SKRIPSI
OLEH :
ZAENAL MUSTOFA
NIM : 99363513
DI BAWAH BIMBINGAN :
1. DR.H. ABD. SALAM ARIEF, MA.
2. AHMAD BAHIEJ, SH.M.Hum.
PENDAHULUAN
naluri yang berbeda pula. Fitrah telah menentukan bahwa individu tidak akan
pengetahuannya, serta bahan yang tidak dapat dibawa oleh kekuatannya. Dengan
ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok, dalam setiap individu dari
masyarakat itu sendiri. Jika tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini
lupus”.2
mereka itu terwujud. Dalam hal hidup bermasyarakat, berpuncak pada suatu
dasar negara tersebut. Apabila hal ini kita tinjau dari segi hukum, maka tertib
1
Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 8.
2
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm. 25.
bermasyarakat yang berupa tertib hukum, haruslah didasarkan pada Undang-
recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan
peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa
hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang
Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-
hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam
hukum terdiri dari hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum
3
Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato
Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33 (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm.
1.
4
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 48.
5
Ibid., hlm. 49.
antara individu adalah horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik
diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta
perangkatnya.6
hukum dagang dan hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang
ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, adat dan
pidana. Penganiayaan oleh KUHP secara umum diartikan sebagai tindak pidana
terhadap tubuh.7 Semua tindak pidana yang diatur dalam KUHP ditentukan pula
pembunuhan. Kedua delik ini ancaman pidananya mengacu pada KUHP buku I
bab II tentang pidana, terutama pada pasal 10. Di dalam pasal tersebut disebutkan
bahwa pidana terdiri dari dua macam, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan,
untuk delik penganiayaan serta pembunuhan lebih mengarah kepada pidana pokok
yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda.8
hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan
hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau
6
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 26.
7
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan
Prevensinya, Ed. 1. cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 50.
8
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16 (Jakarta:Bumi
Aksara, 1990), hlm.6.
hukum keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau hukum privat, al-Ahwal al-
atas agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Perlindungan terhadap lima hak
Islam, seperti halnya sitem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka,
mengacu pada al-qur’an yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan
Islam diancam dengan hukuman qisas. Akan tetapi tidak semua pembunuhan
9
Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1 (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 71-72.
10
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana
dan Agenda, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 71-72.
11
Abdoel Raoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, t.t), hlm. 132.
dikenakan hukum qisas, ada juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu
pembunuhan atas dasar ketidak sengajaan, dalam hal ini tidak dikenakan qisas,
melainkan hanya wajib membayar denda yang enteng. Denda ini diwajibkan atas
dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib
membayar sepertiganya.12
maupun pidana positif yang telah disebutkan di atas menjadi menarik untuk
dibahas ketika keduanya dihadapkan pada suatu kasus yang menuntut adanya
penyelesaian, dalam hal ini adalah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang
membahas kasus tersebut, yang pertama adalah bahwa belum adanya penelitian
yang membahas kasus tersebut dari segi hukum pidana Islam dan hukum pidana
positif, pada umumnya yang dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik
penganiayan atau pembunuhan saja. Yang kedua adalah selama ini sering terjadi
salah satunya adalah kasus penganiayaan seperti yang yang dikemukakan dalam
penelitian ini. Latar belakang terjadinya hal tersebut biasanya juga dikarenakan
adanya kelakuan yang tidak wajar sehingga akan menimbulkan aib apabila
diketahui oleh masyarakat, seperti adanya kehamilan diluar pernikahan atau akibat
1. Tujuan
2. Kegunaan
Islam maupun hukum positif sangat banyak macam dan coraknya. Disamping itu
banyak pula sudut pandang serta metode yang digunakan masing-masing penulis,
umum, belum ada karya penelitian yang membahas pada permasalahan delik
membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif, lebih-
lebih masuk pada pembahasan tentang sebuah kasus penganiayaan terhadap ibu
panganiayaan, baik itu dari segi hukum Islam maupun hukum positif, akan tetapi
masalah itu, yang sekaligus dijadikan sebagai sumber data dari penelitian ini
adalah buku yang ditulis oleh Topo Santoso, dengan judul Membumikan Hukum
Selain itu, kitab dengan judul at-Tazhib Fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-
taqrib yang ditulis oleh Mustofa Raib al-Bagha juga menjelaskan masalah-
Qadir ‘Audah dengan kitab at-Tayri’i al-Jina’i al-Islami, as-Sayyid Sabiq dengan
kitab Fiqh as-Sunnah juga membahas tentang berbagai macam persoalan fiqh
undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan rujukan pokok dalam penentuan
delik pembunuhan ada pada Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa, yaitu
Pasal 338-350.
1. Dolus, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja.
13
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam., hlm. 37-38.
14
Mustafa Raib al-Bagha, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 191-202.
2. Culpa, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak
Buku lain yang berjudul Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh,
terhadap nyawa16 dan juga tentang penganiayaan, yaitu tindak pidana terhadap
tubuh17. Di dalam buku itu juga dijelaskan macam dari pembunuhan ataupun dari
Kemudian di Fakultas Syari’ah sendiri telah ada karya ilmiah yang berupa
skripsi saudara Muh. Ihram (angkatan ’91) yang berjudul Perbandingan Hukum
klasifikasi dan sanksinya menurut ketentuan hukum pidana Islam dan hukum
pidana positif.
saudara Muhdiono (angkatan ’95) dengan judul Aborsi Menurut Hukum Islam
(Perbandingan Mazhab Syafi’i dan Hanafi). Kajian dari skripsi ini lebih menitik
15
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 9.
16
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh., hlm. 19-49.
17
Ibid., hlm. 50-63.
pandangan kedua mazhab tersebut. Sedangkan penelitian kali ini memfokuskan
pada pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif terhadap delik
penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin dari segi
E. Kerangka Teoretik
terhadap tubuh dan yang bertentangan dengan hukum (KUHP Pasal 351-358).
Terhadap orang ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai dengan
diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat dalam satu kitab undang-
18
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hlm. 257.
perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang
dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain, melakukan (commision) atau tidak
Klasifikasi kejahatan yang paling penting dan paling banyak dibahas oleh
para ahli hukum Islam adalah hudud, qisas, dan ta’zir. Kategori qisas jatuh pada
posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal beratnya. Kejahatan-
kejahatan dalam kategori qisas ini kurang serius dibanding yang pertama (hudud),
namun lebih berat daripada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran dari kejahatan ini
adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa
yang dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia
luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qisas ini.20
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit
atau luka kepada orang lain. Sedangkan menurut penafsiran dari H.R. (Hoge
19
Topo Santoso, Membumikan., hlm. 20.
20
Ibid., hlm. 22-23.
Raad) penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata
menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat
semi sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi lima
macam, yaitu :
badan itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban
5. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis
pelukaan di atas.22
21
Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana ,
(Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
22
Topo Santoso, Membumikan., hlm. 38.
23
Ibid., hlm. 36-37.
1. Pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan
tersebut .
kelalaian26.
berikut:
1. Persamaan nama yang khusus, seperti kanan dengan kanan, kiri dengan
kiri.
maka tidak dipotong bagian yang sempurna dengan sebab bagian yang
syalal (lumpuh).27
24
Misalnya melakukan suatu perbuatan dengan tidak bermaksud melakukan kejahatan,
tetapi mengakibatkan kematian seseorang.
25
Seseorang melakukan perbuatan dengan niat membunuh seseorang yang dalam
persangkaannya boleh dibunuh, namun ternyata tidak boleh, misalnya dengan sengaja menembak
seseorang yang disangka musuh dalam peperangan tapi ternyata teman sendiri.
26
Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi kelalaiannya menimbulkan
kematian.
27
Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa at-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 195.
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan tidak selalu mendapatkan hukuman
qisas dapat juga diyat (denda), hal ini seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh
28
من قتل له قتيل فهوخبريالنظرين إما أن يودي و إما أن يقاد
1. Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci atas :
a. Penganiayaan biasa
4. Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian
sebagai berikut :
5. Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP
mati.29
yang terdapat dalam Buku II Bab XIX tentang kejahatan terhadap jiwa manusia,
moord)
(abortus)
29
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50.
30
Chidir Ali, Responsi., hlm.71-72.
Sanksi dari tindak pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yaitu sebagai
berikut31 :
a. Pidana mati,
b. Pidana penjara,
c. Kurungan,
d. Denda
telah mengetahui lebih dulu, bahwa ia akan mendapatkan hukuman, maka ia akan
31
Moeljatno, KUHP., hlm.6.
32
Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-
peraturan Hukum Pidana, Jilid I (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 236-238.
33
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 27.
F. Metode Penelitian
akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian
tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah cara
diperlukan.34
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
jenis penelitian yang digunakan pada penyusunan skripsi ini adalah jenis
fasilitas pustaka seperti buku, kitab atau majalah.35 Oleh karena itu, dalam
penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan dengan
memahami ketetapan dari dua sistem hukum yang berbeda mengenai delik
kajian pustaka.
