Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM ISLAM

DISUSUN OLEH:

ISMAINI

NPM 2220060088

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


PENDIDIKAN TINGGI

Medan, Mei 2023


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum adalah komponen yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat, dan
pada dasarnya hukum itu adalah masyarakat itu sendiri. Setiap tingkah laku
masyarakat selalu di monitor oleh hukum, baik hukum yang tertulis maupun hukum
yang tidak tertulis. Negara Indonesia adalah Negara hukum yang memiliki penduduk
mayoritas beragama islam, secara sengaja maupun tidak sengaja hal tersebut
mempengaruhi terbentuknya suatu aturan hukum yang berlandaskan atas agama
Islam.
Walaupun  merupakan  bagian  integral  syari’ah  Islam  dan  memiliki  peran
signifikan,  kompetensi dasar  yang  dimiliki  hukum  Islam.
Tidak  banyak  dipahami
secara  benar  dan  mendalam  oleh  masyarakat, bahkan  oleh  kalangan  ahli  hukum
itu sendiri. Sebagian  besar  kalangan  beranggapan,  tidak  kurang diantaranya
kalangan muslim,  menancapkan  kesan  kejam, incompatible  dan  off  to  date
dalam  konsep hukum Islam.
Ketakutan  ini  akan  semakin  jelas  adanya  apabila  mereka  membincangkan
hukum pidana Islam, ketentuan pidana potong tangan, rajam, salab dan qisas telah
off to date dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian.
Sedikit kita tilik, pada hakikatnya hukum islam sangat adil (terutama hukum pidana)
dan hukumannya pun dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan dapat menjadi
pelajaran  bagi yang lain. Tetapi untuk pelaksanaan hukuman untuk si pelaku cukup
sulit, semisal pidana potong tangan bagi yang mencuri, eksekusi tidak bisa
dilaksanakan sebelum mendatangkan 4 saksi, 4 saksi harus disumpah untuk
membuktikan kebenarannya. Jadi salah apabila ada orang yang mengatakan
bahwasanya hukum islam itu sangat kejam dan tidak pantas diterapkan karena tidak
manusiawi. Hal ini disebabkan  ia belum memahami benar hukum islam secara
menyeluruh. Bila kita memahami benar prinsip hukum islam, kita akan mengetahui
betapa adil dan membawa kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat, karena
tidak memandang jabatan atau pangkat sekalipun itu raja apabila bersalah wajib
menerima hukuman sesuai ketentuan yang berlaku
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian Hukum Islam ?
1.2.2 Apa saja ruang lingkup Hukup Islam ?
1.2.3 Apa tujuan Hukum Islam ?
1.2.4 Apa saja sumber-sumber Hukum Islam?
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Islam


Hukum islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama islam.
Dalam konsepsi hukum Islam , dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah
SWT. yang diatur tidak hanya hubungan manusia dengan manusia lain dalam
masyarakat termasuk dirinya sendiri dan benda serta alam semesta,tetapi juga
hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam sistem hukum Islam terdapat lima kaidah
yang dipergunakan untuk mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah
maupun di bidang mu’amalah. Kelima jenis kaidah tersebut dinamakan al-ahkam al-
khamsah atau penggolongan hukum yang lima yakni jaiz atau mubah atau ibahah,
sunnah, makruh, wajib, dan haram. Dalam pembahasan kerangka dasar agama islam
disebutkan bahwa komponen kedua agama Islam adalah syari’at yang terdiri dari
dua bagian yakni ibadah dan mu’amalah. Adapun ilmu yang membahas tentang
syari’at disebut dengan ilmu fikih.

