Anda di halaman 1dari 25

BAB IV

KERANGKA DASAR AJARAN ISLAM : SYARIAH

Berangkat dari pemahaman bahwa kerangka dasar ajaran Islam ada tiga, yakni;
aqidah, syariah dan akhlak. Pada bab ini akan dijelaskan tentang syariah/ajaran
Islam/hukum Islam. Syari’ah dalam realisasi ajarannya selalu mengatur hubungan
manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat atau lingkungan dan
dengan alam semesta. Misi aturan ini agar manusia dapat memanfaatkan dirinya atau
mengekspresikan dirinya secara ma’ruf dalam kehidupan di masyarakat dalam arti tidak
menjadi manusia yang membebani masyarakat, seperti mengganggu ketertiban,
keamanan, dan ketenangan. Tetapi turut memikirkan adanya perubahan positif dalam
kehidupan sosial.
Syariah Islam mengajarkan bahwa manusia itu tidak sendiri tetapi bersama
dengan yang lain dalam suasana saling membantu, gotong-royong, dan lainnya. Untuk
itu Islam menghargai dan menghormati orang lain, membantu pada yang lemah,
menyantuni fakir miskin dan anak terlantar sehingga tercipta kemakmuran bersama.
Muslim yang menghardik anak yatim dan tidak peduli fakir-miskin, kikir serta tidak
shalat, maka mereka telah mendustakan agama.
Syariah berasal dari wahyu Allah melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia. Pemberlakuan ajaran Islam bersifat mutlak benar
karena diyakini oleh seluruh umat Islam bahwa ajaran tersebut berasal dari wahyu Allah
yang disebut Al-Qur’an, kemudian dijelaskan lanjut oleh Nabi Muhammad SAW yang
disebut Al-Hadist. Al-Hadist merupakan perbuatan, perkataan dan sikap atau taqrir Nabi
mengenai perbuatan tertentu yang dijadi hujjah atau petunjuk umat Islam dan
mengimplentasikan atau mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan keseharian.
Syariah bersifat universal dan komprehenshif untuk dijadikan pedoman landasan
pemikiran dan perilaku manusia di segala jaman, dari jaman lalu, sekarang dan yang
akan datang. Jaman lalu berupa sejarah masa silam yang digunakan ibrah atau pelajaran
manusia jaman sekarang dalam mengamati keadaan seraya dihubungkan dengan masa
yang telah terjadi, selanjutnya dianalisis kemudian dicari dan ditemukan problem

53
solvingnya. Jaman sekarang berupa jaman modern dan global, di mana permasalahan
manusia semakin beragam dan komplek. Ajaran Islam yang mengandung nilai, kaidah,
aturan atau norma bisa dijadikan pedoman atau landasan dalam berbuat dan bersikap
serta menyelesaikan permasalahan manusia di jaman modern, misalnya; pergaulan
bebas, NARKOBA, korupsi, dehumanisasi, dan dekadensi moral. Masa yang akan
datang berupa terjadinya hari akhir yang ditandai dengan berbagai kejadian yang telah
dijelaskan dalam nash, seperti; munculnya dajjal, imam Mahdi, nabi Isa, dan keadaan
alam semesta.
Pada bab ini akan dijelaskan tentang pemahaman, dasar hukum, tujuan dan ruang
lingkup, serta karakteristik syariah atau hukum Islam.
Pemahaman Syariah dan Fiqh
Syariah merupakan salah satu kerangka dasar ajaran Agama Islam yang
mempelajari tentang substansi ajaran Islam, yang menjadi pedoman kepada manusia
sebagai landasan dasar beraktifitas, baik hubungannya terhadap Allah (hablumminallah),
maupun hubungannya terhadap sesama manusia (hablumminannas). Keberadaan
landasan dasar syariah tersebut berfungsi sebagai aturan, norma, dasar maupun kaidah
yang dijadikan sebagai rujukan dalam pengamalan agama Islam. Landasan dasar syariah
berasal dari wahyu Allah yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist, selain itu juga berasal dari
ijtihad, yakni akal pemikiran manusia (ulama/kyai atau mujtahid) dalam menggali dan
merumuskan ajaran Islam yang tidak dijelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadist.
Syariah berasal dari bahasa Arab, asal dari kata syara’a- yusyari’u- syar>iah,
artinya air yang mengalir, maksudnya hukum dari Allah untuk manusia. Syari’ah disebut
juga hukum Islam (Islamic law) atau syara’/syar’i, artinya ajaran Islam. Menurut istilah
syari’ah adalah tatanan, perundang-undangan yang mengatur pola hubungan antara
manusia dengan Allah dan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dan
ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya (Al-Qur’an dan Al-Hadist) sebagai kitab
pokok, dan ijtihad sebagai kitab tambahan. Syari’at Islam berasal dari Allah sehingga
dijamin kebenarannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Imran ayat 60 yang
berbunyi :

54
Artinya : “Apa yang telah kami ceritakan itu itulah yang benar, yang datang dari
Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang yang ragu-ragu”.

Syari’ah merupakan jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan Islam
yakni mangatur kehidupan manusia secara menyeluruh dan komprehensip, serta
digunakan sebagai problem solving terhadap permasalahan hidup manusia. Maka oleh
kaum muslimin syariah dipergunakan sebagai panduan menyeluruh dan sempurna dalam
menghadapai dan menjawab permasalahan dan tantangan jaman. Syariah sering disebut
juga dengan istilah fiqh, namun keduanya mempunyai persamaan dan perbedaan.
Persamaan antara syariah dan fiqh adalah keduanya merupakan hukum Allah
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Sedangkan fiqh adalah pengetahuan yang
menjelaskan tentang syari’ah secara terperinci, meliputi dalinya, alasan atau logika
hukumnya, metode pengambilan atau perumusan hukumnya. Fiqh ditetapkan pada masa
gererasi sahabat dan tabi’in, untuk memberikan petunjuk teknis bagaimana syariah
diamalkan. Syariah tanpa fiqh, maka syariah sulit diimplementasikan/diamalkan,
eksistensi fiqh dapat menjelaskan syariah secara sistematis, sehingga mudah dipahami
dan diterapkan pada masa sekarang.
Fiqh merupakan penjelasan terperinci dan sistematis syariah, fiqh dibedakan
menjadi dua, yakni;
1. Fiqh ibadah, yakni fiqh yang menjelaskan hubungan antara manusia dengan Allah
(hablumminallah), misalnya; sahalat, puasa, zakat, haji. Manusia dalam beribadah
kepada Allah terikat oleh aturan-aturan yang terdapat Nash (Al-Qur’an dan Al-
Hadist), tidak boleh membuat atauran sendiri, atau bahkan melanggarnya. Asas
hukumnya adalah segala sesuatu hukumnya haram, kecuali ada dalil yang
membolehkan.
2. Fiqh muamalah adalah fiqh yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesama
manusia (hablumminannas), untuk memenuhi kebutuhan manusia, misalnya; fiqh
mawaris (hukum Islam yang menjelaskan tentang warisan), fiqh mu’amalah (hukum