2. Sifat Penelitian
34
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),
hlm. 9
35
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7
(Bandung: t.np.,1994), hlm. 25.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, analitik serta komparatif. Metode
deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta untuk memberikan data
yang seteliti mungkin tentang gejala atau fakta tersebut36, sedang analitik
adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata secara sistematis data
ini perbandingan antara sistem hukum pidana Islam dan hukum pidana
penyelesaian.
3. Pengumpulan Data
maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan
Kemudian dari sumber-sumber yang ada, baik primer maupun skunder akan
penelitian ini adalah, dari segi hukum Islam: al-Fiqh wa Adillatuh karya
Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq, Minhaj al-Muslim karya Abu Bakar
36
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 (Jakarta: UI-Press, 1986),
hlm. 10.
37
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4 (Yogyakarta: Roke Sarasin,
1998), hlm. 43.
Jabir al-Jazairi, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib karya
Mustafa Raib al-Bagha, dan lainnya. Sedangkan dari segi hukum pidana
4 Pendekatan
normatif, yaitu dengan mengambil beberapa aturan atau ketentuan yang ada
hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menjelaskan teks-
5. Analisa Data
Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian ini
tentang pembunuhan dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.
ketentuan yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai
perbedaan dan persamaan antar elemen dalam kedua sistem hukum tersebut,
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran umum mengenai isi karya tulis ini dan lebih
masalah yang kemudian dirumuskan pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah
pustaka yang menguraikan beberapa kajian terdahulu baik berupa buku-buku atau
kitab-kitab atau artikel yang ada relevansinya dengan pembahasan yang dapat
pembahasan kerangka teoretik baik dari hukum pidana Islam maupun dari hukum
38
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977),
hlm. 50.
pidana positif, dilanjutkan dengan metode penelitian yang digunakan dalam
pembunuhan dalam ruang lingkup hukum pidana Islam. Pembahasan ini akan
pembunuhan juga dijelaskan mengenai sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana
pembunuhan ditinjau dari segi hukum pidana positif. pembahasan ini juga
sistem hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif dihadapkan pada kasus
dikandung. Analisis tersebut dari dua segi, yaitu segi tindak pidana dan segi
pidananya, yang keduanya berisikan persamaan dan perbedaan dari kedua sistem
hukum tersebut.
Bab kelima, yaitu bab terakhir dalam skripsi ini akan dikemukakan
kesimpulan yang merupakan jawaban akhir dari pokok permasalahan yang ada.
Dan dalam bab ini juga akan dikemukakan saran-saran dari penyusun serta kata
penutup.
BAB II
DELIK PENGANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN
MENURUT HUKUM ISLAM
(tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas), yaitu tindakan kejahatan yang
43
Ibid.
44
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995),
hlm. 425.
45
Ibid., hlm. 429.
46
Ibid., hlm. 430.
47
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1992), hlm. 172.
48
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3 ( Damaskus: Dar al-Fikr,
1989 ), VI: 217.
49
Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami ( Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
t.t.), II : 6.
membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam bentuk hilangnya
Para ulama membagi jinayah terhadap tubuh menjadi lima macam, yaitu :
(anggota badan itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya
e. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis
pelukaan di atas.51
Sedangkan Abu Bakar al-Jazairi sebagaimana disebutkan dalam definisi penganiayaan, membagi jinayah terhadap
tubuh menjadi 3 macam, yaitu :
a. Jinayatul Atraf,
b. Asy-Syijjaj, dan
c. Al-Jirah,
50
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2 ( Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, 1990 ),
II : 263.
51
Topo Santoso, Membumikan., hlm. 38.
Khusus pada asy-Syijjaj menurut ulama salaf ada 2 (dua) kelompok,52
yaitu;
a. Pelukaan terhadap kepala atau wajah yang telah ada ketetapan dari
menampakkan tulang,
daripada Al-Ma’mumah.
wajah yang belum ada penjelasan dari syari’at tentang diyatnya53, yaitu;
52
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 429-430.
53
Ibid., hlm. 430.
3) Al-Badi’ah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang
mengenai tulang.
yaitu:
54
Ibid.
55
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh,VI : 220.
mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung
yang vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena
jarum menjadi bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau
batu kecil, tangan, cemeti, atau tongkat yang ringan, dan antara
bukan anak kecil atau orang yang lemah, cuacanya tidak terlalu
adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf kepada orang lain
yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat
sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan
niat membunuh, artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika
akhirnya orang itu mati. Hal ini sama dengan pukulan yang menyebabkan mati
56
Ibn Qudamah, al-Mugni, cet. ke-1 (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, t.t.) VIII :
636-640, lihat juga Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlus Sunnah, cet.1 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1972 ), hlm. 152-153.
57
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 435.
58
Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’i., II : 10.
59
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, cet. ke-2 ( Beirut: Dar al-
Fikr, 1981 ) II : 232.
b. Pembunuhan dengan musaqqal, yaitu alat yang tidak tajam, seperti
tongkat dan batu. Mengenai alat ini fuqaha berbeda pendapat apakah
60
Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj ( Mesir: Mustafa
al-Bab al-Halabi wa Aulad, 1958), IV : 6.
e. Pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang membinasakan,
ومن يقتل مؤمنا متعم دا فج زاؤه جهنم خال دا فيها وغضب اهلل عليه
ولعنه واعدله عذابا عظيما
62
61
An-Nisa (4) : 92.
62
An-Nisa (4) : 93.
ال حيل دم امرئ مسلم يشهد أن ال إله إال اهلل وأىن رسول اهلل إال
الثيب الزاىن والنفس بالنفس والتارك لدينه املفارق للجامعة: باحدى ثال ث
اى املرتد عن دين االسالم
63
Sanksi pidana dalam hukum Islam disebut dengan al-'Uqubah yang berasal
dari kata عقب, yaitu sesuatu yang datang setelah yang lainnya, maksudnya
adalah bahwa hukuman dapat dikenakan setelah adanya pelanggaran atas
ketentuan hukum. 'Uqubah dapat dikenakan pada setiap orang yang melakukan
kejahatan yang dapat merugikan orang lain baik dilakukan oleh orang muslim atau
pidana guna memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain
Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari
untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya jarimah tersebut. Dan besar kecilnya
63
Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwani, Sunan ibn Majah, Kitab al-
Hudud, Bab al-Yahillu Dam Imriin Muslim Illa fi Salasah, ( Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyah, 1952 ), I : 874. Hadis nomor 2534. hadis riwayat ibn Majah dari ‘Ali ibn
Muhammad dari ‘Abdullah ibn Murrah dari Masyruq dari ‘Abdullah ibn Mas’ud.
64
Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), hm. 6.
65
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana., hlm. 55.
kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat
4. Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai.
Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak
diqisas seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang
muslim yang melukai kafir zimmi atau memotong anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak memiliki anak, serta korban
dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap
korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan onggota yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang
terluka.69 Kecuali jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat
disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban.
Syarat-syarat qisas dalam pelukaan:70
a. Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada kebohongan maka tidak boleh diqisas,
b. Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin dilakukan, maka diganti dengan
diyat,
c. Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau bagian yang telah
dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong
kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan,
66
Ahmad Jazuli, Fiqh Jinayat, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Hukum Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26-27.
67
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., III : 38.
68
Balig adakalanya karena mimpi bersenggama atau karena faktor umur. Batas maksimal
kebaligan seseorang berdasarkan umur adalah delapan belas tahun, dan batas minimalnya adalah
lima belas tahun, ini berdasarkan hadis riwayat sahabat Ibnu 'Umar. Adapun mengenai tumbuhnya
bulu kemaluan para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
69
dipotong tangan yang sehat karena memotong tangan yang cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena
e. Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak dilaksanakan qisas, kecuali anggota
itu tidak berakhir pada tulang, dan setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas,
maka tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya tulang juga dalam jaifah, akan
Kemudian dalam hal tindakan menempeleng, seseorang diperbolehkan membalasnya sesuai dengan apa yang telah
dilakukannya, hal ini sesuai firman Allah swt.,
71
فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه مبثل مااعتدىعليكم...
72
وجزاء سيئة سيئة مثلها
b. Diyat
73
أو وليه, وتؤدى إىل اجملىن عليه,املال الذى جيب بسبب اجلناية
Dalam hal penganiayaan jenis jinayatul atraf, pelaksanaan diyat dibagi
menjadi dua, yaitu yang dikenakan sepenuhnya dan yang dikenakan hanya
setengahnya saja, adapun diyat yang dikenakan sepenuhnya adalah dalam hal
sebagai berikut74 :
1. Menghilangkan akal,
71
Al-Baqarah (2) : 194.
72
Asy-Syura (42) : 40.
73
tulang punggung.
