Hukum adalah komponen yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat, dan pada dasarnya hukum itu adalah masyarakat itu sendiri. Setiap tingkah laku masyarakat selalu di monitor oleh hukum, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Negara Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki penduduk mayoritas beragama islam, secara sengaja maupun tidak sengaja hal tersebut mempengaruhi terbentuknya suatu aturan hukum yang berlandaskan atas agama Islam. Walaupun merupakan bagian integral syari’ah Islam dan memiliki peran signifikan, kompetensi dasar yang dimiliki hukum Islam. Tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan oleh kalangan ahli hukum itu sendiri. Sebagian besar kalangan beranggapan, tidak kurang diantaranya kalangan muslim, menancapkan kesan kejam, incompatible dan off to date dalam konsep hukum Islam. Ketakutan ini akan semakin jelas adanya apabila mereka membincangkan hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qisas telah off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Sedikit kita tilik, pada hakikatnya hukum islam sangat adil (terutama hukum pidana) dan hukumannya pun dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan dapat menjadi pelajaran bagi yang lain. Tetapi untuk pelaksanaan hukuman untuk si pelaku cukup sulit, semisal pidana potong tangan bagi yang mencuri, eksekusi tidak bisa dilaksanakan sebelum mendatangkan 4 saksi, 4 saksi harus disumpah untuk membuktikan kebenarannya. Jadi salah apabila ada orang yang mengatakan bahwasanya hukum islam itu sangat kejam dan tidak pantas diterapkan karena tidak manusiawi. Hal ini disebabkan ia belum memahami benar hukum islam secara menyeluruh. Bila kita memahami benar prinsip hukum islam, kita akan mengetahui betapa adil dan membawa kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat, karena tidak memandang jabatan atau pangkat sekalipun itu raja apabila bersalah wajib menerima hukuman sesuai ketentuan yang berlaku 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apa pengertian Hukum Islam ? 1.2.2 Apa saja ruang lingkup Hukup Islam ? 1.2.3 Apa tujuan Hukum Islam ? 1.2.4 Apa saja sumber-sumber Hukum Islam? BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Islam
Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama islam. Dalam konsepsi hukum Islam , dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah SWT. yang diatur tidak hanya hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri dan benda serta alam semesta,tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam sistem hukum Islam terdapat lima kaidah yang dipergunakan untuk mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di bidang mu’amalah. Kelima jenis kaidah tersebut dinamakan al-ahkam al- khamsah atau penggolongan hukum yang lima yakni jaiz atau mubah atau ibahah, sunnah, makruh, wajib, dan haram. Dalam pembahasan kerangka dasar agama islam disebutkan bahwa komponen kedua agama Islam adalah syari’at yang terdiri dari dua bagian yakni ibadah dan mu’amalah. Adapun ilmu yang membahas tentang syari’at disebut dengan ilmu fikih.
