Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Islam mempunyai standar

aturan bagi masyarakatnya. Keberadaan aturan atau sistem hukum Islam yang biasa

disebut syariat Islam merupakan hukum dan ketentuan Allah swt untuk mengatur

hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah), hubungan manusia dengan diri

sendiri (hablumminannafsy), dan hubungan manusia dengan sesamanya

(hablumminannas).

Secara praktis, dalam hablumminallah, Islam mengatur masalah akidah dan

ibadah. Dalam hablumminannafsy, Islam mengatur masalah pakaian, minuman,

akhlak, makanan, kebersihan diri, kesehatan diri, dan sebagainya. Sementara itu,

dalam hablumminannas, Islam mengatur masalah muamalah. Misalnya, perdagangan,

politik, ekonomi dan pendidikan, serta uqubat (persanksian).

Syariat Islam mempunyai sistem khas yang tidak dimiliki agama mana pun.

Kekhasan ini dapat dilihat dari pelaksanaannya. Penerapan syariat Islam dapat

memberikan rahmat bagi manusia dan menjaga kehormatan manusia. Di tengah

meningkatnya tindak kriminal, syariat Islam bisa menjadi solusi atas permasalahan

yang ada masyarakat. Syariat Islam mampu mencegah terjadinya tindak kriminal

dengan landasan ketakwaan dan keimanan kepada Allah swt.

Setiap manusia akan merasa terikat dengan hukum-hukum Allah, sehingga ia

akan senantiasa merasa takut ketika akan melanggar hukum-Nya. Selain itu, syariat

Islam juga akan menjadi penebus dosa bagi pelaku yang melakukan tindak kriminal,

sehingga ia akan terbebas dari siksa di akhirat. Maka, syariat Islam bersifat adil dan

tidak diskriminatif. Ia berlaku bagi siapapun dan di mana pun.


2. Isu Hukum

Isu hukum yang menjadi konsentrasi kami pada makalah ini ialah

pertama, Sebutkan dan jelaskan Sumber system hukum islam, tujuan Hukum

Islam serta bidang-bidang kajian apa saja yang masuk dalam system hukum

islam?

3. Tujuan

- Untuk mengetahui sumber sistem hukum islam dan bidang kajiannya

- Untuk dijadikan bahan pembelajaran bersama

- Untuk bahan diskusi belajar.

4. Manfaat

Agar mahasiswa dapat mengetahui sumber sistem hukum islam, tujuan

dari system hukum islam,dan mengetahui bidang-bidang kajian system hukum

islam sehingga dapat di aplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.


BAB II

PEMBAHASAN

Sistem Hukum Islam merupakan suatu sistem hukum yang nilai-nilainya

didasarkan kepada aturan dan ketetapan Allah SWT yang disampaikan-Nya melalui

Rasulullah SAW. Dasar sistem hukum Islam yang utama adalah Al-Quran,

selanjutnya adalah hadis Nabi yang sahih. Selanjutnya, para ulama ahli melakukan

pendekatan-pendekatan dan membuat pemahaman terhadap Al-Quran dan hadis

sehingga lahirlah kitab fiqh. Kitab fiqh merupakan kitab pedoman yang berisi hukum

serta peraturan Islam. Usaha para ulama untuk melakukan pendekatan dan membuat

pemahaman disebut juga sebagai ijtihad.

Pada dasarnya hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah,

hubungan manusia dengan manusia serta makhluk hidup lain, dan hubungan manusia

dengan benda (keduniaan). Karena Rasulullah SAW. diturunkan di Arab, sistem

hukum ini lahir di Arab pula. Seiring dengan berkembangnya Islam ke berbagai

belahan dunia, sistem hukum ini semakin berkembang dan diaplikasikan oleh umat

muslim di seluruh dunia.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, sumber pedoman system hukum Islam

adalah kitab suci Al-Quran yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah SAW. melalui

Jibril. Sumber system hukum berikutnya adalah hadis yang berisi sunah Rasul, yakni

cara hidup dan perilaku Nabi Muhammad SAW semasa hidup dan mengamalkan

ajaran Islam. Selain kedua sumber tersebut, ada juga ijmak. Ijmak adalah kesepakatan

yang dibuat oleh para ulama terpercaya terkait cara hidup dan permasalahan seputar

kehidupan. Ada juga qiyas, berupa analogi untuk mengira-ngira hukum suatu kasus

yang belum ada di masa hidup Rasulullah dengan menyamakannya dengan kasus

mirip yang pernah terjadi di masa kehidupan Rasulullah SAW.


Pada prinsipnya, bidang sistem syariat Islam memiliki tiga bidang besar yang

mencakup sub-sub bidang kecil di bawahnya. Ketiga bidang tersebut adalah :

Pembagian Syari’at Islam

Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap

manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan

dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-

benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat

dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya,

malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di

dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid

ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.

2. Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan

penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan

keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus

memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.

3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan

Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua

bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan

manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai

dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat,

yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia

dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).

Definisi Fiqh Islam

Fiqh menurut bahasa adalah tahu atau paham sesuatu. Hal ini seperti yang bermaktub

dalam surat An-Nisa (4) ayat 78, “Maka mengapa orang-orang itu (munafikin)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (pelajaran dan nasihat yang

diberikan).”

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka

Allah akan memahamkannya di dalam perkara agama.”

Kata Faqiih adalah sebutan untuk seseorang yang mengetahui hukum-hukum syara’

yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, hukum-hukum tersebut diambil

dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Fiqh Islam menurut istilah adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah atas

perbuatan orang-orang mukallaf, hukum itu wajib atau haram dan sebagainya.

Tujuannya supaya dapat dibedakan antara wajib, haram, atau boleh dikerjakan.

Ilmu Fiqh adalah diambil dengan jalan ijtihad. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya

menulis, Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah, di dalam perbuatan-

perbuatan orang mukallaf (yang dibebani hukum) seperti wajib, haram, sunnah,

makruh, dan mubah. Hukum-hukum itu diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah serta dari

sumber-sumber dalil lain yang ditetapkan Allah swt. Apabila hukum-hukum tersebut

dikeluarkan dari dali-dalil tersebut, maka disebut Fiqh.

Para ulama salaf (terdahulu) dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil di

atas hasilnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini adalah suatu keharusan. Sebab,

pada umumnya dalil-dalil adalah dari nash (teks dasar) berbahasa Arab yang lafazh-

lafazhnya (kata-katanya) menunjukkan kepada arti yang diperselisihkan di antara

mereka.

Fiqh Islam terbagi menjadi enam bagian:

1. Bagian Ibadah, yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang

dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan untuk mengagungkan

kebesaran-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji,dsb.

2. Bagian Ahwal Syakhshiyah (al-ahwaalu asy-syakhsyiyyatu), yaitu suatu bagian

yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan pembentukan dan

pengaturan keluarga dan segala akibat-akibatnya, seperti perkawinan, mahar, nafkah,

perceraian (talak-rujuk), iddah, hadhanah (pemeliharaan anak), radha’ah (menyusui),


warisan, dan lain-lain. Oleh kebanyakan para mujtahidin, bagian kedua ini

dimasukkan ke dalam bagian mu’amalah.

3. Bagian Mu’amalah (hukum perdata), yaitu suatu bagian yang membicarakan

hukum-hukum yang mengatur harta benda hak milik, akad (kontrak atau perjanjian),

kerjasama sesama orang seperti jual-beli, sewa menyewa (ijarah), gadai (rahan),

perkonsian (syirkah), dan lain-lain yang mengatur urusan harga benda seseorang,

kelompok, dan segala sangkut-pautnya seperti hak dan kekuasaan.

4. Bagian Hudud dan Ta’zir (hukum pidana), yaitu bagian yang membicarakan

hukum-hukum yang berhubungan dengan kejahatan, pelanggaran, dan akibat-akibat

hukumnya.

5. Bagian Murafa’at (hukum acara), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum

yang mengatur cara mengajukan perkara, perselisihan, penuntutan, dan cara-cara

menetapkan suatu tuntutan yang dapat diterima, dan cara-cara yang dapat melindungi

hak-hak seseorang.

6. Bagian Sirra wa Maghazi (hukum perang), yaitu bagian yang membicarakan

hukum-hukum yang mengatur peperangan antar bangsa, mengatur perdamaian,

piagam perjanjian, dokumen-dokumen dan hubungan-hubungan umat Islam dengan

umat bukan Islam.

Jadi, Fiqh Islam adalah konsepsi-konsepsi yang diperlukan oleh umat Islam

untuk mengatur kepentingan hidup mereka dalam segala segi, memberikan dasar-

dasar terhadap tata administrasi, perdagangan, politik, dan peradaban. Artinya, Islam

memang bukan hanya akidah keagamaan semata-mata, tapi akidah dan syariat, agama

dan negara, yang berlaku sepanjang masa dan sembarang tempat.