Hal-hal tersebut berdasarkan hadis Nabi yang tertera dalam kitabnya 'Amr
وىف الشفتني, وىف اللسان الدية,ويف األنف إذا أوعب جدعه الدية
وىف العينني, وىف الصلب الدية,و ىف الذكر الدية, وىف البيضتني الدية,الدية
وىف الرجل الواحدة نصف الدية,الدية
75
Sedangkan diyat yang dikenakan hanya setengahnya saja adalah dalam hal
melukai76 :
75
Ibn Abdus samad at-Tamimi as-Samarqandi ad-Darami, Sunan ad-Darimi, Kitab ad-
Diyah, Bab Kam ad-Diyah min al-Ibili (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). II : 192-193. Hadis Nomor 2260.
Riwayat Umar ibn Hazm dari Bapaknya dari Kakeknya.
76
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 428-429.
6. Satu buah alis
adalah memotong sebuah jari, yaitu diyatnya sepuluh ekor unta, berdasarkan
hadis,
77
عشر من اإلبل لكل أصبع,دية أصابع اليدين أوالرجلني سواء
Dan wajib dalam mematahkan gigi diyat sebanyak lima ekor unta,
yang telah ada ketetapan syara' dan juga yang belum adalah sebagai berikut79 :
80
ىف املواضح مخس مخس
81
إن النىب صلى اهلل عليه السالم أوجب ىف اهلامشة عشر من اإلبل
77
At-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah ‘an
Rasulillah, Bab Ma Ja’a fi Diyat al-Asabi’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1988). IV: 8. Hadis Nomor 1311.
Riwayat Ikrimah dari ibn Abbas.
78
Jalaluddin as-Suyuti, Sunan an-Nasa’i, Kitab al-Qasamah, Bab Zikru Hadis ‘Umar Ibn
Hazm fi ‘Uqul wa Ikhtilaf an-Naqilaini (Beirut: Dar al-Fikr, 1930). Hadis Nomor 4774. Riwayat
Ibn Hazm dari Bapaknya.
79
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 429-430.
80
82
واملنقلة مخس عشرة من اإلبل...
4. al-Ma'mumah, diyatnya sebesar sepertiga diyat, seperti dalam kitabnya
83
وىف املأمومة ثلث الدية...
5. ad-Damighah, hukum dari hal ini sama dengan al-Ma'mumah yaitu
1. jaifah, diyatnya sepertiga diyat seperti dalam kitabnya Amr Ibnu Hazm,
84
وىف اجلائفة ثلث الدية...
2. Dalam hal mematahkan tulang rusuk diyatnya sebanyak satu ekor unta
(ba'ir)
3. Dalam hal mematahkan lengan tangan atas, bawah ataupun betis diyatnya
82
Ibn Abdus Samad at-Tamimi as-Samarqandi ad-Darimi, Sunan ad-Darami, Kitab ad-
Diyah, Bab Kam ad-Diyah min al-Ibili. Hadis Nomor 2260. Riwayat Umar ibn Hazm dari
Bapaknya dari Kakeknya.
83
Ibid.
84
Ibid.
85
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 430
Dan selain apa yang telah disebutkan di atas hukumnya diqiyaskan kepada
pidana islam, yaitu pertama, sanksi asli (pokok), berupa hukuman qisas, kedua,
sanksi pengganti, berupa diyat dan ta’zir, dan ketiga, sanksi penyerta/tambahan,
a. Sanksi Asli/Pokok
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah dinaskan dalam al-
Qur’an dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama.
diqisas (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua belah
keadilan dan kemaslahatan.88 Hal ini ditegaskan al-Qur’an dalam sebuah ayat;
89
ولكم ىف القصاص حيوة يآاوىل األ لباب لعلكم تتقون
86
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 261.
87
Ibid.
88
Ibid., VI : 264
89
Al-Baqarah (2) : 179.
Adapun beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakan qisas90,
yaitu :
92
من قتل عمدا فهو قود
3. Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika
90
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 297.
91
Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-Syairazi, Al-Muhazzab,
(Semarang: Toha Putra, t.t.), II : 173.
92
Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qatala fi ‘Immiya’ Baina
Qoumin, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1998 ), IV : 183. Hadis Nomor 4539. Riwayat Sufyan dari Amr dari
Tawus.
1. Korban adalah orang yang dilindungi darahnya.93 Adapun
94
ال يقاد الوالد بالوالد
Juga hadis;
dalam pelaksanaannya.
Qisas wajib dikenakan bagi setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh
wali korban. Para ulama mazhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku
pembunuhan sengaja adalah qisas.97 Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
hanya qisas, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu; mereka
100
من قتل له قتيل فهو خبري النظرين إما يودي و إما يقاد
101
...باملعروف فمن عفى له من أخيه شيء فاتباع
Kalau orang yang akan menjalani qisas telah mati terlebih dahulu,
99
Abu Dawud, Sunan., IV : 183.
100
Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab
Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981)
IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
101
Al-Baqarah (2) : 178.
102
Abdul Qodir ‘Audah, At-Tasyri’., I : 777-778 dan II : 155-169. Wahbah az-Zuhaili, Al-
Fiqh., VI : 294.
si terbunuh. Pendapat ini mazhab Imam Ahmad serta salah satu
Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab hak dari mereka (para wali) adalah
jiwa, sedangkan hak tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada
b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat
korban.103
b. Sanksi Pengganti
1) Diyat
104
املال الواجب باجلناية على النفس او ما ىف حكمها
Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau
yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan
103
Perbedaannya dengan al-‘Afwu (pengampunan) adalah kalau sulh itu pengguguran
qisas dengan ganti rugi (kompensasi), sedang al-‘Afwu terkadang pengampunan qisas secara
mutlak.
104
Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit
emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan
unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi
pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik
domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak dan 200
105
An-Nisa )4) : 92
106
Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab
Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini, IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu
Hurairah.
107
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 552-553.
فرض ها عمر: ق ال. اال إن اإلبل قد غل د: أن عمر ق ام خطيبا فق ال
رضي اهلل عنه على أهل ال ذهب ألف دين ار وعلى أهل ال ورق إثين عشر ألفا
وعلى أهل البقر م أيت بق رة وعلى أهل الش اة ألفى ش اة وعلى أهل احللل م أيت
.حلل 108
Sedangkan diyat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu diyat mugallazah
Jumlah diyat mugallazah adalah 100 ekor unta yang 40 diantaranya sedang
من قتل مؤمنا متعم دا دفع إىل: أن رسو ل اهلل عليه و س لم ق ال
, ثال ثون حقة: وإن شاؤوا أخذ الدية وهى, فإن شاؤوا قتلوا: أولياءاملقتول
وذلك لتش ديد, وما ص لحوا عليه فهو هلم, وأربع ون خلف ة,وثالث ون جذع ة
العقل 110
Jadi apabila dirinci dari 100 ekor unta tersebut adalah sebagai berikut :
108
Al-Baihaqi, As-Sunnah al-Kubra, Kitab ad-Diyah, Bab A’waz al-Ibil, ( Beirut: Dari al-
Fikr, t.t. ), VIII : 77. Hadis riwayat ‘Amr ibn Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya.
109
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 304.
110
Mustafa Raib al-Baga, at-Tazhib, cet. ke-1 (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), hlm. 192.
lihat juga ِAt-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi.
c. 40 ekor unta khalifah (unta yang sedang mengandung)
pembunuhan kesalahan dan dibayarkan dengan diangsur selama kurun waktu tiga
وعش رون بنت, وعش رون حق ة, ىف اخلطإ عش رون جذع ة: أنه ق ال
وعشرون بنت خماض, وعشرون ابن لبون,لبون
111
Sedangkan diyat pembunuhan syibh ‘amd adalah diyat yang pembayarannya tidak
hanya pada pelaku, tetapi juga kepada ‘aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan
dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas. Jika
qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan
111
Ibid., hlm. 196.
pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal ‘amid112
pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya ‘amid membayar diyat
dengan hartanya sendiri bukan dari ‘aqilah, karena keringanan (pemberian tempo)
setiap manusia dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya dan tidak dapat
114
كل امرئ مبا كسب رهني...
ّ
2) Ta’zir
pemberian sanksi bagi terdakwa untuk kemaslahatan. Karena qisas itu di samping
haknya korban, ia juga merupakan haknya Allah, hak masyarakat secara umum.
c. Sanksi Penyerta/Tambahan
112
Yaitu orang yang melakukan pembunuhan sengaja
113
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 307.
114
At-Tur (52) : 21.
115
Wahbah az-zuhaili, Al-Fiqh., VI : 291-292 dan 312-313.
Sanksi ini berupa terhalangnya para pembunuh untuk mendapatkan waris
dan wasiat. Ketetapan ini dimaksudkan untuk sadd az-zara’i; agar seseorang tidak
membunuh, selain itu ada juga hukuman lain yaitu membayar kifarah, sebagai
memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu’min. Kalau tidak bisa, maka
diwajibkan puasa selama dua bulan berturut-turut. Hal ini dinyatakan dalam
فمن مل جيد فص يام ش هرين,فدية مس لّمة الىاهله وحترير رقبة مؤمن ة...
