Anda di halaman 1dari 117

DELIK PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL

YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN JANIN


MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
DAN HUKUM PIDANA POSITIF

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM

OLEH :
ZAENAL MUSTOFA
NIM : 99363513

DI BAWAH BIMBINGAN :
1. DR.H. ABD. SALAM ARIEF, MA.
2. AHMAD BAHIEJ, SH.M.Hum.

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
ABSTRAK

Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat


dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur
(relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen
recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan
kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
aturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa
hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang
ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya.
Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-
asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum
dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
Meskipun peraturan-peraturan telah dikeluarkan, masih ada saja yang
melanggar, misalnya dalam hal penganiayaan yang bertentangan dengan KUHP
Pasal 351-358 serta dalam tindak pembunuhan yang bertentangan dengan KUHP
Pasal 338-350. Terhadap para pelaku tentu saja dikenakan hukuman yang sesuai
dengan perbuatannya.
Di Indonesia sendiri terdapat berbagai macam sistem hukum, baik itu
diberlakukan secara resmi atau sebatas norma kemasyarakatan. Di antara sistem-
sistem hukum tersebut adalah hukum positif serta hukum Islam. Kedua sistem
hukum ini memuat berbagai macam peraturan dengan tujuan mewujudkan
keamanan, ketertiban, serta kemaslahatan umum.
Seiring dengan perkembangan zaman yang membawa dampak di berbagai
bidang, banyak sekali terjadi kasus pelanggaran hukum yang berlaku. Setiap hari
terdengar penganiayaan maupun pembunuhan, baik melalui media elektronik
ataupun media cetak. Lebih parah lagi, perempuan yang selama ini dianggap
lemah selalu saja menjadi sasaran (obyek) kejahatan.
Sebenarnya sejauh manakah hukum Islam maupun hukum positif
mengatur hal ini, terutama mengenai delik penganiayaan serta pembunuhan?
Kemudian jika melihat banyaknya kasus pembunuhan janin yang sangat
memprihatinkan akhir-akhir ini, maka perlu adanya peraturan yang jelas dan tegas
untuk mengatasinya.
Dengan melihat ketentuan yang ada dalam hukum pidana Islam maupun
hukum pidana positif, dapat diketahui sejauh mana kedua sistem tersebut
mengatur tentang penganiayaan maupun pembunuhan secara umum untuk dapat
digunakan memecahkan sebuah kasus yang khusus. Dalam hal ini adalah kasus
penganiayaan terhadp ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin.
Sesuai dengan peraturan yang ada, hukum pidana Islam mengatur
penganiayaan serta pembunuhan sebagai jara’im al-qisas, kedua jenis jarimah
tersebut memiliki pembagian tersendiri, yang didasarkan pada al-Qur'an ataupun
as-Sunnah. Setiap pembagian tersebut memiliki sanksi pidana tertentu pula.
Dalam hukum pidana Islam sanksi hukuman yang dikenakan untuk tindak
penganiayaan dan pembunuhan adalah qisas, diyat, ta’zir serta kifarah.
Sedangkan mengenai pembunuhan janin dalam perut ibunya hukum
pidana Islam menentukannya sebagai sebuah pembunuhan yang bersanksikan
gurrah, yaitu semacam hukuman diyat yang besarnya adalah lima ratus dirham
yang dibayarkan kepada si ibu atau keluarga mereka.
Hukum pidana positif juga membagi penganiayaan dan pembunuhan
menjadi beberapa bagian sesuai dengan berat ringannya perbuatan serta akibat
yang ditimbulkan. Pembagian tersebut berdampak pula dalam pemberian
pidananya. Hukuman yang berlaku untuk tindak penganiayaan adalah hukuman
penjara. Begitu pula dalam pembunuhan, kecuali pada pembunuhan berencana,
yaitu diancam dengan hukuman mati.
Sedang membunuh janin dalam kandungan menurut KUHP bisa
dikatagorikan sebagai penganiyaan yang mengakibatkan luka berat dengtan
pengertian luka berat sesuai dengan Pasal 90 KUHP, atau juga dikatagorikan
sebagai pengguguran kandungan yang dilakukan oleh orang lain tanpa persetujuan
si ibu seperti diatur dalam Pasal 347 KUHP. Masing-masing katagori tersebut
tentunya memiliki ancaman pidana yang berbeda.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia berjalan di kehidupan dunia ini, sejak awal penciptaan dalam

dirinya terdapat kepribadian yang beragam dan dikendalikan oleh kecenderungan

naluri yang berbeda pula. Fitrah telah menentukan bahwa individu tidak akan

berkembang dengan sendirinya. Ia adalah makhluk sosial yang membutuhkan

pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, dalam menyempurnakan

sebab-sebab hidupnya yang tidak dapat dilakukan oleh tangan dan

pengetahuannya, serta bahan yang tidak dapat dibawa oleh kekuatannya. Dengan

ini, kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok, dalam setiap individu dari

kelompok itu saling membutuhkan dalam membangun masyarakat, dan saling


mengatur semua kesulitan agar menjadi kehidupan yang damai.1 Manusia adalah

makhluk bermasyarakat, yang oleh Aristoteles disebut dengan zoon politicon.

Setiap manusia mempunyai cita-cita, keinginan, kebutuhan, alam pikiran

serta usaha-usaha. Manusia mempunyai seuntai rangkaian kepentingan kebutuhan

hidup. Kepentingan-kepentingan seseorang dapat berkaitan sangat erat dengan

kepentingan orang lainnya. Adakalanya kepentingan itu bersifat saling

menjatuhkan, tetapi dapat pula sama antara manusia pemikul berbagai

kepentingan itu. Setiap anggota masyarakat mempertahankan kepentingan-

kepentingan sendiri, sehingga dapatlah timbul pertentangan sesama mereka. Hal

yang demikian sangat membahayakan ketertiban, keamanan dan keselamatan

masyarakat itu sendiri. Jika tidak diatur, niscaya akan terjadi “homo homini

lupus”.2

Meskipun setiap individu dalam sebuah masyarakat tertentu memiliki

kepentingan yang berbeda-beda, akan tetapi mereka tetap tidak menginginkan

terjadinya bentrokan (chaos) antara sesama anggota masyarakat, mereka tentu

menginginkan sebuah kedamaian yang memungkinkan keinginan-keinginan

mereka itu terwujud. Dalam hal hidup bermasyarakat, berpuncak pada suatu

organisasi negara yang merdeka, maka tertib bermasyarakat dipedomani oleh

dasar negara tersebut. Apabila hal ini kita tinjau dari segi hukum, maka tertib

1
Muhammad Ali as-Sayis, Sejarah Fikih Islam , alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 8.
2
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1 (Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985), hlm. 25.
bermasyarakat yang berupa tertib hukum, haruslah didasarkan pada Undang-

Undang Dasar negara tersebut.3

Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat

dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur

(relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen

recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan

kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam

peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Sanksi yang berupa

hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang

ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya.

Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-

asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum

dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat.4

Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-ius

ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan

hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam

seluruh lapisan masyarakat.5

Di negara Indonesia, hukum terbagi atas beberapa bagian. Menurut isinya,

hukum terdiri dari hukum privat dan hukum publik. Inisiatif pelaksanaan hukum

privat diserahkan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan. Kedudukan

3
Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila: Pidato
Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33 (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm.
1.
4
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 48.
5
Ibid., hlm. 49.
antara individu adalah horizontal. Sedangkan inisiatif pelaksanaan hukum publik

diserahkan kepada negara atau pemerintah yang diwakilkan kepada jaksa beserta

perangkatnya.6

Kemudian ditinjau dari fungsinya, hukum dibagi atas hukum perdata,

hukum dagang dan hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang

berbeda-beda, sebagai contoh, hukum pidana berfungsi untuk menjaga agar

ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam hukum perdata, dagang, adat dan

tata negara ditaati sepenuhnya.

Delik penganiayaan merupakan salah satu bidang garapan dari hukum

pidana. Penganiayaan oleh KUHP secara umum diartikan sebagai tindak pidana

terhadap tubuh.7 Semua tindak pidana yang diatur dalam KUHP ditentukan pula

ancaman pidanya. Demikian juga pada delik penganiayaan serta delik

pembunuhan. Kedua delik ini ancaman pidananya mengacu pada KUHP buku I

bab II tentang pidana, terutama pada pasal 10. Di dalam pasal tersebut disebutkan

bahwa pidana terdiri dari dua macam, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan,

untuk delik penganiayaan serta pembunuhan lebih mengarah kepada pidana pokok

yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda.8

Sementara itu, dalam hukum Islam juga terdapat bermacam-macam

hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Aturan

hukum dalam Islam antara lain dibedakan sebagai al-Ahwal asy-Syakhsiyyah atau

6
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 26.
7
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan
Prevensinya, Ed. 1. cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 50.
8
Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16 (Jakarta:Bumi
Aksara, 1990), hlm.6.
hukum keluarga, al-Ahwal al-Madaniyyah atau hukum privat, al-Ahwal al-

Jinayah atau hukum pidana dan sebagainya.

Hukum Pidana Islam (jinayah) didasarkan pada perlindungan HAM

(Human Right) yang bersifat primer (Daruriyyah) yang meliputi perlindungan

atas agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Perlindungan terhadap lima hak

tersebut oleh asy-Syatibi dinamakan maqasid asy-syari’ah. Hakikat dari

pemberlakuan syari’at (hukum) oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan

kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur

pokok tersebut dapat diwujudkan dan dipelihara.9

Islam, seperti halnya sitem lain melindungi hak-hak untuk hidup, merdeka,

dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri dan pembunuhan serta

penganiayaan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan

yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, barang

siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka ia diibaratkan

memelihara manusia seluruhnya.10

Hukum pidana Islam memberikan dasar hukum pada pihak terpidana

mengacu pada al-qur’an yang menetapkan bahwa balasan untuk suatu perbuatan

jahat harus sebanding dengan perbuatan itu.11

Mengenai masalah pembunuhan ataupun penganiayaan dalam pidana

Islam diancam dengan hukuman qisas. Akan tetapi tidak semua pembunuhan

9
Asfri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1 (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 71-72.
10
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana
dan Agenda, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 71-72.
11
Abdoel Raoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, t.t), hlm. 132.
dikenakan hukum qisas, ada juga yang sebatas dikenakan diat (denda), yaitu

pembunuhan atas dasar ketidak sengajaan, dalam hal ini tidak dikenakan qisas,

melainkan hanya wajib membayar denda yang enteng. Denda ini diwajibkan atas

keluarga yang membunuh, bukan atas yang membunuh. Mereka membayarnya

dengan diangsur dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun keluarga itu wajib

membayar sepertiganya.12

Ketentuan-ketentuan hukum yang ada, baik pada hukum pidana Islam

maupun pidana positif yang telah disebutkan di atas menjadi menarik untuk

dibahas ketika keduanya dihadapkan pada suatu kasus yang menuntut adanya

penyelesaian, dalam hal ini adalah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang

menyebabkan matinya janin.

Ada bebarapa hal yang menjadikan kenapa penyusun tertarik untuk

membahas kasus tersebut, yang pertama adalah bahwa belum adanya penelitian

yang membahas kasus tersebut dari segi hukum pidana Islam dan hukum pidana

positif, pada umumnya yang dibahas oleh orang masih bersifat umum pada delik

penganiayan atau pembunuhan saja. Yang kedua adalah selama ini sering terjadi

tindak-tindak kekerasan terhadap perempuan yang menimbulkan berbagai akibat,

salah satunya adalah kasus penganiayaan seperti yang yang dikemukakan dalam

penelitian ini. Latar belakang terjadinya hal tersebut biasanya juga dikarenakan

adanya kelakuan yang tidak wajar sehingga akan menimbulkan aib apabila

diketahui oleh masyarakat, seperti adanya kehamilan diluar pernikahan atau akibat

perkosaan. Sedangkan berkenaan dengan kasus-kasus tersebut belum ada

ketegasan mengenai sanksi-sanksi hukumnya.


12
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke-18 (Jakarta: Attahiriyah, 1981), hlm. 406.
B. Pokok Masalah
Dari latar belakang yang telah penyusun uraikan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang menjadi perhatian dalam

penyusunan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana positif

tentang delik penganiayaan serta pembunuhan ?

2. Bagaimana ketentuan kedua sistem hukum tersebut dalam menangani

matinya janin yang ada dalam kandungan akibat penganiayaan ?

C. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dan kegunaan

dari penyusunan skripsi ini adalah:

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui ketetapan-ketetapan dari hukum pidana Islam dan

hukum pidana positif tentang delik penganiayaan dan delik pembunuhan.

b. Untuk menjelaskan ketentuan dari kedua hukum tersebut bagi pelaku

penganiayaan yang mengakibatkan kematian janin di dalam kandungan.

2. Kegunaan

Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan

kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya

dalam bidang hukum dengan mencoba membandingkan antara hukum

pidana Islam dengan hukum pidana positif mengenai delik penganiayaan

serta delik pembunuhan.


D. Telaah Pustaka

Karya-karya pemikiran yang membahas masalah hukum, baik itu hukum

Islam maupun hukum positif sangat banyak macam dan coraknya. Disamping itu

banyak pula sudut pandang serta metode yang digunakan masing-masing penulis,

tetapi karya pemikiran yang menggunakan tehnik perbandingan antara kedua

sistem hukum tersebut masih belum begitu banyak.

Sepanjang pelacakan dan penelaahan yang penyusun lakukan, baik di

kalangan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta maupun sacara

umum, belum ada karya penelitian yang membahas pada permasalahan delik

penganiayaan yang berhubungan dengan pembunuhan dengan cara

membandingkan antara hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif, lebih-

lebih masuk pada pembahasan tentang sebuah kasus penganiayaan terhadap ibu

hamil yang mengakibatkan matinya janin.

Namun sebenarnya telah ada buku-buku yang membahas delik

panganiayaan, baik itu dari segi hukum Islam maupun hukum positif, akan tetapi

pembahasannya masih bersifat parsial. Diantara buku-buku yang membahas

masalah itu, yang sekaligus dijadikan sebagai sumber data dari penelitian ini

adalah buku yang ditulis oleh Topo Santoso, dengan judul Membumikan Hukum

Pidana Islam, membahas berbagai permasalahan dalam hukum pidana Islam,

mulai dari paradigma negatif terhadap hukum Islam dengan menggambarkan


hukum pidana Islam secara utuh. Juga dibahas masalah jarimah pembunuhan

serta jarimah penganiayaan13.

Selain itu, kitab dengan judul at-Tazhib Fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-

taqrib yang ditulis oleh Mustofa Raib al-Bagha juga menjelaskan masalah-

masalah fiqh Islam. Di dalamnya terdapat penjelasan masalah jinayah yang

memuat hukum qisas terhadap tindak pembunuhan maupun tindakan yang

mengakibatkan cacat ataupun luka terhadap orang lain14.

Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Abdul

Qadir ‘Audah dengan kitab at-Tayri’i al-Jina’i al-Islami, as-Sayyid Sabiq dengan

kitab Fiqh as-Sunnah juga membahas tentang berbagai macam persoalan fiqh

Islam beserta dalil-dalilnya.

Sedangkan dari segi hukum pidana positif, terdapat Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan rujukan pokok dalam penentuan

hukum di Indonesia. Dalam KUHP tersebut, dijabarkan mengenai delik

penganiayaan, yaitu pada Buku II Bab XX Pasal 351-358. Sedangkan mengenai

delik pembunuhan ada pada Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa, yaitu

Pasal 338-350.

Dalam KUHP, juga diterangkan bahwa setiap tindak pidana digolongkan

menjadi dua macam, yaitu :

1. Dolus, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja.

13
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam., hlm. 37-38.
14
Mustafa Raib al-Bagha, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa al-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 191-202.
2. Culpa, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak

sengaja, biasanya dikarenakan kealpaan atau kelalaian.15

Tindak pidana penganiayaan secara sengaja dibahas pada Pasal 351-358,

sedangkan penganiayaan dikarenakan kealpaan (culpa) dijelaskan pada Pasal 360.

Buku lain yang berjudul Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh,

karya Leden Marpaung, menjelaskan tentang pembunuhan, yaitu tindak pidana

terhadap nyawa16 dan juga tentang penganiayaan, yaitu tindak pidana terhadap

tubuh17. Di dalam buku itu juga dijelaskan macam dari pembunuhan ataupun dari

penganiayaan berdasar pembagian yang ada dalam KUHP.

Kemudian di Fakultas Syari’ah sendiri telah ada karya ilmiah yang berupa

skripsi yang bertemakan perbandingan, dari penelusuran penyusun terdapat

skripsi saudara Muh. Ihram (angkatan ’91) yang berjudul Perbandingan Hukum

Pidana Islam dan KUHP Terhadap Delik Pembunuhan, skripsi tersebut

membahas masalah ruang lingkup pembunuhan dilihat dari pengertian dasar,

klasifikasi dan sanksinya menurut ketentuan hukum pidana Islam dan hukum

pidana positif.

Kemudian yang membahas pembunuhan terhadap janin terdapat skripsi

saudara Muhdiono (angkatan ’95) dengan judul Aborsi Menurut Hukum Islam

(Perbandingan Mazhab Syafi’i dan Hanafi). Kajian dari skripsi ini lebih menitik

beratkan pada aborsi yang bersifat abortus provokatus criminalis menurut

15
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 9.
16
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh., hlm. 19-49.
17
Ibid., hlm. 50-63.
pandangan kedua mazhab tersebut. Sedangkan penelitian kali ini memfokuskan

pada pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif terhadap delik

penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin dari segi

tindak pidana dan pidana (sanksi).

E. Kerangka Teoretik

Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana

tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang

ada dalam masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh Pemerintah.

Meskipun peraturan-peraturan telah dikeluarkan, masih ada saja yang melanggar

peraturan-peraturan, misalnya dalam hal penganiayaan, yaitu tindak pidana

terhadap tubuh dan yang bertentangan dengan hukum (KUHP Pasal 351-358).

Terhadap orang ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai dengan

perbuatannya yang bertentangan dengan hukum itu. Segala peraturan-peraturan

tentang pelanggaran (overtredinger), kejahatan (misdrijven), dan sebagainya,

diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat dalam satu kitab undang-

undang yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van

Strafrecht) yang disingkat KUHP (WvS).18

Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayah) didefinisikan sebagai

larangan-larangan hukum yang diberikan oleh Allah, yang pelanggarannya

membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan

18
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), hlm. 257.
perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang

diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya

dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain, melakukan (commision) atau tidak

melakukan (ommision) suatu perbuatan yang membawa hukuman yang ditentukan

oleh syari’at adalah kejahatan.19

Klasifikasi kejahatan yang paling penting dan paling banyak dibahas oleh

para ahli hukum Islam adalah hudud, qisas, dan ta’zir. Kategori qisas jatuh pada

posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal beratnya. Kejahatan-

kejahatan dalam kategori qisas ini kurang serius dibanding yang pertama (hudud),

namun lebih berat daripada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran dari kejahatan ini

adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa

yang dikenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia

atau crimes against persons. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan

menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan

luka/sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qisas ini.20

Penganiayaan dalam KUHP tidak dirumuskan elemen-elemen atau unsur-

unsurnya, melainkan hanya menyebutkan qualifikasinya atau nama deliknya saja,

yaitu penganiayaan (mishandeling) dipidana, dan seterunya.

