Anda di halaman 1dari 97

GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM

OLEH :
SUPRIADI
NIM: 00380327

PEMBIMBING :
1. DRS. ABDUL HALIM, M. Hum.
2. H. SYAFIQ MAHMADAH HANAFI, S.Ag., M.Ag.

MU’AMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
Drs. Abdul Halim, M. Hum.
Dosen Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
NOTA DINAS
Hal : Skripsi sdr.Supriadi
Kepada Yth.
Bapak Dekan Fak. Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, meneliti dan mengoreksi serta memberi masukan dan
perbaikan-perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara :
Nama : Supriadi
NIM : 00380327
Jurusan : Mu’amalah
Judul Skripsi : “GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM
PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar
sarjana starta satu dalam Mu’amalah pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan
mengharap agar segera dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 26 Sya’ban 1425 H
10 Oktober 2004 M

Pembimbing I

Drs.Abdul Halim, M. Hum


NIP. 150 242 804
H. Syafiq Mahmadah Hanafi, S.Ag, M.Ag.

ii
Dosen Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogakarta
NOTA DINAS
Hal : Skripsi sdr. Supriadi
Kepada Yth.
Bapak Dekan Fak. Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, meneliti dan mengoreksi serta memberi masukan dan
perbaikan-perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara :
Nama : Supriadi
NIM : 00380327
Jurusan : Mu’amalah
Judul Skripsi :“GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS DALAM
PRESPEKTIF HUKUM ISLAM.
sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar
sarjana starta satu dalam Mu’amalah pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan
mengharap agar segera dimunaqasyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima
kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 26 Sya’ban 1425 H
10 Oktober 2004 M

Pembimbing II

H. Syafiq Mahmadah Hanafi, S.Ag.M.Ag


NIP. 150 282 012

iii
PENGESAHAN

Skripsi berjudul :
GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS
DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

Yang disusun oleh :


SUPRIADI
00380327

Telah dimunaqasyahkan di depan sidang munaqasyah pada hari sabtu tanggal 30


Oktober 2004 M/16 Ramadhan 1425 H. dan dinyatakan telah dapat diterima
sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana strata satu dalam Ilmu
Hukum Islam.
Yogyakarta, 09 Syawal 1425
22 November 2004
Dekan
Fakultas Syari’ah
UIN Sunan Kalijaga

Drs. H. Abd. Malik Madani, MA.


NIP. 150 182 698
Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dr. Ainurrafiq, M. Ag. Fatma Amilia S.Ag, M.Ag


NIP.150 289213 NIP.150 277 618
Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Abdul Halim M. Hum H.Safiq Mahmadah Hanafi, S.Ag, M.Ag


NIP. 150 242 804 NIP. 150 282 012

Penguji I Penguji II

Drs. Abdul Halim, M. Hum Drs. Riyanta, M. Hum


NIP. 150 242 804 NIP. 150 259 417

iv
Halaman Persembahan

Kupersembahkan Karyaku ini kepada;


Bapak dan Ibu Tercinta
Adik-adikku; Adriani Rais dan Budiamin Rais
Dindaku tersayang yang penuh kesabaran rela menunggu

v
MOTTO

“…Yakin Usaha Sampai...”


(petikan hymne HMI)

“Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei

pammase Puang”
(Petikan lambang Kab. Sidrap)

vi
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
Berdasarkan kepada SKB. Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Tanggal 22 Januari 1988 Nomor 158/1987 dan 0543b/1987.

I. Penulisan Kosakata Tunggal


Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
‫ا‬ alif _ Tidak dilambangkan

‫ب‬ ba> B, b _

‫ت‬ ta> T, t _

‫ث‬ s\a> S|, s\ dengan titik di atasnya

‫ج‬ ji>m J, j _

‫ح‬ h}a>’ H}, h} dengan titik di bawahnya

‫خ‬ kha>’ KH, kh _

‫د‬ da>l D, d _

‫ذ‬ z\a>l Z|, z\ dengan titik di atasnya

‫ر‬ ra>’ R, r _

‫ز‬ za>’ Z, z _

‫س‬ si>n S, s _

‫ش‬ syi>n SY, sy _

‫ص‬ s}a>d S}, s} dengan titik di bawahnya

‫ض‬ d}a>d D}, d} dengan titik di bawahnya

‫ط‬ t}a> T}, t} dengan titik di bawahnya

‫ظ‬ z}a> Z{, z} dengan titik di bawahnya

‫ع‬ ‘ain ‘ dengan koma terbalik

vii
‫غ‬ gi>n Gg, g _

‫ف‬ fa>’ F, f _

‫ق‬ qa>f Q, q _

‫ك‬ ka>f K, k _

‫ل‬ la>m L, l _

‫م‬ mi>m M, m _

‫ن‬ nu>n N, n _

‫و‬ wawu W, w _

‫ه‬ ha>’ H, h _
,
‫ء‬ hamzah
dengan apostrof
‫ي‬ ya>’ Y, y
_

II. Penulisan Konsonan Rangkap

Huruf musyaddad (di-tasydid ) ditulis rangkap, seperti :

‫ الي ّغرنّك‬ditulis = la> yagurrannaka

III. Penulisan Ta’ Marbutah di akhir Kata

Ditulis dengan huruf h, seperti :

1. ‫صد قاتهن نحلة‬ ditulis = s}aduqa>tihinna nih{lah

2. ‫نعمة هللا‬ ditulis = ni‘mah Allah(Ini tidak berlaku untuk kata-kata

Arab yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Seperti zakat, salat

dan sebagainya, kecuali jika yang dikehe ndaki adalah lafaz aslinya).

viii
IV. Penulisan Vokal Pendek

َ (fathah) ditulis = a.

ِ (kasrah) ditulis = i.

ُ (dammah) ditulis = u.
V. Penulisan Vokal Panjang

0 Fathah + huruf alif ditulis = a, seperti :

‫ من الرجال‬ditulis = min ar-rija>li


1 Fathah + huruf alif layyinah, ditulis = a, seperti :

‫ عيسي وموسي‬ditulis = ‘I>sa> wa Mu>sa>

2 Kasrah + huruf ya’ mati, ditulis = i, seperti :

‫قريب مجيب‬ ditulis = qari>b muji>b

3 Dammah + huruf wawu mati, ditulis = u, seperti :

‫ وقلوبهم‬v‫ وجوههم‬ditulis = wuju>huhum wa qulu>buhum

VI. Penulisan Diftong

0 Fathah + huruf ya’ mati, ditulis = ai, seperti :

‫بين ايديكم‬ ditulis = baina aidi>kum

1 Fathah + huruf wawu mati, ditulis = au, seperti :

‫ من قوم زوجها‬ditulis = min qaum zaujiha>

VII. Vokal-vokal Pendek dalam Satu Kata

Semua itu ditulis dan dipisahkan dengan apostrof, seperti :

‫أأنذرتهم‬ ditulis = a ’anz\artahum

ix
VIII. Penulisan Huruf Alif Lam

A. Jika bertemu dengan huruf qamariyah, maka ditulis = al-, seperti :

‫ الكريم الكبير‬ditulis = al-kari>m al-kabi>r

B. Jika bertemu dengan huruf syamsiyyah, ditulis sama dengan huruf

tersebut seperti :

‫ النساء‬,‫الرسول‬ ditulis = ar-rasu>l, an-nisa’>

C. Berada di awal kalimat, ditulis dengan huruf kapital, seperti :

‫ العزيز الحكيم‬ditulis = Al-‘azi>z al-h}aki>m

D. Berada di tengah kalimat, ditulis dengan huruf kecil, seperti :

‫يحب المحسنين‬ ditulis = yuh}ib al-muh}sini>n

IX. Pengecualian

A. Huruf ya’ nisbah untuk kata benda muzakkar ditulis dengan huruf i, seperti :

‫ المالكي‬v‫الشافعي‬ ditulis = asy-Sya>fi‘i> al-Ma>liki>

Sementara untuk kata mu’annas, ditulis sama, dengan tambahan yah, seperti :

‫القونية اإلسالمية‬ ditulis = al-qauniyyah al-isla>miyyah

0 Huruf hamzah di awal kata, ditulis tanpa didahului tanda (‘), misalnya :

‫إحياء األموات‬ ditulis = ‘ih}ya>’ al-amwa>t

1 Huruf ta’ marbutah pada nama orang, aliran dan benda lain yang sudah di

kenal di Indonesia dengan ejaan h, ditulis dengan huruf h, seperti :

‫سعادة و حكمة‬ ditulis = Sa‘a>dah wa Hikmah

x
KATA PENGANTAR

‫الحمدهلل رب العالمين اشهد ان ال اله اال هللا وحده الشريك له واشهد ان محمدا عبده و رسوله‬
.‫ على رسوله الكريم واصحابه اجمعين‬v‫ال نبي بعده والصالة والسالم‬

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji syukur terpanjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan

nikmat kekuatan fisik, spiritual maupun intelektual, sehingga penulisan skripsi

yang cukup berat ini dapat terselesaikan. Tanpa semua nikmat-Nya, tentu tulisan

ini tidak akan pernah mengenal kata “selesai”. Sebab hanya dengan rid}a-Nya

setiap kesulitan hidup di muka bumi dalam pelbagai dimensinya akan dapat

ditemukan solusinya.

S{alawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Sayyid al-

Mursali>n wa Khair al-Anbiya>’ wa Habi>b ar-Rab al-‘A>lami>n, Muhammad

SAW. beserta keluarga, sahabat dan para pengikut setianya.

Sebagai sebuah produk penelitian, skripsi ini tentu melibatkan partisipasi

banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu

mempermudah kesulitan-kesulitan yang penyusun alami. Mereka semua telah

berjasa, oleh karenanya penyusun ucapkan banyak terimakasih. Dengan tidak

mengurangi rasa hormat kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per

satu, secara khusus penyusun perlu menghaturkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. H. Abd. Malik Madani, MA. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

xi
2. Bapak Drs. Abdul Halim, M. Hum. Selaku Pembimbing I

3. Bapak H. Syafiq Mahmadah Hanafi, SAg.M.Ag. Selaku Pembimbing II.

4. Ibu Muyassaratus S, S. Ag, SH, M. H, selaku Pembimbing Akademik.

5. Segenap staf pengajar dan karyawan Fakultas Syari’ah UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta

6. Bapak dan Ibu tercinta: H. Muhammad Rais (Alm) dan Hj. Pahmiah, yang

telah memberikan dorongan, baik moril maupun materi’il yang tak

terhingga. Semoga amal baik mereka semua mendapatkan pahala setimpal

dari Allah SWT.

7. Adik-adiku; Adriani Rais dan Budiamin Rais.

8. Teman-teman semua.

Akhirnya, kendati penyusun telah berusaha secara maksimal untuk

menghasilkan sebuah karya yang berkualitas, namun masih begitu banyak

sekali kekurangan yang berada di luar jangkauan penyusun untuk

memperbaikinya. Oleh karena itu saran dan kritik konstruktif, akan selalu

penyusun harapkan dari semua pihak. Semoga Allah senantiasa membimbing

kita semua ke jalan lurus yang dirid}hai-Nya.

Wassalamu’alaikum wr. wb
Yogyakarta, 26 Sya’ban 1425 H
11 Oktober 2004 M
Penyusun

Supriadi
ABSTRAK

xii
Keberadaan praktek Gadai Tanah Sawah merupakan suatu tradisi yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng
Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan. Hal ini hampir bisa dipastikan bahwa
sebagian besar masyarakat melakukan hal tersebut. Oleh karena itu adanya
praktek gadai tanah sawah tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hal yang tidak
bisa dihindari.
Salah satu tindakan yang diambil manusia pada zaman dahulu hingga
sekarang ini, dalam rangka memenuhi kebutuhan yang mendesak dan keuangan
adalah dengan menyelenggarakan traksaksi gadai tanah sawah. Gadai tanah sawah
sejak dulu telah memainkan peran penting di dalam kehidupan masyarakat, dalam
hal-hal tertentu, menggadaikan tanah sawah bahkan jauh lebih penting dari pada
yang lain. Praktek gadai tanah yang terjadi dalam masyarakat Bugis khususnya di
kecamatan Watang Sidenreng yaitu jika seseorang ingin meminjam uang maka
tanah sawah miliknya dijadikan jaminan atau anggunan, kemudian tanah sawah
tersebut dikelolah oleh pemberi gadai dalam hal ini murtahin.
Penelitian ini mencoba mengetahui apakah paktek gadai tanah sawah di
Kecamatan Watang Sidenreng serta pemanfaatannya telah memenuhi norma-
norma hukum Islam. Untuk mengetahui apakah telah sesuai dengan norma-norma
hukum Islam maka praktek gadai tanah sawah yang dilakukan di Kecamatan
Watang Sidenreng tersebut dianalisis dengan prinsip muamalat Islam yakni dapat
menghindari unsur-unsur garar, maisir, riba dan Eksploitasi (ketidakadilan).
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (Field Research)
yang dilaksanakan di Kecamatan Watang Sidenreng Kabupaten Sidrap Sulawesi
Selatan. Sedangkan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosiologis-
yuridis syar’ih yakni pendekatan yang digunakan untuk melihat suatu masalah
gadai tanah yang ada dalam masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang
Sidenreng kemudian dibahas dan dinilai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Sampai saat ini pengakuan bahwa praktek gadai tanah sawah merupakan
praktek gadai yang sesuai dengan syari’ah belum pernah ada. Prinsip-prinsip
syari’ah dalam praktek gadai tanah sawah di Kecamatan Watang Sidenreng,
misalnya apakah pelaksanaan praktek gadai tanah sawah tersebut benar-benar
telah terhindar dari unsur gharar, maisir, riba dan eksploitasi (ketidakadilan).
Namun setelah diadakan penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa
penerapan prinsip-prinsip syari’ah dalam transaksi gadai tanah sawah pada
masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng secara keseluruhan belum
sesuai dengan norma-norma syari’ah karena masih terdapat unsur eksploitasi
(ketidakadilan) yakni pada pengambilan manfaat atas tanah sawah yang dijadikan
jaminan sampai hutang dibayar, sementara rahn tidak mendapatkan bagian dari
hasil tanah sawah tersebut.

DAFTAR ISI

xiii
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
NOTA DINAS…………………………………………………………………….ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………….v
MOTTO………………………………………………………………………….vi
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………….…………vii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...xi
ABSTRAK………………………………………………………………….…. xiii
DAFTAR ISI…….………………………………………………………….…. xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………..1


B. Pokok Masalah…………………………………………………………7
C. Tujuan dan Kegunaan…………………………………………………..7
D. Telaah Pustaka…………………………………………………………8
E. Kerangka Teoretik…………………………………………………….10
F. Metode Penelitian……………………………………………………..15
G. Sistematika Pembahasan……………………………………………...19

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG GADAI MENURUT HUKUM


ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Gadai.…………………………………20
1. Pengertian Gadai…………...…………………………………...20
2. Dasar Hukum Gadai…………………………………..………...23
B. Mekanisme Pelaksanaan Gadai Menurut Hukum Islam………….....26
C. Pemanfaatan Barang Gadai………………... ….…………….………33

BAB III PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN


PEMANFAATAN TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT
BUGIS DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG
KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN
A. Deskripsi Wilayah Penelitian…………………………………….37
1. Keadaan Geografis dan Demografi…………………………..37

xiv
2. Keadaan Ekonomi Masyarakat………………………………40
3. Keadaan Pendidikan dan Keagamaan……………….……….41
B. Praktek dan Mekanisme Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam
Masyarakat Bugis Di Kecamatan Watang Sidenreng……………44
1. Pengertian Gadai…………………………………………….44
2. Proses Terjadinya Gadai……………………………………..46
3. Hak dan Kewajiban Penggadai dan Penerima Gadai………...47
C. Pemanfaatan Barang Gadai………………………………………48

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN DAN PEMANFAATAN


GADAI TANAH DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Praktek Gadai Tanah di Kecamatan Watang Sidenreng Menurut
Hukum Islam………………………………………….………....50
B.Pemanfaatan Tanah Gadai ditinjau dari segi
Maslahah dan Mufs}adah-nya………………….…..………….
…..63

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………….68
B. Saran…….………………………………………….…………...…...69

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Daftar Terjemahan…………………………………………………………………I
Biografi Ulama…………………………………………………………………..IV
Surat Rekomendasi dan Izin Riset……………………………………………….VI
Pedoman Wawancara…………………………………………………………...VII
Daftar Angket Penelitian……..………………………………………………….IX
Curiculum Vitae………………………………………………………………...XII

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan Tuhan kepada

Muhammad SAW. Sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-

hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tatacara

kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya,

hubugan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan khaliq-Nya.

xvi
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang

membentuk pandangan hidup manusia. Islam hadir dalam bentuk garis-garis

hukum yang global, yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu

memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia baik yang meliputi aspek

ritual (ibadah) maupun sosial (mualamah). Dengan demikian akan dapat digali

(diistimbat) berbagai pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan

manusia.