...متتابعني 116
janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau
kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa
gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam
kandungan serta baik janin itu laki-laki atau perempuan.Gurrah dalam hal
116
An-Nisa (4) : 92.
117
Abu Dawud, Sunan., Kitab ad-Diyah, Bab Diyah al‘Ala, VI : 190. Hadis riwayat ibn
Musa dari ‘Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.
118
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nazair, (Beirut:
Dari al-Fikr, t.t. ), hlm. 103.
hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham, atau sebanyak seratus
, عبد أو أمة, فى الجنين غرة: أن النبى صلى اهلل عليه السالم قال
121
قيمته خمسمائة
Apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian mati,
maka sanksinya adalah membayar diyat utuh, apabila janin itu laki-laki
maka jumlah diyatnya adalah seratus ekor unta. Apabila janin itu
perempuan, diyatnya sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati
atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan
hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, beliau menjelaskan dengan pertanda
adanya gambaran bentuk manusia yaitu adanya tangan dan jari-jari. Dan apabila
119
Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 193. Lihat juga Sahih Bukhari, Hadis Nomor 6512.
120
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), V : 372.
121
Ibid.
hal itu tidak ada, maka menurut beliau tidak ada tanggungan apa-apa baik itu
BAB III
DELIK PENGANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM
PIDANA POSITIF
Positif
dahulu akan mengemukakan apa yang dimaksud dengan delik. Dalam kamus
hukum delik diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.124 Dalam
122
Ibid., V : 373.
123
Ibid.
124
Andi Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 144.
hukum pidana Belanda selain memakai istilah strafbaar feit kadang juga
menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Dan secara
umum oleh pakar hukum pidana disetujui penggunaan strafbaar feit. Prof. Simon
mendefinisikan strafbaar feit dengan suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh orang-orang yang dapat
feit meliputi:
a. suatu perbuatan
Oleh karena KUHP bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah yang
digunakan pun sama yaitu strafbaar feit. Namun dalam menterjemahkan istilah
dikutip oleh Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan istilah
Utrecht menyalin istiah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana, di mana beliau
bahwa lebih baik digunakan istilah padanannya saja yang banyak digunakan yaitu
delik.128
suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada KUHP hal
ini disebut dengan “penganiayaan”, tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti
pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut “perasaan” atau
“batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang
berikut :
Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. akan tetapi suatu perbuatan yang
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu
dilakukan untuk menambah keselamatan badan ...130
Kemudian ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”.131
Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah :
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan
semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu
tujuan yang diperkenankan.132
128
Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana ,
(Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
132
Ibid.
2. Pengertian Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh; perbuatan
delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan
timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-
undang.135
atas :
1. Penganiayaan biasa
133
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1982), hlm.169.
134
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1 (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 1.
135
Ibid.
e. Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan
f. Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian
sebagai berikut :
g. Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP
mati.136
Selain daripada itu, diatur pula pada Bab XX (penganiayaan) oleh Pasal
yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan Pasal 170
umum.
136
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan
sengaja.
(5) Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum. 137
Yang termasuk Pasal 351 ayat (1), bukan penganiayaan ringan, bukan
penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan luka berat atau
matinya orang.
Timbul kerancuan antara Pasal 351 ayat (1) dengan Pasal 352 KUHP,
terhadap Pasal 352 KUHP lazim disebut dengan “Tipiring” (tindak pidana
Jika kita mencermati Pasal 351 KUHP, maka ada 3 (tiga) jenis
mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit atau rumit, tetapi
pada prakteknya kadang-kadang sulit membedakan dengan Pasal 351 ayat (2),
misalnya :
137
Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
138
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 52.
A dianiaya oleh B yang mengakibatkan luka berat, tetapi karena dalam
waktu yang tidak begitu lama, ada yang mengangkut ke rumah sakit sehingga
“Luka berat” pada rumusan asli disebut “zwaar lichamelijk letsel” yang
diterjemahkan dengan “luka badan berat” yang selalu disingkat dengan luka berat.
Sebagian pakar menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata “berat” pada
luka karena pada umumnya kata berat dimaksudkan untuk menyatakan ukuran.139
b. Penganiayaan ringan
Hal ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
139
Ibid., hlm. 53.
140
Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
(1) Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang
tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan
atau pekerjaan, dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan
hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-
banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh ditambah sepertiga
bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.141
Hal ini diatur oleh Pasal 353 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.142
141
Ibid.
Sedangkan Mahkamah Agung berdasarkan putusan No. 717 K/Pid/1984
Tidak diperlukan suatu jangka waktu yang lama, antara saat perencanaaan
itu timbul dengan saat perbuatan dilakukan. Hal ini dapat disimpulkan dari
sifat dan cara perbuatan itu dilakukan serta alat yang digunakan untuk
melaksanakan perbuatan itu.145
d. Penganiayaan Berat
Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.146
f. Turut Perkelahian/Penyerbuan
Hal ini diatur oleh Pasal 358 KUHP yang bunyinya sebagai berikut ;
145
berat dan mati. Jika tidak timbul salah satu akibat tersebut maka perbuatan itu,
mana D hanya ikut saja, tanpa berbuat sesuatu. Dalam hal ini D dapat
ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri
Kejahatan terhadap nyawa orang lain terbagi atas beberapa jenis, yaitu :
149
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 62.
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak
pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara
penjara paling lama lima belas tahun”.151 Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun. 152
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam
pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja
kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang
dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa
direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340
adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus
150
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 17.
151
Moeljatno, KUHP, hlm. 147.
152
Ibid.
153
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 30-31.
menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut,
lain dari si pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi
ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang
lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai
sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh
diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung
jawabkan.156
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang
dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika
tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada
hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum
154
Ibid., hlm. 31.
155
Ibid., hlm. 35.
156
M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), hlm. 122.
tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.157
Misalnya :
C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka C lebih dahulu membunuh
penjaganya.
kejahatan.
Misalnya :
2) dengan maksud
157
Moeljatno, KUHP., hlm.147.
158
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 30.
b. Unsur obyektif : 1) menghilangkan nyawa orang lain
lain
dilakukan
bersangkutan
tindak pidana.159
339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak
mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni mereka yang
159
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 37.
melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), yang
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.161
Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T. pembentukan Pasal 340 diutarakan, antara lain :
160
Ibid., hlm. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan
Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm.9.
161
Moeljatno, KUHP., hlm. 147.
162
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.31.
163
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955)
Yang dimaksud dengan direncanakan lebih dahulu, adalah suatu saat untuk
menimbang-nimbang dengan tenang, untuk memikirkan dengan tenang.
Selanjutnya juga bersalah melakukan perbuatannya dengan hati tenang.164
terlebih dahulu
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan
sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya,
maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa seorang ibu dengan
sengaja merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia melahirkan anaknya atau
tidak berapa lama setelah anak dilahirkan. Sedangkan unsur yang penting dalam
rumusan Pasal tersebut adalah bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas
suatu alasan (motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas
kelahiran anaknya.167
164
Chidir Ali, Responsi., hlm. 74.
165
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 44.
166
Moeljatno, KUHP., hlm.147.
167
Chidir Ali, Respons., hlm. 76.
Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu adalah
anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga pembunuhan tersebut
haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum lama setelah dilahirkan. Apabila
anak yang dibunuh itu telah lama dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak
KUHP.
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil
sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak,
menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama
kemudian daripada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.168
Pasal 342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP bedanya adalah bahwa
Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum
melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara
melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi
pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus
sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341 KUHP
khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan hanya si ibu
tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut
telah mempersiapkan alat-alatnya.
f. Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu
sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun.169
Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk
itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau
jadi orangnya bunuh diri.170
170
Ibid.
171
Chidir Ali, Responsi., hlm. 76.
c. orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.172
Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya
atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.174
Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut :
(1)Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.175
Mengandungnya
Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
172
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.46.
173
Ibid., hlm.47.
174
Molejatno, KUHP., hlm. 148.
175
Ibid.
(1)Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
(2)Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun176
Positif
2) Hukuman penjara.
3) Hukuman kurungan.
4) Hukuman denda.
176
Ibid., hlm. 149.
177
Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, cet. ke-1 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), hlm. 35.
178
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Pradya
Paramita, 1989), hlm. 16.
5) Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun
November 1946)179
2. Hukuman penjara.
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan
para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan Hakim.
Tempat terhukum yang ada sampai sekarang merupakan peninggalan
penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari
kamar-kamar yang satu sama lain tidak dapat berhubungan. Fungsi kamar
untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat berkomunikasi dengan
terhukum lainnya dan kelihatan seperti orang yang dikucilkan dari
pergaulan sosial. Dengan jalan demikian diharapkan terhukum kelak kalau
selesai menjalankan hukumannya akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi
melakukan tindak pidana kejahatan. Tetapi tindakan seperti itu tidak
bertujuan mendidik secara positif, sebab secara psikologis dapat
menimbulkan kemungkinan-kemungkinan psikis yang berakibat sakit
mental, kejahatan besar atau kejahatan kambuhan.
