Anda di halaman 1dari 8

Tugas Paper Mata Kuliah Kuliah

Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta,
M.Si

MEMAKNAI PADMASANA DALAM PERSFEKTIF

ILMIAH DAN NON ILMIAH

Bila dikaji dari sudut pandang ilmiah dan non ilmiah dan mengabaikan unsur
kepercayaan berdasarkan agama Hindu maka dapat dirumuskan bahwa banyak unsur-unsur dari
bangunan padmasana itu dapat dikatakan tidak ilmiah baik itu berupa mitologi didalamya. Jika
melihat penerapanya di Bali, setiap tempat suci (Pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan
padmasana. Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan
atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Adapun bentuk ilmiah dan non ilmiah
dari padmasana ini yaitu berupa:

1. Kajian Ilmiah

a) Tata Letak Bangunan Padmasana

Bangunan pura umumnya menghadap ke barat, jika memasuki sebuah pura akan
menuju ke arah timur, demikian pula pemujaan dan persembahyangannya menghadap ke
timur ke arah terbitnya matahari. Sedangkan komposisi bangunan pelinggih berjajar utara
timur, di sisi timur menghadap ke barat, dan sebagian lagi ada di sisi utara menghadap ke
selatan. Pada sebuah pura, padmasana, meru, gedong, kemulan merupakan bangunan
pelinggih sebagai tempat pemujaan utama.
Bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan
atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Padmasana pada suatu pura
terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang
sebagai linggih Sanghyang Siwa Raditya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok
pembatas (penyengker) pekarangan yang disakralkan. Pada bagian-bagian sudut terdapat
paduraksa yang berfungsi sebagai penyangga sudut-sudut penyengker. Pintu masuk di
depan atau di jaba pura memakai candi bentar, dan pintu masuk ke jaba tengah atau ke
jeroan memakai kori agung dengan berbagai macam bentuk variasi dan kreasinya sesuai
dengan keindahan arsitekturnya (Gelebet, 1982 : 108).

1
Tugas Paper Mata Kuliah Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta,
M.Si

b) Struktur Bangunan Padmasana

Secara umum struktur atau bentuk bangunan Padmasana disusun vertikal yang
mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah loka alam tengah,
dan swah loka alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga yaitu ; nistama
angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala).
Dilengkapi dengan berbagai bentuk motif hias yang terinspirasi dari bentuk-bentuk yang
ada di alam. Di Bali berbagai jenis kesenian baik seni patung, seni lukis, seni ukir/kriya,
seni arsitektur, seni tari seni karawitan, dan seni suara berhubungan erat dengan
agama merupakan satu kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud bhakti kepada Tuhan.
Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan pemerajan selalu dihiasi
dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional Bali yang mencerminkan
hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Gelebet, 1982 : 25).

Bentuk bangunan padmasana hampir sama dengan candi yang lengkap dengan
pepalihan, akan tetapi tidak mempunyai atap. Tinggi padmasana sekitar 3 sampai 4 meter
dengan dasar segi empat atau bujur sangkar, lebar sisi-sisinya sekitar 2 sampai 3 meter,
bentuknya mengecil ke arah atas. Struktur bangunannya terdiri dari bagian kaki yang
disebut tepas, bagian badan atau batur, dan bagian kepala yang disebut sari. Bangunan
padmasana di buat dalam bentuk ruang yang bervariasi dalam dimensi, komposisi bidang-
bidang pasangan, dan tata motif hiasannya (Gelebet, 1982 : 159).

c) Motif hias Padmasana


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan ; motif adalah sebab-sebab
yang menjadi dorongan; tindakan seseorang, dasar pikiran atau pendapat, sesuatu yang
menjadi pokok dalam cerita, gambaran dsb. ( Poerwadarminta, 1985 : 655). Motif
adalah dasar warna; latar belakang warna; dasar ragam untuk aransemen lagu; ragam;
bentuk; alasan dasar (Partanto, 1994 : 486). Hias adalah; corak hiasan pada kain, hiasan
bagian rumah, bangunan suci dan sebagainya (Susanto, 2002 : 75) Sedangkan tradisional
adalah kebiasaan secara turun-tumurun, tentang pandangan hidup, kepercayaan, kesenian,
tarian upacara dsb.