Menurut Doctrine (ilmu pengetahuan), penganiayaan diartikan sebagai

setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit

atau luka kepada orang lain. Sedangkan menurut penafsiran dari H.R. (Hoge

19
Topo Santoso, Membumikan., hlm. 20.
20
Ibid., hlm. 22-23.
Raad) penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata

menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat

untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan.21

Melukai atau penganiayaan (jinayah terhadap selain jiwa) bisa sengaja,

semi sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi lima

macam, yaitu :

1. Ibanat al-Atraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya

pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi dan sebagainya

2. Izhab ma’a al-Atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota

badan itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban

buta, tuli, bisu dan sebagainya

3. Asy-Syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus)

4. Al-Jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk di

dalamnya pelukaan yang sampai ke dalam perut atau rongga dada

5. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis

pelukaan di atas.22

Sedangkan pembunuhan diartikan oleh para ulama sebagai suatu perbuatan

manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa. Secara umum, pembunuhan dibagi

menjadi tiga macam23, yaitu :

21
Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana ,
(Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
22
Topo Santoso, Membumikan., hlm. 38.
23
Ibid., hlm. 36-37.
1. Pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan

terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya.

2. Pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-‘amd), yaitu perbuatan

penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk

membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian orang yang dianiaya

tersebut .

3. Pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’), yaitu pembunuhan yang

disebabkan salah dalam perbuatan24, salah dalam maksud25, dan

kelalaian26.

Adapun syarat-syarat dari qisas dalam penganiayaan adalah sebagai

berikut:

1. Persamaan nama yang khusus, seperti kanan dengan kanan, kiri dengan

kiri.

2. Keadaan yang terpotong tidak kurang daripada anggota yang dipotong,

maka tidak dipotong bagian yang sempurna dengan sebab bagian yang

syalal (lumpuh).27

24
Misalnya melakukan suatu perbuatan dengan tidak bermaksud melakukan kejahatan,
tetapi mengakibatkan kematian seseorang.
25
Seseorang melakukan perbuatan dengan niat membunuh seseorang yang dalam
persangkaannya boleh dibunuh, namun ternyata tidak boleh, misalnya dengan sengaja menembak
seseorang yang disangka musuh dalam peperangan tapi ternyata teman sendiri.
26
Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi kelalaiannya menimbulkan
kematian.
27
Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa at-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 195.
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan tidak selalu mendapatkan hukuman

qisas dapat juga diyat (denda), hal ini seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh

Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Nabi bersabda :

28
‫من قتل له قتيل فهوخبريالنظرين إما أن يودي و إما أن يقاد‬

Sedangkan penganiayaan yang diatur dalam KUHP terdiri dari :

1. Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci atas :

a. Penganiayaan biasa

b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat

c. Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati

2. Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP

3. Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan

rincian sebagai berikut :

a. Mengakibatkan luka berat

b. Mengakibatkan orangnya mati

4. Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian

sebagai berikut :

a. Mengakibatkan luka berat


28
Ibid., hlm. 192. Lihat juga Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih
Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadraini (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981), IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
b. Mengakibatkan orangnya mati

5. Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP

dengan rincian sebagai berikut :

a. Penganiayaan berat dan berencana

b. Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya

mati.29

Selain delik penganiayaan, KUHP juga menagatur delik pembunuhan

yang terdapat dalam Buku II Bab XIX tentang kejahatan terhadap jiwa manusia,

kemudian yang berkaitan dengan pembunuhan terhadap janin dirinci sebagai :

1. Pembunuhan terhadap bayi (kinder doodlog)

2. Pembunuhan terhadap bayi dengan rencana terlebih dahulu (kinder

moord)

3. Kejahatan terhadap bayi yang baru saja dilahirkan atau belum

beberapa lama setelah dilahirkan

4. Kejahatan terhadap jiwa anak yang masih berada dalam kandungan

(abortus)

5. Pengguguran yang dilakukan oleh ibu kandung sendiri

6. Pengguguran oleh orang lain tanpa persetujuan si ibu

7. Pengguguran oleh orang lain dengan persetujuan si ibu

8. Pengguguran yang dilakukan oleh dokter, bidan atau juru obat.30

29
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50.
30
Chidir Ali, Responsi., hlm.71-72.
Sanksi dari tindak pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yaitu sebagai

berikut31 :

1. Pidana Pokok, terdiri dari :

a. Pidana mati,

b. Pidana penjara,

c. Kurungan,

d. Denda

e. Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20

Tahun 1946 Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1

dan 15 November 1946)32

2. Pidana tambahan, terdiri dari :

a. Pencabutan hak-hak tertentu,

b. Perampasan barang-barang tertentu,

c. Pengumuman putusan hakim.

Suatu ancaman hukuman akan dapat menahan manusia untuk

melaksanakan kejahatan, yakni ancaman yang bersifat preventif. Apabila orang

telah mengetahui lebih dulu, bahwa ia akan mendapatkan hukuman, maka ia akan

takut melakukan perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah sosial.33

31
Moeljatno, KUHP., hlm.6.
32
Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-
peraturan Hukum Pidana, Jilid I (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 236-238.
33
Nico Ngani dan A. Qiram syamsuddin Meliala, Psikologi., hlm. 27.
F. Metode Penelitian

Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling

akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan penelitian

tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah cara

atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang

diperlukan.34

Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

jenis penelitian yang digunakan pada penyusunan skripsi ini adalah jenis

penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan

fasilitas pustaka seperti buku, kitab atau majalah.35 Oleh karena itu, dalam

penelitian ini akan dikaji berbagai sumber pustaka yang berkenaan dengan

pokok permasalahan di atas, yang lebih jelasnya adalah membandingkan dan

memahami ketetapan dari dua sistem hukum yang berbeda mengenai delik

penganiayaan terhadap ibu hamil yang menyebabkan kematian janin melalui

kajian pustaka.

2. Sifat Penelitian

34
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, cet. ke-4 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),
hlm. 9
35
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Tehnik, cet. ke-7
(Bandung: t.np.,1994), hlm. 25.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, analitik serta komparatif. Metode

deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta untuk memberikan data

yang seteliti mungkin tentang gejala atau fakta tersebut36, sedang analitik

adalah sebuah usaha untuk mencari dan menata secara sistematis data

penelitian untuk kemudian dilakukan penelaahan guna mencari makna37,

kemudian komparatif dengan membandingkan hasil yang didapat, dalam hal

ini perbandingan antara sistem hukum pidana Islam dan hukum pidana

positif, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran masalah dan landasan

penyelesaian.

3. Pengumpulan Data

Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan,

maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan

mengumpulkan pendapat dari para sarjana dan ulama melalui buku-buku,

kitab-kitab serta karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan.

Kemudian dari sumber-sumber yang ada, baik primer maupun skunder akan

diuji kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang benar-benar akurat.

Adapun buku-buku ataupun kitab-kitab yang dijadikan sumber data dalam

penelitian ini adalah, dari segi hukum Islam: al-Fiqh wa Adillatuh karya

Wahbah az-Zuhaili, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami karya Abdul Qadir ‘Audah,

Fiqh as-Sunnah karya as-Sayyid Sabiq, Minhaj al-Muslim karya Abu Bakar

36
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 (Jakarta: UI-Press, 1986),
hlm. 10.
37
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4 (Yogyakarta: Roke Sarasin,
1998), hlm. 43.
Jabir al-Jazairi, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib karya

Mustafa Raib al-Bagha, dan lainnya. Sedangkan dari segi hukum pidana

positif, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh Moeljatno,

Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh karya Leden Marpaung,

Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana oleh

Chidir Ali, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP oleh M.

Sudradjat Bassar dan lain-lain.

4 Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif, yaitu dengan mengambil beberapa aturan atau ketentuan yang ada

mengenai delik penganiayaan maupun pembunuhan yang bersumber dari

hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Kemudian menjelaskan teks-

teks yang memerlukan penjelasan, terutama dalam hukum pidana Islam.

5. Analisa Data

Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam penelitian ini

adalah analisa kualitatif dengan cara berfikir induktif, deduktif dan

komparatif. Induktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan yang

bersifat khusus ke pernyataan yang bersifat umum, metode ini penyusun

gunakan untuk menganalisis kasus penganiayaan terhadap ibu hamil yang

mengakibatkan kematian janin, sedangkan deduktif adalah pengambilan

kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat


khusus.38 Dengan metode ini penyusun mencoba menganalisa data untuk

mengungkapkan ketentuan-ketentuan hukum tentang penganiayaan juga

tentang pembunuhan dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.

Kemudian menggunakan analisa komparatif dengan cara membandingkan

ketentuan yang ada dalam dua sistem hukum yang berbeda mengenai

permasalahan yang sama, dengan tujuan menemukan dan mencermati

perbedaan dan persamaan antar elemen dalam kedua sistem hukum tersebut,

sehingga diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai penyelesaian dari

sebagian persoalan yang terdapat dalam pokok permasalahan.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran umum mengenai isi karya tulis ini dan lebih

mudahnya dalam pembahasan penyusunan, maka disusunlah sistematika

pembahasan sebagai berikut :

Bab pertama adalah pendahuluan. Pendahuluan ini memuat latar belakang

masalah yang kemudian dirumuskan pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah

pustaka yang menguraikan beberapa kajian terdahulu baik berupa buku-buku atau

kitab-kitab atau artikel yang ada relevansinya dengan pembahasan yang dapat

dijadikan pedoman bagi penelusuran penelitian ini, selanjutnya disusul dengan

pembahasan kerangka teoretik baik dari hukum pidana Islam maupun dari hukum

38
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977),
hlm. 50.
pidana positif, dilanjutkan dengan metode penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.

Bab kedua, penyusun akan menguraikan tindak pidana penganiayaan dan

pembunuhan dalam ruang lingkup hukum pidana Islam. Pembahasan ini akan

dimulai dengan pendefisian mengenai delik penganiayaan serta delik pembunuhan

dilanjutkan dengan pemaparan tentang pembagian delik penganiayaan serta

pembunuhan juga dijelaskan mengenai sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana

penganiayaan serta pembunuhan.

Pada bab ketiga, penyusun menguraikan delik penganiayaan serta

pembunuhan ditinjau dari segi hukum pidana positif. pembahasan ini juga

meliputi pengertian pengertian delik penganiayaan serta delik pembunuhan,

klasifikasi kedua delik tersebut dan diakhiri dengan penjelasan sanksi-sanksinya.

Bab keempat merupakan bab yang berisi kajian perbandingan terhadap

sistem hukum pidana Islam dengan hukum pidana positif dihadapkan pada kasus

penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin yang

dikandung. Analisis tersebut dari dua segi, yaitu segi tindak pidana dan segi

pidananya, yang keduanya berisikan persamaan dan perbedaan dari kedua sistem

hukum tersebut.

Bab kelima, yaitu bab terakhir dalam skripsi ini akan dikemukakan

kesimpulan yang merupakan jawaban akhir dari pokok permasalahan yang ada.

Dan dalam bab ini juga akan dikemukakan saran-saran dari penyusun serta kata

penutup.
BAB II
DELIK PENGANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN
MENURUT HUKUM ISLAM

Pengertian Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

Pengertian Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam


Pengertian istilah delik dalam hukum pidana positif sama dengan penggunaan istilah jarimah dalam hukum Islam.
Jarimah mempunyai arti larangan-larangan syara' yang diancam dengan hukuman had, qisas, atau ta'zir.39 Larangan
yang dimaksud adalah mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan,
karena perintah dan larangan tersebut datang dari syara' maka perintah dan larangan tersebut hanya ditujukan kepada
orang yang mukallaf.
Para fuqaha' sering menggunakan kata jinayah untuk jarimah. Mereka mengartikan jinayah dengan suatu perbuatan
yang dilarang oleh syara' baik perbuatan tersebut mengenai harta, jiwa dan lainnya. Selain itu terdapat beberapa
fuqaha' yang membatasi kata jarimah pada jarimah hudud dengan mengesampingkan perbedaan pemakaian kata
jinayah dan jarimah, sehingga dapat dikatakan kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama.40
Untuk mengetahui suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai jarimah dan pelakunya dapat dikenai
pertanggungjawaban pidana apabila telah terpenuhi beberapa unsur, yaitu:
1. Unsur formil, yaitu adanya ketentuan atau aturan yang menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang
diancam hukuman.
2. Unsur materiil, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum baik itu perbuatan nyata-nyata berbuat atau
sikap tidak berbuat
3. Unsur moril, yaitu unsur yang terdapat pada pelaku. Pelaku jarimah haruslah mukallaf, yaitu orang yang
dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang dilakukannya.41
Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, kata jinayat adalah bentuk jamak, adapun bentuk tunggalnya adalah jinayah
yang diambil dari kata jana, yajni yang artinya memetik. Dikatakan: "Jana as-Samara" yang artinya ialah: bilamana
ia mengambil buah dari pohonnya. Dan dikatakan pula: "Jana 'Ala Qawmihi Jinayatan" yang artinya adalah: ia telah
melakukan tindakan kriminalitas terhadap kaumnya, karena itu ia dipidana.42
Para ahli fiqh Islam telah membuat terminologi khusus untuk mengkatagorikan tindakan-tindakan pidana, yaitu
menjadi 2 (dua) macam:
39
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm. 9.
40
Ibid., hlm. 9-10.
41
Ibid., hlm. 6.
42
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath Lil I’lam al-‘Arabi, 1990), III :
5
Pertama : Jaraim al-Hudud, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan hukum had
Kedua : Jaraim al-Qisas, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas.
Yang kedua ini adalah merupakan tindakan kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa, menderita musibah dalam
bentuk luka atau terpotong organ tubuh.43
Dalam hukum pidana Islam istilah penganiayaan tidak dipakai, yang ada dalam hukum pidana Islam adalah
jarimah/jinayah terhadap selain jiwa. Abu Bakar Jabir al-jazairi menyebutkan bahwa jinayah terhadap tubuh bisa
berupa jinayatul atraf, asy-syijjaj, dan al-jirah. Jinayatul atraf adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang
menyebabkan sakit atau cacat tubuh, contohnya; mencukil mata, mematahkan kaki, atau memotong tangan orang
lain.44 Asy-syijjaj adalah pelukaan terhadap orang lain pada bagian kepala dan wajah45 sedangkan al-jirah adalah
pelukaan terhadap tubuh orang lain pada selain kepala dan wajah.46

2. Pengertian Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

Pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar ‫قتال‬, dari fi’il


madhi ‫قتل‬ yang artinya membunuh.47 Adapun secara terminologi, sebagaimana

dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu

perbuatan mematikan; atau perbuatan seseorang yang dapat menghancurkan

bangunan kemanusiaan.48 Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, pembunuhan

didefinisikan sebagai suatu tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa;

menghilangkan ruh atau jiwa orang lain.49


Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jaraim qisas

(tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas), yaitu tindakan kejahatan yang

43
Ibid.

44
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995),
hlm. 425.
45
Ibid., hlm. 429.
46
Ibid., hlm. 430.
47
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1992), hlm. 172.
48
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3 ( Damaskus: Dar al-Fikr,
1989 ), VI: 217.
49
Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami ( Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
t.t.), II : 6.
membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam bentuk hilangnya

nyawa, atau terpotong organ tubuhnya.50

B. Klasifikasi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum


Pidana Islam
1. Klasifikasi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam

Para ulama membagi jinayah terhadap tubuh menjadi lima macam, yaitu :

a. Ibanat al-Atraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya

pemotongan tangan, kaki, jari, hidung, gigi dan sebagainya

b. Izhab ma’a al-Atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan

(anggota badan itu tetap ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya

membuat korban buta, tuli, bisu dan sebagainya

c. Asy-Syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus)

d. Al-Jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk di

dalamnya pelukaan yang sampai ke dalam perut atau rongga dada

e. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis

pelukaan di atas.51
Sedangkan Abu Bakar al-Jazairi sebagaimana disebutkan dalam definisi penganiayaan, membagi jinayah terhadap
tubuh menjadi 3 macam, yaitu :

a. Jinayatul Atraf,

b. Asy-Syijjaj, dan

c. Al-Jirah,

50
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2 ( Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, 1990 ),
II : 263.
51
Topo Santoso, Membumikan., hlm. 38.
Khusus pada asy-Syijjaj menurut ulama salaf ada 2 (dua) kelompok,52

yaitu;

a. Pelukaan terhadap kepala atau wajah yang telah ada ketetapan dari

syari’at mengenai jumlah diyatnya, yang termasuk kelompok ini adalah;

a. Al-Mudihah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang

menampakkan tulang,

b. Al-Hasyimah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang

menyebabkan pecah atau patahnya tulang,

c. Al-Munqilah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang

menyebabkan berpindah atau bergesernya tulang dari tempat asalnya,

d. Al-Ma’mumah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai

pada kulit otak,

e. Ad-Damigah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai

pada kulit otak dan memecahkannya, pelukaan ini lebih berat

daripada Al-Ma’mumah.

b. Sedangkan kelompok yang ke dua adalah pelukaan terhadap kepala atau

wajah yang belum ada penjelasan dari syari’at tentang diyatnya53, yaitu;

1) Al-Harisah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang

merobekkan sedikit kulit dan tidak mengaluarkan darah,

2) Ad-Damiyah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang

merobekkan kulit dan mengeluarkan/mengalirkan darah,

52
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 429-430.
53
Ibid., hlm. 430.
3) Al-Badi’ah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang

memutihkan tulang, artinya mematahkan tulang,

4) Al-Mutalahimah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang

meremukkan tulang, hal ini lebih berat daripada al-Badi’ah,

5) As-Simhaq, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang hampir

mengenai tulang.

Kemudian pada jenis al-jirah dibedakan pula menjadi;

1) Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai pada rongga perut,

2) Pelukaan pada rongga dada, contohnya mematahkan tulang rusuk,

3) Mematahkan lengan tangan atas, betis, atau lengan bawah.54

2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

Pada dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua golongan,

yaitu:

1. Pembunuhan yang diharamkan; setiap pembunuhan karena ada unsur

permusuhan dan penganiayaan

2. Pembunuhan yang dibenarkan; setiap pembunuhan yang tidak

dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang

dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman qisas.55


Adapun secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa tindak pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok,
yaitu:

1. Pembunuhan sengaja (qatl al- ‘amd)

Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya permusuhan

terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya

54
Ibid.
55
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh,VI : 220.
mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung

atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti

menggunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh

yang vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena

jarum menjadi bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau

dengan memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi luka dan

membawa pada kematian

2. Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-‘amd)

Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain, dengan

alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti memukul dengan

batu kecil, tangan, cemeti, atau tongkat yang ringan, dan antara

pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu,

pukulannya bukan pada tempat yang vital (mematikan), yang dipukul

bukan anak kecil atau orang yang lemah, cuacanya tidak terlalu

panas/dingin yang dapat mempercepat kematian, sakitnya tidak berat

dan menahun sehingga membawa pada kematian, jika tidak terjadi

kematian, maka tidak dinamakan qatl al-‘amd, karena umumnya

keadaan seperti itu dapat mematikan

3. Pembunuhan kesalahan (qatl al-khata’)

Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud

penganiayaan, baik dilihat dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya


seseorang melempari pohon atau binatang tetapi mengenai manusia

(orang lain), kemudian mati.56

Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan sengaja

adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf kepada orang lain

yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat

menyebabkan mati.57 Sedangkan menurut Abdul Qodir ‘Audah, pembunuhan

sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan

niat membunuh, artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika

orang itu mempunyai kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan. Jika

seseorang tidak bermaksud membunuh, semata-mata hanya menyengaja

menyiksa, maka tidak dinamakan dengan pembunuhan sengaja, walaupun pada

akhirnya orang itu mati. Hal ini sama dengan pukulan yang menyebabkan mati

(masuk dalam katagori syibh ‘amd).58

Mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak

pidana pembunuhan yaitu59 :

a. Pembunuhan dengan muhaddad, yaitu seperti alat yang tajam, melukai,

dan menusuk badan yang dapat mencabik-cabik anggota badan.