55
Islam yang menjelaskan tentang bagaimana bersosial kemasyarakatan), fiqh
munakahat (hukum Islam yang menjelaskan tentang perkawinan), fiqh jinayah
(hukum Islam yang menjelaskan tentang tindak pidana), fiqh siasah (hukum Islam
yang menjelaskan tentang politik), fiqh al-bai’(hukum Islam yang menjelaskan
tentang jual-beli/ekonomi) dan lain-lain.
Asas fiqh muamalah menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum muamalah
memperbolehkan segala perbuatan manusia dalam hubungannya dengan sesama
manusia, kecuali ada dalil atau aturan hukum yang melarangnya. Misalnya, jual beli
apapun diperbolehkan kecuali jual beli yang dilarang, seperti jual beli NARKOBA;
segala perbuatan manusia diperbolehkan kecuali ada aturan yang tidak
memperbolehkan, seperti; mencuri, membunuh, memukul, merampok, durhaka pada
orang tua.
Fiqh muamalah terjadi pada hubungan atau bentuk kerjasama antar manusia untuk
mencukupi segala kebutuhan duniawinya, maka hubungan atau kerja sama apapun
diperbolehkan kecuali yang tidak diperbolehkan.

Tujuan dan Ruang Lingkup Syariah


Tujuan pembentukan hukum Islam secara umum yaitu merealisir kemashlahatan
dan menolak kemadharatan serta menegakkan keadilan di antara manusia. Selain itu,
tujuan hukum Islam juga menjamin ketentuan hukum manusia yang terdiri dari tiga
macam, yakni1 :
1. Ketentuan hukum dharury, artinya ketentuan hukum yang wajib
dipenuhi karena dapat memelihara kepentingan hidup manusia,
jika tidak terpenuhi akan mengalami kesukaran hidup, secara
umum ketentuan ini untuk memelihara lima hal, yakni agama, akal,
jiwa, harta, nasab atau keturunan.2
2. Ketentuan hukum sekunder (hajiyyat) artinya tujuan pembentukan hukum untuk
menghindari kesulitan, kepayahan, membuat ringan terhadap ketentuan hukum serta
1
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 1998, hal. 329-333.
2
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirosah Islamiyah III, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2002, hal. 27

56
menghindari kerusakan. Misalnya; ketetapan aturan rukhsoh (keringanan,
kelapangan), jama dan qoshor untuk shalat yang dalam perjalanan, tayamum apabila
tidak ada air.
3. Ketentuan hukum pelengkap (tahsiniyyat) artinya tujuan pembentukan hukum untuk
membentuk norma dan tatanan hidup serta perilaku manusia yang sesuai dengan
ketentuan hukum Islam, supaya manusia terbiasa melakukan kebiasaan yang paling
baik dalam melaksanakan kewajibannya. Misalnya; orang Islam yang hendak
beribadah harus suci dari hadast dan najis, berhias ketika pergi ke masjid,
melaksanakan ibadah sunah, bersedekah, tidak kikir, berbisnis yang tidak menipu,
dan sebagainya.

Tujuan Hukum Islam menurut Abu Ishaq al-Syatibi3 ada lima,


disebut dengan istilah Al-Maqashid Al-Syariah, yakni :
1. Memelihara agama, contoh ; kewajiban dakwah, beramar maruf
nahi mungkar, berjihad.
2. Memelihara jiwa, contoh; memenuhi kebutuhan jiwa (bekerja),
diharamkan membunuh, bunuh diri, aborsi.
3. Memelihara akal, contoh; diharamkan NARKOBA, diwajibkan
menuntut ilmu atau belajar.
4. Memelihara keturunan, contoh; diharamkan zina dan pergaulan
bebas, dianjurkan menikah, dilarang nikah liar.
5. Memelihara harta, contoh; dilarang mencuri, merampok,
merampas, korupsi, diwajibkan bekerja yang halal dan thayyib.

Kesimpulan di atas dapat dilihat melalui tabel berikut:

Tabel .2.26

Tujuan Hukum Islam


3
Abu Ishaq Al- Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz II, Kairo, Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, 1975,
hal. 1388.

57
No. Tujuan Hukum Uraian
Islam
1. Umum Untuk membentuk kemashlahatan dan
menolak kemadharatan.

2. Khusus Untuk memenuhi ketentuan hukum


pokok (dharuriyyah), sekunder atau
tambahan (hajjiyyah , dan pelengkap
(tahsiniyyah).

3. Menurut As-Satibi Untuk memelihara agama, nyawa, akal,


keturunan dan harta.

Ruang lingkup hukum Islam terdiri dari ruang lingkup ibadah mahdhah dan
ruang lingkup ibadah ghairu mahdhah. Ruang lingkup ibadah mahdhah adalah hukum
Islam yang mengatur bagaimana beribadah atau berhubungan dengan Allah secara baik
dan benar serta tidak menyalahi syari’ah Islam. Ibadah mahdhah ini harus berdasarkan
Al-Qur’an dan Al-Hadist serta Ijtihad ulama, tidak boleh ditambah dan tidak boleh
dikurangi. Bid’ah yakni menambah atau mengurangi terhadap hal-hal yang tidak
diajarkan dalam ibadah mahdhah hukumnya haram. Seperti; menambah atau
mengurangi dalam pelaksanaan ibadah shalat, puasa, zakat atau haji.
Sedangkan ruang lingkup ibadah ghairu mahdhah adalah hukum Islam yang
mengatur bagaimana berbuat baik dengan sesama manusia, alam semesta, makhluk
Allah lainnya dalam hubungannya dengan status manusia sebagai khalifatufi al-ard.
Semua itu bertujuan untuk membentuk harmoni, keselarasan, kebaikan (kamashlahatan),
mencegah kerusakan (madharat) sehingga tercipta Islam yang rahmatal al-‘alamin.
Bid’ah dalam hubungannya dengan ibadah ini diperbolehkan. Seperti; halal bi halal,
memakai emas bagi wanita, memakai mobil, memakai wewangian, belanja di super
market, dan lain-lain.