2
Tugas Paper Mata Kuliah Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta,
M.Si

Motif hiasan atau ornamen merupakan karya seni yang bersumber dari bentuk-
bentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang,
manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Kehadiran motif hias sebagai hasil kreasi
manusia yang dapat menghasilkan suatu bentuk hiasan (ornamen). Sedangkan pola
mengandung pengertian suatu hasil susunan/pengorganisasian dari motif tertentu dalam
bentuk dan komposisi tertentu pula. Namun pola dalam konteks tertentu dapat berarti
lain, misalnya dalam disain produk, yaitu sebagai prototipe dari suatu barang yang akan
diproduksi (Sukarman dalam Suardana, 2007:7). Stilisasi dari bentuk-bentuk alam yang
diwujudkan dalam bentuk motif hias atau ornamen bisa diterapkan pada kain seperti
hiasan pada ider-ider, umbul-umbul, batik, dan hiasan parba. Hiasan pada kayu
seperti ulon, saka, kori, plawahgamelan, dan peralatan rumah tangga. Sedangkan pada
batu padas seperti pembuatan patung-patung perwujudan, hiasan pepalihan pada rumah
tinggal, dan bangunan suci seperti padmasana.
Kebiasaan membuat hiasan yang bernuansa lokal secara turun-tumurun, atau
sudah mentradisi tersebut, oleh masyarakat Bali kemudian dikenal dengan motif hias
tradisional. Dalam pengertian tradisional bumi terbentuk dari lima unsur yang disebut
Panca Mahabutha, yakni apah (zat cair), teja (sinar), bayu (angin), akhasa (udara),
dan pertiwi(tanah bebatuan/zat padat). Kelima unsur tersebut melatarbelakangi bentuk-
bentuk motif hias (ornamen) yang berasal dari alam. Estetika, etika dan logika merupakan
dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan motif hias yang
mengambil tiga kehidupan di bumi, seperti halnya manusia, binatang (fauna), dan
tumbuh-tumbuhan (flora). (Gelebet, 1982 : 331).Adapun jenis-jenis motif hias tradisional
Bali tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Motif Keketusan (geometris), terdiri dari : Kakul-kakulan, Batun timun,
Ganggong, Emas-emasan, Ceracap, Mute-mutean, Tali ilut dan sebagainya.
b. Motif tumbuh-tumbuhan (pepatran), terdiri dari : Patra Punggel, Patra
Samblung, Patra Sari, Patra Olanda, Patra Cina, Patra Wangga dan sebagainya.
c. Motif Kekarangan, terdiri dari : Karang Gajah, Karang Guak, Karang Tapel,
Karang Boma, Karang Sae, Karang Bentulu, Karang Simbar dan sebagainya.

3
Tugas Paper Mata Kuliah Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta,
M.Si

Motif hias tradisional Bali tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias
bangunan terutama tempat suci, seperti halnya padmasana, selalu mengikuti bentuk dan
struktur dari bangunan tersebut.

d) Bentuk-Bentuk Padma

Dilihat dari bentuk bangunannya, Padma dapat dibedakan menjadi lima jenis Padma,

yaitu:

1) Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya

ada tiga ruang.

2) Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada

dua ruang.

3) Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu

ruang.

4) Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada

satu ruang.

5) Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya

ada satu ruang.

e) Jarak Antar Pelinggih

Sesuai dengan Asta Bumi, jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat

menggunakan ukuran satu depa, kelipatan satu depa, telung tapak nyirang, atau

kelipatan telung tapak nyirang.