B. Ruang Lingkup Hukum Islam


Dalam hukum Islam di bidang mu’amalah tidak dibedakan antara hukum
privat(hukum Perdata) dengan hukum publik, hal ini disebabkan karena menurut
sistem hukum islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum
publik terdapat segi-segi perdatanya
Dalam hukum Islam yang disebutkan hanyalah bagian-bagiannya saja, yakni sebagai
berikut :
1. Munakahat : mengatur segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya
2. Wirasah : mengatur segala masalah yang berhubungan
dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum
kewarisan ini sering disebut juga hukum Faraid
3. mu’amalah dalam arti khusus : mengatur masalah kebendaan dan hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jula beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, perserikatan dan sebagainya.
4. jinayat atau ‘ukubah : memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud(perbuatan
pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW. dimana hudud merupakan jamak dari had yang
berarti batas) maupun jarimah ta’zir(perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman
hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya
sedangkan ta’zir berarti ajaran atau pengajaran). Yang dimaksud dengan jarimah
adalah perbuatan pidana.
5. al-ahkam al-Sultaniyah(khilafah) : membicarakan soal-soal yang
berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara,
pajak dan sebagainya.
6. Siyar : mengatur urusan perang dan damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain
7. Mukhassamat : mengatur soal peradilan, kehakiman dan
hukum acara
Sedangkan Fathi Osman mengemukakan sitematika hukum Islam sebagai berikut :
8. Al-Ahkam al- Ahwal Al-Syakhsiyah(hukum Perorangan)
9. Al-Ahkam al-Madaniyah(hukum Kebendaan)
10. Al-Ahkam Al-Jinaiyah(hukum Pidana)
11. Al-Ahkam al-Murafaat(hukum Acara Perdata, Pidana dan Peradilan Tata Usaha
Negara)
12. Al-Ahkam al-Dusturiyah(hukum Tata Negara)
13. Al-Ahkam al-Dawliyah(hukum Internasional)
14. Al-Ahkam al-Ightisadiyah al-Maliyah(hukum Ekonomi dan Keuangan)

C. Tujuan Hukum Islam


Tujuan hukum Islam sebenarnya sudah nampak pada ayat-ayat yang ada dalam al-
Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. secara umum para ahli merumuskan
tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat
kelak, dengan jalan segala sesuatu yang bermanfaat dan mencegah atau menolak
yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup kehidupan. Menurut Abu Ishak
al-Shatibi, tujuan hukum Islam adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan,
harta yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Kelima tujuan
itu kemudian disebut dengan al-Magasid al-Khamsah.
Menurut Juhaya S. Praja, tujuan hukum Islam yang dirumuskan oleh Abu Ishak al-
Shatibi tersebut dapat dilihat dari dua segi, yakni dari segi pembuat hukum
Islam(Allah SWT. dan Rasul-Nya), dan dari segi manusia yang menjadi pelaku dan
pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat dari segi pembuat hukum Islam, tujuan
hukum Islam adalah : pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang
bersifat primer, sekunder, dan tertier yang dalam kepustakaan hukum Islam disebut
dengan istilah daruriyyat, hajjihyat dan tahnissiyat. Kedua, untuk ditaati dan
dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, supaya dapat ditaati
dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan kemampuannya memahami
hukum Islam dengan mempelajari usul al-figh yakni dasar pembentukan dan
pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya. Disamping itu dari segi pelaku
hukum yakni manusianya sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai
kehidupan yang bahagia dan mempertahankan kehidupan itu. Adapun caranya
dengan mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat bagi
kehidupan. Dengan demikian tujuan hakikat hukum Islam adalah tercapainya
keridaan Allah dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat kelak.

D. Sumber Hukum Islam


1. Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat, yaitu
peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum Islam dalam Ushul Fiqh diistilahkan dengan Mashadiru al-
Ahkam(Sumber-sumber Hukum), Adillah al-Ahkam(Dalil-dalil Hukum), dan Ushul
al-Ahkam(Dasar-dasar Hukum).
Sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang
menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad
(Sunnah Rasulullah SWA). Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa
pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
Dalil-dalil di luar al-qur’an adalah sunnah, ijma’ dan qiyas yang kesemuanya
sebenarnya terbit juga dari al-qur’an. Ketiganya merupakan sumber dari hukum
Islam sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 59 yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah swt. dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah(al-qur’an) dan Rasul(sunnahnya) jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” Perkataan “taatilah Allah dan taatilah
Rasul” pada ayat tersebut menunjuk pada al-qur’an dan sunnah sebagai sumber
hukum Islam. Perkataan “Ulil Amri diantara kamu” menunjuk kepada ijma’ sebagai
sumber hukum Islam. Sedangkan kata-kata “kembalikanlah ia kepada Allah(al-
qur’an) dan Rasul(sunnahnya)” menunjuk kepada qiyas sebagai sumber hukum
Islam.
Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing sumber hukum Islam.

