersifat pribadi, sedangkan pemerintahan adalah

kepemimpinan yang telah melembaga ke dalam suatu sistem kedaulatan.54

Menurut Imam Baid{a>wi> al-Mawardi> dan Ibnu Khald{u>n, khila>fah

51
M. Dawam Rahardjo, loc.cit.
52
Ibid., hlm. 357.
53
Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat.
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 168-173.
54
Ibnu Khald}u>n, Muqaddimah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, [t.t.]), hlm. 190.
adalah lembaga yang mengganti fungsi pembuat hukum, melaksanakan undang-

undang berdasarkan hukum Islam dan mengurus masalah-masalah agama dan

dunia. Menurut al-Mawardi>, khila>fah atau ima>mah berfungsi mengganti

peranan kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.55

Posisi khila>fah ini mempunyai implikasi moral untuk berusaha

menciptakan kesejahteraan hidup bersama berdasarkan prinsip persamaan dan

keadilan. Kepemimpinan dan kekuasaan harus tetap diletakkan dalam rangka

menjaga eksistensi manusia yang bersifat sementara.

Menurut Bernard Lewis, istilah ini pertama kali muncul di Arabia pra-

Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 Masehi. Dalam prasasti tersebut, kata

khali>fah tampaknya menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan yang

bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain.

Sedangkan setelah Islam datang, istilah ini pertama kali digunakan ketika Abu>

Bakr yang menjadi khalifah pertama setelah Nabi Muhammad. Dalam pidato

inagurasinya, Abu> Bakr menyebut dirinya sebagai Khali>fah Rasu>lulla>h

yang berarti pengganti Rasulullah.56 Menurut Aziz Ahmad, istilah ini sangat erat

kaitannya dengan tugas-tugas kenabian yaitu meneruskan misi-misi kenabian.57

Khila>fah dalam perspektif politik Sunni> didasarkan pada dua rukun,

yaitu konsensus elit politik (ijma') dan pemberian legitimasi (baiat). Karenanya,

setiap pemilihan pemimpin Islam, cara yang digunakan adalah dengan memilih

55
M. Dawam Rahardjo, op.cit., hlm. 358.
56
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, terj. Ihsan Ali-Fauzi (Jakarta: Gramedia, 1994),
hlm. 50; Glenn E. Perry, “Caliph”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, II,
hlm. 239
57
Kamaruzzaman, op.cit., hlm 30.
pemimpin yang ditetapkan oleh elit politik, setelah itu baru dilegitimasi oleh

rakyatnya. Cara demikian menurut Harun nasution, menunjukkan bahwa

khila>fah bukan merupakan bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada bentuk

republik, yaitu kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun.58

Dalam masalah khila>fah, terdapat tiga teori utama, yaitu pendapat

pertama menyatakan bahwa pembentukan khila>fah ini wajib hukumnya

berdasarkan syari’ah atau berdasarkan wahyu. Para ahli fiqh Sunni, antara lain

Teolog Abu> H}asan al-Asy‘ari>, berpendapat bahwa khila>fah ini wajib karena

wahyu dan ijma’ para sahabat. Pendapat kedua, antara lain dikemukakan oleh al-

Mawardi>, mengatakan bahwa mendirikan sebuah khila>fah hukumnya fardu

kifayah atau wajib kolektif berdasarkan ijma’ atau konsensus. Al-Gazali>

mengatakan bahwa khila>fah ini merupakan wajib syar'i berdasarkan ijma’. Teori

terakhir adalah pendapat kaum Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa pembentukan

khila>fah ini memang wajib berdasarkan pertimbangan akal. 59

Ima>mah

Ima>mah berasal dari akar kata amma-yaummu-ammun yang berarti al-

qas}du yaitu sengaja, al-taqaddum yaitu berada di depan atau mendahului, juga

bisa berarti menjadi imam atau pemimpin (memimpin). Ima>mah di sini berarti

perihal memimpin. Sedangkan kata ima>m merupakan bentuk ism fa>’il yang

berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum menuju jalan yang lurus ataupun

58
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press,
1985), hlm. 95.
59
M. Dawam Rahardjo, op.cit., hlm. 362.
sesat. Bentuk jamak dari kata ima>m adalah a’immah.60

Ima>m juga berarti bangunan benang yang diletakkan di atas bangunan,

ketika membangun, untuk memelihara kelurusannya. Kata ini juga berarti orang

yang menggiring unta walaupun ia berada di belakangnya.61

Dalam al-Qur’an, kata ima>m dapat berarti orang yang memimpin suatu

kaum yang berada di jalan lurus, seperti dalam surat al-Furq}a>n (25) ayat 74 dan

al-Baqarah (2) ayat 124. Kata ini juga bisa berarti orang yang memimpin di jalan

kesesatan, seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah ayat 12 dan al-

Qas}as} (28) ayat 41. Namun lepas dari semua arti ini, secara umum dapat

dikatakan bahwa ima>m adalah seorang yang dapat dijadikan teladan yang di atas

pundaknya terletak tanggung jawab untuk meneruskan misi Nabi SAW. dalam

menjaga agama dan mengelola serta mengatur urusan negara.62

Term ima>mah sering dipergunakan dalam menyebutkan negara dalam

kajian keislaman. Al-Mawardi> mengatakan bahwa ima>m adalah khalifah, raja,

sultan atau kepala negara. Ia memberi pengertian ima>mah sebagai lembaga yang

dibentuk untuk menggantikan Nabi dalam tugasnya menjaga agama dan mengatur

dunia.63 Sebagai tokoh perumus konsep ima>mah, ia menggagas perlunya

ima>mah, dengan alasan, pertama adalah untuk merealisasi ketertiban dan

60
Al-Mis}ri>, op.cit., jilid XII, hlm. 22-26; Ahmad Warson Munawwir, op.cit., hlm. 42-
44; Taufiq Rahman, op.cit., hlm. 39.
61
Al-Mis}ri>, loc.cit.; Ahmad Warson Munawwir, loc.cit.; Taufiq Rahman, loc.cit.
62
Taufiq Rahman, ibid., hlm. 42.
63
Al-Mawardi>, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, [t.t]), hlm. 3.
perselisihan. Kedua, berdasarkan kepada surat al-Nisa>’ (4) ayat 59, dan kata

uli> al-amr menurutnya adalah ima>mah.64

Adapun Taqiyuddi>n al-Nabh}a>ni> menyamakan ima>mah dengan

khila>fah. Menurutnya, khila>fah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh

kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan

mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. 65 Adapun al-Taftaza>ni>

menganggap ima>mah dan Khila>fah adalah kepemimpinan umum dalam

mengurus urusan dunia dan masalah agama.66

Menurut Ibnu Khald}un, ima>mah adalah tanggung jawab umum yang

dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan

akhirat bagi umat yang merujuk padanya. Oleh karena kemaslahatan akhirat

adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman

kepada syariat.67 Adapun penamaan sebagai imam untuk menyerupakannya

dengan imam salat adalah dalam hal bahwa keduanya diikuti dan dicontoh.68

Pada dasarnya teori ima>mah lebih banyak berkembang di lingkungan

Syi’ah daripada lingkungan Sunni. Dalam lingkungan Syi’ah, ima>mah

menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan ima>m (wila>yah) dan kesucian ima>m

(‘ismah).69 Kalangan Syi’ah menganggap ima>mah adalah kepemimpinan agama

dan politik bagi komunitas muslim setelah wafatnya Nabi, yang jabatan ini

64
Kamaruzzaman, op.cit., hlm 41.
65
Ibid., hlm. 32.
66
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattam
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 86.
67
Ibnu Khald}u>n, op.cit., hlm. 159
68
Ibid.
69
Dawam Rahardjo, op.cit.,hlm. 475.
dipegang oleh Ali> bin Abi> T{a>lib dan keturunannya, dan mereka maksum.

Istilah ini muncul pertama kali dalam pemikiran politik Islam tentang

kenegaraan yaitu setelah Nabi SAW. wafat pada tahun 632 M. 70 Konsep ini

kemudian berkembang menjadi pemimpin dalam salat 71, dan –setelah diperluas

lingkupnya- berarti pemimpin religio-politik (religious-political leadership)

seluruh komunitas Muslim, dengan tugas yang diembankan Tuhan kepadanya,

yaitu memimpin komunitas tersebut memenuhi perintah-perintah-Nya. 72

Menurut Ali Syariati, tidak mungkin ada ummah tanpa ima>mah.

Ima>mah tampak dalam sikap sempurna pada saat seseorang dipilih karena

mampu menguasai massa dan menjaga mereka dalam stabilitas dan ketenangan,

melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya, sesuai dengan asas dan

peradaban ideologis, sosial dan keyakinan untuk menggiring massa dan pemikiran

mereka menuju bentuk ideal. Dalam pemikirannya mengenai ima>mah dan

khila>fah, Ali syariati menganggap khila>fah cenderung ke arah politik dan

jabatan, sedangkan ima>mah cenderung mengarah ke sifat dan agama.73

Ima>rah

Ima>rah berakar kata dari amara-ya'muru-amrun yang berarti

memerintah, lawan kata dari melarang. Pelakunya disebut ami>r yang berarti

pangeran, putra mahkota, raja (al-ma>lik), kepala atau pemimpin (al-ra’i>s),

70
Abdulaziz Sachedina, “Imamah”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
World, II, hlm. 183.
71
Berasal dari sebuah akar kata yang berarti di depan, arti imam berkembang menjadi
pemimpin dalam salat atau sembahyang. Lihat: Bernard Lewis, op.cit., hlm. 44.
72
Ibid.
73
Ali Syariati, Ummah dan Imamah, terj. Afif Muhammad (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1989), hlm. 53.
penguasa (wa>li>). Selain itu juga bisa berarti penuntun atau penunjuk orang

buta, dan tetangga. Adapun bentuk jamaknya adalah Umara>’. 74

Kata amara muncul berkali-kali dalam al-Qur’an dan naskah-naskah awal

lainnya dalam pengertian “wewenang” dan “perintah”. Seseorang yang memegang

komando atau menduduki suatu jawaban dengan wewenang tertentu disebut

s}a>h}ib al-amr, sedangkan pemegang amr tertinggi adalah ami>r.

Pada masa-masa akhir Abad Pertengahan, kata sifat ami>ri> sering

digunakan dalam pengertian “hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan

atau administrasi”. Sementara itu, di Imperium Turki, bentuk singkat kata ini

adalah miri, dengan terjemahan bahasa Turkinya adalah beylik, menjadi kata yang

umum digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, publik

atau resmi. Kata miri juga digunakan untuk menunjukkan perbendaharaan

kekayaan negara, kantor-kantor perdagangan pemerintah dan barang-barang milik

pemerintah pada umumnya.75

Seorang ami>r adalah seorang yang memerintah, seorang komandan

militer, seorang gubenur provinsi atau –ketika posisi kekuasaan diperoleh atas

dasar keturunan- seorang putra mahkota. Sebutan ini adalah sebutan yang

diinginkan oleh berbagai macam penguasa yang lebih rendah tingkatannya, yang

tampil sebagai gubenur provinsi dan bahkan kota yang menguasai wilayah

tertentu di kota. Sebutan ini pula bagi mereka yang merebut kedaulatan yang

efektif untuk diri mereka sendiri, sambil memberikan pengakuan simbolik yang

74
Al-Mis}ri>, op.cit., jilid XII, hlm. 26-31; Ahmad Warson Munawwir, op.cit., hlm. 41-
42.
75
Bernard Lewis, op.cit., hlm. 47.
murni terhadap kedaulatan khali>fah sebagai penguasa tertinggi yang dibenarkan

dalam Islam.

Istilah ami>r ini pertama kali muncul pada masa pemerintahan 'Umar bin

al-Khat}t}a>b. 'Umar menyebut dirinya sebagai ami>r al-mukmini>n yang

berarti pemimpin kaum yang beriman.

Konsep Salat

Pengertian Salat

Kata salat adalah bentuk ism masdar dari s}alla> - yus}alli> - s}ala>h.

Kata salat dari segi bahasa mempunyai arti beragam, yaitu doa, rahmat, ampunan,

sanjungan Allah kepada Rasulullah SAW., dan berarti ibadah yang di dalamnya

terdapat rukuk dan sujud.76 Keragaman arti salat di atas adalah berdasarkan

dengan fenomena dan konteks yang ada dalam al-Qur’an, yaitu “doa dan

ampunan” dalam Q.S. Al-Taubah (9) ayat 103, “berkah” dalam Q.S. Al-Baqarah

(2) ayat 157, sedangkan arti salat sebagai ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk

dan sujud banyak sekali ayat al-Qur’an yang menjelaskannya.

Beragamnya arti salat di atas dapat dirumuskan menjadi arti salat secara

bahasa yaitu suatu doa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon

ampunan-Nya, mensyukuri nikmat, menolak bencana, atau menegakkan suatu

ibadah.77

Term salat dalam arti doa dan ampunan telah digunakan sejak zaman

Jahiliyyah. Namun demikian, term aqi>mu> al-s}ala>h menurut Hasbi Ash-

76
Majduddi>n Muh{ammad Ya‘qu>b Al-Fairuz Abadi> (selanjutnya disebut Al-Fairuz),
Al-Qa>mu>s Al-Muh}i>t} (Beiru>t: Maktabah al-Buh{u>s wa al-Dira>sah, 1995), hlm. 173.
77
Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 59.
Shiddieqy tidak menunjuk kepada makna yang telah dikenal pada zaman

Jahiliyyah itu, tetapi menunjuk kepada yang diistilahkan oleh syariat agama. 78

Menurutnya, salat berarti berdoa dan memohon kebajikan kepada Allah dan

pujian. Namun secara hakekat, salat merupakan upaya berhadap hati (jiwa)

kepada Allah dan mendatangkan rasa takut kepada-Nya serta menumbuhkan di

dalam jiwanya, rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-

Nya.79

Menurut pandangan Ahli Fiqh, salat merupakan ibadah kepada Allah dan

pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang

dimulai dengan takbir dan ditutup dengan taslim, dengan runtutan dan tartib

tertentu yang ditetapkan oleh agama Islam.80

Menurut Nurcholish Madjid, takbir salat yang dinamakan takbi>rah al-

ih}ra>m berarti takbir yang mengharamkam. Setelah seseorang telah melakukan

takbir, diharamkan baginya melakukan perbuatan atau tindakan yang di luar

ketentuan salat. Seluruh jiwa dan raga terkonsentrasi penuh dan hanya tertuju

kepada Allah. Dalam melakukan salat, tidak dibenarkan melakukan hubungan

horizontal (h}abl min al-na>s), kecuali dalam keadaan terpaksa. Keadaan ini

merupakan bentuk kekhusyukan dan keinsyafan manusia dalam melakukan

pengabdian kepada Allah (h}abl min Alla>h) yang merupakan ciri dari salat yang

sempurna.81

78
Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, jilid II (Medan: T.B. Islamiyyah,
1952), hlm. 244.
79
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 3.
80
Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1994), hlm. 20.
81
Ibid., hlm. 21.
Pembacaan doa iftitah dalam salat menurut Nurcholish, mengandung

pengertian bahwa menghadapkan wajah kepada Allah sebagai tanda kepasrahan

manusia sebagai hamba, dan berharap agar tidak dimasukkan ke dalam golongan

orang-orang yang menyekutukan-Nya. Adapun kegiatan salat yang diakhiri

dengan taslim atau salam, mengandung pengertian bahwa keselamatan dan

kesejahteraan itu untuk orang banyak, baik yang ada di depan maupun di

sekitarnya. Salam pun merupakan pernyataan solidaritas sosial yang mengandung

dimensi “kemanusiaan”.82

Salat dalam pandangan Nasaruddin Razak, merupakan suatu sistem ibadah

yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir

dan diakhiri dengan salam, berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun-rukun

tertentu. Melaksanakan salat adalah fardu ain atas tiap-tiap muslim yang balig

(dewasa).83 Sedangkan menurut Harun Nasution, dalam salat telah terjadi dialog

antara manusia dengan Allah dengan saling berhadapan. Dialog dengan Tuhan ini

wajib dilakukan oleh manusia sebanyak lima kali sehari-semalam.84

Kewajiban salat memang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, akan tetapi

masih bersifat umum. Penjelasan salat secara detail dinyatakan dalam hadis Nabi

SAW. Sistem salat yang kita lakukan sekarang adalah sistem salat yang diajarkan

dan dicontohkan oleh Nabi kepada generasi pertama kemudian diwariskan secara

turun temurun tanpa mengalami perubahan dan hingga kini telah berjalan kurang

82
Ibid.
83
Nasruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1993). hlm. 51
84
Harun Nasution, op.cit., hlm. 34.
lebih 14 abad. 85

Setiap muslim dikenai kewajiban salat. Hal ini mengacu kepada awal

proses penciptaan manusia, sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat al-

Za>riyat> (51) ayat 56 : ”Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia

melainkan supaya mereka menyembah-Ku…”.86 Dalam ayat ini tersirat pengertian

bahwa manusia memang diberi kewajiban untuk mengabdi kepada Allah. Namun

kata li ya‘budu>n dalam ayat tersebut, sama sekali tidak mengandung maksud

bahwa Allah membutuhkan pengabdian dari manusia (ibadah). Allah memiliki

sifat Maha Sempurna sehingga tidak membutuhkan apapun dari manusia. Oleh

karena itu, secara hakikat kata ya‘budu>n kurang tepat jika diberi makna

beribadah, memuja, mengabdi apalagi menyembah. Makna yang lebih tepat

adalah tunduk dan patuh, sehingga konotasi yang terkandung bukan lagi ada

hasrat Allah untuk disembah oleh manusia. Dengan demikian, keberadaan

manusia terhadap Tuhan adalah tunduk, patuh dan menjaga diri dari hukuman

Tuhan di hari kiamat. Jika manusia ingin selamat dari hukum Tuhan, maka

manusia harus mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-

Nya.87

Tujuan ibadah salat dalam Islam pada prinsipnya bukan menyembah,

melainkan untuk tunduk dan patuh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah,

agar manusia selalu berada dalam lindungan-Nya, dan jiwanya senantiasa terjaga

85
Casmini, “Keistimewaan Salat Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Agama”, Hisbah,
Vol. 1/ No. 1, Januari-Desember 2002, hlm. 82.
86
Tim Penterjemah al-Quran, al-Qur'an dan Terjemahnya (Madinah: Mujamma‘
Kha>dim al-H{aramain al-Syari>fain al-Ma>lik Fahd li al-T}aba>‘ah al-Mus}h}af al-Syari>f,
1412 H), hlm. 862.
87
Harun Nasution, op.cit., hlm. 35.
dari hal-hal yang kotor sehingga menjadi bersih dan suci. Jiwa yang suci akan

memiliki ketajaman untuk membawa kepada perbuatan yang saleh dan luhur.