Dalam Al-Qur’an ada 140 ayat yang secara khusus memuat hukum-hukum

tentang ibadah, 70 ayat tentang ahwal syakhshiyah (keluarga), 70 ayat tentang

muamalah, 30 ayat tentang uqubah (hukuman), dan 20 ayat tentang murafa’at(hukum

acara), Juga ada ayat-ayat yang membahas hubungan politik antara negara Islam

dengan yang bukan Islam. Selain Al-Qur’an, keenam tema hukum tersebut di atas

juga diterangkan lewat hadits-hadits Nabi. Sebagian hadits menguatkan peraturan-


peraturan yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sebagian ada yang memerinci karena

Al-Qur’an hanya menyebutkan secara global, dan sebagian lagi menyebutkan suatu

hukum yang tidak disebutkan dala mAl-Qur’an. Maka, fungsi hadits adalah sebagai

keterangan dan penjelasan terhadap nash-nash (teks) Al-Qur’an yang dapat

memenuhi kebutuhan (kepastian hukun) kaum muslimin.

Objek kajian lain dari System Hukum Islam di antaranya :

Hukum syara’ adalah “maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi ‘alaa

sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu yang telah

ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya

dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha’.

Contoh hukum syara’, perintah langsung Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan

berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan

berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan

shalat dan zakat.

Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!” [QS. Al-Isra' (17): 32].

Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang

menunjukkan hukum haram berbuat zina.

Firman Allah swt., “Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka

berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’

boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh

memilih antara berbuat berburu atau tidak.

Yang dimaksud dengan wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau

menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya, perintah Allah

swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5):

38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum

potong tangan.

Bersabda Rasulullah saw., “Allah swt. tidak menerima shalat yang tidak dengan

bersuci.” Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci adalah dijadikan syarat untuk shalat.
Contoh yang lain, sabda Rasulullah saw., “Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu.”

Hadits ini menunjukkan bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh

mewarisi harta benda si terbunuh.

Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi

dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

Hukum taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan

untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan.

Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari

sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah

kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan

perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran (3): 97].

Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di

antara kamu mengolok-olok kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11],

“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah

(5): 3].

Contoh hukum yang menunjukkan boleh pilih (mudah): “Apabila telah ditunaikan

shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan

apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar

shalat.” [QS. An-Nisa' (4): 101].

Hukum wadh’i adalah yang menunjukkan bahwa sesutu telah dijadikan sebab, syarat,

dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara.

Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah

(5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya

wudhu.

Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu

bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3):

97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.


Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis

dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai

ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan

bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi

pencegah terhadap perbuatan yang sah.

Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah. Azimah adalah suatu

hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya

orang yang ada di rumah, bukan musafir. Sedangkan rukhshah adalah suatu hukum

asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang

musafir.

Azimah meliputi berbagai macam hukum, yaitu:

1. Wajib. Suatu perbuatan yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) dengan bentuk

tuntutan keharusan. Hukum perbuatan ini harus dikerjakan. Bagi yang mengerjakan

mendapat pahala dan bagi yang meninggalkan mendapat siksa. Contohnya, puasa

Ramadhan adalah wajib. Sebab, nash yang dipakai untuk menuntut perbuatan ini

adalah menunjukkan keharusan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas

kamu berpuasa.” [QS. Al-Baqarah (2): 183]

2. Haram. Haram adalah sesutu yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) untuk

ditinggalkan dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukumnya bila dikerjakan adalah

batal dan yang mengerjakannya mendapat siksa. Contohnya, tuntutan meninggalkan

berzina, tuntutan meninggalkan makan bangkai, darah, dan daging babi.

3. Mandub (sunnah). Mandub adalah mengutamakan untuk dikerjakan daripada

ditinggalkan, tanpa ada keharusan. Yang mengerjakannya mendapat pahala, yang

meninggalkannya tidak mendapat siksa, sekalipun ada celaan. Mandub biasa disebut

sunnah, baik sunnah muakkadah (yang dikuatkan) atau ghairu (tidak) muakkadah

(mustahab).

4. Makruh. Makruh adalah mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan

tidak ada unsur keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang

melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan.


5. Mubah. Mubah adalah si mukallaf dibolehkan memilih (oleh Allah swt.) antara

mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, dalam arti salah satu tidak ada yang

diutamakan. Misalnya, firman Allah swt. “Dan makan dan minumlah kamu sekalian.”

Tegasnya, tidak ada pahala, tidak ada siksa, dan tidak ada celaan atas berbuat atau

meninggalkan perbuatan yang dimubahkan.

Apabila Allah swt. menuntut kepada seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu

perbuatan lalu perbuatan tersebut dikerjakannya sesuai dengan yang dituntut darinya

dengan terpenuhi syarat rukunnya, maka perbuatan tersebut disebut shahih. Tetapi

apabila salah satu syarat atau rukunnya rusak, maka perbuatan tersebut disebut

ghairush shahiih.

Ash-shahiih adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mempunyai urutan akibatnya.

Contohnya, bila seorang mukallaf mengerjakan shalat dengan sempurna, terpenuhi

syarat rukunnya, maka baginya telah gugur kewajiban dan tanggungannya.