Karakteristik Hukum Islam


Karakteristik hukum Islam atau syariah merupakan ciri khas yang terdapat dalam
syariah atau hukum Islam mempunyai karakteristik, yakni;

58
1. Tidak memberatkan, seperti; shalat jama’, shalat qashar yang dikerjakan oleh orang
yang dalam perjalanan (safar). Shalat bagi orang sakit dikerjakan sebisanya, tidak
bisa berdiri dengan duduk, tidak bisa duduk dengan berbaring, tidak bisa
menggerakkan tangan dengan isyarat mata. Tidak shalat karena lupa atau tertidur
bisa menjama’ shalat. Tidak bisa puasa karena sakit, maka diperbolehkan, dan lain-
lain. Kaidah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286 :

Artinya : “Dan Tidaklah Allah membebani seorang muslim, melainkan sesuai


dengan kemampuannya”.

2. Tidak mempersempit atau sedikit sekali memberikan beban (al-Maidah ayat 101).
3. Diturunkan secara berangsur-angsur disesuaikan dengan kultur sosial masyarakat
terlebih dahulu, setelah ajaran Islam mampu menjiwai perilaku, moralias muslim
baru kemudian dijadikan sebagai pedoman dasar kehidupan muslim tersebut. Jadi
hukum Islam tidak terkesan kaku dan dipaksakan tetapi bersifat fleksibel, aptodate,
luwes dan mampu membentuk masyarakat madani.
4. Membawa kemashlahatan karena dapat membentuk etika atau akhlak baik yang
bermanfaat bagi masyarakat secara universal. Dan selalu menolak perbuatan yang
membawa penderitaan baik individu, masyarakat maupun Negara.

Dasar Hukum Islam


Dasar hukum Islam adalah landasan yang digunakan rujukan dasar dalam
menetapkan atau memberi penjelasan tentang substansi atau materi ajaran Islam.
Sumber hukum Islam ada tiga, yakni; Al-Qur’an, Al-Hadist, dan Ijtihad, rinciannya
sebagai berikut;
1. Al-Qur’an

59
Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab ‫ ﻗﺭ‬F‫ ﺃ‬artinya membaca. Sedangkan menurut
istilah Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad melalui
Malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab,dan dengan jalan mutawatir (dijamin
kebenarannya), diawali dengan surat Al-Fatikhah dan diakhiri dengan surat Al-Nas,
serta dipandang beribadah bagi yang membaca dan mendengarnya.
Nama lain Al-Qur’an antara lain:
a. Al-Kitab : tulisan
b. Al-Furqon : Pembeda antara yang benar dan yang salah
c. Al-Dikr : Peringatan
d. Al-Nur : Cahaya atau penerang kehidupan
e. Al-Huda : Petunjuk ke jalan yang benar
f. Al-Kalam : Perkataan Allah
g. Al-Basyr : Pertolongan Allah
h. Al-Fath : Pembuka kebenaran
Al-Qur’an sangat berfungsi pada kehidupan manusia, fungsi Al-Qur’an meliputi :
a. Pedoman hidup bagi manusia baik muslim maupun non muslim (45:20)
b. Petunjuk dan Rahmat bagi orang yang beriman (2:2)
c. Pembeda yang haq dan yang bathil (2:42 dan 17:81)
d. Penerang hati (5:15-16)
e. Rahmad dari Allah (21:17)
f. Tidak menyengsarakan (20:1)
g. Mu’jizat (2:23-24)
Kedudukan Al-Qur’an terhadap kitab yang diturunkan sebelumnya adalah;
mempunyai hubungan yakni membenarkan (5:48), mengoreksi (2:279) (4:157) (112:1-3)
dan menyempurnakan (5:3). Sedangkan isi kandungan Al-Qur’an meliputi; keimanan,
pandangan hidup, hukum, perintah dan larangan, janji dan ancaman, akhlaq, sejarah
(kisah umat dan para Nabi terdahulu), ilmu pengetahuan dan teknologi, perekonomian,
perdagangan, alam semesta, politik, jihad dan masih banyak lagi. Walaupun Al-Quran
menggunakan bahasa Arab tetapi bahasa itu untuk seluruh manusia, sebagaimana
dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Saba’ ayat 28 yang berbunyi :

60
Artinya : ”Dan aku tidak mengutus engkau kecuali untuk seluruh manusia”.

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah untuk menjadi pedoman hidup manusia, tugas
manusia terhadap Al-Qur’an adalah :
a. Membacanya (73;204)
b. Diam dan mendengarkan waktu dibaca (7;204)
c. Merenungkan dan memahami artinya (4;82)
d. Mengikuti perintah dan meninggalkan larangan yang ada di dalamnya (7;3)
e. Menggalinya terus menerus
f. Menghafalkannya
g. Mengajarkan pada yang lain
Al-Qur’an pertama kali berada di Lauh Makhfudh (alam semesta), lalu
diturunkan Allah ke Baitul Izza (Lapisan langit), kemudian diberikan atau diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril secara berangsur-angsur, dan
akhirnya Nabi memberikan kepada sahabat juga secara berangsur-angsur selama 22
tahun, 2 bulan dan 22 hari. Al-Qur’an pertama turun pada 17 Ramadhan. Manfaat Al-
Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur adalah :
a. Agar mudah dihafal dan diamalkan.
b. Sesuai dengan kondisi masyarakat pada waktu itu.
c. Terkadang ayat yang turun dipergunakan untuk menjawab permasalahan sahabat,
untuk membenarkan tindakan Nabi atau mengoreksi perbuatan Nabi.
Maka dalam Al-Qur’an ada istilah Asbabun Nuzul artinya cerita atau peristiwa
yang mengiringi ayat turun, walaupun tidak semua ayat diturunkan dengan Asbabun
Nuzul. Di dalam Al-Qur’an terdapat 114 Surat dan 30 juz serta 6666 ayat, yang terdiri
dari ayat Makiyyah dan ayat Madaniyyah. Surat yang pertama turun kepada Nabi adalah
surat Al-Alaq ayat 1-5 di Gua Hira’, sedangakan surat yang terakhir turun adalah surat