Dengan demikian, tujuan ibadah salat semata-mata untuk tunduk dan patuh serta

mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Suci dan menjauhkan diri dari segala

perbuatan maksiat dan kotor.

Fungsi Salat

Salat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan

wajahnya kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Suci. Apabila salat itu dilakukan

secara tekun dan konsisten, maka dapat menjadi alat pendidikan rohani yang

efektif dalam memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk

pertumbuhan kesadaran. Makin banyak salat itu dilakukan dengan kesadaran dan

bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani itu dilatih

menghadap Zat Yang Maha Suci yang efeknya akan membawa kepada kesucian

rohani dan jasmani. Kesucian pada rohani dan jasmani ini akan memancarkan

akhlak yang mulia dan budi pekerti serta sikap hidup yang penuh dengan amal

saleh. Ia akan terhindar dari perbuatan-perbuatan jahat, keji serta maksiat.88

Salat akan mendidik manusia untuk bersikap disiplin, pandai menghargai

waktu dan teratur dalam hidup. Kewajiban salat lima waktu sehari-semalam (24

jam) akan membimbing manusia untuk belajar menghargai waktu dan

menghormati waktu, sehingga tidak mudah menghamburkan waktu tanpa ada

manfaat yang berguna.

88
Casmini, op.cit, hlm. 84.
Kegiatan berwudu (bersuci) dengan menggunakan air bersih bahkan mandi

terlebih dahulu sebelum melakukan salat sangat berguna untuk menyegarkan

kondisi fisik yang sedang lesu dan kecapekan, ditambah dengan melakukan salat,

niscaya kelesuan rohani dan pikiran akan terobati dan akhirnya menjadi segar

kembali.

Dimensi lain dari salat adalah memiliki fungsi sebagai sarana memohon

pertolongan di kala manusia sedang membutuhkan pertolongan-Nya.89 Meskipun

Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang, namun sebagai seorang yang

beriman, tentu kita sadar bahwa kasih dan sayang Allah itu tidak mudah diperoleh

begitu saja. Ketaatan dan ketakwaan manusia turut mempengaruhi mudahnya

perolehan sifat Pengasih dan Penyayang Allah tersebut.90

Menurut pandangan para ahli, baik dari kalangan psikolog maupun ahli

kesehatan, salat itu mengandung unsur terapeutik bagi kesehatan manusia, di

antaranya adalah unsur olahraga, unsur meditasi, unsur auto-sugesti, unsur

kebersamaan, unsur relaksasi otot, relaksasi indera, unsur katarsi 91, sarana

pembentukan pribadi dan terapi air (hydro therapy).92

Menurut H.A. Saboe, gerakan-gerakan yang terkandung dalam salat

mengandung banyak unsur kesehatan bagi jasmani manusia, maka dengan

sendirinya akan memberi efek pula bagi kesehatan baik dari sisi kesehatan

ruhaniyah dan mentalnya.93

89
Ibid.
90
Q.S. al-Baqarah (2): 45-46.
91
Casmini, op.cit., hlm. 85-86.
92
Sentot Haryanto, op.cit., hlm. 60-105.
93
Casmini, op.cit., hlm. 86.
Dimensi lain yang dapat ditemukan dalam salat adalah terciptanya

kepribadian yang teguh pada diri seseorang. salat yang dilakukan secara rutin

setiap waktu (berdasarkan waktu yang telah ditentukan syariat), dengan sendirinya

akan membentuk kepribadian yang teguh dan disiplin, terutama dalam

menciptakan kedisiplinan dalam waktu dan kerja.94

Uraian di atas mengetengahkan fungsi salat jika ditinjau dari segi

psikologisnya. Adapun jika dilihat dari dimensi agamanya, salat merupakan

perwujudan syukur seorang hamba atas kenikmatan yang telah diberikan

kepadanya yang tiada putusnya, namun manusia sering melupakannya.95

Selain itu, salat merupakan ujung tombak dari sekian banyak ibadah. Salat

pula yang menjadi kunci dari seluruh amal ibadah manusia di bumi ini. Hal ini

karena salat merupakan ibadah pertama dan utama yang akan dihitung dan

dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jika salat seseorang masuk ke dalam

kategori “lulus” atau baik, niscaya seluruh amal ibadah lainnya juga akan “lulus”

di sisi Allah. Dengan demikian, salat bisa dikatakan sebagai tiang agama dan

menjadi sesuatu yang sangat penting khususnya bagi setiap muslim.

Salat juga memiliki implikasi yang baik untuk manusia, yaitu menjauhkan

manusia dari perbuatan jahat dan maksiat. Seorang yang tekun melakukan salat

niscaya akan terhindar dari segala perbuatan yang tidak terpuji, perbuatan kotor

dan lain sebagainya. Salat akan memberikan keutamaan yang besar bagi seseorang

yang mau mengamalkannya.96

94
Nasaruddin Razak, op.cit. hlm. 65.
95
Q.S. al-Kaus|ar (108) : 1-2.
96
Q.S. al-Ankabu>t (29): 45.
Tampaknya uraian di atas memang benar apabila salat disebut sebagai

“kunci” dari serentetan amal ibadah yang terkandung dalam agama Islam. Salat

memiliki keutamaan dan keistimewaan besar khususnya bagi umat Islam. Ditinjau

dari sudut agama, salat memberikan dampak yang tinggi dalam mengangkat

derajat manusia, baik di sisi Allah sebagi penciptanya, maupun di hadapan sesama

manusia. Salat pula mengangkat harkat dan martabat manusia menjadi terpuji dan

luhur, sehingga mampu mewujudkan kemaslahatan, keselamatan dan

kesejahteraan dalam kehidupan manusia, baik di bumi ini hingga memasuki

kehidupan di akhirat nanti.

Salat juga memiliki dampak positif dari sudut pandang psikologi bagi

manusia, khususnya umat Islam. Salat mengandung unsur-unsur terapeutik yang

berguna bagi kesehatan, baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Semakin

banyak salat, maka semakin banyak dampak positif yang akan diperoleh oleh

orang yang melaksanakannya.

Selain itu, apabila salat dilakukan secara berjamaah, maka salat memiliki

keistimewaan lagi. Salat berjamaah akan menciptakan suasana demokratis yaitu

pembagian tugas sebagai imam, muazin, pembaca iqamat dan sebagainya. Ketika

imam salat terpilih, maka makmum harus mengikuti segala gerakan salat imam

dengan tertib.97 Menurut Fuad Mohammad Fachruddin, salat berjamaah

seumpama sebuah negara, karena di dalam salat terdapat syarat-syarat yang

diperlukan untuk mendirikan sebuah negara. Ia mengatakan salat memberi bentuk

97
Sentot Haryanto, op.cit., hlm. 117-128.
negara Islam.98

Keistimewaan salat berjamah lainnya adalah menciptakan rasa saling

peduli, saling memiliki, kebersamaan, menghapus kesenjangan sosial, terapi

lingkungan dan problem solving.99

Penjelasan tentang pengertian tentang kepemimpinan dan salat di atas,

mengindikasikan adanya hubungan antara keduanya. Kualitas salat yang

dilaksanakan bisa menjadi ukuran terhadap baik-buruknya seorang pemimpin.

Dengan melaksanakan salat yang benar, pemimpin sebagai seorang manusia

diharapkan selalu mendapat ketenangan dan petunjuk dari Tuhannya sehingga ia

berada di jalan yang benar dan akan kembali ke jalan yang benar di kala ia

melakukan kesalahan selama menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Salat juga

mengajarkan dan melatih berdemokrasi dan berorganisasi, jika dilakukan secara

berjamaah. Namun demikian, hal ini belum tentu sesuai dengan kandungan yang

dimaksud oleh hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat

yang diteliti ini. Akan tetapi, pembahasan ini penting untuk mendukung dan

membantu dalam penelitian hadis ini.

BAB III
INTERPRETASI TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG

SEBURUK-BURUK PEMIMPIN SELAMA

MENEGAKKAN SALAT

98
Fuad Mohammad Fachruddin, Pemikiran Politik Islam (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu
Jaya, 1988), hlm. 2.
99
Sentot Haryanto, op.cit., hlm. 128-152.
Redaksi Hadis-hadis tentang Seburuk-buruk Pemimpin selama Menegakkan

Salat

Memahami hadis yang membicarakan tentang seburuk-buruk pemimpin

selama menegakkan salat memerlukan adanya pelacakan terhadap hadis-hadis lain

yang setema. Upaya ini dilakukan untuk membantu pemahaman terhadap hadis itu

sendiri.

Penelusuran hadis-hadis lain yang setema dilakukan dengan mengadakan

penelitian melalui Takhrij al-H}adi>s| dengan cara penelusuran berdasarkan

topik atau tema hadis (maudu>‘ al-h}adi>s|) yaitu “‘Adamu Muna>baz|ah

Syira>r al-A’immah ma> Aqa>mu> al-S}ala>h” dengan menggunakan kitab

Mifta>h Kunu>z al-Sunnah 100


, dibantu penelusuran melalui CD Program
101
Mausu>‘ah al-H}adi>>s| al-Syari>f dengan tema “Muwa>faqah Syira>r al-

A’immah ma> Aqa>mu> al-S}ala>h”. Penelusuran hadis juga dilacak melalui

kata dalam matan hadis, yaitu “khiya>r” sebagai kata awal matan, dengan
102
mengunakan kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi>

dan dibantu dengan CD Program Mausu>‘ah al-H}adi>>s| al-Syari>f.

Penelusuran hadis setema ini memberikan informasi bahwa hadis tentang

seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat ini terdapat dalam beberapa

kitab hadis, yaitu S}ah}i>h} Muslim, Musnad Ah}mad bin H}anbal dan Sunan al-

Da>rimi>.

100
Muh}ammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qi>, Mifta>h Kunu>z al-Sunnah (Beiru>t: Da>r
Ah}ya>’ al-Tura>s| al-‘Arabi>, 2001), hlm. 55.
101
CD Mausu>‘ah al-H{adi>>s| al-Syari>f al-Kutub al-Tis‘ah, Produksi Sakhr, tahun
1991, edisi 1.2.
102
A.J. Wensick, Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H}adi>s| al-Nabawi>>, juz VI
(Leiden: E.J. Brill, 1967), hlm. 186.
Redaksi hadis-hadis setema tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut.

1. S}ah}i>h} Muslim

a. Kita>b al-Ima>rah, ba>b Khiya>r al-A’immah wa Syira>ruhum 103

ِ َ‫ َّدثَنَا اأْل َوْ ز‬ƒƒ‫س َح‬


‫اع ُّي ع َْن‬ َ ُ‫ق ب ُْن إِب َْرا ِهي َم ْال َح ْنظَلِ ُّي أَ ْخبَ َرنَا ِعي َسى ب ُْن يُون‬
ُ ‫َح َّدثَنَا إِس َْح‬
‫ف ب ِْن‬ِ ْ‫و‬ƒƒ‫ةَ ع َْن َع‬ƒَ‫لِ ِم ب ِْن قَ َرظ‬ƒ‫ق ب ِْن َحيَّانَ ع َْن ُم ْس‬ƒ ِ ƒ‫يَ ِزي َد ب ِْن يَ ِزي َد ب ِْن َجابِ ٍر ع َْن ُرزَ ْي‬
‫ا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُ ِحبُّونَهُ ْم‬ƒƒَ‫ال ِخي‬ƒƒ
َ َ‫لَّ َم ق‬ƒƒ‫ ِه َو َس‬ƒƒْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬ƒƒ‫ص‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ ƒƒ‫ك ع َْن َر ُس‬ƒƒ ٍ ِ‫َمال‬
‫ونَهُ ْم‬ƒƒƒ‫ض‬ُ ‫ َرا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُب ِْغ‬ƒƒƒ‫ ُّلونَ َعلَ ْي ِه ْم َو ِش‬ƒƒƒ‫ص‬
َ ُ‫ ُّلونَ َعلَ ْي ُك ْم َوت‬ƒƒƒ‫ُص‬ َ ‫َوي ُِحبُّونَ ُك ْم َوي‬
َ ƒَ‫ْف فَق‬
‫ال اَل‬ƒ ِ ‫ي‬ƒ‫الس‬َّ ِ‫ُول هَّللا ِ أَفَاَل نُنَابِ ُذهُ ْم ب‬ َ ‫يل يَا َرس‬ َ ِ‫َويُب ِْغضُونَ ُك ْم َوت َْل َعنُونَهُ ْم َويَ ْل َعنُونَ ُك ْم ق‬
‫هُ َواَل‬ƒَ‫ا ْك َرهُوا َع َمل‬ƒƒَ‫هُ ف‬ƒَ‫ ْيئًا تَ ْك َرهُون‬ƒ‫صاَل ةَ َوإِ َذا َرأَ ْيتُ ْم ِم ْن ُواَل تِ ُك ْم َش‬
َّ ‫َما أَقَا ُموا فِي ُك ْم ال‬
‫تَ ْن ِز ُعوا يَدًا ِم ْن طَاعَة‬
Artinya: Telah bercerita kepada kami Ish}a>q bin Ibra>hi>m al-
H}anz}ali> bahwa: telah memberitahukan kepada kami ‘I>sa> bin
Yu>nus bahwa: telah bercerita kepada kami al-Auza>‘i> dari Yazi>d bin
Yazi>d bin Ja>bir dari Ruzaiq bin H{ayya>n dari Muslim bin Qaraz}ah
dari ‘Auf bin Ma>lik dari Rasulullah SAW. telah bersabda: “Sebaik-baik
pemimpinmu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pula mencintai
kamu, mereka yang mendoakanmu dan kamu doakan mereka. Sedangkan
seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka
pun membencimu, yang kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.”
Dikatakan: “Wahai Rasulullah, jika demikian, tidakkah kita
menumbangkannya dengan pedang ?” Beliau bersabda: “Tidak, selama
mereka menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Jika kalian melihat dari
penguasa-penguasamu kejelekan yang kamu benci, maka bencilah
perbuatan jeleknya itu saja dan jangan sekali-kali membangkang
terhadapnya.

b. Kita>b al-Ima>rah, ba>b Khiya>r al-A’immah wa Syira>ruhum 104

‫َح َّدثَنَا دَا ُو ُد ب ُْن ُر َش ْي ٍد َح َّدثَنَا ْال َولِي ُد َي ْعنِي ا ْبنَ ُم ْسلِ ٍم َح َّدثَنَا َع ْب ُد الرَّحْ َم ِن ب ُْن َي ِزي َد ب ِْن‬
َ‫ة‬ƒَ‫لِ َم ْبنَ قَ َرظ‬ƒ‫ ِم َع ُم ْس‬ƒ‫ق ب ُْن َحيَّانَ أَنَّهُ َس‬ ُ ƒ‫زَارةَ َوهُ َو ُرزَ ْي‬َ َ‫َجابِ ٍر أَ ْخبَ َرنِي َموْ لَى بَنِي ف‬