a. Al-Qur’an atau Al-Kitab


1) Pengertian
Al-qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama, semua ketetapan hukum harus
ditetapkan berdasarkan pada al-qur’an, sebagaimana telah diterangkan dalam al-
qur’an sendiri:
ِ ‫اس بِ َمآَأ َرىك آهللُ َواَل تَ ُك ْن لِّ ْلخَآِئنِ ْينَ َخ‬
)105(‫ص ْي ًما‬ ِّ ‫َب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ آلن‬ َ ‫ك ْآل ِكت‬
َ ‫ِإنَّآ َأ ْن َز ْلنَآ ِإلَ ْي‬
Artinya :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang(orang yang tidak bersalah)
karena (membela) orang-orang yang khianat.(an-Nisa:4(105))
Al-qur’an adalah firman Allah swt. yang memiliki kemukjizatan, yang diturunkan
kepada Nabi-Nya yang terakhir(Nabi Muhammad saw.), melalui al-Amin(Malaikat
Jibril) yang ditulis pada mushaf, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
membacanya bernilai ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Nas.
2) Tahap diturunkannya Al-Qur’an
Turunnya al-qur’an melalui beberapa tahapan. Pertama, dari Allah swt. ke lauh
mahfudh(suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan
kepastian Allah swt.) secara sekaligus. Kedua, dari lauh mahfudh ke baitul
izzah(tempat yang berada di langit dunia) secara sekaligus, tahapan kedua ini yang
dinamakan dengan lailah al-qadr. Ketiga, dari baitul izzah ke dalam hati Nabi
melalui malaikat jibril dengan cara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari di dua kota(13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di
Madinah) yaitu mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi,
bertepatan tanggal 6 Agustus 610 M sampai 9 Dzulhijjah haji wada’ tahun ke 63 dari
kelahiran Nabi atau tahun 10 Hijriyah, adakalanya satu ayat, dua ayat, bahkan
kadang-kadang satu surat.
3) Hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an
Beberapa hukum yang diatur dalam al-qur’an sebagai berikut :
a) Hukum Ibadah
Yang termasuk dalam hukum Ibadah adalah shalat, puasa, zakat, haji, nadzar dan
sumpah. Contoh ayat dalam al-qur’an yang mengatur tentang ibadah adalah surat al-
Imron ayat 97 di bawah ini.
ِ َ‫ت َم ِن ا ْستَط‬
... ‫اع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياَل‬ ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬ ِ َّ‫وهلِل ِ َعلَى الن‬... َ
( 97)
Artinya :
... dan karena Allah(wajib) atas manusia berhaji ke Baitullah bagi mereka yang sanggup
pergi atau berjalan kesana...
b) Hukum Mu’amalah
Yang termasuk dalam hukum Mu’amalah adalah berbagai transaksi jual beli, sewa
menyewa dan pinjam meminjam. Contoh ayat dalam al-qur’an yang mengatur
tentang mu’amalah adalah surat al-baqarah ayat 188 di bawah ini.
)188( َ‫اس بِآِإْل ْث ِم َوَأ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬ ْ ُ‫واْأ ْم َولَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْآلبَ ِط ِل َوتُ ْدلُوأبِهَآِإلَى ْآل ُح َّك ِام لِتَْأ ُكل‬
ِ َّ‫وافَ ِر ْيقًا ِّم ْن َأ ْم َو ِل آلن‬ ْ ُ‫َواَل تَْأ ُكل‬
Artinya :
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
c) Hukum Peradilan
Secara umum dapat dilihat pada surat an-Nahl ayat 90 mengenai kewajiban untuk
berlaku adil dalam peradilan.
)90( َ‫ِإ َّن آهللَ يأمربِ ْآل َع ْد ِل َوآِإْل حْ َس ِن َوِإ ْيتَآِئ ِذى ْآلقُرْ بَى َويَ ْنهَى ع َِن ْآلفَحْ َشآ ِء َو ْآل ُم ْن َك ِر َو ْآلبَ ْغ ِى يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُوْ ن‬
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pengajaran.
d) Hukum Tatanegara
Yaitu hukum yang berkaitan dengan sistem pemerintahan yang salah satunya terdapat
pada surat an-Nisa’ ayat 83.
‫ ِم ْنهُ ْم‬,ُ‫ف َأ َذا ُعوْ ابِ ِه َولَوْ َر ُّدوهُ ِإلَى آل َّرسُوْ ُل وَِإلَى ُأوْ لِى آَأْل ْم ِر ِم ْنهُ ْم لَ َعلِ َمهُ آلَّ ِذ ْينَ يَ ْستَ ْنبِطُوْ نَه‬ ِ ْ‫َوِإ َذا َجآ َءهُ ْم َأ ْم ٌر ِّمنَ آَأْل ْم ِن َأ ِو ْآل َخو‬