61
Al-Maidah ayat 3 setelah Nabi Muhammad menjalankan haji Wada’ di Mekah
Mukarramah.
Pendekatan pemahaman Al-Qur’an ada yang menggunakan metode induktif,
seperti perkara warisan, ada juga yang menggunakan metode deduktif, artinya Al-
Qur’an dalam menerangkan ajaran-ajarannya hanya secara umum atau garis besarnya
saja, tentang uraiannya diserahkan kepada pemikiran manusia. Maka penafsiran Al-
Qur’an adalah kebutuhan mutlak guna mendapatkan pemahaman yang benar. Hadist
yang berfungsi menjelaskan, menguatkan, menambah, dan menguraikan Al-Qur’an,
dalam menjelaskannya juga mempunyai latar belakang atau asbabul wurudnya.
Upaya memahami pesan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, harus
menguasai terlebih dahulu sejumlah disiplin ilmu seperti bahasa Arab, Ulumul Qur’an,
Ulumul Hadist, Ushul Fiqh, Sejarah Islam dan seterusnya. Apabila telah terkuasai ilmu
tersebut, maka dalam menetapkan hukum (beristinbath) terhadap suatu masalah yang
belum dijelaskan dalam kitab pokok secara terperinci tidak mengalami kesulitan. Dan
hukum yang dihasilkanpun tidak bertentangan dengan kitab pokok tersebut.
Tidak semua muslim berhak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an ataupun Hadist,
tapi para mufassirlah yang berhak atasnya, karena mereka mempunyai syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Bersifat adil dan ma’ruf, sedikit berbuat dosa bahkan hampir tidak pernah berbuat
dosa.
b. Menguasai Ilmu Bahasa Arab, ushul Fiqh, ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist.
c. Menguasai Ilmu Sejarah dan Ushuluddin.
d. Mendirikan shalat, melaksanakan zakat dan puasa serta pernah mengunjungi
Baitullah.
e. Tidak cacat di masyarakat dan mendapatkan amanah di masyarakat.
f. Sehat fisik atau jasmani dan rohaninya.
g. Berakal, baligh atau sudah mumayyiz.
Tafsir Al-Qur’an yang dihasilkan oleh mufasir akan membantu umat Islam lain
dalam memahami Al-Qur’an yang humanis, egalitarian, rahmatan li’alamin, penuh nilai
kebaikan dan kemashlahatan.

62
2. Al-Hadist
Al-Hadist merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.

Menurut bahasa Al-Hadist berasal dari bahasa Arab ‫ ﺤﺪﺚ‬F- F‫ﯾﺤﺪﺚ‬ berarti berita atau
kabar. Padanan kata Al-Hadist yaitu As-Sunah artinya tradisi atau kebiasaan Nabi.
Menurut istilah Al-Hadist yaitu segala apa yang datang dari Nabi baik dalam bentuk
ucapan, perbuatan atau sikap Nabi yang dijadikan rujukan dalam penetapan hukum
Islam. Atau Hadist adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi, baik sebelum Hijrah
maupun setelah Hijrah yang berkenaan dengan ucapan atau perbuatan atau sikap Nabi
sebagai rujukan dalam penetapan hukum Syar’i.
Nabi Muhammad merupakan utusan Allah yang diberi wahyu Al-Qur’an untuk
disampaikan pada umatnya sebagai pedoman dan dasar serta tuntutan hidup sehingga
manusia dapat bahagia, sejahtera, damai dan dapat menjalankan kehidupannya dengan
penuh keikhlasan dan keridhaan dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Wahyu Al-
Quran diberikan Allah kepada Nabi melalui beberapa cara, yakni :
a. Secara langsung, seperti peristiwa Isra’ Mi’raj dimana Nabi menerima perintah
shalat lima waktu secara langsung dari Allah.
b. Melalui samaran malaikat Jibril dalam bebagai bentuk, misalnya; seorang laki-laki
yang bertanya pada Nabi tentang Islam, Iman dan Ikhsan; seorang laki-laki yang
datang kepada Nabi pada saat-saat waktu shalat wajib kemudian mengajak Nabi
shalat, dan sebagainya.
c. Melalui tanda seperti dentingan bel yang sangat keras.
d. Terkadang ditandai oleh psikis Nabi yang tiba-tiba keringatnya keluar, Nabi diam
atau Nabi kemudian melakukan sesuatu.
Nabi berkedudukan sebagai penerima dan penyampai wahyu Allah, maka Nabi
selalu dijaga oleh Allah dari perbuatan dosa dan tercela, juga selalu mendapat petunjuk
dan bimbingan Allah serta teguran apabila Nabi melakukan kesalahan (bersifat ma’sum).
Jiwanya selalu dibersihkan dan disucikan sehingga Nabi bersifat Sidiq, Amanah,
Tablegh dan Fathonah. Segala ucapan, perbuatan dan sifat serta karakternya mampu
menjadi uswah (teladan) umatnya. Kesederhanaan hidup Nabi menjadikan
penampilannya sebagai sosok kepercayaan orang Quraisy pada waktu itu. Pada usia

63
muda ia mendapat gelar Al-Amin, suatu gelar yang diberikan oleh masyarakat karena
dedikasi, kemauan keras yang benar serta pembawaan Nabi yang membuat orang-orang
sekitar merasa dekat dan damai bersama beliau. Dan nabi mendapat gelar insanul kamil
(manusia sempurna) karena jarang berbuat dosa walaupun manusia biasa. Sifat-sifat
kenabian sesungguhnya telah nampak pada diri Nabi. Itulah yang membuat Siti Khatijah
saudagar kaya-raya dan berbudi baik tertarik untuk menikah dengan Nabi.
Nabi menikah pada usia 25 tahun dengan Siti Khatijah, dan ketika berusia 40
tahun Nabi menerima wahyu al-Qur’an pertama di Gua Hira’. Peranan dan jasa Siti
Khatijah kepada Nabi sangat besar, sebagai isteri juga pendamping Nabi ketika bahagia
dan susah, termasuk ketakutan Nabi ketika menerima wahyu pertama dari Malaikat
Jibril. Sejak saat itulah Nabi berkedudukan sebagai Rasullullah, dan berhasil mendirikan
Negara Islam pertama yang berpusat di Madinah. Dalam hal ini selain Nabi berstatus
sebagai Nabi dan Rasul, juga kepala Negara, hakim tertinggi, panglima tertinggi.
Dari berbagai status itulah menjadikan segala ucapan, perilaku dan sikap serta
taqrir Nabi berfungsi sebagai sumber hukum yang disebut Hadist. Dengan demikian
Hadist secara garis besar dibedakan menjadi tiga rupa, yakni :
a. Hadist Qauliyah yakni berita atau kabar dari Nabi tentang suatu masalah yang
berasal dari ucapan beliau.
Contoh :