56
Ibn Qudamah, al-Mugni, cet. ke-1 (Riyad: Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, t.t.) VIII :
636-640, lihat juga Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlus Sunnah, cet.1 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1972 ), hlm. 152-153.
57
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 435.
58
Abdul Qadir ‘Audah, at-Tasyri’i., II : 10.
59
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, cet. ke-2 ( Beirut: Dar al-
Fikr, 1981 ) II : 232.
b. Pembunuhan dengan musaqqal, yaitu alat yang tidak tajam, seperti

tongkat dan batu. Mengenai alat ini fuqaha berbeda pendapat apakah

termasuk pembunuhan sengaja yang mewajibkan qisas atau syibh ‘amd

yang sengaja mewajibkan diyat.

c. Pembunuhan secara langsung, yaitu pelaku melakukan suatu perbuatan

yang menyebabkan matinya orang lain secara langsung (tanpa

perantaraan), seperti menyembelih dengan pisau, menembak dengan

pistol, dan lain-lain.

d. Pembunuhan secara tidak langsung (dengan melakukan sebab-sebab

yang dapat mematikan). Artinya dengan melakukan suatu perbuatan

yang pada hakikatnya (zatnya) tidak mematikan tetapi dapat menjadikan

perantara atau sebab kematian.

Adapun sebab-sebab yang mematikan itu ada tiga macam,60 yaitu :


1) Sebab Hissiy (perasaan/psikis) seperti paksaan untuk membunuh.

2) Sebab Syar’iy, seperti persaksian palsu yang membuat terdakwa

terbunuh, keputusan hakim untuk membuat seseorang yang

diadilinya dengan kebohongan atau kelicikan (bukan karena

keadilan) untuk menganiaya secara sengaja.

3) Sebab ‘Urfiy, seperti menyuguhkan makanan beracun terhadap orang

lain yang sedang makan atau menggali sumur dan menutupinya

sehingga ada orang terperosok dan mati.

60
Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj ( Mesir: Mustafa
al-Bab al-Halabi wa Aulad, 1958), IV : 6.
e. Pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang membinasakan,

seperti dengan melemparkan atau memasukkan ke kandang srigala,

harimau, ular dan lain sebagainya.

f. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan dan membakar.

g. Pembunuhan dengan cara mencekik.

h. Pembunuhan dengan cara meninggalkan atau menahannya tanpa

memberinya makanan dan minuman.

i. Pembunuhan dengan cara menakut-nakuti atau mengintimidasi.

Pembunuhan tidak hanya terjadi dengan suatu perbuatan fisik, karena

terjadi juga melalui perbuatan ma’nawi yang berpengaruh pada psikis

seseorang, seperti menakut-nakti, mengintimidasi dan lain sebagainya.

Dalam syari’at Islam, pembunuhan diatur di dalam al-Qur’an maupun


dalam al-Hadis, yaitu :
Firman Allah swt. dalam al-Qur’an:

‫ ومن قتل مؤمناخطأ فتحريررقبة‬,‫وماك ان ملؤمن ان يقتل مؤمنا االخط أ‬


...‫مؤمنة ودية مسلمة اىل أهله إال أن يصدقوا‬
61

Juga firman Allah swt.:

‫ومن يقتل مؤمنا متعم دا فج زاؤه جهنم خال دا فيها وغضب اهلل عليه‬
‫ولعنه واعدله عذابا عظيما‬
62

Kemudian pada hadis Rasul yang berbunyi,

61
An-Nisa (4) : 92.
62
An-Nisa (4) : 93.
‫ال حيل دم امرئ مسلم يشهد أن ال إله إال اهلل وأىن رسول اهلل إال‬
‫ الثيب الزاىن والنفس بالنفس والتارك لدينه املفارق للجامعة‬: ‫باحدى ثال ث‬
‫اى املرتد عن دين االسالم‬
63

C. Sanksi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

Sanksi pidana dalam hukum Islam disebut dengan al-'Uqubah yang berasal

dari kata ‫ عقب‬, yaitu sesuatu yang datang setelah yang lainnya, maksudnya
adalah bahwa hukuman dapat dikenakan setelah adanya pelanggaran atas

ketentuan hukum. 'Uqubah dapat dikenakan pada setiap orang yang melakukan

kejahatan yang dapat merugikan orang lain baik dilakukan oleh orang muslim atau

yang lainnya.64 Hukuman merupakan suatu cara pembebanan pertanggungjawaban

pidana guna memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain

hukuman dijadikan sebagai alat penegak untuk kepentingan masyarakat.65

Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari

perbuatan maksiat, baik mencegah sebelum terjadinya perbuatan pidana maupun

untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya jarimah tersebut. Dan besar kecilnya

hukuman sangat tergantung pada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, jika

63
Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwani, Sunan ibn Majah, Kitab al-
Hudud, Bab al-Yahillu Dam Imriin Muslim Illa fi Salasah, ( Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyah, 1952 ), I : 874. Hadis nomor 2534. hadis riwayat ibn Majah dari ‘Ali ibn
Muhammad dari ‘Abdullah ibn Murrah dari Masyruq dari ‘Abdullah ibn Mas’ud.
64
Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), hm. 6.
65
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana., hlm. 55.
kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat

diperberat begitu pula sebaliknya.66

1. Sanksi Delik Penganiayaan


Sanksi-sanksi yang dikenakan terhadap orang yang melakukan tindak pidana terhadap tubuh menurut ketentuan
hukum pidana Islam adalah sebagai berikut :
a. Qisas
Qisas terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai berikut67:
1. Pelaku berakal

2. Sudah mencapai umur balig68

3. Motivasi kejahatan disengaja

4. Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan darah orang yang melukai.

Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak
diqisas seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang
muslim yang melukai kafir zimmi atau memotong anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak memiliki anak, serta korban
dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap
korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan onggota yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang
terluka.69 Kecuali jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat
disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban.
Syarat-syarat qisas dalam pelukaan:70
a. Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada kebohongan maka tidak boleh diqisas,

b. Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin dilakukan, maka diganti dengan

diyat,

c. Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau bagian yang telah

dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong

kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan,

66
Ahmad Jazuli, Fiqh Jinayat, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Hukum Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 26-27.
67
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., III : 38.
68
Balig adakalanya karena mimpi bersenggama atau karena faktor umur. Batas maksimal
kebaligan seseorang berdasarkan umur adalah delapan belas tahun, dan batas minimalnya adalah
lima belas tahun, ini berdasarkan hadis riwayat sahabat Ibnu 'Umar. Adapun mengenai tumbuhnya
bulu kemaluan para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
69

Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 425.


70
Ibid.
d. Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan kesempurnaan, maka tidak

dipotong tangan yang sehat karena memotong tangan yang cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena

melukai mata yang sudah buta,

e. Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak dilaksanakan qisas, kecuali anggota

itu tidak berakhir pada tulang, dan setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas,

maka tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya tulang juga dalam jaifah, akan

tetapi diwajibkan diyat atas hal tersebut.

Kemudian dalam hal tindakan menempeleng, seseorang diperbolehkan membalasnya sesuai dengan apa yang telah
dilakukannya, hal ini sesuai firman Allah swt.,

71
‫ فمن اعتدى عليكم فاعتدوا عليه مبثل مااعتدىعليكم‬...

Dan Allah telah berfirman pula dalam ayat lain,

72
‫وجزاء سيئة سيئة مثلها‬
b. Diyat

Menurut as-Sayyid Sabiq, diyat adalah :

73
‫ أو وليه‬,‫ وتؤدى إىل اجملىن عليه‬,‫املال الذى جيب بسبب اجلناية‬
Dalam hal penganiayaan jenis jinayatul atraf, pelaksanaan diyat dibagi

menjadi dua, yaitu yang dikenakan sepenuhnya dan yang dikenakan hanya

setengahnya saja, adapun diyat yang dikenakan sepenuhnya adalah dalam hal

sebagai berikut74 :

1. Menghilangkan akal,

2. Menghilangkan pendengaran dengan menghilangkan kedua telinga,

71
Al-Baqarah (2) : 194.
72
Asy-Syura (42) : 40.
73

As-Sayyid Sabiq, Fiqh, III : 49.


74
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 428.
3. Menghilangkan penglihatan dengan membutakan kedua belah mata,

4. Menghilangkan suara dengan memotong lidah atau dua buah bibir,

5. Menghilangkan penciuman dengan memotong hidung,

6. Menghilangkan kemampuan bersenggama/jima' dengan memotong

zakar atau memecahkan dua buah pelir

7. Menghilangkan kemampuan berdiri atau duduk dengan mematahkan

tulang punggung.

Hal-hal tersebut berdasarkan hadis Nabi yang tertera dalam kitabnya 'Amr

ibn Hazm, bahwa Rasulullah saw. bersabda :

‫ وىف الشفتني‬,‫ وىف اللسان الدية‬,‫ويف األنف إذا أوعب جدعه الدية‬
‫ وىف العينني‬,‫ وىف الصلب الدية‬,‫و ىف الذكر الدية‬,‫ وىف البيضتني الدية‬,‫الدية‬
‫ وىف الرجل الواحدة نصف الدية‬,‫الدية‬
75

Sedangkan diyat yang dikenakan hanya setengahnya saja adalah dalam hal

melukai76 :

1. Satu buah mata

2. Satu daun telinga

3. Satu buah kaki

4. Satu buah bibir

5. Satu buah pantat

75
Ibn Abdus samad at-Tamimi as-Samarqandi ad-Darami, Sunan ad-Darimi, Kitab ad-
Diyah, Bab Kam ad-Diyah min al-Ibili (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). II : 192-193. Hadis Nomor 2260.
Riwayat Umar ibn Hazm dari Bapaknya dari Kakeknya.
76
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 428-429.
6. Satu buah alis

7. Satu buah payudara wanita

Kemudian pelukaan yang mewajibkan diyat kurang dari setengahnya

adalah memotong sebuah jari, yaitu diyatnya sepuluh ekor unta, berdasarkan

hadis,
77
‫ عشر من اإلبل لكل أصبع‬,‫دية أصابع اليدين أوالرجلني سواء‬
Dan wajib dalam mematahkan gigi diyat sebanyak lima ekor unta,

berdasarkan sabda Rasul dalam kitabnya Amr Ibn Hazm,


78
‫وىف السن مخس من اإلبل‬
Sedangkan sanksi dalam hal al-jirah, sesuai dengan pembagiannya yaitu

yang telah ada ketetapan syara' dan juga yang belum adalah sebagai berikut79 :

1. al-Mudhihah, diyatnya sebanyak lima ekor unta, berdasarkan hadis,

80
‫ىف املواضح مخس مخس‬

2. al-Hasyimah, diyatnya sebanyak sepuluh ekor unta, berdasar hadis,

81
‫إن النىب صلى اهلل عليه السالم أوجب ىف اهلامشة عشر من اإلبل‬
77
At-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah ‘an
Rasulillah, Bab Ma Ja’a fi Diyat al-Asabi’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1988). IV: 8. Hadis Nomor 1311.
Riwayat Ikrimah dari ibn Abbas.
78

Jalaluddin as-Suyuti, Sunan an-Nasa’i, Kitab al-Qasamah, Bab Zikru Hadis ‘Umar Ibn
Hazm fi ‘Uqul wa Ikhtilaf an-Naqilaini (Beirut: Dar al-Fikr, 1930). Hadis Nomor 4774. Riwayat
Ibn Hazm dari Bapaknya.
79
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 429-430.
80

At-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah ‘an


Rasulillah. Bab Ma Ja’a fi al-Mudihah. IV: 7. Hadis Nomor 1310. Riwayat Umar ibn Syu’aib dari
Bapaknya dari Kakeknya.
81
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 429-430.
3. al-Munqilah, diyatnya sebanyak lima belas ekor unta, hal ini berdasar

apa yang tertera dalam kitabnya Amr Ibnu Hazm yaitu

82
‫ واملنقلة مخس عشرة من اإلبل‬...
4. al-Ma'mumah, diyatnya sebesar sepertiga diyat, seperti dalam kitabnya

Amr Ibn Hazm,

83
‫ وىف املأمومة ثلث الدية‬...
5. ad-Damighah, hukum dari hal ini sama dengan al-Ma'mumah yaitu

diyatnya sepertiga diyat.

Mengenai hukuman dari pelukaan yang bersifat al-jirah ditentukan bahwa:

1. jaifah, diyatnya sepertiga diyat seperti dalam kitabnya Amr Ibnu Hazm,

84
‫ وىف اجلائفة ثلث الدية‬...
2. Dalam hal mematahkan tulang rusuk diyatnya sebanyak satu ekor unta

(ba'ir)

3. Dalam hal mematahkan lengan tangan atas, bawah ataupun betis diyatnya

sebanyak dua ekor unta (ba'ir)85.

82
Ibn Abdus Samad at-Tamimi as-Samarqandi ad-Darimi, Sunan ad-Darami, Kitab ad-
Diyah, Bab Kam ad-Diyah min al-Ibili. Hadis Nomor 2260. Riwayat Umar ibn Hazm dari
Bapaknya dari Kakeknya.
83
Ibid.
84
Ibid.
85
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm. 430
Dan selain apa yang telah disebutkan di atas hukumnya diqiyaskan kepada

yang lebih mudah yaitu al-Mudihah.

2. Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

Ada tiga bentuk sanksi pidana pembunuhan sengaja menurut hukum

pidana islam, yaitu pertama, sanksi asli (pokok), berupa hukuman qisas, kedua,

sanksi pengganti, berupa diyat dan ta’zir, dan ketiga, sanksi penyerta/tambahan,

berupa terhalang memperoleh waris dan wasiat.86

a. Sanksi Asli/Pokok

Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah dinaskan dalam al-

Qur’an dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama.

Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus

diqisas (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua belah

pihak. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa di samping qisas, pelaku

pembunuhan juga wajib membayar kifarah.87

Qisas diakui keberadaannya oleh al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ ulama,

demikian pula akal memandang bahwa disyari’atkannya qisas adalah demi

keadilan dan kemaslahatan.88 Hal ini ditegaskan al-Qur’an dalam sebuah ayat;

89
‫ولكم ىف القصاص حيوة يآاوىل األ لباب لعلكم تتقون‬

86
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 261.
87
Ibid.
88
Ibid., VI : 264
89
Al-Baqarah (2) : 179.
Adapun beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakan qisas90,

yaitu :

a. Syarat-syarat bagi pembunuh

Ada 3 syarat, yaitu :

1. pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka

tidaklah diqisas apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang

gila, karena perbuatannya tidak dikenai taklif.91 Begitu juga

dengan orang yang tidur/ayan, karena mereka tidak punya niat

atau maksud yang sah.

2. Bahwa pembunuh menyengaja perbuatannya.

Dalam al-Hadis disebutkan,

92
‫من قتل عمدا فهو قود‬
3. Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika

membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak

diqisas, tetapi menurut Jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.

b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban)

Juga ada 3, yaitu :

90
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 297.
91
Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-Syairazi, Al-Muhazzab,
(Semarang: Toha Putra, t.t.), II : 173.
92
Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab ad-Diyah, Bab Man Qatala fi ‘Immiya’ Baina
Qoumin, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1998 ), IV : 183. Hadis Nomor 4539. Riwayat Sufyan dari Amr dari
Tawus.
1. Korban adalah orang yang dilindungi darahnya.93 Adapun

orang yang dipandang tidak dilindungi darahnya adalah kafir

harbi, murtad, pezina muhsan, penganut zindiq dan

pemberontak; jika orang muslim atau zimmy membunuh

mereka, maka hukum qisas tidak berlaku.

2. Bahwa korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada

hubungan bapak dan anak), tidak diqisas ayah/ibu,

kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya sampai derajat ke

bawah, berdasarkan pada hadis;

94
‫ال يقاد الوالد بالوالد‬

Juga hadis;

‫انت ومالك ألبيك‬


95

3. Adalah korban derajatnya sama dengan pembunuh dalam islam

dan kemerdekaanya, pernyataan ini dikemukakan oleh Jumhur

(selain Hanafiyah). Dengan ketentuan ini, maka tidak diqisas

seorang islam yang membunuh orang kafir, orang merdeka

yang membunuh budak.

c. Syarat-syarat bagi perbuatannya


93
Ibn Qudamah, Al-Mugni., VI : 648.
94
At-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah 'an
Rasulillah, Bab Ma Jaa fi ar-Rajuli Yuqtalu Ibnahu Yuqada am la, IV : 12. Hadis Nomor 1400.
Riwayat Ibn Syu'aib dari Bapaknya dari Kakeknya dari Umar ibn Khatab.
95
Sunan Ibn Majah, Sunan., Kitab at-Tijarah, Bab Mali ar-Rajul min Mali Waladih, II :
769. Hadis Nomor 2291, Riwayat Jabir ibn Abdullah.
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qisas, tindak pidana

pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana langsung, bukan

karena sebab tertentu. Jika tidak langsung maka hanya dikenakan

hukuman membayar diyat. Sedangkan Jumhur tidak mensyaratkan itu,

baik pembunuhan langsung atau karena sebab, pelakunya wajib

dikenai qisas, karena keduanya berakibat sama.96

d. Syarat-syarat bagi wali korban

Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk mengqisas

haruslah orang yang diketahui identitasnya. Jika tidak, maka tidak

wajib diqisas. Karena tujuan dari diwajibkannya qisas adalah

pengukuhan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan hak dari

orang yang tidak diketahui identitasnya akan mengalami kesulitan

dalam pelaksanaannya.

Qisas wajib dikenakan bagi setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh

wali korban. Para ulama mazhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku

pembunuhan sengaja adalah qisas.97 Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.

‫يآايهاالذين آمنوا كتب عليكم القصاص ىف القتلى احلر باحلر والعبد‬


‫بالعبد واألن ثى ب األنثى فمن عفى له من أخيه شئ فاتب اع ب املعروف‬
...‫وأدآء اليه باحسان‬
98

Dan sabda Rasul;


96
Abdul Qodir ‘Audah, at-Tasyri’., II : 132.
97
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., IV: 276.
98
Al-Baqarah (2) : 178.
99
‫من قتل عمدا فهو قود‬

Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan tidak

hanya qisas, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu; mereka

menghendaki qisas, maka dilaksanakan hukum qisas, tapi jika menginginkan

diyat, maka wajiblah pelaku membayar diyat.

Dasar hukum yang digunakan adalah sebuah hadis Rasul;

100
‫من قتل له قتيل فهو خبري النظرين إما يودي و إما يقاد‬

Dan firman Allah swt.

101
...‫باملعروف‬ ‫فمن عفى له من أخيه شيء فاتباع‬

Hukum qisas menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut102:

a. Matinya pelaku kejahatan

Kalau orang yang akan menjalani qisas telah mati terlebih dahulu,

maka gugurlah qisas atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi

sasarannya. Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat yang

diambil dari harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali korban

99
Abu Dawud, Sunan., IV : 183.
100
Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab
Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981)
IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
101
Al-Baqarah (2) : 178.
102
Abdul Qodir ‘Audah, At-Tasyri’., I : 777-778 dan II : 155-169. Wahbah az-Zuhaili, Al-
Fiqh., VI : 294.
si terbunuh. Pendapat ini mazhab Imam Ahmad serta salah satu

pendapat Imam asy-Syafi’i. Sedangkan menurut Imam Malik dan

Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab hak dari mereka (para wali) adalah

jiwa, sedangkan hak tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada

alasan bagi para wali menuntut diyat dari harta peninggalan si

pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya.

b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat

pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.

c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dengan wali

korban.103

d. Adanya penuntutan qisas

b. Sanksi Pengganti

1) Diyat

Diyat menurut istilah syara’ adalah;

104
‫املال الواجب باجلناية على النفس او ما ىف حكمها‬

Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau

yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan

103
Perbedaannya dengan al-‘Afwu (pengampunan) adalah kalau sulh itu pengguguran
qisas dengan ganti rugi (kompensasi), sedang al-‘Afwu terkadang pengampunan qisas secara
mutlak.
104

Abdul Qodir ‘Audah, At-Tasyri’., I : 298.


dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang. Sedangkan diyat untuk anggota

badan disebut ‘Irsy.