B. Ruang Lingkup Hukum Islam
Dalam hukum Islam di bidang mu’amalah tidak dibedakan antara hukum privat(hukum Perdata) dengan hukum publik, hal ini disebabkan karena menurut sistem hukum islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik terdapat segi-segi perdatanya Dalam hukum Islam yang disebutkan hanyalah bagian-bagiannya saja, yakni sebagai berikut : 1. Munakahat : mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya 2. Wirasah : mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan ini sering disebut juga hukum Faraid 3. mu’amalah dalam arti khusus : mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jula beli, sewa-menyewa, pinjam- meminjam, perserikatan dan sebagainya. 4. jinayat atau ‘ukubah : memuat aturan-aturan mengenai perbuatan- perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud(perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. dimana hudud merupakan jamak dari had yang berarti batas) maupun jarimah ta’zir(perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya sedangkan ta’zir berarti ajaran atau pengajaran). Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. 5. al-ahkam al-Sultaniyah(khilafah) : membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya. 6. Siyar : mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain 7. Mukhassamat : mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara Sedangkan Fathi Osman mengemukakan sitematika hukum Islam sebagai berikut : 8. Al-Ahkam al- Ahwal Al-Syakhsiyah(hukum Perorangan) 9. Al-Ahkam al-Madaniyah(hukum Kebendaan) 10. Al-Ahkam Al-Jinaiyah(hukum Pidana) 11. Al-Ahkam al-Murafaat(hukum Acara Perdata, Pidana dan Peradilan Tata Usaha Negara) 12. Al-Ahkam al-Dusturiyah(hukum Tata Negara) 13. Al-Ahkam al-Dawliyah(hukum Internasional) 14. Al-Ahkam al-Ightisadiyah al-Maliyah(hukum Ekonomi dan Keuangan)
C. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum Islam sebenarnya sudah nampak pada ayat-ayat yang ada dalam al- Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. secara umum para ahli merumuskan tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan segala sesuatu yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup kehidupan. Menurut Abu Ishak al-Shatibi, tujuan hukum Islam adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, harta yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Kelima tujuan itu kemudian disebut dengan al-Magasid al-Khamsah. Menurut Juhaya S. Praja, tujuan hukum Islam yang dirumuskan oleh Abu Ishak al- Shatibi tersebut dapat dilihat dari dua segi, yakni dari segi pembuat hukum Islam(Allah SWT. dan Rasul-Nya), dan dari segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat dari segi pembuat hukum Islam, tujuan hukum Islam adalah : pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tertier yang dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah daruriyyat, hajjihyat dan tahnissiyat. Kedua, untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, supaya dapat ditaati dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya memahami hukum Islam dengan mempelajari usul al-figh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya. Disamping itu dari segi pelaku hukum yakni manusianya sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan mempertahankan kehidupan itu. Adapun caranya dengan mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat bagi kehidupan. Dengan demikian tujuan hakikat hukum Islam adalah tercapainya keridaan Allah dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat kelak.
D. Sumber Hukum Islam
1. Pengertian Sumber Hukum Islam Pengertian sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat, yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum Islam dalam Ushul Fiqh diistilahkan dengan Mashadiru al- Ahkam(Sumber-sumber Hukum), Adillah al-Ahkam(Dalil-dalil Hukum), dan Ushul al-Ahkam(Dasar-dasar Hukum). Sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SWA). Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. Dalil-dalil di luar al-qur’an adalah sunnah, ijma’ dan qiyas yang kesemuanya sebenarnya terbit juga dari al-qur’an. Ketiganya merupakan sumber dari hukum Islam sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah swt. dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah(al-qur’an) dan Rasul(sunnahnya) jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Perkataan “taatilah Allah dan taatilah Rasul” pada ayat tersebut menunjuk pada al-qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum Islam. Perkataan “Ulil Amri diantara kamu” menunjuk kepada ijma’ sebagai sumber hukum Islam. Sedangkan kata-kata “kembalikanlah ia kepada Allah(al- qur’an) dan Rasul(sunnahnya)” menunjuk kepada qiyas sebagai sumber hukum Islam. Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing sumber hukum Islam.