‫ﺍﻨﻣﺎﻷﻋﻣﻞ ﺒﺎﻧﻴﺎﺖ‬
Artinya : “Segala sesuatu pekerjaan tergantung dari niatnya”.

b. Hadist Fi’liyah yakni berita atau kabar dari Nabi tentang suatu masalah yang berasal
dari berbuatan beliau.
Contoh : Al-Qur’an menjelaskan tentang perintah shalat dan, belum diterangkan
caranya, bacaanya, gerakannya, kemudian Rasul memberikan contoh bagaimana
shalat dikerjakan, dengan sabdanya yang berbunyi :

F‫ﺼﻠﻮﺍ ﻛﻣﺎ ﺮﺃﻴﺗﻣﻧﻰﺃﺼﻞ‬


Artinya : “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku (Nabi) shalat”.

64
c. Hadist Taqririyah yakni berita dari Nabi terhadap suatu masalah yang berasal dari
sikap Nabi, apakah diam atau menjelaskan.
Contoh : Pada suatu malam seorang sahabat jima’ dengan isterinya, kemudian pagi
harinya mencari air untuk mandi jinabah, karena tidak ada air maka sahabat tersebut
berguling-guling di atas debu untuk menggantikan mandi jinabahnya. Lalu hal itu
dilaporkan kepada Nabi. Sikap Nabi tersenyum sambil memberikan contoh tentang
tayamum untuk mandi jinabah.
Kita sebagai muslim dianjurkan mengikuti Sunah Nabi sebagaimana yang terdapat
di dalam Hadist. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Imran Ayat 164 yang
berbunyi ;

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang


beriman, ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab
dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu,
mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Hadist merupakan petunjuk yang datang dari Nabi Muhammad SAW dalam
mengamalkan Al-Qur’an. Fungsi Hadist terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
a. Bayan tafsir artinya fungsi Hadist untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mujmal (bersifat umum).
Contoh : ayat yang menerangkan tentang shalat, puasa, zakat, haji. Kemudian
Hadist menjelaskan tentang cara, hikmah, dan sebagainya yang berhubungan

65
dengan penjelasan dan penguatan perintah. Sehingga muslim dapat menjalankan
perintah Allah tersebut dengan jelas tanpa ada keraguan didalamnya.
b. Bayan Takhshis artinya fungsi Hadist yang mengkhususkan penjelasan ayat-ayat Al-
Qur’an yang mujmal (bersifat umum).
Contoh : ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa shalat Jum’at adalah kewajiban setiap
muslim(surat al-Jumu’ah ayat 9). Kemudian diterangkan oleh Hadist tentang
perkecualian yang diwajibkan shalat Jum’at, yakni; wanita, orang sakit, dalam
perjalanan dan anak-anak.
Al-Qur’an menjelaskan tentang ahli waris yang berhak menerima harta yang
ditinggalkan oleh si mayit, Hadist menerangkan bahwa orang yang membunuh si
mayit tidak berhak menerima harta warisan.
c. Bayan Taqrir artinya fungsi Hadist yang menambah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an
terhadap hukum Islam.
Contoh : ayat Al-Qur’an menjelaskan tentang makanan yang diharamkan yakni
bangkai hewan, daging babi, anjing, sesembelihan bukan atas nama Allah.
Kemudian Hadist menerangkan dan menambah penjelasan bahwa bangkai binatang
laut itu halal hukumnya. Semua binatang buas yang bertaring dan tajam haram
hukumnya.
d. Bayan Taqyid, fungsi Hadist yang menguatkan penjelasan atau aturan-aturan hukum
Al-Qur’an, misalnya; Al-Qur’an memerintahkan muslim untuk shalat, zakat, puasa,
Al-Qur’an menjelaskan tentang keutamaan shalat tahajud dan shalat sunat lainnya.
Kemudian Hadist menguatkan dengan berbagai dalil untuk mendukung ayat Al-
Qur’an tersebut. Misalnya tentang pahala dan khasiatnya.

Macam-Macam Hadist :
a. Ditinjau dari diterima tidaknya, Hadist dibagi menjadi 2, yakni :
- Hadist Maqbul yaitu Hadist yang diterima dan dijadikan pedoman dalam
berperilaku.
- Hadist Mardud yaitu Hadist yang tidak diterima dan tidak dijadikan sumber
pedoman dalam berperilaku.

66
b. Ditinjau dari Kualitasnya, dibagi menjadi tiga :
- Hadist Mutawatir yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tidak
mungkin mereka bersepakat dusta.
- Hadist Masyhur yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tidak
mencapai derajat mutawatir.
- Hadist Ahad yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi.
c. Ditinjau dari sifat perawinya, dibagi menjadi 3, yaitu :
- Hadist Shahih yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang memenuhi syarat
adil dan dlabit, sanadnya bersambung, tidak ada illat, tidak syadz/ janggal/ cacat.
- Hadist Hasan yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak adil atau
dlabit, putus sanadnya, janggal dan tidak berillat.
- Hadist dha’if atau palsu yaitu Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak
shahih dan hasan.
Motif pembuatan Hadist palsu/dha’if :
a. Untuk mengotori atau menghancurkan risalah Islam.
b. Ta’asub/ fanatisme terhadap golongan.
c. Untuk menguatkan kepartaian atau golongan tertentu.
d. Untuk mendukung pendapat pribadi atau golongan.
Ciri-Ciri Hadist Palsu/dha’if :
a. Tidak sesuai dengan Nash Al-Qur’an
b. Berlawanan dengan fakta sejarah
c. Bertentangan dengan Hadist lain yang lebih benar keyakinannya.
d. Bertentangan dengan akal sehat.
e. Diakui sendiri oleh perawinya.
f. Menurut para ulama Hadist dha’if dapat dipakai dalam masalah-masalah keutamaan
amal (fadhailul amal).