103
Abu> al-H}usain Muslim bin al-H{ajja>j ibn Muslim al-Qusyairi> Al-Naisabu>ri>
(selanjutnya disebut Muslim), al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}, jilid VI (Beiru>t: Da>r al-Fikr, [t.t.]), hlm.
24.
104
Ibid.
َّ ‫ َج ِع‬ƒ‫ك اأْل َ ْش‬ƒ
‫واُل‬ƒ ُ‫ي يَق‬ ٍ ƒِ‫ْت عَوْ فَ ْبنَ َمال‬ ُ ‫ك اأْل َ ْش َج ِع ِّي َيقُو ُل َس ِمع‬ ِ ْ‫ا ْبنَ َع ِّم عَو‬
ٍ ِ‫ف ب ِْن َمال‬
‫ا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُ ِحبُّونَهُ ْم‬ƒƒَ‫و ُل ِخي‬ƒƒُ‫لَّ َم يَق‬ƒƒ‫ ِه َو َس‬ƒƒْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬ƒƒ‫ص‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬ ُ ‫ ِمع‬ƒƒ‫َس‬
َ ƒƒ‫ْت َر ُس‬
‫ونَهُ ْم‬ƒƒƒ‫ض‬ ُ ‫ َرا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُب ِْغ‬ƒƒƒ‫ ُّلونَ َعلَ ْي ُك ْم َو ِش‬ƒƒƒ‫ُص‬
َ ‫ ُّلونَ َعلَ ْي ِه ْم َوي‬ƒƒƒ‫ص‬ َ ُ‫َوي ُِحبُّونَ ُك ْم َوت‬
َ‫ك‬ƒƒِ‫ َد َذل‬ƒ‫ ُذهُ ْم ِع ْن‬ƒِ‫ول هَّللا ِ أَفَاَل نُنَاب‬
َ ƒ‫َويُب ِْغضُونَ ُك ْم َوت َْل َعنُونَهُ ْم َويَ ْل َعنُونَ ُك ْم قَالُوا قُ ْلنَا يَا َر ُس‬
ٍ ‫ ِه َو‬ƒ‫اَل ةَ أَاَل َم ْن َولِ َي َعلَ ْي‬ƒ‫الص‬
‫ال‬ َّ ‫ا ُموا فِي ُك ْم‬ƒƒَ‫ا أَق‬ƒ‫اَل ةَ اَل َم‬ƒ‫الص‬ َّ ‫ا ُموا فِي ُك ْم‬ƒƒَ‫ال اَل َما أَق‬
َ َ‫ق‬
ِ ‫أْتِي ِم ْن َمع‬ƒƒَ‫ا ي‬ƒƒ‫ْصيَ ِة هَّللا ِ فَ ْليَ ْك َر ْه َم‬
ِ ƒ‫يَ ِة هَّللا ِ َواَل يَ ْن‬ƒ‫ْص‬
‫دًا‬ƒَ‫زع ََّن ي‬ƒ ِ ‫فَ َرآهُ يَأْتِي َش ْيئًا ِم ْن َمع‬
‫ا‬ƒƒَ‫ا أَب‬ƒƒَ‫ث آهَّلل ِ ي‬
ِ ‫ ِدي‬ƒ‫ق ِحينَ َح َّدثَنِي بِهَ َذا ْال َح‬ ُ ‫ال اب ُْن َجابِ ٍر فَقُ ْل‬
ٍ ‫ت يَ ْعنِي لِ ُرزَ ْي‬ َ َ‫ِم ْن طَا َع ٍة ق‬
‫و ُل‬ƒƒُ‫ا يَق‬ƒƒً‫ْت عَوْ ف‬ ُ ‫ ِمع‬ƒ ‫ْال ِم ْقد َِام لَ َح َّدثَكَ بِهَ َذا أَوْ َس ِمعْتَ هَ َذا ِم ْن ُم ْسلِ ِم ب ِْن قَ َرظَةَ يَقُو ُل َس‬
َ‫ة‬ƒَ‫تَ ْقبَ َل ْالقِ ْبل‬ƒ‫اس‬ َ ƒَ‫لَّ َم ق‬ƒ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
ْ ‫ ِه َو‬ƒ‫ا َعلَى ُر ْكبَتَ ْي‬ƒƒَ‫ال فَ َجث‬ƒ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫َس ِمع‬
َ ‫ْت َرس‬
ُ ‫ال إِي َوهَّللا ِ الَّ ِذي اَل إِلَهَ إِاَّل هُ َو لَ َس ِم ْعتُهُ ِم ْن ُم ْسلِ ِم ب ِْن قَ َرظَةَ يَقُو ُل َس ِمع‬
َ‫وْ ف‬ƒƒَ‫ْت ع‬ َ َ‫فَق‬
ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم و َح َّدثَنَا إِس َْح‬
‫ق ب ُْن ُمو َسى‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫ْت َرس‬ ُ ‫ك يَقُو ُل َس ِمع‬ ٍ ِ‫ْبنَ َمال‬
‫ق َموْ لَى‬ َ َ‫اريُّ َح َّدثَنَا ْال َولِي ُد ب ُْن ُم ْسلِ ٍم َح َّدثَنَا اب ُْن َجابِ ٍر ِبهَ َذا اإْل ِ ْسنَا ِد َوق‬
ٌ ‫ال ُرزَ ْي‬ ِ ‫ص‬َ ‫اأْل َ ْن‬
‫لِ ِم ب ِْن‬ƒ ‫ َد ع َْن ُم ْس‬ƒ ‫ح ع َْن َربِي َعةَ ب ِْن يَ ِزي‬ َ ‫اويَةُ ب ُْن‬
ٍ ِ‫صال‬ ِ ‫ال ُم ْسلِم َو َر َواهُ ُم َع‬ َ َ‫زَارةَ ق‬
َ َ‫بَنِي ف‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ ِم ْثلِ ِه‬
َ ‫ك ع َْن النَّبِ ِّي‬ ِ ْ‫قَ َرظَةَ ع َْن عَو‬
ٍ ِ‫ف ب ِْن َمال‬
Artinya: Telah bercerita kepada kami Da>wud bin Rusyaid bahwa: telah
bercerita kepada kami al-Wali>d yakni Ibnu Muslim bahwa: telah
bercerita kepada kami ‘Abdurrahman bin Yazi>d bin Jabi>r bahwa:
seorang budak dari Bani Faza>rah yang bernama Ruzaiq bin H{ayya>n
telah memberitahukan kepadaku bahwasanya ia telah mendengar Muslim
bin Qaraz}ah putra paman ‘Auf bin Ma>lik al-Asyja>‘i berkata bahwa ia
telah mendengar ‘Auf bin Ma>lik al-Asyja>‘i berkata bahwa ia telah
mendengar Rasululluh SAW. bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah
pemimpin yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu
doakan dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk
pemimpinmu adalah pemimpin yang kamu benci dan mereka pun
membencimu, yang kamu laknat dan mereka pun melaknatmu.” Mereka
(yang hadir saat itu) berkata: “Wahai Nabi, jika demikian, tidakkah kita
menumbangkannya?” Beliau bersabda: “Tidak, selama mereka
menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Tidak, selama mereka
menegakkan salat di tengah-tengah kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di
antara kamu mendapatkan seorang penguasa terpilih, dan melihatnya
berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatan
buruknya tersebut saja dan jangan sekali-kali membangkang terhadapnya.
Ibnu Ja>bir telah berkata: aku telah bertanya kepada Ruzaiq ketika ia
menceritakan hadis ini: " Demi Allah, wahai Abu al-Miqda>m, kamu
benar-benar telah diberitahu atau kamu telah mendengar hadis ini dari
Muslim bin Qaraz}ah yang berkata bahwa ia telah mendengar ‘Auf
berkata bahwasanya ia telah mendengar dari Rasulullah SAW.?" Ibnu
Ja>bir kemudian berkata: Ruzaiqpun berlutut dan menghadap ke arah
kiblat sambil berkata: "Ya, demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, aku
benar-benar telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qaraz}ah yang
berkata bahwa ia telah mendengar ‘Auf bin Ma>lik berkata bahwa ia telah
mendengar dari Rasulullah SAW. Ish}a>q bin Mu>sa> al-Ans}a>ri> juga
telah bercerita kepada kami bahwa al-Wali>d bin Muslim telah bercerita
kepada kami bahwa telah bercerita kepada kami Ibnu Ja>bir dengan isnad
ini, dan Ruzaiq, seorang budak dari Bani Faza>rah telah berkata bahwa
Muslim telah berkata (tentang hadis ini). Mu‘a>wiyah bin S}a>lih} juga
telah meriwayatkan hadis ini dari Rabi>‘ah bin Yazi>d dari Muslim bin
Qaraz}ah dari ‘Auf bin Ma>lik dari Nabi SAW. dengan matan yang sama.

2. Musnad Ah}mad bin H}anbal

a. Kita>b Ba>qi> Musnad al-Ans}a>r, ba>b H}adi>>s| ‘Auf bin Malik al-
105
Asyja>‘i> al-Ans}a>>ri>

‫ال أَ ْخبَ َرنِي َع ْب ُد‬ َ َ‫ال أَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ق‬


َ َ‫ق ق‬ َ ‫َح َّدثَنَا َعبْد اللة َح َّدثَنَي أبي َح َّدثَنَا َعلِ ُّي ب ُْن إِس َْحا‬
‫ ع َْن ُم ْسلِ ِم ب ِْن‬ƒَ‫زَارة‬َ َ‫ق َموْ لَى بَنِي ف‬ ٌ ‫ال َح َّدثَنِي ُز َر ْي‬َ َ‫الرَّحْ َم ِن ب ُْن يَ ِزي َد ب ِْن َجابِ ٍر ق‬
ُ ‫ك يَقو ُل َس ِمع‬
‫ْت‬ ٍ ِ‫ْت عَوْ فَ ْبنَ َمال‬ ُ ‫ال َس ِمع‬ َ َ‫ك ق‬
ٍ ِ‫ف ب ِْن َمال‬ ِ ْ‫قَ َرظَةَ َو َكانَ ا ْبنَ َع ِّم عَو‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل ِخيَا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم َم ْن تُ ِحبُّونَهُ ْم َوي ُِحبُّونَ ُك ْم‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
َ ‫َرس‬
‫ُصلُّونَ َعلَ ْي ُك ْم َو ِش َرا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُب ِْغضُونَهُ ْم َويُب ِْغضُونَ ُك ْم‬ َ ‫صلُّونَ َعلَ ْي ِه ْم َوي‬َ ُ‫َوت‬
‫ال اَل َما أَقَا ُموا لَ ُك ْم‬ َ َ‫ُول هَّللا ِ أَفَاَل نُنَابِ ُذهُ ْم ِع ْن َد َذلِكَ ق‬
َ ‫َوت َْل َعنُونَهُ ْم َويَ ْل َعنُونَ ُك ْم قُ ْلنَا يَا َرس‬
ِ ‫ال فَ َرآهُ يَأْتِي َش ْيئًا ِم ْن َمع‬
‫ْصيَ ِة هَّللا ِ فَ ْليُ ْن ِكرْ َما‬ ٍ ‫صاَل ةَ أَاَل َو َم ْن ُولِّ َي َعلَ ْي ِه أَ ِمي ٌر َو‬
َّ ‫ال‬
‫ْصيَ ِة هَّللا ِ َواَل َي ْن ِزع ََّن َيدًا ِم ْن طَا َع ٍة‬ِ ‫يَأْتِي ِم ْن َمع‬
Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abdulla>h bahwa ayahnya telah
bercerita kepadanya: telah bercerita kepada kami ‘Ali> bin Is}ha>q, ia
telah berkata: ‘Abdulla>h telah bercerita kepada kami, ia telah berkata:
telah bercerita kepadaku ‘Abdurrah}ma>n bin Yazi>d bin Ja>bir, ia
berkata bahwa Ruzaiq, seorang budak dari Bani Faza>rah dari Muslim bin
Qaraz}ah, yaitu putra paman ‘Auf bin Ma>lik, telah bercerita kepadanya,
ia berkata bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
Rasulullah SAW. bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah pemimpin
yang kamu cintai dan mereka pula mencintai kamu, yang kamu doakan

105
Ah}mad bin H}anbal, Musnad li al-Ima>m Ah}mad bin H}anbal wa biha>misyihi
Muntakhab Kanz al-‘Umma>l fi> sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l, jilid VI (Beiru>t: Da>r al-Fikr,
[t.t.]), hlm. 24.
dan mereka pula mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu
adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, yang
kamu laknat dan mereka melaknatmu pula.” Kami berkata: “Wahai
Rasulullah, tidakkah kita menumbangkannya jika demikian ?” Beliau
menjawab: “Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah
kamu. Ketahuilah! Barangsiapa di antara kamu mendapatkan seorang amir
terpilih, dan menemukannya berbuat pelanggaran (maksiat) kepada Allah,
maka ingkarilah (tidak membenarkan) perbuatan maksiatnya itu, dan
jangan kamu membangkang terhadapnya.

b. Kita>b Ba>qi> Musnad al-Ans}a>r, ba>b H}adi>>s| ‘Auf bin Malik al-
106
Asyja>‘i> al-Ans}a>>ri>

‫ضالَةَ ع َْن َربِي َعةَ ب ِْن يَ ِزي َد‬ َ َ‫ال أ نَا فَ َر ُج ب ُْن ف‬ َ َ‫َح َّدثَنَا َعبْد اللة َح َّدثَنَي أبي ثَنَا يَ ِزي ُد ق‬
‫ال‬َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫ك ع َْن النَّبِ ِّي‬ ٍ ِ‫ف ب ِْن َمال‬ ِ ْ‫ع َْن ُم ْسلِ ِم ب ِْن قَ َرظَةَ ع َْن عَو‬
‫ُصلُّونَ َعلَ ْي ُك ْم‬ َ ‫صلُّونَ َعلَ ْي ِه ْم َوي‬ َ ُ‫ِخيَا ُر ُك ْم َو ِخيَا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُ ِحبُّونَهُ ْم َوي ُِحبُّونَ ُك ْم َوت‬
‫َو ِش َرا ُر ُك ْم َو ِش َرا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُب ِْغضُونَهُ ْم َويُب ِْغضُونَ ُك ْم َوت َْل َعنُونَهُ ْم َويَ ْل َعنُونَ ُك ْم‬
ٍ ‫س أَاَل َو َم ْن َعلَ ْي ِه َو‬
‫ال‬ َ ‫صلَّوْ ا لَ ُك ْم ْالخَ ْم‬
َ ‫ال اَل َما‬ َ َ‫ُول هَّللا ِ أَفَاَل نُقَاتِلُهُ ْم ق‬َ ‫قَالُوا يَا َرس‬
‫اصي هَّللا ِ فَ ْليَ ْك َر ْه َما أَتَى َواَل تَ ْن ِز ُعوا يَدًا ِم ْن طَا َعتِ ِه‬ ِ ‫فَ َرآهُ يَأْتِي َش ْيئًا ِم ْن َم َع‬
Artinya: Telah bercerita kepada kami ‘Abdulla>h bahwa ayahnya telah
bercerita kepadanya bahwa Yazi>d telah bercerita kepadanya, ia berkata
bahwa telah bercerita kepadanya Faraj bin Fad}a>lah dari Rabi>‘ah bin
Yazi>d dari Muslim bin Qaraz}ah dari ‘Auf bin Ma>lik dari Nabi SAW.,
beliau telah bersabda: “Sebaik-baik orang di antaramu dan sebaik-baik
pemimpinmu adalah mereka kamu yang cintai dan mereka mencintaimu,
yang kamu doakan dan mereka mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk
orang di antaramu dan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang
kamu benci dan mereka membencimu, yang kamu laknat dan mereka
melaknatmu.” Mereka (para sahabat) berkata: “wahai Rasulullah, tidakkah
kita memerangi mereka ?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka
mengerjakan salat lima waktu di antara kamu. Ketahuilah ! Barangsiapa di
antara kamu terdapat penguasa dan melihatnya berbuat pelanggaran
(maksiat) kepada Allah, maka bencilah perbuatannya itu saja dan jangan
sekali-kali kamu membangkang terhadapnya.