Dari beberapa kemungkinan yang dapat terjadi inilah, yang berarti
tidak ada perbaikan tingkah laku, maka pemerintah Indonesia mengubah
fungsi penjara menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”. Artinya para
terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya
sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga di samping lamanya
menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur
seperti kewajiban mengikuti bimbingan mental rohani dan ketrampilan.
3. Hukuman kurungan.
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara, hanya
perbedaanya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan ancaman
hukumannnya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa lamanya
181
Moeljatno, KUHP., hlm. 6.
kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu tahun
empat bulan.
4. Hukuman denda.
Pidana denda merupakan kewajiban membayar sejumlah uang,
sebagaimana telah ditentukan di dalam putusan Hakim yang dibebankan
kepada terpidana atas pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukannya.
Pidana denda ini diancamkan terhadap hampir semua pelanggaran
(overtredingen) yang tercantum dalam buku III KUHP dan juga terhadap
kejahatan-kejahatan dalam buku II KUHP yang dilakukan dengan tidak
sengaja. 182
Ancaman pidana denda ini oleh pembuat undang-undang hukum
pidana tidak ditentukan batas maksimum secara umum, tetapi ditentukan
hanya batas minimumnya saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30
ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen (dikalikan 15 menurut Undang-
undang No. 18/Prp/1960)183. Dalam rancangan KUHP yang baru minimum
pidana denda ini ditentukan sebesar paling sedikit lima ratus rupiah.184
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam
Pasal 30-33 KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus terhukum,
maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya.
Dilihat dari pelaksanaan pembayaran yang demikian akan mengaburkan
sifat hukumannya.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini dikenal dalam KUHP sesudah tahun 1946
berdasarkan Undang-undang N0. 20 Tahun 1946 (Berita Negara RI Tahun
II No. 24 tangga 1 dan 15 November 1946), dan merupakan tambahan
pidana pokok pada Pasal 10 KUHP.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 1946 tersebut
menyatakan bahwa: "Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang
patut dihormati, maka Hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan
(fertungshaft)." Pidana tutupan ini tidak akan dijatuhkan apabila Hakim
berpendapat perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan
perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian rupa,
sehingga terhadap perbuatan ebih tepat bila dijatuhi dengan pidana penjara
(Pasal 2 ayat (2)). Pelaksanaan pidana tutupan dan segaa sesuatunya yang
perlu untuk menjalankan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 itu diatur
oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang diundangkan pada
182
Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum
Pidana Kodifikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 95.
183
Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-346.
184
Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana.,hlm. 95.
tanggal 5 Mei 1948 yang dinamakan dengan Peraturan Pemerintah tentang
Pidana Tutupan.185
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1946 dan Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang dimaksud rumah tutupan itu bukan
suatu penjara biasa, dan suatu tempat yang lebih baik daripada penjara
biasa sesuai dengan oang yang dijatuhi pidana tutupan bukan orang atau
terdakwa biasa, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukan
kejahatan biasa melainkan pada umumnya para pelaku kejahatan politik.186
b. Hukuman Tambahan.
h. Pengguguran kandungan
1. Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman
lamanya :
lamanya :
Apabila ketentuan di atas juga dibuat sebuah daftar, maka hasilnya adalah
sebagai berikut :
No Jenis Pembunuhan Pasal Akibat Sanksi
1 Pembunuhan biasa 338 kematian - 15 tahun
2 Pembunuhan dengan 339 kematian - seumur hidup
pemberatan atau 20 tahun
3 Pembunuhan 340 kematian - hukuman mati
berencana atau seumur
hidup atau 20
tahun
4 Pembunuhan bayi 341 kematian - 7 tahun
oleh
Ibunya
5 Pembunuhan bayi 342 kematian - 9 tahun
oleh
Ibunya secara
berencana
6 Pembunuhan atas 344 kematian - 12 tahun
Permintaan sendiri
7 Penganjuran agar 345 kematian - 4 tahun
bunuh
Diri
8 Pengguguran
kandungan : 346 -Kematian bayi - 4 tahun
- oleh si Ibu 347 -Kematian bayi - 12 tahun
- oleh orang lain -Kematian ibu - 15 tahun
tanpa izin
perempuan yang
348 -Kematian bayi - 5 tahun 6
mengandung
bulan
-Kematian ibu
- oleh orang lain - 7 tahun
dengan
izin perempuan
yang
mengandung
dipidana.
BAB IV
Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif mengenai delik
penganiayaan yang masuk ke dalam sebuah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil sehingga janin yang dikandungnya
mati, maka dalam bab ini akan dianalisis mengenai hal-hal yang berkaitan, baik mengenai tindak pidana penganiayaan itu
sendiri sehingga mengakibatkan kematian janin maupun berkenaan dengan sanksi hukuman yang harus ditanggung oleh
pelaku penganiayaan tersebut dilihat dari dua sistem hukum yang berbeda yaitu hukum pidana Islam dan hukum pidana
positif. Sehingga dengan analisis ini dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum
pidana positif dalam menangani kasus tersebut.
1. Persamaan
Berdasar pada pembahasan Bab II dan Bab III, penyusun menyimpulkan bahwa antara hukum pidana Islam dan
hukum pidana positif sama-sama melarang adanya perbuatan penganiayaan serta pembunuhan dan telah mengatur
keduanya dengan memberikan ancaman hukuman tertentu. Kedua sistem hukum tersebut juga pada dasarnya sama dalam
merumuskan delik penganiayaan serta delik pembunuhan, yaitu penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit terhadap orang lain secara melawan hukum sedangkan pembunuhan dirumuskan sebagai tindakan
yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau jiwa orang lain tanpa adanya hak yang sah.
Dalam hukum pidana Islam penganiayaan terhadap ibu yang sedang hamil
sehingga janin yang ada dalam kandungannya itu mati mendapatkan satu macam
positif.
i. Suatu perbuatan
dipertanggungjawabkan189
Unsur-unsur yang ada dalam hukum pidana positif tersebut sama dengan unsur-unsur yang ada dalam hukum pidana Islam,
unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :
a. Unsur formil, yaitu adanya ketentuan atau aturan yang menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang
diancam hukuman.
b. Unsur materiil, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum baik itu perbuatan nyata-nyata berbuat atau
sikap tidak berbuat
c. Unsur moril, yaitu unsur yang terdapat pada pelaku. Pelaku jarimah haruslah mukallaf, yaitu orang yang
dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang dilakukannya.190
189
Leiden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum (Jakarta: Grafika,
1991), hlm. 4.
190
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm. 9.
Berkenaan dengan kasus yang dikemukakan di sini, yaitu tentang
dilihat bahwa dalam kasus tersebut perbuatan yang dilakukan oleh pelaku jelas
merupakan sebuah delik. Baik itu dipandang dari segi hukum pidana Islam
maupun dari segi hukum pidana positif. Dalam kasus tersebut terdapat satu
macam delik yang mengakibatkan dua peristiwa pidana, yang pertama adalah
delik penganiayaan yang ditujukan terhadap si ibu dan yang kedua adalah
unsur yang telah disebutkan di atas. Sehingga apabila ada orang yang melakukan
perbuatan itu dia dapat dikenakan pidana sesuai dengan aturan yang telah
2. Perbedaan
Kedua sistem hukum tersebut sama dalam memandang bahwa dari segi
tindak pidana perbuatan yang dilakukan dalam kasus itu merupakan delik
penganiayaan serta delik pembunuhan, akan tetapi dalam merumuskan jenis dari
berdasarkan sifat dari perbuatan tersebut. Secara garis besar penganiayaan dalam
hukum Islam terbagi atas jinayah al-atraf, asy-syijjaj, serta al-jirah, sedangkan
pembunuhan terbagi atas qatl al-‘amd, qatl syibh ‘amd serta qatl khata’.
ringannya tindakan, akibat yang ditimbulkan serta unsur-unsur lain yang ada,
Kasus yang dikemukakan dalam pembahasan kali ini dilihat dari segi
tindak pidana menurut hukum pidana Islam belum dapat dispesifikkan ke dalam
jenis mana, hal tersebut hanya dapat dilihat dari akibat yang diderita oleh si ibu,
apakah itu berupa luka-luka, terpotong anggota tubuhnya, atau luka dalam.
Sehingga sanksi yang harus diterima oleh pelaku juga tergantung dari akibat yang
diderita si korban.
pidana Islam dalam mengkatagorikan jenisnya juga harus melihat sifat dari
kesalahan saja. Setelah itu baru dapat ditentukan jenis hukuman yang harus
kandungan, yaitu pada Pasal 90 KUHP tentang pengertian “luka berat”, dalam
Dalam rumusan luka berat yang paling bawah disebutkan bahwa yang termasuk
dalam katagori luka berat adalah gugurnya atau matinya kandungan seseorang
perempuan. Hal tersebut apabila kita tarik ke dalam kasus yang penyusun
kemukakan dapat diartikan bahwa kasus tersebut merupakan kasus penganiayaan
yang mengakibatkan luka berat pada korban, dalam hal ini adalah matinya janin
yang dikandung oleh si korban. Kemudian jika kita lihat dari pembagian jenis
penganiayaan menurut KUHP terdapat beberapa jenis penganiayaan yang
mengakibatkan luka berat, yaitu penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351, 353,
354, 355 dan juga 358 KUHP.