Perkembangan Hadist
Perkembangan Hadist dapat dijelaskan melalui masa sebagai berikut ;

67
a. Pada masa Nabi Hadist tidak ditulis, sebab ada kekhawatiran bercampurnya dengan
ayat Al-Qur’an.
b. Pada masa Sahabat Hadist dijadikan sumber hukum kedua setelah Al-Quran, Hadist
masih berada pada hafalan para sahabat, sebagian kecil para sahabat yang diijinkan
Nabi untuk menulis Hadist, seperti; Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas.
c. Pada masa tabi’in banyak berkembang Hadist dha’if untuk kepentingan
golongannya seperti Syi’ah dan Khawarij.
d. Pada masa Bani Umayyah, khalifah kelima yakni Umar bin Abdul Aziz , Hadist
mulai dibukukan. Pada waktu itu Umar bin Abdu Aziz memerintahkan kepada Abu
Bakar bin Hazm dan Az-Zuhri untuk mengkodifikasikan Hadist. Hal ini dilakukan
dengan alasan banyak hadist palsu dan banyak sahabat Nabi yang meninggal dunia
akibat perang Yarmuk, padahal Hadist sebagian besar berada pada hafalan sahabat.
e. Pada masa ini, tidak ada kekhawatiran bercampurnya antara Al-Qur’an dan Al-
Hadist, karena Al-Qur’an sudah dibukukan dan umat Islam sudah berkembang baik
dalam bidang pendidikan maupun Ilmu Pengetahuan.
f. Pada masa Bani Abassiyah telah muncul kitab-kitab Hadist dan penulis Hadist,
seperti :
- Hadist shahih Bukhari Muslim, ditulis oleh Bukhari dan Muslim
- Hadist Shahih Bukhari ditulis oleh Bukhari
- Hadist Shahih Muslim ditulis oleh Muslim
- Musnad Abu Daud ditulis Abu Daud
- Musnad Al-Turmudzi
- Musnad Al-Nasa’i

g. Pada masa ini juga telah muncul beberapa ilmu untuk mempelajari Hadist,
diantaranya :
- Ilmu Hadist Riwayah yaitu ilmu yang mempelajari materi Hadist.
- Ilmu Hadist Dirayah yaitu ilmu yang mempelajari para perawi Hadist.
- Ilmu Mushtalah al-Hadist yaitu ilmu yang mempelajari cara menilai Hadist
dengan isitilah tertentu.

68
- Ilmu Rijal al-Hadist yaitu ilmu yang mempelajari riwayat hidup perawi
Hadist.
- Ilmu Jarh wa Ta’dil yaitu ilmu yang mempelajari cara mengambil Hadist
yang benar dan kuat serta shahih.
h. Pada perkembangan selanjutnya juga telah ditentukan unsur-unsur yang harus ada
dalam Hadist, yakni :
- Rawi/ Perawi adalah orang/imam yang meriwayatkan Hadist.
- Sanad adalah perawi yang menyampaikan berita Hadist dari Nabi ke sahabat
dan seterusnya
- Matan adalah materi Hadist.

3. Ijtihad
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sumber/dasar hukum utama umat Islam
adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, apabila terdapat permasalahan umat, maka upaya
penyelesaiannya dengan mencari dali-dalil yang terdapat dalam Nash tersebut. Seiring
dengan meluasnya syiar Islam dan perkembangan zaman, permasalahan umatpun
semakin komplek, dan permasalahan tersebut tidak dijelaskan secara jelas oleh nash,
untuk menjawabnya para fuqaha dituntut bekerja keras guna menggali hukum dalam
nash tersebut (Ijtihad) agar permasalahan umat tersebut dapat terjawab. Kali ini kita
akan memahami Ijtihad terlebih dahulu.
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata : ‫ ﺠﻫﺪ‬- ‫ﻴﺟﻫﺪ‬ : bersungguh-sungguh.
Menurut Istilah artinya berusaha dengan bersungguh untuk mendapatkan hukum syar’i,
atau mencurahkan tenaga untuk mengambil keputusan atau kesimpulan hukum dari
dasar-dasarnya dengan penelitian yang dapat menyampaikan tujuan itu yakni
mendapatkan jawaban hukum tentang suatu permasalahan. Ijtihad disebut dengan Ra’yu
atau pendapat. Maksudnya pendapat para ulama tentang masalah yang tidak ada
ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an dan al-Hadist. Ijtihad merupakan realisasi dari
fungsi akal, karena fungsi akal adalah untuk menggali kekayaan alam, untuk
memperdalam dan mengkaji agama Allah dan untuk menetapkan hukum-hukum yang

69
secara tersurat tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist serta tidak bertentangan
dengan keduanya (Ijtihad).

Dasar Ijtihad
Yakni Hadist tentang soal-jawab antara Nabi dan Muadz bin Jabal ketika akan
dilantik menjadi gubernur Yaman. Yaitu :
Nabi : “Dengan apa engkau memutuskan masalah?.”
Muadz : “Dengan kitab Allah (al-Qur’an)”.
Nabi : “Kalau tidak kau temukan dalam al-Qur’an, bagaimana?.”
Muadz : “Dengan menggunakan Sunnah Rasullullah”.
Nabi : “Kalau di dalamnya juga tidak kau temukan, bagaimana?”.
Muadz : “Saya akan berijtihad dengan menggunakan akal fikiran saya”.
Nabi : “Alhamdulillah yang telah memberikan taufik kepada utusannya
Rasullullah”.

Ijtihad digolongkan menjadi dua, yakni :


a. Ijtihad mutlak artinya ijtihad para ulama dalam menggali hukum Islam dengan
menggunakan metode baru dan hasil pemikirannya orisional. Contoh; madzab
Hanafi (Abu Hanifah), madzab Maliki (Malik bin Anas), madzab As-syafi’I
(Muhammad bin Idris as Syafi’i), madzab Hanbali (Ahmad bin Hanbal).
b. Ijtihad Muqayyad/ muntasib, artinya Ijtihad yang terbatas pada upaya penggalian
hukum Islam dengan metode yang dipinjam dari hasil pemikiran orang lain. Contoh;
An-Nawawi, Al-Rafi’meminjam hasil pemikiran as-Syafi’i, Abu Yusuf meminjam
hasil pemikiran Abu Hanifah.