)83( ‫آَل تَّبَ ْعتُ ُم آل َّش ْيطَنَ ِإاَل قَلِ ْياًل‬,ُ‫َولَوْ اَل فَضْ ُل آهللِ َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمتُه‬
Artinya :
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya(akan dapat) mengetahuinya dri mereka(Rasul dan Ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan berkah Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti
syaitan kecuali sebagia kecil saja(diantaramu).
b. Al-Hadits atau As-Sunnah
1) Pengertian
Al-hadits yang sering juga disebut as-sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw. baik perkataan, perbuatan maupun pengakuannya.
Diantara beberapa hadits Rasulullah yang memerintahkan kepada kaum muslimin agar
selalu berpegang kepada sunnahnya adalah riwayat Imam Ahmad dan lainnya dari
Abi Najih al-Irbadh bin Sariyah ra. yang menceritakan bahwa Rasulullah
memberikan nasihat kepad kita dengan suatu nasihat yang menggetarkan hati dan
mencucurkan air mata. Maka kami bertanya kepada beliau : “Hai Rasulullah,
tampaknya nasihat itu nasihat (pamitan) terakhir.” Lalu beliau menasehati kita,
sabdanya :
‫ْش ِم ْن ُك ْم فَ َسيَ َرى ِإ ْختِاَل فًا َكثِ ْيرًافَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِى‬ َ ‫ َوِإنَّهُ َم ْن يَ ِعي‬،‫ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َوآل َّس ْم ِع َوآلطَّا َع ِة َواِ ْن تََأ َّم َر َعلَ ْي ُك ْم َع ْب ٌد‬ ِ ْ‫اُو‬
‫ات آالُ ُموْ ِر فَِإ َّن ُك َّل ُمحْ َدثَ ٍة بِ ْد َعةٌ َو ُكلُّ بِ ْد َع ٍة‬ ِ ‫َو ُسنَّةَ ُخلَفَا ِءآلرَّا ِش ِد ْينَ ْآل ُم ْه ِديِّ ْينَ عَضُّ وْ ا َعلَ ْيهَا بِالنَّ َو‬
ُ َ‫اج ِذ َوِإيَّا ُك ْم ُمحْ َدث‬
ِ َّ‫ضاَل لَ ٍة فِى الن‬
‫ار‬ َ ُّ‫ضاَل لَةٌ َو ُكل‬. َ
Artinya :
Aku menasehatkan kepadamu agar kamu taqwa kepada Allah, taat dan patuh, biarpun
seorang hamba sahaya memerintah kamu. Sungguh orang hidup lama(berumur
panjang) diantara kamu nanti, bakal mengetahui adanya pertentangan-pertentangan
yang hebat. Oleh karena itu hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku,
sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnahku dengan
taringmu! Jauhilah mengada-adakan perkara, sebab perkara yang diada-adakan itu
adalah bid’ah. Padahal setiap bid’ah itu tersesat dan setiap tersesat itu di neraka.
Al-qur’an tidak menjelaskan secara rinci baik mengenai cara-cara melaksanakan
maupun syarat dari beberapa perintah yang dibebankannya kepada umat. Penjelasan
yang lebih rinci disampaikan oleh Rasulullah dalam haditsnya. Hal ini karena beliau
telah diberikan kewenangan untuk itu oleh Allah swt., dengan firman-Nya pada ayat
44 surat an-Nahl:
...)44(. َ‫اس َمانُ ِّز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ ِ َّ‫ِّن لِلن‬-َ ‫ك ال ِّذ ْك َرلِتُبَي‬َ ‫َوَأ ْن َز ْلنَا ِإلَ ْي‬
Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu al-qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
2) Pembagian Al-Hadits atau As-Sunnah
a) Berdasarkan dari Pengertiannya
 Sunnah qouliyah
Hadits yang diriwayatkan tentang ucapan(kata-kata) Nabi saw.
ِ ‫ِإنَّ َما أَأْل ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ت‬
Artinya:
Segala amalan itu mengikuti niat(orang yang meniatkan).(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
 Sunnah fi’liyah atau amaliyah
Hadits yang diriwayatkan tentang perbuatan wudhu’ Nabi saw., shalatnya, hajinya,
keputusannya terhadap suatu perkara dengan seorang saksi dan sumpah yang
terdakwa, dipotongnya tangan kanan pencuri dan sebagainya.
َ ‫صلُّوْ ا َك َما َرَأ ْيتُ ُموْ نِ ْي ُأ‬
‫صلِّ ْي‬ َ
Artinya:
Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bershalat.(HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Malik Ibn Hawairits).