Untuk mengetahui penganiayaan dalam kasus tersebut masuk pada jenis
yang mana perlu diketahui unsur-unsur yang menyertainya, seperti pada Pasal 353
(2) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.192
Maka harus ada unsur perencanaan terlebih dahulu dalam penganiayaan itu atau
191
Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16 (Jakarta:Bumi
Aksara, 1990), hlm. 44-45.
192
Ibid. hlm. 150-151.
193
Ibid.
Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang,
maka selain dari tanggungan masing-masing atas perbuatan khusus yang dilakukannya, ia dihukum:
salah satu jenis penganiayaan di atas, maka tindak pidana pembunuhan dianggap
tidak ada.
maka pasal yang berkenaan adalah Pasal 347 KUHP tentang pengguguran janin
1. Persamaan
dirumuskan tentang sanksi hukuman bagi setiap perbuatan yang melawan hukum.
194
Ibid. hlm. 152.
195
Ibid., hlm. 148.
Mengenai delik penganiayaan terhadap ibu hamil sehingga mengakibatkan
kematian janin yang dikandung apabila ditinjau dari kedua sistem hukum, hukum
pidana Islam dan hukum pidana positif pada dasarnya hanya ada sedikit
pidana serta tujuan dari diadakannya sanksi pidana, yaitu bahwa dengan adanya
hukuman atau sanksi pidana sama-sama bertujuan untuk menegakkan hukum dan
dengan ancaman sanksi tertentu yang telah ditetapkan. Delik tersebut ketentuan
hukumnya berdasar pada al-Qur’an juga pada as-Sunnah, ketentuan yang ada
- وىف الشفتني, وىف اللسان الدية,ويف األنف إذا أوعب جدعه الدية
وىف العينني, وىف الصلب الدية,و ىف الذكر الدية, وىف البيضتني الدية,الدية
وىف الرجل الواحدة نصف الدية,الدية 197
196
An-Nisa (4) : 92.
197
Ibn Abdus samad at-Tamimi as-Samarqandi ad-Darami, Sunan ad-Darimi, Kitab ad-
Diyah, Bab Kam ad-Diyah min al-Ibili (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). II : 192-193. Hadis Nomor 2260.
Riwayat Umar ibn Hazm dari Bapaknya dari Kakeknya.
- عشر من اإلبل لكل أصبع,دية أصابع اليدين أوالرجلني سواء 198
Sedangkan dalam KUHP ketentuan hukum mengenai delik penganiayaan ini tertuang dalam Pasal 351-358 KUHP, hal ini
tepat berada di belakang Pasal 338-350 KUHP yang menerangkan masalah pembunuhan.
(1) Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang
tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan
atau pekerjaan, dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan
hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-
banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh ditambah sepertiga
bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.200
198
At-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah ‘an
Rasulillah, Bab Ma Ja’a fi Diyat al-Asabi’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1988). IV: 8. Hadis Nomor 1311.
Riwayat Ikrimah dari ibn Abbas.
199
Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
200
Ibid.
(3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan tahun.201
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.202
Pemberian pidana atau sanksi dalam hukum pidana Islam dapat dikenakan
dan syarat-syarat dari suatu delik penganiayaan atau pula delik pembunuhan,
2. Perbedaan
201
Ibid. hlm. 150-150.
202
Ibid. hlm. 151.
203
Ibid.
204
Ibid. hlm. 152.
Ditinjau dari hukum pidana Islam, secara umum ketentuan hukuman bagi
pelaku penganiayaan yang tertuang dalam al-Qur'an maupun beberapa hadis yang
tergantung dari tingkat penganiayaan itu sendiri. Hukuman tersebut adalah berupa
qisas, diyat, ta’zir serta kifarah. Penetapan dari sanksi tersebut disesuaikan pada
bentuk dari kejahatan yang dilakukan. Sedangkan untuk delik pembunuhan sanksi
hukumannya lebih berat lagi, yaitu hukum qisas dengan cara membalas
membunuh pelaku delik pembunuhan, hukum qisas ini dilakukan oleh wali si
korban (waliy ad-dam). Akan tetapi selain sanksi qisas tersebut bagi waliy ad-
dam diperbolehkan memilih jenis sanksi hukuman bagi pelaku, yaitu antara
hukum qisas atau mengambil diyat atau bahkan memaafkan pelaku. Hal ini
berlaku pada jenis pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, dasar dari hal
من قتل له قتيل فهو خبري النظرين إما يودي و إما يقاد 205
kepada wali si korban sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’.
205
Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah,
Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), IV: 38.
Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
206
Al-Baqarah (2) : 178.
Harta tersebut bisa berasal dari harta si pelaku sendiri atau juga dari ‘aqilah.
penganiayaan itu sendiri, yaitu pada Pasal 351-358 KUHP. Dalam Pasal-pasal
tersebut termuat ancaman hukuman bagi pelaku penganiayaan sesuai dengan jenis
hukuman denda. Dalam hal delik penganiayaan ini tidak ditetapkan adanya
hukuman mati, karena hukuman mati dalam hal kejahatan hanya ada dalam delik
Dalam KUHP ancaman hukuman mati untuk delik pembunuhan hanya pada jenis
pembunuhan berencana yang tertuang dalam Pasal 340 KUHP dengan ancaman
hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh
tahun. Sedangkan dalam delik penganiayaan sendiri hukuman penjara paling lama
adalah lima belas tahun, yaitu pada jenis penganiayaan berat dan berencana yang
mengakibatkan kematian si korban, hal ini tertuang dalam Pasal 354 KUHP selain
207
Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 193. Lihat juga Sahih Bukhari, Hadis Nomor 6512.
mengatur penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan luka berat
sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak mengenal adanya hukuman penjara.
yang disebut dengan qisas (pembalasan). Di dalam qisas terdapat hak manusia
yang berkaitan dengan kepentingan pribadi seseorang dan hak tersebut lebih
yang paling berat dari susunan hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan
dengan alasan bahwa hukuman mati itu diperlukan dan ditujukan kepada
penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Sebagian pakar hukum lain
hukuman tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia dan dianggap tidak
berperikemanusiaan. Dan apabila terdapat kekeliruan Hakim dalam menjatuhkan
Dalam hukum pidana Islam qisas juga bisa berupa balasan terhadap tindak
penganiayaan, yaitu dengan cara membalas serupa apa yang dilakukan oleh
pelaku baik itu yang menyebabkan cacat, seperti terpotong tangan atau hanya
pidana Islam secara jelas tidak disebutkan, namun sebagaimana pendapat sebagian
besar ulama hukuman penjara adalah sebagai wujud dari hukuman pengasingan.
Dalam KUHP, pidana penjara merupakan salah satu pidana pokok yang
bahwa seseorang tidak dapat bertindak dengan bebas selama dalam penjara, ia
harus mematuhi segala perturan yang ada dalam penjara tersebut. Lamanya
berada dalam penjara tergantung pada jenis hukuman dari perbuatan melanggar
pilihan kedua setelah qisas dalam hal pembunuhan, apabila pihak wali korban
tidak menghendaki qisas, maka akan beralih kepada hukuman diyat, begitu juga
secara otomatis akan beralih pada hukuman diyat. Besar dari diyat telah
ditetapkan oleh syara’ melalui beberapa hadis yang mengatur tentang jarimah
Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit
emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan
unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi
pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik
domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak dan 200
Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai jenis tindakan
yang menyebabkan matinya janin. Jadi, bisa dikatakan bahwa setiap perbuatan
yang tidak dikehendaki oleh sang ibu dan sengaja ditujukan untuk menggugurkan
janin yang ada dalam kandungan, baik itu berupa penganiayaan atau yang lain
dapat dikenai Pasal 347 KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya
dua belas tahun, dan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan si ibu dari janin
tersebut ikut mati, maka pelaku diancam dengan hukuman penjara selama-
diterapkan dalam pasal-pasal penganiayaan, maka dalam Pasal 351 KUHP ayat
(2) tentang penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat yang menyatakan:
“Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman
210
Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
211
Ibid., hlm. 150.
Pasal yang lain dari penganiayaan yang mengakibatkan luka berat adalah
Pasal 353 KUHP tentang penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu, bunyi
Dalam Pasal 353 ayat (2) tersebut disebutkan apabila penganiayaan berencana itu
dibahas, apabila dalam kasus tersebut terbukti ada unsur perencanaan terlebih
Pasal 354 KUHP juga menjelaskan penganiayaan yang juga berakibat luka
berat dan jenis dari penganiayaan tersebut juga merupakan penganiayaan berat,
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.213
Pembagian dari jenis ini dikatagorikan berdasar akibat yang ditimbulkannya yaitu
luka berat dan kematian, jadi apabila kasus yang dikemukakan dikatagorikan ke
dalam jenis ini maka ancaman hukumannya adalah selama-lamanya delapan tahun
212
Ibid., hlm.150-151.