Ijtihad ditinjau dari hasil penggunaannya dibagi menjadi dua :


a. Ijtihad bil atsar yaitu usaha penggalian hukum Islam dengan menggunakan dalil al-
Qur’a atau al-Hadist.
b. Ijtihad bil Ra’yi yaitu usaha penggalian hukum Islam dengan menggunakan akal,
tapi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

70
Para ulama yang berijtihad disebut mujtahid, yakni orang yang ahli dalam hukum
Islam, yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menggali dan merumuskan
hukum Islam supaya mampu menjawab persoalan hukum Islam yang semakin
berkembang di masyarakat, dengan menggunakan kaidah hukum yang benar. Syarat-
syarat mujtahid sebagai berikut:
1. Cerdas, baligh dan adil
2. Mengetahui hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an dan Hadist beserta pokok-
pokok pembentukan haknya.
3. Mengetahui hukum-hukum yang diijma’I ulama dan yang diperselisihkan dintara
mereka.
4. Mengetahui cacat-cacat hukum (dalam Hadist Dho’if).
5. Mengetahui cara-cara mengambil kesimpulan dan dalil.
6. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa dengan ukuran mampu memahami nash-nash
dengan benar.
7. Mengetahui tentang hal-hal yang ada kaitannya dengan hukum-hukum tertentu.
Menurut Abu Ishaq bin Musa Al Syathibi, syarat-syarat mujtahid ada tiga. Pertama,
memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al syari’ah), yaitu dlaruriyyat yang
mencakup pemeliharaan agama, pemiliharaan jiwa, pemiliharaan akal, pemeliharaan
keturunan, dan pemeliharaan harta; hajiyyat, dan tahsiniyyat. Kedua, mampu melakukan
menetapkan hukum. Ketiga, memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan
dengannya.4
Peran ijtihad adalah penyalur kreativitas pribadi atau kelompok dalam merespon
problema yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Ia berperan juga sebagai
interpretsi pada dallil-dalil yang dhanny baik dhanny al wurud maupun dhanny al
dalalah. Dengan demikian, ijtihad sangat diperlukan untuk menumbuhkan ruh Islam
yang dinamis menetralitas kejumudan hukum Islam. Sikap kita terhadap ijtihad ada dua,
yakni:
a. Ittiba’ artinya mengikuti pendapat dari ulama disertai mengetahu alasannya.

4
Syathibi, al- , 1996, al Muwafaqat, Beirut : Dar al Fikr, hal. 90-91.

71
b. Taqlid artinya mengikuti pendapat para ulama dengan tidak mengetahui
alasannya. Yang diperbolehkan adalah Ittiba’

Metode Ijtihad
Cara yang dilakukan ulama dalam berijtihad ada bermacam-macam, antara lain :
a. Ijma’ artinya kesepakatan mujtahid dalam mengeluarkan hukum yang dilakukan
setelah Nabi meninggal dunia.
Ijma’ dikatakan sah apabila:
1). Kesepakatan itu diambil oleh keseluruhan ulama mujtahid.
2). Harus dilakukan secara berkelompok tidak individual.
3). Tidak boleh terjadi perpecahan pendapat yang membentuk kelompok kecil
(Ijma’ Murakkab).
4). Semua ulama harus menyatakan pendapatnya, baik secara lesan maupun
perbuatan.
5). Para ulama harus dapat melahirkan keputusan hukum pada saat mereka
melakukan pembahasan.
Contoh ulama berijtihad dengan metode ini adalah kodifikasi Al-qur’an, al-
Hadist, Pancasila, GBHN.
b. Qiyas
Menurut bahasa artinya ukuran, artinya mengetahui ukuran sesuatu dengan
menisbatkan (menyamakan) pada yang lain.
Sedangkan menurut istilah artinya menghubungkan suatu masalah yang belum
diketahui hukumnya oleh Nash kepada suatu masalah yang sudah ditentuan
hukumnya oleh nash, karena keduanya memiliki kesamaan illat hukum.
Rukun Qiyas :
1). Ashal yaitu suatu kejadian yang telah ditentukan hukummnya oleh Nash.
2). Furu’ yaituKejadian baru yang belum ditentukan hukumnya dalam Nash.
3). ‘Illat yaitu sifat yang menjadi dasar dari ketentuan hukum ashal
4). Hukum Asal yaitu ketentuan hukum syara’ yang telah dinyatakan oleh ashal,
hendaknya dilekatkan pada furu’.

72
Contoh penggunaan metode ini adalah haramnya minuman keras, haramnya
pembunuh menerima warisan.
c. Istihsan
Artinya mengikuti sesuatu yang menurut akal baik, atau beralihnya ketetapan
qiyas pada hasil qiyas yang lebih kuat. Atau menetapkan hukum berdasarkan
kepentingan umum.
Contoh penggunaan hukum ini adalah pembuatan KTP, SIM dan lainnya yang
diperlukan masyarakat.
d. Mashlahah Mursalah
Artinya mencari kebaikan, untuk dijadikan dasar dalam pertimbangan dalam
pengkajian hukum pada persoalan-persoalan yang tidak dijelaskan dalam Nash.
Kemashlahatan digunakan untuk memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan
keturunan. Kemashlahatan diterapkan guna menghindari kemadharatan.
Syarat-syarat kemashlahatan atau istishlah dapat digunakan sebagai hujjah
(penggalian hukum) adalah :
1). Ketentuan hukumnya ditetapkan lewat penelahaan dan penelitian yang
mendalam sehingga didapatkan hasil yang nyata dan ada dasarnya, bukan
lewat dugaan atau perkiraan.
2). Penerapan nilai kemashlahatannya berlaku umum.
3). Hasil kajian tidak bertentangan dengan Nash.
Contoh: pencatatan Nikah.
e. ‘Urf
‘Urf atau hukum Adat adalah berbagai tradisi yang sudah menjadi kebiasaan
masyarakat terhadap perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang, dan
memunculkan sangsi bila tidak dilakukan. Sangsi tersebut dapat berupa sangsi
jasmani atau sangsi rohani. Adapun sangsi jasmani berupa penderitaan badan,
sedangkan sangsi rohani berupa tindakan yang dapat menyebabkan rasa takut,
rasa malu untuk berbuat.
‘Urf dilihat dari segi hukumnya ada dua, yakni :

73
1). ‘Urf fasid yaitu tradisi masyarakat yang menghalalkan perbuatan haram. Seperti
berjudi pada acara hajatan, pergaulan bebas, bersikap tidak peduli dan
sebagainya.
2). ‘Urf shahih yaitu tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Misalnya; gotong-royong, tahlil, upacara adapt yang tidak berbau
musyrik, tidak memperbolehkan anak putrinya dibawa pindah oleh suami
sebelum maharnya terbayar lunas, dan sebagainya.