4
Tugas Paper Mata Kuliah Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta,
M.Si

Pengertian depa yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke

ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan telung tampak nyirang adalah jarak

dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu

tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah

dari orang yang dituakan dalam kelompok penyungsung (pemuja) Pura. Jarak antar

pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari

harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga

mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu

juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak,

sedangkan jarak ke Piasan dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini

juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

2. Kajian Non Ilmiah

a. Padmasana Sebagai Simbol

Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai

bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau

pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan

kesucian dan keagungan Hyang Widhi karena memenuhi unsur-unsur:

Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang

Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal:

MANIFESTASI MATA ANGIN

Sangkara Barat Laut (Wayabya)

5
Tugas Paper Mata Kuliah Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta,
M.Si

Wisnu Utara (Uttara)

Sambhu Timur Laut (Airsanya)

Mahadewa Barat (Pascima)

Ishwara Timur (Purwa)

Rudra Barat Daya (Nairity)

Brahma Selatan (Daksina)

Mahesora Tenggara (Aghneya)

Dalam ajaran Siwa Sidanta Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan

simbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa

(adasthasana/ dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak).

Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan

udara disebut akasa.

b. Manifestasi Tuhan Yang berkedudukan di Padmasana

Padmasana dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan
oleh umat Hindu. Kalau kita bandingkan dengan bangunan candi-candi yang ada di Jawa,
padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa.
Gambar semacam ini tidak hanya kita temui pada bangunan candi yang ada di Jawa, akan
tetapi juga pada candi-candi yang ada di India. (Cudamani, 1998 : 51). Berdasarkan
keyakinan umat Hindu terdapat beberapa bentuk Padma dan manifestasi Tuhan yang dipuja
antaralain: Padma Anglayang, digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa
Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti, Padma Agung,
digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa,

6
Tugas Paper Mata Kuliah Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta,
M.Si

juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta
segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) kanan
(penengen), dst. Padmasana, digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa
Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang
Widhi Yang Maha Esa. Padmasari, digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa
Raditya atau Sanghyang Tripurusa dan Padma capah, digunakan untuk niyasa stana Hyang
Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan)

DAFTAR PUSTAKA

Cudamani, 1998. Padmasana. Surabaya : Paramita

Covarrubias, Miguel. 1974. Island Of Bali. Kuala Lumpur : Oxford University Press.

Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukkan
Indonesia.

Ginarsa, Ketut. 1979. Gambar Lambang. CV. Sumber Mas Bali.

Gelebet, I Nyoman. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Proyek Iventarisasi dan
Dokumentasi Kebuadayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gustami, Sp. 1980. Nukilan Seni Ornamen Indonesia, Yogyakarta : STSRI ASRI.

Linus, I Ketut. 1985. Beberapa Patung Dalam Agama Hindu : Sebuah Pendekatan Dari Segi
Arkeologi.

Ngidep Wiyasa, I Nyoman. 1991. Pengembangan Motif Hias Kekarangan Dalam Penciptaan
Perhiasan dan Hiasan Dinding. Tugas Akhir Program Studi Kriya Logam,
Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta.

Poerwadarminta, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

7
Tugas Paper Mata Kuliah Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta,
M.Si

Redig I Wayan, 1997. Ciri-ciri Ikonografi Beberapa Arca Hindu di Bali (Studi Banding Dahulu
dan Sekarang). Dinamika Kebudayaan Bali, Denpasar : Upada Sastra.

Sudara, I Gusti Nyoman. 1983. Kumpulan Pola Hias Bali. Denpasar : Sekolah Menengah Seni
Rupa.

Suardana, I Wayan. 2007. Buku Ajar Ornamen II (Nusantara dan Internasional), Fakultas Seni
Rupa Dan Desain, ISI Denpasar.

Susila Patra, I Made. 1985. Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal
Adat Bali. PN. Balai Pustaka.

Soepratino, 1983. Ornamen Ukir Kayu Tradisional Jawa. Semarang : PT. Effhar.

Titib, I Made. 2001. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita

Urs Ramseyer, 1977. The Art and Culture Of Bali. New York : University Press.

Yuda Triguna, Ida Bagus Gde. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma

Anda mungkin juga menyukai