Dalil disyari’atkannya diyat adalah,

‫ ومن قتل مؤمناخطأ فتحريررقبة‬,‫وماك ان ملؤمن ان يقتل مؤمنا االخط أ‬


...‫مؤمنة ودية مسلمة اىل أهله إال أن يصدقوا‬
105

Dan hadis Rasul yang berbunyi,

‫ إما يودى وإما يقاد‬: ‫من قتل له قتيل فهوخبري النظرين‬


106

Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit

ditemukan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti

emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan

unta.

Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi

pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik

domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak dan 200

setel pakaian untuk pemilik pakaian.107

Hal ini sesuai dengan khabar dari Umar;

105
An-Nisa )4) : 92
106
Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah, Bab
Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini, IV: 38. Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu
Hurairah.
107
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 552-553.
‫ فرض ها عمر‬: ‫ ق ال‬.‫ اال إن اإلبل قد غل د‬: ‫أن عمر ق ام خطيبا فق ال‬
‫رضي اهلل عنه على أهل ال ذهب ألف دين ار وعلى أهل ال ورق إثين عشر ألفا‬
‫وعلى أهل البقر م أيت بق رة وعلى أهل الش اة ألفى ش اة وعلى أهل احللل م أيت‬
.‫حلل‬ 108

Sedangkan diyat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu diyat mugallazah

dan diyat mukhaffafah. Adapun diyat mugallazah menurut jumhur dibebankan

kepada pelaku pembunuhan sengaja dan menyerupai pembunuhan sengaja.

Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja

apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang membunuh anaknya.109

Jumlah diyat mugallazah adalah 100 ekor unta yang 40 diantaranya sedang

mengandung. Ini berdasarkan hadis;

‫ من قتل مؤمنا متعم دا دفع إىل‬: ‫أن رسو ل اهلل عليه و س لم ق ال‬
,‫ ثال ثون حقة‬: ‫ وإن شاؤوا أخذ الدية وهى‬,‫ فإن شاؤوا قتلوا‬: ‫أولياءاملقتول‬
‫ وذلك لتش ديد‬,‫ وما ص لحوا عليه فهو هلم‬,‫ وأربع ون خلف ة‬,‫وثالث ون جذع ة‬
‫العقل‬ 110

Jadi apabila dirinci dari 100 ekor unta tersebut adalah sebagai berikut :

a. 30 ekor unta hiqqah (unta berumur 4 tahun)

b. 30 ekor unta jad’ah (unta berumur 5 tahun)

108
Al-Baihaqi, As-Sunnah al-Kubra, Kitab ad-Diyah, Bab A’waz al-Ibil, ( Beirut: Dari al-
Fikr, t.t. ), VIII : 77. Hadis riwayat ‘Amr ibn Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya.
109
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 304.
110

Mustafa Raib al-Baga, at-Tazhib, cet. ke-1 (Surabaya: Bungkul Indah, 1978), hlm. 192.
lihat juga ِAt-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi.
c. 40 ekor unta khalifah (unta yang sedang mengandung)

Adapun diyat mukhaffafah itu dibebankan kepada ‘aqilah pelaku

pembunuhan kesalahan dan dibayarkan dengan diangsur selama kurun waktu tiga

tahun, dengan jumlah diyat 100 ekor unta, yaitu :

a. 20 ekor unta bintu ma’khad (unta betina berumur 2 tahun)

b. 20 ekor unta ibnu ma’khad (unta jantan berumur 2 tahun)

c. 20 ekor bintu labin (unta betina berumur 3 tahun)

d. 20 ekor unta hiqqah dan,

e. 20 ekor unta jad’ah.

Hal ini berdasar pada,

‫ وعش رون بنت‬,‫ وعش رون حق ة‬,‫ ىف اخلطإ عش رون جذع ة‬: ‫أنه ق ال‬
‫ وعشرون بنت خماض‬,‫ وعشرون ابن لبون‬,‫لبون‬
111

Jadi diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugallazah yang dikhususkan

pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan.

Sedangkan diyat pembunuhan syibh ‘amd adalah diyat yang pembayarannya tidak

hanya pada pelaku, tetapi juga kepada ‘aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan

dibayarkan secara berangsur-angsur selama tiga tahun.

Jumhur ulama berpendapat bahwa diyat pembunuhan sengaja harus

dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas. Jika

qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan

111
Ibid., hlm. 196.
pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal ‘amid112

pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya ‘amid membayar diyat

dengan hartanya sendiri bukan dari ‘aqilah, karena keringanan (pemberian tempo)

itu hanya berlaku bagi ‘aqilah.113

Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada

para pembunuh dengan hartanya sendiri. ‘Aqilah tidak menanggungnya karena

setiap manusia dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya dan tidak dapat

dibebankan kepada orang lain.

Hal ini berdasarkan firman Allah swt.

114
‫كل امرئ مبا كسب رهني‬...
ّ
2) Ta’zir

Hukuman ini dijatuhkan apabila korban mamaafkan pembunuh secara

mutlak. Artinya seorang hakim dalam pengadilan berhak untuk memutuskan

pemberian sanksi bagi terdakwa untuk kemaslahatan. Karena qisas itu di samping

haknya korban, ia juga merupakan haknya Allah, hak masyarakat secara umum.

Adapun bentuk ta’zirannya sesuai dengan kebijaksananaan hakim.115

c. Sanksi Penyerta/Tambahan

112
Yaitu orang yang melakukan pembunuhan sengaja
113
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh., VI : 307.
114
At-Tur (52) : 21.
115
Wahbah az-zuhaili, Al-Fiqh., VI : 291-292 dan 312-313.
Sanksi ini berupa terhalangnya para pembunuh untuk mendapatkan waris

dan wasiat. Ketetapan ini dimaksudkan untuk sadd az-zara’i; agar seseorang tidak

tamak terhadap harta pewaris sehingga menyegarakannya dengan cara

membunuh, selain itu ada juga hukuman lain yaitu membayar kifarah, sebagai

pertanda bahwa ia telah bertaubat kepada Allah. Kifarah tersebut berupa

memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu’min. Kalau tidak bisa, maka

diwajibkan puasa selama dua bulan berturut-turut. Hal ini dinyatakan dalam

firman Allah swt.,

‫ فمن مل جيد فص يام ش هرين‬,‫فدية مس لّمة الىاهله وحترير رقبة مؤمن ة‬...
...‫متتابعني‬ 116

Serta sabda Rasul;

‫ال يرث القاتل شيئا‬


117

Serta sesuai dengan kaedah ushul;

‫من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب حبرمانه‬


118

Sedangkan mengenai pembunuhan janin, dijelaskan bahwa apabila ada

janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau

kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka diwajibkan hukuman yang berupa

gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan atau mati di dalam

kandungan serta baik janin itu laki-laki atau perempuan.Gurrah dalam hal
116
An-Nisa (4) : 92.
117
Abu Dawud, Sunan., Kitab ad-Diyah, Bab Diyah al‘Ala, VI : 190. Hadis riwayat ibn
Musa dari ‘Amr ibn Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.
118
Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nazair, (Beirut:
Dari al-Fikr, t.t. ), hlm. 103.
hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham, atau sebanyak seratus

kambing.Dan juga dikatakan besarnya adalah lima puluh unta.

Dasar dari pemberian hukuman gurrah tersebut adalah hadis:

‫ ف رمت إح دامها األخ رى حبجر فقتلتها وما‬, ‫اقتتلت امرأت ان من ه ذيل‬


‫ فقضى أن دية‬,‫ فاختص موا إىل رس ول اهلل ص لى اهلل عليه الس الم‬,‫ىف بطنه ا‬
‫ وقضى بدية املرأة على عاقلتها‬,‫جنينها غرة عبد او وليدة‬
119

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah120 mengambil dalil dari hadis Rasul:

,‫ عبد أو أمة‬,‫ فى الجنين غرة‬: ‫أن النبى صلى اهلل عليه السالم قال‬
121
‫قيمته خمسمائة‬
Apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian mati,

maka sanksinya adalah membayar diyat utuh, apabila janin itu laki-laki

maka jumlah diyatnya adalah seratus ekor unta. Apabila janin itu

perempuan, diyatnya sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati

atau hidup bisa diketahui dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan

atau yang lainnya.

Imam Syafi’i mensyaratkan dalam hal janin yang mati di dalam

kandungan ibunya, yaitu diketahui bahwa benar-benar sudah terbentuk mahluk

hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, beliau menjelaskan dengan pertanda

adanya gambaran bentuk manusia yaitu adanya tangan dan jari-jari. Dan apabila

119
Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 193. Lihat juga Sahih Bukhari, Hadis Nomor 6512.
120
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), V : 372.
121
Ibid.
hal itu tidak ada, maka menurut beliau tidak ada tanggungan apa-apa baik itu

berupa gurrah ataupun diyat.

Sedangkan apabila seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin


keluar dalam keadaan hidup kemudian setelah itu mati, maka wajib dalam
hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas si ibu dan diyat atas si janin, karena
matinya si ibu merupakan salah satu sebab dari matinya janin. 122
Para ulama sepakat bahwa dalam hal janin yang mati setelah keluar
dari kandungan, selain diwajibkan diyat juga diwajibkan kifarah. Sedangkan
mengenai janin yang mati di dalam kandungan ibunya masih dipertanyakan,
namun as-Syafi’i dan lainnya berpendapat tetap diwajibkan kifarah, karena
menurutnya kifarah diwajibkan dalam perbuatan sengaja maupun karena
kesalahan.123

BAB III
DELIK PENGANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM
PIDANA POSITIF

A. Pengertian Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana

Positif

1. Pengertian Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif

Sebelum membahas mengenai pengertian penganiayaan, penyusun terlebih

dahulu akan mengemukakan apa yang dimaksud dengan delik. Dalam kamus

hukum delik diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.124 Dalam
122
Ibid., V : 373.
123
Ibid.
124
Andi Hamzah, Kamus Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 144.
hukum pidana Belanda selain memakai istilah strafbaar feit kadang juga

menggunakan kata delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Dan secara

umum oleh pakar hukum pidana disetujui penggunaan strafbaar feit. Prof. Simon

mendefinisikan strafbaar feit dengan suatu tindakan melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh orang-orang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya125. Dan oleh undang-undang telah

dinyatakan sebagi perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Utrecht

memandang rumusan yang dikemukakan oleh Simon itu merupakan rumusan

yang lengkap. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur strafbaar

feit meliputi:

a. suatu perbuatan

b. perbuatan itu diarang dan diancam dengan hukuman

c.perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan126

Oleh karena KUHP bersumber pada W.v.S Belanda, maka istilah yang

digunakan pun sama yaitu strafbaar feit. Namun dalam menterjemahkan istilah

strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia terdapat perbedaan. Sebagaimana yang

dikutip oleh Andi Hamzah, Moeljatno dan Roeslan Saleh menggunakan istilah

perbuatan pidana meski tidak untuk menterjemahkan strafbaar feit. Sedangkan

Utrecht menyalin istiah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana, di mana beliau

menterjemahkan secara harfiah menjadi peristiwa pidana.127 Meskipun terdapat

banyak perbedaan pengistilahan, namun yang jelas semua bersumber pada


125
Leiden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum (Jakarta: Grafika,
1991), hlm. 4.
126
Ibid.
127
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hm. 4.
strafbaar feit. Dan mengenai penggunaan istilah tersebut A.Z.Abidin sependapat

bahwa lebih baik digunakan istilah padanannya saja yang banyak digunakan yaitu

delik.128

Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu

suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang-undang. Pada KUHP hal

ini disebut dengan “penganiayaan”, tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti

penganiayaan tersebut. penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

dimuat artinya sebagai : “perlakuan yang sewenang-wenang...”129.

Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah

pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut “perasaan” atau

“batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang

berkenaan dengan tubuh manusia.

Mr. M.H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai

berikut :
Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. akan tetapi suatu perbuatan yang
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu
dilakukan untuk menambah keselamatan badan ...130

Kemudian ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”.131
Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah :
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan
semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu
tujuan yang diperkenankan.132

128

Ibid., hlm. 65.


129
Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
130
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana (Jakarta: Fasco, 1955), hlm. 174.
131

Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana ,
(Bandung: Armico, 1985), hlm. 83.
132
Ibid.
2. Pengertian Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh; perbuatan

(hal, dsb) membunuh.133 Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah

kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.134

Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai

delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan

timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-

undang.135

B. Klasifikasi Delik Penganiayaan dan Pembunuhan Menurut Hukum Pidana


Positif
1. Klasifikasi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut


“penganiayaan”. Penganiayaan yang diatur KUHP terdiri dari :
c. Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci

atas :

1. Penganiayaan biasa

2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat

3. Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati

d. Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP

133
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai
Pustaka, 1982), hlm.169.
134
P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, cet. 1 (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 1.
135
Ibid.
e. Penganiayaan berencana yang diatur oleh Pasal 353 KUHP, dengan

rincian sebagai berikut :

1. Mengakibatkan luka berat

2. Mengakibatkan orangnya mati

f. Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian

sebagai berikut :

1. Mengakibatkan luka berat

2. Mengakibatkan orangnya mati

g. Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP

dengan rincian sebagai berikut :

1. Penganiayaan berat dan berencana

2. Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya

mati.136

Selain daripada itu, diatur pula pada Bab XX (penganiayaan) oleh Pasal

358 KUHP, orang-orang yang turut pada perkelahian/penyerbuan/penyerangan

yang dilakukan oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan Pasal 170

KUHP sebab perkelahian pada umumnya adalah penggunaan kekerasan di muka

umum.

a. Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP

Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut :

(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua


tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.

136
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan
sengaja.
(5) Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum. 137

Yang termasuk Pasal 351 ayat (1), bukan penganiayaan ringan, bukan

penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak mengakibatkan luka berat atau

matinya orang.

Timbul kerancuan antara Pasal 351 ayat (1) dengan Pasal 352 KUHP,

sehingga dalam penerapannya timbul kerumitan, terutama karena pelanggaran

terhadap Pasal 352 KUHP lazim disebut dengan “Tipiring” (tindak pidana

ringan), yang berdasarkan KUHAP (Pasal 205(1)), langsung diajukan penyidik ke

Pengadilan Negeri, dengan demikian tidak melibatkan Penuntut Umum.138

Jika kita mencermati Pasal 351 KUHP, maka ada 3 (tiga) jenis

penganiayaan biasa, yaitu :

1. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau matinya orang,

2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat,

3. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.

Terhadap penerapan Pasal 351 ayat (3) yakni penganiayaan yang

mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit atau rumit, tetapi

pada prakteknya kadang-kadang sulit membedakan dengan Pasal 351 ayat (2),

misalnya :

137
Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
138
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 52.
A dianiaya oleh B yang mengakibatkan luka berat, tetapi karena dalam

waktu yang tidak begitu lama, ada yang mengangkut ke rumah sakit sehingga

dapat diselamatkan jiwanya, dengan,

N dianiaya oleh M, yang mengakibatkan luka berat, tetapi karena tidak

ada yang menolong, ia kehabisan darah, lalu meninggal.

Mengenai pengertian “luka berat” Pasal 90 KUHP merumuskan artinya.

“Luka berat” pada rumusan asli disebut “zwaar lichamelijk letsel” yang

diterjemahkan dengan “luka badan berat” yang selalu disingkat dengan luka berat.

Sebagian pakar menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata “berat” pada

luka karena pada umumnya kata berat dimaksudkan untuk menyatakan ukuran.139

Pada Pasal 90 KUHP “luka berat” diartikan sebagai berikut ;

Luka berat berarti:


1) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2) tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian;
3) kehilangan salah satu pancaindra;
4) mendapat cacat berat (verminking);
5) menderita sakit lumpuh;
6) terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7) gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.140

b. Penganiayaan ringan

Hal ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

139
Ibid., hlm. 53.
140
Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
(1) Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang
tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan
atau pekerjaan, dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan
hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-
banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh ditambah sepertiga
bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.141

c. Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu

Hal ini diatur oleh Pasal 353 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.142

Unsur “dengan rencana terlebih dahulu” menurut M.v.T.pembentukan

Pasal 340 diutarakan sebagai berikut :

Diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir dengan tenang.


Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berfikir sebentar saja sebelum atau
pada waktu ia akan melakukan kejahatan , sehingga ia menyadari apa yang
dilakukannya. 143

M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan arti “direncanakan lebih dahulu”

sebagai: “Bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk

mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”144

141

Ibid., hlm. 150.


142
Ibid., hlm. 150-151.
143
Leden Marpaung, Tindak Pidana, hlm. 31.
144

Ibid.
Sedangkan Mahkamah Agung berdasarkan putusan No. 717 K/Pid/1984

tanggal 20 September 1985 mengutarakan pendapat, antara lain sebagai berikut :

Tidak diperlukan suatu jangka waktu yang lama, antara saat perencanaaan
itu timbul dengan saat perbuatan dilakukan. Hal ini dapat disimpulkan dari
sifat dan cara perbuatan itu dilakukan serta alat yang digunakan untuk
melaksanakan perbuatan itu.145

d. Penganiayaan Berat

Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.146

e. Penganiayaan Berat Dan Berencana


Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP yang berbunyi ;

(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum


dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.147

f. Turut Perkelahian/Penyerbuan

Hal ini diatur oleh Pasal 358 KUHP yang bunyinya sebagai berikut ;

Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau


perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain dari
tanggungan masing-masing atas perbuatan khusus yang dilakukannya, ia
dihukum:
1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan,
jika penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat luka berat;
2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun jika
penyerangan atau perkelahian itu berakibat matinya orang.148

145

Ibid,. hlm. 56.


146

Moeljatno, KUHP., hlm. 151.


147
Ibid
.
148
Ibid., hlm. 152.
Rumusan Pasal 358 KUHP tersebut memuat 2 (dua) akibat yakni, luka

berat dan mati. Jika tidak timbul salah satu akibat tersebut maka perbuatan itu,

tidak dapat dikatakan melanggar Pasal 358 KUHP.

Selain itu, perlu diamati rumusan “....selain daripada tanggungannya

masing-masing bagi perbuatannya”, rumusan tersebut menyatakan bahwa Pasal

358 KUHP tersebut, semata-mata diperlakukan karena keikutsertaan saja, sedang

jika ia melakukan perbuatan maka hal tersebut tetap dipertanggungjawabkan

padanya. Misalnya: A, B, C, dan D melakukan penyerangan terhadap R dan P di

mana D hanya ikut saja, tanpa berbuat sesuatu. Dalam hal ini D dapat

dipersalahkan melanggar Pasal 358 KUHP.

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Pasal

358 KUHP adalah :

1. Si peserta dengan sengaja ikut dalam penyerangan/perkelahian;

2. Penyerangan/perkelahian, dilakukan lebih dari 2 (dua) orang;

3. Mengakibatkan luka parah atau mati.149

2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif

Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang

ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri

dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350.

Kejahatan terhadap nyawa orang lain terbagi atas beberapa jenis, yaitu :

a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)

149
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 62.
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak

pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara

lengkap dengan semua unsur-unsurnya.150

Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah : “barangsiapa sengaja

merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana

penjara paling lama lima belas tahun”.151 Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan

Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun. 152
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam
pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja

b. Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.

“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan

kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang

dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa

direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340

adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain

yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu.153

Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :

“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus

150
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 17.
151
Moeljatno, KUHP, hlm. 147.
152
Ibid.
153
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 30-31.
menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut,

dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk

menghilangkan nyawa orang lain.154

Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang

lain dari si pembunuhan. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi

soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk

juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.

Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal

ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang

lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai

kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku.155

Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa

sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh

diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung

jawabkan.156

b. Pembunuhan Dengan Pemberatan

Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang
dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika
tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada
hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum

154
Ibid., hlm. 31.
155
Ibid., hlm. 35.
156
M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), hlm. 122.
tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.157

Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti,


disertai,

atau didahului oleh kejahatan”.


Kata “diikuti” dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu
dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.
Misalnya :

A hendak membunuh B; tetapi karena B dikawal oleh P maka A

lebih dahulu menembak P, baru kemudian membunuh B.

Kata “disertai” dimaksudkan, disertai kejahatan lain; pembunuhan itu

dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu.

Misalnya :
C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka C lebih dahulu membunuh
penjaganya.

Kata “didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar

pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari

kejahatan.

Misalnya :

D melarikan barang yang dirampok. Untuk menyelamatkan barang yang

dirampok tersebut, maka D menembak polisi yang mengejarnya.158

Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang memberatkan


dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif : 1) dengan sengaja

2) dengan maksud
157
Moeljatno, KUHP., hlm.147.
158
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 30.
b. Unsur obyektif : 1) menghilangkan nyawa orang lain

2) diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana

lain

3) untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari

tindak pidana yang akan, sedang atau telah

dilakukan

4) untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri

atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang

bersangkutan

5) untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda

yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam

ia/mereka kepergok pada waktu melaksanakan

tindak pidana.159

Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai


maksud pribadi dari pelaku; yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan
itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti
dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah
terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum dan
harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan Pasal

339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak

pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaran-pelanggaran dan

bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang diklasifikasikan dalam

kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan “lain-lain peserta” adalah

mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni mereka yang

159
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 37.
melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), yang

menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak pidana yang

bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta melaksanakan

tindak pidana tersebut (medepleger).160

Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan


pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak
pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari pembunuhan
biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh
tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka dapat
memperingan atau bahkan menghilangkan hukuman.
c. Pembunuhan Berencana

Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa
orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.161

Pengertian “dengan rencana lebih dahulu” menurut M.v.T. pembentukan Pasal 340 diutarakan, antara lain :

“dengan rencana lebih dahulu” diperlukan saat pemikiran dengan tenang


dan berfikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berpikir
sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan kejahatan
sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.162

M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu” antara lain

sebagai : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk

mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang.”163

Sedangkan Chidir Ali, menyebutkan:

160
Ibid., hlm. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan
Gabungan Tindak Pidana, (Bandung: Armico, 1985), hlm.9.
161
Moeljatno, KUHP., hlm. 147.
162
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.31.
163
Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955)
Yang dimaksud dengan direncanakan lebih dahulu, adalah suatu saat untuk
menimbang-nimbang dengan tenang, untuk memikirkan dengan tenang.
Selanjutnya juga bersalah melakukan perbuatannya dengan hati tenang.164

Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana


adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan

terlebih dahulu

b. Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.165

Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan
sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya,
maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (kinder-doodslag)

Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada


ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut
ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan
anak dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.166

Unsur pokok dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa seorang ibu dengan

sengaja merampas nyawa anaknya sendiri pada saat ia melahirkan anaknya atau

tidak berapa lama setelah anak dilahirkan. Sedangkan unsur yang penting dalam

rumusan Pasal tersebut adalah bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas

suatu alasan (motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas

kelahiran anaknya.167

164
Chidir Ali, Responsi., hlm. 74.
165
P.A.F. Lamintang, Delik-delik., hlm. 44.
166
Moeljatno, KUHP., hlm.147.
167
Chidir Ali, Respons., hlm. 76.
Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu adalah

anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga pembunuhan tersebut

haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum lama setelah dilahirkan. Apabila

anak yang dibunuh itu telah lama dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak

termasuk dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338

KUHP.

e. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (kinder-moord)

Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Seorang ibu dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil
sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak,
menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama
kemudian daripada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.168

Pasal 342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP bedanya adalah bahwa
Pasal 342 KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum
melahirkan bayi tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara
melakukan pembunuhan itu dan mempersiapkan alat-alatnya. Tetapi
pembunuhan bayi yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus
sehingga sangat rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341 KUHP
khususnya dalam pembuktian karena keputusan yang ditentukan hanya si ibu
tersebut yang mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut
telah mempersiapkan alat-alatnya.
f. Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri

Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu
sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun.169

Pasal 344 ini membicarakan mengenai pembunuhan atas permintaan


dari yang bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan
sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu permintaanya tidak
secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan saja, maka dalam hal ini
168
Moeljatno, KUHP., hlm.147-148.
169
Ibid.
tidak ada pelanggaran atas Pasal 344, karena belum memenuhi perumusan dari
Pasal 344, akan tetapi memenuhi perumusan Pasal 338 (pembunuhan biasa).
Contoh dari pelaksanaan Pasal 344 KUHP adalah jika dalam sebuah
pendakian (ekspedisi), dimana kalau salah seorang anggotanya menderita sakit
parah sehingga ia tidak ada harapan untuk meneruskan pendakian mencapai
puncak gunung, sedangkan ia tidak suka membebani kawan-kawannya dalam
mencapai tujuan; di dalam hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.
g. Penganjuran Agar Bunuh Diri

Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk
itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau
jadi orangnya bunuh diri.170

Yang dilarang dalam Pasal tersebut, adalah dengan sengaja menganjurkan


atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk bunuh diri dan kalau
bunuh diri itu benar terjadi.
Jadi seseorang dapat terlibat dalam persoalan itu dan kemudian
dihukum karena kesalahannya, apabila orang lain menggerakkan atau
membantu atau memberi daya upaya untuk bunuh diri; dan baru dapat
dipidana kalau nyatanya orang yang digerakkan dan lain sebagainya itu
membunuh diri dan mati karenanya.
Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende voor-
waarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus dipenuhi agar
perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.171
h. Pengguguran Kandungan

Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus


provocatus” yang dalam Kamus Kedokteran diterjemahkan dengan :
“membuat keguguran”. Pengguguran kandungan diatur dalam KUHP oleh
Pasal-Pasal 346, 347, 348, dan 349. Jika diamati Pasal-Pasal tersebut maka
akan dapat diketahui bahwa ada tiga unsur atau faktor pada kasus
pengguguran kandungan, yaitu ;
a. janin

b. ibu yang mengandung

170
Ibid.
171
Chidir Ali, Responsi., hlm. 76.
c. orang ketiga, yaitu yang terlibat pada pengguguran tersebut.172

Tujuan Pasal-Pasal tersebut adalah untuk melindungi janin.


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti “janin” sebagai (1)
bakal bayi (masih di kandungan (2) embrio setelah melebihi umur dua bulan.
Perkataan “gugur kandungan” tidak sama dengan “matinya janin”.
Kemungkinan, janin dalam kandungan dapat dibunuh, tanpa gugur. Namun
pembuat undang-undang dalam rumusan KUHP, belum membedakan kedua
hal tersebut.173
Pengaturan KUHP mengenai “pengguguran kandungan” adalah
sebagai berikut :
1) Pengguguran Kandungan Oleh si Ibu

Hal ini diatur oleh Pasal 346 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
Perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya
atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.174

2) Pengguguran Kandungan oleh Orang Lain Tanpa Izin

Perempuan yang Mengandung

Hal ini diatur oleh KUHP Pasal 347 yang bunyinya sebagai berikut :
(1)Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.175

3. Pengguguran Kandungan dengan Izin Perempuan yang

Mengandungnya

Hal ini diatur oleh Pasal 348 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

172
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm.46.
173
Ibid., hlm.47.
174
Molejatno, KUHP., hlm. 148.
175

Ibid.
(1)Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan
(2)Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun176

C. Sanksi Delik Penganiayaan dan Pemunuhan Menurut Hukum Pidana

Positif

Dalam perilaku sosial, tindak kejahatan merupakan prototype dari prilaku


menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang dari
aturan-aturan pengertian normative atau dari harapan-harapan lingkungan
sosial yang bersangkutan.177 Dan salah satu cara untuk mengendalikan adalah
dengan sanksi pidana.
Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tuuan sanksi
pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu sendiri
maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. Selain itu
juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan
pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.178
Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan
bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana
terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofdstraffen).
1) Hukuman mati.

2) Hukuman penjara.

3) Hukuman kurungan.

4) Hukuman denda.

176
Ibid., hlm. 149.
177
Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, cet. ke-1 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), hlm. 35.
178
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Pradya
Paramita, 1989), hlm. 16.
5) Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun

1946 Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15

November 1946)179

b. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)


1) Pencabutan beberapa hak tertentu.

2) Perampasan barang-barang tertentu.

3) Pengumuman putusan Hakim.

Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu


kelihatannya sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan benar-benar, maka
kesederhanaanya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang
kelihatannya sederhana dalam pelaksanaanya kurang memperhatikan sifat
obyektifitas hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku
tindak pidananya saja. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya
perbedaan pendapat antar para ahli hukum.
a. Hukuman Pokok.
1. Hukuman mati.
Sejak hukuman pidana berlaku di Indonesia yang kemudian
dicantumkan sebagai Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie180,
tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya masyarakat
memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan
terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum. Dengan suatu putusan
yang kemudian harus dilaksanakan hukuman mati bagi pelaku tindak
pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang diancam dengan hukuman
sama, maka diharapkan hendaknya masyarakat menjadi takut dan jangan
sampai melakukan tindak pidana pembunuhan atau kejahatan lainnya yang
dapat dihukum mati. Di samping itu suatu pendirian “dalam
179
Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-
peraturan Hukum Pidana, Jilid I (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hlm. 236-238.
180
Pada zaman pendudukan Jepang aturan hukum pidana yang berlaku sebelumnya
dinyatakan tetap berlaku, berarti seluruh ketentuan hukum yang tertera di dalam Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie tetap berlaku saat itu. Dan setelah Indonesia merdeka juga
tetap berlaku aturan hukum pidana Belanda itu –berdasarkan Pasal 11 Aturan Peralihan UUD
1945- ; tetapi pada tahun 1946 melalui UU No. 1 Tahun 1946 Wetboek van Strafrecht Voor
Nederlandsch Indie setelah mengalami perubahan seperlunya menjadi Wetboek van Strafrecht
Voor Indonesie dinyatakan berlaku, setelah Republik Indonesia Serikat menjadi NKRI lagi, maka
melalui UU No. 1 Tahun 1958 yang berlaku sejak tanggal 29 September 1958 menyatakan
berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah RI
dan mengubah KUHP.
mempertahankan tertib hukum dengan menghukum mati seseorang karena
tingkah lakunya yang dianggap membahayakan” ada di tangan pemerintah.
Karena itu hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan
rasa keadilannya.
Di Indonesia, sistem hukumannya masih mempertahankan
hukuman mati, hal ini tentu mempunyai pertimbangan tersendiri. Dan
walaupun pada tahun 1981 pernah dipermasalahkan oleh para ahli hukum
tentang hukuman mati itu, tetapi sampai sekarang masih tetap
dilaksanakan. Hal ini tidak berarti bahwa di Indonesia ada gejala “homo
homini lupus”, melainkan kejahatan terhadap negara perlu diberi
pertanggungjawaban yang seimbang.
Pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam Pasal 11 KUHP
yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat
gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada
leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.181

2. Hukuman penjara.
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan
para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan Hakim.
Tempat terhukum yang ada sampai sekarang merupakan peninggalan
penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari
kamar-kamar yang satu sama lain tidak dapat berhubungan. Fungsi kamar
untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat berkomunikasi dengan
terhukum lainnya dan kelihatan seperti orang yang dikucilkan dari
pergaulan sosial. Dengan jalan demikian diharapkan terhukum kelak kalau
selesai menjalankan hukumannya akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi
melakukan tindak pidana kejahatan. Tetapi tindakan seperti itu tidak
bertujuan mendidik secara positif, sebab secara psikologis dapat
menimbulkan kemungkinan-kemungkinan psikis yang berakibat sakit
mental, kejahatan besar atau kejahatan kambuhan.
Dari beberapa kemungkinan yang dapat terjadi inilah, yang berarti
tidak ada perbaikan tingkah laku, maka pemerintah Indonesia mengubah
fungsi penjara menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”. Artinya para
terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya
sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga di samping lamanya
menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur
seperti kewajiban mengikuti bimbingan mental rohani dan ketrampilan.
3. Hukuman kurungan.
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara, hanya
perbedaanya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan ancaman
hukumannnya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa lamanya

181
Moeljatno, KUHP., hlm. 6.
kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari satu tahun
empat bulan.
4. Hukuman denda.
Pidana denda merupakan kewajiban membayar sejumlah uang,
sebagaimana telah ditentukan di dalam putusan Hakim yang dibebankan
kepada terpidana atas pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukannya.
Pidana denda ini diancamkan terhadap hampir semua pelanggaran
(overtredingen) yang tercantum dalam buku III KUHP dan juga terhadap
kejahatan-kejahatan dalam buku II KUHP yang dilakukan dengan tidak
sengaja. 182
Ancaman pidana denda ini oleh pembuat undang-undang hukum
pidana tidak ditentukan batas maksimum secara umum, tetapi ditentukan
hanya batas minimumnya saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30
ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen (dikalikan 15 menurut Undang-
undang No. 18/Prp/1960)183. Dalam rancangan KUHP yang baru minimum
pidana denda ini ditentukan sebesar paling sedikit lima ratus rupiah.184
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam
Pasal 30-33 KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus terhukum,
maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya.
Dilihat dari pelaksanaan pembayaran yang demikian akan mengaburkan
sifat hukumannya.
5. Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini dikenal dalam KUHP sesudah tahun 1946
berdasarkan Undang-undang N0. 20 Tahun 1946 (Berita Negara RI Tahun
II No. 24 tangga 1 dan 15 November 1946), dan merupakan tambahan
pidana pokok pada Pasal 10 KUHP.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 1946 tersebut
menyatakan bahwa: "Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang
patut dihormati, maka Hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan
(fertungshaft)." Pidana tutupan ini tidak akan dijatuhkan apabila Hakim
berpendapat perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan
perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian rupa,
sehingga terhadap perbuatan ebih tepat bila dijatuhi dengan pidana penjara
(Pasal 2 ayat (2)). Pelaksanaan pidana tutupan dan segaa sesuatunya yang
perlu untuk menjalankan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 itu diatur
oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang diundangkan pada

182
Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum
Pidana Kodifikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 95.
183
Lihat Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-346.
184
Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana.,hlm. 95.
tanggal 5 Mei 1948 yang dinamakan dengan Peraturan Pemerintah tentang
Pidana Tutupan.185
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1946 dan Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang dimaksud rumah tutupan itu bukan
suatu penjara biasa, dan suatu tempat yang lebih baik daripada penjara
biasa sesuai dengan oang yang dijatuhi pidana tutupan bukan orang atau
terdakwa biasa, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa bukan
kejahatan biasa melainkan pada umumnya para pelaku kejahatan politik.186
b. Hukuman Tambahan.

Menurut aturan umum kodifikasi hukum pidana tambahan ini


dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sesuai dengan kata
"tambahan" yang diletakkan di belakang kata pidana, maka pidana
tambahan itu hanya dapat ditetapkan di samping pidana utama atau pidana
pokok. Apabila Hakim tidak dapat menetpkan suatu pidana pokok dengan
sendirinya tidak dapat pula menetapkan pidana tambahan. Penjatuhan
pidana tambahan ini pada dasarnya bersifal fakultatif, dapat dijatuhkan
dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-undang, tetapi tidaklah
merupakan suatu keharusan.
Tujuan diadakannya pidana tambahan adalah preventif khusus.
Sifat preventif khusus ini kadang-kadang begitu besarnya, sehingga
sifatnya sebagai pidana lalu hilang sebagaimana ternyata dalam hal
penyertaan yang kadang-kadang dalam UU tidak merupakan tambahan
lagi, melainkan suatu tindakan tambahan.
Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman
pokok kalau dalam putusan Hakim ditetapkan hukuman tambahannya.
Misalnya, seorang warganegara Indonesia yang melakukan tindak pidana
tertentu oleh Hakim diputus dengan menjalankan hukuman penjara dan
dicabut hak pilihnya dalam Pemilihan Umum yang akan datang.
1. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Pidana tambahan pencabutan hak oleh Undang-undang Hukum


Pidana ditegaskan bahwa pencabutan tersebut hanya terhadap beberapa
hak tertentu saja. Jika diartikan dicabut semua hak itu berarti kehilangan
kesempatan hidup. Pencabutan semua hak itu bertentangan dengan
ketentuan dalam Pasal 3 KUH Perdata yang menyatakan : "Tiada
hukuman yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan
semua hak-hak sipil (beenerlei straf den burgerlijken dood of het verlies
van alle burgerlijke regten ten gevolve).187
185
Ibid., hlm. 98.
186

Ibid., hlm. 99.


187
Ibid., hlm. 100-101.
Pencabutan hak-hak tertentu itu tidak dengan sendirinya karena
penjatuhan pidana pokok, melainkan harus dengan suatu putusan Hakim
dan tidak untuk selama-lamanya.
Hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP
Sedangkan untuk lamanya pencabutan adalah sesuai dengan Pasal 38 ayat
(1) dan (2) KUHP.
2. Perampasan Barang-Barang Tertentu

Pidana tambahan terhadap perampasan barang-barang tertentu


termasuk barang milik terpidana. Perampasan milik terpidana merupakan
pengurangan harta kekayaan terpidana, karena meskipum perampasan
tersebut hanya terhadap barang-barang tertentu milik terpidana, namun
dengan dirampasnya barang-barang tertentu itu berarti harta kekayaan
terpidana menjadi berkurang.
Di antara pidana-pidana tambahan, jenis pidana tambahan perampasan
barang inilah yang paling banyak atau paling sering dijatuhkan oleh
Pengadilan, karena sifatnya sebagai tindakan prevensi, atau imperative,
atau fakultatif.
3. Pengumuman Keputusan Hakim

Sesuai dengan sifat kejahatan atau keadaan yang menjadi obyek


kejahatan terpidana dapat dikenai tambahan pengumuman putusan Hakim.
Pidana tambahan tentang pengumuman keputusan Hakim ini di Indonesia
jarang sekali dijalankan karena ketentuan bahwa keputusan Hakim
Pengadilan dinyatakan dengan pintu terbuka untuk umum, dan diucapkan
oleh Ketua di muka anggota-anggota yang turut memeriksa dan
memutuskan perkara itu serta Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri
dan Penasihat.
Maksud diadakannya "Pengumuman Keputusan Hakim" dalam bab
tentang pidana tambahan ini adalah publikasi ekstra, misalnya di dalam
surat kabar, dibuat plakat yang ditempelkan pada dinding gedung
pemerintahan, gedung bioskop, dan gedung lain yang biasanya dikunjungi
oleh umum, pengumuman melalui siaran radio, televisi dan lain
sebagainya. Biaya untuk publikasi ekstra ini dibebankan kepada terpidana
yang ditentukan pembayarannya.188

1. Sanksi Delik Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif


Sanksi atau ancaman pidana yang dimuat pada KUHP merupakan
sanksi sejak tahun 1915. Adapun penerapan sanksi terhadap delik
penganiayaan yang termuat dalam KUHP, yaitu yang tercantum dalam Pasal
351-358 adalah sebagai berikut :
188
Ibid., hlm. 106-107.
a. Penganiayaan berdasarkan Pasal 351 KUHP, apabila tidak

mengakibatkan luka berat dan korban tidak mati dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda

sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, apabila korban luka berat

dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun,

sedangkan apabila meyebabkan korban mati dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.

b. Penganiayaan ringan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan

untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya

tiga ratus rupiah.

c. Penganiayaan berencana yang tidak mengakibatkan luka berat atau

mati dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun,

apabila mengakibatkan luka berat dihukum dengan hukuman penjara

selama-lamanya tujuh tahun, dan apabila mengakibatkan kematian

dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.

d. Penganiayaan berat yang mengakibatkan luka berat dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun dan apabila

mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya sepuluh tahun.

e. Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibtkan luka berat

dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun


dan apabila mengakibatkan kematian dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya lima belas tahun.

f. Turut dalam perkelahian, apabila mengakibatkan luka berat dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan

dan apabila mengakibatakan kematian dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya empat tahun.