 Sunnah taqririyah
Hadits yang diriwayatkan tentang pengakuan atau pembenaran Nabi saw. terhadap
perkataan atau perbuatan yang bersumber dari sahabatnya, baik dengan diamnya
maupun dengan tidak diingkarinya ataupun dengan menyatakan persetujuannya, baik
perbuatan atau perkataan sahabat itu dilakukan di depannya ataupun di belakangnya.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Khalid bin Walid
memakan dabh(semacam biawak) yang kemudian dihidangkan kepada Nabi saw.,
akan tetapi Nabi saw. enggan untuk memakannya. Lalu, sebagian sahabat(Khalid)
bertanya: “Apakah kita diharamkan makan dabh, wahai Rasulullah?” Nabi saw.
menjawab:
‫ ُكلُوْ ا فَِإنَّهُ َحاَل ٌل‬،‫ض قَوْ ِم ْي‬ ِ ْ‫ْس فِ ْي َأر‬ َ ‫ َولَ ِكنَّهُ لَي‬، ‫اَل‬
Artinya:
Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di negeriku(oleh karena itu aku tidak suka
memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia(dabh) halal.(HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
b) Menurut Sanadnya
 Sunnah Mutawatirah(Hadits Mutawattir)
Sunnah yang diriwayatkan dari Rasul, sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in, oleh
orang banyak sehingga mustahil mereka sepakat berdusta menurut adat karena
banyak jumlahnya dan perbedaan pandangan serta budayanya.
Contoh: Hadits tentang pelaksanaan shalat, puasa, haji, adzan.
َّ ‫ْال َع ْه ُد الَّ ِذى بَ ْينَنَا َوبَ ْينَهُ ْم ال‬
‫صاَل ةُ فَ َم ْن تَ َر َكهَا فَقَ ْد َكفَ َر‬
Artinya:
Perjanjian antara kami dan mereka(orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa
meninggalkannya maka dia telah kafir.(HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu
Majah)
 Sunnah Masyhurah(Hadits Masyhur)
Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh beberapa orang sahabat kemudian di
masa tabi’in dan tabi’ tabi’in oleh orang banyak seperti dalam sunnah mutawatirah.
‫ْأل ُغ ْس ُل يَوْ َم ْال ُج ُم َع ِة َوا ِجبٌ َع َل ُك ِّل ُمحْ تَلِ ٍم‬
Artinya:
Mandi jum’at wajib atas setiap orang yang telah ihtilam(mimpi basah).
 Sunnah Ahaad(Hadits Ahad)
Sunnah yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh sejumlah orang(dalam generasi sahabat,
tabi’in dan tabi’ tabi’in) yang tak mencapai batas dalam sunnah mutawatir.
‫ِإ َّن ال ِّد ْينَ يُ ْس ٌر‬
Artinya:
Sesungguhnya agama itu mudah.(Hadits no.9 dari Abu Hurairah ra.)
3) Fungsi Al-Hadits terhadap Al-Qur’an
a) Menetapkan dan Menguatkan Hukum yang dibawa Al-Qur’an
Materi hukum sunnah sesuai dengan materi hukum al-qur’an, seperti hadits-hadits yang
menunjukkan kewajiban shalat, puasa, zakat dan haji.
b) Menjelaskan dan memerinci hukum-hukum al-qur’an yang masih global atau umum.
c) Membentuk hukum yang tidak dibentuk oleh al-qur’an.
c. Al-Ijma’
1) Pengertian
Ijma’ menurut bahasa, mengandung dua pengertian, yaitu:
 Ittifaq(kesepakatan), seperti dikatakan: “suatu kaum ialah berijma’ tentang sesuatu”,
maksudnya apabila mereka menyepakatinya.
 ‘azzam(cita-cita, hasrat) dan tasmin
Seperti dalam firman Allah:
)71( .‫فََأجْ ِمعُوْ ا َأ ْم َر ُك ْم َو ُش َر َكا َء ُك ْم‬
Artinya:
Maka ijma’kanlah urusanmu dan sekutumu.(surat Yunus ayat 71)
Maksudnya, cita-citakanlah apa urusanmu.
Demikian juga terdapat dalam hadits Nabi saw.:
‫صيَ ِام لِ َم ْن لَ ْم يَجْ َم ِع الصَّوْ ِم لَ ْياًل‬ ِ ‫اَل‬.
Artinya:
Tidak sah puasa seseorang yang tidak mengijma’kan puasa itu di malam hari.
Maksudnya, tidak mencita-citakannya.
Ijma’ menurut syara’(dalam pandangan jumhur) adalah kesepakatan seluruh mujtahid
kaum muslimin disesuaikan dengan masa setelah wafatnya Nabi saw. tentang suatu
hukum syara’ yang amali.
2) Unsur-unsur Al-Ijma’