B. Kesimpulan
Hukum Islam adalah hukum yang mengatur manusia dalam hubungannya
dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lain serta dengan alam
semesta yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist serta ijtihad para ulama.
Dalam menjawab permasalahan jaman sebagai akibat kemajuan pemikiran dan
peradaban manusia, hukum Islam atau ajaran Islam tersebut tidak kaku, tetapi luwes,
selalu up to date dan mengikuti perkembangan jaman. Sehingga materi hukum Islam
selalu mengkaji masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.
Kita sebagai umat Islam wajib mengikuti dan melaksanakan hukum Islam
tersebut, karena hukum Islam berkarakteristik sesuai dengan kemampuan manusia,
tidak memberatkan dan tidak menyulitkan. Apabila manusia sengaja meninggalkan
ajaran Islam maka mereka termasuk orang-orang yang merugi dan baginya adalah
siksa yang pedih. Pun hukum Islam juga bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperi;
mengatur bagaimana berbuat baik dengan penciptanya, berbuat baik dengan
tetangga, negara, orang tua, orang lain. Manakala mereka taat akan tentramlah
hidupnya, tenang hatinya, cerdas pikirannya, puas jiwanya, dan sebagainya.
Hidupnya akan dihadiri oleh rasa bahagia, damai, sejahtera, tidak bermusuhan, hidup
berdampingan secara damai, gotong-royang dan bahu-membahu dalam beramar
ma’ruf nahi mungkar. Tidak segan mereka untuk saling mengingatkan dan saling
membantu guna mewujudkan suasana yang penuh nikmat dan diridhaoi Allah
(baldatun thayyibatun wa Rabbun ghofur).

74
Hukum Islam yang sarat dengan kemashlahatan akan selalu menuntun
manusia untuk hidup bermartabat, dan untuk menggunakan akalnya dalam berfikir
jernih. Juga akan selalu membimbing dan memberi petunjuk manusia ketika
menyelesaikan masalah. Pemuda termasuk mahasiswa yang gemar belajar Islam,
mengkaji Islam, dan aktif dalam kegiatan dakwah Islam, maka pemuda inilah yang
paling beruntung, karena masa depannya terisi oleh perbuatan yang bermanfaat,
yang selalu menggunakan kata hati nurani bukan hawa nafsu belaka. Sehingga
selamatlah hidupnya dari godaan besar yang datang dari syetan, seperti; narkoba,
pergaulan bebas, berfoya-foya, munafik dan kurang tata krama.

C. Latihan Soal
1. Jelaskan pemahaman syariah dan dasar hukumnya !
2. Uraian persamaan dan perbedaan antara syariah, fiqh dan qonun !
3. Gambarkan tabel tentang syariah sebagai ajaran Islam dan bagian-bagiannya !.
4. Mengapa Al-Qur’an dan Al-Hadist disebut sebagai wahyu Allah?, jawaban
disertai dalilnya !
5. Terangkan pemahaman tentang Al-Hadist dan fungsi Al-Hadist terhadap Al-
Qur’an !
6. Ijtihad merupakan kesungguhan ulama dalam merumuskan hukum Islam yang
tidak dijelaskan dalam Nash !, jelaskan metode ijtihad yang dilakukan ulama
beserta contohnya !
7. Ijtihad tidak boleh diakukan setiap orang, namun harus memenuhi syarat,
uraikan syarat-syarat seseorang bisa menjadi mujtahid !.
8. Syari’ah atau hukum Islam ditetapkan oleh Allah tentunya mempunyai tujuan,
terangkan tujuan hukum Islam dan kaitkan dengan maqashid tasyri’ !
9. Syari’ah atau hukum Islam ditetapkan oleh Allah untuk kehidupan manusia,
tentunya mempunyai karakteristik, uraikan karakteristik hukum Islam secara
lengkap !
10. Bagaimanakah tanggapan orang Islam dalam menerima dan melaksanakan ajaran
Islam !.

75
REFERENSI

Abdurrahman, 1992, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika


Pressindo, Jakarta

Ali, Zainuddin, 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar


Grafika.

Al-Syatibi, t. th, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Jilid II, Mesir,: Dar al-
Fikr.

Ash-Shiddiqy, Hasbi, 2001, Filsafat Hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka


Rizki.

Departemen Agama RI, 1989, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV


Toha Putra.

Daud Ali, Muhammad, 1997, Hukum Islam dan Peradilan Agama


(Kumpulan Tulisan),Jakarta, Rajawali Press.

----------------------------------, 2012, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum


dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

H.A.R. Gibb, 1950, The Modern Trends in Islam, Chicago, University Of


Chicago Press.

Harahap, M. Yahya dalam Moh, Mahfudh, dkk, Moh. 1993, Peradilan


Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, UII Press,
Yogyakarta.

Hashemi, Nader, 2011, Islam, Sekularisme dan Demokrasi Liberal, Jakarta,


PT Gramedia Pustaka Utama.

Ichtijanto, 1991, Perkembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di


Indonesia, dalam Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan ed.
Tjun Surjaman, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Jamil, Fathurrahman, 1997, Filsafat Hukum Islam, Bagian Pertama, Jakarta:


Logos.

Mardani, 2010, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,


Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

76
Manan, Abdul, 2006, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.

Rofiq, Ahmad, 2012, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Rosyada, Dede, 2002, Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirosah Islamiyah
III, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Praja, S. Juhaya, 2009, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Lathifah Press dan
Fakultas Syariah IAILM.

Shiddiqi, Nouruzzaman, 1997, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya,


Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Syarifuddin, Amir, 1993, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,


Padang, Angkasa Raya.

Wahhab Khallaf, Abdul, 1994, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul


Fiqh), Jakarta, raja Grafindo.

Wahid, Marzuki, dan Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara (Kritik Atas
Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS.

77

Anda mungkin juga menyukai