Khusus bagi tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan


orangnya mati, tidak dapat dihindarkan untuk tidak mendakwakan Pasal 338
KUHP bahkan Pasal 340 KUHP karena permasalahan adalah pada unsure
"dolus" atau "bentuk kesengajaan" terutama dengan bentuk "dolus eventualis".
Apabila dibuat sebuah daftar mengenai jenis penganiayaan, pasal-pasal
yang terkait, akibat yang ditimbulkan, serta besarnya sanksi, maka akan
diperoleh hasil sebagai berikut :
N Jenis Pas Akibat Sanksi
o Penganiayaan al
1 Penganiayaan 351 - tidak luka berat dan tidak mati - 2 tahun
biasa 8 bulan
- luka berat - 5 tahun
- kematian - 7 tahun
2 Penganiayaan 352 - tidak menjadikan sakit... -3
ringan bulan
3 Penganiayaan 353 - tidak luka berat / mati -4
berencana tahun
- luka berat
-7
- kematian
tahun
-9
tahun
4 Penganiayaan 354 - luka berat -8
berat tahun
- kematian
- 10
tahun
5 Penganiayaan 355 - luka berat - 12
berat dan tahun
- kematian
berencana
- 15
tahun
6 Turut 358 - luka berat - 2 tahun
perkelahian 8 bulan
- kematian - 4 tahun

2. Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif

Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab


XIX buku II adalah sebagai berikut :
a. Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-

lamanya lima belas tahun

b. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara

seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun

c. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara

seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun

d. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara

selama-lamanya tujuh tahun

e. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan

hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun

f. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh

diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun

g. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh

diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-

lamanya empat tahun

h. Pengguguran kandungan
1. Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman

penjara selama-lamanya empat tahun

2. Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan

yang mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-

lamanya :

- dua belas tahun

- lima belas tahun, jika perempuan itu mati

3. Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang

mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-

lamanya :

- lima tahun enam bulan

- tujuh tahun, jika perempuan itu mati

Apabila ketentuan di atas juga dibuat sebuah daftar, maka hasilnya adalah
sebagai berikut :
No Jenis Pembunuhan Pasal Akibat Sanksi
1 Pembunuhan biasa 338 kematian - 15 tahun
2 Pembunuhan dengan 339 kematian - seumur hidup
pemberatan atau 20 tahun
3 Pembunuhan 340 kematian - hukuman mati
berencana atau seumur
hidup atau 20
tahun
4 Pembunuhan bayi 341 kematian - 7 tahun
oleh
Ibunya
5 Pembunuhan bayi 342 kematian - 9 tahun
oleh
Ibunya secara
berencana
6 Pembunuhan atas 344 kematian - 12 tahun
Permintaan sendiri
7 Penganjuran agar 345 kematian - 4 tahun
bunuh
Diri
8 Pengguguran
kandungan : 346 -Kematian bayi - 4 tahun
- oleh si Ibu 347 -Kematian bayi - 12 tahun
- oleh orang lain -Kematian ibu - 15 tahun
tanpa izin
perempuan yang
348 -Kematian bayi - 5 tahun 6
mengandung
bulan
-Kematian ibu
- oleh orang lain - 7 tahun
dengan
izin perempuan
yang
mengandung

Adapun alasan-alasan yang menghilangkan sifat tindak pidana


dibedakan dalam dua kategori, yaitu :
a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana,
adalah :
1) Keperluan membela diri atau noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP)

2) Melaksanakan ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP)

3) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa

yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP)

Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu


tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.
b. Alasan yang memaafkan pelaku, hal ini termuat dalam :
1) Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat

dipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat


dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena

penyakit (ziekelijke storing)

2) Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan

perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana

3) Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang

melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa

yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak

dipidana.

4) Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan terhapusnya pidana karena

perintah jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad

baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan

pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaanya.

Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi


pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap
nyawa.

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN DELIK PENGANIAYAAN TERHADAP IBU


HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN JANIN ANTARA
HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

Untuk mengetahui bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan hukum positif mengenai delik
penganiayaan yang masuk ke dalam sebuah kasus penganiayaan terhadap ibu hamil sehingga janin yang dikandungnya
mati, maka dalam bab ini akan dianalisis mengenai hal-hal yang berkaitan, baik mengenai tindak pidana penganiayaan itu
sendiri sehingga mengakibatkan kematian janin maupun berkenaan dengan sanksi hukuman yang harus ditanggung oleh
pelaku penganiayaan tersebut dilihat dari dua sistem hukum yang berbeda yaitu hukum pidana Islam dan hukum pidana
positif. Sehingga dengan analisis ini dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum
pidana positif dalam menangani kasus tersebut.

A. Analisis Dari Segi Tindak Pidana

1. Persamaan
Berdasar pada pembahasan Bab II dan Bab III, penyusun menyimpulkan bahwa antara hukum pidana Islam dan
hukum pidana positif sama-sama melarang adanya perbuatan penganiayaan serta pembunuhan dan telah mengatur
keduanya dengan memberikan ancaman hukuman tertentu. Kedua sistem hukum tersebut juga pada dasarnya sama dalam
merumuskan delik penganiayaan serta delik pembunuhan, yaitu penganiayaan merupakan suatu perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit terhadap orang lain secara melawan hukum sedangkan pembunuhan dirumuskan sebagai tindakan
yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau jiwa orang lain tanpa adanya hak yang sah.

Dalam hukum pidana Islam penganiayaan terhadap ibu yang sedang hamil

sehingga janin yang ada dalam kandungannya itu mati mendapatkan satu macam

tindak pidana yang berlanjut, yaitu tindak pidana penganiayaan yang

mengakibatkan tindak pidana pembunuhan, demikian juga dalam hukum pidana

positif.

Dalam mengartikan sebuah delik atau tindakan yang dapat dipidana

haruslah ada unsur-unsur tertentu di dalamnya, unsur-unsur tersebut menurut

hukum positif adalah:

i. Suatu perbuatan

j. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman

k. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan189
Unsur-unsur yang ada dalam hukum pidana positif tersebut sama dengan unsur-unsur yang ada dalam hukum pidana Islam,
unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :
a. Unsur formil, yaitu adanya ketentuan atau aturan yang menunjukkan larangan terhadap suatu perbuatan yang
diancam hukuman.
b. Unsur materiil, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum baik itu perbuatan nyata-nyata berbuat atau
sikap tidak berbuat
c. Unsur moril, yaitu unsur yang terdapat pada pelaku. Pelaku jarimah haruslah mukallaf, yaitu orang yang
dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang dilakukannya.190

189
Leiden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum (Jakarta: Grafika,
1991), hlm. 4.
190
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
hlm. 9.
Berkenaan dengan kasus yang dikemukakan di sini, yaitu tentang

penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin, dapat

dilihat bahwa dalam kasus tersebut perbuatan yang dilakukan oleh pelaku jelas

merupakan sebuah delik. Baik itu dipandang dari segi hukum pidana Islam

maupun dari segi hukum pidana positif. Dalam kasus tersebut terdapat satu

macam delik yang mengakibatkan dua peristiwa pidana, yang pertama adalah

delik penganiayaan yang ditujukan terhadap si ibu dan yang kedua adalah

kematian janin sebagai akibat dari penganiayaan tersebut.

Di samping hal tersebut, kasus tersebut telah lengkap mengandung unsur-

unsur yang telah disebutkan di atas. Sehingga apabila ada orang yang melakukan

perbuatan itu dia dapat dikenakan pidana sesuai dengan aturan yang telah

ditentukan masing-masing sistem hukum.

2. Perbedaan
Kedua sistem hukum tersebut sama dalam memandang bahwa dari segi

tindak pidana perbuatan yang dilakukan dalam kasus itu merupakan delik

penganiayaan serta delik pembunuhan, akan tetapi dalam merumuskan jenis dari

tindak pidana tersebut ada beberapa perbedaan.

Hukum pidana Islam membagi penganiayaan menjadi berbagai jenis.

Pembagian tersebut berdasar bentuk perbuatan serta akibat yang ditimbulkan.

Sedangkan dalam tindak pidana pembunuhan hukum pidana Islam membaginya

berdasarkan sifat dari perbuatan tersebut. Secara garis besar penganiayaan dalam
hukum Islam terbagi atas jinayah al-atraf, asy-syijjaj, serta al-jirah, sedangkan

pembunuhan terbagi atas qatl al-‘amd, qatl syibh ‘amd serta qatl khata’.

Dalam hukum pidana positif pembagian keduanya berdasarkan atas berat

ringannya tindakan, akibat yang ditimbulkan serta unsur-unsur lain yang ada,

seperti adanya perencanaan terlebih dahulu dan lain sebagainya.

Kasus yang dikemukakan dalam pembahasan kali ini dilihat dari segi

tindak pidana menurut hukum pidana Islam belum dapat dispesifikkan ke dalam

jenis mana, hal tersebut hanya dapat dilihat dari akibat yang diderita oleh si ibu,

apakah itu berupa luka-luka, terpotong anggota tubuhnya, atau luka dalam.

Sehingga sanksi yang harus diterima oleh pelaku juga tergantung dari akibat yang

diderita si korban.

Kemudian mengenai tindak pidana pembunuhannya pun menurut hukum

pidana Islam dalam mengkatagorikan jenisnya juga harus melihat sifat dari

pembunuhan tersebut apakah sengaja untuk membunuh si janin, ataukah hanya

kesalahan saja. Setelah itu baru dapat ditentukan jenis hukuman yang harus

diterima oleh pelaku.

Sedangkan dalam hukum pidana positif, apabila mencermati KUHP lebih

dalam terdapat pasal yang menyinggung tentang gugurnya janin dalam

kandungan, yaitu pada Pasal 90 KUHP tentang pengertian “luka berat”, dalam

pasal tersebut disebutkan,

Luka berat berarti:


1) jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2) tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian;
3) kehilangan salah satu pancaindra;
4) mendapat cacat berat (verminking);
5) menderita sakit lumpuh;
6) terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7) gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan 191

Dalam rumusan luka berat yang paling bawah disebutkan bahwa yang termasuk
dalam katagori luka berat adalah gugurnya atau matinya kandungan seseorang
perempuan. Hal tersebut apabila kita tarik ke dalam kasus yang penyusun
kemukakan dapat diartikan bahwa kasus tersebut merupakan kasus penganiayaan
yang mengakibatkan luka berat pada korban, dalam hal ini adalah matinya janin
yang dikandung oleh si korban. Kemudian jika kita lihat dari pembagian jenis
penganiayaan menurut KUHP terdapat beberapa jenis penganiayaan yang
mengakibatkan luka berat, yaitu penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351, 353,
354, 355 dan juga 358 KUHP.
Untuk mengetahui penganiayaan dalam kasus tersebut masuk pada jenis

yang mana perlu diketahui unsur-unsur yang menyertainya, seperti pada Pasal 353

dan 355 KUHP, yang berbunyi:

(2) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.192

Sedangkan pasal 355 berbunyi:

(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum


dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.193

Maka harus ada unsur perencanaan terlebih dahulu dalam penganiayaan itu atau

pada Pasal 358 KUHP yang berbunyi:

191
Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16 (Jakarta:Bumi
Aksara, 1990), hlm. 44-45.
192
Ibid. hlm. 150-151.
193
Ibid.
Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang,
maka selain dari tanggungan masing-masing atas perbuatan khusus yang dilakukannya, ia dihukum:

1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan,


jika penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat luka berat;
2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun jika
penyerangan atau perkelahian itu berakibat matinya orang.194

Maka harus ada sebuah peristiwa perkelahian atau penyerbuan sehingga

mengakibatkan luka berat. Apabila perbuatan tersebut dapat dimasukkan ke dalam

salah satu jenis penganiayaan di atas, maka tindak pidana pembunuhan dianggap

tidak ada.

Sedangkan apabila matinya janin itu dikatagorikan pada pembunuhan,

maka pasal yang berkenaan adalah Pasal 347 KUHP tentang pengguguran janin

tanpa persetujuan si ibu. Dalam pasal tersebut dijelaskan:

(2) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati


kandungan seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(3) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun195

Dalam pasal tersebut tidak disebutkan bentuk dari perbuatannya,


apakah itu berupa penganiayaan atau yang lainnya, yang menjadi pokoknya
adalah bentuk kesengajaan dari pengguguran kandungan itu sendiri yang tanpa
persetujuan si ibu.

B. Analisis Dari Segi Pidana

1. Persamaan

Baik di dalam hukum pidana Islam maupun pidana positif telah

dirumuskan tentang sanksi hukuman bagi setiap perbuatan yang melawan hukum.

194
Ibid. hlm. 152.
195
Ibid., hlm. 148.
Mengenai delik penganiayaan terhadap ibu hamil sehingga mengakibatkan

kematian janin yang dikandung apabila ditinjau dari kedua sistem hukum, hukum

pidana Islam dan hukum pidana positif pada dasarnya hanya ada sedikit

persamaan akibat hukumnya. Persamaan tersebut terletak pada masalah pemberian

pidana serta tujuan dari diadakannya sanksi pidana, yaitu bahwa dengan adanya

hukuman atau sanksi pidana sama-sama bertujuan untuk menegakkan hukum dan

memberikan perlindungan serta pengayoman kepada masyarakat serta individu.

Dalam hukum pidana Islam delik penganiayaan merupakan suatu delik

dengan ancaman sanksi tertentu yang telah ditetapkan. Delik tersebut ketentuan

hukumnya berdasar pada al-Qur’an juga pada as-Sunnah, ketentuan yang ada

dalam al-Qur'an adalah pada surat an-Nisa ayat 92 yang berbunyi,

‫ ومن قتل مؤمناخطأ فتحريررقبة‬,‫وماك ان ملؤمن ان يقتل مؤمنا االخط أ‬


...‫مؤمنة ودية مسلمة اىل أهله إال أن يصدقوا‬
196

Sedangkan hadis yang menerangkan mengenai ketentuan hukum delik

penganiayaan atau dalam istilah pidana Islam sebagai jarimah/jinayah terhadap

selain jiwa ada beberapa jenis, di antaranya adalah sebagai berikut :

- ‫ وىف الشفتني‬,‫ وىف اللسان الدية‬,‫ويف األنف إذا أوعب جدعه الدية‬
‫ وىف العينني‬,‫ وىف الصلب الدية‬,‫و ىف الذكر الدية‬,‫ وىف البيضتني الدية‬,‫الدية‬
‫ وىف الرجل الواحدة نصف الدية‬,‫الدية‬ 197

196
An-Nisa (4) : 92.
197
Ibn Abdus samad at-Tamimi as-Samarqandi ad-Darami, Sunan ad-Darimi, Kitab ad-
Diyah, Bab Kam ad-Diyah min al-Ibili (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). II : 192-193. Hadis Nomor 2260.
Riwayat Umar ibn Hazm dari Bapaknya dari Kakeknya.
- ‫ عشر من اإلبل لكل أصبع‬,‫دية أصابع اليدين أوالرجلني سواء‬ 198

Sedangkan dalam KUHP ketentuan hukum mengenai delik penganiayaan ini tertuang dalam Pasal 351-358 KUHP, hal ini
tepat berada di belakang Pasal 338-350 KUHP yang menerangkan masalah pembunuhan.

Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut :

(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua


tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan
sengaja.
(5) Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.199

Pasal 352 KUHP bunyinya sebagai berikut :

(1) Lain daripada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356 penganiayaan yang
tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan
atau pekerjaan, dihukum sebagai penganiayaan ringan dengan
hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-
banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman itu boleh ditambah sepertiga
bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya atau yang di bawah perintahnya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.200

Pasal 353 KUHP bunyinya sebagai berikut :


(1) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
tujuh tahun.

198
At-Turmuzi, al-Jami’ as-Sahih wa huwa Sunan at-Tirmizi, Kitab ad-Diyah ‘an
Rasulillah, Bab Ma Ja’a fi Diyat al-Asabi’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1988). IV: 8. Hadis Nomor 1311.
Riwayat Ikrimah dari ibn Abbas.
199
Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
200
Ibid.
(3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya sembilan tahun.201

Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.202

Pasal 355 KUHP yang berbunyi ;

(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum


dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.203

Pasal 358 KUHP yang bunyinya sebagai berikut ;


Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang,
maka selain dari tanggungan masing-masing atas perbuatan khusus yang dilakukannya, ia dihukum:

1e. dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan,


jika penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat luka berat;
2e. dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun jika
penyerangan atau perkelahian itu berakibat matinya orang.204

Pemberian pidana atau sanksi dalam hukum pidana Islam dapat dikenakan

apabila pelaku penganiayaan ataupun pembunuhan telah memenuhi kualifikasi

dan syarat-syarat dari suatu delik penganiayaan atau pula delik pembunuhan,

demikian juga berlaku dalam hukum pidana positif.

2. Perbedaan

201
Ibid. hlm. 150-150.
202
Ibid. hlm. 151.
203
Ibid.
204
Ibid. hlm. 152.
Ditinjau dari hukum pidana Islam, secara umum ketentuan hukuman bagi

pelaku penganiayaan yang tertuang dalam al-Qur'an maupun beberapa hadis yang

telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa jenis hukuman untuk delik penganiayaan, yang besar kecilnya

tergantung dari tingkat penganiayaan itu sendiri. Hukuman tersebut adalah berupa

qisas, diyat, ta’zir serta kifarah. Penetapan dari sanksi tersebut disesuaikan pada

bentuk dari kejahatan yang dilakukan. Sedangkan untuk delik pembunuhan sanksi

hukumannya lebih berat lagi, yaitu hukum qisas dengan cara membalas

membunuh pelaku delik pembunuhan, hukum qisas ini dilakukan oleh wali si

korban (waliy ad-dam). Akan tetapi selain sanksi qisas tersebut bagi waliy ad-

dam diperbolehkan memilih jenis sanksi hukuman bagi pelaku, yaitu antara

hukum qisas atau mengambil diyat atau bahkan memaafkan pelaku. Hal ini

berlaku pada jenis pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, dasar dari hal

tersebut adalah hadis Rasul,

‫من قتل له قتيل فهو خبري النظرين إما يودي و إما يقاد‬ 205

Dan firman Allah swt.,

‫فمن عفى له من أخيه شيء فاتباع باملعروف‬... 206

Sedangkan pelaksanaan diyat dengan cara menyerahkan sejumlah harta

kepada wali si korban sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’.
205
Abu ‘abdillah Muhammad ibn Ismai’il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Kitab ad-Diyah,
Bab Man Qutila lahu Qatilun fahuwa Bikhairi an-Nadhraini (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), IV: 38.
Hadis Nomor 6372. Riwayat Abu Hurairah.
206
Al-Baqarah (2) : 178.
Harta tersebut bisa berasal dari harta si pelaku sendiri atau juga dari ‘aqilah.