Menurut Jumhur Ulama, Ijma’ hanya terwujud apabila dipenuhi persyaratan atau unsur-
unsur sebagai berikut.
a) Bersepakatnya para Mujtahid
Kesepakatan bukan mujtahid(orang awam) tidak diakui sebagai ijma’. Demikian juga
kesepakatan ulama yang belum mencapai martabat ijtihad fiqhy, sekalipunmereka
tergolong Ulama besar dalam disiplin ilmu lain, karena mereka ini tidak mampu
mengadakan mazhar atau istidlal tentang urusan penetapan hukum syara’. Imam
Fakhrurazy mengatakan bahwa seorang pembicara yang tidak mengetahui cara
Istinbath hukum dari nash, tidak diakui perintah dan larangannya.
Berdasarkan prinsip ini,maka apabila pada suatu masa tidak terdapat para mujtahid,
tidaklah terwujud ijma’ syar’i. Sekurang-kurangnya jumlah mujtahid yang
diperlukan untuk mewujudkan ijma’ itu adalah tiga orang karena itulah sekurang-
kurangnya jumlah jama’ah. Oleh karena itu, ijma’ tidak terwujud ijma’ tidak akan
terwujud jika terdapat seorang mujtahid saja atau dua orang. Sebagian ulama
mensyaratkan jumlah itu harus mencapai batas tawatur sehingga aman dari
terjadinya kesalahan.
b) Semua Mujtahid Bersepakat
Tidak ada seorang dari para mujtahid yang berpendapat lain mengenai suatu
permasalahan. Kalau satu orang saja yang berpendapat lain, maka ijma’ tidak
tersimpul.
Beberapa kesepakatan yang tidak diakui sebagai ijma’ oleh sebagian jumhur ulama,
yaitu:
 Kesepakatan berdasarkan jumlah suara terbanyak
 Kesepakatan mujtahid dua tanah haram dari golongan salaf
 Kesepakatan ulama salaf kota Madinah saja
 Kesepakatan ulama salaf yang mujtahid dari kota Basrah dan Kuffah, atau salah
satunya saja
 Kesepakatan ahli bait Nabi saja
 Kesepakatan Khulafaurrasyidin saja
 Kesepakatan dua orang syekh: Abu Bakar dan Umar karena adanya pendapat lain
dari mujtahid lain, membuat kesepakatan mereka tidak qath’y(diyakini) keabsahan
dan kebenarannya.
c) Bahwa kesepakatan itu, diantara mujtahid yang ada ketika masalah yang
diperbincangkan itu dikemukakan dan dibahas, tidak selalu disepakati pula oleh
mujtahid generasi berikutnya, karena jika demikian, maka ijma’ takkan terjadi
sampai kiamat.
Tersimpulnya ijma’ tidak disyaratkan bahwa para mujtahid yang bersangkutan sudah
meninggal dunia. Tetapi, sebagian ulama mensyaratkan harus seluruh ulama yang
berijma’ itu meninggal barulah dilaksanakan(berlakunya), karena selama mereka
masih hidup, bisa terjadi penarikan pendapat mereka.
d) Kesepakatan Mujtahid itu terjadi setelah wafatnya Nabi saw.
Jika dikala Nabi saw. masih hidup para sahabat bersepakat tentang suatu masalah
hukum, maka bukan termasuk ijma’ syar’i melainkan merupakan pengakuan
Rasul(Sunnah Taqqririyah).
e) Para Mujtahid Mengeluarkan Masing-masing Pendapatnya
Masing-masing mujtahid memulai penyampaian pendapatnya dengan jelas pada satu
waktu,baik pernyataan pendapat itu secara perorangan tanpa berkumpul bersama
kemudian semuanya dikumpulkan dan ternyata sama,maupun masing-masing
mereka mengeluarkan pendapatnya di ruangan yang sama dalam suatu mu’tamar
yang berakhir dengan kebulatan pendapat dimana masing-masingnya menyatakan
pemufakatan dan persetujuan.
3) Macam-macam Ijma’
 Ijma’ sharih atau Ijma’ Bayaniy, yaitu masing-masing mujtahid menyatakan dan
menegaskan pendapatnya, baik berupa ucapan ataupun tulisan.
 Ijma’ Sukuty, yaitu seorang mujtahid mengungkapkan pendapatnya sedangkan
mujtahid lain diam saja dan tak seorangpun yang mengingkarinya.
4) Contoh-contoh Ijma’
 Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah setelah Rasul Wafat
 Pengkodifikasian al-qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar dengan usulan
khalifah Umar, sehingga Abu Bakar mengumpulkan para ulama’ untuk
bersepakat dalam pembukuan al-qur’an.