3. Sunan al-Da>rimi>

Kita>b al-Riqa>q, Ba>b Fi> T}a>>‘ah wa Luzu>m al-Jama>‘ah 107

106
Ibid., hlm. 28.
107
‘Abdullah bin ‘Abd al-S}amad al-Samarqandi> al-Da>rimi>, Sunan al-Da>rimi>, jilid
II (Beiru>t: Da>r al-Fikr, [t.t.]), hlm. 324.
‫ابِ ٍر‬ƒƒ‫ َد ب ِْن َج‬ƒ ‫رَّحْ َم ِن ب ِْن يَ ِزي‬ƒ ‫ك أَنَا ْال َولِي ُد ب ُْن ُم ْسلِ ٍم ع َْن َع ْب ِد ال‬ َ َ‫َح َّدثَنَا ْال َح َك ُم ب ُْن ْال ُمب‬
ِ ‫ار‬
‫ي‬َّ ‫زَارةَ أَنَّهُ َس ِم َع ُم ْسلِ َم ْبنَ قَ َرظَةَ اأْل َ ْش َج ِع‬
َ َ‫ق ب ُْن َحيَّانَ َموْ لَى بَنِي ف‬ ُ ‫ال أَ ْخبَ َرنِي ُز َر ْي‬ َ َ‫ق‬
‫ ِه‬ƒْ‫لَّى هَّللا ُ َعلَي‬ƒ‫ص‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
َ ƒ‫ْت َر ُس‬ُ ‫ ِمع‬ƒ‫ي يَقُو ُل َس‬ َّ ‫ك اأْل َ ْش َج ِع‬ٍ ِ‫ْت عَوْ فَ ْبنَ َمال‬ ُ ‫يَقُو ُل َس ِمع‬
َ‫لُّون‬ƒƒ‫ُص‬ َ ُ‫ا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُ ِحبُّونَهُ ْم َوي ُِحبُّونَ ُك ْم َوت‬ƒƒَ‫و ُل ِخي‬ƒƒُ‫لَّ َم يَق‬ƒƒ‫َو َس‬
َ ‫لُّونَ َعلَ ْي ِه ْم َوي‬ƒƒ‫ص‬
‫َعلَ ْي ُك ْم َو ِش َرا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُب ِْغضُونَهُ ْم َويُب ِْغضُونَ ُك ْم َوت َْل َعنُونَهُ ْم َويَ ْل َعنُونَ ُك ْم قُ ْلنَا أَفَاَل‬
‫ ِه‬ƒ‫اَل ةَ أَاَل َم ْن ُولِّ َي َعلَ ْي‬ƒ ‫الص‬ َّ ‫ا ُموا فِي ُك ْم‬ƒƒَ‫ا أَق‬ƒƒ‫ال اَل َم‬ƒ َ ƒَ‫ُول هَّللا ِ ِع ْن َد َذلِكَ ق‬َ ‫نُنَابِ ُذهُ ْم يَا َرس‬
ِ ‫أْتِي ِم ْن َمع‬ƒƒَ‫ا ي‬ƒƒ‫ْصيَ ِة هَّللا ِ فَ ْليَ ْك َر ْه َم‬
ِ ƒ‫يَ ِة هَّللا ِ َواَل يَ ْن‬ƒ‫ْص‬
‫زع ََّن‬ƒ ِ ‫ال فَ َرآهُ يَأْتِي َش ْيئًا ِم ْن َمع‬ٍ ‫َو‬
‫لِ ِم ب ِْن‬ƒ‫ َذا ِم ْن ُم ْس‬ƒَ‫ ِمعْتَ ه‬ƒ‫د َِام أَ َس‬ƒ‫ا ْال ِم ْق‬ƒƒَ‫ا أَب‬ƒƒَ‫ت آهَّلل ِ ي‬
ُ ‫ابِ ٍر فَقُ ْل‬ƒƒ‫ال اب ُْن َج‬
َ َ‫يَدًا ِم ْن طَا َع ٍة ق‬
َ َ‫قَ َرظَةَ فَا ْستَ ْقبَ َل ْالقِ ْبلَةَ َو َجثَا َعلَى ُر ْكبَتَ ْي ِه فَق‬
ُ ‫ال آهَّلل ِ لَ َس ِمع‬
َ‫ة‬ƒƒَ‫ْت هَ َذا ِم ْن ُم ْسلِ ِم ب ِْن قَ َرظ‬
‫لَّ َم‬ƒƒ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ك يَقُو ُل َس ِمع‬
َ ‫ْت َرس‬ ُ ‫يَقُو ُل َس ِمع‬
ٍ ِ‫ْت َع ِّمي عَوْ فَ ْبنَ َمال‬
.ُ‫يَقُولُه‬
Artinya: Telah bercerita kepadaku al-H{akam bin al-Muba>rak bahwa al-
Wali>d bin Muslim telah bercerita kepada kami dari ‘Abdurrah}ma>n bin
Yazi>d bin Ja>bir bahwa ia telah berkata bahwa Ruzaiq bin H}ayya>n,
seorang budak dari Bani Faza>rah telah memberitahuku bahwa ia telah
mendengar Muslim bin Qaraz}ah al-Asyja>‘i> berkata bahwa ia telah
mendengar ‘Auf bin Ma>lik al-Asyja>‘i> berkata bahwa ia telah
mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Sebaik-baik pemimpinmu adalah
mereka yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, yang kamu doakan
dan mereka mendoakanmu. Sedangkan seburuk-buruk pemimpinmu
adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, yang kamu
laknat dan mereka melaknatmu.” Kami (para sahabat) berkata: “Tidakkah
kita menumbangkannya, wahai Rasulullah, jika demikian ?” Beliau
menjawab: “Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah-tengah
kamu. Ketahuilah ! Barangsiapa di antara kamu yang mendapatkan
seorang penguasa terpilih, dan melihatnya berbuat pelanggaran (maksiat)
kepada Allah, maka bencilah perbuatan maksiatnya itu saja dan jangan
sekali-kali membangkang terhadapnya. Ibnu Ja>bir telah berkata: aku
telah bertanya: " Demi Allah, wahai Abu al-Miqda>m (Ruzaiq), apakah
kamu benar-benar telah mendengar hadis ini dari Muslim bin Qaraz}ah ?
Seketika itu Ruzaiqpun menghadap ke arah kiblat dan berlutut kemudian
berkata: "Demi Allah, aku benar-benar telah mendengar hadis ini dari
Muslim bin Qaraz}ah yang berkata bahwasanya ia telah mendengar
pamannya ‘Auf bin Ma>lik berkata bahwa ia telah mendengar dari
Rasulullah SAW. menyabdakan hadis ini.
Penelitian hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat

ini kemudian difokuskan kepada hadis riwayat Imam Muslim dari Da>wud bin

Rusyaid, karena hadis ini telah disahihkan oleh al-Alba>ni108, al-Suyu>t}i>109 dan al-

Bagawi>110.

Kajian Otentisitas Hadis

Kajian otentisitas hadis ini merupakan tahapan penting. Hal ini

berdasarkan asumsi bahwa tidak mungkin akan terjadi pemahaman yang sahih

bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dipahami itu secara historis otentik.111

Berbeda dengan Al-Qur’an, ia merupakan teks kitab suci yang otentik,

karena pengalihan (transmisi) Al-Qur’an adalah transmisi tekstual. Al-Qur’an

merupakan wahyu in verbatim, yakni sama persis dengan kata-kata yang

diucapkan pertama kali karena ditulis segera setelah pewahyuan di bawah

pengawasan dan koreksi Nabi sendiri, sedangkan hadis mengalami perjalanan

historis yang panjang sebelum menjadi wacana tekstual seperti dalam kitab-kitab

hadis. Hadis masih mengalami transmisi lisan, transmisi praktek kemudian baru

memasuki tahap tradisi pengalihan tulisan.

Untuk itu, sebelum memasuki tahap penafsiran dan pemahaman, problem

otentisitas dan orisinalitas ini harus diselesaikan terlebih dahulu. Memperoleh


108
Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni>> (selanjutnya disebut al-Alba>ni>>),
S}ah}i>h} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r wa Ziya>dah al-Fath} al-Kabi>r, jilid II (Beiru>t: al-Maktab al-
Isla>mi>, [t.t.]), hlm. 619.
109
Jala>l al-Di>n ‘Abdurrah}ma>n bin Abi> Bakr al-Suyu>t}i> (selanjutnya disebut al-
Suyu>t}i>>), al-Ja>mi‘ al-S{agi>r fi> Ah}a>di>s| al-Basyi>r al-Naz|i>r , jilid II ([t.k.]: Da>r
al-Fikr, [t.t.]), hlm. 8.
110
Abu> Muh}ammad al-H}usain bin Mas‘u>d al-Bagawi>> (selanjutnya disebut al-
Bagawi>>), Syarh} al-Sunnah, jilid V (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm. 302-303.
111
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada perkembangan Hukum
Islam (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 155-156.
pemahaman yang tepat terhadap hadis, perlu ditemukan indikasi-indikasi yang

relevan dengan teks hadis yang bersangkutan, yang dapat diketahui melalui

ijtihad. Namun, kegiatan pencarian indikasi ini baru dilakukan setelah diketahui

secara jelas bahwa sanad hadis yang bersangkutan berkualitas sahih atau minimal

hasan.112

Analisis Sanad

Meskipun Imam Muslim dalam muqaddimah (pendahuluan) kitabnya

menyebutkan bahwa hadis-hadis yang dimasukkan dalam kitab hadisnya adalah

hadis-hadis yang disepakati kesahihannya,113 hal ini tidaklah menjamin bahwa

semua hadis dalam kitab hadisnya termasuk hadis tentang seburuk-buruk

pemimpin selama menegakkan salat yang diriwayatkannya adalah berkualitas

sahih.

Oleh karena itu, dalam menilai kualitas hadis yang diteliti ini dari segi

sanadnya menggunakan asumsi ulama hadis lain yang mensahihkannya. Di antara

ulama yang mensahihkan hadis riwayat Imam Muslim dari Da>wud bin Rusyaid

adalah al-Alba>ni>, al-Suyu>t}i> dan al-Bagawi>.114

112
Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma’an al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987) hlm. 5.
113
Yah}ya>} bin Syaraf al-Nawaw}i> (selanjutnya disebut al-Nawaw}i> ), S}ah}i>h}
Muslim: Syarh} al-Ima>m al-Nawa>wi>, jilid I (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1983), hlm. 16. Menurut
Ibnu S}alah} perkataan Muslim dalam Muqaddimah kitabnya memiliki dua makna. Pertama, ia
tidak memasukkan di dalam kitabnya hadis-hadis yang menurutnya telah memenuhi syarat-syarat
hadis sahih yang disepakati, walaupun terpenuhinya syarat-syarat ini hanya pada sebagian ulama,
tidak jelas pada sebagian ulama yang lain. Kedua, ia tidak memasukkan tidak memasukkan ke
dalam kitab hadisnya, hadis-hadis yang didebatkan oleh ulama s|iqah secara keseluruhan meliputi
matan dan sanad, tetapi ia hanya memasukkan hadis yang tidak didebatkan rawinya saja. Ibnu
S}alah} juga mengatakan bahwa semua hadis yang dihukumkan sahih menurut Imam Muslim
dalam kitabnya dapat dipastikan kesahihannya. Lihat: ibid., hlm. 19.
114
Al-Alba>ni>, loc.cit.; al-Suyu>t}i>, loc.cit.; dan al-Bagawi>, loc.cit.
Analisis Matan

Penelitian matan hadis pada bagian ini tidak sama dengan upaya

ma‘a>ni> al-h}adi>s|. Penelitian matan ini berupaya meneliti kebenaran teks

sebuah hadis (informasinya) yaitu apakah matan hadis benar-benar (orisinal)

berasal dari Nabi SAW. Adapun kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam

ma‘a>ni> al-h}adi>s| berupaya untuk memahami hadis dan syarah hadis, bukan

bertujuan mencari validitas sebuah matan.

Jika matan hadis diamati dan dianalisa, maka apa yang disampaikan di

dalamnya dapat masuk akal. Seorang pemimpin yang mencintai dan mendoakan

rakyatnya, dan begitu sebaliknya dengan rakyatnya yang juga mencintai dan

mendoakannya bisa disebut sebagai sebaik-baik pemimpin. Rasa cinta yang

dimiliki seorang pemimpin terhadap rakyatnya akan berwujud kepedulian dan

perhatian kepada yang dicintanya, yaitu rakyat yang dipimpinnya, berupa usaha

untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Dengan melihat besarnya perhatian

dan usaha yang pemimpin lakukan demi rakyatnya, tentunya rakyat akan

mencintainya pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kedua belah

pihak saling mendoakan dan mendukung.

Begitu pula seburuk-buruk pemimpin akan dibenci dengan sendirinya oleh

rakyat, akibat ulahnya yang tidak melaksanakan amanat yang diembannya, bahkan

menyengsarakan rakyat. Pemimpin dapat berbuat demikian, karena

ketidakcintaannya kepada rakyat, malah sebaliknya ia membenci rakyat yang

dipimpinnya sendiri. Dengan demikian, isi matan ditinjau dari akal dapat diterima.

Selanjutnya, jika dilihat dari sisi susunan lafalnya, terdapat beberapa


perbedaan ketika diterapkan metode muqa>ranah (perbandingan) antara susunan

lafal masing-masing redaksi hadis. Perbandingan ini tidak hanya dimaksudkan

untuk upaya konfirmasi atas hasil penelitian yang telah ada saja, tetapi juga

sebagai upaya lebih mencermati susunan matan yang lebih dapat

dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari Nabi SAW. Kegiatan

perbandingan susunan lafal hadis ini, menghasilkan beberapa hal sebagai berikut.

a) Pada hadis riwayat yang diriwayatkan Muslim dari Da>wud bin Rusyaid,

Ish}a>q bin Mu>sa> al-Ans}a>ri> dan Mu‘a>wiyah bin S}a>lih}

mempunyai redaksi yang sama, artinya tidak ada perbedaan lafal.115 Hal ini

berarti hadis diriwayatkan secara lafz}i>.

b) Redaksi hadis lain yang serupa dengan redaksi yang diriwayatkan Muslim

dari Da>wud bin Rusyaid adalah hadis riwayat Ah}mad bin H}anbal dari

jalur ‘Ali> bin Is}ha>q dan hadis riwayat al-Da>rimi dari jalur al-H{akam

bin al-Muba>rak. Namun perbedaan susunan lafal di dalamnya tidak

mengubah makna, sehingga hal ini dapat ditoleransi.

c) Adapun hadis riwayat Muslim dari Ish}a>q bin Ibra>hi>m al-H}anz}ali

memang serupa dengan hadis riwayat Muslim dari Da>wud bin Rusyaid,

namun di dalamnya terdapat tambahan kata bi al-syaif yang tidak

disebutkan dalam riwayat lain. Tambahan (ziya>dah)116 kata tersebut dapat

115
Sebenarnya perbedaan lafal dalam matan dapat terjadi karena telah terjadi periwayatan
secara makna dalam periwayatan hadis, di samping ada kemungkinan periwayat hadis yang
bersangkutan telah mengalami kesalahan. Menurut ulama hadis, perbedaan lafal yang tidak
mengakibatkan perbedaan makan, asalkan sanadnya sama-sama sahih, maka hal itu dapat
ditoleransi. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), hlm. 131.
116
Arti bahasa kata ziya>dah adalah “tambahan”. Mneurut istilah ilmu hadis, ziya>dah
pada matan adalah tambahan lafal ataupun kalimat (pernyataan) yang terdapat dalam matan,
tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedang periwayat yang lainnya tidak
diartikan sebagai penegas dari kata afala> nuna>biz|uhum dan tidak
117
mengubah makna. Tambahan ini juga bisa disebut idraj jika tambahan

itu merupakan tafsiran dari periwayat, bukan dari Nabi SAW.

d) Hadis riwayat Ah}mad bin H}anbal dari jalur Yazi>d menyebutkan redaksi

yang berbeda dengan adanya penambahan lafal khiya>rukum.dalam matan

hadis. Berikut redaksinya:

‫لِ ِم ْب ِن‬ƒ‫ َد ع َْن ُم ْس‬ƒ‫ ةَ ْب ِن يَ ِزي‬ƒ‫الَةَ ع َْن َربِي َع‬ƒ‫ض‬ َ َ‫ َر ُج ب ُْن ف‬ƒَ‫ا ف‬ƒƒَ‫ا َل أَ ْنبَأَن‬ƒƒَ‫ ُد ق‬ƒ‫َح َّدثَنَا يَ ِزي‬
‫ا ُر ُك ْم‬ƒَ‫ا َل ِخي‬ƒƒَ‫لَّ َم ق‬ƒ‫ ِه َو َس‬ƒ‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ƒ‫ص‬
َ ‫ك ع َْن النَّبِ ِّي‬ƒ
ٍ ƒِ‫ف ب ِْن َمال‬ ِ ْ‫و‬ƒƒ‫ةَ ع َْن َع‬ƒَ‫قَ َرظ‬
‫لُّونَ َعلَ ْي ُك ْم‬ƒƒ‫ُص‬َ ‫لُّونَ َعلَ ْي ِه ْم َوي‬ƒƒ‫ص‬َ ُ‫ا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُ ِحبُّونَهُ ْم َوي ُِحبُّونَ ُك ْم َوت‬ƒƒَ‫َو ِخي‬
‫ونَهُ ْم‬ƒƒƒُ‫ونَ ُك ْم َوت َْل َعن‬ƒƒƒ‫ض‬
ُ ‫ونَهُ ْم َويُب ِْغ‬ƒƒƒ‫ض‬ُ ‫ َرا ُر أَئِ َّمتِ ُك ْم الَّ ِذينَ تُب ِْغ‬ƒƒƒ‫ َرا ُر ُك ْم َو ِش‬ƒƒƒ‫و َِش‬
‫س أَاَل‬
َ ‫لَّوْ ا لَ ُك ْم ْال َخ ْم‬ƒ‫ص‬
َ ‫ا‬ƒ‫ا َل اَل َم‬ƒَ‫اتِلُهُ ْم ق‬ƒَ‫ول هَّللا ِ أَفَاَل نُق‬
َ ƒ‫َويَ ْل َعنُونَ ُك ْم قَالُوا يَا َر ُس‬
ِ ‫ال فَ َرآهُ يَأْتِي َش ْيئًا ِم ْن َم َعا‬
‫وا‬ƒƒ‫ا أَتَى َواَل تَ ْن ِز ُع‬ƒƒ‫ َر ْه َم‬ƒ‫صي هَّللا ِ فَ ْليَ ْك‬ ٍ ‫َو َم ْن َعلَ ْي ِه َو‬
.‫يَدًا ِم ْن طَا َعتِ ِه‬

Redaksi hadis di atas dapat dikatakan sebagai hadis yang diriwayatkan

secara makna (riwa>yah bi al-ma‘na). Riwa>yah bi al-ma‘na ini diperbolehkan

sepanjang tidak mengubah artinya. Sedangkan dalam hadis riwayat Ah}mad bin

H}anbal ini tidak mengubah arti, hanya saja menambahkan bahwa kriteria baik

mengemukakannya. Menurut Ibnu S}alah, ziya>dah ada tiga macam, yakni : (a) ziya>dah yang
berasal dari periwayat yang s|iqah yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh
banyak periwayat yang bersifat s|iqah juga; ziya>dah ini ditolak dan ziya>dah ini termasuk hadis
sya>z|.(b) ziya>dah yang berasal dari periwayat yang s|iqah yang isinya tidak bertentangan
dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat s|iqah juga; ziya>dah ini dapat
diterima. (c) ziya>dah yang berasal dari periwayat s|iqah berupa sebuah lafal yang mengandung
arti tertentu, sedang para periwayat lain yang bersifat s|iqah tidak mengemukakannya. Lihat: ibid.,
hlm. 137.
117
Idraj secara bahasa berarti memasukkan atau menghimpunkan. Menurut pengertian
ilmu hadis, idraj berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu
matan hadis yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal
dari Nabi karena tidak adanya penjelasan dalam matan hadis itu. Lihat: ibid., hlm. 138.
dan buruk seorang pemimpin sama dengan kriteria baik dan buruk orang secara

umum. Namun karena hadis ini mempunyai sanad lemah diakibatkan salah satu

rawinya yang bernama Faraj bin Fad}a>lah dinilai daif,118 maka dengan

sendirinya tambahan (ziya>dah) dalam hadis ini tidak dapat diterima, meskipun

tidak bertentangan.