a. Al-Qur’an atau Al-Kitab
1) Pengertian Al-qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama, semua ketetapan hukum harus ditetapkan berdasarkan pada al-qur’an, sebagaimana telah diterangkan dalam al- qur’an sendiri: ِ اس بِ َمآَأ َرىك آهللُ َواَل تَ ُك ْن لِّ ْلخَآِئنِ ْينَ َخ )105(ص ْي ًما ِّ َب بِ ْال َح ِ َّق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ آلن َ ك ْآل ِكت َ ِإنَّآ َأ ْن َز ْلنَآ ِإلَ ْي Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang(orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat.(an-Nisa:4(105)) Al-qur’an adalah firman Allah swt. yang memiliki kemukjizatan, yang diturunkan kepada Nabi-Nya yang terakhir(Nabi Muhammad saw.), melalui al-Amin(Malaikat Jibril) yang ditulis pada mushaf, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. 2) Tahap diturunkannya Al-Qur’an Turunnya al-qur’an melalui beberapa tahapan. Pertama, dari Allah swt. ke lauh mahfudh(suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah swt.) secara sekaligus. Kedua, dari lauh mahfudh ke baitul izzah(tempat yang berada di langit dunia) secara sekaligus, tahapan kedua ini yang dinamakan dengan lailah al-qadr. Ketiga, dari baitul izzah ke dalam hati Nabi melalui malaikat jibril dengan cara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari di dua kota(13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah) yaitu mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M sampai 9 Dzulhijjah haji wada’ tahun ke 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 Hijriyah, adakalanya satu ayat, dua ayat, bahkan kadang-kadang satu surat. 3) Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an Beberapa hukum yang diatur dalam al-qur’an sebagai berikut : a) Hukum Ibadah Yang termasuk dalam hukum Ibadah adalah shalat, puasa, zakat, haji, nadzar dan sumpah. Contoh ayat dalam al-qur’an yang mengatur tentang ibadah adalah surat al- Imron ayat 97 di bawah ini. ِ َت َم ِن ا ْستَط ... اع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياَل ِ اس ِحجُّ ْالبَ ْي ِ َّوهلِل ِ َعلَى الن... َ ( 97) Artinya : ... dan karena Allah(wajib) atas manusia berhaji ke Baitullah bagi mereka yang sanggup pergi atau berjalan kesana... b) Hukum Mu’amalah Yang termasuk dalam hukum Mu’amalah adalah berbagai transaksi jual beli, sewa menyewa dan pinjam meminjam. Contoh ayat dalam al-qur’an yang mengatur tentang mu’amalah adalah surat al-baqarah ayat 188 di bawah ini. )188( َاس بِآِإْل ْث ِم َوَأ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن ْ ُواْأ ْم َولَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْآلبَ ِط ِل َوتُ ْدلُوأبِهَآِإلَى ْآل ُح َّك ِام لِتَْأ ُكل ِ َّوافَ ِر ْيقًا ِّم ْن َأ ْم َو ِل آلن ْ َُواَل تَْأ ُكل Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. c) Hukum Peradilan Secara umum dapat dilihat pada surat an-Nahl ayat 90 mengenai kewajiban untuk berlaku adil dalam peradilan. )90( َِإ َّن آهللَ يأمربِ ْآل َع ْد ِل َوآِإْل حْ َس ِن َوِإ ْيتَآِئ ِذى ْآلقُرْ بَى َويَ ْنهَى ع َِن ْآلفَحْ َشآ ِء َو ْآل ُم ْن َك ِر َو ْآلبَ ْغ ِى يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran. d) Hukum Tatanegara Yaitu hukum yang berkaitan dengan sistem pemerintahan yang salah satunya terdapat pada surat an-Nisa’ ayat 83. ِم ْنهُ ْم,ُف َأ َذا ُعوْ ابِ ِه َولَوْ َر ُّدوهُ ِإلَى آل َّرسُوْ ُل وَِإلَى ُأوْ لِى آَأْل ْم ِر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمهُ آلَّ ِذ ْينَ يَ ْستَ ْنبِطُوْ نَه ِ َْوِإ َذا َجآ َءهُ ْم َأ ْم ٌر ِّمنَ آَأْل ْم ِن َأ ِو ْآل َخو )83( آَل تَّبَ ْعتُ ُم آل َّش ْيطَنَ ِإاَل قَلِ ْياًل,َُولَوْ اَل فَضْ ُل آهللِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُه Artinya : Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya(akan dapat) mengetahuinya dri mereka(Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan berkah Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan kecuali sebagia kecil saja(diantaramu). b. Al-Hadits atau As-Sunnah 1) Pengertian Al-hadits yang sering juga disebut as-sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik perkataan, perbuatan maupun pengakuannya. Diantara beberapa hadits Rasulullah yang memerintahkan kepada kaum muslimin agar selalu berpegang kepada sunnahnya adalah riwayat Imam Ahmad dan lainnya dari Abi Najih al-Irbadh bin Sariyah ra. yang menceritakan bahwa Rasulullah memberikan nasihat kepad kita dengan suatu nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Maka kami bertanya kepada beliau : “Hai Rasulullah, tampaknya nasihat itu nasihat (pamitan) terakhir.” Lalu beliau menasehati kita, sabdanya : ْش ِم ْن ُك ْم فَ َسيَ َرى ِإ ْختِاَل فًا َكثِ ْيرًافَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِى َ َوِإنَّهُ َم ْن يَ ِعي،ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َوآل َّس ْم ِع َوآلطَّا َع ِة َواِ ْن تََأ َّم َر َعلَ ْي ُك ْم َع ْب ٌد ِ ْاُو ات آالُ ُموْ ِر فَِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُكلُّ بِ ْد َع ٍة ِ َو ُسنَّةَ ُخلَفَا ِءآلرَّا ِش ِد ْينَ ْآل ُم ْه ِديِّ ْينَ عَضُّ وْ ا َعلَ ْيهَا بِالنَّ َو ُ َاج ِذ َوِإيَّا ُك ْم ُمحْ َدث ِ َّضاَل لَ ٍة فِى الن ار َ ُّضاَل لَةٌ َو ُكل. َ Artinya : Aku menasehatkan kepadamu agar kamu taqwa kepada Allah, taat dan patuh, biarpun seorang hamba sahaya memerintah kamu. Sungguh orang hidup lama(berumur panjang) diantara kamu nanti, bakal mengetahui adanya pertentangan-pertentangan yang hebat. Oleh karena itu hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku, sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnahku dengan taringmu! Jauhilah mengada-adakan perkara, sebab perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Padahal setiap bid’ah itu tersesat dan setiap tersesat itu di neraka. Al-qur’an tidak menjelaskan secara rinci baik mengenai cara-cara melaksanakan maupun syarat dari beberapa perintah yang dibebankannya kepada umat. Penjelasan yang lebih rinci disampaikan oleh Rasulullah dalam haditsnya. Hal ini karena beliau telah diberikan kewenangan untuk itu oleh Allah swt., dengan firman-Nya pada ayat 44 surat an-Nahl: ...)44(. َاس َمانُ ِّز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن ِ َِّّن لِلن-َ ك ال ِّذ ْك َرلِتُبَيَ َوَأ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْي Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu al-qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. 2) Pembagian Al-Hadits atau As-Sunnah a) Berdasarkan dari Pengertiannya Sunnah qouliyah Hadits yang diriwayatkan tentang ucapan(kata-kata) Nabi saw. ِ ِإنَّ َما أَأْل ْع َما ُل بِالنِّيَّا ت Artinya: Segala amalan itu mengikuti niat(orang yang meniatkan).(HR. Al-Bukhari dan Muslim). Sunnah fi’liyah atau amaliyah Hadits yang diriwayatkan tentang perbuatan wudhu’ Nabi saw., shalatnya, hajinya, keputusannya terhadap suatu perkara dengan seorang saksi dan sumpah yang terdakwa, dipotongnya tangan kanan pencuri dan sebagainya. َ صلُّوْ ا َك َما َرَأ ْيتُ ُموْ نِ ْي ُأ صلِّ ْي َ Artinya: Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bershalat.(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Malik Ibn Hawairits). Sunnah taqririyah Hadits yang diriwayatkan tentang pengakuan atau pembenaran Nabi saw. terhadap perkataan atau perbuatan yang bersumber dari sahabatnya, baik dengan diamnya maupun dengan tidak diingkarinya ataupun dengan menyatakan persetujuannya, baik perbuatan atau perkataan sahabat itu dilakukan di depannya ataupun di belakangnya. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Khalid bin Walid memakan dabh(semacam biawak) yang kemudian dihidangkan kepada Nabi saw., akan tetapi Nabi saw. enggan untuk memakannya. Lalu, sebagian sahabat(Khalid) bertanya: “Apakah kita diharamkan makan dabh, wahai Rasulullah?” Nabi saw. menjawab: ُكلُوْ ا فَِإنَّهُ َحاَل ٌل،ض قَوْ ِم ْي ِ ْْس فِ ْي َأر َ َولَ ِكنَّهُ لَي، اَل Artinya: Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di negeriku(oleh karena itu aku tidak suka memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia(dabh) halal.