Untuk pembunuhan sengaja diyat diambilkan dari harta kekayaan si pelaku,

sedangkan untuk pembunuhan serupa dengan sengaja atau pembunuhan karena

kesalahan ditanggung oleh ‘aqilah, hal ini berdasarkan hadis,

‫ ف رمت إح دامها األخ رى حبجر فقتلتها وما‬, ‫اقتتلت امرأت ان من ه ذيل‬


‫ فقضى أن دية‬,‫ فاختص موا إىل رس ول اهلل ص لى اهلل عليه الس الم‬,‫ىف بطنه ا‬
‫ وقضى بدية املرأة على عاقلتها‬,‫جنينها غرة عبد او وليدة‬ 207

Dalam hukum pidana positif, ketentuan sanksi hukuman bagi pelaku

penganiayaan disertakan dalam pasal yang mengatur ketentuan mengenai

penganiayaan itu sendiri, yaitu pada Pasal 351-358 KUHP. Dalam Pasal-pasal

tersebut termuat ancaman hukuman bagi pelaku penganiayaan sesuai dengan jenis

penganiayaannya, sanksi hukuman tersebut berupa hukuman penjara serta

hukuman denda. Dalam hal delik penganiayaan ini tidak ditetapkan adanya

hukuman mati, karena hukuman mati dalam hal kejahatan hanya ada dalam delik

pembunuhan, itupun tidak semua pembunuhan diancam dengan hukuman mati.

Dalam KUHP ancaman hukuman mati untuk delik pembunuhan hanya pada jenis

pembunuhan berencana yang tertuang dalam Pasal 340 KUHP dengan ancaman

hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh

tahun. Sedangkan dalam delik penganiayaan sendiri hukuman penjara paling lama

adalah lima belas tahun, yaitu pada jenis penganiayaan berat dan berencana yang

mengakibatkan kematian si korban, hal ini tertuang dalam Pasal 354 KUHP selain

207
Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Ghayah wa at-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 193. Lihat juga Sahih Bukhari, Hadis Nomor 6512.
mengatur penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan luka berat

dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Berdasarkan pada ketentuan hukuman dari kedua sistem hukum tersebut

terdapat perbedaan jenis hukuman untuk delik penganiayaan maupun

pembunuhan, yaitu adanya hukuman penjara dalam hukum pidana positif,

sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak mengenal adanya hukuman penjara.

Dalam hukum pidana Islam, hukuman mati merupakan jenis hukuman

yang dikenakan terhadap orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja,

yang disebut dengan qisas (pembalasan). Di dalam qisas terdapat hak manusia

yang berkaitan dengan kepentingan pribadi seseorang dan hak tersebut lebih

kentara. Sehingga penetapan terhadap suatu hukuman dapat digugurkan apabila

pihak wali korban memaafkan pelaku kejahatan tersebut.

Dalam hukum positif (KUHP), hukuman mati merupakan jenis pidana

yang paling berat dari susunan hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan

merupakan hukuman pokok yang bersifat khusus dengan pertimbangan yang

khusus pula. Mengenai keberadaan pidana mati sampai sekarang masih

dipertahankan meskipun banyak muncul pro dan kontra di kalangan pakar-pakar

hukum, sebagian pakar hukum menyetujui diberlakukannya hukuman mati

dengan alasan bahwa hukuman mati itu diperlukan dan ditujukan kepada

kejahatan-kejahatan tertentu yang digolongkan pada kejahatan berat dan bagi

penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Sebagian pakar hukum lain

menolak palaksanaan hukumam mati tersebut dengan alasan pemberlakuan

hukuman tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia dan dianggap tidak
berperikemanusiaan. Dan apabila terdapat kekeliruan Hakim dalam menjatuhkan

vonis tidak dapat diperbaharui lagi.

Dalam hukum pidana Islam qisas juga bisa berupa balasan terhadap tindak

penganiayaan, yaitu dengan cara membalas serupa apa yang dilakukan oleh

pelaku baik itu yang menyebabkan cacat, seperti terpotong tangan atau hanya

menimbulkan rasa sakit seperti dalam hal penempelengan.

Kemudian mengenai hukuman yang berupa pidana penjara, dalam hukum

pidana Islam secara jelas tidak disebutkan, namun sebagaimana pendapat sebagian

besar ulama hukuman penjara adalah sebagai wujud dari hukuman pengasingan.

Hukuman pengasingan tersebut ada di dalam ketentuan mengenai jarimah

perampokan yang pelakunya hanya menakut-nakuti masyarakat tanpa melakukan

perampasan harta maupun pembunuhan. Akan tetapi ketentuan lamanya

pengasingan tersebut tidak ditentukan, yaitu sampai si pelaku bertaubat.

Dalam KUHP, pidana penjara merupakan salah satu pidana pokok yang

berwujud perampasan atau pengurangan kemerdekaan seseorang, dalam arti

bahwa seseorang tidak dapat bertindak dengan bebas selama dalam penjara, ia

harus mematuhi segala perturan yang ada dalam penjara tersebut. Lamanya

berada dalam penjara tergantung pada jenis hukuman dari perbuatan melanggar

hukum yang dilakukannya.

Selain hukuman penjara, KUHP juga terkadang menyertakan pidana


pokok lain yaitu pidana denda, seperti dalam KUHP Pasal 352 tentang
penganiayaan ringan, di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penganiayaan
ringan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan
jabatan atau pekerjaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Pidana denda ini
oleh pembuat undang-undang hukum pidana tidak ditentukan batas maksimum
secara umum, yang ditentukan hanya batas minimumnya saja, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen
(dikalikan 15 menurut Undang-undang No. 18/Prp/1960).208 Dalam rancangan
KUHP yang baru minimum pidana denda ini ditentukan sebesar paling sedikit
lima ratus rupiah.
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan dalam Pasal 30-33
KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus si terhukum, maka akan dapat
dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya.
Dalam hukum pidana Islam denda diistilahkan dengan diyat, merupakan

pilihan kedua setelah qisas dalam hal pembunuhan, apabila pihak wali korban

tidak menghendaki qisas, maka akan beralih kepada hukuman diyat, begitu juga

dalam penganiayaan apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan qisas maka

secara otomatis akan beralih pada hukuman diyat. Besar dari diyat telah

ditetapkan oleh syara’ melalui beberapa hadis yang mengatur tentang jarimah

pembunuhan ataupun jarimah selain jiwa (penganiayaan).

Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta, tapi jika unta sulit

ditemukan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti

emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan

unta.

Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi

pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik

domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak dan 200

setel pakaian untuk pemilik pakaian.209

Dalam kasus yang dikemukakan oleh penyusun dalam penelitian ini,


yaitu penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin,
berdasarkan apa yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa menurut hukum pidana positif sebagaimana tercantum
208
Rudy T. Erwin dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-346.
209
As-Sayyid Sabiq, Fiqh., II : 552-553.
dalam KUHP, terdapat dua buah delik yang berlanjut, yaitu delik
penganiayaan yang dilanjutkan delik pembunuhan. Pembunuhan terhadap bayi
yang masih berada dalam kandungan (aborsi) diatur dalam KUHP dalam
Pasal 346, 347 dan 348. Jika melihat pada kasus yang ada, maka yang dapat
dikenakan untuk memberikan ancaman pidana lebih mengarah pada Pasal 347
KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan
seseorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
(2) Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun210

Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai jenis tindakan

yang menyebabkan matinya janin. Jadi, bisa dikatakan bahwa setiap perbuatan

yang tidak dikehendaki oleh sang ibu dan sengaja ditujukan untuk menggugurkan

janin yang ada dalam kandungan, baik itu berupa penganiayaan atau yang lain

dapat dikenai Pasal 347 KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya

dua belas tahun, dan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan si ibu dari janin

tersebut ikut mati, maka pelaku diancam dengan hukuman penjara selama-

lamanya lima belas tahun.

Apabila berdasarkan Pasal 90 KUHP dalam mengartikan luka berat dan

diterapkan dalam pasal-pasal penganiayaan, maka dalam Pasal 351 KUHP ayat

(2) tentang penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat yang menyatakan:

“Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya lima tahun”211, maka perbuatan penganiayaan dalam

kasus yang dibicarakan merupakan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat

dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

210
Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
211
Ibid., hlm. 150.
Pasal yang lain dari penganiayaan yang mengakibatkan luka berat adalah

Pasal 353 KUHP tentang penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu, bunyi

dari pasal tersebut:


(1) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.212

Dalam Pasal 353 ayat (2) tersebut disebutkan apabila penganiayaan berencana itu

mengakibatkan luka berat maka pelakunya diancam dengan hukuman penjara

selama-lamanya tujuh tahun. Kemudian jika dimasukkan ke dalam kasus yang

dibahas, apabila dalam kasus tersebut terbukti ada unsur perencanaan terlebih

dahulu maka kasus yang dikemukakan bisa dikatagorikan sebagai penganiayaan

berencana yang mengakibatkan luka berat dengan ancaman hukuman penjara

selama-lamanya tujuh tahun.

Pasal 354 KUHP juga menjelaskan penganiayaan yang juga berakibat luka

berat dan jenis dari penganiayaan tersebut juga merupakan penganiayaan berat,

bunyi Pasal 354 KUHP,

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.213

Pembagian dari jenis ini dikatagorikan berdasar akibat yang ditimbulkannya yaitu

luka berat dan kematian, jadi apabila kasus yang dikemukakan dikatagorikan ke

dalam jenis ini maka ancaman hukumannya adalah selama-lamanya delapan tahun
212
Ibid., hlm.150-151.
213
Ibid., hlm. 151.
Dan yang terakhir adalah Pasal 355 KUHP yaitu tentang penganiayaan

berat dan berencana. Pasal ini merupakan gabungan dari dua pasal sebelumnya.

Dalam pasal ini disebutkan:


(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.214

Dalam pasal di atas khususnya pada ayat (1) dijelaskan bahwa penganiayaan berat

yang direncanakan lebih dahulu diancam dengan hukuman penjara selama-

lamanya dua belas tahun, penggolongan penganiayaan tersebut juga berdasarkan

dari akibat yang ditimbulkan yaitu luka berat serta kematian, jadi kasus yang

dikemukakan juga bisa dimasukkan ke dalam jenis penganiayaan ini apabila

memang ada unsur direncanakan terlebih dahulu.

Sedangkan dari segi hukum pidana Islam, dijelaskan bahwa apabila ada

janin yang mati karena adanya jinayah atas ibunya baik secara sengaja atau

kesalahan dan ibunya tidak ikut mati, maka dalam hal tersebut diwajibkan

hukuman yang berupa gurrah, baik janin itu mati setelah keluar dari kandungan

atau mati di dalam kandungan serta baik janin itu laki-laki atau perempuan.

Gurrah dalam hal hukuman tersebut adalah sebesar lima ratus dirham

seperti yang dikatakan Sya’bani dan Ahnafi, atau sebanyak seratus kambing

seperti dalam hadisnya Abu dawud dan Nasa’i dari Abu Buraidah. Dan juga

dikatakan besarnya adalah lima puluh unta.

Dasar dari pemberian hukuman gurrah tersebut adalah hadis:

214

Ibid.
‫ ف رمت إح دامها األخ رى حبجر فقتلتها وما‬, ‫اقتتلت امرأت ان من ه ذيل‬
‫ فقضى أن دية‬,‫ فاختص موا إىل رس ول اهلل ص لى اهلل عليه الس الم‬,‫ىف بطنه ا‬
‫ وقضى بدية املرأة على عاقلتها‬,‫جنينها غرة عبد او وليدة‬ 215

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah216 mengambil dalil dari hadis Rasul:

‫ قيمته‬,‫ عبد أو أمة‬,‫ ىف اجلنني غرة‬: ‫أن النىب صلى اهلل عليه السالم قال‬
‫مخسمائة‬ 217

Apabila janin tersebut keluar dalam keadaan hidup kemudian mati, maka
sanksinya adalah membayar diyat utuh, apabila janin itu laki-laki maka jumlah
diyatnya adalah seratus ekor unta. Apabila janin itu perempuan, diyatnya
sebanyak lima puluh ekor unta. Keadaan janin itu mati atau hidup bisa diketahui
dengan ada tidaknya nafas, tangis, batuk, gerakan atau yang lainnya.
Imam Syafi’i mensyaratkan dalam hal janin yang mati di dalam

kandungan ibunya, yaitu diketahui bahwa benar-benar sudah terbentuk mahluk

hidup dan sudah adanya ruh dalam janin, beliau menjelaskan dengan pertanda

adanya gambaran bentuk manusia yaitu adanya tangan dan jari-jari. Dan apabila

hal itu tidak ada, maka menurut beliau tidak ada tanggungan apa-apa baik itu

berupa gurrah ataupun diyat.

Sedangkan apabila seorang ibu mati karena penganiayaan dan janin


keluar dalam keadaan hidup kemudian setelah itu mati, maka wajib dalam
hal tersebut dua diyat, yaitu diyat atas si ibu dan diyat atas si janin, karena
matinya si ibu merupakan salah satu sebab dari matinya janin. 218
215
Mustafa Raib al-Baga, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa at-Taqrib (Surabaya:
Bungkul Indah, 1978), hlm. 193. Lihat juga Sahih Bukhari, Hadis Nomor 6512.
216
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.), V : 372.
217
Ibid.
218
Ibid., V : 373.
Menurut Imam Malik dan sahabat-sahabatnya, Hasan Basri serta
ulama Basrah bahwa diyat atas janin tersebut dibayarkan dari harta pelaku,
sedangkan menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah serta ulama Kuffah diyat
tersebut dibayarkan oleh ‘aqilah, karena perbuatan tersebut dianggap
sebagai jinayah khata’ . Dan diyat janin tersebut dibayarkan kepada ahli
waris si janin, akan tetapi juga dikatakan bahwa diyat tersebut dibayarkan
kepada si ibu, karena janin bagaikan satu anggota dari tubuh si ibu untuk
itu diyatnya hanya dibayarkan kepada si ibu saja.219
Para ulama sepakat bahwa dalam hal janin yang mati setelah keluar
dari kandungan, selain diwajibkan diyat juga diwajibkan kifarah. Sedangkan
mengenai janin yang mati di dalam kandungan ibunya masih dipertanyakan,
namun as-Syafi’i dan yang lainnya berpendapat tetap diwajibkan kifarah,
karena menurutnya kifarah diwajibkan dalam perbuatan sengaja maupun
karena kesalahan.220

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah penyusun uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :


1. Berdasarkan pada hukum pidana Islam delik penganiayaan serta delik pembunuhan dikatagorikan dalam Jara’im al-

Qisas, yaitu tindakan pidana yang bersanksikan hukum qisas. Lebih khususnya lagi adalah penganiayaan merupakan

jinayah terhadap selain jiwa yaitu perbuatan yang mengakibatkan orang lain merasa sakit tubuhnya tanpa hilangnya

nyawa, sedangkan pembunuhan merupakan jinayah terhadap jiwa yaitu tindakan yang mengakibatkan hilangnya

nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa manusia. Ancaman hukuman yang diterapkan terhadap pelaku kedua delik

tersebut ada beberapa macam, yaitu qisas, diyat, ta’zir, kifarah.

219
As-Sayyid Sabiq, al-Fiqh., III : 64.
220
Ibid., III : 373.
Dalam hukum pidana positif, penganiayaan secara umum adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau
luka pada orang lain. sedangkan pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain. Sanksi hukuman pokok yang dikenakan ada
beberapa macam, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, serta hukuman
denda, dengan hukuman tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan Hakim.
2. Hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dalam menangani kasus
penganiayaan terhadap ibu hamil yang mengakibatkan kematian janin terdapat
beberapa persaman dan perbedaan. Persamaannya dari segi tindak pidana,
bahwa perbuatan yang ada dalam kasus tersebut merupakan sebuah delik,
karena telah memenuhi unsur-unsur yang merupakan syarat suatu perbuatan
dapat dikatakan sebuah delik. Dari segi pidana, bahwa kedua sistem sama-
sama memberikan ancaman pidana untuk orang yang melakukan
penganiayaan serta pembunuhan dan sama juga dalam merumuskan tujuan
pemberian pidana yaitu untuk menegakkan hukum dan memberikan
perlindungan serta pengayoman kepada masyarakat serta individu.
Perbedaannya adalah, dalam segi pengkatagorian, dalam hukum pidana Islam
perbuatan tersebut merupakan tindak penganiayaan sengaja, sedangkan dalam
hukum pidana positif perbuatan tersebut bisa dikatagorikan ke dalam jenis
pengguguran bayi dalam kandungan tanpa persetujuan si ibu atau juga ke
dalam penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, dengan rumusan luka
berat seperti yang ada dalam Pasal 90 KUHP. Dari segi jenis pidana, dalam
hukum pidana Islam ada beberapa macam, yaitu qisas, diyat, ta’zir,
penghalangan pelaku dari mendapat wasiat dan warisan, serta adanya kifarah.
Sedang dalam hukum pidana positif sanksi terhadap pelaku penganiayaan ada
dua macam, yaitu pidana penjara dan pidana denda. Selain itu juga dapat
disertai pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertantu dan pengumuman putusan Hakim.

D. Saran-saran

1. Delik penganiayaan serta delik pembunuhan merupakan dua buah perbuatan


yang sangat membahayakan bagi keselamatan jiwa dan raga manusia serta
dapat mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu
sangat diharapkan bagi aparatur hukum untuk selalu siap siaga dalam
menghadapi segala bentuk kejahatan dan mampu bertindak tegas terhadap
para pelaku kejahatan dengan memberikan pidana kepada mereka sesuai
dengan undang-undang yang ada dan sesuai dengan apa yang telah mereka
perbuat tanpa pandang bulu. Selain itu perlu adanya peran aktif dari
masyarakat dalam menciptakan keamanan dan kedamaian masyarakat,
sehingga supremasi hukum di negara ini dapat ditegakkan dan dirasakan
oleh seluruh lapisan masyarakat.
2. Indonesia merupakan negara yang besar dan sebagian besar penduduknya
beragama Islam, akan tetapi hukum pidana yang masih diberlakukan adalah
hukum pidana yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda. Untuk itu,
perlu adanya sebuah pembaharuan serta pembinaan hukum Nasional,
sehingga diharapkan adanya transformasi hukum pidana Islam atau setidak-
tidaknya memberi nafas terhadap pemberlakuan hukum nasional. Selain itu
para pakar hukum Islam dapat memberikan informasi mengenai hukum
Islam tersebut sehingga dapat diterima dengan baik di masyarakat untuk
mewujudkan ketentraman dan kedamaian masyarakat yang diberkati oleh
Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya , Jakarta:


1984.

Raoef, Abdoel, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.

B. Hadis

Baihaqi al-, As-Sunnah al-Kubra, Beirut: Dari al-Fikr, t.t.

Bukhari, Abu ‘abdillah Muhammad ibn Isma’il al-, Shahih Bukhari, 4 jilid, Beirut:
Dar al-Fikr, 1981.

Darami, Abdullah ibn ‘Abdirrahman ibn al-Fadil ibn al-Bahram ibn ‘Abdus Samad at-
Tamimi as-Samarqandi ad-, Sunan ad-Darimi, 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Qazwani, al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-, Sunan ibn Majah,
Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1952.

Sijistani, Abu Sulaiman ibn al-Asy Abi Dawud as-, Sunan Abi Dawud, 4 jilid,
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Suyuti, Jalaluddin as-, Sunan an-Nasa’i, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1930.

Turmuzi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-, al-Jami’ as-Sahih wa huwa
Sunan at-Turmuzi, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
C. Fiqh dan Usul Fiqh

Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, 2 jilid, Beirut: Dar al-Urubah,
1963.

Baga, Mustafa Raib al-, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Surabaya:
Bungkul Indah, 1978.

Bakri, Asfri Jaya, Konsep Maqoshid Asy-Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.

Hanafi A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlussunnah, Jakarta: Bulan


Bintang, 1989.

Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad, Bidayah al-Mujtahid wa


Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Semarang: Thoha Putra, t.t.

I Doi, Abdurrahman, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta: Rineka


Cipta, 1992.

Jazairi, Abu Bakar Jabir al-, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 Beirut: Dar al-Fikr,
1995.

Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, 8 juz, Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.

Jazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Quddamah, Ibn, al-Mugni, 9 jilid, Mesir: Maktabah Jumhuriyah al-Arabiyah, t.t.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, cet. ke-18, Jakarta: Attahiriyah, 1981.

Sabiq, Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fath li al-Ilm
al-Arabi, 1990.

Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syari’at dalam


Wacana dan Agenda, cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Sayis, Ali Muhammad al-, Sejarah Fikh Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Syarbaini, Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-, Mugni al-Muhtaj, Mesir:


Mustafa al-Bab al-Halabi wa Aulad, 1958.

Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-, Al-Asybah wa an-Nazair,


Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-
Fikr, 1989.

D. Hukum / Ilmu Hukum

Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana : Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
Bandung: Armico, 1985.

Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2,


Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.

Erwin, Rudy T. dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-


peraturan Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1980.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta:
Pradya Paramita, 1989.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.

Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, cet. ke-1 Bandung: Bina Cipta, 1986.

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan
Prevensinya, Ed. 1.cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, Jakarta: Grafika,


1991.
Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Jakarta: Bumi
Aksara, 1990.

Ngani, Nico dan A. Qiram Syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum,
Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta: UI-Press, 1986.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955.

Wahyono, Padmo, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila : Pidato
Ilmiah Pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Jakarta:
CV. Rajawali, 1983.

E. Kamus

Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka


Progresif, 1992.

P dan K, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke-5, Jakarta:


Balai Pustaka, 1982.

F. Lain-Lain

Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Yogyakarta: Roke


Sarasin, 1998.
Sadli, Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Prilaku Menyimpang, cet. ke-1,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial : Teknik Penelitian Bidang


Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, cet. ke-9, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000.

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, cet. ke-7,
Bandung: Tnp, 1994.

DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya , Jakarta:


1984.

Raoef, Abdoel, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
B. Hadis

Baihaqi al-, As-Sunnah al-Kubra, Beirut: Dari al-Fikr, t.t.

Bukhari, Abu ‘abdillah Muhammad ibn Isma’il al-, Shahih Bukhari, 4 jilid, Beirut:
Dar al-Fikr, 1981.

Darami, Abdullah ibn ‘Abdirrahman ibn al-Fadil ibn al-Bahram ibn ‘Abdus Samad at-
Tamimi as-Samarqandi ad-, Sunan ad-Darimi, 2 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Qazwani, al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-, Sunan ibn Majah,
Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1952.

Sijistani, Abu Sulaiman ibn al-Asy Abi Dawud as-, Sunan Abi Dawud, 4 jilid,
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Suyuti, Jalaluddin as-, Sunan an-Nasa’i, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1930.

Turmuzi, Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-, al-Jami’ as-Sahih wa huwa
Sunan at-Turmuzi, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

C. Fiqh dan Usul Fiqh

Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami, 2 jilid, Beirut: Dar al-Urubah,
1963.

Baga, Mustafa Raib al-, At-Tazhib fi Adillati Matn al-Gayah wa al-Taqrib, Surabaya:
Bungkul Indah, 1978.

Bakri, Asfri Jaya, Konsep Maqoshid Asy-Syari’ah, cet. ke-1, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.

Hanafi A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-2 Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlussunnah, Jakarta: Bulan


Bintang, 1989.
Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Semarang: Thoha Putra, t.t.

I Doi, Abdurrahman, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta: Rineka


Cipta, 1992.

Jazairi, Abu Bakar Jabir al-, Minhaj al-Muslim, cet. ke-1 Beirut: Dar al-Fikr,
1995.

Jaziri, Abdurrahman al-, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, 8 juz, Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.

Jazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Quddamah, Ibn, al-Mugni, 9 jilid, Mesir: Maktabah Jumhuriyah al-Arabiyah, t.t.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, cet. ke-18, Jakarta: Attahiriyah, 1981.

Sabiq, Sayyid as-, Fiqh as-Sunnah, cet. ke-2, 2 jilid, Beirut: Dar al-Fath li al-Ilm
al-Arabi, 1990.

Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syari’at dalam


Wacana dan Agenda, cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Sayis, Ali Muhammad al-, Sejarah Fikh Islam, alih bahasa Nurhadi AGA, cet. ke-1,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Syarbaini, Muhammad Ibnu Ahmad al-Khatib asy-, Mugni al-Muhtaj, Mesir:


Mustafa al-Bab al-Halabi wa Aulad, 1958.

Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakr as-, Al-Asybah wa an-Nazair,


Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Zuhaili, Wahbah az-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, cet. ke-3, Damaskus: Dar al-
Fikr, 1989.

D. Hukum / Ilmu Hukum

Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana : Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
Bandung: Armico, 1985.
Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, cet. ke-2,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.

Erwin, Rudy T. dan J.T.Prasetyo, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-


peraturan Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1980.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, cet. ke-1 Jakarta:
Pradya Paramita, 1989.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. ke-7, Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.

Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, cet. ke-1 Bandung: Bina Cipta, 1986.

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh : Pemberantasan dan
Prevensinya, Ed. 1.cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan yang dapat Dihukum, Jakarta: Grafika,


1991.

Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. ke-16, Jakarta: Bumi
Aksara, 1990.

Ngani, Nico dan A. Qiram Syamsuddin Meliala, Psikologi Kriminal dalam Teori dan
Praktek Hukum Pidana, cet. ke-1, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1985.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum,
Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3, Jakarta: UI-Press, 1986.

Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Fasco, 1955.

Wahyono, Padmo, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila : Pidato
Ilmiah Pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia Ke-33, Jakarta:
CV. Rajawali, 1983.
E. Kamus

Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka


Progresif, 1992.

P dan K, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke-5, Jakarta:


Balai Pustaka, 1982.

F. Lain-Lain

Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977.

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-4, Yogyakarta: Roke


Sarasin, 1998.

Sadli, Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Prilaku Menyimpang, cet. ke-1,


Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial : Teknik Penelitian Bidang


Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, cet. ke-9, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000.

Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, cet. ke-7,
Bandung: Tnp, 1994.
Lampiran I

TERJEMAHAN

NO Hlm F.N TERJEMAHAN BAB I


1 14 28 Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah
satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah
menuntut balasan.

TERJEMAHAN BAB II
2 32 23 Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si
terbunuh) bersedekah
3 32 24 Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan
sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
meyediakan azab yang besar baginya
4 32 25 Darah seseorang muslim yang telah bersaksi bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah dan aku adalah Rasul-Nya tidaklah
halal, kecuali disebabkan oleh tiga hal, yaitu orang yang telah
kawin kemudian berzina, membunuh orang (secara sengaja dan
tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syara’) dan orang
yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari
jamahnya (Murtad).
5 36 33 Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu
6 36 34 Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa
7 36 35 Sejumlah harta yang wajib dibayarkan karena adanya suatu
kejahatan, diserahkan kepada korban kejahatan atau wali dari si
korban
8 37 37 Dan dalam hal memotong hidung dikenakan diyat (penuh),
dalam hal memotong lidah dikenakan diyat, dalam hal
memotong dua buah bibir dikenakan diyat, dalam hal
memotong dua buah pelir dikenakan diyat, dalam hal
memotong zakar dikenakan diyat, dalam mematahkan tulang
belakang dikenakan diyat, dalam hal meluaki dua buah mata
dikenakan diyat, dan dalam hal mematahkan sebelah kaki
dikenakan setengahnya diyat.
9 38 39 Diyatnya memotong jari-jari baik jari-jari kedua tangan atau
jari-jari kedua kaki adalah sepuluh ekor unta untuk tiap-tiap jari
10 38 40 Dan dalam hal merontokkan gigi diyatnya adalah lima ekor
unta
11 38 42 Dalam hal pelukaan terhadap kepala atau wajah yang
menampakkan tulang (mudihah),diyatnya adalah lima ekor
unta
12 38 43 Sesungguhnya Nabi SAW mewajibkan dalam hal pelukaan
terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan pecah atau
patahnya tulang (hasyimah), yaitu sebanyak sepuluh ekor unta
13 39 44 Dan dalam pelukaan terhadap kepala atau wajah yang
menyebabkan berpindah atau bergesernya tulang dari tempat
asalnya (munqilah), diyatnya lima belas ekor unta
14 39 45 Dan dalam pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada
kulit otak (ma'mumah) diyatnya adalah sepertiga diyat
15 39 46 Dalam hal pelukaan yang sampai pada rongga perut (ja’ifah)
diyatnya adalah sepertiga diyat
16 40 51 Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa
17 41 54 Barangsiapa membunuh secara sengaja, maka balasannya
adalah qisas.
18 42 56 Tidak dikenakan qisas orang tua yang membunuh anaknya
19 42 57 Engkau dan hartamu, juga merupakan milik ayahmu
20 43 60 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula)
21 43 61 Barangsiapa membunuh secara sengaja, maka balasannya
adalah qisas.
22 44 62 Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah
satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah
menuntut balasan.
23 44 63 Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik,.
24 45 66 Diyat adalah harta yang wajib dibayarkan karena adanya
kejahatan terhadap jiwa atau yang searti dengannya.
25 45 67 Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si
terbunuh) bersedekah
26 46 68 Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah
satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah
menuntut balasan.
27 46 70 Bahwasanya Umar dalam khutbahnya, berkata : ingatlah
sesungguhnya unta itu telah mahal, maka kemudian ia
memperkirakannya seribu dinar untuk pemilik emas, dua belas
ribu dirham untuk pemilik perak, dua ratus ekor sapi bagi
pemilik sapi, dua ribu ekor domba bagi pemilik domba, dan
dua ratus stel pakaian untuk pemilik pakaian.
28 47 72 Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa
membunuh seorang mu'min secara sengaja, hukumnya
dikembalikan kepada para wali si terbunuh, apabila mereka
menghendaki membunuh maka mereka membunuhnya, dan
apabila mereka menghendaki mengambil diyat, maka diyatnya
adalah tiga puluh unta hiqqah, tiga puluh unta jaz'ah, empat
puluh unta khalifah, dan sesuatu yang pantas bagi mereka, yang
demikian itu untuk memberatkan hukuman
29 48 73 Sesungguhnya Nabi bersabda: dalam pembunuhan tersalah
diyatnya dua puluh unta jaz'ah, dua puluh unta hiqqah, dua
puluh unta binta labun, dua puluh unta ibn labun, dan dua
puluh unta binta makhad
30 49 76 Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya
31 49 78 ... maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yng beriman. Barangsiapa yang
tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut...
32 50 79 Dan bagi seorang pembunuh tidak mewarisi apa-apa.
33 50 80 Barangsiapa tergesa-gesa mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, dibalas dengan terhalang mendapatkannya.
34 50 81 Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian
salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain,
maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam
perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke
hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa
diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik
laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
35 50 83 Sesungguhnya Nabi S.A.W. bersabda: dalam membunuh janin
diyatnya adalah gurrah , baik laki-laki atau amat (wanita), yang
harganya adalah lima ratus dirham

TERJEMAHAN BAB IV
36 95 8 Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang
mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si
terbunuh) bersedekah
37 95 9 Dan dalam hal memotong hidung dikenakan diyat (penuh),
dalam hal memotong lidah dikenakan diyat, dalam hal
memotong dua buah bibir dikenakan diyat, dalam hal
memotong dua buah pelir dikenakan diyat, dalam hal
memotong zakar dikenakan diyat, dalam mematahkan tulang
belakang dikenakan diyat, dalam hal meluaki dua buah mata
dikenakan diyat, dan dalam hal mematahkan sebelah kaki
dikenakan setengahnya diyat.
38 95 10 Diyatnya memotong jari-jari baik jari-jari kedua tangan atau
jari-jari kedua kaki adalah sepuluh ekor unta untuk tiap-tiap jari
39 98 17 Barangsiapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh memilih salah
satu dari dua alternatif, apakah ia meminta tebusan ataukah
menuntut balasan.
40 98 18 Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik,.
41 99 19 Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian
salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain,
maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam
perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke
hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa
diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik
laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
42 106 27 Dua orang wanita dari bani Huzail saling bertengkar, kemudian
salah satu dari mereka melemparkan batu ke arah yang lain,
maka wanita tersebut meninggal beserta janin yang ada dalam
perutnya. Kemudian orang-orang membawa masalah ini ke
hadapan Rasulillah S.A.W., maka Rasul memutuskan bahwa
diyat bagi janin si wanita yang terbunuh adalah gurrah baik
laki-laki ataupun wanita, dan Rasul juga memutuskan diyatnya
wanita tersebut ditanggung oleh keluarganya
43 106 29 Sesungguhnya Nabi S.A.W. bersabda: dalam membunuh janin
diyatnya adalah gurrah , baik laki-laki atau amat (wanita), yang
harganya adalah lima ratus dirham

Lampiran II

BIOGARAFI TOKOH DAN ULAMA

Imam Abu Hanifah


Nama lengkapnya adalah Nu’man bin Tsabit ibn Zauta ibn Mah al-Tamimi al-
Kufi. Beliau lahir pada tahun 80 H/ 699M, pada masa pemerintahan Khalifah
‘Abd al-Malik ibn Marwan, Khalifah ke-5 dari dinasti Bani Umayah. Wafat pada
tahun 150 H/767 M, dalam usia 70 tahun. Beliau adalah tokoh mazhab Rasional-
Liberal, dan terkenal dengan nama Abu Hanifah, karena beliau mempunyai putra
yang bernama Hanifah. Alasan lain disebut demikian adalah karena kerajinannya
beribadah kepada Allah, selain itu juga karena beliau selalu akrab dengan tinta
untuk mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya dan para
ulama-ulama lainnya. Murid-muridnya yang terkenal dan berjasa besar terhadap
perkembangan mazhabnya adalah Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn
Hasan. Hasil karyanya antara lain adalah al-Mabsut, al-Jami’ as-Sagir, serta al-
Jami’ al-Kabir.

Imam Malik ibn Anas


Nama lengkap beliau adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amr ibn Haris
ibn Imam ibn Khusail Abu ‘Abdillah al-Madani. Beliau lahir pada tahun 93 H/
712 M, pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman ibn ‘Abd Malik, Khalifah ke-
7 dari dinasti Bani Umayah. Wafat pada tahun 179 H/ 798 M, dalam usia 87
tahun. Beliau adalah tokoh mazhab Tradisional-Konservatif. Karya
monumentalnya adalah kitab al-Muwatta’.

Imam Ahmad ibn Hambal


Nama lengkap beliau adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal ibn Hilal ibn
Asy’as ibn Idris ibn Syaiban ibn Zahl. Beliau lahir pada tahun 164 H/ 780 M,
pada masa pemerintahan Khalifah Muhammad al-Mahdi, Khalifah ke-3 dari Bani
Abbas. Wafat pada tahun 241 H/ 855 M dalam usia 77 tahun. Beliau dikenal
sebagai tokoh mazhab Ekstrim-Fundamental. Salah satu karyanya adalah al-
Musnad.
Imam asy-Syafi’i
Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Usman ibn
Syafi’i ibn Sa’iq ibn Abi Yazid ibn Hasyim ibn Mutallaib ibn Abd Manaf. Beliau
lahir pada tahun 150 H/ 767 M di Gazza, dan wafat di Mesir pada Tahun 204 H/
822 M. Imam asy-Syafi’i mencari ilmu ke Madinah pada akhir abad ke-2
Hijriyah, pada waktu Madinah merupakan kota cemerlang karena menjadi pusat
ilmu pengetahuan agama Islam, sebab di sinilah berdomosili para Tabi’ini dan
Tabi’ at-Tabi’ini. Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam asy-Syafi’i antara lain ar-
Risalah, al-Umm, Ikhtilaf al-Hadis, dan sebagainya.

Imam at-Turmuzi
Nama lengkap beliau adalah Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Swarat ibn Musa ad-
Dahhak al-Silmi ad-Darir al-Bughi at-Turmuzi. Beliau lahir pada tahun 200 H/
815 M dan wafat pada tahun 892 M. beliau merupakan ulama hadis yang terkenal,
karya-karyanya antara lain, al-Jami’ al-Mukhtasaru min al-Sunnani ar-Rasulillah
dikenal dengan al-Jami’ as-Sahih, dan Jami’ at-Turmuzi yang dikenal dengan
Sunan at-Turmuzi, dan lain sebaginya.

Abdul Qadir ‘Audah


Beliau adalah seorang ulama terkenal Alumnus Fakultas Hukum Universitas l-
Azhar Cairo pada tahun 1930 sebagai mahasiswa terbaik. Beliau adalah tokoh
utama dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan sebagai hakim yang disegani
rakyat. Beliau juga turut ambil bagian dalam merumuskan Revolusi Mesir yang
berhasil gemilang pada tahun 1952 yang dipelopori oleh Jendral M. Najib dan
Letkol Gamal Abdul Naser. Ia mengakhiri hidupnya di tiang gantungan sebagai
akibat fitnahan dari lawan polotiknya pada tanggal 8 Desember 1954 bersama
lima kawannya. Hasil karyanya antara lain adalah kitab at-Tasyri’i al-Jina’i al-
Islami dan al-Islam wa Awda’ana al-Islami.

As-Sayyid Sabiq
Beliau adalah ulama terkenal di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, teman sejawat
dengan Hasan al-Banna pemimpin gerakan Ikhwan al-Muslimin, beliau termasuk
salah seorang yang menganjurkan ijtihad, dan menganjurkan kembali kepada al-
Qur’an dan as-Sunnah, karya beliau yang terkenal adalah Fiqh as-Sunnah,
Qa’idah al-Fiqhiyyah, dan Aqidah Islam.

Ibn Rusyd
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Muhammad. Beliau lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan wafat di Maroko
pada tahun 1198 M. Beliau adalah seorang dokter, ahli hukum dan tokoh filsafat
yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam. Hasil karyanya
antara lain Kitab al-Kulliyat, Bidayah al-Mujtahid, Kitab Fash al-Maqal fi ma
Baina asy-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal.
Ibn Hazm
Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm az-Zahiri
ibn Galib ibn Saleh ibn Khalaf ibn Madam ibn Yazid, gelarnya adalah
Muhammad. Beliau adalah ulama terkenal di Andalusia dan pembela mazhab
Zahiri, lahir di Cordova tahun 344 H. Pada mulanya beliiau adalah penganut
mazhab Syafi’iyah dan kemudian tertarik dengan mazhab Zahiri setelah beliau
mendalaminya lewat buku-buku dan dari para yang ada di daerahnya. Di samping
sebagai pengajar, beliau juga terkenal dengan karya-karyanya yang mencapai 400
buah, salat satunya adalah al-Muhalla.

Ibn Quddamah
Nama lengkap beliau adalah Wuwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah ibn
Ahmad ibn Quddamah. Lahir di Jerusalem pada tahun 541 H/ 1147 M. Wafat di
Damaskus pada tahun 620 H/ 1223 M. Beliau merupakan seorang ulama besar
dan penulis kitab-kitab fiqh standar mazhab Hambali. Beliau hidup pada masa
perang salib berlangsung, khususnya di daerah Syam. Hasil karyanya antara lain
adalah, al-Mugni, al-Kafi, al-Umdah fi al-Fiqh, dan lain-lain.

P.A.F. Lamintang
Beliau adalah dosen Koordinator dalam mata kuliah Hukum Pidana I dan II serta
sebagi pengajar mata kuliah hukum Penitensier, Penologi dan Pemasyarakatan
pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Beliau dengan
Djisman Samosir telah menulis buku Hukum Pidana dan Delik-delik Khusus
Terhadap Hak-hak Milik, dan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai