Dilihat dari segi ilmu pengetahuan dan segi arsitekturnya bangunan tersebut
merupakan gaya peralihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Kemungkinan
juga merupakan suatu bukti terjadinya perpindahan pusat kerajaan ke timur.
Dalam hubungan ini para sarjana cenderung menghubungkan berita
perpindahan kerajaan Holing ke timur sekitar tahun740 Masehi. Kemudian
diartikan bahwa raja dari dinasti sanjaya menyingkir ke timur karena terdesak
oleh dinasti Sailendra. Daerah yang dimaksud adalah sekitar Malang.
Candi Badut dibangun pada abad VIII M, merupakan peninggalan dari masa
pemerintahan kerajaan Kanjuruhan yang berpusat di Dinoyo (barat laut
Malang). Masa pendirian bangunan dihubungkan dengan prasasti Dinoyo 760
Masehi (682 Saka). Prasasti dibuat dari batu bertuliskan huruf Kawi,
berbahasa Sansekerta dan menyebutkan bahwa pada abad VIII M, ada
kerajaan berpusat di Kanjuruhan. Sekarang disebut Desa Kejuron) di bawah
pemerintahan raja Dewa Simha yang berputera seorang laki-laki bernama
Limwa. Limwa mempunyai seorang puteri. Uttejana yang menikah dengan
Jananeya. Limwa menggantikan ayahnya dan berganti nama dengan
Gajayana. Pada pemerintahan Gajayana itulah didirikan Candi Badut.
Dikatakan pula bahwa pendirian bangunan tersebut tanggal 1 Kresnapaksa
bulan Margasirsa tahun 682 Saka (28 Nopember 760 Masehi) untuk tempat
Agastya berikut arcanya dari batu hitam yang sangat indah. Arca tersebut
ditasbihkan oleh para pendeta yang paham akan kitab Weda beserta para
petapa sthapaka dan rakyat. Pada kesempatan ini raja menganugerahkan
sebidang tanah, sapi dan kerbau, budak laki-laki dan perempuan sebagai
penjaga, juga segala keperluan untuk pendeta seperti keperluan pemujaan,
penyucian diri dan bangunan tempat peristirahatan para pengunjung.
Candi Badut ditemukan secara kebetulan pada 1923 oleh seorang pengawas
dari Malang E.W. Maurenbrechter, di tengah sawah. Waktu itu yang terlihat
hanyalah bukit batu runtuhan dan tanah. Di atas dan sekitarnya tumbuh
beberapa pohon beringin. Pada 1925-1926 candi tersebut dipugar untuk
pertama kali sampai tingkat pertama atapnya saja karena batu-batu yang lain
tidak ditemukan.
Bagian kaki
Pada umumnya kaki candi terdiri atas perbingkaian bawah, badan kai dan
perbingkaian atas tetapi kaki Candi Badut hanya mempunyai bingkai bawah
dan badan kaki. Bingkai bawah terdiri dari pelipi rata, sedangkan badan kaki
candi berupa susunan bata-bata rata, polos dan tidak mempunyai hiasan
sama sekali. Pada bagian depan candi terdapat tangga naik ke bilik candi.
Sebelum masuk ke bilik candi terdapat selasar keliling dengan pradaka
sinaptha.
Bagian badan
Badan candi bentuknya tambun karena lebih besar dari tingginya. Pntu bilik
berpenampil (poritico) yang mengingatkan pada langgam seni bangunan
Jawa Tengah. Pada tangga sebelah selatan terdapat Kinara-Kinari.
Bagian Atap
Bagian atap candi telah rusak. Menurut hasil rekonstruksi yang dimuat dalam
OV 1929 tampak bagian atap candi terdiri atas dua tingkat yang serupa
dengan tubuh candi tetapi makin ke atas semakin kecil dan ditutup dengan
puncak ratna. Hiasan yang terdapat pada atap berupa antefix.
Di depan candi induk terdapat tiga bekas alas candi kecil yang terkenal
dengan nama Candi perwara. Diperkirakan bentuknya sama sekali candi
induk. Candi tersebut berjajar arah utara selatan dan menghadap ke timur.
Candi perwara yang di tengah berisi arca Nandi, di selatan terdapat lingga
yoni, sedangkan di utara tidak diketahui. Susunan yang terdiri dari tiga candi
yang lebih kecil dan berhadapan membuktikan bahwa Candi Badut
merupakan salah satu candi yang tertua di Jawa Timur.
Dengan adanya arca Durga, Agastya dan lingga yoni maka Candi Badut
merupakan candi-candi agama Hindu.
Candi Badut telah selesai (purna) pugar pada 1993 oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah pemugaran selesai dan perbaikan jalan
menuju ke kompleks percandian dapat dicapai dengan kendaraan bermotor,
maka kompleks tersebut layak dijadikan objek wisata.
Selain itu Candi Tikus disebut juga sebagai candi pemandian atau petirthaan
karena ada struktur kolem pemandian atau pertirthaan dan pancuran serta
dibangun menjadi satu dengan candinya.
Candi Tikus ini terletak di Dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Jaraknya tiga kilometer di tenggara Balai
Penyelamatan (Site Museum) atau delapan kilometer ke barat daya dari pusat
kota Mojokerto; empat kilometer dari jalan Madiun-Surabaya.
Candi Tikus disebut demikian karena menurut ceritera rakyat setempat, waktu
ditemukan banyak tikus yang bersarang di tempat itu dan sewaktu penduduk
menggarap sawahnya selalu rusak akibat adanya tikus yang merusak
tanaman padi mereka.
Arsitektur
Candi ini mulai kembali dalam panggung sejarah pada tahun 1914, setelah
digali dari timbunan tanah yang menutupinya. Waktu itu seorang bupati
Mojokerto bernama R.A.A. Kromodjojo Adinegoro melaporkan bahwa ada
penemuan berupa miniatur candi pada kuburan rakyat. Sejak itulah banyak
ahli mulai mengadakan penelitian mengenai candi tersebut.
Secara umum Candi Tikus berdenah segi empat dengan ukuran 22,50 x
22,50 meter, tinggi (dari lantai sampai menara candi induk) 5,20 meter. Arah
hadap ke utara dengan azimuth 20 derajat dan tangga masuk terdapat di
sebelah utara.
Ditinjau dari sudut arsitektur bangunan candi terbagi menjadi enam bagian,
yaitu bangunan induk, kolam (dua) dinding, teras (tiga tingkat), tangga utama,
lantai dasar dan pagar.
Bangunan Induk
Bentuk bangunan ini makin ke atas makin kecil dan dikelilingi oleh delapan
candi yang lebih kecil bagaikan puncak gunung yang dikelilingi delapan
puncak yang lebih kecil.
Bangunan menempel pada sisi selatan teras terbawah. Luasnya 7,65 x 8,75
meter dan tinggi 5,20 meter. Pada dinding batur terdapat pancuran air.
Secara horizontal bangunan induk dibagi menjadi tiga bagian mencakup kaki,
tubuh dan atap.
Kaki bangunan berbentuk segi empat, dengan profil kaki berpelipit. Pada
lantai atas kaki bangunan terdapat saluran air dengan ukuran 17 cm dan
tinggi 54 cm serta mengelilingi tubuh, sedangkan pada sisi luar terdapat
jaladwara. Selain jaladwara terdapat pula menara-menara yang disebut
menara kaki bangunan karena adanya bagian kaki bangunan.
Ukuran menara 80 x 80 cm. Pada lantai atas kaki bangunan ini berdiri tubuh
bangunan dengan denah segi empat, sedangkan di bawah susunan batanya
terdapat pula kaki tubuh tempat berdiri menara yang disebut menara tubuh
pada keempat sudut dan ukurannya sama dengan menara kaki.
Selain itu di bagian tengah setiap dinding tubuh terdapat bangunan menara
yang lebih besar dan berukuran 100 x 140 cm, tinggi 2,78 meter. Salah satu
dari menara itu ada yang menempel pada dinding tubuh.
Kolam
Di sebelah timur laut dan barat laut bangunan induk terletak dua bangunan
yang berbentuk kolam dan disebut kolam barat dan kolam timur. Kolam ini
terdapat di kanan dan kiri tangga masuk. Masing-masing berukuran panjang
3,50 meter, lebar 2 meter, tinggi, 1,50 meter dan tebal dinding 0,80 meter.
Pada sisi utara dinding kolam bagian dalam terdapat tiga jaladwara dengan
ketinggian kurang lebih 80 cm dari lantai kolam. Bagian luar kolam sisi
selatan terdapat tangga masuk ke bilik kolam, lebar 1,20 meter, sedangkan
bagian dalamnya terdapat semacam pelipit setebal 3,50 cm. Di atas dan
bawah tangga masuk sisi timur ada dua saluran air.
Dinding Teras
Bangunan dinding ini terdiri atas tiga teras yang mengelilingi bangunan induk
dan kolam. Fungsi teras sebagai penahan desakan air dari sekitarnya karena
bangunan ada di bawah permukaan tanah, juga sebagai penahan longsor.
Dinding teras pertama berukuran 13,50 x 15,50 meter, sedangkan lebar lantai
teras 1,89 meter.
Kaki teras ini berpelipit dan di bagian atas susunan batanya terdapat
pancuran air berbentuk padma dan makara, sedangkan di bawah lantai teras
terdapat saluran air berukuran 0,20 meter dan tinggi 0,46 meter. Saluran ini
berhubungan dengan saluran yang ada pada bangunan induk dan
diperkirakan bahwa saluran tersebut dipergunakan untuk mengalirkan air
yang berasal dari bangunan induk tersebut, keluar melalui pancuran yang
terdapat di bagian dalam dinding kolam sisi utara.
Dinding teras tingkat dua berukuran 17,75 x 19,50 meter. Lebar lantai 1,50
meter dan tingginya 1,42 meter serta tebal dinding teras tersebut sebanyak
17 lapis bata.
Dinding teras tingkat tiga mempunyai ukuran 21,25 x 22,75 meter dengan
lebar lantai 1,30 meter, tinggi dinding 1,24 meter, sedangkan tebal tinding 10
lapis bata.
Tangga utama
Tangga utama ini merupakan tangga menuju ke bangunan induk dan bilik
kolem. Panjang tangga 9,50 meter, lebar 3,50 meter dan tinggi 3,50 meter.
Pada sisi timur dan barat tangga teras satu dan teras dua terdapat pipi tangga
yang menutupi jalan masuk ke teras satu dan dua.
Lantai dasar
Lantai dasar terdiri dari susunan bata yang mempunyai permukaan atau
bidang datar di bagian atasnya, tersusun dari dua lapis bata dengan luas
kurang lebih 100 meter persegi. Lantai ini tempat berdidi bangunan induk,
kolam, dinding teras dan tangga utama.
Pelestarian
Untuk kelestarian warisan budaya bangsa yang berupa bangunan candi, perlu
adanya penanganan secara berkesinambungan. Salah satu caranya ialah
mengadakan pemugaran. Pemugaran ini sangat berguna selain untuk objek
pariwisata juga bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan. Selain itu
Candi Tikus ini dapat berfungsi sebagai barometer air guna mengetahui debit
air di saluran-saluran atau waduuk dan dipakai sebagai perbandingan
besarnya air yang mengalir.
Candi Sajiwan
Seperti bangunan candi lainnya, Candi Budha Sajiwan terdiri dari kaki candi,
tubuh dan atap. Candinya pun sekarang tidak utuh, tetapi untuk dikunjungi
sebagai obyek wisata ataupun penelitian masih memadai karena masih dapat
dilihat bentuk bangunan, lukisan-lukisan dan arcanya cukup menarik
perhatian.
Tubuh candi sebagian masih dalam keadaan agak baik, terdapat pintu candi
yang dihiasi dengan makara (hiasan kanan kiri ambang pintu bawah berupa
kepala ular), sulur-sulur dan kepala kala di atas pintu.
Batur pendopo paling depan berangka tahun 1297 Saka (1375 M) dan ada
relief ceritera Bubuksah – Gagang Aking dan ceritera Sang Satyawan serta
angka tahun 1297 Saka (1375 M0. Pada Candi Angka Tahun atapnya dihias
dengan bentuk-bentuk binatang dan di atas ambang pintu ada angka tahun
Jawa Kuna: 1291 Saka (1369 M).
Candi Naga dibelit oleh naga dan badan naga ini disangga oleh sembilan
makhluk laki-laki yang berdandan model raja-raja sambil memegang genta
pendeta. Kaki candinya dihias dengan relief ceritera binatang.
Candi Singosari (Malang, Jawa Timur)
Deskripsi Bangunan
Candi Singosari adalah bangunan berbentuk bujur sangkar terbuat dari batu.
Bangunan ini menghadap ke arah barat. Seluruh candi terdiri dari tingkat
bawah atau batur setinggi 2 meter, kaki yang tinggi, tubuh yang ramping, dan
atap yang berbentuk limas.