Ghairush-shahiih adalah sesuatu yang dilakukannya tidak mempunya urutan akibat-

akibat syara’. Contohnya, seorang mukallaf mengerjakan shalat tidak terpenuhi syarat

rukunnya, seperti shalat tanpa rukuk. Kewajiban mukallaf mengerjakan shalat

tersebut belum gugur. Demikian pula kalau shalat dikerjakan tidak pada waktunya

atau mengerjakannya tanpa wudhu. Perbuatan-perbuatan yang dikerjakan tidak sesuai

dengan tuntutan Allah swt. dianggap tidak ada atau tidak mengerjakan apa-apa..

Sebagai hukum dan ketentuan yang diturunkan Allah swt, sistem syariat Islam

telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang akan menjaga kehormatan manusia, yaitu

sebagai berikut.

 Pemeliharaan atas keturunan. Misalnya, syariat Islam mengharamkan zina dan

mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini untuk menjaga

kelestarian dan terjaganya garis keturunan. Dengan demikian, seorang anak yang

lahir melalui jalan resmi pernikahan akan mendapatkan haknya sesuai garis

keturunan dari ayahnya.

 Pemeliharaan atas akal. Misalnya, syariat Islam mengharamkan segala sesuatu

yang dapat memabukkan dan melemahkan ingatan, seperti minuman keras atau
beralkohol dan narkoba. Islam menganjurkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu

dan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Jika akalnya terganggu karena

mengonsumsi minuman beralkohol, akalnya akan lemah dan aktivitas berpikirnya

akan terganggu.

 Pemeliharaan atas kemuliaan. Misalnya, Islam mengatur masalah tentang fitnah

atau tuduhan dan melarang untuk membicarakan orang lain. Hal ini untuk

menjaga kemuliaan setiap manusia agar ia terhindar dari hal-hal yang dapat

mencemari nama baik dan kehormatannya.

 Pemeliharaan atas jiwa. Misalnya, syariat Islam telah menetapkan sanksi atas

pembunuhan, terhadap siapa saja yang membunuh seseorang tanpa alasan yang

benar. Dalam Islam, nyawa manusia sangat berharga dan patut dijaga

keselamatannya.

 Pemeliharaan atas harta. Misalnya, syariat Islam telah menetapkan sanksi atas

kasus pencurian dengan potong tangan bagi pelakunya. Hal ini merupakan sanksi

yang sangat keras untuk mencegah segala godaan untuk melakukan pelanggaran

terhadap harta orang lain.

 Pemeliharaan atas agama. Misalnya, syariat Islam memberikan kebebasan bagi

setiap manusia untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Islam tidak

pernah memaksakan seseorang untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Islam

mempunyai sanksi bagi setiap muslim yang murtad agar manusia lain tidak

mempermainkan agamanya.

Penerapan Sistem Hukum Islam di Indonesia

Walaupun sebagian besar penduduknya beragama Islam, Indonesia tidak

menerapkan hukum Islam sebagai hukum utamanya. Adapun perkembangan hukum

Islam di tanah air sendiri sebenarnya sudah terjadi sejak zama dahulu, ketika Islam

mulai dikenal oleh masyarakat nusantara di abad ke-13. Pasca-kemerdekaan, hukum

Islam tidak banyak berkembang. Apalagi di masa Orde Baru. Pengekangan dan

penyeragaman masyarakat membuat hukum ini sulit dipraktikkan. Misalnya,


muslimah yang ingin berjilbab dkucilkan bahkan diberi stigma negatif. Hal ini

memuncak ketika terjadi tragedi pembantaian umat muslim di Jakarta pada tahun

1980-an.

Era reformasi merupakan era kebangkitan dan kebebasan bagi seluruh elemen

masyarakat Indonesia; termasuk bagi masyarakat muslim. Hukum Islam dapat lebih

mudah dipraktikkan pada beberapa aspek di kehidupan individual umat muslim.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai keagungan sistem hukum Islam atau

syariat Islam.
BAB III

PENUTUP
1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan materi di bab sebelumnya, maka dapat di

simpulkan bahwa sumber system hukum islam yaitu bersumber dari Al-Qur’an,

sunnah rasulullah SAW melalui hadistnya,dan melalui penalaran(ar’rayu)

berdasarkan ijtihad. Adapun kajian system hukum islam di bagi berdasarkan tiga

kelompok besar yaitu, bidang ilmu tauhid, ilmu akhlak, dan ilmu fiqh.

2. Saran

Penulis menyarankan agar makalah ini dapat di gunakan dan bermanfaat bagi

pembaca yang budiman. Terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam

http://www.dakwatuna.com/2008/02/412/mengenal-syariat-islam-bagian-1/

Anda mungkin juga menyukai