Dalam menjawab permasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum

Islam dalam era moderen dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat lagi

dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring

dengan berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat

elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik serta dapat

memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.

Oleh karena itu dalam hubungan antara sesama manusia diberi kebebasan

untuk berijtihad sepanjang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan as-Sunnah,

sebagaimana yang dinyatakan dalam suatu hadis Nabi SAW :

‫(أنتم أعـلم بأمـوردنـياكم‬1


Dengan dasar ini maka manusia diberi kebebasan untuk mengatur segala

kebutuhan hidupnya yang serba dinamis asalkan aturan itu tidak bertentangan

dengan nas maupun maksud syar’i.

1(
An-Nawa>wi>, S{ah{ih} Muslim Bisyarh an-Nawa>wi>, kitab Fadail,
bab Wuju>bun Imsa>lun Ma>qa>luhu Syar’an Du>na Ma>zakaruhu SAW
(Mesir: Mat ba>ah Wa Maktabah, 1942), 15 : 118, , Hadis S{ah{ih}} Riwayat
Muslim dari ‘Aisyah dari S{abit dari Anas

xvii
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar supaya hidup saling

tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus

menolong yang tidak mampu. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa

pemberian dan bisa berupa pinjaman.

Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur,

jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari

debitur sebagai jaminan utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu

melunasi pinjamannya, maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep

tersebut dalam Fiqih Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.2)

Salah satu bentuk muamalah yang disyari’atkan oleh Allah adalah Gadai

berdasarkan firman Allah sebagai berikut :

‫ان ا مـن بـعـضكـم بـعـضـا‬a‫وان كـنـتم عـلي سفـر ولم تجـد وا كاتبا فـرهـن مـقــبـو ضـة ف‬

‫فـلـيـوء د الـذ ي اوء تـمـن امـا نـتـه و لـيـتـق اهللا والتـكــتمـوا الشــهـا دة و مـن‬

‫( يـكـتـمـهـا فـا نـه ا ثـم قـاـبـه وا هللا بـمـا تـعــمـلـو ن عــلـيم‬3

Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, untuk

suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang

menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan

tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh

penerima gadai (yang berpiutang). Praktek seperti ini telah ada sejak zaman

Rasulullah SAW. Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan

secara suka rela atas dasar tolong-menolong.

2)
Muhammad dan Sholikul Hadi,Pegadaian Syari’ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),
hlm 1-3
3)
Al-Baqarah, (2) : 283

xviii
Dalam masalah gadai, Islam telah mengaturnya seperti yang telah

diungkapkan oleh ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar hukum maupun

tentang pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai yang semua itu bisa

dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Dalam pelaksanaannya tidak menutup

kemungkinan adanya penyimpangan dari aturan yang ada.

Gadai atau ar-rahn dalam bahasa Arab (arti lughat) berarti al-s|ubut wa

al-dawam (tetap dan kekal). Sebahagian ulama lughat memberi arti ar-rahn

dengan al-habs (tertahan)4)

Menurut Ahmad Azhar Basyir gadai menurut istilah ialah :

Menjadikan benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai


tanggungan utang ; dengan adanya benda yang menjadi
tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.5)
Sedangkan unsur-unsur gadai (rahn) adalah orang yang menyerahkan

barang gadai disebut rahi>n, orang yang menerima (menahan) barang gadai

disebut murtahin. Barang gadai disebut Marhu>n dan sigat akad.6)

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa gadai adalah penahanan suatu
barang atau jaminan atas utang, jika utang sudah dilunasi maka
jaminan itu akan dikembalikan kepada yang punya.
Di masyarakat Indonesia praktek gadai mengalami perkembangan yang

sangat pesat karena mengadaikan benda (barang) baik yang bergerak maupun

yang tidak bergerak merupakan jalan keluar bagi orang-orang yang membutuhkan

bantuan. Dalam masyarakat adat sering terjadi suatu perbuatan untuk

mengadaikan tanah (sawah). Di dalam hukum adat gadai tanah biasa dikenal
4)
As-Sayyid sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), III : 187.
5)
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gada, Cet. Ke-2
(Bandung: al- Ma’arif, 1983), hlm. 50.
6)
Ibid.

xix
dengan istilah jual gadai. Jual gadai merupakan penyerahan tanah dengan

pembayaran kontan, dengan ketentuan sipenjual tetap berhak atas pengembalian

tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.7) Gadai tanah tidak dijelaskan dalam

kitab undang-undang hukum perdata karena tanah merupakan benda tak bergerak

dikategorikan dalam hipotik.

Setelah undang-undang pokok agraria berlaku maka gadai diatur dalam

PERPU No. 56 Tahun 1960 tentang “ PENETAPAN LUAS TANAH

PERTANIAN”.8)

Selanjutnya penyusun akan menggambarkan pelaksanaan praktek gadai

tanah sawah yang ada di masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang

Sidenreng kebupaten Sidrap.

Kecamatan Watang Sidenreng secara geografis termasuk daerah yang

subur bila dilihat dari tanah dan pengairan yang berasal dari sungai Saddang di

kabupaten Pinrang, sehingga sawah mampu panen dua kali dalam setahun.

Masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng mayoritas beragama Islam.

Akan tetapi masih perlu adanya peningkatan kualitas keagamaan, karena pada

umumnya mereka belum mementingkan akan pentingnya pendidikan. Hal ini

terjadi dalam praktek gadai tanah sawah (masyarakat Watang Sidenreng

menyebutnya Nappakateniang). Menurut penyusun perlu adanya penelitian

karena status gadai tersebut belum jelas. Dalam praktek gadai tersebut Murtahin

(penerima gadai) diperbolehkan mengambil manfaat dari sawah rahin (yang

menggadaikan).

7)
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Cet. Ke-4 (Yogyakarta: Liberty,2000), hlm. 28
8 )
Ibid, hlm. 31.

xx
Di dalam masyarakat Bugis terutama di kecamatan Watang Sidenreng

kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan sering kali terjadi transaksi utang piutang yang

mana tanah dijadikan sebagai barang jaminan atas utang mereka. Menurut

pengamatan penyusun praktek gadai dalam masyarakat tersebut terdapat hal yang

bisa menyebabkan penggadai (pemilik tanah) rugi, karena penerima gadai sering

kali mendapat keuntungan yang lebih besar dari pada uang yang dipinjamkan.

Selain itu tidak adanya ketetapan diantara kedua belak pihak tentang masa

waktu/jangka waktu gadai tersebut, sehingga penerima gadai akan

mengembalikan tanah gadai tersebut sampai pemiliknya mampu melunasi

utangnya. Dengan praktek yang semacam itu maka akan terjadi keuntungan yang

lebih besar bagi penerima gadai (Murtahin).

Praktek jual gadai dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang

Sidenreng kabupaten Sidrap dilakukan dengan cara : si A sebagai orang yang

ingin mengadaikan tanahnya (sawah) datang kepada si B dengan maksud untuk

meminjam uang. Dalam transaksi tersebut si A memberikan tanah (sawah) sebagai

jaminan utangnya. Namun di dalam perjanjian itu tidak disepakati tentang siapa

yang akan mengelolah tanah (sawah) tersebut. Tetapi pada kenyataannya yang

mengelolah tanah (sawah) tersebut adalah si B (Murtahin).

Dalam praktek gadai tersebut murtahin (penerima gadai) mengambil

manfaat dari sawahnya rahin. Dalam fiqh Mu’amalah dijelaskan bahwa :

Hak murtahin kepada marhun hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya
yang mengandung nilai, tidak pada penggunaan dan pemungutan
hasilnya.9

9)
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam ….. hlm. 56

xxi
Oleh karena itu peneliti ingin mengadakan penelitian dengan tema gadai

tanah pada masyarakat bugis dalam perspektif hukum Islam dan selanjutnya akan

dianalisis dari segi hukum adat dan hukum Islam. Disamping itu juga untuk

mengetahui apakah pemanfaatan barang gadai (tanah gadai) tersebut sesuai

dengan norma-norma dalam ajaran Islam?.

B. Pokok Masalah.

Dari dasar pemikiran tersebut di atas, maka dapat ditarik pokok masalah,

yakni sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktek gadai tanah serta

pemanfaatannya dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang

Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan Penelitian adalah :

a. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang gadai

tanah dalam masyarakat Bugis di Kecamatan watang Sidenreng,

Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.

b. Untuk menjelaskan pemanfaatan tanah gadai dalam perspektif

hukum Islam.

2. Kegunaan Penelitan adalah :

a. Penelitan ini diharapkan dapat menambah khasana keilmuan Islam

khususnya tentang konsep gadai terutama gadai tanah.

xxii
b. Juga dapat dimanfaatkan untuk merumuskan program pembinaan

dan pemantapan kehidupan beragama, yang berkenaan dengan

perkara mu’amalah, khususnya dalam praktek gadai tanah.

D. Telaah Pustaka

Beberapa karya tulis yang membahas tentang gadai tanah ini sudah

banyak, diantaranya adalah karya Iman Sudiyat dengan judul Hukum Adat, Sketsa

Asas, Dan karya Muhammad dan Sholikul Hadi dengan judul Pegadaian

Syariah. Kedua buku tersebut merupakan proyeksi perbandingan antara Hukum

Adat, dan Hukum Islam. Diantara pembahasan dari kedua buku tersebut adalah

tentang hukum tanah, Transaksi Tanah, Transaksi yang berhubungan dengan

tanah, Konsep dan asas legal pegadaian syariah (Rahn) dan Pegadaian dalam

perspektif Islam.

Karya-karya lain yang penyusun dapatkan adalah Karya Dr. H. Chuzaimah

T. Yanggo dan Drs. HA. Hafiz Anshary AZ, MA dengan judul Problematika

Hukum Islam Kontemporer buku ketiga. Karya Prof Dr. Ny. Sri Soedewi

Masjchoen Sofwan SH dengan judul Hukum Perdata : Hukum Benda. Karya-

karya di atas menghasilkan hasilkan suatu kajian yang menyeluruh dan utuh serta

kritis dan falid.

Selain itu karya yang lain adalah Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq.

Menurur beliau barang gadai tidak boleh dimanfaatkan barangnya, kecuali jika

yang digadai itu berbentuk binatang, ia boleh memanfaatkan sebagai imbalan

memberi makan binatang tersebut.10)

10)
Sayyid Sabiq, Fiqh ….. hlm. 188-189.

xxiii
Tindakan memanfaatkan barang gadaian adalah tak ubahnya qiradh yang

mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah

riba. Ini sesuai hadis Nabi SAW :

‫ل قـر ض مـنـفـعـة فـهـو ربـا‬aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa‫(ك‬11

Menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mugny menyebutkan sebagai

berikut :

“Penerima gadai tidak boleh menerima hasil dari atau manfaat dari
gadaian sedikitpun kecuali dari yang bisa ditunggangi dan diperah sesuai
dengan biaya yang dikeluarkan”12)
Di sini penyusun tidak terlalu banyak mungkin untuk menyebutkan buku-buku
apa saja yang ditelaah dalam membatu penyusunan penelitian ini.
Karena menurut penyusun yang namanya telaah pustaka adalah
hasil penelitian orang lain yang sudah pernah meneliti dalam kasus
yang sama tapi di tempat atau permasalahan yang berbeda.
Adapun penelitian yang sudah pernah dilakukan dalam tenggang yang

sama ada beberapa skripsi yang penyusun telah baca, diantaranya adalah :

Skripsi Antoni Eka Putra, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek
Gadai Tanah Sawah di Desa Talang Kecamatan Perwakilan
Mungka kab. 50 Kota Sumatera Barat”, hanya membahas tentang
batasan waktu yang tidak terjadi dalam praktek gadai tanah sawah
kemudian dianalisis. Skripsi tersebut tidak membahas masalah
yang sedang penyusun bahas.
Skripsi Arifatul Latifah, yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap

Gadai Tanah Sawah di Desa Gondowangi Kec. Sawangan, Magelang, Jawa

11)
Al-ha>fiz Ibn Hajar a>l-‘Asqala.ny, Bulu>g al-Mara>m min Adillati al_Ahka>m,
(Semarang: Taha Putra t.t.,),hlm. 182 Bab salam, Qirad dan Rahn,Hadis riwayat H{aris bin Abi
Usamah dari Ali bin Abi Thalib.
12)
Abu Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Qudamah, al-Mugny Li Ibni
Qudaimah (Riyadh : Mahtabaturriyah al-Hadisah, t.t.,), IV: 426.

xxiv
Tengah”, hanya menjelaskan kategori sistem gadai yang memerlukan pembiayaan

dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.

Melihat dari dua uraian skripsi di atas serta sekian banyak buku yang penyusun
baca, belum terdapat pembahasan mengenai praktek gadai tanah
(sawah) pada masyarakat Bugis terutama di Kecamatan Watang
Sidenreng, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, sehingga kami
mengambil keputusan untuk melakukan penelitian tentang hal
tersebut di daerah setempat. Dengan demikian penelitian ini layak
untuk dilakukan.

E. Kerangka Teoritik.

Gadai adalah merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu

pinjaman barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain

atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan

kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu

dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang

tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-

biaya mana yang harus didahulukan.13)

Sedangkan menurut hukum Islam gadai diistilakan dengan “rahn” dan

dapat juga dinamai dengan “al-habsu” Secara etimologi kata rahn berarti “tetap

atau lestari”, sedangkan al-habsu berarti “penahanan”. Adapun pengertian yang

terkandung dalam istilah tersebut “ menjadikan barang yang mempunyai nilai

harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan utang, hingga orang yang

13)
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Cet. Ke-5,
(Yogyakarta : Liberty.1974), hlm. 96-97.

xxv
bersangkutan boleh mengambil utang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat)

barangnya tersebut. Demikian menurut defenisi para ulama.14)

Menurut pengertian di atas terutama gadai dalam kitab undang-undang

hukum perdata dijelaskan bahwa benda yang dapat dijadikan barang gadai adalah

benda bergerak baik yang bertubuh maupun tidak bertubuh. Sedangkan benda

yang tidak bergerak tidak dapat digadaikan. Perbedaan antara benda bergerak

dengan benda tidak bergerak dalam kitab undang-undang hukum perdata

mempunyai konsekuensi dimana lembaga jaminan juga dibagi dua yaitu gadai

untuk benda bergerak sedangkan hipotik untuk benda tidak bergerak.15)

Sebenarnya pengertian gadai dan hipotik itu mempunyai pengertian yang

sama, hanya saja bedanya kalau gadai dapat diberikan melulu atas benda-benda

yang bergerak, sedangkan hipotik hanya melulu atas benda-benda yang tidak

bergerak. Kedua hal kebendaan ini (gadai dan hipotik) memberikan kekuasaan

atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi untuk dijadikan sebagai jaminan bagi

hutang seseorang semata.16)

Secara umum gadai merupakan tindakan atau perbuatan dalam bidang

perekonomian. Orang yang menggadaikan suatu barang mendapatkan uang

sebagai imbalannya, uang tersebut merupakan utang dengan jaminan barang yang

diserahkan kepada kreditur. Kegiatan perekonomian terutama perekonomian

syari’ah tidak terbatas hanya merujuk pada bebasnya dari suatu riba, garar, dan

14)
As-Sayyid sabiq, fiqh sunah,alih bahasa H.Kamaruddin A. Marzuki, Jilid 12, Cet. Ke-
14, (Bandung : PT. Alma’arif, 1987), hlm. 150.
15)
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hakm Jaminan Kebendaan, Cet. Ke-4, (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), hlm. 91.
16)
H. Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Ketiga, Cet.
Ke-2, (Jakarta : LSIK, 1997), hlm 61-62

xxvi
maisir. Para ahli ekonomi Islam dan fuqaha mendiskusikan tentang

perekonomian yang Islami dengan menyepakati bahwa perekonomian Islam harus

memenuhi sekurang-kurangnya dua kreteria, yaitu :

1. Diselenggarakan dengan tidak melanggar rambu-rambu syari’ah.

2. membantu mencapai tujuan sosio-ekonomi umat dan masyarakat dengan

berdasar pada ajaran agama.

Dalam prakteknya pelaku bisnis harus memperhatikan segala tindakannya

apakah berada dalam bingkai ajaran Islam dengan memegang teguh prinsip-

prinsip moral dan etika atau bahkan sebaliknya. Karena hal ini sangat berimplikasi

pada seluruh aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu

kegiatan ekonomi (Muamalah) Islam, termasuk di dalamnya gadai (gadai tanah)

harus didasarkan pada empat prinsip muamalah, yaitu :

1. Pada dasarnya, segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang

ditentukan lain oleh al-Qur’an dan sunah Rasul.

2. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur

paksaan.

3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan

menghindari madharat dalam kehidupan masyarakat.

4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari

unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam

kesempitan.17)

17)
Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas Hukum Muamalah,edisi revisi, (yogyakarta: UII Press
2000), hlm. 15.

xxvii
Disamping itu pada dasarnya Islam memberi kebebasan pada seseorang

untuk melakukan akad (perjanjian). Kebebasan itu sepanjang tidak melanggar

aturan umum dan nilai kesusilaan. Oleh karena itu dikenal kaedah ushul fiqh yang

berbunyi :

18(
‫االصل في العقدرضي المتعاقد ين و نتجته ما التزما ه با لتعاقد‬

Maksud dari qaidah tersebut adalah bahwa seseorang tidak harus terkait

dengan rumusan-rumusan perjanjian yang telah ditetapkan nash, atau bahkan

formulasi akad para ulama klasik. Atas dasar itu, maka tidak menutup

kemungkinan dilakukan perjanjian gadai, baik itu gadai terhadap benda bergerak

maupun benda tidak bergerak.

Gadai tanah (benda tidak bergerak), sebagaimana yang berlaku dalam

hukum perdata dan hukum adat di Indonesia, tidak ditemukan secara khusus yang

membahas dalam fiqh. Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam

hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada sisi lain mirip dengan

rahn. Kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta

yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfaatkan

dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun hanya dalam waktu

yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak

menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu.19)

18)
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqhiyah (Qawaidul Fiqhiyyah), Cet.ke-4,
(Jakarata: Bulan Bintang, 1976), hlm. 44.
19)
Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian …. hlm. 43.

xxviii
Pada satu sisi gadai tanah mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum

adat menyebutnya sebagai jual beli gadai. Pada sisi lain mirip dengan rahn.

Kemiripan dengan jual beli karena berpindahnya hak menguasai harta yang

digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk memanfatkannya

dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu yang

ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn (Jaminan) adalah karena

adanya hak menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. 20)

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan (Field Reseach).

Penelitian ini dilaksanakan di Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan

khususnya di kecamatan Watang Sidenreng, kabupaten Sidrap.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif-analitik,

yaitu penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan, menggambarkan

dan menguraikan suatu masalah (Gadai Tanah) secara obyektif dari obyek

yang diselidiki tersebut21). Yaitu praktek gadai tanah sawah yang dilakukan

dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Selanjutnya,

guna mendapatkan manfaat yang lebih luas, maka data yang telah

didapatkan tersebut dianalisis dan diagnosis menggunakan metode

20)
Ibid. hlm. 45.
21)
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet.ke-8, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1998), hlm. 31.

xxix
normatif untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas tentang gadai tanah

dalam hukum Islam.

3. Pendekatan Masalah.

Pendekatan yang digunakan adalah normatif, pendekatan ini dapat

didefenisikan sebagai berikut :

a. Normatif, yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat suatu

masalah yang dikaitkan dengan keadaan yang ada dalam

masyarakat. Dalam hal ini adalah gadai tanah yang terjadi di

kecamatan Watang Sidenreng yang telah menjadi adat kebiasaan.

4. Teknik Pengumpulan data.

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik

fenomena-fenomena yang diselidiki.22) Ini penyusun gunakan untuk

memperoleh data yang diperlukan baik langsung maupun tidak

langsung. Dalam melakukan observasi selama penelitian ini

dilaksanakan, terjadi praktek gadai tanah yang dilakukan oleh

masyarakat.

b. Wawancara

Dilakukan sebagai pelengkap untuk memperoleh data dengan memakai

pokok-pokok wawancara sebagai pedoman agar wawancara terarah.

Wawancara ini dilakukan dengan mengambil responden dari pihak

penggadai dan penerima gadai, dan sebagai informannya adalah

22)
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Cet. Ke-22, ( Yogyakarta: Andi Offset, 1990),
hlm. 136

xxx
tokoh masyarakat setempat dan pihak pemerintah agar wawancara ini

lebih kuat.

c. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan cara mengambil data dari dokumen yang

merupakan suatu pencatatan formal dengan bukti otentik.

d. Populasi dan Penentuan Sampel.

1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-

cirinya akan diduga. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi

adalah para penggadai dan penerima gadai yang ada di Kecamatan

Watang Sidenreng khususnya di 3 kelurahan yaitu kelurahan

Empagae, Sidenreng dan kelurahan Kanyuara. Karena di kecamatan

Watang Sidenreng karakter masyarakat dan perilaku dalam praktek

gadai tanah sawah hampir sama.

2. Penentuan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple

Random Sampling, yaitu cara pengambilan sampel dilakukan

dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam

populasi yang dijadikan obyek penelitian, penyusun

menggunakan.23) Penelitian ini mengambil Sampel dari populasi

yaitu penggadai dan penerima gadai yang ada di kelurahan

Empagae, Sidenreng dan Kanyuara kecamatan Watang Sidenreng

23)
ibid. hlm. 80

xxxi
masing-masing 10 orang. Penyusun menggunakan non-random

sampling karena tidak semua populasi melaksanakan praktek gadai

tanah sawah.

e. Angket.

Untuk mengetahui lebih mendalam praktek gadai tanah sawah di

kecamatan Watang Sidenreng penyusun menggunakan angket yang

diberikan kepada masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat memberikan

jawaban atas pertanyaan dalam angket tersebut. Jumlah angket

seluruhnya ada 60 buah dan setiap kelurahan 20 buah. Penggunaan

angket dalam penelitian ini untuk memperkuat pengamatan dan

wawancara yang penyusun lakukan.

5. Analisis Data.

Setelah data mengenai gadai tanah terkumpul, maka kemudian dilakukan

analisis dan diagnosis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu

dengan cara menganalisis data tanpa mempergunakan perhitungan angka-

angka melainkan mempergunakan sumber informasi yang relevan untuk

memperlengkap data yang penyusun inginkan. Hal ini dilakukan untuk

mengetahui sejauh mana keadaaan dan kondisi masyarakat tersebut

mempengaruhi eksistensi kasus-kasus yang ada dalam data yang

didapatkan tersebut. Selanjutnya, data yang terhimpun tersebut dianalisis

berdasarkan hukum Islam. Dengan metode analisis data seperti ini

diharapkan akan didapatkan suatu kesimpulan akhir mengenai status gadai

xxxii
tanah dalam perspektif hukum Islam dari kasus yang ada dalam data

tersebut.

G. Sistematika Pembahasan.

Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab. Sistematika

pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

Untuk bab pertama, adalah membicarakan pendahuluhan yang merupakan

abstraksi dari keseluruhan isi skripsi ini yang akan menguraikan latar belakang

masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori,

metode penelitian yang diterapkan serta yang terakhir sistematika pembahasan.

Pada bab dua, membahas gambaran umum gadai menurut hukum Islam.

Pada bab ini penyusun mencoba memaparkan tentang pengertian dan dasar hukum

gadai menurut hukum Islam, selain itu penyusun juga menjelaskan tentang

mekanisme pelaksanaan gadai dan pemanfaatan barang gadai menurut hukum

Islam. Nilai penting dari pembahasan ini adalah sebagai kerangka dasar tentang

gadai, juga dijadikan alat analisis dan diagnosis pada pembahasan inti dalam

penelitian ini.

Kemudian bab tiga, bab ini penyusun membahas deskripsi daerah

penelitian yang meliputi keadaan geografis, demografi,ekonomi, pendidikan dan

keagamaan dan data obyektif di lapangan yaitu praktek yang dilakukan

masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten Sidrap

dalam melakukan gadai tanah. Pada bab ini juga akan dibahas tentang mekanisme

xxxiii
pelaksanaan gadai tanah dalam masyarkat tersebut. Selain itu juga akan dibahas

pemanfaatan tanah gadai oleh penerima gadai.

Bab empat, bab ini membahas tentang analisis pelaksanaan gadai tanah

dalam masyarakat tersebut sesuai dengan norma-norma hukum Islam. Dalam bab

ini dimuat analisis dari praktek dan mekanisme pelaksanaan gadai tanah yang

dilakukan oleh masyarakat bugis di Kecamatan Watang Sidenreng, Kabupaten

Sidrap serta pemanfaatan tanah gadai menurut hukum Islam.

Terakhir bab lima, bab ini merupakan penutup yang mana penyusun akan

mengambil kesimpulan dari hasil penelitian, dan saran-saran yang dirasa dapat

memberikan alternatif bagi solusi masalah-masalah hukum.

xxxiv
GADAI TANAH PADA MASYARAKAT BUGIS
DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

PROPOSAL SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

OLEH :
SUPRIADI
NIM : 00380327

Di bawah bimbingan :

1. Drs. ABD. HALIM, M. HUM.


2. H. SYAFIQ MAHMADAH
HANAFI, S. Ag

MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

xxxv
2003

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG GADAI

MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Gadai

1. Pengertian

Kata gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar-Rahn. Kata tersebut

menurut arti aslinya adalah as-S|a>bit ( tetap atau lestari ). Kata ar-Rahn adalah

xxxvi
24
bentuk masdar dari : ‫ رهـنـا‬- ‫ يـر هـن‬- ‫ رهـن‬yang artinya menggadaikan atau

menungguhkan. Di kalangan ulama sepakat dalam merumuskan pengertian ‫رهـن‬

dari segi bahasa mempunyai dua makna yaitu ‫ الـثـبـوت و الـد وا م‬yang berarti tetap

dan kekal. Sedangkan arti lainnya ‫( الحـبـس‬menahan)25. Seperti dinyatakan dalam

Al-Quran

26
‫ولم تـجتد وا كا تـبـافـرهـن مـقـبـوضـةـ‬

Sedangkan pengertian gadai menurut istilah, mereka berbeda pendapat, as-

Sayyid Sa>biq mengemukakan bahwa gadai menurut istilah adalah :

‫جـعـل عـيـن لـهـا قـيمـة مـا لـيـة في نـظـر الـث ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــرع و ثـيـقـة بـد ين بحـيـث يـمكـن أحـد ذ لك الـد يـن أو أحـد‬

27
‫بـعـضـه مـن تلك الـعين‬

Maksudnya adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut

pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang

bersangkutan boleh mengambil seluruh atau sebagian hutang tersebut

karena adanya barang. Pengertian yang lain terdapat dalam kitab al-

Mugni yang disusun oleh Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :

24
Jamal ad-Din Muhammad bin Mukram al-Ansyari, Lisan al-‘Arab, ( Mesir: Dar al-Fikr,
t.t ), XVII: 48.
25
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t ), III: 187.
26
Al-Baqarah (2) : 283.
27
As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah… III : 187.

xxxvii
28
‫ـاوه مـمـن هـو عـلـيـه‬
ْ ‫االمـال الـذي يـجـعـل و تـيـقـة بالـد ين لـيـسـتـونـي مـن ثـمـنـه إن تـعـذ ر إسـتيف‬

Bahwa yang dimaksud dengan gadai yaitu suatu benda yang dijadikan
kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, maka benda itu
dapat dijadikan alat pembayar hutang.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai menurut istilah ialah :

Menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai

tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan

itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.29

Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang

dimaksud dengan gadai ( ‫ ) ر هـنـا‬adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai

harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh

hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut,

dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar.

Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan.

Sehingga dengan akad gadai menjadikan kedua belah pihak mempunyai tanggung

jawab bersama. Yang punya hutang bertanggung jawab untuk melunasi

hutangnya, sedangkan orang yang berpiutang bertanggung jawab untuk menjamin

keutuhan barang jaminan. Apabila hutang itu telah dibayar, maka penahanan atau

pengekangan oleh sebab akad itu menjadi lepas. Sehingga keduanya bebas dari

tanggung jawab masing-masing.

28
Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah, al-Mugni Li
Ibni Quda>mah, (Riyad: Mahtabaturriyah al-Hadi>sah, t.t), IV :361.
29
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai, (Bandung: al-
Ma’arif, 1983), hlm: 50.

xxxviii
Jika seseorang ingin berhutang kepada orang lain, maka ia menjadikan

barang miliknya baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak atau

berupa ternak yang berada dalam kekuasaannya sebagai jaminan sampai ia

melunasi hutangnya. Pada dasarnya barang jaminan tetap dipegang oleh penerima

gadai, tetapi apabila terjadi kesepakatan diantara kedua pihak (pemberi dan

penerima gadai) maka barang gadai dapat diserahkan kepada orang lain yang adil

dan mampu menjaga amanah30. Pemilik barang (yang berutang) disebut Rahn

(yang menggadaikan) sedangkan penerima barang (pemberi gadai) disebut

murtahin dan barang yang digadaikan adalah ruhn atau marhun.

2. Dasar hukum Gadai

Gadai merupakan perbuatan yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk

perbuatan yang mulia karena mengandung manfaat yang sangat besar dalam

pergaulan hidup manusia di dunia ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang

merupakan faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup

manusia, sebagaiman firman Allah :

‫و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـج ــدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا فـلـي ْـودال ــذي ْاو تمن‬

31
‫أمنته وليتق اهلل ربه والتكـتموا الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و اهلل بـما تـعـلـمـون عـلـيم‬

Dengan ayat di atas, ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam

keadaan bepergian..

30
Ali Fikri, Al-Mu’amalah al-Ma>ddiyyah Wa al-Adabiyah (Mesir: Da>r al-Fikr, t.t),
hlm: 215-216
31
Al-Baqarah (2): 283.

xxxix
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada

pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak

mampu menyediakan seseorang yang bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk

memperkuat adanya perjanjian, pihak yang berhutang harus menyerahkan barang

gadai kepada pihak yang menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga

ketenangan hatinya, sehingga tidak mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan

kepada rahin.

Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai

berikut :

32
‫إشـتـري مـن يـهـو دي طـعـامـا إلي أجـل ورهـنـه د ر عـه‬

Hadis ini merupakan dasar bagi ulama yang membolehkan gadai dalam

keadaan mukim (tidak musafir) karena peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada

di tempat.

Sunnah yang berfungsi sebagai penjelasan dari al-Qur’an memberikan

ketentuan-ketentuan umum hukum muamalah, bahwa gadai adalah cara

mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi banyak yang menerangkan

perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai biaya dan pemanfaatan barang

gadai baik yang bergerak maupun barang tetap.

Dalam melakukan akad gadai hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip

yang terdapat dalam hukum muamalah, prinsip yang dimaksud adalah :

32
Imam al-Bukha>ri,S}ahih al-Bukha>ri bab Fi Rahni Fi al-Hadits (Beirut: Da>r al-fikr,
1891), III: 1115, Hadis riwayat al-Bukhari dari Musaddad dari Ab al-Wahid dari al-A’mas dari
Ibrahim.

xl
a. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali

yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

b. Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung

unsur-unsur paksaan.

c. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan

manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.

d. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,

menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan

kesempatan dalam kesempitan33.

Salah satu prinsip diatas sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu :

34
‫األصـل في االش ـيـاء اإلبــاحــة‬

Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa sumber hukum

muamalah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, selain itu manusia diperbolehkan juga

untuk mengatur bentuk-bentuk muamalah yang berkembang dalam masyarakat

asal tidak bertentangan dengan nash.

Sumber hukum gadai, selain al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diperbolehkan

untuk dijadikan pegangan adalah adat istiadat yang merupakan kebutuhan

masyarakat yang bersifat positif.

33
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2000),
hlm : 15-16.
34
H. Asjmuni Abd. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976),
hlm: 42.

xli
B. Mekanisme Pelaksanaan Gadai Menurut Hukum Islam

Dalam melaksanakan gadai ada beberpa mekanisme yang harus

diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme tersebut sudah dipenuhi maka

pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga halnya dengan gadai.

Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh karena itu gadai dapat

dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Selanjutnya rukun itu diperlukan

syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi jika rukun-rukun tersebut tidak

terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian yang dilakukan dalam hal ini gadai

dinyatakan batal.

Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa

rukun gadai itu ada tiga yaitu :

1. Aqid (orang yang melakukan akad) yang meliputi :

a. Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai)

b. Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang memerihara

barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima

gadai).

2. Ma’qu>d ‘alaih (yang diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu :

a. Marhu>n (barang yang digadaikan).

b. Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn gadai).

3. Si>gah (akad gadai).35

35
Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut:
Da>r al-Fikr, t.t), II : 320.

xlii
Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun

gadai itu adalah :

1. Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l)

2. Aqid (Penggadai dan penerima gadai).

3. Marhu>n (barang gadaian).

4. Marhu>n bih (hutang)36.

Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja

yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak

hakekat dari akad.37

Ad. I, Sigat Akad.

Yang dimaksud dengan sigat akad yaitu dengan cara bagaimana ijab qabul

yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.

Ahmad Azhar Basyir mengatakan :

Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang

dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada

obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi

perikatan yang diinginkan sedangkan qabul adalah pernyataan pihak

kedua untuk menerimanya.38

Gadai belum dinyatakan sah apabila belum ada ijab dan qabul, sebab

dengan adanya ijab dan qabul menunjukkan kepada kerelaan atau suka sama suka
36
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>my Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), V:
183.
37
Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320
38
Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm : 65.

xliii
dari pihak yang mengadakan transaksi gadai. Suka sama suka tidak dapat

diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan kerelaan hati dari kedua

belah pihak yang bersangkutan, baik itu perkataan-perkataan atau perbuatan-

perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan adanya kerelaan, seperti yang

dikemukakan oleh Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :

Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan

syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang

menerangkan maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab

dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang terbit dari salah

seorang yang berakad, untuk siapa saja yang memulainya. Qabul

adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah adanya ijab buat

menerangkan persetujuannya.39

Sigat dapat dilakukan dengan lisan , tulisan atau syarat yang memberikan

pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul dan dapat juga berupa

perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.40

a. Sigat secara lisan.

Merupakan cara alami seseorang untuk mengutarakan keinginannya,

oleh karena itu akad dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan secara

lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa

tidak terikat oleh aturan khusus asal dapat dimengerti dan dipahami oleh

39
Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, t.t),
hlm: 21-22.
40
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.

xliv
pihak-pihak yang melakukan akad, agar tidak menimbulkan perselisihan

ataupun sengketan dikemudian hari.

b. Sigat akad dengan tulisan.

Metode lain yang dilakukan oleh orang untuk menyatakan keinginannya

adalah dengan tulisan. Jika kedua belah pihak tidak berada ditempat,

maka transaksi dapat dilakukan melalui surat. Ijab akan terjadi setelah

pihak kedua menerima dan membaca surat tersebut. Apabila dalam ijab

tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, maka qabul

harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat. Apabila disertai

tenggang waktu, qabul supaya dilakukan sesuai dengan lamanya

tenggang waktu tersebut.41

c. Sigat akad dengan isyarat.

Ini berlaku bagi mereka yang tidak dapat bicara atau bisu dan tidak

dapat menulis. Jika orang tersebut dapat menulis, maka hendaknya

dilakukan dengan menulis saja, karena keinginan yang dinyatakan

dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan isyarat.

d. Akad dengan perbuatan.

Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat sahnya gadai adalah

hendaknya dalam akad gadai tidak ditetapkan suatu syarat yang

bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.

Ad. 2. Aqid (Subyek gadai).


41
Ibid., hlm: 68-70.

xlv
Yaitu orang yang melakukan akad, dalam hal ini penggadai dan penerima

gadai. Untuk sahnya gadai kedua belah pihak harus mempunyai keahlian

(kecakapan) melakukan akad yakni baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih

(orang yang tidak cakap bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-

pihak yang bersangkutan orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz,

berdasarkan hadis Nabi saw. yang berbunyi :

‫ عـن الـنـا ءـم ح ـ ـ ـ ــتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر ح ـ ـ ـ ــتي يـكـبـروعـن الـمـجـنـو ن ح ـ ـ ـ ــتي‬: ‫ر فع القلم عن ثالثة‬

42
.‫يـعـقـلـ أو يـفـيـق‬

Imam asy-Syafi’I melarang gadai yang dilakukan oleh anak kecil, orang

gila, dan orang bodoh secara mutlak, walaupun mendapat izin dari walinya, atas

pertimbangan bahwa wali boleh membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan

digadaikan karena dua hal yaitu :

a. Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai.

Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain mengadaikan

harta mah}ju>r ‘alaih.

b. Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r ‘alaih.43

Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni tidak

mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab itu menurut beliau gadainya anak kecil

42
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Bab Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu
(Beirut: Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi
Tha>lib.

43
Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.

xlvi
yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh yaitu dua orang yang sudah tahu arti

muamalah, dengan syarat adanya persetujuan walinya.44

Ad. 3. Marhu>n (obyek gadai)

Untuk lebih jelasnya barang gadai disyaratkan :

a. Merupakan benda bernilai menurut ketentuan hukum Islam yaitu

benda yang dapat diambil manfaatnya secara biasa, bukan paksaan dan

secara riil telah menjadi hak milik seseorang, misalnya : pakarangan,

rumah dan lain sebagainya.45

Sebagaimana jual beli syarat marhun harus suci dan bukan barang

najis serta halal dipergunakan. Oleh sebab itu tidak sah menggadaikan

barang najis seperti kulit bangkai meski sudak disamak, juga

menggadaikan babi dan anjing karena hewan tersebut tidak sah

diperjualbelikan.

b. Barang tersebut dapat dimanfaatkan.

Imam as-Syafi’I mengatakan sebagai berikut :

Barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’ meskipun pada

saat yang akan datang, seperti hewan yang masih kecil, dia boleh

digadaikan sebab nantinya dapat diambil manfaatnya.46

Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh juga dijadikan barang

jaminan (digadaikan), kecuali manfaatnya. Oleh karena itu tidak

menggadaikan manfaat hak jalan.

44
Ibid., hlm: 327.
45
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang …, hlm: 53.
46
Abd. Ar-Rahma>n al- Jazi>ry, Kitab al-Fiqh….., hlm : 329

xlvii
c. Marhun berupa barang.

Karena tidak boleh menggadaikan dengan pemanfaatan, seperti yang

telah dijelaskan di atas, juga tidak sah menggadaikan hutang piutang,

karena tidak jelas bendanya.

d. Marhun adalah milik orang yang melakukan akad, baik barang

maupun manfaatnya.47

Salah satu persyaratan barang dagangan yang ditentukan oleh fuqaha ialah

barang itu harus diserah terimakan, jadi barang yang tidak ada, tidak dapat diserah

terimakan, agar terhindar dari unsur-unsur penipuan.

Jadi barangnya harus ada dalam kekuasaannya, dengan demikian burung

di udara, ikan di laut, binatang yang di hutan dan sebagainya tidak memenuhi

syarat untuk dijadikan obyek akad.

Gadai merupakan bagian dari Mu’amalah, oleh karena itu gadai juga

mengutif prinsip-prinsip muamalah antara lain :

1. Dilaksanakan dengan memelihara keadilan, menghindar dari unsur-unsur

penganiayaan.

2. Dilakukan atas dasar suka sama suka.48

Ad. 4. Marhu>n bih. (hutang).

Yang dimaksud marhu>n bih yaitu hutang yang karenanya diadakan

gadai. Adapun syarat-syaratnya adalah :


47
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang …., hlm: 53-54.
48
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas …, hlm: 15-16.

xlviii
a. Penyebab penggadaian adalah hutang.

b. Hutang sudah tetap.

c. Hutang itu tetap seketika atau yang akan datang.

Oleh karenanya, sah gadai sebab harga masih masa khiyar, juga sah

akad gadai pada al-ja’lu (pengupahan) yaitu pemberian upah dari

seseorang kepada orang lain atas jasanya.

d. Bahwa hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya.49

C. Pemanfaatan Barang Gadai.

Sebagaimana telah ditegaskan di muka bahwa gadai bukan termasuk pada

akad pemindahan hak milik, tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan

pula kadar atas manfaat suatu benda (sewa menyewa), melainkan hanya sekedar

jaminan untuk suatu hutang piutang, itu sebabnya ulama sepakat bahwa hak milik

dan manfaat suatu benda yang dijadikan jaminan (Marhun) berada dipihak

rahi>n (Yang menggadaikan). Murtahin (yang menerima barang gadai) tidak

boleh mengambil manfaat barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang

gadai itu bukan binatang. Ulama Syafi’I, Imam Malik dan ualam-ulama yang lain

berargumen menggunakan hadis Nabi saw. Tentang manfaat barang gadai adalah

milik ra>hin bukan milik murtahin. Hadisnya yaitu :

‫ال يـغـلـق الـر هـن مـن صـاحـبـه الـذي رهـنـه لـه غـنـمـه و عـلـيـه‬

50
‫غـر مـه‬
49
Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…, hlm : 330.
50
Asy-Syaukani, Nail al-Aut}a>r (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat asy-
Syafi’I danad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibn Syiha>b dari Ibn al-
Musayyab dari Abi Hurairah.

xlix
Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan

amanat yang lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali

karena tindakannya.51

Lebih lanjut Ibnu Quda>mah dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan

bahwa pengambilan manfaat dari barang gadai itu mencakup pada dua keadaan

yaitu :

1. Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan

sebagainya.

2. Yang membutuhkan pembiayaan.52

Mengenai hukum penerima gadai dengan mengambil manfaat dari barang

yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan adalah sebanding

dengan biaya yang diperlukan. Dari dua bagian di atas dapat ditemui adanya

barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak adalah barang yang dalam

penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik seperti buku dan lain sebagainya.

Sedangkan barang tetap adalah barang yang dalam penyerahannya memerlukan

suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan lain-lain.

Dalam pemanfaatan barang gadai yang berupa barang yang bergerak dan

membutuhkan pembiayaan, ulama sepakat membolehkan murtahin mengambil

manfaat dari barang tersebut seimbang dengan biaya pemeliharaannya., terutama

bagi hewan yang bisa diperah dan ditunggangi, mereka beralasan sesuai dengan

hadis nabi saw. Yang berbunyi :

51
Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm:
376.
52
Ibn Quda>mah, al-Mugni> Li> Ibn Quda>mah, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah
al-‘Arabiyyah, t.t), IV: 426.

l
‫الـرهـن يـركـب بـنـفـقـتهـ إذاكان مـرهونـا ولبن الـدريـشرب بـنـفـقـتهـ‬

53
‫إذا كان مـرهـونـا وعلي الـذي يـركـب و يـشـرب الـنفـقـةـ‬

Adapun jika barang itu tidak dapat diperah dan ditunggangi (tidak

memerlukan biaya), maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil

manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya

imbalan dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menghutangkan.

Bila alasan gadai itu dari segi menghutangkan, maka penerima gadai tidak halal

mengambil manfaat atas barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang

menggadaikan.54

Jika memperhatikan penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa

pada hakekatnya penerima gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan

biaya tidak dapat mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut.

Dalam kitab al-Mugny, Imam Ibnu Quda>mah mengatakan sebagai

berikut :

Penerima gadai tidak boleh mengambil hasil atau manfaat dari barang

yang digadaikan sedikit pun kecuali dari yang bia ditunggangi dan

diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.55


53
Ima>m al-Bukha>ry>, S}ahi>h al-Bukha>ry>….., hlm: 116, Hadis riwayat Bukhari
dari Abu Hurairah.
54
Rahmat Syafi’I, Konsep Gadai (rahn) dalam Fiqh Islam : Antara Nilai Sosial dan Nilai
Komersial, dalam H. Chuzaimah T. Yanggo, HA. Hafiz Anshary AZ (edt) Problematika Hukum
Islam Kontemporer, Buku Ketiga (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hlm: 69.
55
Ibnu Qudamah, al-Mugny,…, IV: 426.

li
Keterangan di atas menunjukkan bahwa penerima barang gadai tidak boleh

mengambil manfaat dari barang gadaian kecuali bagi barang gadaian yang bisa di

tunggangi dan diperah.

Akan tetapi menurut mayoritas ulama, penerima gadai boleh mengambil

manfaat dari barang gadai bila sudah diizinkan oleh penggadai, dengan catatan

hendaknya hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad.

Syari’at Islam dalam masalah gadai pada prinsipnya adalah untuk

kepentingan sosial, yang ditonjolkan adalah nilai sosialnya. Tetapi dipihak lain

pada kenyataannya atau prakteknya tidak demikian halnya. Karena dinilai tidak

adil, pihak yang punya uang merasa dirugikan, atas dasar karena adanya inflasi

nilai mata uang. Sementara uang tersebut bisa juga dipakai sebagai modal usaha.

Atas dasar hal-hal tersebut di atas, Rahmat Syafi’I mengatakan :

Bahwa Murtahin boleh mengambil manfaat barang gadai sepanjang

diizinkan oleh rahin, dan tidak mengarah pada riba yang diharamkan.

Yakni murtahin boleh mengambil manfaat hanya sekedar untuk

mengatasi kerugian yang dialami oleh murtahin.56

Pada akhir ayat 279 surah al-Baqarah ditegaskan bahwa riba yang

diharamkan itu adalah riba yang mengandung unsur kedhaliman (aniaya) pada

salah satu pihak, sebagaimana firman Allah swt. Yang berbunyi :

56
Rahmat Syafi’I, Problematika …, hlm: 79.

lii
‫ف ـــإن لـم تـفـعـل ـــوا ف ـــأذ ن ـــوا بـحـر ب مـن اهلل ورس ـــوله وإن تبتم فلكـم رء وس أمـوالـ ــكم ال تظـلمـ ــون وال‬

57
‫تـظـلـمـون‬

Kemudian perlu diingat pula bahwa dalam hutang piutang di situ tetap

harus ditekankan nilai-nilai sosialnya seperti pada prinsip utamanya. Sehingga

seandainya yang berhutang itu masih belum mampu untuk membayar atau

melunasi hutangnya. Maka jangan sampai ditumpukkan beban yang

memberatkan, seperti diharuskan ada uang lebih dari uang pokok pinjaman,

sebagaimana firman Allah swt :

58
‫وإن كان ذوعسرة فـنظرة الي ميسرة وأن تصد قوا خير لكـم إن كنتم تعلمونـ‬

BAB III
PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN PEMANFAATAN

TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN

WATANG SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP SULAWESI SELATAN

57
al-Baqarah (2): 279.
58
al-Baqarah (2): 280.

liii
A. Deskripsi Wilayah Penelitian

1. Keadaan Geografis dan Demografi

Masyarakat Bugis merupakan salah satu suku bangsa yang berada di

wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis juga merupakan suku yang

terbesar, dimana terdapat di beberapa kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan

diantarannya di kabupaten Sidrap. Kab. Sidrap berada di sebelah utara dari

ibukota Propinsi Sulawesi Selatan (Makassar) dengan jarak sekitar 180 km. Kab.

Sidrap yang beribukotakan di Pangkajene, dengan luas wilayah 1.883,25 km 2,

terletak antara 3043 – 40 lintang selatan dan 119041 – 120010 bujur timur dengan

batas – batas :

Sebelah Utara : Kab. Pinrang dan Kab. Enrekang

Sebelah Timur : Kab. Luwu dan Kab. Wajo

Sebelah Barat : Kota Pare-pare dan Kab. Pinrang

Sebelah Selatan : Kab. Soppeng dan Kab. Barru

Pada awal pembentukannya sebagai Kabupaten Dati II pada tahun 1962,

kabupaten dati II Sidenreng Rappang terdiri dari 7 wilayah kecamatan. Setelah

mengalami perkembangan hingga tahun 2003, maka kabupaten Sidrap mengalami

pemekaran wilayah, sehingga secara administrasi Kabupaten Sidenreng Rappang

sekarang ini terdiri dari 11 kecamatan, 38 kelurahan dan 66 desa.59

Kecamatan Watang Sidenreng merupakan salah satu dari 11 kecamatan

yang berada dalam Kabupaten Sidenreng Rappang yang terletak kurang lebih 10

59
Badan Perencanaan Pembangunan daerah Kab. Sidrap, Data pokok Pembangunan
Daerah Kab. Sidrap 2003, hlm. III – 1.

liv
Km di sebelah timur kota Pangkajene Sidenreng ( Ibukota Kabupaten Sidenreng

Rappang). Letak Kecamatan Watang Sidenreng berbatasan langsung dengan :

Sebelah Utara : Kecamatan Panca Rijang

Sebelah Timur : Kecamatan Pitu Riawa

Sebelah Selatan : Kecamatan Tellu LimpoE

Sebelah Barat : Kecamatan MaritenggaE

Wilayah Kecamatan Watang Sidenreng dengan luas 120,81 Km2 terbagi

dalam 3 Kelurahan dan 4 desa. Kondisi Topografi Kecamatan Watang Sidenreng

dengan keadaan datar 100% dengan ketinggian dari permukaaan laut <500 M.60

Table I

Luas Wilayah dan persentase luas desa/Kelurahan

No. Desa/Kelurahan Luas (Km2) %


1. Sidenreng 13,20 10,93
2. Mojong 18,11 15,00
3. Damai 41,47 34,33
4. EmpagaE 12,15 10,06
5. Kanyuara 12,54 10,38
6. TalumaE 12,15 10,06
7. Aka-AkaE 11,19 9,26
Jumlah 120,81 100,00

Sedangkan luas tanah sawah dan tanah kering di kecamatan Watang

Sidenreng 12.081.00 Ha, sebagaimana rincian berikut ini 61:

Tabel II

Luas Tanah Sawah dan tanah Kering dirinci menurut Desa/Kelurahan

60
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidenreng Rappang, Kecamatan Watang Sidenreng
dakam angka 2002, (Cetakan Tahun 2003), hlm: ix.
61
Ibid., hlm: 9-10.

lv
No. Desa/Kelurahan Tanah Tanah Jumlah
Sawah (Ha) Kering (Ha)
1. Sidenreng 875,00 445,00 1.320,00
2. Mojong 692,92 1.118,08 1.811,00
3. Damai 950,00 3.197,00 4.147,00
4. EmpagaE 876,60 338,40 1.215,00
5. Kanyuara 1.205,00 49,00 1.254,00
6. Talumae 801,50 413,50 1.215,00
7. Aka-AkaE 522,68 596,32 1.119,00
Jumlah 5.923,70 6.157,30 12.081,00

Sedangkan jumlah penduduk Kecamatan Watang Sidenreng terdiri atas

7.599 laki-laki dan 8.484 wanita. Sebagaimana dalam tabel berikut ini62 :

Tabel III

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kepala Keluarga

No Desa/Keluraha Pria Wanita KK


. n
1. Sidenreng 864 1.000 38
1
2. Mojong 1.615 1.752 77
2
3. Damai 927 963 43
9
4. EmpagaE 1.207 1.536 61
2
5. Kanyuara 1.569 1.733 66
1
6. TalumaE 808 874 39
3
7. Aka-kaE 609 626 27
9
Jumlah 7.599 8.484 3.53
7

2. Keadaan ekonomi Masyarakat

62
Ibid., hlm: 14-15.

lvi
Keadaan ekonomi masyarakat di Kecamatan Watang Sidenreng khususnya

di bidang pertanian cukup memadai, ini disebabkan oleh kondisi tanah pertaniaan

yang sangat subur dengan adanya aliran irigasi dari sungai Saddang yang berasal

dari kabupaten Pinrang, sehingga hasil pertanian khususnya padi cukup

melimpah.

Untuk tanaman padi masyarakat tidak hanya mengandalkan sawah tadah

hujan tapi dengan adanya pengairan atau irigasi, baik irigasi secara teknis maupun

irigasi non teknis, yang bagus dan bisa untuk memenuhi semua sawah yang ada di

Kecamatan Watang Sidenreng. Sehingga walaupun tidak ada hujan petani bisa

menanam padi dan dalam satu tahun paling sedikit dua kali panen. Berikut ini

tabel luas sawah menurut jenis pengairan63 :

Tabel IV

Luas Sawah Menurut Jenis Pengairan dirinci Menurut Desa/Kelurahan

No. Desa/kelurahan Pengairan Jumlah


Teknis ½ Teknis Tadah
hujan
1. Sidenreng 875,00 - - 875,00
2. Mojong 692,92 - - 692,92
3. Damai 350,00 600,00 - 950,00
4. EmpagaE 876,00 - - 876,00
5. Kanyuara 1.000,00 205,00 - 1.205,00
6. TalumaE - 801,50 - 801,50
7. Aka-akaE 300,00 222,68 - 522,68
Jumlah 4.094,52 1.829,18 - 5.923,70

Jumlah penduduk kecamatan Watang Sidenreng berdasarkan mata

pencaharian yaitu64 :

63
Ibid., hlm: 38-39.
64
Ibid., hlm: 17-19.

lvii
Tabel V

Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian

No. Desa/Kelurahan Petani Peternakan Perikanan Perkubunan Dagang


1. Sidenreng 376 28 15 - 20
2. Mojong 254 15 63 37 40
3. Damai 300 10 - 51 12
4. EmpagaE 410 31 - - 41
5. Kanyuara 520 35 - - 25
6. TalumaE 325 10 - 11 20
7. Aka-kaE 320 14 - - 10
2.505 143 78 99 168

3. Keadaan Pendidikan dan Keagamaan

a. Pendidikan

Di bidang pendidikan di kecamatan Watang Sidenreng masih perlu

adanya peningkatan dan pembenahan. Karena masih banyak anak-anak

yang belum sekolah sampai tingkat SMP, bahkan ada yang tidak tamat

SD. Ini di sebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana pendidikan

yang ada di kecematan watang Sidenreng, sehingga banyak anak-anak

yang melanjutkan sekolah di luar, itu pun bagi anak-anak yang mampu.

Seperti ke Pangkajene yang berjarak 10 Km dari EmpagaE (ibukota

kecamatan Watang Sidenreng). Seperti pada tabel berikut ini :

Tabel VI

Jumlah Prasarana Pendidikan

di Kecamatan Watang Sidenreng

lviii
No. Desa/Kelurahn SD/MI SMP/Mts SMU/MA Jumlah
1. Sidenreng 1 - - 1
2. Mojong 2 - - 2
3. Damai 2 1 - 3
4. EmapagaE 3 1 - 4
5. Kanyuara 2 - - 2
6. TalumaE 2 - - 2
7. Aka-kaE 2 - - 2
Jumlah 14 2 - 16

Melihat Persoalan dan permasalahan yang demikian, maka

pemerintah kecamatan mempunyai program wajib belajar sembilan tahun

dan bebas buta aksara sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah

pusat, baik itu melalui pendidikan formal maupun non formal.

b. Kehidupan Keagamaan

Perlu diketahui bahwa di kabupaten sidrap ada sekelompok

masyarakat yang menganut sistem aliran kepercayaan dalam kehidupan

beragama. Kelompok ini biasa disebut Tau Lotang. Aliran ini dimasukkan

dalam agama Hindu. Aliran ini tersebar di hampir semua kecamatan yang

ada di kabupaten Sidenreng Rappang. Meskipun demikian penduduk

kecamatan Watang Sidenreng ini pada umumnya beragama Islam. Tapi

mereka melakukan dan melaksanakan tri kerukunan antarumat beragama

yaitu kerukunan hidup umat beragama dengan orang lain, kerukunan hidup

seagamadan kerukunan hidup antara agama dan pemerintah cukup baik

ditandai dengan tidak adanya permasalahan-permasalahan yang

menyangkut keagamaan. Kesadaran hidup beragama terutama dikalangan

lix
umat Islam cukup baik. berikut data jumlah pemeluk agama di Kecamatan

Watang Sidenreng.

Tabel VII

Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut

tiap Desa/Kelurahan

No. Desa/ Islam Kristen Kristen Hindu Budha Jmlh


kelurahan Protestan Katolik
1. Sidenreng 1.502 - - 362 - 1.864
2. Mojong 3.242 - - 125 - 3.367
3. Damai 1.870 7 - 13 - 1.890
4. EmpagaE 2.478 - - 265 - 2.743
5. Kanyuara 800 - - 2.502 - 3.308
.6 TalumaE 1.614 - - 61 - 1.682
7. Aka-kaE 1.171 - - 64 - 1.235
Jumlah 12.677 - - 3.392 - 16.083

Sektor Agama merupakan faktor penting dalam rangka meningkatkan

kualitas hidup masyarakat, oleh sebab itu saran/fasilitas keagamaan perlu terus

ditingkatkan dan dikembangkan, karena dengan tersedianya saran keagamaan

yang memadai akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Untuk lebih

jelas sarana keagamaan yang ada di Kecamatan Watang Sidenreng dapat dilihat

pada tabel berikut ini65 :

Tabel VIII

Banyaknya Tempat Ibadah di Kecamatan Watang Sidenreng

65
Ibid., hlm: 35.

lx
No. Desa/Kelurahan Masjid Mushallah Gereja Vihara Kuil Jumlah
1. Sidenreng 2 - - - - 2
2. Mojong 1 - - - - 1
3. Damai 5 - - - - 5
4. EmpagaE 2 - - - 2
5. Kanyuara 1 - - - - 1
6. TalumaE 2 - - - - 2
7. Aka-akaE 3 - - - - 3
Jumlah 16 - - - - 16

B. Praktek dan Mekanisme Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Masyarkat

Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng.

1. Pengertian Gadai.

Masyarakat Kecamatan Watang Sidenreng disamping sebagai petani

mereka juga sebagai buruh, pedagang dan pegawai, namun dalam keadaan

mendesak seperti butuh biaya untuk sekolahkan anaknya, modal usaha, biaya

pernikahan dan sebagainya, mereka terpaksa menggadaikan sawahnya. Sawah

yang digadaikan tersebut adalah tanah milik mereka sendiri.66

Masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Watang Sidenreng menyebut

gadai dengan sebutan Nappakatening yaitu Transaksi gadai tanah (sawah) sebagai

jaminan dan tanah itu dimanfaatkan oleh penerima gadai. Orang yang melakukan

gadai di sebut Mappaketenniang (Penggadai), sedangkan yang menerima disebut

Nakketeni (penerima gadai).67

Adapun mengenai batas waktu yang ada beberapa pilihan diantaranya dua

kali panen/1 tahun dan tanpa batas tertentu, tapi biasanya waktu tidak pernah

ditentukan, asal uang sudah dikembalikan maka sawah yang digadaikan pun

dikembalikan kepada pemiliknya. Tapi apabila sudah sampai batas waktu yang
66
Wawancara dengan H. Langka, Kepala Lingkungan 11 EmpagaE pada tanggal 7 Juli
2004
67
Ibid.

lxi
ditentukan, penggadai belum mampu untuk membayar uang yang dipinjamnya

maka para pihak harus sepakat untuk membuat perjanjian baru. Apabila penerima

gadai juga butuh uang, maka penerima gadai berhak menggadai sawah tersebut

atas izin penggadai (pemiliknya).68

Berdasarkan Intervieu banyak terjadi jika sampai batas waktu atau jatuh

tempo sipenggadai belum mampu untuk membayar hutangnya sehingga jika

sawah tersebut digarap oleh penerima gadai maka dia masih berhak menggarap

sawah tersebut samapi penggadai melunasi pinjamannya. Hal ini bisa terjadi

sampai tujuh tahun.69

Gadai tanah di Kecamatan Watang Sidenreng dilakukan dengan hitungan

pinjaman berdasarkan harga gabah atau jumlah berat gabah yakni hitungan ton.

Jadi apabila ada masyarakat yang ingin menggadaikan sawahnya tidak lagi

memakai nilai uang tapi dinilai dengan harga gabah. Jika dia menggadaikan

sekitar 5 ton gabah maka dia harus menerima uang sesuai dengan harga 5 ton

gabah kering tersebut.70 Jadi pada saat batas waktu yang telah ditentukan sampai,

maka sipenggadai harus mengembalikan atau membayar hutangnya sesuai harga 5

ton gabah kering yang berlaku pada saat dia membayar hutangnya.71

2. Proses terjadinya gadai

68
Wawancara dengan H.Suyuti warga masyarakat di kelurahn EmpagaE pada tanggal 10
Juli 2004.
69
Wawancara dengan Muh. Hatta, kepala urusna pemerintahan Kelurahan Sidenreng.
Pada tanggal 15 Juli 2004.
70
Wawancara dengan Nurdin tokoh Masyarakat di Kelurahan Sidenrengpada tanggal 12
Juli 2004.
71
Ibid.

lxii
Semua manusia pasti memerlukan orang lain, sebab manusia bukan

merupakan makhluk individu tetapi manusia adalah makhluk sosial yang harus

bermasyarakat anatara satu dengan yang lainnya. Sebab mereka saling

membutuhkan untuk mencukupi kelangsungan hidupnya. Maka dengan demikian

terjadi Mu’amalah seperti adanya praktek gadai.

Dalam praktek gadai di Kecamatan Watang Sidenreng mula-mula siA

(penggadai) datang kepada si B (penerima Gadai) dengan mengungkapkan

maksudnya untuk meminjam sejumlah uang, maka dilakukan perjanjian yang

mana di dalam perjanjian tersebut uang yang akan dipinjam dinilai dengan jumlah

berat gabah kering. Kemudian dalam pembayarannya harus sesuai dengan harga

gabah pada waktu dia membayar pinjamannya.72

Proses terjadinya akad gadai ada yang dilakukan di atas tangan yakni tanpa

sepengtahuan pemerintah setempat dengan asumsi adanya saling percaya diantara

kedua belah pihak. Selain itu ada pula yang dilakukan di kantor kelurahan.73

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa alasan mereka untuk

menggadaikan sawahnya adalah karena untuk memenuhi kebutuhan ekonomi

yang mendesak diantaranya biaya sekolah, pernikahan, modal usaha dan lain

sebagainya.

Sedang dari penerima gadai penyusun juga memperoleh data yang bila

disimpulkan ada dua faktor yaitu :

72
Wawancara dengan Namere staf Kelurahan Sidenreng pada tanggal 20 Juli 2004.
73
Wawancara dengan Wa’ Niku tokoh masayarakat di kelurahan EmpagaE pada tanggal
8 Juli 2004.

lxiii
a. Lingkungan.

Karena masyarakat di Kecamatan Watang Sidenreng sudah

terbiasa sejak zaman dahulu menggadaikan sawah, sehingga

mereka beranggapan bahwa hal tersebut sudah menjadi adat

kebiasaan karena sudah terbiasa, maka sudah menjadi

ketetapan umum bila seseorang menggadaikan sawahnya.

b. Faktor ingin menolong

Berangkat dari rasa tolong menolong, maka sipenerima gadai

meminjamkan uangnya kepada sipenggadai. Karena sebagai

rasa terima kasih telah dipinjamkan uang maka mereka rela

menyerahkan sawahnya kepada sipenerima gadai sebagai

jaminan dan untuk di garap.

3. Hak dan kewajiban penggadai dan penerima gadai.

a. Hak penggadai dan penerima gadai

1) Penggadai.

Setelah penyusun mengadakan wawancara dan juga hasil angket

dalam praktek gadai tanah sawah di Kecamatan Watang

Sidenreng hak penggadai antara lain sebagai berikut :

a) Mendapatkan sejumlah uang dari penerima gadai.

b) Mengalihkan hak pemanfaatan tanah sawahnya kepada

penerima gadai.

c) Memungut separo dari hasil panen apabila transaksinya

menghampiri masa panen tiba.

lxiv
2) Penerima gadai

a) Memanfaatkan tanah sawah yang dijadikan jaminan.

b) Membuat perjanjian baru jika sudah jatuh tempo.

c) Menagih uang pinjaman jika sudah sampai batas waktu

yang telah ditentukan.

d) Membuat perjanjian baru dengan orang lain atas seizin

penggadai.

b. Kewajiban Penggadai dan Penerima gadai

1) Penggadai

a) Menyerahkan sebagian tanahnya dan dimanfaatkan oleh

penerima gadai.

b) Mengembalikan uang pinjaman kepada penerima gadai.

2) Penerima gadai

a) Menyerahkan uang pinjaman kepada penggadai atas

terjadinya transaksi gadai.

b) Mengembalikan tanah sawah yang dijadikan jaminan jika

uang sudah dibayar.

C. Pemanfaatan Barang Gadai

Dari hasil penelitan yang dilakukan bahwa pemanfaatan barang gadai yang

terjadi dalam praktek gadai tanah di dalam masyarakat Bugis di Kecamatan

Watang Sidenreng dilakukan oleh penerima gadai tersebut.

lxv
Pemanfaatan barang gadai yang dilakukan di Kecamatan watang

Sidenreng beraneka ragam sesuai dengan kesepatan yang dilakukan tetapi

pemanfaatan barang tersebut tidak ditulis dalam surat perjanjian.

Pemanfaatan barang gadai dikekola atau digarap oleh yang menerima

gadai. Selain itu ada pula yang dikelola atau digarap oleh orang ketiga atau orang

lain yang dipercaya dengan ketentuan bagi hasil antara penggarap dengan

sipenerima gadai.74

Meskipun demikian kebanyakan tanah sawah yang dijadikan sebagai

jaminan kebanyakan digarap atau dikelola oleh penerima gadai itu sendiri.

Dari hasil penelitan diketahui bahwa hasil dari pemanfaatan barang gadai

tidak dilakukan bagi hasil antara pemberi gadai (Rahn) dengan penerima gadai

(murtahin) setelah dipisahkan dengan biaya pemeliharaan. Hasil tersebut

semuanya diambil oleh penerima gadai. Bagi hasil terjadi jika barang gadai

tersebut dalam hal ini tanah sawah dikelola oleh pihak ketiga, yaitu hasilnya

dibagi antara pengelola dengan penerima gadai sebagai orang yang

membiayainya.

Oleh karena itu, pemanfaatan barang gadai (tanah sawah) yang terjadi

dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng harus ditinjau ulang

karena merugikan bagi pemberi gadai.