Kaki
Pada kaki candi terdapat bilik berisi sebuah yoni (lambang kewanitaan) yang
biasanya terdapat dalam tubuh candi. Ini merupakan keistimewaan karena
umumnya kaki candi memiliki ruangan.
Bilik-bilik lain yang dapat kita masuki melalui selasar keliling pada batur dan
dahulu berisi arca Durga (utara), Ganesa (timur) dan Siwa Guru (selatan).
Kecuali arca Guru, arca-arca lain sudah tidak ada di tempatnya. Di bilik
tengah ini juga merupakan keistimewaannya, terdapat suatu saluran di bawah
lantai bilik. Mungkin dahulu dipergunakan untuk mengalirkan air pembasuh
linggayoni ke suatu pancuran (sekarang sudah tidak ada, tetapi bekasnya
masih terlihat jelas).
Di atas bilik candi, maupun di atas relung terdapat hiasan kepala Kala. Dalam
pada itu di sisi kiri kanan bangunan penampil yang ada di depan (barat)
terdapat relung tempat arca Nandiswara dan mahakala.
Tubuh
Tubuh candi tidak memiliki bilik karena bilik candi terdapat di dalam kaki
candi. Di bagian luar tubuh candi dibuat relung-relung tidak dalam yang
semuanya kosong. Relung-relung tidak kelihatan karena tertutup oleh
puncak-puncak keempat penampilannya. Apakah relung-relung itu dahulunya
arca, tidak diketahui dengan jelas.
Atap
Bagian atap candi hanya sebagian saja yang tinggal. Berlawanan dengan
bagian yang lain maka pada bagian atap ini telah selesai di pahat dengan
hiasan yang halus, sedangkan bagian bawah masih polos. Ini menunjukkan
kemungkinan cara menghias candi dimulai dari bagian atas. Kenyataan
seperti ini sering kita jumpai pula pada candi-candi lain, misalnya Candi
Sawentar di dekat Blitar.
Tidak jauh ke barat, di alun-alun, terdapat dua arca penjaga sangat besar.
Arca-arca raksasa itu tidak dapat dipindahkan karena berat sekali dan
tentunya berdiri di situ masih pada tempatnya yang asli, sebagai menjaga
jalan masuk ke percandian yang sangat luas di belakangnya. Tingginya 3,70
m dan satu di antaranya terpendam sampai ke pusatnya. Arca-arca ini
mempunyai tali ular melilit pada bahannya; sedangkan kepalanya dihiasi
dengan jamang ular dengan sejumlah tengkorak.
.
Candi Panataran (Jawa Timur)
Struktur bangunan
Candi Panataran merupakan satu kompleks yang terdiri dari pelbagai unsur
yaitu pagar, halaman, pemandian, candi-candi, lantai-lantai/batur bangunan,
arca-arca, relief dan lain-lain.
Kompleks candi yang luasnya hampir 1,5 ha itu terdiri atas tiga halaman.
Seperti halnya Candi Sukuh di Jawa Tengah dan pura di Bali tiga halaman itu
dalam formasi berbaris, yang satu di belakang yang lain. Bagian yang paling
penting atau paling suci terletak pada baris paling belakang.
Di halaman III terdapat candi induk atau candi utama diantara semua candi
yang terdapat di kompleks itu. Keadaan sekarang tinggal bagian kaki saja,
namun masih cukup rapi dan anggun berkat pemugaran tahun 1917-1918.
Badannya yang masih menanti unsur-unsur kelengkapannya kini tertimbun di
bawah dalam bentuk susunan percobaan. Kaki candi ini menyerupai punden
berundak teridir atas tiga teras yang dihubungkan oleh tangga. Pada alas
arca penjaga terdapat angka tahun 1239 Saka (1317 M). Candi induk ini kaya
sekali akan hiasan berupa arca, relief, miniatur candi, lengkung-lengkung
tepian tangga, hiasan sudut dan lain-lain. Reliefnya sendiri bermacam-
macam, ada yang rangkaian cerita, panil-panil atau ragam penghias bidang.
Ragam hias yang penting di sana adalah tumpal, binatang, sulur-sulur,
medalion, garuda dan lain-lain. Relief manusia dan hewan umumnya tampak
samping seperti wayang kulit, gaya seperti itu juga ciri khas periode Jawa
Timur. Bagian ini memang asyik untuk dilihat, diresapi dan dihayati sebab
semua hiasan ini ternyata kecuali indah juga mengandung makna simbolis-
filosofis yang menunjang suasana dan makna candi ini seutuhnya sebagai
suatu bangunan suci.