 Penetapan tanggal 1 syawal atau 1 ramadhan, maka harus disepakati oleh ulama’
di negerinya masing-masing.
d. Qiyas
1) Pengertian
 Manurut bahasa adalah mempersamakan
 Menurut istilah Ulama Ushul, qiyas adalah mempersamakan satu peristiwa hukum
yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang
ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang
ditentukan nash.
 Al Baidhawy di dalam Kitabnya Al Minhaj mendefinisikan qiyas dengan:
َ‫ت ُم َساواَ ِة ُح ْك ِم ْال ُم ْعلُوْ ِم فِ ْي َم ْعلُوْ ٍم آخَ َرلِ ُم َشا َر ِكتَ ِه لَهُ فِ ْي ِعلَّ ِة ْال ُح ْك ِم َعلَى ْال ُم ْثبِت‬
ِ ‫اِ ْثبَا‬.
Artinya:
Menetapkan samanya hukum yang sudah dimaklumi dengan sesuatu peristiwa lain yang
dimaklumi karena samanya ‘illat hukumnya menurut pihak penetap.
2) Unsur-unsur Qiyas
a) Peristiwa hukum yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebut asal atau maqis
‘alaih
b) Peristiwa hukum baru yang tidak disebutkan hukumnya oleh nash dan untuk mencari
hukum tersebutlah sasaran qiyas, disebut furu’ atau cabang dan maqis
c) Hukum asal, yaitu hukum yang dibawa oleh nash terhadap peristiwanya.
d) ‘illat hukum, yaitu yang dijadikan syar’i sebagai landasan hukum terhadap peristiwa
hukum yang disebut nash.
3) Macam-macam Qiyas
a) Qiyas Aula, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan yang
disamakan(mulhaq) mempunyai hukum yang lebih utama daripada tempat
menyamakannya(mulhaq bih). Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua
dengan mengatakan “ah”(cih,hus) kepadanya yang terdapat pada surat Al-Isra’ ayat
23.
...)23(... ٍّ‫فَاَل تَقُلْ لَهُ َما ُأف‬
Artinya:
...Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”...
b) Qiyas Musawi, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan ‘illat
hukum yang terdapat dalam mulhaq-nya adalah sama dengan ‘illat hukum yang
terdapat pada mulhaq bih. Misalnya, haramnya membakar harta anak yatim
disamakan dengan memakan harta anak yatim(surat An-Nisa’ ayat 10).
‫ِإ َّن الَّ ِذ ْينَ يَْأ ُكلُوْ نَ َأ ْم َوا َل ْاليَتَا َمى ظُ ْل ًما اِنَّ َما يَْأ ُكلُوْ نَ فِ ْي بُطُوْ نِ ِه ْم نَارًا َو َسيَصْ لَوْ نَ َس ِع ْيرًا‬.
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala(neraka).
c) Qiyas Dilalah, yaitu suatu qiyas dimana ‘illat yang ada pada mulhaq menunjukkan
hukum, tetapi tidak mewajibkan hukum padanya seperti mengqiyaskan harta milik
anak kecil kepada harta orang dewasa dalam kewajibannya mengeluarkan zakat,
dengan ‘illat bahwa seluruhnya adalah harta benda yang mempunyai sifat
bertambah.
d) Qiyas Syibhi, yaitu suatu qiyas dimana mulhaq-nya dapat diqiyaskan dengan dua
mulhaq bih yang mengandung banyak persamaannya dengan mulhaq. Misalnya,
seorang budak yang dapat diqiyaskan dengan orang merdeka karena sama-sama
keturunan Nabi Adam as. dan dapat diqiyaskan dengan harta benda karena sama-
sama dapat dimiliki. Tapi, budak tersebut diqiyaskan dengan harta benda karena
dapat diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan dan lain sebagainya.
4) Contoh-contoh Qiyas
a) Minum khamar diharamkan dengan nash. Diqiyaskan kepadanya meminum perasan
lain yang menjadi khamar dan terdapatnya sifat memabukkan seperti pada khamar,
karena samanya dalam ‘illat keharamannya yaitu memabukkan.
b) Jual beli waktu akan shalat Jum’at dilarang dengan nash. Diqiyaskan kepadanya
segala bentuk transaksi dan transfer dalam waktu itu, karena sama-sama
menghalangi ingat kepada Allah.
c) Surat yang dibubuhi tanda tangan merupakan bukti terhadap yang membubuhinya.
Diqiyaskan kepadanya, surat yang dicap jari, karena sama-sama menunjukkan
identitas pelakunya.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

 Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian


dari agama islam.

 Ruang lingkup Hukum Islam diantaranya adalah munakahat,


wirasah, mu’amalah, jinayat atau ‘ukubah, al-ahkam al-
Sultaniyah(khilafah), Siyar, Mukhassamat

 Tujuan Hukum Islam adalah pertama, untuk memenuhi keperluan


hidup manusia yang bersifat primer, sekunder, dan tertier yang
dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah daruriyyat,
hajjihyat dan tahnissiyat. Kedua, untuk ditaati dan dilaksanakan
oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, supaya dapat
ditaati dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan
kemampuannya memahami hukum Islam dengan mempelajari usul
al-figh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam
sebagai metodologinya.

 Sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman


atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan
Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SWA). Sebagian
besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya
sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman.1995.Sumber Hukum Islam Permasalahan dan


Fleksibilitasnya.Jakarta:Sinar Grafika

Ali, M.Daud.1988.Islam untuk Disipln Ilmu Hukum, Sosial, dan


Politik.Jakarta:Bulan Bintang

Wailers, Erick.2015.Kumpulan Hadits Nabi Tentang Sholat,online,


(https://www.fiqihmuslim.com/2015/09/kumpulan-hadits-nabi-tentang-
sholat.html?=1) (diakses pada tanggal 2 Maret 2018)

Wikipedia.Sumber-sumber Hukum Islam, online,


(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sumber-sumber_hukum_Islam#Dasar_hukum)
(diakses pada tanggal 5 Maret 2018)

Anda mungkin juga menyukai