Demikianlah penelitian terhadap pemanfaatan tanah sawah sebagai barang

gadai dalam masyarakat Bugis di Kecamatan Watang Sidenreng kabupaten Sidrap

Sulawesi Selatan.

74
Wawancara dengan Namere Staf Kelurahan Sidenreng pada tanggal 20 Juli 2004

lxvi
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN DAN PEMANFAATAN

GADAI TANAH DI KECAMATAN WATANG SIDENRENG

MENURUT HUKUM ISLAM

A. Praktek Gadai Tanah di Kecamatan Watang Sidenreng Menurut Hukum

Islam

Gadai merupakan perjanjian atau akad dalam bermu’amalah yang


dilakukakan oleh dua pihak dalam bentuk hutang piutang dengan menyerahkan
sesuatu (barang) sebagai jaminan hutang. Perjanjian gadai ini dibenarkan dengan
firman Allah swt yang berbunyi :
.75... ‫وان كـنـتم علي سفـر ولم تجـدوا كاتبا فرهن مقـبو ضة‬

Pengertian‫فــرهن مق ــبو ضة‬ dalam ayat di atas yaitu barang tanggungan yang

dipegang. Barang tanggungan tersebut dalam masyarakat disebut dengan gadai.

Munculnya gadai sebagai perbuatan hukum dalam mu’amalah karena

adanya salah satu pihak yang bermu’amalah melakukan tindakan untuk memenuhi

kebutuhan berupa hutang karena perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang

mendesak.

Bila mencermati ayat tersebut di atas maka ‘illat hukum yang terkandung

adalah adanya faktor kebutuhan, hal ini dapat dijumpai dalam pendapatnya

as-Sauka>ni> yang mengemukakan bahwa barang siapa dalam perjalanan

melakukan perjanjian hutang piutang dan tidak dijumpai seoranng pun penulis

maka untuk meringankannnya (hutang piutang) diadakannya jaminan yang

75
Al- Baqarah (2) : 283.

lxvii
dipegang.76 Jadi adanya perjanjian hutang piutang karena adanya kebutuhan yang

mendesak.

Alasan untuk mengadakan perjanjian gadai tanah itu lazimnya ialah bahwa

pemilik tanah (ra>hn) butuh uang. Bilamana tidak dapat mencukupi kebutuhan

dengan jalan meminjam uang, maka ia dapat mempergunakan tanahnya untuk

memperoleh uang itu dengan jalan membuat perjanjian tanah (groud transactie).77

Dari sini dapat dilihat bahwa gadai tanah menurut adat adalah perjanjian

yang menyebabkan bahwa tanah itu diserahkan untuk menerima sejumlah uang

tunai dengan perjanjian bahwa sipenyerah tanah (ra>hn) akan berhak

mengembalikan tanahnya dengan jalan membayar hutang sejumlah yang sama.78

Istilah gadai tanah yang dipakai Van Vollenhoven ialah” Jual dengan

perjanjian beli kembali”, ia memasukkan unsur bahwa perjanjian adanya tanah

yang diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang dengan permufakatan

bahwa sipenerima akan mengembalikan tanah itu dengan jalan sipemilik tanah

membayar sejumlah uang yang sama, unsur mengembalikan uang pinjaman

dengan uang yang sama besarnya menunjukkan tidak adanya riba (melebihkan

pembayaran), sebagaimaan dalam hukum Islam. Namun gadai tanah yang

diistilahkan dengan “jual dengan perjanjian beli kembali” merupakan bentuk

muamalat atau perjanjian lain dari gadai tanah.

76
Ima>m Muhammad ‘Ali Ibn muhammad as-Sauka>ni>, Fath al-Qadir, (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘ilmiyyah 1410 H/1994 M), I: 383.
77
B. Ter Haar, Asas-asas dan susunan hukum adat (ter), cet. Ke-5 (Jakarta: Pradinya
Paramita, 1980), hlm: 109.
78
Ibid., hlm: 112.

lxviii
Ten Haar menolak pemakaian istilah tersebut dengan alasan bahwa istilah

menjual berarti menjual lepas yakni menjual sesuatu untuk melepaskan barang

yang dijual selamanya.79

Dalam hukum Islam “jual dengan perjanjian beli kembali” masuk dalam

perjanjian jual beli bersyarat yakni seseorang yang menjual sesuatu barang diikuti

dengan perjanjian bahwa suatu saat jika sipenjual tersebut sudah mempunyai uang

maka barang tersebut akan dibeli kembali oleh sipenjual.

Jual beli bersyarat yang diistilakan oleh Van Vollenhoven masuk dalam

salah satu jual beli bersyarat yang fasid. Karena penjual mensyaratkan dengan

akad baru.80 Yang demikian itu tidak dibenarkan dalam Islam sebagaimana hadis

Nabi yang berbunyi :

81
‫ال يحـل سلف وبـيع وال شـر طان في بـيع‬

Dengan demikian istilah gadai tanah yang diistilakan dengan “jual dengan

perjanjian beli kembali” tidak bisa dibenarkan sebagai istilah gadai karena masuk

pada jual beli bersyarat yang fasid, yang menggabungkan dua perjanjian sehingga

menutup untuk terjadinya tasarruf barang tersebut kepada pihak lain. Perjanjian

ini sebagai acuan dalam mengaktualisasikan perbuatan hukum.

Manusia sebagai makluk sosial, makhluk bermasyarakat. Sebagai makhluk

sosial yang dalam kehidupan sehari-harinya saling membutuhkan antara satu

dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka mereka


79
Ibid., hlm: 113.
80
As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, cet. Ke-4 (Beirut: Da>r al-Fikr 1403 H/1983 M),
III
81
Abu> ‘Abadillah Muhammad Ibn Isma>’I>l Ibn Ibra>hi>m al-Muqi>rah al-Bukha>ri>,
Sa|hi>h al-Bukha>ri>,(Beirut : Da>r al-fikr, 1401 H/1981 M), III: 110.

lxix
melakukan berbagai macam hubungan diantaranya adalah melakukan transaksi

gadai tanah sawah.

Transaksi gadai tanah sawah di kecamatan Watang Sidenreng merupakan

transaksi yang sudah mengakar, sudah berlaku secara turun temurun. Dengan

demikian, penyusun berniat meneliti dan menganalisis tradisi gadai ini dari segi

hukum Islam. Bagaimana hukum Islam menyikapi tradisi gadai tanah sawah yang

terjadi di Kecamatan Watang Sidenreng?.

Dalam hukum Islam kegiatan gadai menggadai barang sudah ada sejak

dahulu kala dan merupakan kegiatan yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan yaitu

tatkala seseorang sedang dalam perjalanan, bermu’amalah secara tunai, sementara

diantara mereka tidak ada seorang pun penulis, agar supaya ada barang

tanggungan yang dipegang oleh murtahin sebagai alat pengikat kepercayaan

diantara mereka sebagaimana firman Allah :

.82... ‫وان كـنـتم علي سفـر ولم تجـدوا كاتبا فرهن مقـبو ضة‬

Selain orang yang dalam perjalanan, orang yang mukim atau menetap pun
diperbolehkan melakukan transaksi gadai. Berdasarkan sunnah Rasulullah yaitu
tatkala beliau menggadaikan baju besinya ketika beliau menetap di Madinah
kepada seorang yahudi untuk membeli makanan.

83
‫ من يـهـودي طعـاما ورهـنه درعه‬: ‫اشـتر ي رسـول اهلل ص‬

82
Al- Baqarah (2) : 283.
83
Al-Ima>m al-Bukha>ri> < S{ahi>h al-Bukha>ri>,“bab Fi> Ra>hn al-Ha>dir”, (Beirut:
Da>r al-Fikr, 1981), III : 115, hadis dari Musaddad dari abd. Al-Wahid dari al-A’mas dari
Ibrahim.

lxx
Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa gadai menggadai

barang berharga dapat dilakukan walaupun para pihak tidak dalam bepergian.

Sementara jumhur ulama telah sepakat tentang diperbolehkannya gadai bagi orang

yang menetap.

Pengertian gadai menurut hukum Islam maupun pengertian yang umum

dimiliki oleh masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng telah penyusun

paparkan pada bab II dan bab III di atas. Persamaan diantara keduanya terletak

pada sebab terjadinya gadai barang atau gadai benda-benda yang bernilai yaitu

pinjam meminjam uang dengan menggunankan jaminan. Sementara perbedaannya

ialah bahwa dalam hukum Islam barang jaminan berkedudukan sebagai amanah

dan kepercayaan di tangan murtahin yang berfungsi sebagai jaminan hutang jika

ra>hn tidak mampu melunasi hutangnya.84

Menurut hukum Islam suatu perbuatan dalam hal ini adalah gadai tanah

baru dikatakan sah jika telah terpenuhi unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut

biasa disebut rukun gadai. Sebagaimana tersebut dalam kita Mas}a>hib al-

‘Arba’ah sebagai berikut :

1. A<qid yaitu pihak yang melakukan akad.

a. Ra>hn

b. Murtahin

2. Ma’qud ‘Alaih (yang digadaikan).

a. Marhun (barang).

b. Dain Marhu>n bih (hutang).

84
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang riba, utang piutang, gadai, cet. Ke-II
(Bandung: Al-Ma’arif, 1973), hlm: 56-9.

lxxi
3. S{i>>qat.85
Rukun-rukun di atas memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi juga
yaitu:
1. A>qid, syarat-syaratnya yaitu :
a. Mempunyai kecakapan dalam bertindak.86

b. Keduanya melakukan akad secara suka rela.87

2. Ma’qud ‘Alaih syarat-syaratnya :


a. Benda bernilai menurut syara’

b. Dapat dimanfaatkan.

c. Barang.

d. Milik orang yang melakukan akad.

e. Dapat diserah terimakan pada saat akad.88

f. Untuk suatu hutang.

g. Hutangnya sudah tetap.

h. Hutangnya telah diketahui jumlah, benda dan sifatnya.89

3. S{i>qat, syarat-syaratnya yaitu :


a. Adanya persesuaian antara ija>b dan qabul pada suatu obyek akad.

b. Adanya persesuaian antara ija>b dan qabul dalam suatu majelis.

85
Abdurrahman al-Jazi>li>, Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maz|a>hi>b al-Arba’ah, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t), II : 320.
86
Wahbah az-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi wa ‘Adillaah, cet. Ke-3 (Beirut: Da>r al-Fkr,
1989), V : 185.
87
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, edisi revisi,(Yogyakarta: UII
Press, 2000), hlm: 15.
88
Abdurrahman al-Jazi>ri>, Kitab al-Fiqh…., II : 330.
89
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang…., hlm. 53-54.

lxxii
Dari hasil penelitian dan pengamatan penyusun dalam tradisi gadai tanah
sawah yang dilakukan oleh masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng diketahui
bahwa rukun-rukun dan syarat-syaratnya sudah mendekati sempurna, seperti yang
dikemukakan dalam rukun dan syarat sah gadai dalam hukum Islam. Meskipun
hanya ada sedikit kesamaran pada serah terima tanah sawah sebagai barang yang
digadaikan atau sebagai barang tanggungan dari suatu hutang.
Tanah merupakan benda tak bergerak, maka dalam serah terimanya
menggunakan sertifikat tanah sawah tersebut kepada murtahin. Tetapi dalam
transaksi gadai tanah sawah yang terjadi di kecamatan Watang Sidenreng, ra>hin
tidak menyerahkan seertifikat tanah sawahnya kepada murtahin sebagaimana
seharusnya untuk benda tak bergerak. Transaksi yang terjadi diantara mereka
hanya saling kepercayaan bahwa sawah tersebut adalah benar milik sipenggadai
(ra>hin) dan bukan milik orang lain. Sehingga akan menyusahkan salah satu
pihak yang melakukan transaksi jika ada sengketa atau masalah di kemudian hari.
Jika ada selisih atau keperluan lain yang mendesak atas tanah tersebut mereka
selalu merundingkannya.
Kepercayaan yang terjalin diantara mereka menyebabkan kemungkinan
untuk terjadinya penyelewengan sangat tipis. Ketakutan murtahin jika tidak
dibayar atau kesulitan dalam menagih hutangnya kepada Ra>hin, hal ini sangat
tipis kemungkinan terjadi karena tanah sawah milik ra>hin masih berada di
bawah kekuasaan murtahin dan hasli panennya pun milik murtahin, jika Ra>hin
tidak segera membayar hutangnya, maka ra>hin sendiri yang rugi.
Allah swt. Berfirmn yang isinya bahwa, jika kedua belah pihak telah
saling mempercayai, maka mereka harus memegang atau memenuhi amanatnya.
90
‫فان امن بعضـكم بعـض فلـي ْـود ي ا لذي ْاو تمن اما نتـه‬

Meskipun masyarakat di kecamatan Watang Sidenreng dalam bertransaksi


gadai telah saling percaya tapi penguasaan tanah sawah itu masih dilaksanakan
dan dilakukan oleh murtahin karena demikian aturan yang berlaku di kecamatan
Watang Sidenreng.
90
al-Baqarah (2) : 283.

lxxiii
Pemanfaatan barang gadai dilakukan sepenuhnya oleh murtahin sampai
satu tahun atau dua kali panen bahkan sampai hutang dilunasi. Jika telah sampai
batas waktu untuk membayar hutang tetapi ra>hin belum mempunyai uang, maka
pemanfaatan atas barang gadai tersebut diteruskan sampai ra>hin mampu
melunasi hutangnya atau sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya.91
Hukum Islam telah menetapkan ketentuan bahwa pemanfaatan barang
gadai adalah oleh ra>hin, sebagai pemilik barang, bukan oleh murtahin. Karena
akad yang terjadi bukan akad pemindahan hak milik, dimana orang yang
menerima barang dapat memiliki sepenuhnya. Akad gadai bukan akad
pemanfaatan suatu benda (sewa menyewa) dimana barang tersebut dapat
dimanfaatkan. Akad gadai hanya berkedudukan sebagai jaminan. Oleh karena itu
Ulama sepakat bahwa hak milik suatu manfaat atas suatu benda yang dijadikan
jaminan (borg) berada dipihak ra>hin, murtahin tidak bisa mengambil manfaat
barang gadai kecuali diizikan oleh ra>hin sebagamana dalam hadis nabi saw.
92
‫ال يغلق الر هن من صا حـبه الذي رهـنه له غنمـه و عليه غرمه‬

Murtahin baru dapat mengambil manfaat barang gadai jika barang


tersebut membutuhkan biaya perawatan dan pemeliharaan, sebatas biaya yang
dibutuhkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al- Muqny-nya
Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat atau hasil dari barang
gadaian sedikit pun, kecuali dari yang bisa ditunggangi atau diperah sesuai
dengan biaya yang dikeluarkan.93

Nafkah yang diambil dari barang gadaian adalah sekedar atau sebesar
ongkos yang dikeluarkan untuk biaya perawatan dan pemeliharaan. Dan tidak
boleh lebih atau berlebih-lebihan, karena hal tersebut bisa dikategorikan kepada
riba yang dilarang oleh syari’at agama Islam.

91
Wawancara dengan haji Langka P,kepala lingkungan dua kelurahan Empagae pada
tanggal 7 Juli 2004.
92
Asy-Sayukani, Nail al-‘Aut}a>r, ( Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat as-
Syafi’I dan ad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibnu Syihab dari Ibnu al-
Musayyab dari Abi Hurairah.
93
Ibn Quda>mah,al-Mugni> Li> Ibnu Quda>ma, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah
al-‘Arabiyyah, t.t), IX: 426.

lxxiv
‫إذا ارتهن شاة شرب المر تهـن من لبـنها يقدر علقهاـ فإن اسـتفـضل من اللبن بعد الثمن العلف‬
94
‫فهو ربا‬

Sawah adalah merupakan barang gadai yang membutuhkan biaya


perawatan seperti mencangkul, urea, penyemprotan, upah buruh dan lain
sebagainya. Untuk itu tanah sawah sebagai barang gadaian boleh dimanfatkan
oleh murtahin. Sebatas keperluannya untuk pemeliharaan atas barang gadai
tersebut. Untuk menjaga agar murtahin tidak mengalami kerugian atas barang
gadai itu, maka hak murtahin harus dijaga jangan sampai menderita kerugian,
tetapi dalam hal ini hak ra>hin sebagai pemilik barang juga tidak boleh
diabaikan. Jadi solusinya adalah bagi hasil antara ra>hin dan murtahin atas hasil
panen tanah sawah gadai tersebut setelah dikurangi biaya perawatannya.95
Namun kebiasaan dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang
Sidenreng tidak ada sistem bagi hasil antara ra>hin dan murtahin semuanya
diperuntukkan bagi murtahin, mulai dari perawatan, pengelolahan serta memiliki
hasilnya. Tetapi semua itu atas dasar izin dan kerelaan dari ra>hin tanpa ada
paksaan.
Di Kecamatan Watang Sidenreng pemanfaatan barang gadai dalam hal ini
tanah sawah terdapat penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan dalam syari’at Islam.
Di kecamatan watang Sidenreng pemanfaatan sawah sebagai barang gadai
dimanfaatkan oleh murtahin dan bukan oleh ra>hin. Hal ini karena pemanfaatan
sawah gadai merupakan kelangsungan atau pelaksanaan dari proses akad gadai
tanah sawah. Walaupun tidak disebutkan dalam akad gadai diantara keduanya
bahwa sawah tersebut akan digarap oleh murtahin. Namun hal tersebut

94
Asy-Syauka>ni, Nail al-Auta>r, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1973), V: 353. Hadis
Daruqutni> dari Abi Hurairah.
95
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang….., hlm: 56-57

lxxv
merupakan hal yang pasti. Hal ini sudah diketahui secara umum bahwa proses
akad gadai salah satunya adalah penggarapan sawah gadai oleh murtahin.
Menurut pengamatan penyusun daya tarik dari gadai tanah sawah ini
terletak pada penggarapan sawah oleh murtahin. Ini pula yang mendorong
murtahin dengan suka cita ingin membantu ra>hin, disamping keinginan untuk
menolong, karena tolong menolong diantara mereka sudah lazim.
Faktor inilah yang mendasari masyarakat Bugis di kecamatan Watang
Sidenreng untuk mengadakan transaksi gadai tanah. Karena tolong menolong
dalam hal kebaikan merupakan anjuran dari syari’at Islam. Sebagaimana firman
Allah swt dalam surah al-Maidah sebagai berikut :
96
‫وتعاونو ا علي البر و التقوي وال تعاونوا علي ا إل ثم والعدوان واتقوا اهلل إن اهلل شديد العـقاب‬

Dalam tradisi gadai tanah ini, murtahin mempunyai dua keuntungan,


pertama : uangnya kembali dengan utuh kepadanya bahkan bisa lebih jika harga
gabah naik. Kedua : ia dapat mengelolah dan menikmati hasil panen sawah
gadaian sampai ra>hin mampu melunasi hutangnya atau sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat.
Bagi ra>hin ataupun murtahin, tradisi gadai tanah sawah merupakan ajang
untuk saling menyenangkan. Oleh karena itu kedua belah pihak merasa senang
dan rela atas tradisi ini, karena tidak ada unsur paksaan.
Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa dalam bermu’amalah harus
dilakukan atas dasar sukarela tanpa ada paksaan. Mu’amalah juga harus
dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur
penganiayaan dan unsur-unsur mengambil manfaat dalam kesempitan.97 Mengenai
aturan main penduduk Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam hal
pemanfaatan tanah sawah gadai ini, sejauh pengamatan penyusun ra>hin tidak
merasa benar-benar tertolong. Di satu sisi ra>hin tertolong dalam mengatasi
kesulitannya dan di sisi lain justru ia semakin terpuruk ke dalam kesulitan dimana
ia tidak dapat lagi menggarap sawahnya yang memberinya pemasukan untuk

96
Al-Ma>idah (5) : 2.
97
Ahmad Azhar Basyir,Asas-asas …., hlm: 15.

lxxvi
membiayai kebutuhan dan kelangsungan hidupnya dan untuk melunasi
hutangnya. Kecuali jika pinjaman uang dengan menggadaikan tanahnya ini
dipergunakan sebagai modal usaha dan ternyata berhasil. Tetapi, jika digunakan
untuk keperluan yang tidak bisa dikembangkan atau bukan untuk usaha yang
produktif, maka sama halnya ra>hin mengganti satu masalah dengan masalah
yang lain. Hal seperti itu dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat
yaitu mengganti kesukaran dengan kesukaran yang lebih ringan sesuai dengan
kaedah ushu fiqh.
98
‫الضـر ر األشد يزال با لضر راألخف‬

Aturan di Kecamatan Watang Sidenreng pada saat ra>hin memutuskan


untuk menggadaikan sawahnya dan kemudian melakukan transaksi gadai dengan
murtahin, maka pada saat itu ra>hin telah merelakan penggarapan sawahnya
kepada murtahin. Hasil panennya diambil oleh murtahin sampai ra>hin bisa
menebus kembali sawahnya. Dalam hukum Islam meminjamkan uang dengan
mengambil manfaat dari uang pinjaman tersebut merupakan sesuatu yang dilarang
keras oleh syari’at karena hal itu termasuk riba.
Dari segi rukun dan syarat sah, sebenarnya telah terpenuhi dan sah
menurtu syara’, namun masalah baru muncul dari efek yang dibuat antara ra>hin
dan murtahin yaitu pemanfaatan barang gadai milik ra>hin kepada murtahin
sejak ija>b dan qabul disepakati. Hal in bertentangan dengan ketentuan yang
telah ditetapkan dalam syari’at Islam.
Dalam hukum Islam dikatakan bahwa ra>hin-lah yang berhak mengelola
dan menikmati hasil panennya. Jika murtahin mengelolah tanah sawah gadai
berdasarkan izin dari ra>hin, maka hak ra>hin untuk ikut menikmati hasilnya
tidak bisa diabaikan.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut di atas walaupun atas kerelaan dan
keikhlasan ra>hin, tetapi karena pemanfaatan barang tersebut barasal dari
menghutangkan uang, maka hal ini dapat dikategorikan kepada riba an-Nasiah
yaitu riba yang telah ma’ruf atau terkenal di kalangan masyarakat jahiliyah

98
Asmuni Abdurrahman, Kaedah-kaedah fiqh, (Jakarta : Bulan bintang, 1979), hlm: 82

lxxvii
semasa lalu dan riba semacam ini dilarang dengan sangat sebagaimana dengan
tercantum dalam al-Qur’an :
99
‫يمعق اهلل الربوا ويربي الصـدقت واهلل ال يحب كل كفار أ ثـيم‬

Kebiasaan masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam


menggadaikan tanah sawah menurut analisa penyusun dengan dikategorikan
kepada ‘urf yang fasid. Alasannya karena tradisi gadai masyarakat Bugis di
kecamatan watang sidenreng bertentangan dengan nash, baik al-Qur’an maupun
as-Sunnah. Ada penyimpangan yang tidak dapat ditolerir yaitu pemanfaatan
barang gadai oleh murtahin. Dimana pemanfaatan barang gadai tersebut
disebabkan oleh adanya peminjaman uang. Hal ini termasuk riba an-nasi’ah
walaupun dalam transaksi gadai tanah sawah itu sudah ada izin dan kerelaan dari
ra>hin tanpa ada paksaan yang merupakan asas dan syarat dalam bermu’amalah.
Tetapi hukum Islam tidak dapat mentolerir keharaman riba menjadi sesuatu yang
diperbolehkan atau dibolehkan. Berdasarkan ayat berikut ini :
100
‫وأحل اهلل البـيع وحرم الربوا‬

Dalam menetapkan suatu hukum, adat atau ‘urf merupakan suatu sumber
penetapan hukum Islam dengan syarat-syaratnya, yang antara lain tidak
bertentangan dengan hukum syara’. Dan sejauh pengamatan dan analisis
penyusun,’Urf yang ada di kecamatan watang Sidenreng banyak menyimpang dari
aturan-aturanyang telah ditetapkan syara’, mengnai pemanfaatan barang gadai
dalam hal ini tanah sawah. Oleh karena itu ‘urf ini tidak dapat diberlakukan atau
diamalkan karena bertentangan dengan syara’.

B. Analisis Pemanfaatan Tanah Gadai ditinjau dari Segi Maslahah dan


Mafs}adah-nya.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa akad gadai bukanlah akan
menyerahkan dan memindahkan kepemilikan suatu benda. Namun demikian dari
akad tersebut muncul hak menahak bagi murtahin terhadap benda barang gadai.
99
Al-Baqarah (2) : 276.
100
Al-Baqarah (2) : 275.

lxxviii
Meskipun begitu ra>hin diberi kesempatan untuk mengambil manfaat dari barang
yang digadaikannya karena, barang serta manfaat dan hasil atau nilai yang
dikandungnya tetap milik ra>hin.
Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dapatlah diketahui
bahwa dalam praktek gadai tanah sawah dalam masyarakat Bugis di kecamatan
Watang Sidenreng terdapat manfaat atau maslahah yang dapat dirasakan oleh
ra>hin dan murtahin, juga terdapat mudarat atau mafs}adahnya. Dengan kata
lain, ada dampak positif dan dampak negatif dari transaksi gadai tanah ini bagi
mereka berdua. Dampak positif ini dapat dilihat dari sisi rahin antara lain :
1. Teratasinya masalah ra>hin tanpa ia harus kehilangan hak kepemilikan atas

tanah sawahnya.

2. Ketenangan yang dirasakan oleh ra>hin dengan adanya transaksi gadai ini.

Ra>hin tidak didesak untuk segera melunasi hutangnya jika waktu untuk

membayar hutangnya telah tiba, sementara ra>hin belum cukup memiliki

uang untuk menebus kembali tanah sawahnya itu. Ra>hin juga tidak takut

tanah sawahnya disita karena tidak mampu untuk membayar hutangnya pada

saat yang telah disepakati bersama tentang waktu pembayaran.

Sementara dampak negatif yang diterima oleh ra>hin sebagai konsekuensi


dari diadakannya atau dilakukannnya gadai tanah sawah itu ialah ra>hin tidak
dapat menggarap tanah sawahnya. Hal ini membuat ra>hin semakin terpuruk
dalam kehidupannya, ra>hin harus membayar lunas hutangnya sementara ia
kehilangan hak penggarapan atas sawahnya karena hanya dengan hasil sawah
tersebut ia dapat menyisihkan uangnya untuk membayar hutang. Lain halnya jika
uang yang dipinjam dipergunakan untuk modal usaha yang produktif. Dalam hal
ini tidak ada masalah bagi ra>hin untuk membayar hutangnya atau untuk biaya
hidupnya sehari-hari bersama keluarganya.
Masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dalam hal ini (transaksi
gadai tanah sawah) lebih memilih untuk menggadaikan tanah sawahnya

lxxix
dibandingkan pilihan yang lainnya. Menurut penduduk di kecamatan Watang
Sidenreng, mereka lebih menyukai tradisi ini karena disamping ra>hin tidak
kehilangan kepemilikan atas tanah sawahnya yang digadaikan, mereka juga tidak
dipusingkan atau diributkan dengan urusan-urusan ukur mengukur tanah milik
ra>hin. Mereka lebih memilih menggadaikan tanah sawahnya menurut tradisi
yang ada dibandingkan dengan cara yang lain.
Disamping itu dengan melakukan gadai tanah sawah ini mereka
pergunakan untuk saling menyenangkan satu sama lainnya. Murtahin mendapat
keuntungan dan ra>hin mendapat pertolongan untuk mengatasi kesulitannya
dengan memakai norma-norma dan aturan-aturan yang telah umum dan terjadi
dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng. Dengan adanya
transaksi gadai tanah sawah ini, telah mempererat hubungan komunikasi dan
pergaulan hidup bermasyarakat di antara mereka semua.
Demikianlah hasil pengamatan penyusun berkenaan dengan pemanfaatan
barang gadai oleh murtahin dari segi maslahah dan mafs}adah-nya yang
berkenaan dengan ra>hin. Sementara pada murtahin sejauh pengamatan dan
penelitian penyusun tidak banyak yang mengeluh tenatng dampak negatif dari
adanya transaksi gadai tanah sawah ini bagi meeka. Mereka selalu mencari
kesepakatan secara musyawarah dan kekeluargaan jika mereka merasa ada sesuatu
yang harus dibicarakan dan kurang berkenaan atau murtahin merasa dirugikan.
Sementara dampak positif yang dirasakan oleh murtahin dengan adanya
transaksi gadai tanah sawah ini antara lain :
1. Murtahin dapat jaminan tentang pelunasan dari ra>hin, dengan jumlah yang
sama atau lebih jika harga gabah naik.
2. Murtahin dapat memetik hasil panen dari tanah sawah garapan yang diberikan
kepadanya sebagai akibat adanya transaksi gadai yang dibuat bersama ra>hin.
3. Murtahin bisa melanjutkan penggarapan tanahs awah itu jika ra>hin belum
mampu menebusnya kembali.
4. Ra>hin tidak berlarut-larut dalam pelunasan hutangnya. Jika pada saat jatuh
tempo pembayaran, ra>hin sudah memiliki uang pelunasan.

lxxx
5. Jika terjadi kenaikan harga gabah maka murtahin mendapat kelebihan
pembayaran dari uang yang dipinjamkannya.
6. Jika harga gabah turun pada saat uang dikembalikan, murtahin sudah cukup
mendapat ganti dari hasil panen.
Dengan adanya maslahah dan mafsadah sebab diadakannya transaksi gadai
tanah sawah antara ra>hin dan murtahin dengan mengikuti tradisi yang berlaku
dalam masyarakat Bugis di kecamatan Watang Sidenreng dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa walaupun ra>hin mengalami kerugian, tetapi dengan melihat
bahwa tidak ada jalan lain yang lebih baik dari gadai tanah sawah ini, dengan cara
ini disamping ra>hin tertolong dalam mengatasi kesulitannya ia masih bisa
bersantai, karena tidak khawatir disita jika sudah jatuh tempo, sementara ia belum
mampu untuk menebusnya kembali. Maslahah yang dirasakan ra>hin ternyata
lebih besar dari mafs}adah-nya. Demikian pula halnya yang dirasakan oleh
murtahin. Maka dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an yang berbunyi sebagai
berikut :
101
‫يريد اهلل بكم اليـسر وال يريد بكم العـسر‬
102
‫ما بريد اهلل ليجعل عليكم من حرج‬

Pemanfaatan tersebut diperbolehkan dengan syarat sekedar biaya


perawatan dan pengolahan, serta untuk menutupi kerugian yang dialami oleh
Murtahin dari tidak menentunya harga gabah. Besar kecilnya pengganti itu dapat
dilihat dari besar kecilnya kerugian yang ditanggung oleh murtahin pada saat itu.
Dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an dan al-Hadis berikut ini yang berbunyi:

103
‫ال تظلمون وال تظلمون‬

101
Al-Baqarah (2) : 185.
102
Al-Ma>idah (5) : 6.
103
al-Baqarah (2) : 279.

lxxxi
104
‫ال ضرر وال ضرار‬

Tidak adanya yang menganiayan dan teraniaya dan tidak membalas


kemadaratan dengan kemadaratan yang lebih besar, maka sepanjang hal tersebut
tidak ada ataupun ada, tetapi kemadaratan yang dirasakan lebih kecil dan ringan
seperti disebutkan dalam kaidah :
105
‫الضرر األ شديزال بالضرر األخف‬

Sehingga tidaklah mengapa untuk dilakukan sepanjang tidak berlebih-


lebihan atau ad’afan Muda>’afan (berlipat ganda). Dengan alasan-alasan tersebut
di atas, maka adat atau ’urf tersebut dapat dibenarkan dengan menggunakan teori
106
‫العادة محكمة‬

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penyusun menjabarkan dan menganalisis skripsi ini, maka

penyusun dapat mengambil kesimpulan sebagai beikut :

1. Dari segi rukun dan syarat, gadai yang ada di masyarakat Bugis di

kecamatan Watang Sidenreng sudah sah atau sudah betul, tetapi dari

pemanfaatan barang gadai tidak dibenarkan dalam hukum Islam, karena

104
Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Kitab al-‘Ahka>Musykom, bab Man bana> Fi> Ma>
Yadurru bi> Ja>ri>h (Beirut: Da>r al-fikr, t.t ), II: 784. Hadis dari “Ubaidah bin S{amit.
105
Asmuni Abdurahman, kaedah-kaedah…, hlm: 82.
106
Ibid., hlm: 35.

lxxxii
terdapat penyelewengan atau melenceng dari ketentuan-ketentuan atau

aturan-aturan yang telah digariskan dalam syari’at hukum Islam. Jadi

tradisi yang berlaku bertentangan dengan nas. Oleh karena itu dilarang

untuk dilakukan.

2. Tanah gadai dapat dimanfaatkan oleh murtahin apabila mendapat izin dari

ra>hin tanpa mengabaikan hak ra>hin sebagai pemilik tanah. Sedangkan

hasilnya daapt dibagai sesuai dengan kesepakatan.