(HR. Al-Bukhari dan Muslim). b) Menurut Sanadnya Sunnah Mutawatirah(Hadits Mutawattir) Sunnah yang diriwayatkan dari Rasul, sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, oleh orang banyak sehingga mustahil mereka sepakat berdusta menurut adat karena banyak jumlahnya dan perbedaan pandangan serta budayanya. Contoh: Hadits tentang pelaksanaan shalat, puasa, haji, adzan. َّ ْال َع ْه ُد الَّ ِذى بَ ْينَنَا َوبَ ْينَهُ ْم ال صاَل ةُ فَ َم ْن تَ َر َكهَا فَقَ ْد َكفَ َر Artinya: Perjanjian antara kami dan mereka(orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.(HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah) Sunnah Masyhurah(Hadits Masyhur) Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh beberapa orang sahabat kemudian di masa tabi’in dan tabi’ tabi’in oleh orang banyak seperti dalam sunnah mutawatirah. ْأل ُغ ْس ُل يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة َوا ِجبٌ َع َل ُك ِّل ُمحْ تَلِ ٍم Artinya: Mandi jum’at wajib atas setiap orang yang telah ihtilam(mimpi basah). Sunnah Ahaad(Hadits Ahad) Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh sejumlah orang(dalam generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) yang tak mencapai batas dalam sunnah mutawatir. ِإ َّن ال ِّد ْينَ يُ ْس ٌر Artinya: Sesungguhnya agama itu mudah.(Hadits no.9 dari Abu Hurairah ra.) 3) Fungsi Al-Hadits terhadap Al-Qur’an a) Menetapkan dan Menguatkan Hukum yang dibawa Al-Qur’an Materi hukum sunnah sesuai dengan materi hukum al-qur’an, seperti hadits-hadits yang menunjukkan kewajiban shalat, puasa, zakat dan haji. b) Menjelaskan dan memerinci hukum-hukum al-qur’an yang masih global atau umum. c) Membentuk hukum yang tidak dibentuk oleh al-qur’an. c. Al-Ijma’ 1) Pengertian Ijma’ menurut bahasa, mengandung dua pengertian, yaitu: Ittifaq(kesepakatan), seperti dikatakan: “suatu kaum ialah berijma’ tentang sesuatu”, maksudnya apabila mereka menyepakatinya. ‘azzam(cita-cita, hasrat) dan tasmin Seperti dalam firman Allah: )71( .فََأجْ ِمعُوْ ا َأ ْم َر ُك ْم َو ُش َر َكا َء ُك ْم Artinya: Maka ijma’kanlah urusanmu dan sekutumu.(surat Yunus ayat 71) Maksudnya, cita-citakanlah apa urusanmu. Demikian juga terdapat dalam hadits Nabi saw.: صيَ ِام لِ َم ْن لَ ْم يَجْ َم ِع الصَّوْ ِم لَ ْياًل ِ اَل. Artinya: Tidak sah puasa seseorang yang tidak mengijma’kan puasa itu di malam hari. Maksudnya, tidak mencita-citakannya. Ijma’ menurut syara’(dalam pandangan jumhur) adalah kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan dengan masa setelah wafatnya Nabi saw. tentang suatu hukum syara’ yang amali. 2) Unsur-unsur Al-Ijma’ Menurut Jumhur Ulama, Ijma’ hanya terwujud apabila dipenuhi persyaratan atau unsur- unsur sebagai berikut. a) Bersepakatnya para Mujtahid Kesepakatan bukan mujtahid(orang awam) tidak diakui sebagai ijma’. Demikian juga kesepakatan ulama yang belum mencapai martabat ijtihad fiqhy, sekalipunmereka tergolong Ulama besar dalam disiplin ilmu lain, karena mereka ini tidak mampu mengadakan mazhar atau istidlal tentang urusan penetapan hukum syara’. Imam Fakhrurazy mengatakan bahwa seorang pembicara yang tidak mengetahui cara Istinbath hukum dari nash, tidak diakui perintah dan larangannya. Berdasarkan prinsip ini,maka apabila pada suatu masa tidak terdapat para mujtahid, tidaklah terwujud ijma’ syar’i. Sekurang-kurangnya jumlah mujtahid yang diperlukan untuk mewujudkan ijma’ itu adalah tiga orang karena itulah sekurang- kurangnya jumlah jama’ah. Oleh karena itu, ijma’ tidak terwujud ijma’ tidak akan terwujud jika