213
Ibid., hlm. 151.
Dan yang terakhir adalah Pasal 355 KUHP yaitu tentang penganiayaan
berat dan berencana. Pasal ini merupakan gabungan dari dua pasal sebelumnya.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.214
Dalam pasal di atas khususnya pada ayat (1) dijelaskan bahwa penganiayaan berat
dari akibat yang ditimbulkan yaitu luka berat serta kematian, jadi kasus yang
Sedangkan dari segi hukum pidana Islam, dijelaskan bahwa apabila ada
janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau
kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka dalam hal tersebut diwajibkan
hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan
atau mati di dalam kandungan serta baik janin itu laki-laki atau perempuan.
Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham
seperti yang dikatakan Sya’bani dan Ahnafi, atau sebanyak seratus kambing
seperti dalam hadisnya Abu dawud dan Nasa’i dari Abu Buraidah. Dan juga
214
Ibid.
ف رمت إح دامها األخ رى حبجر فقتلتها وما, اقتتلت امرأت ان من ه ذيل
فقضى أن دية, فاختص موا إىل رس ول اهلل ص لى اهلل عليه الس الم,ىف بطنه ا
وقضى بدية املرأة على عاقلتها,جنينها غرة عبد او وليدة 215
قيمته, عبد أو أمة, ىف اجلنني غرة: أن النىب صلى اهلل عليه السالم قال
مخسمائة 217
Apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka
sanksinya adalah membayar diyat utuh, apabila janin itu laki-laki maka jumlah
diyatnya adalah seratus ekor unta. Apabila janin itu perempuan, diyatnya
sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati atau hidup bisa diketahui
dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya.
Imam Syafi’i mensyaratkan dalam hal janin yang mati di dalam
hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, beliau menjelaskan dengan pertanda
adanya gambaran bentuk manusia yaitu adanya tangan dan jari-jari. Dan apabila
hal itu tidak ada, maka menurut beliau tidak ada tanggungan apa-apa baik itu
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penyusun uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka
Qisas, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas. Lebih khususnya lagi adalah penganiayaan merupakan
jinayah terhadap selain jiwa yaitu perbuatan yang mengakibatkan orang lain merasa sakit tubuhnya tanpa hilangnya
nyawa, sedangkan pembunuhan merupakan jinayah terhadap jiwa yaitu tindakan yang mengakibatkan hilangnya
nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa manusia. Ancaman hukuman yang diterapkan terhadap pelaku kedua delik
219
As-Sayyid Sabiq, al-Fiqh., III : 64.
220
Ibid., III : 373.
Dalam hukum pidana positif, penganiayaan secara umum adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau
luka pada orang lain. sedangkan pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain. Sanksi hukuman pokok yang dikenakan ada
beberapa macam, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, serta hukuman
denda, dengan hukuman tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan Hakim.
2. Hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dalam menangani kasus
penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin terdapat
beberapa persaman dan perbedaan. Persamaannya dari segi tindak pidana,
bahwa perbuatan yang ada dalam kasus tersebut merupakan sebuah delik,
karena telah memenuhi unsur-unsur yang merupakan syarat suatu perbuatan
dapat dikatakan sebuah delik. Dari segi pidana, bahwa kedua sistem sama-
sama memberikan ancaman pidana untuk orang yang melakukan
penganiayaan serta pembunuhan dan sama juga dalam merumuskan tujuan
pemberian pidana yaitu untuk menegakkan hukum dan memberikan
perlindungan serta pengayoman kepada masyarakat serta individu.
Perbedaannya adalah, dalam segi pengkatagorian, dalam hukum pidana Islam
perbuatan tersebut merupakan tindak penganiayaan sengaja, sedangkan dalam
hukum pidana positif perbuatan tersebut bisa dikatagorikan ke dalam jenis
pengguguran bayi dalam kandungan tanpa persetujuan si ibu atau juga ke
dalam penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, dengan rumusan luka
berat seperti yang ada dalam Pasal 90 KUHP. Dari segi jenis pidana, dalam
hukum pidana Islam ada beberapa macam, yaitu qisas, diyat, ta’zir,
penghalangan pelaku dari mendapat wasiat dan warisan, serta adanya kifarah.
Sedang dalam hukum pidana positif sanksi terhadap pelaku penganiayaan ada
dua macam, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu juga dapat
disertai pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertantu dan pengumuman putusan Hakim.
D. Saran-saran
Raoef, Abdoel, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
B. Hadis
Bukhari, Abu ‘abdillah Muhammad ibn Isma’il al-, Shahih Bukhari, 4 jilid, Beirut:
Dar al-Fikr, 1981.
Darami, Abdullah ibn ‘Abdirrahman ibn al-Fadil ibn al-Bahram ibn ‘Abdus Samad at-
Tamimi as-Samarqandi ad-, Sunan ad-Darimi, 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Qazwani, al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-, Sunan ibn Majah,
Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1952.
Sijistani, Abu Sulaiman ibn al-Asy Abi Dawud as-, Sunan Abi Dawud, 4 jilid,
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Suyuti, Jalaluddin as-, Sunan an-Nasa’i, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1930.
Turmuzi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-, al-Jami’ as-Sahih wa huwa
Sunan at-Turmuzi, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
C. Fiqh dan Usul Fiqh
Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, 2 jilid, Beirut: Dar al-Urubah,
1963.
Baga, Mustafa Raib al-, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Surabaya:
Bungkul Indah, 1978.
Bakri, Asfri Jaya, Konsep Maqoshid Asy-Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Hanafi A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Jazairi, Abu Bakar Jabir al-, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 Beirut: Dar al-Fikr,
1995.
Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, 8 juz, Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.
Sabiq, Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fath li al-Ilm
al-Arabi, 1990.
Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-
Fikr, 1989.
Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana : Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
Bandung: Armico, 1985.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta:
Pradya Paramita, 1989.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.
Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, cet. ke-1 Bandung: Bina Cipta, 1986.
Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan
Prevensinya, Ed. 1.cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Ngani, Nico dan A. Qiram Syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.
Sakidjo, Aruan dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum,
Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta: UI-Press, 1986.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Wahyono, Padmo, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila : Pidato
Ilmiah Pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Jakarta:
CV. Rajawali, 1983.
E. Kamus
P dan K, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
F. Lain-Lain
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, cet. ke-7,
Bandung: Tnp, 1994.
DAFTAR PUSTAKA
Raoef, Abdoel, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
B. Hadis
Bukhari, Abu ‘abdillah Muhammad ibn Isma’il al-, Shahih Bukhari, 4 jilid, Beirut:
Dar al-Fikr, 1981.
Darami, Abdullah ibn ‘Abdirrahman ibn al-Fadil ibn al-Bahram ibn ‘Abdus Samad at-
Tamimi as-Samarqandi ad-, Sunan ad-Darimi, 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Qazwani, al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-, Sunan ibn Majah,
Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1952.
Sijistani, Abu Sulaiman ibn al-Asy Abi Dawud as-, Sunan Abi Dawud, 4 jilid,
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Suyuti, Jalaluddin as-, Sunan an-Nasa’i, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1930.
Turmuzi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-, al-Jami’ as-Sahih wa huwa
Sunan at-Turmuzi, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, 2 jilid, Beirut: Dar al-Urubah,
1963.
Baga, Mustafa Raib al-, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Surabaya:
Bungkul Indah, 1978.
Bakri, Asfri Jaya, Konsep Maqoshid Asy-Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Hanafi A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Jazairi, Abu Bakar Jabir al-, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 Beirut: Dar al-Fikr,
1995.
Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, 8 juz, Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.
Sabiq, Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fath li al-Ilm
al-Arabi, 1990.
Sayis, Ali Muhammad al-, Sejarah Fikh Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.
Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-
Fikr, 1989.
Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana : Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
Bandung: Armico, 1985.
Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta:
Pradya Paramita, 1989.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.
Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, cet. ke-1 Bandung: Bina Cipta, 1986.
Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan
Prevensinya, Ed. 1.cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Jakarta: Bumi
Aksara, 1990.
Ngani, Nico dan A. Qiram Syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.
Sakidjo, Aruan dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum,
Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta: UI-Press, 1986.
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.
Wahyono, Padmo, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila : Pidato
Ilmiah Pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Jakarta:
CV. Rajawali, 1983.
E. Kamus
P dan K, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
F. Lain-Lain
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, cet. ke-7,
Bandung: Tnp, 1994.
Lampiran I
TERJEMAHAN
TERJEMAHAN BAB II
2 32 23 Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si
terbunuh) bersedekah
3 32 24 Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan
sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
meyediakan azab yang besar baginya
4 32 25 Darah seseorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah dan aku adalah Rasul-Nya tidaklah
halal, kecuali disebabkan oleh tiga hal, yaitu orang yang telah
kawin kemudian berzina, membunuh orang (secara sengaja dan
tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syara’) dan orang
yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari
jamahnya (Murtad).
5 36 33 Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu
6 36 34 Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa
7 36 35 Sejumlah harta yang wajib dibayarkan karena adanya suatu
kejahatan, diserahkan kepada korban kejahatan atau wali dari si
korban
8 37 37 Dan dalam hal memotong hidung dikenakan diyat (penuh),
dalam hal memotong lidah dikenakan diyat, dalam hal
memotong dua buah bibir dikenakan diyat, dalam hal
memotong dua buah pelir dikenakan diyat, dalam hal
memotong zakar dikenakan diyat, dalam mematahkan tulang
belakang dikenakan diyat, dalam hal meluaki dua buah mata
dikenakan diyat, dan dalam hal mematahkan sebelah kaki
dikenakan setengahnya diyat.
9 38 39 Diyatnya memotong jari-jari baik jari-jari kedua tangan atau
jari-jari kedua kaki adalah sepuluh ekor unta untuk tiap-tiap jari
10 38 40 Dan dalam hal merontokkan gigi diyatnya adalah lima ekor
unta
11 38 42 Dalam hal pelukaan terhadap kepala atau wajah yang
menampakkan tulang (mudihah),diyatnya adalah lima ekor
unta
12 38 43 Sesungguhnya Nabi SAW mewajibkan dalam hal pelukaan
terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan pecah atau
patahnya tulang (hasyimah), yaitu sebanyak sepuluh ekor unta
13 39 44 Dan dalam pelukaan terhadap kepala atau wajah yang
menyebabkan berpindah atau bergesernya tulang dari tempat
asalnya (munqilah), diyatnya lima belas ekor unta
14 39 45 Dan dalam pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada
kulit otak (ma'mumah) diyatnya adalah sepertiga diyat
15 39 46 Dalam hal pelukaan yang sampai pada rongga perut (ja’ifah)
diyatnya adalah sepertiga diyat
16 40 51 Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa
17 41 54 Barangsiapa membunuh secara sengaja, maka balasannya
adalah qisas.
18 42 56 Tidak dikenakan qisas orang tua yang membunuh anaknya
19 42 57 Engkau dan hartamu, juga merupakan milik ayahmu
20 43 60 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula)
21 43 61 Barangsiapa membunuh secara sengaja, maka balasannya
adalah qisas.
22 44 62 Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah
satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah
menuntut balasan.
23 44 63 Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik,.
24 45 66 Diyat adalah harta yang wajib dibayarkan karena adanya
kejahatan terhadap jiwa atau yang searti dengannya.
25 45 67 Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si
terbunuh) bersedekah
26 46 68 Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah
satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah
menuntut balasan.
27 46 70 Bahwasanya Umar dalam khutbahnya, berkata : ingatlah
sesungguhnya unta itu telah mahal, maka kemudian ia
memperkirakannya seribu dinar untuk pemilik emas, dua belas
ribu dirham untuk pemilik perak, dua ratus ekor sapi bagi
pemilik sapi, dua ribu ekor domba bagi pemilik domba, dan
dua ratus stel pakaian untuk pemilik pakaian.
28 47 72 Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa
membunuh seorang mu'min secara sengaja, hukumnya
dikembalikan kepada para wali si terbunuh, apabila mereka
menghendaki membunuh maka mereka membunuhnya, dan
apabila mereka menghendaki mengambil diyat, maka diyatnya
adalah tiga puluh unta hiqqah, tiga puluh unta jaz'ah, empat
puluh unta khalifah, dan sesuatu yang pantas bagi mereka, yang
demikian itu untuk memberatkan hukuman
29 48 73 Sesungguhnya Nabi bersabda: dalam pembunuhan tersalah
diyatnya dua puluh unta jaz'ah, dua puluh unta hiqqah, dua
puluh unta binta labun, dua puluh unta ibn labun, dan dua
puluh unta binta makhad
30 49 76 Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya
31 49 78 ... maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yng beriman. Barangsiapa yang
tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut...
32 50 79 Dan bagi seorang pembunuh tidak mewarisi apa-apa.
33 50 80 Barangsiapa tergesa-gesa mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, dibalas dengan terhalang mendapatkannya.
34 50 81 Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian
salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain,
maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam
perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke
hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa
diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik
laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
35 50 83 Sesungguhnya Nabi S.A.W. bersabda: dalam membunuh janin
diyatnya adalah gurrah , baik laki-laki atau amat (wanita), yang
harganya adalah lima ratus dirham
TERJEMAHAN BAB IV
36 95 8 Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si
terbunuh) bersedekah
37 95 9 Dan dalam hal memotong hidung dikenakan diyat (penuh),
dalam hal memotong lidah dikenakan diyat, dalam hal
memotong dua buah bibir dikenakan diyat, dalam hal
memotong dua buah pelir dikenakan diyat, dalam hal
memotong zakar dikenakan diyat, dalam mematahkan tulang
belakang dikenakan diyat, dalam hal meluaki dua buah mata
dikenakan diyat, dan dalam hal mematahkan sebelah kaki
dikenakan setengahnya diyat.
38 95 10 Diyatnya memotong jari-jari baik jari-jari kedua tangan atau
jari-jari kedua kaki adalah sepuluh ekor unta untuk tiap-tiap jari
39 98 17 Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah
satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah
menuntut balasan.
40 98 18 Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik,.
41 99 19 Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian
salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain,
maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam
perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke
hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa
diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik
laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
42 106 27 Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian
salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain,
maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam
perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke
hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa
diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik
laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
43 106 29 Sesungguhnya Nabi S.A.W. bersabda: dalam membunuh janin
diyatnya adalah gurrah , baik laki-laki atau amat (wanita), yang
harganya adalah lima ratus dirham
Lampiran II
Imam at-Turmuzi
Nama lengkap beliau adalah Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Swarat ibn Musa ad-
Dahhak al-Silmi ad-Darir al-Bughi at-Turmuzi. Beliau lahir pada tahun 200 H/
815 M dan wafat pada tahun 892 M. beliau merupakan ulama hadis yang terkenal,
karya-karyanya antara lain, al-Jami’ al-Mukhtasaru min al-Sunnani ar-Rasulillah
dikenal dengan al-Jami’ as-Sahih, dan Jami’ at-Turmuzi yang dikenal dengan
Sunan at-Turmuzi, dan lain sebaginya.
As-Sayyid Sabiq
Beliau adalah ulama terkenal di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, teman sejawat
dengan Hasan al-Banna pemimpin gerakan Ikhwan al-Muslimin, beliau termasuk
salah seorang yang menganjurkan ijtihad, dan menganjurkan kembali kepada al-
Qur’an dan as-Sunnah, karya beliau yang terkenal adalah Fiqh as-Sunnah,
Qa’idah al-Fiqhiyyah, dan Aqidah Islam.
Ibn Rusyd
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Muhammad. Beliau lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan wafat di Maroko
pada tahun 1198 M. Beliau adalah seorang dokter, ahli hukum dan tokoh filsafat
yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam. Hasil karyanya
antara lain Kitab al-Kulliyat, Bidayah al-Mujtahid, Kitab Fash al-Maqal fi ma
Baina asy-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal.
Ibn Hazm
Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm az-Zahiri
ibn Galib ibn Saleh ibn Khalaf ibn Madam ibn Yazid, gelarnya adalah
Muhammad. Beliau adalah ulama terkenal di Andalusia dan pembela mazhab
Zahiri, lahir di Cordova tahun 344 H. Pada mulanya beliiau adalah penganut
mazhab Syafi’iyah dan kemudian tertarik dengan mazhab Zahiri setelah beliau
mendalaminya lewat buku-buku dan dari para yang ada di daerahnya. Di samping
sebagai pengajar, beliau juga terkenal dengan karya-karyanya yang mencapai 400
buah, salat satunya adalah al-Muhalla.
Ibn Quddamah
Nama lengkap beliau adalah Wuwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah ibn
Ahmad ibn Quddamah. Lahir di Jerusalem pada tahun 541 H/ 1147 M. Wafat di
Damaskus pada tahun 620 H/ 1223 M. Beliau merupakan seorang ulama besar
dan penulis kitab-kitab fiqh standar mazhab Hambali. Beliau hidup pada masa
perang salib berlangsung, khususnya di daerah Syam. Hasil karyanya antara lain
adalah, al-Mugni, al-Kafi, al-Umdah fi al-Fiqh, dan lain-lain.
P.A.F. Lamintang
Beliau adalah dosen Koordinator dalam mata kuliah Hukum Pidana I dan II serta
sebagi pengajar mata kuliah hukum Penitensier, Penologi dan Pemasyarakatan
pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Beliau dengan
Djisman Samosir telah menulis buku Hukum Pidana dan Delik-delik Khusus
Terhadap Hak-hak Milik, dan lainnya.