3. Tradisi pemanfaatan tanah gadai sawah dalam masyarakat Bugis di

kecamatan Watang Sidenreng ditinjau dari segi maslahah dan

mafs}adahnya ternyata terdapat mafs}adah atau mudarah bagi ra>hin

walaupun ra>hin sudah merelakannya dan murtahin tidak mensyaratkan

adanya persyaratan tersebut pada saat akad gadai terjadi. Tetapi demi

untuk menjaga nilai-nilai keadilan bagi ra>hin, maka pemanfaatan tanah

gadai oleh murtahin secara penuh seperti yang terjadi dalam masyarakat

Bugis di kecamatan Watang Sidenreng tidak dibenarkan atau tidak dapat

ditolerir.

B. Saran-saran

Saran-saran yang akan penyusun berikan adalah untuk masyarakat Bugis


secara umum dan penduduk di kecamatan Watang Sidenreng secara khusus.
Saran-saran tersebut adalah :
1. Hendaklah para pemuka masyarakat dalam hal ini adalah para ulama

setempat, agar lebih sering memberikan pengarahan atau informasi

mengenai hukum gadai dalam hukum Islam dan hukum tentang cara-cara

lxxxiii
bermu’amalah secara baik dan benar sehingga masyarakat dapat terhindar

dari kesalahan.

2. Kepada Ra>hin dan Murtahin, selain kepercayaan yang mereka miliki

bersama, Hendaknya dalam bertransaksi gadai tanah sawah menggunakan

catatan yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dibawah notaris

sebagai bukti otentik jika diantara mereka terjadi perselisihan.

3. Pemanfaatan tanah sawah gadai secara penuh adalah dilarang dalam

hukum Islam akan tetapi kalau sekedar untuk biaya perawatan tidak

mengapa atau bisa jadi dibuat perjanjian bagi hasil dengan ketentuan yang

disepakati bersama setelah dipotong dengan biaya perawatan dan

seterusnya, dengan menggunakan sistem muzara’ah atau mukharabah

yaitu bibit berasal dari pemilik tanah atau sebaliknya bibit berasal dari

murtahin, tergantung kesepakatan antara ra>hin dan murtahin.

4. Kepada masyarakat Bugis secara umum, penduduk di kecamatan Watang

Sideneng secara khusus agar supaya lebih memperhatikan aturan-aturan

syari’at Islam dalam bermu’amalah khususnya gadai tanah sawah agar

tidak melenceng dari ketentuan-ketentuan yang ada (nas).

5. Sistem muzara’ah atau mukhabarah bisa dijadikan alternatif lain untuk

menutup kerugian dan biaya perawatan, juga untuk menegakkan nilai-nilai

keadilan.

LAMPIRAN I

DAFTAR TERJEMAHAN

lxxxiv
Hlm Footnote Terjemahan

BAB I

2 1 Kalian yang lebih mengetahui urusan duniamu.

3 3 Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan


penulis, barang tanggungan pun bisa diterima. Tetapi
kalau masing-masing diantara kamu saling
mempercayai, orang yang dipercayai wajib meemnuhi
amanatnya. Dan bertakwalah kepada Tuhannya.
Jangan kamu sekali-kali menyembunyikan kesaksian.
Barangsiapa yang menyembunyikannya, akan
tercoreng dosa dalam hatinya. Dan Allah Maha
Mengetahui akan segala yang kamu lakukan.
9 11 Semua Qirad yang mendatangkan manfaat adalah riba

BAB II
20 3 Dan tidak mendapatkan penulis, maka barang
tanggungan dapat diterima.
21 4 Menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai
harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan
suatu hutang, sehingga memungkinkan mengambil
seluruh atau sebagian hutang dari benda itu.
21 5 Menjadikan harta yang bersifat harta sebagai
kepecayaan dari suatu hutang yang dapat dibayarkan
dari (harga) benda itu bila hutang tidak dibayar.
23 8 Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan
penulis, barang tanggungan pun bisa diterima. Tetapi
kalau masing-masing diantara kamu saling
mempercayai, orang yang dipercayai wajib meemnuhi
amanatnya. Dan bertakwalah kepada Tuhannya.
Jangan kamu sekali-kali menyembunyikan kesaksian.
Barangsiapa yang menyembunyikannya, akan
tercoreng dosa dalam hatinya. Dan Allah Maha
Mengetahui akan segala yang kamu lakukan.
23 9 Rasulullah SAW. Pernah membeli makanan pada
orang yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya
baju besi beliau.
25 11 Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh.

lxxxv
29 19 Diangkat pena dari tiga hal yaitu : orang tidur
sehingga dia bangun, anak kecil sehingga dia dewasa
dan orang gila sehingga dia berakan dan sadar.
33 27 Gadai itu tidak menutup akan yang punyanya dari

manfaat barang itu, faidahnya yaitu kepunyaan dia

dan dia yang wajib memperoleh tanggung jawab

segala resikonya ( kerusakan dan biayanya).

34 30 Gadaian ditunggangi dengan nafkanya jka ia


dijadikan jaminan hutang dan air susu diminum
airnya dengan nafkahnya jika ia dijadikan jaminan
hutang, kepada yang menunggangi dan meminum air
susunya harus memberi nafkah.
36 34 Kalau tidak kamu lakukan, ketahuilah Allah dan
Rasul-Nya akan mengumumkan perang terhadapmu.
Bila kamu bertobat, bagimulah poko hartamu, kamu
tidak menganiaya dan teraniaya.
36 35 Kalau orang yang berutang dalam kesukaran, berilah
penangguhan sampai masa kelapangan. Kalau kamu
sedekahkan saja, itu tindakan yang terpuji bagimu.
BAB IV
51 1 Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan

penulis, barang tanggungan pun bisa diterima.

53 7 Tidak dihalalkan salaf (hutang) diperjualbelikan dan


tidak pula ada dua syarat dalam satu transaksi.
54 8 Bila kamu dalam perjalanan dan tidak mendapatkan

penulis, barang tanggungan pun bisa diterima.

55 9 Rasulullah pernah membeli makanan pada orang yahudi dan


beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau
58 16 Tetapi, kalau masing-masing di antara kamu
mempercayai, orang yang dipercayai wajib memnuhi
amanatnya.
59 18 Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari
manfaat barang tiu, faidahnya kepunyaan dia dan dia

lxxxvi
wajib mempertanggung jawabkan segala resikonya.
60 20 Jika digadaikan seekor kambing, maka pemegang
gadai berhak meminum susu kambing itu sebanyak
makanan yang diberikan kepada kambing itu, maka
jika berlebihan dari harga makanan, itu termasuk riba.
61 22 Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan
melaksanakan takwa. Jangankamu tolong menolong
dalam dosa dan permusuhan.
63 24 Kemadaratan yang lebih berat dihilangkan dengan
mengerjakan kemadaratan yang lebih ringan.
64 25 Allah memusnahkan praktek riba dan
menumbuhkembangkan sedekah.
64 26 Sedangkan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.
68 27 Dan Allah menghendaki kemudahan dan tidak
menghendaki kesulitan untukmu.
68 28 Allah tidak hendak menyulitkan kamu
69 29 Kamu tidak menganiaya dan teraniaya.
69 30 Tidak boleh membuat kemudaratan dan membalas
dengan kemudaratan.
69 31 Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan denagn
mengerjakan kemudaratan yang lebih ringan.
69 32 Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.

lxxxvii
LAMPIRAN II

BIOGRAFI ULAMA

Imam Bukhari
Nama lengkapnya adalah abu Abdillah Muhammad Ismail ibn Ibrahim ibn
Mughirah al-Bukhari. Lahir pada tahun 194 H/ 1910 M. Beliau mempelajari hadis
ke Khurasan, Irak, Mesir, dan Syam. Wafat pada tahun 256 H / 870 M di
Samarkhan. Karyanya adalah Shahih Bukhari dan hadisnya dipandang shahih.

Imam Muslim
Nama lengkapnya abu Abdillah Muslim Ibn Hajjat ibn Muslim al-Quraisy
an-Naisabury. Lahir tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di
Naesaburi.Kitabnya yang terkenal adalah Shahih Muslim , kitab sahih setelah
kitab Shahih Bukhari.

Ibnu Majah
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-
Qazwaniy Ibnu Majah, lahir pada tahun 207 H dan wafat pada hari selasa, delapan
hari sebelum hari raya Idul Fitri tahun 275 H, beliau mengumpulkan 4000 hadis
yang terkumpul dalam kitab “Sunan Ibn Majah” dan kitab ini termasuk dalam
kitab tujuh.

Dr. Wahbah az-Zuhaili


Beliau adalah gurur besar fiqh dan ushul fiqh pada universitas Damaskus.
Beliau seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis menulis, di antara
karyanya yang terkenal adalah ushul al-Fiqh al-Isla>mi> dan fiqh al-Islam wa
Adillatun.

As-Sayyid Sabiq
Beliau salah seorang ulama besar pada universitas al-Azhar Cairo. Beliau
adalah teman sejawat dengan ustad Hasan al-Bannan, seorang mursid al-‘Am dari
partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Beliau seorang ulama yang mengajarkan
ijtihad dan menganjurkan kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis, selain itu beliau
juga seorang ahli hukum yang menghasilkan banyakkarya, diantaranya yang
terkenal “Fiqh as-Sunnah” dan “al-Aqidh al-Islamiyah”.

lxxxviii
Ahmad Azhar Basyir
Beliau lahir pada 21 November 1982. Seorang alumnus dari PT IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pernah mendalami bahasa Arab di Universitas
Bagdad tahun 1957 sampai 1958. Memperoleh gelar Magister of Art pada
Universitas Kairo dalam Dirasah Islam tahun 1965. Pernah mengikuti pendidikan
Purna Sarjana di UGM tahun 1971-1972. pernah juga menjadi Lektor di UGM,
Dosen luar biasa di UII, UMY dan IAIN Sunan Kalijaga. Pernah menjadi Ketua
PP Muhammadiyah periode 1990-1995. Hasil karyanya antar lain Hukum Perdata
Islam, Garis Besar system Ekonomi Islam, Hukum Adat Bagi Umat Islam dan
Asas-asas Hukum Muamalat.

Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy.


Beliau dilahirkan di lokseumawe (Aceh Utara) dengan nama lengkapnya
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy pada tanggal 10 maret 1904 M. Belaiu
pernah mendalami ilmu agama di pondok pesantren di daerah Sumatera kemudian
melanjutkan studinya ke Jawa Timur (PT. Al-Irsyad Suarabaya) sejak itu beliau
mulai terjun dalam dunia ilmiah, Beliau pernah menjabat dosen dan dekan pada
fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Adapun karyanya yang terkenal
“ Falsafah hukum Islam”, pengantar “Fiqh Muamalah” dan masih banyak lagi.
Beliau wafat pada tahun1975 di Jakarta.

lxxxix
LAMPIRAN III

xc
LAMPIRAN IV

PEDOMAN WAWANCARA

I. Pihak Pemerintah.

1. Apakah pihak pemerintah mengetahui apabila masyarakat melakukan gadai

tanah ?

2. Apakah pelaksanaan gadai itu dicatat dalam agenda desa ?

3. Apakah dalam perjanjian gadai tanah tersebut pihak pemerintah diundang

untuk menyaksikan ?

4. Bagaimana akad pelaksanaan gadai tanah yang diketahui oleh pemerintah ?

5. Menurut landasan hukum apa gadai tanah dilakukan ?

6. Bila terjadi sengketa tentang gadai tanah, apakah pihak pemerintah

dilibatkan ?

7. Apakah ada barang gadaian digadaikan atau disewakan lagi oleh penerima

gadai ?

8. Apakah pernah terjadi barang gadai selama tujuh tahun belum

dikembalikan?

xci
II. Tokoh Masyarakat.

1. Apakah dorongan masyarakat untuk melakukan gadai tanah ?

2. Bagaimana keadaan ekonomi masyarakat yang melakukan gadai tanah, baik

dari pihak penggadai maupun penerima gadai ?

3. Bagaimana bentuk akad gadai tanah di kecamatan Watang Sidenreng?

4. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat tentang akad gadai di kecamatan

Watang Sidenreng?

5. Adakah batasan waktu pelaksanaan gadai tanah di kecamatan Watang

Sidenreng?

6. Apa tindakan pihak penggadai dan penerima gadai bila sampai batas waktu

yang telah disepakati ?

7. Bagaimana kedudukan tanah yang digadaikan ?

8. Hak apa yang dipunyai oleh penggadai dan penerima gadai ?

9. Apakah ada barang gadaian digadaikan kembali oleh penerima gadai ?

10. Apakah ada istilah khusus tentang gadai di kecamatan watang Sidenreng?

11. Bagaimana Sistem transaksi gadai yang dilakukan di kecamatan Watang

Sidenreng?

12. Dalam melakukan transaksi gadai, para pelaku menggunakan kurs apa?

xcii
LAMPIRAN V

DAFTAR ANGKET PENELITIAN

I. Untuk Penggadai

1. Apa yang menjadi dorongan bapak/ibu menggadaikan tanah ?

a. Kebutuhan yang mendesak

b. Karena sekedar ingi memenuhi kebutuhan yang tidak mendesak dan

tidak perlu

2. Bagaimana cara menawarkan tanah yang akan digadaikan ?

a. Usaha sendiri b. Melalui perantara

3. Apakah pihak penggadai ketemu langsung dengan penerima gadai ?

a. Ya b. Tidak

4. Siapa yang melakukan akad pelaksanaan gadai ?

a. Sendiri b. Orang yang dipercaya

5. Sejak kapan penggadai menerima uang hasil menggadaikan tanah ?

a. Sejak dilakukan akad

b. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad

xciii
6. Apakah pihak penggadai menentukan batasan waktu dalam menggadaikan

tanah ?

a. Ya b. Tidak

7. Sejak kapan penggadai menyerahkan tanah yang digadaikan kepada

penerima gadai ?

a. Sejak dilakukan akad

b. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad

8. Apakah penggadai setujuh dengan sistem gadai yang kursnya sesuai dengan

harga gabah?

a. Ya b. Tidak

9. Apakah gadai yang sesuai dengan Harga gabah menguntungkan penggadai?

a. Ya b. Tidak

10. Apakah barang gadai dikelolah oleh penerima gadai?

a. Ya. b. Tidak

II. Untuk Penerima Gadai

1. Apa yang menjadi doronga bapak/ibu untuk menerima gadai tanah ?

a. Karena ingin menolong

b. Karena ingin memanfaatkan tanah

2. Bagaimana cara menerima tanah gadaian ?

a. Sendiri b. Melalui perantara

3. Apakah pihak penerima gadai bertemu langsung dengan pihak

penggadai dalam transaksi ?

xciv
a. Ya b. Tidak

4. Siapa yang melakukan akad pelaksanaan gadai tanah ?

a. Sendiri b. Orang yang dipercaya

5. Sejak kapan penerima gadai menyerahkan uang ?

a. Sejak dilakukan akad

b. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad

6. Apakah penerima gadai menentukan batas waktu dalam transaksi

gadai tanah ?

a. Ya b. Tidak

7. Sejak kapan penerima gadai menerimah tanah yang dijadikan

barang jaminan ?

a. Sejak dilakukan akad

b. Beberapa hari/bulan setelah dilakukan akad

8. Apakah penerima gadai menentukan kurs yang dilakukan dalam transaksi

gadai tanah?

a. Ya. b. Tidak

9. Apakah sistem gadai sesuai kurs harga gabah menguntungkan?

a. Ya b. Tidak

xcv
LAMPIRAN VI

CURICULUM VITAE

Nama : Supriadi

Tempat Tanggal lahir : Pangkajene, Sidrap, 25 April 1980

Nama bapak : H. Muhammad Rais (Alm)

Pekerjaan : Guru SMPN 3 Pangkajene Sidrap

Nama Ibu : Hj. Pahmiah

Pekerjaan : URT

Alamat Asal : Jl. Sultan Hasanuddin No. 11 Pangkajene Sidrap

Sulawesi Selatan 91611

Alamat Yogyakarta : Jalan Nogomudo No. 181 Gowok, Catur Tunggal, Depok
Sleman Yogyakarta
Pendidikan : TK PERTIWI Pangkajene, Sidrap lulus tahun 1987

SDN 1 Pangkajene, Sidrap lulus tahun 1993.

I’dadiyah DDI Mangkoso Barru lulus tahun 1994.

Mts Putra DDI Mangkoso Barru lulus tahun 1997.

MA Putra DDI Mangkoso, Barru, Lulus tahun 2000.

Masuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2000.

Organisasi : 1. Ketua Gaswes DDI Mangkoso (1997-1998)

xcvi
2. Wakil Bendahara Umum HMI Komisariat Syari’ah UIN Sunan Kalijaga

Jogjakarta. (2001-2002).

3. Ketua Umum HMI Komisariat Syari’ah (2002-2003)

4. Bendahara Umum HMI Cabang Jogjakarta (2004-2005)

xcvii

Anda mungkin juga menyukai