Dari halaman III melalui jalan setapak kita dapat turun ke kolam dengan
airnya yang jernih, yang pada dindingnya dipahatkan relief.
Relief
Relief, apalagi yang berbentuk cerita, sungguh mengasyikkan sebab
menyimpan ajaran moral seperti kepahlawanan, keikhlasan berkorban dan
keagamaan. Salah satu batur bangunan di halaman I penuh hiasan relief
mengelilingi seluruh dindingnya. Yang sudah dapat diidentifikasi oleh pakar
kepurbakalaan ada tiga cerita, yaitu: Bubuksah dan Gagangaking, Sang
Setyawan dan Seri Tanjung. Pada dinding candi induk antara lain terdapat
relief epos Ramayana (episode Hanuman Obong hingga gugurnya
Kumbakarna) pada teras pertama dan cerita Kresnayana pada teras kedua
yakni tentang kisah-kisah Sri Kresna dan Rukmini sebagai penjelmaan Batara
Wisnu dan Dewi Sri. Menonjolnya tokoh Rama Kresna yang keduanya
penjelmaan Wisnu dan juga tokoh Garuda sebagai wahananya khusus
(mungkin yang utama) pada candi ini. Pada dinding kolam dipahatkan ceritera
binatang (fabel) dengan tokoh kura-kura, buaya, kerbau dan lain-lain.
Candi Kidal
Candi Kidal (tinggi 12,5 m, luas: 35 m2) terletak didesa Rejokidal sekitar 20
km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur. Candi Kidal dibangun pada 1248
M, bertepatan dengan berakhirnya upacara pemakaman Cradha untuk Raja
Anusanatha (Anusapati), pengganti Raja Rajasa Sang Amurwabhumi.
Anusapati diarcakan sebagai Siwa dan ditempatkan di ruang utama candi.
Namun sekarang ini arca tersebut tidak berada pada tempatnya lagi.
Dari daftar buku pengunjung yan ada nampak bahwa Candi kidal tidaklah
sepopuler temannya Candi Singosari, Jago atau Jawi. Hal ini karena Candi
Kidal terletak jauh dipedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah dan
jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata. Lokasi candi ini sendiri
berada dipinggir jalan utama desa, namun karena terletak menjorok agak ke
dalam sehingga sulit dilihat sebelum benar-benar tepat berada di depan
gerbang masuk kawasan candi.
Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki
candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-
olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Ukuran tubuh candi lebih kecil
dibandingkan luas kaki serta atap candi, sehingga menekankan kesan
ramping. Atap candi terdiri atas tiga bagian dengan bagian paling atas
mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna atau
stupa. Masing-masing lapisan disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan .
Konon katanya tiap pojok lapisan atap candi dulu tempat berlian kecil.
Dilihat dari usianya, Candi Kidal merupakan candi paling tua dari peninggalan
candi-candi di Jawa Timur. Hal ini karena periode Airlangga (11-12 M) dan
(Kediri (12-13 M) tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan
dan Jolotundo yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan
pertirtaan. Bertitik tolak dari uraian diatas, dengan masih memiliki corak Jawa
Tengahan dan mengandung unsur Jawa Timuran, maka Candi Kidal
dibangun pada masa transisi dari kedua periode tersebut. Bahkan Candi Kidal
disebut sebagai prototipe candi periode Jawa Timur-an.
Nama Kidal sendiri sangat mungkin berasal dari bentuk ragam hias candi
makam Anusapati yang tidak lazim, dimana umumnya ragam hias terutama
relief-relief pada candi bersifat paradaksina (sansekerta = searah jarum jam,
dari kanan ke kiri), tetapi Candi Kidal justru bersifat prasawya (sansekerta =
berlawanan arah jarum jam, dari kiri ke kanan). Kidal sendiri dalam bahasa
Jawa Kuno bermakna "kiri".
Candi Kidal adalah satu-satunya candi Jawa yang meiliki narasi cerita Garuda
terlengkap. Terdapat tiga relief Garuda dalam candi ini, yang pertama Garuda
dengan menggendong tiga ular besar, relief kedua melukiskan garuda
dengan kendi diatas kepalanya dan relief ketiga Garuda menyangga seorang
wanita diatasnya. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang
paling indah dan masih utuh.
TUGAS SEJARAH
CANDI DI JAWA TIMUR