terdapat seorang mujtahid saja atau dua orang. Sebagian ulama mensyaratkan jumlah itu harus mencapai batas tawatur sehingga aman dari terjadinya kesalahan. b) Semua Mujtahid Bersepakat Tidak ada seorang dari para mujtahid yang berpendapat lain mengenai suatu permasalahan. Kalau satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak tersimpul. Beberapa kesepakatan yang tidak diakui sebagai ijma’ oleh sebagian jumhur ulama, yaitu: Kesepakatan berdasarkan jumlah suara terbanyak Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari golongan salaf Kesepakatan ulama salaf kota Madinah saja Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari kota Basrah dan Kuffah, atau salah satunya saja Kesepakatan ahli bait Nabi saja Kesepakatan Khulafaurrasyidin saja Kesepakatan dua orang syekh: Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka tidak qath’y(diyakini) keabsahan dan kebenarannya. c) Bahwa kesepakatan itu, diantara mujtahid yang ada ketika masalah yang diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas, tidak selalu disepakati pula oleh mujtahid generasi berikutnya, karena jika demikian, maka ijma’ takkan terjadi sampai kiamat. Tersimpulnya ijma’ tidak disyaratkan bahwa para mujtahid yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Tetapi, sebagian ulama mensyaratkan harus seluruh ulama yang berijma’ itu meninggal barulah dilaksanakan(berlakunya), karena selama mereka masih hidup, bisa terjadi penarikan pendapat mereka. d) Kesepakatan Mujtahid itu terjadi setelah wafatnya Nabi saw. Jika dikala Nabi saw. masih hidup para sahabat bersepakat tentang suatu masalah hukum, maka bukan termasuk ijma’ syar’i melainkan merupakan pengakuan Rasul(Sunnah Taqqririyah). e) Para Mujtahid Mengeluarkan Masing-masing Pendapatnya Masing-masing mujtahid memulai penyampaian pendapatnya dengan jelas pada satu waktu,baik pernyataan pendapat itu secara perorangan tanpa berkumpul bersama kemudian semuanya dikumpulkan dan ternyata sama,maupun masing-masing mereka mengeluarkan pendapatnya di ruangan yang sama dalam suatu mu’tamar yang berakhir dengan kebulatan pendapat dimana masing-masingnya menyatakan pemufakatan dan persetujuan. 3) Macam-macam Ijma’ Ijma’ sharih atau Ijma’ Bayaniy, yaitu masing-masing mujtahid menyatakan dan menegaskan pendapatnya, baik berupa ucapan ataupun tulisan. Ijma’ Sukuty, yaitu seorang mujtahid mengungkapkan pendapatnya sedangkan mujtahid lain diam saja dan tak seorangpun yang mengingkarinya. 4) Contoh-contoh Ijma’ Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah Rasul Wafat Pengkodifikasian al-qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar dengan usulan khalifah Umar, sehingga Abu Bakar mengumpulkan para ulama’ untuk bersepakat dalam pembukuan al-qur’an. Penetapan tanggal 1 syawal atau 1 ramadhan, maka harus disepakati oleh ulama’ di negerinya masing-masing. d. Qiyas 1) Pengertian Manurut bahasa adalah mempersamakan Menurut istilah Ulama Ushul, qiyas adalah mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash. Al Baidhawy di dalam Kitabnya Al Minhaj mendefinisikan qiyas dengan: َت ُم َساواَ ِة ُح ْك ِم ْال ُم ْعلُوْ ِم فِ ْي َم ْعلُوْ ٍم آخَ َرلِ ُم َشا َر ِكتَ ِه لَهُ فِ ْي ِعلَّ ِة ْال ُح ْك ِم َعلَى ْال ُم ْثبِت ِ اِ ْثبَا. Artinya: Menetapkan samanya hukum yang sudah dimaklumi dengan sesuatu peristiwa lain yang dimaklumi karena samanya ‘illat hukumnya menurut pihak penetap. 