Pemaknaan Hadis

1) Kajian Konfirmatif

Al-Qur'an adalah sumber ajaran Islam yang tertinggi, sedangkan hadis adalah

sumber ajaran Islam kedua. Al-Qur'an bernilai qat}‘i>, sedangkan hadis pada

dasarnya bersifat z}anni>. Oleh karena itu hadis yang juga berfungsi sebagai

penjelas (baya>n) terhadap al-Qur'an, tidak mungkin bertentangan dengan al-

Qur'an.119 Bahkan Nurcholish Madjid menegaskan bahwa hadis Nabi, khususnya

dari segi dinamik dan mendasar dapat lebih banyak diketahui dari kitab suci al-

Qur'an daripada kumpulan kitab hadis.120 Dengan demikian, konfirmasi terhadap

ayat-ayat al-Quran penting untuk dilakukan, untuk memperkuat posisi hadis dan

memperoleh petunjuk-petunjuk dari al-Qur'an yang dapat mendukung pemahaman

terhadap hadis itu sendiri.

Salah satu ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema hadis adalah ayat 59

118
Mengenai silsilah rawi hadis dan statusnya dapat dilihat dalam: CD Mausu>‘ah al-
Hadi>>s| al-Syari>f al-Kutub al-Tis‘ah, Produksi Sakhr, tahun 1991, edisi 1.2.
119
M. Syuhudi Ismail, Metodologi ….., hlm. 126-129.
120
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Perkembangan Hukum
Islam (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm. 153.
dari surat al-Nisa>’ (4) menyebutkan:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan
Rasul dan (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” 121

Kata "ulil amri" dalam ayat di atas menunjuk kepada penguasa yang

bertanggung jawab atas wilayahnya (pemerintah). Ayat ini menegaskan bahwa

selain umat Islam patuh dan taat kepada Tuhan dan Rasul-Nya, mereka juga

diwajibkan taat kepada penguasa mereka. Jika dibandingkan dengan hadis tentang

seburuk-buruk pemimpin ini yang juga menyiratkan adanya keharusan taat kepada

pemimpinnya yaitu penguasa, maka ayat ini menguatkannya.

Ayat 55-56 dalam surat al-Ma>idah (5) 122 menyebutkan:

Sesungguhnya penolong hanyalah Allah dan rasul-Nya dan orang-orang


yang beriman yang ciri-cirinya tetap mengerjakan salat dan menunaikan
zakat lagi pula mereka tunduk kepada Allah. Dan barangsiapa memilih
Allah, rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi pemimpinnya,
maka sesungguhnya pengikut golongan Allah yang menjadi pemenang .

121
Tim Penterjemah al-Quran, al-Qur'an dan Terjemahnya (Madinah: Mujamma‘
Kha>dim al-H{aramain al-Syari>fain al-Ma>lik Fahd li al-T}aba>‘ah al-Mus}h}af al-Syari>f,
1412 H.), hlm. 128.
122
Ibid, hlm. 169-170.
Kata waliyyukum dalam ayat di atas dapat diartikan sebagai penolong dan

pemimpin. Dalam hal ini pemimpin dapat termasuk di dalam arti penolong,

karena pemimpin bertugas melindungi orang-orang yang dipimpinnya dan

berusaha menolong serta menyelamatkan mereka saat kesulitan dan bencana

menimpa, karena pemimpinlah yang bertanggung jawab atas segala hal yang ada

dan yang terjadi dalam wilayahnya serta ihwal orang-orang yang dipimpinnya.

Seorang pemimpin dipilih adalah untuk memimpin anggota kelompoknya untuk

dapat mewujudkan tujuan bersama. Dengan demikian ciri-ciri yang disebutkan

dalam ayat itu termasuk ciri-ciri pemimpin juga. Jika ditinjau dari ayat tersebut,

maka apa yang disampaikan dalam hadis tentang seburuk-buruk pemimpin selama

menegakkan salat bersesuaian dengannya.

Selain itu, al-Qur'an menyatakan dalam surat A>li Imran (3) ayat 132: “Dan

taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” Pada ayat 135 surat A>li

Imran juga disebutkan: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan

perbuatan-perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri123, mereka ingat akan Allah,

lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat

mengampuni dosa selain daripada Allah ? Dan mereka tidak meneruskan

perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”124 Ayat ini menyiratkan bahwa

orang yang patuh terhadap Tuhannya –yang mengindikasikan juga kepada patuh

kepada Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya- dan senantiasa ingat kepada-Nya

akan lebih diberi kesempatan untuk mendapat petunjuk dari Tuhan, sehingga
123
Yang dimaksud perbuatan keji ialah dosa besar yang akibat buruk (mud}ara>t ) tidak
hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya sendiri ialah
melakukan dosa besar yang akibat buruknya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau
kecil. Lihat: ibid.
124
Ibid.
ketika melakukan kesalahan, ia seakan ditegur untuk kembali ke jalan yang benar.

Inilah salah satu bentuk rahmat dari Allah. Apabila isi hadis yang bersangkutan

dihadapkan dengan ayat ini, maka tidak bertentangan. Dalam hadis ini disebut

kata salat, sedangkan salat adalah sarana untuk mengingat dan menemui Allah

serta memohon petunjuknya.125 Dengan demikian pemimpin yang melaksanakan

salat akan mendapat rahmat dan petunjuk dari Allah.

Ditinjau daripenjelasan di atas, hadis riwayat Muslim tentang seburuk-buruk

pemimpin selama menegakkan salat tidak bertentangan dengan al-Qur’an, bahkan

sangat sesuai. Oleh karena itu, hadis ini dapat diterima berdasarkan al-Qur’an

bahkan memperkuat ayat-ayat al-Qur'an dan menjelaskannya (baya>n).

2) Kajian Tematik-Komprehensif

Langkah selanjutnya adalah meneliti kandungan hadis dengan

mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang berkaitan dengan

hadis bersangkutan, untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dan

komprehensif.

Nabi SAW telah menyatakan bahwa ada tujuh macam orang yang bakal

bernaung di bawah naungan Allah di akhirat nanti yang di antaranya adalah imam

atau pemimpin yang adil.126 Dari hadis ini, seorang pemimpin yang adil pastilah

dia memperhatikan dan mengutamakan kepentingan bersama. Jika ditinjau dari

hadis ini, maka sebaik-baik pemimpin dalam hadis yang diteliti ini berarti

125
Sentot Haryanto, Psikologi Shalat: Kajian Aspek-aspek Psikologis Ibadah Shalat
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 163-164.
126
Muh}ammad bin Isma>‘i>l Abu> ‘Abdulla>h al-Bukha>ri> al-Ja‘fa> (selanjutnya
disebut al-Bukhari>), S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, jilid VI (Beiru>t: Da>r Ibnu Kas|i>r, 1987), hlm.
2496.
pemimpin yang adil. Karena keadilan merekalah, maka rakyat yang mereka

pimpin mencintai dan mendukung serta mendoakan mereka.

Hadis lain yang berkaitan dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin

selama menegakkan salat adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-

Turmu>z|i>, Abu> Da>wud dan Ah}mad bin H}anbal. Redaksi hadis yang

dimaksud adalah sebagai berikut.127

‫ظُ أِل َبِي‬ƒ‫ا ٍذ َواللَّ ْف‬ƒƒ‫ا ع َْن ُم َع‬ƒƒ‫ار َج ِمي ًع‬ ٍ ƒ‫ َم ِع ُّي َو ُم َح َّم ُد ب ُْن بَ َّش‬ƒ‫انَ ْال ِم ْس‬ƒ‫َس‬ َّ ‫ َّدثَنِي أَبُو غ‬ƒ‫وح‬ َ
‫ ُن‬ƒ ‫ َّدثَنَا ْال َح َس‬ƒ‫اذ َوهُ َو اب ُْن ِه َش ٍام ال َّد ْست ََوائِ ُّي َح َّدثَنِي أَبِي ع َْن قَتَا َدةَ َح‬ ٌ ‫َغ َّسانَ َح َّدثَنَا ُم َع‬
ُ
‫لَّ َم ع َْن‬ƒƒ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
َ ‫ج النَّبِ ِّي‬ ِ ْ‫ص ٍن ْال َعن َِزيِّ ع َْن أ ِّم َسلَ َمةَ زَ و‬ َ ْ‫ضبَّةَ ب ِْن ِمح‬ َ ‫ع َْن‬
َ‫رُون‬ƒ‫ونَ َوتُ ْن ِك‬ƒƒُ‫ْرف‬ ُ َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ ق‬
ِ ‫ال إِنَّهُ يُ ْستَ ْع َم ُل َعلَ ْي ُك ْم أ َم َرا ُء فَتَع‬ َ ‫النَّبِ ِّي‬
ِ ‫ول هَّللا‬ ِ ‫ئ َو َم ْن أَ ْن َك َر فَقَ ْد َسلِ َم َولَ ِك ْن َم ْن َر‬
َ ƒ ‫ا َر ُس‬ƒƒَ‫ض َي َوتَابَ َع قَالُوا ي‬ َ ‫فَ َم ْن َك ِرهَ فَقَ ْد بَ ِر‬
.‫صلَّوْ ا‬ َ ‫ال اَل َما‬ َ َ‫أَاَل نُقَاتِلُهُ ْم ق‬
Artinya : Dan telah bercerita kepada kami Abu> Gassa>n al-Misma‘i> dan
Muh}ammad bin Basysya>r, keduanya dari Mu'a>z|| dengan lafal Abu>
Gassa>n: telah bercerita kepada kami Mu‘a>z|, yaitu putra Hisya>m al-
Dastawa>’i>, bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya dari Qata>dah
bahwa al-H}asan telah bercerita kepadanya dari D}abbah bin Mih}s}an
al-‘Anazi> dari Ummu Salamah, istri Nabi SAW. dari Nabi SAW.
bahwasanya beliau telah bersabda : “Akan diangkat di antara kau
pemimpin-pemimpin (suatu saat), dan kamu akan menemukan mereka
berlaku baik dan berlaku buruk. Barang siapa yang membenci (keburukan
itu), maka ia akan bebas. Dan barangsiapa menentangnya, maka akan
selamat. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi
mereka? Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka salat .”

Menurut Imam Nawawi, dalam hadis di atas mengandung petunjuk bahwa


127
Redaksi hadis yang tercantum ini adalah riwayat Imam Muslim. Lihat : Muslim,
op.cit., hlm. 23-24. Al-Baga>wi> dalam kitabnya Syar>h} al-Sunnah} menyatakan sahih-nya
hadis ini. Lihat: Al-Baga>wi>, op.cit., hlm. 302-303. Pada riwayat lain, baik yang diriwayatkan
oleh Muslim maupun Al-Tirmiz|i>, Abu> Da>wud dan Ah}mad, terdapat perbedaan lafal, di
antaranya adalah fa man kariha faqad bari’a wa man ankara faqad salima, atau dengan redaksi fa
man ankara faqad bari’a wa man kariha faqad salima. Lihat: Muh}ammad bin ‘I>sa> Abu>
‘I>sa> al-Tirmiz|i> al-Salami>, Sunan al-Tirmiz|i>, jilid IV (Beiru>t: Da>r al-Ih}ya>’ al-Tura>s|
al-‘Arabi>, [t.t.]), hlm. 529; Sulaima>n bin al-‘Asy‘as| Abu> Da>wud al-Sijista>ni> al-Azdi>,
Sunan Abu> Da>wud, jilid IV ([t.k]: Da>r al-Fikr, [t.t.]), hlm. 242; Ah}mad bin H}anbal Abu>
‘Abdullah al-Syaiba>ni>, Musnad Ah}mad, jilidVI (Mesir: Mu’assasah Qurt}ubah, [t.t]), hlm. 305.
tidak boleh melawan para penguasa dan wali semata-mata karena munculnya

kezaliman dan kefasikan, selama mereka tidak merubah sedikitpun dari prinsip-

prinsip Islam.128 Menurut al-Maududi, hadis di atas mengandung makna bahwa

sekalipun penguasa (pemimpin) melakukan salat secara pribadi, maka mereka

masih tetap berhak untuk disetiai atau ditaati. 129 Dengan demikian, hadis ini

tentunya memperkuat hadis tentang seburuk-buruknya pemimpin tersebut.

Dalam hadis Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan

Muslim dinyatakan: "Barangsiapa mentaati saya maka dia telah mentaati Allah,

dan barangsiapa mendurhakai saya maka dia telah mendurhakai Allah. Dan

barangsiapa mentaati amirku, maka dia telah mentaati saya, dan barangsiapa

mendurhakai amirku, maka ia mendurhakaiku."130

Dalam hadis lain, Nabi menguatkan kewajiban mentaati penguasa sebagai

realisasi kesatuan jamaah kaum Muslimin dan penjagaannya, dan pelestarian

hubungan antara pribadi-pribadi umat dengan pemerintahnya, serta

memerintahkan untuk bersabar ketika menjumpai sesuatu yang tidak disenangi

dari pihak penguasa. Dalam sikap tersebut terkandung pencegahan bahaya dan

keburukan yang merajalela dan fitnah yang menjadi-jadi, agar umat tetap saling

berpegangan sekuat tembok bangunan. Hadis ini menyatakan: "Barang siapa

melihat pada Amirnya sesuatu yang dibencinya, maka hendaklah dia bersabar

atasnya, karena barangsiapa memisahkan diri dari jamaah sejauh sejengkal lalu

128
Umar Abdurrahman, Tipe-tipe Penguasa dan Status Hukumnya dalam Islam (Solo:
Pustaka Mantiq, 1995), hlm. 31.
129
Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat.
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 168-173.
130
Al-Bukha>ri, op.cit., jilid III, hlm. 1080; Muslim, op.cit., jilid III, hlm. 1466.
mati, maka ia mati sebagai orang jahiliyyah."131 Hadis ini jika dibandingkan

dengan hadis tentang seburuk-buruk pemimpin tersebut secara implisit sama-sama

mengandung pernyataan bahwa ketaatan kepada penguasa atau pemimpinnya

diutamakan.

3) Kajian Linguistik

Dalam hadis tentang seburuk-buruk pemimpin yang diriwayatkan oleh Imam

Muslim ini terdapat kata-kata kunci yang perlu dikaji secara linguistik, karena

penggunaan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab mutlak diperlukan,

mengingat teks hadis harus ditafsirkan melalui bahasa aslinya, yakni bahasa Arab.

Pembahasan kata-kata kunci ini adalah berdasarkan kitab-kitab syarah yang

menjelaskan hadis ini. Kata-kata kunci yang akan dibahas adalah sebagai berikut.

‫أئ ّمة‬

A’immah merupakan bentuk jamak dari kata Ima>m yang berakar dari

kata amma-yaummu-ammun yang berarti al-qas}du yaitu “sengaja”, al-taqaddum

yaitu berada di depan atau mendahului, juga bisa berarti menjadi imam atau

pemimpin (memimpin). Ima>m yang merupakan bentuk ism fa>‘il di sini berarti

perihal memimpin, yaitu berarti setiap orang yang memimpin suatu kaum menuju

jalan yang lurus ataupun sesat.132

Imam Muslim dalam penjelasannya terhadap hadis tersebut, mengarahkan

131
Al-Bukha>ri>, op.cit., jilid VI, hlm. 2588; Muslim, op.cit., jilid III, hlm. 1477.
132
Al-Ima>m al-Alla>mah Abi> Fad}l Jama>l al-Di>n Muh{ammad bin Mukram ibn
Manz}u>r al-Afri>qi> al-Mis}ri> (selanjutnya disebut al-Mis}ri>), Lisa>n al-‘Arab, jilid XII
(Beiru>t: Da>r al-S}a>dir, 1992), hlm. 22-26; Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus
Arab-Indonesia (Yogyakarta: [t.p.], 1984), hlm. 42-44.
arti kata a’immah kepada arti penguasa, pemimpin pemerintahan dan

sebagainya.133 Hal ini juga terlihat pada penempatan hadis ini pada kita>b

Ima>rah yang membahas masalah pemerintahan. Namun dalam penjelasannya,

Muslim tidak menunjuk kepada penguasa atau pemimpin secara khusus, misalnya

kepala negara atau gubenur (eksekutf), pemimpin legislatif, yudikatif atau yang

lainnya.

‫يصلّون‬

Kata ini berasal dari s}alla> - yus}alli> - s}ala>h yang mempunyai

beragam arti, yaitu do’a, rahmat, ampunan, sanjungan Allah kepada rasulullah

SAW., ibadah yang di dalamnya terdapat rukuk dan sujud. 134 Menurut Imam

Muslim dan Imam al-Nawawi> dalam kitab Syarh} S}ah}ih} Muslim-nya, kata

yus}allu>n berarti mendoakan (al-du‘a>’).135

‫ننابذهم‬

Kata ini berasal dari nabaz|a – yanbiz|u – nabz|un yang berarti al-t}arh}

dan al-ramyu, yaitu membuang (karena tidak memenuhi hitungan). Nabaz|a juga

berarti mengesampingkan atau membiarkan, dan melanggar (janji). Sedangkan

na>baz|a berarti menentang dan berselisih, na>baz|a al-h}arb berarti

mengumumkan perang (terhadap).136

133
Muslim, op.cit., jilid VI, hlm. 24.
134
Majduddi>n Muh{ammad Ya‘qu>b al-Fairuz Abadi>, al-Qa>mu>s al-Muhi>t}
(Beiru>t: Maktabah al-Buh{u>s wa al-Dira>sah, 1995), hlm. 173.
135
Muslim, loc.cit.; Yah}ya> bin Syaraf al-Nawaw}i> (selanjutnya disebut al-
Nawaw}i> ), S}ah}i>h} Muslim: Syarh} al-Ima>m al-Nawa>wi>, jilid VI (Beiru>t: Da>r al-Fikr,
1983), hlm. 245.
136
Louis Ma‘luf, Al-Munjid fi> al-Lugah wa al-A‘la>m (Beiru>t: Da>r al-Masyriq,
1986), hlm. 17; Ahmad Warson Munawwir, op.cit., hlm. 42-44.
Kata nuna>biz|uhum di sini berarti menentang pemimpin-pemimpin yang

terburuk yang dimaksud oleh Nabi SAW., atau memusuhi mereka -yang

mengarah kepada memerangi mereka.137 Adapun kalimat pertanyaan afala>

nuna>biz|uhum menurut Imam Muslim, berarti "tidakkah kita (benar-benar)

menentangnya dan melawannya serta menyatakan perang kepada mereka dengan

pedang".138 Dari segi bahasa Arab (ilmu nahwu), huruf hamzah pada kalimat ini

merupakan h}arf istifha>m yang mengandung peniadaan (al-jumlah al-

manfiyah).139

Nuna>biz|uhum dalam bahasa Arab juga bisa diartikan “menumbangkan”

dan “mencabut baiat” atau “membatalkan akad”.140

‫الصالة‬

Kata s}ala>h adalah bentuk ism masdar dari s}alla> - yus}alli> -

s}ala>h. Dari segi bahasa, s}ala>h mempunyai arti beragam, yaitu do’a, rahmat,

ampunan, sanjungan Allah kepada rasulullah SAW., ibadah yang di dalamnya

terdapat ruku’ dan sujud.141 Arti s}ala>h secara bahasa yaitu suatu do’a untuk

mendekatkan diri kepada Allah dan memohon ampunan-Nya, mensyukuri nikmat,

menolak bencana, atau menegakkan suatu ibadah.142 Adapun secara istilah,


137
Muslim, loc.cit.
138
Ibid.
139
Huruf hamzah mempunyai dua fungsi yaitu sebagai h{arf nida>’ dan h{arf istifha>m.
Sebagai h{arf istifha>m, huruf hamzah mempunyai dua makna, yaitu mempertanyakan tentang
satu hal di antara dua hal dan mempertanyakan sesuatu untuk meyakinkan atau meniadakan
(sesuatu itu). Lihat: Fu’a>d Ni‘mah, Mulakhkhas} Qawa>‘id al-Lugah al-‘Arabiyyah (Surabaya:
al-Hida>yah, [t.t]), hlm. 152.
140
Muslim, loc.cit.; Amira Zrein Matraji (rev.), Shahih Muslim, Vol. 3.A (Beirut: Dar el-
Fiker, 1993), hlm. 520-521; Abdul Hamid Siddiqi (rend.), Shahih Muslim: Arabic-English, Vol. III
(Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1996), hlm. 520-521.
141
Al-Fairuz, loc.cit.
142
Hasbie Ash-Shiddieqy, al-Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 59.
s}ala>h merupakan ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-

bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup

dengan taslim, dengan runtutan dan tartib tertentu yang ditetapkan oleh agama

Islam.143

Menurut Imam Muslim dalam penjelasannya terhadap hadis ini, perkataan

Nabi "La> ma> aqa>mu> fi>kum al-s}ala>h" mengandung makna

ketidakbolehan menentang penguasa selama mereka masih menegakkan salat

sebagai tanda ijtima>‘ al-kalimah –dalam ketaatan kepada Allah dan Rasulnya-

dan tercapainya keluhuran. Al-T}ayyibi> mengatakan bahwa ditegakkannya salat

sebagai syarat seorang pemimpin tidak boleh ditentang, menunjukkan pada

pentingnya (ta‘z}i>m ) terhadap masalah salat dan jika pemimpin tersebut

meninggalkannya –sedang dia melakukan tindakan buruk (maksiat)- maka wajib

untuk tidak ditaati, yaitu dengan membatalkan akad dan pembaiatannya. 144 Tetapi

yang dimaksud salat dalam hadis ini bukanlah salat yang merupakan ritual fisik

saja, namun lebih dari itu yang dampak salat itu akan terlihat pada perilaku sehari-

harinya, di antaranya pada aspek kebijaksanaan dan keadilannya. Dengan

demikian yang ditekankan di sini adalah keadilan dan sebagainya dari seorang

pemimpin.

Menurut Al-Maudu>di>, lambang ketaatan terhadap Tuhan dan Rasul-Nya

adalah salat. Jika pemimpin (ulil amri) meninggalkannya, maka mereka telah

melanggar kesetiaan dasar kepada Tuhan dan Rasulnya.jika demikian, rakyat

143
Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1994), hlm. 20.
144
Muslim, loc.cit.
diperkenankan untuk menumbangkannya.145

Analisis Realitas Historis

Setelah pemahaman tekstual terhadap hadis diperoleh melalui isi (matan),

selanjutnya dilakukan upaya untuk menemukan konteks sosio-historis hadis.

Dalam tahapan ini, makna atau arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan

kajian atas realitas, situasi atau problem historis pada saat pernyataan sebuah

hadis tersebut muncul. Dengan kata lain, memahami hadis sebagai responsi

terhadap situasi umum masyarakat periode Nabi maupun situasi-situasi

khususnya.

Langkah ini mensyaratkan adanya suatu kajian mengenai situasi

kehidupan secara menyeluruh di daerah Arab pada saat kehadiran Nabi, yaitu

mengenai kultur mereka. Setelah itu, kajian mengenai situasi-situasi mikro, yakni

asba>b al-wuru>d al-h}adi>s|.

Kajian-kajian ini sangat penting, karena hadis merupakan bagian dari

realitas tradisi keislaman yang dibangun oleh Nabi dan para sahabatnya dalam

lingkup situasi sosialnya. Memahami hadis secara terpisah dari asumsi-asumsi

sosialnya, akan memungkinkan terjadi distorsi informasi atau bahkan

kesalahpahaman.

Dalam memperoleh makna teks hadis ini, analisa hanya dilakukan pada

historis secara makro, karena tidak ditemukannya keterangan asba>b al-wuru>d

(historis secara mikro) untuk hadis ini. Oleh karena itu, kajian historis yang

dibahas adalah mengenai hal dan ihwal mengenai kepemimpinan pada masa Nabi
145
Abul A’la al-Maududi (selanjutnya disebut Al-Maududi), Hukum dan KonstitusiSistem
Politik Islam, terj. Asep Hikmat (Bandung:Mizan, 1995), hlm. 204.
SAW.

Selama menjadi Rasul, Nabi Muhammad tidak hanya berperan sebagai

rasul (pemimpin agama) yang bertugas untuk memberi penjelasan dan memberi

peringatan agar umat manusia kembali ke jalan yang benar, tetapi juga berperan

sebagai pemimpin negara.146

Kepemimpinan Nabi pada periode Makkah (sebelum Hijrah), lebih

ditekankan pada pembinaan aqidah (iman) umat Islam, mengajak kaum kafir

Quraisy untuk masuk Islam dan pertahanan terhadap serangan kaum kafir

Quraisy. Adapun pada periode Madinah (pasca Hijrah), kepemimpinan Nabi

Muhammad difokuskan kepada pembangunan masyarakat Islam, yaitu meliputi

pembenahan administrasi kenegaraan (politik), hukum, ekonomi dan lain-lain.

Aktivitas politik Nabi tidak terlepas dengan aktifitasnya sebagai pemimpin

militer. Fungsi keduanya sangat menonjol dalam peperangan. Kekuatan politik

untuk mengatur suatu peperangan tidak bisa dipisahkan dari kekuatan militer

untuk mengatur politik. Jadi, Nabi SAW. merupakan pemimpin umat Islam, baik

sebagai seorang politikus maupun sebagai pemimpin Militer.147

Kredibilitas Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin tidak saja diakui

oleh para sahabatnya, bahkan para musuh umat Islam pada masa itu pun mengakui

kepiawaiannya dalam berpolitik dan berperang (militer). Sebenarnya semua ini

tidak terlepas dari hubungan dengan Allah yang telah memberi bimbingan dan

petunjuk kepada beliau.

146
Thomas W. Arnold, The Caliphate (London: Routledge and Kegan Paul LTD, 1965),
hlm. 30.
147
Sa’id Hawwa, Ar-Rasul Muhammad SAW., terj. Kathur Suhardi (Solo: CV. Pustaka
Mantiq, 1993), hlm. 256.
Di Madinah148, Islam tampil sebagai kekuatan politik di mana konsepsi

tentang negara mulai digagas di atas pondasi kebersamaan dan integritas berbagai

golongan. Pada periode Madinah inilah muncul kontitusi kenegaraan pertama di

dunia yang dikenal dengan “Piagam Madinah”. Dokumen ini memuat undang-

undang untuk mengatur kehidupan sosial politik bersama kaum Muslim dan

bukan Muslim, serta menerima dan mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka.

Tahapan-tahapan politik yang dilakukan Nabi untuk korvergensi sosial di

Madinah pada awal Hijrah adalah pertama, pembangunan masjid sebagai sarana

ibadah dan media audensi umat Islam. Kedua, mempersaudarakan dua kelompok

Muslim, yaitu Muhajirun dan Ansar. Ketiga, meletakkan dasar-dasar tatanan

masyarakat baru yang bersifat terbuka, plural dan netral dengan mengakomodasi

kepentingan kelompok-kelompok etnis yang ada di Madinah.

Nabi selalu bermusyawarah dengan para sahabat yang biasanya dilakukan

setelah salat berjamaah di masjid untuk membicarakan dan menyelesaikan

berbagai permasalahan umat dari politik hingga kehidupan sehari-hari.

Pembangunan masjid di Quba ini, selain berfungsi tempat beribadat kepada Allah

SWT. dari segi agama, juga berfungsi sebagai tempat mempererat hubungan dan

ikatan jamaah Islam dari segi sosial, karena di samping tempat melaksanakan

ibadah salat, masjid digunakan pula sebagai tempat untuk mendalami Islam, pusat

pengembangan kegiatan sosial-budaya, pendidikan, tempat musyawarah (majlis),

148
Sebelum dinamai Madinah, kota ini bernama Yasrib. Penamaan Madinah ini oleh Nabi
Muhammad memiliki maksud yang mendalam. Secara bahasa, kata madi>nah mengacu kepada
pola hidup berperadaban. Kata madaniyyah aalah kata dalam bahasa Arab untuk "peradaban",
sama dengan kata had{a>rah yang asal maknanya adalah pola kehidupan di suatu tempat, yaitu
bukan kehidupan berpindah-pindah atau nomad yang merupakan pola kehidupan gurun pasir.
Lihat: Nurcholish Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 312-
313.
markas tentara dan sebagainya.149

Umat Islam kala itu sangat patuh dan taat terhadap kepemimpinan Nabi

SAW. Kondisi ini sangat potensial sekali dalam menggalang persatuan dan

kesatuan umat yang menjadi kekuatan luar biasa umat Islam yang menjadikan

mereka selalu lebih unggul dan mampu menang di medan pertempuran

dibandingkan dengan musuh-musuh mereka. Hasilnya, umat Islam pada masa

Nabi selalu keluar sebagai pemenang dalam setiap peperangan melawan kafir

Quraisy, kecuali pada perang Uhud akibat keteledoran dan ketidakpatuhan

beberapa sahabat terhadap perintah Nabi. Mereka juga akhirnya berhasil

menguasai Makkah (Fath} al-Makkah) dan berhasil menancapkan Kalimah al-

H}aq (Islam) di Jazirah Arab.

Dalam melaksanakan kepemimpinannya juga, Nabi Muhammad

sepenuhnya berpegang pada tali Allah SWT. dalam menghadapi suasana genting

pun -termasuk peperangan- beliau hanya meminta pertolongan Allah. Sehingga

dari sini, kepemimpinan Nabi selalu menampilkan ketergantungan yang dominan

pada Allah SWT.150 Tidak hanya itu, Nabi senantiasa mengajak dan mendorong

umatnya kala itu untuk selalu dekat dengan Allah, karena hanya Dialah yang

memberi pertolongan, kemampuan dan kekuatan kepada manusia dalam

menghadapi segala ujian dan tantangan kehidupan.

Selama masa hidup Nabi Muhammad SAW., beliau tidak pernah

meniggalkan salat berjamaah, kecuali pernah satu kali karena sakit. Nabi sangat

149
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994), hlm. 80.
150
Q.S. Ali> Imra>n (3): 123, 126-127, 146-147, 165-166; Q.S. al-Ahqa>f (46): 9.
menganjurkan dan mengutamakan salat jamaah. Ketika melakukan salat

berjamaah, Nabi selalu memeriksa saf-saf yang ada di belakangnya dan

mengaturnya supaya tertib dan rapi.

Uraian di atas, sebenarnya telah menunjukkan bahawa Nabi menjalankan

kepemimpinan dengan penuh tanggung jawab, baik itu terhadap

masyarakat yang dipimpinnya maupun terhadap Allah SWT. Beliau juga

meneladani umat Islam yang dipimpinnya pada masa itu untuk

menjalankan segala tugas sehari-harinya dengan penuh tanggung jawab

dan adil. Memang seharusnya seorang pemimpin bisa menjadi contoh

yang baik bagi yang dipimpinnya. Jika seorang pemimpin itu berlaku baik,

maka rakyat yang dipimpinnya harus mematuhinya.

Selain itu, perbincangan yang dilakukan Nabi dengan para sahabat setelah

salat berjamaah di masjid tentang berbagai macam persoalan dari politik hingga

kehidupan sehari-hari, menunjukkan antara kegiatan h}abl min Allah (ukhrawi)

dan h}abl min al-na>s (duniawi) saling terkait dan mempengaruhi.

Generalisasi Kandungan Hadis

Setelah melalui beberapa tahapan pemahaman hadis tentang seburuk-

buruk pemimpin selama menegakkan salat melalui metode maa>n al-h}adi>s| di

atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1. Pemimpin yang dimaksud dalam hadis adalah pemimpin secara umum,

tidak hanya kepala negara atau presiden dan sebagainya, tetapi juga

termasuk pemimpin pada lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif

(pemerintah) dan sebagainya.


2. Pemimpin yang baik adalah pemimpin berlaku adil dan berusaha

mengupayakan kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan mereka dengan

penuh tanggung jawab. Sebaliknya, pemimpin yang buruk adalah pemimpin

tidak menjalankan amanatnya dengan baik (tidak adil).

3. Kepemimpinan Nabi dalam berbagai situasi menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan dan dilakukan atas kepentingan bersama, bukan kepentingan

pribadi atau golongan. Kepemimpinan beliau juga tidak terlepas dari adanya

komunikasi dengan Tuhannya yaitu melalui salat. Dengan demikian,

kepemimpinan Nabi menunjukkan keterkaitan dan hubungan saling

mempengaruhi antara h}abl min Allah (ukhrawi) dan h}abl min al-na>s

(duniawi).

4. Hubungan antara kepemimpinan dan salat adalah bahwa tegaknya salat

merupakan tanda adanya ijtima>‘ al-kalimah dalam ketaatan kepada Allah

dan Rasul-Nya dan kesejahteraan dalam suatu kelompok atau wilayah. Salat

dalam hal ini bukanlah salat dalam arti lahiriyah saja, tetapi salat yang

membekas pada perilaku yang baik, adil dan bertanggung jawab. Dengan

demikian, ketaatan kepada pemimpin yang adil diharuskan.

Dari beberapa kesimpulan di atas, maka kandungan hadis tentang seburuk-

buruk pemimpin selama menegakkan salat dapat digeneralisasikan bahwa

ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak

menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam

masyarakat.

BAB IV
KONTEKSTUALISASI HADIS TENTANG SEBURUK-BURUK
PEMIMPIN SELAMA MENEGAKKAN SALAT

TERHADAP REALITAS KEKINIAN

C. Kepemimpinan dalam Politik Islam

Kepemimpinan umat Islam di kalangan umat Islam sendiri merupakan

masalah urgen, karena menyangkut perkembangan dan masa depan umat

Islam. Meskipun bentuk kepemimpinan umat Islam kini tidak berada

dalam satu bendera kekhalifahan seperti yang diterapkan pada masa Nabi,

Khulafa' al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang memimpin

umat Islam sedunia, melainkan secara terpisah membentuk negara sendiri-

sendiri, baik itu yang berbentuk republik, monarki dan sebagainya, umat

Islam di seluruh dunia tetap peduli dengan masa depan umat Islam di mata

dunia. Sense of belonging terhadap Islam inilah yang mendorong para

tokoh umat Islam di dunia untuk membentuk organisasi yang menampung

seluruh aspirasi umat Islam sedunia. Organisasi ini bernama OKI

(Organisasi Konferensi Islam).

Namun organisasi ini nampaknya tidak cukup mewakili aspirasi umat

Islam sedunia dan kurang berperan dalam memajukan umat Islam. Hal ini

ditandai dengan masih terbelakangnya negara-negara Islam151 dan tertindas

atau tertekan oleh bangsa lain –terutama oleh negara Adidaya Amerika

Serikat- bahkan di Timur tengah, negara Islam yang diperangi oleh bangsa

151
Negara Islam dalam hal ini mengandung makna umum, yaitu negara yang memang
menetapkan Islam sebagai agama resmi/ negara ataupun negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam.
lain seperti Palestina yang diserang oleh Israel dibantu oleh Amerika

Serikat, masih tidak kunjung berakhir. Hal yang sama juga terjadi di Irak,

sebagai salah satu "musuh" Amerika Serikat melalui "tangan" Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) masih menghadapi embargo yang pada urutannya

sangat mengganggu generasi Muslim di tempat itu. Belum lagi "tarik-ulur"

antara Libya dan negeri Paman Sam tersebut belum menunjukkan hasil

yang menggembirakan.152 Selain itu, isu-isu terorisme yang sering bahkan

selalu dikambinghitamkan kepada kalangan umat Islam, yaitu negara-

negara Islam, OKI seakan tidak menampakkan diri.

Hal di atas memang menandakan kemunduran umat Islam dalam

percaturan dunia. Sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan kejayaan

umat Islam di mata dunia, yaitu pada masa kepemimpinan Nabi SAW.

dan Khulafa' al-Rasyidin yang modern dan demokratis, 153 sebuah civil

society yang sejalan dengan yang diistilahkan oleh Nurcholish Madjid

dengan "masyarakat madani".154 Mengapa hal ini terjadi ?

Dalam sejarah umat Islam pada masa awal Islam, mereka sangat peduli

dengan kehidupan duniawinya, sepeduli mereka menghayati ajaran Islam

dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas

kepemimpinan mereka dalam kehidupan duniawi, dijadikan sebagai

ibadah juga kepada Tuhan. Dengan demikian, mereka tidak hanya

152
Gema Martin Munoz (ed.), Political Relations at the End the Millenium (London: I.B.
Tauris, 1999), hlm. 95.
153
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999),
hlm. 32-33.
154
Ibid, hlm. xviii.
mempertanggungjawabkan tugasnya kepada manusia, tetapi juga

dipertanggungjawabkan kepada Tuhannya, bahkan inilah yang benar-benar

diutamakan. Karena itulah, mereka bersungguh-sungguh dalam

menjalankan amanatnya dan hasilnya mereka tidak hanya berhasil

membangun Islam di "kandang"-nya sendiri, tetapi juga berhasil

melebarkan sayap keluar Jazirah Arab yang disambut dengan hangat oleh

penduduknya karena telah menjadi "dewa penolong" bagi mereka dari

penindasan bangsa Romawi. Mereka pun taat pada kepemimpinan Islam

karena telah memberikan kedamaian dalam kehidupan penduduk setempat

yang akhirnya mendorong mereka masuk Islam.

Apabila kesenjangan di atas dicermati, tampaklah perbedaan di antara dua

masa, yaitu masa kejayaan Islam dan masa kemunduran Islam. Jika pada masa

kejayaan Islam, yaitu masa Nabi dan Khulafa' al-Rasyidin, para pemimpin selain

memimpin dalam hal kenegaraan, mereka juga pemimpin dalam hal keagamaan.155

Bahkan penguasaan ajaran Islam (al-Qur'an dan Hadis) dan kemampuan dalam

mengamalkannya dijadikan tolak ukur ditunjuknya seseorang menjabat sebagai

pemimpin pemerintahan. Hal ini terbukti pada saat terpilihnya Abu Bakar sebagai

pengganti Nabi sebagai pemimpin umat, karena dia terpilih sebagai imam salat

yang menggantikan Nabi ketika beliau sakit yang dijadikan alasan bagi kalangan

sahabat menganggapnya yang terbaik di antara yang lain. Hal ini juga terjadi pada

saat pengutusan Mu‘a>z| bin Jaba>l oleh Nabi SAW. untuk menjadi pemimpin di

negeri Syam. Hal ini menandakan bahwa Islam bukan semata-mata akidah
155
Menurut Thomas W. Arnold. Dalam waktu bersamaan, Nabi adlah apemimpin agma
dan kepala negara, lihat John. J. Donohue dan L. Esposito (ed.), Islam ini Transition, Muslim
Perspective (New York: Oxford University Press, 1982), hlm. 261.
keagamaan individu, tetapi sudah mewajibkan pembentukan suatu masyarakat

yang mandiri yang memiliki pemerintahan, konstitusi dan sistem pemerintahan.156

Namun kondisi umat Islam sekarang tidak demikian. Negara Islam

sekarang –secara garis besar- terkesan adanya pemisahan antara agama

dan negara. Bahkan lebih dari itu, mereka berkiblat kepada kehidupan

bangsa Barat dan tunduk kepada mereka sebagai negara Adidaya.

Meskipun sebenarnya, banyak di antara negara Islam adalah negara-negara

kaya, tetapi kekayaannya itu dikeruk oleh bangsa Barat yang disebut

sebagai bagian dari neo-kolonialisme. Mereka mengaku Islam tetapi

pemikiran mereka berpaham sekular, misalnya negara Turki. Sepertinya

tidak ada peran agama dalam roda pemerintahan, hanya dijadikan ibarat

"tempel ban" ketika ada gejolak yang terjadi dalam negara. Salat sebagai

ibadah utama dalam Islam, sepertinya tidak membekas sedikitpun dalam

perilaku sehari-hari. Hal inilah yang membuat umat Islam mundur, karena

jika umat Islam meresapi ibadah salatnya lahir dan batin, tentunya umat

Islam tidak akan membiarkan penindasan dan ketidakadilan merajalela di

muka bumi ini. Padahal al-Qur'an telah menyatakan bahwa salat dapat

mencegah perbuatan keji dan mungkar157, namun tentunya salat yang

dikerjakan tidak hanya sekedar gerakan fisik saja, namun salat yang benar-

benar menenangkan, mendamaikan dan menjernihkan jiwa dan pikirannya.

Seharusnya umat Islam sadar, bercermin dan kembali kepada al-Quran dan

Hadis dalam bernegara yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW. Jika

156
M. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1990), hlm. 27.
157
Q.S. al-Ankabu>t (29): 45.
menurut Bellah, unsur-unsur struktural politik pada zaman itu sangatlah

modern bahkan terlalu modern untuk zamannya, 158 sehingga setelah Nabi

wafat kepemimpinan umat Islam yang demokratis belum mampu

dilanjutkan, maka karena kini merupakan era millenium, tentunya umat

Islam lebih dapat mengkaji dan menerimanya sebagai obat penyembuh

dari sakit yang terlalu lama dan tidak ada penentangan atau

pemberontakan lagi terhadap pemerintah karena tidak adanya keadilan.

Kesalahan yang dilakukan seorang pemimpin bisa terjadi karena

kekhilafan sebagai seorang manusia yang seharusnya ditegur oleh

rakyatnya, sedangkan cara menegur pemerintah tidak harus dengan cara

memberontak, tetapi masih ada jalan damai lain yang akibatnya lebih

efektif dan efisien.

Jika pemimpin benar-benar membumikan keadilan, maka tentunya akan

tercipta kehidupan sejahtera dan tidak ada lagi kesenjangan sosial –yang

biasanya memicu konflik- sehingga tecipta rasa saling mendukung,

kekompakan yang menjadikan umat Islam kuat bersatu dan tidak gentar

menghadapi tekanan dan ancaman dari pihak luar.

D. Fenomena Kepemimpinan dalam Dunia Politik Indonesia Kekinian159

Berbicara tentang Indonesia sampai detik ini adalah –tidak luput dari-

berbicara tentang Islam di Indonesia, meskipun hanya karena alasan statistik,

demografis dan sosiologis saja bahwa umat Islam adalah mayoritas di Indonesia.

158
Ibid.,hlm. 32.
159
Indonesia Kekinian di sini dimaksudkan pada kondisi pemerintahan saat ini yaitu
pemerintahan Presiden Megawati yang juga dikaitkan dengan pemerintahan-pemerintahan
sebelumnya.
Oleh karena itu, setiap visi tentang Indonesia pada dasarnya adalah visi tentang

Islam di Indonesia juga, begitu menurut Nurcholis Madjid.160

Namun sebagaimana pernyataan Presiden Indonesia kedua, Soeharto, pada

pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1966, negara Republik Indonesia yang

berdasarkan Pancasila bukan negara agama tetapi bukan negara sekular.161 Negara

Indonesia tidak mempunyai agama resmi. Meskipun hampir 90 % dari seluruh

bangsa Indonesia beragama Islam,162 tetapi Islam bukanlah agama resmi atau

negara. Sesuai dengan Kedaulatan Rakyat, sumber hukum di Indonesia adalah

kehendak rakyat yang tersalurkan melalui lembaga-lembaga legislatif. Pimpinan

negara aadalah seorang warganegara biasa yang dipilih oleh rakyat secara

langsung dan disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagi kepala

negara,163 bukan dari kalangan ulama atau pendeta. Dengan demikian, jelas

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945 bukanlah negara agama.

Negara Indonesia juga bukan negara sekular, dapat terlihat adanya

lembaga pemerintahan yang mengurus masalah kehidupan dan kerukunan

beragama yang dikenal dengan Departemen Agama. Sebenarnya yang disebut

sekularisme dalam politik praktis adalah penolakan terhadap campur tangan

negara atau pemerintah di dalam kehidupan keagamaan rakyat, dan pada waktu

160
Nurcholish Madjid, opcit., hlm. xv.
161
Munawir Sjadzali, Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa (Jakarta:
UI Press, 1993), hlm. 80.
162
Walaupun hanya bisa dikatakan sebagai kelompok mayoritas (numerical majority)
bukan minoritas teknis (technical minority). Lihat: Nurcholis Madjid, op.cit., hlm. 45.
163
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945:
Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (dalam Satu Naskah) (Yogyakarta: Media
Pressindo, 2002), hlm. 6-7.
yang sama penolakan terhadap campur tangan tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga

keagamaan dalam kehidupan kenegaraan atau politik, dengan kata lain adanya

pemisahan antara agama dan negara. Sedangkan apabila diamati, kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia menunjukkan adanya peran

positif agama di dalamnya. Bahkan tokoh Nasionalis Indonesia, Sukarni

mengatakan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, agama justru

menjadi motor revolusi, penggerak perjuangan kemerdekaan.164

Posisi Indonesia sebagai posisi tengah antar negara agama dan negara

sekular, dianggap oleh beberapa kalangan sebagai sikap yang tidak berpendirian.

Oleh beberapa kalangan dari umat Islam di Indonesia, sudah seharusnya Indonesia

menjadi negara Islam dan berpedoman kepada al-Qur'an dan hadis, karena

mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun di lain pihak, baik dari kalangan

Islam dan non Islam, ada yang mengatakan bahwa seharusnya Indonesia menjadi

negara demokratis, karena jika negara Islam, aspirasi seluruh lapisan masyarakat

tidak terakomodasi. Hingga kinipun, perbincangan masalah negara Islam ini

masih meninggalkan polemik yang tidak kunjung selesai.

Permasalahan lain yang juga mengundang polemik adalah masalah

kepemimpinan di Indonesia. Sebagian umat Islam menginginkan presiden

Indonesia harus beragama Islam, sedangkan sebagian yang lain tidak

mensyaratkan keislamannya, melainkan pada kapabilitasnya dalam memimpin

bangsa, meskipun sejak kemerdekaan RI, dari kursi presiden pertama Sukarno

hingga kelima Megawati Sukarnoputri, belum pernah diduduki oleh selain

164
Munawir Sjadzali, op.cit., hlm. 82-85.
Muslim.

Terlebih lagi menjelang Pemilihan Presiden langsung pertama yang

dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004, para anggota parpol dan tim sukses calon

presiden, baik dari kalangan yang berbasis agama maupun nasionalis gencar

mengeluarkan "fatwa-fatwa"-nya demi kepentingan golongannya. Misalnya

tentang presiden wanita, ada beberapa ulama di Indonesia yang ikut andil dalam

partai politik mengeluarkan fatwanya tentang haramnya presiden wanita,

sedangkan lawan politiknya –padahal berasal dari organisasi keagamaan yang

sama- menyatakan sebaliknya.165

Namun yang penting di sini bukanlah ia salat atau tidak salat. Karena apa

pentingnya ia mengerjakan salat –berupa gerakan saja tanpa penghayatan- tetapi

ia berlaku tidak adil. Jika dibandingkan dengan seorang kafir tetapi ia

menjalankan kepemimpinannya denagn penuh adil dan bertanggung jawab, maka

ia lebih baik daripada seorang muslim yang hanya memikirkan kepentingan

perutnya sendiri. Dengan demikian, nilai keadilan yang ditegakkan dalam

masyarakat yang dipentingkan.

Sebenarnya penolakan bangsa Indonesia terhadap ajaran Islam sebagai

dasar negara sebenarnya bukanlah persoalan demokratis atau tidak demokratis,

tetapi mengenai adanya pelabelan Islam dan kesalahpahaman mereka tentang

Islam. Keengganan sebagian bangsa Indonesia menerapkan Islam di dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (politik), adalah karena

mereka menganggap bahwa Islam itu kejam, tidak berperikemanusiaan karena

165
Kompas, 5 Juni 2004, hlm. 6; Kompas, 8 Juni 2004 hlm. 4.
adanya penerapan hukum qisas, potong tangan, rajam dan lain-lain, yang semua

ini akibat kesalahpahaman dan provokasi dari kalangan musuh Islam yang

menimbulkan islamofobia seperti yang diistilahkan Taufik Abdullah.166

Padahal Jika bangsa Indonesia menyelami kembali ajaran-ajaran Islam

dalam al-Qur’an dan hadis, maka mereka akan menemui bahwa nilai-nilai

Islamlah yang mengandung dan menjunjung tinggi egalitarianisme, demokrasi,

partisipasi dan keadilan sosial, yang sesuai untuk diterapkan dalam kehidupan

manusia dalam mewujudkan kehidupan yang bahagia-sejahtera lahir dan batin,

yang sudah dibuktikan pada zaman Nabi Muhammad. Agama hanya dijadikan

sebagai “pelengkap penderita”. Namun yang telihat di Indonesia sekarang, agama

muncul ketika terjadi gejolak nasional, ístigasah sebagai doa bersama atau taubat

nasional baru diadakan. Adapun roda pemerintahan yang menyebabkan gejolak

itu, justru menginjak-nginjak nilai-nilai agama itu sendiri.167

Kemajemukan Indonesia akan budaya, bahasa dan agama tidak jauh

berbeda dengan kondisi yang ada pada penduduk Madinah ditambah dengan kaum

Muhajirin (umat Islam yang pindah dari Makkah ke Madinah). Malah justru

karena persamaan ini, bangsa Indonesia seharusnya bercermin pada kehidupan

Madinah pasca Hijrah,168 yaitu kedemokratisannya, keadilan dan nilai persamaan

yang dijunjung tinggi pada masa Nabi. Jika bangsa Indonesia menganggap Islam

tidak demokratis dan paham kenegaraan yang dianut Indonesia menurutnya

166
Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 1.
167
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis
(Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 119.
168
Nurcholis Madjid, op.cit., hlm. 45.
demokratis, maka mengapa Indonesia serasa makin hancur dengan berbagai

gejolak negatif yang muncul. Mestinya bangsa Indonesia mengamati bahwa Nabi

ditunjuk sebagai pemimpin di Madinah bukan karena keislamannya penduduk

Madinah yang ketika itu belum masuk Islam., tetapi karena kredibilitas

kepribadiannya. Ketika Nabi bertindak sebagi pemimpin pun, masih banyak

penduduk Madinah yang tetap bersiteguh dengan agama, yaitu Yahudi dan

Nasrani, dan kepercayaan nenek moyangnya.169

Sejauh ini, Negara Indonesia tidak surut dari kekacauan adalah karena

belum tebumukannya keadilan dalam masyarakat Indonesia. Masih banyak

terjadi kesenjangan sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial di

antara seluruh lapisan masyarakat.

Masalah di Indonesia ditambah dengan lemahnya supremasi hukum di

Indonesia. Tindakan KKN (korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang semakin

merajalela dan dilakukan secara terang-terangan oleh orang pemerintahan

dan pemerintahan tidak diusut secara tuntas, sehingga semakin mengakar

dan mentradisi. Pemimpin pemerintahan pun tidak melakukan tindakan

yang riil untuk mengatasi berbagai gejolak di tanah air, malah mereka

sepertinya hanya menikmati gaji presidennya yang cukup untuk

menghidupi 1000 rakyat kecil, dan berjalan-jalan ke luar negeri seolah-

olah tidak mendengar jeritan anak-anak bangsa yang kelaparan.

Jika kita amati, gejolak-gejolak yang terjadi di Indonesia adalah

disebabkan rasa ketidakpuasan warga negara Indonesia terhadap keadaan bangsa

169
Akram Ziauddin Umari, Masyarakat Madani, terj. Mun'im A. Sirry (Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), hlm. 31.
dan negaranya yang membiarkan ketidakadilan bahkan memberikan jalan yang

mulus pada musuh-musuh negara yang hanya ingin mengeruk kekayaan

Indonesia. Jika negara Indonesia dapat menciptakan keadilan yang menyeluruh

dengan keamanan yang merata dan kesuburan tanah yang berkesinambungan –

terlebih karena Indonesia sebagai negara agraris- seperti yang dikatakan al-

Mawardi,>170 maka tentunya tidak akan terjadi gejolak yang begitu besar seperti

sekarang ini, krisis multidimensi –yaitu dari krisis moneter hingga krisis moral

dan kepercayaan- akan teratasi.

Jika masalah bangsa Indonesia ini ditarik lagi maka akan sampai pada akar

masalahnya yaitu sikap dan perilaku dari pemimpin yang terpilih sebagai

pemimpin bangsa. Baik-buruknya perilaku bisa merupakan pengaruh dari perilaku

beragamanya. Tapi jika kita lihat pada bangsa Indonesia yang mayoritas beragama

Islam, ibadah salat yang menjadi sarana komunikasi langsung dengan Tuhannya

hanya dikerjakan karena kewajiban saja bukan kebutuhan, sehingga yang

terlaksana hanya salat secara fisik saja tanpa melibatkan batin. Akibatnya mereka

kurang peka ketika melihat adanya ketidakadilan dan penindasan dalam

masyarakat. Mereka tidak peduli dengan orang lain kecuali dirinya sendiri dan

keluarganya.

Dalam rangka mereformasi pembangunan di Indonesia yang menurut

Amien Rais belum berakhir bahkan baru di mulai, 171 Indonesia merubah beberapa

sistem dalam pemerintahannya. Misalnya dalam pemilihan Presiden yang semula

dipilih oleh MPR (majelis Permusyawaratan Rakyat) dan DPR (Dewan

170
Ibid., hlm. 42.
171
Kompas, 4 Juni 2004, hlm. 1.
Perwakilan Rakyat) sebagai jelmaan rakyat Indonesia secara keseluruhan, dirubah

menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat.172 dengan pemilihan Presiden

(pilpres) secara langsung oleh rakyat, diharapkan dapat memenuhi aspirasi rakyat.

Dengan melihat kondisi Indonesia yang bisa dikatakan buruk ini –karena

Indonesia termasuk negara miskin dengan kekayaan alam yang melimpah ruah-

memang dibutuhkan sosok pemimpin yang cukup tangguh untuk membebaskan

rakyat dari ketertindasan berkepanjangan, berpihak kepada rakyat dan mau

membimbingnya dengan nuraninya. Bagi seorang pemimpin, kekuasaan

sebenarnya bukan kesempatan untuk memerintah tetapi merupakan amanah dan

tanggung jawab yang harus dijalankan denagn jujur, berani dan cerdas serta

merupakan amanah melayani masyarkat untuk menjamin serta menyejahterakan

orang yang dipimpin. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Indonesia

membutuhkan seorang pemimpin yang adil.

Akankah Pemilihan Presiden secara langsung ini akan memunculkan

sosok pemimpin yang diidam-idamkan oleh rakyat ? Ataukah yang akan muncul

adalah Pemimpin diktator yang hanya memenuhi nafsu kekuasaannya, pemimpin

yang rajin menumpuk harta untuk kesejahteraan keluarga dan golongannya, atau

pemimpin yang hanya berdiam manis menunggu “emas” datang, atau pemimpin

yang selalu membuat rakyatnya resah akibat pernyataan paginya berubah wujud di

waktu sore. Semua tergantung pada siapa yang rakyat pilih.173

172
Berdasarkan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 6 A ayat 1 yang
berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasanagn secara langsung oleh rakyat.
Perubahan ini merupakan perubahan ketiga yang disahkan pada tanggal 10 November 2001. Lihat:
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat
(dalam Satu Naskah) (Yogyakarta: Media Pressindo, 2002), hlm. 7.
173
Namun dalam pemilihan ini, rakyat –terlebih rakyat miskin- sering dibuat dilematis,
karena harapan-harapan bahkan “bantuan” dari calon presiden bersama tim suksesnya yang
Al-Qur’an sudah menjelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 55. Ayat

tersebut menggarisbawahi bahwa ciri pemimpin yang baik adalah : (1) Beriman

kepada Allah SWT, (2) Mendirikan salat, (3) Menunaikan zakat, (4) Tunduk

kepada peraturan dan ketentuan Allah. Syaikh Muhammad Mubarak dalam

kitabnya Nizam al-Islam, menyebutkan ada empat syarat seseorang menjadi

pemimpin, yaitu pertama, mempunyai akidah yang lurus. Kedua, mempunyai

wawasan yang luas. Ketiga, mempunyai dedikasi mengabdi kepada umat.

Keempat, mempunyai komitmen yang kuat terhadap ajaran Islam. Dari segi

sinilah, umat Islam perlu meninjau dan mempertimbangkan kembali pilihannya.

Jika pemimpin bangsa menjalankan amanatnya dengan baik dan

semestinya, artinya bisa berbuat adil, maka tentunya rakyat tidak akan menentang,

bahkan justru mendukungnya. Namun ketika pemimpin berbuat salah, rakyatpun

tidak langsung menentang bahkan menumbangkannya, karena hal yang mungkin

terjadi bahwa ia melakukannya saat ia khilaf, yang tidak diinginkannya.

Seharusnya persatuan diutamakan. Selama hukum dan keadilan ditegakkan, maka

itu berarti pengurus negara masih menjalankan amanatnya dengan baik, sehingga

rakyatpun harus mentaatinya.

BAB V

bermain kotor, menjadikannya bingung dalam menjatuhkan pilihan. Namun tentunya bangsa
Indonesia tidak perlu berkecil hati, malah harus optimis bahwa pemilihan ini akan membawa
bangsa kepada Indonesia baru.
PENUTUP
Kesimpulan

Dari uraian dan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut :

1. Setelah melalui proses penelitian ma'a>ni> al-h}adi>s|, hadis tentang

seburuk-buruk pemimpin selama menegakkan salat mengandung makna:

ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak

menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan

dalam masyarakat.

2. Hubungan antara kepemimpinan (Ima>mah) dengan salat adalah tegaknya

salat merupakan tanda adanya ijtima>‘ al-kalimah yaitu ketaatan kepada

Allah dan Rasul-Nya dan kesejahteraan dalam suatu kelompok atau

wilayah. Salat dalam hal ini bukanlah salat dalam arti lahiriyah saja, tetapi

salat yang membekas pada perilaku yang baik, adil dan bertanggung

jawab. Dengan demikian, ketaatan kepada pemimpin yang adil diharuskan.

3. Kemunduran dan kekacauan yang terjadi di negara Islam termasuk

Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebagai

bukti ketidakseriusan dalam menjalankan amanat rakyat yang merupakan

kewajiban pemerintah yang diwajibkan oleh syariat Islam. Jika

pemerintahan dan pejabat kenegaraan lain menjalankan segala tugasnya

dengan adil dan penuh tanggung jawab yang sesuai dengan ajaran Islam,

maka yang tercipta adalah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara yang sejahtera lahir dan batin dan berkeadilan sosial bagi
seluruh lapisan rakyat, serta keutuhan serta persatuan dan kesatuan bangsa

sebagai bangsa yang optimis akan terjalin, tidak gentar dengan tekanan

dan ancaman dari bangsa lain.

Saran-saran

Sekiranya, penelitian ini tidak cukup sampai disini, tetapi berlanjut

pada pengembangan yang lebih kompleks, karena penulis menyadari bahwa

tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengajukan beberapa

saran dan masukan yang dianggap perlu untuk pengembangan lebih lanjut.

Guna menghasilkan pemahaman hadis yang lebih sempurna, penelitian ini

perlu menggunakan pendekatan-pendekatan lain secara optimal, misalnya

politik, guna menghasilkan pemahaman yang tepat dan optimal.

Penelitian terhadap hadis-hadis lain yang ada kaitannya dengan hadis ini perlu

dilakukan untuk menambah wawasan dan tentunya akan sangat

bermanfaat dalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bukankah Islam diturunkan sebagai rah}matan li al-a>lami>n.

Penutup

Syukur Alhamdulillah kehadirat Ilahi Rabbi atas rahmat dan inayah-Nya,

akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan segala daya dan

upaya yang ada. Tiada gading yang tidak retak, sepenuhnya peyusun

sadari bahwa tulisan ini masih mengandung banyak kesalahan dan

kekurangannya. Oleh karena itu dengan segala rendah hati, segala saran

dan kritik yang membangun dari berbagai pihak terhadap skripsi ini

sangatlah diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abadi>, Majduddi>n Muh{ammad Ya‘qu>b al-Fairuz. Al-Qa>mu>s al-


Muh}i>t}. Beiru>t: Maktabah al-Buh}u>s wa al-Dira>sah, 1995

Abdurrahman, Umar. Tipe-tipe Penguasa dan Status Hukumnya dalam Islam.


Solo: Pustaka Mantiq, 1995

Ahmad, Zainal Abidin. Konsepsi Negara Bermoral menurut Imam al-Ghazali.


Jakarta : Bulan Bintang, 1975

Arnold, Thomas W. The Caliphate. London: Routledge and Kegan Paul LTD,
1965

Ash-Shiddieqy, Hasbie. Al-Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977

------- Hukum-hukum Fiqh Islam. Medan: T.B. Islamiyyah, 1952

------- Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1971

------- Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983

------- Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995

Al-Alba>ni>, Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n. S}ah}i>h} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r wa


Ziya>dah al-Fath} al-Kabi>r. Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, t.t.

Al-Azdi>, Sulaima>n bin al-‘Asy‘as| Abu> Da>wud al-Sijista>ni>. Sunan Abu>


Da>wud. T.k.: Da>r al-Fikr, t.t.

Al-Bagawi>, Abu> Muh}ammad al-H}usain bin Mas‘u>d, Syarh} al-Sunnah.


Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992

Al-Ba>qi>, Muh}ammad Fu’a>d ‘Abd. Mifta>h Kunu>z al-Sunnah. Beiru>t:


Da>r Ah}ya>’, al-Tura>s| al-‘Arabi>, 2001

CD Mausu>‘ah al-Hadi>>s| al-Syari>f al-Kutub al-Tis‘ah. Edisi 1.2. Produksi


Sakhr, 1991

Casmini, “Keistimewaan Salat Ditinjau dari Aspek Psikologi dan Agama”, dalam
Hisbah, Vol. 1/ No. 1, Januari-Desember 2002

al-Da>rimi>, ‘Abdullah bin ‘Abd al-S}amad al-Samarqandi>. Sunan al-


Da>rimi>. Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Fachruddin, Fuad Mohammad. Pemikiran Politik Islam. Jakarta : CV. Pedoman
Ilmu Jaya, 1988

HAM, Musahadi. Evolusi Konsep Sunnah : Implikasinya pada perkembangan


Hukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu, 2000

Haryanto, Sentot. Psikologi Shalat: Kajian Aspek-aspek Psikologis Ibadah Shalat.


Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2002

Hawwa, Sa’id. Ar-Rasul Muhammad SAW. Terj. Kathur Suhardi. Solo: CV.
Pustaka Mantiq, 1993

H}anbal, Ah}mad bin. Musnad li al-Ima>m Ah}mad bin H}anbal wa


biha>misyihi Muntakhab Kanz al-‘Umma>l fi> Sunan al-Aqwa>l wa al-
Af‘a>l. Beiru>t: Da>r al-Fikr,t.t.

Al-H}asani>, Muh}ammad bin ‘Ala>wi> al-Ma>liki. Al-Manhaj al-Lat}i>f fi>


Us}u>l al-H}adi>s| al-Syari>f. T.k.: t.p., t.t.

Ihwanuddin. “Konsepsi Kepemimpinan dalam Sahih al-Bukhari : Kajian atas


Sanad dan Matan Hadis”. Skripsi. Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga. Yogyakarta, 2001

Imran, Hendrik. Hadis-hadis tentang Kepemimpinan dari Suku Quraisy : Studi


Kritik Sanad dan Matan. Skripsi. Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga. Yogyakarta, 2001

Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma’an al-Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan
Lokal. Jakarta : Bulan Bintang, 1987

------- Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema
Insani Press, 1995

------- Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Al-Ja‘fa>, Muh}ammad bin Isma>‘i>l Abu> ‘Abdulla>h al-Bukha>ri>.


S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beiru>t: Da>r Ibnu Kas|i>r, 1987

Kamaruzzaman. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan


Fundamentalis. Magelang: Indonesiatera, 2001

Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan


Abnormal Itu ? Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998

Kompas, 4 Juni 2004; 6 Juni 2004; 8 Juni 2004

Lewis, Bernard. Bahasa Politik Islam. Terj. Ihsan Ali-Fauzi. Jakarta: Gramedia,
1994

Ma‘luf, Louis. Al-Munjid fi> al-Lugah wa al-A‘la>m. Beiru>t: Da>r al-Masyriq,


1986

Madjid, Nurcholish. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,


1999

------- Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995

------- Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945:


Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat (dalam Satu Naskah).
Yogyakarta: Media Pressindo, 2002

Matraji, Amira Zrein (rev.). Shahih Muslim. Beirut: Dar el-Fiker, 1993

Mulyati, Sri (dkk.). Islam and Development: A Politico-Religious Response.


Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1997

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta:


t.p., 1984

Munoz, Gema Martin (ed.). Political Relations at the End the Millenium. London:
I.B. Tauris, 1999

Musa, M. Yusuf. Politik dan Negara dalam Islam. Surabaya: al-Ikhlas, 1990

Muthahhari, Murtadho. Imamah dan Khilafah. Terj. Satrio Pinandito. Jakarta:


Firdaus, 1991

Al-Maududi, Abul A’la. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Terj. Asep
Hikmat. Bandung: Mizan, 1995

Al-Mawardi>. Al-Ah}ka>m Al-Sult}a>niyyah . Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t.

Al-Mis}ri>, al-Ima>m al-‘Alla>mah Abi Fad}l Jama>l al-Di>n Muh}ammad bin


Mukram Ibn Manz}u>r al-Afri>qi> . Li>sa>n al-‘Arab. Beiru>t: Da>r al-
S}a>dir, 1992

Al-Muba>rak, Muh}ammad. Ni>za>m al-Isla>m: al-Mulk wa al-Daulah.


Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1984

Nasrullah, Ahmad Fadhil. Celaka Orang yang Shalat. Yogyakarta: Target Press,
2001

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985
Nawawi, Hadari. Kepemimpinan menurut Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993

Ni‘mah, Fu’a>d. Mulakhkhas} Qawa>’id al-Lugah al-‘Arabiyyah. Surabaya: Al-


Hida>yah, t.t.

Al-Naisabu>ri>, Abu> al-H}usain Muslim bin al-H}ajjaj ibn Muslim al-


Qusyairi> al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}. Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t.

Al-Nawawi>, Yah}ya> bin Syaraf. S}ah}i>h} Muslim: Syarh} al-Ima>m al-


Nawawi>. Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1983

Perry, Glenn E. “Caliph”, dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic
World, II. New York: Oxford University Press, 1995

Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-


konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996

Rahman, Taufiq. Moralitas Pemimpin dalam Perspektif al-Qur’an. Bandung:


Pustaka Setia, 1999

Rais,Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam. Terj. Abdul Hayyie al-Kattam.


Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Razak, Nasruddin. Dienul Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1993

Sachedina, Abdulaziz. “Imamah”, dalam The Oxford Encyclopedia of The


Modern Islamic World, II. New York: Oxford University Press, 1995

Siddiqi, Abdul Hamid (rend.). Shahih Muslim: Arabic-English. Delhi: Adam


Publisher and Distributors, 1996

Sjadzali, Munawir. Islam and Government Sistem : Teaching, History and


Reflection. Jakarta: Indonesia-Nederland Cooperationin Islamic Studies
(INIS), 1991

------- Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press,
1993

Surachmad, Winarno. Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Teknik.


Bandung : Warsito, 1990

Syari’ati, Ali. Ummah dan Imamah. Terj. Afif Muhammad. Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1989
S}a>lih, Muh}ammad ‘Adib. Tafsi>r al-Nus}u>s} fi> al-Fiqh} al-Isla>mi>.
Beiru>t: al-Maktabah al-Isla>mi>, 1984

Al-Salami>. Muh}ammad bin ‘I>sa> Abu> ‘I>sa> al-Tirmiz|i>. Sunan al-Tirmiz|


i>. Beiru>t: Da>r al-Ih}ya>’ al-Tura>s| al-'Arabi>, t.t.

Al-Siba>‘i>, Mus}t}afa>. al-Sunnah wa Maka>natuhu fi> al-Tasyri>‘ al-


Isla>mi>. Beiru>t: al-Maktabah al-Isla>mi>, 1978

Al-Sulus, Ali Ahmad. Imamah dan Khalifah. Terj. Asmuni Sholihin Zamakhsyari.
Jakarta: Gema Insani Press, 1997

Al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n ‘Abdurrah}ma>n bin Abi> Bakr. al-Ja>mi‘ al-


S{agi>r fi> Ah}a>di>s| al-Basyi>r al-Naz|i>r. T.k.: Da>r al-Fikr, t.t.

Thaha, Mahmud Muhammad. Shalat Perdamaian: Risalah Kebebasan Individu


dan Keadilan Sosial. Terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta : LKiS, 2001

Thahir, Lukman S. “Memahami Matan Hadis Melalui Pendekatan Hermenetik”,


Hermeneia, Vol. 1/ No. 1, Januari-Juni 2002

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar


Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999

Tim Penterjemah al-Quran. al-Qur'an dan Terjemahnya. Madinah: Mujamma‘


Kha>dim al-Haramain al-Syari>fain al-Ma>lik Fahd li al-T}aba>‘ah al-
Mus}h}af al-Syari>f, 1412 H.

Umari, Akram Ziaduddin. Masyarakat Madani. Terj. Mun’im A. Sirry. Jakarta:


Gema Insani Press, 1999

Wensick, A.J. Mu‘jam al-Mufahras li> Alfa>z{ al-H{adi>>s| al-Nabawi>>.


Leiden: E.J. Brill, 1967

Zahra, Abu (ed.). Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia.


Bandung: Pustaka Hidayah, 1999

Zainuddin, Muhadi dan Abdul Mustaqim. Studi Kepemimpinan Islam: Telaah


Normatif dan Historis. Yogyakarta: al-Muhsin Press, 2001

Anda mungkin juga menyukai