2) Unsur-unsur Qiyas a) Peristiwa hukum yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebut asal atau maqis ‘alaih b) Peristiwa hukum baru yang tidak disebutkan hukumnya oleh nash dan untuk mencari hukum tersebutlah sasaran qiyas, disebut furu’ atau cabang dan maqis c) Hukum asal, yaitu hukum yang dibawa oleh nash terhadap peristiwanya. d) ‘illat hukum, yaitu yang dijadikan syar’i sebagai landasan hukum terhadap peristiwa hukum yang disebut nash. 3) Macam-macam Qiyas a) Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang disamakan(mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat menyamakannya(mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan mengatakan “ah”(cih,hus) kepadanya yang terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 23. ...)23(... ٍّفَاَل تَقُلْ لَهُ َما ُأف Artinya: ...Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”... b) Qiyas Musawi, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat hukum yang terdapat dalam mulhaq-nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, haramnya membakar harta anak yatim disamakan dengan memakan harta anak yatim(surat An-Nisa’ ayat 10). ِإ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ َأ ْم َوا َل ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَْأ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا. Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala(neraka). c) Qiyas Dilalah, yaitu suatu qiyas dimana ‘illat yang ada pada mulhaq menunjukkan hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya seperti mengqiyaskan harta milik anak kecil kepada harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat, dengan ‘illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat bertambah. d) Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan dengan dua mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya, seorang budak yang dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena sama-sama keturunan Nabi Adam as. dan dapat diqiyaskan dengan harta benda karena sama- sama dapat dimiliki. Tapi, budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda karena dapat diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan dan lain sebagainya. 4) Contoh-contoh Qiyas a) Minum khamar diharamkan dengan nash. Diqiyaskan kepadanya meminum perasan lain yang menjadi khamar dan terdapatnya sifat memabukkan seperti pada khamar, karena samanya dalam ‘illat keharamannya yaitu memabukkan. b) Jual beli waktu akan shalat Jum’at dilarang dengan nash. Diqiyaskan kepadanya segala bentuk transaksi dan transfer dalam waktu itu, karena sama-sama menghalangi ingat kepada Allah. c) Surat yang dibubuhi tanda tangan merupakan bukti terhadap yang membubuhinya. Diqiyaskan kepadanya, surat yang dicap jari, karena sama-sama menunjukkan identitas pelakunya. BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian
dari agama islam.
Ruang lingkup Hukum Islam diantaranya adalah munakahat,
wirasah, mu’amalah, jinayat atau ‘ukubah, al-ahkam al- Sultaniyah(khilafah), Siyar, Mukhassamat
Tujuan Hukum Islam adalah pertama, untuk memenuhi keperluan
hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tertier yang dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah daruriyyat, hajjihyat dan tahnissiyat. Kedua, untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, supaya dapat ditaati dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya memahami hukum Islam dengan mempelajari usul al-figh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya.
Sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman
atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SWA). Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman.1995.Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya.Jakarta:Sinar Grafika
Ali, M.Daud.1988.Islam untuk Disipln Ilmu Hukum, Sosial, dan
Politik.Jakarta:Bulan Bintang
Wailers, Erick.2015.Kumpulan Hadits Nabi Tentang Sholat,online,
(https://www.fiqihmuslim.com/2015/09/kumpulan-hadits-nabi-tentang- sholat.html?=1) (diakses pada tanggal 2 Maret 2018)
Wikipedia.Sumber-sumber Hukum Islam, online,
(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sumber-sumber_hukum_Islam#Dasar_hukum) (diakses pada tanggal 5 Maret 2018)