Anda di halaman 1dari 13

Sumber Sejarah Kerajaan Sunda:

1. Prasasti Canggal
Berita tentang Jawa Barat sedikit tersingkap dengan adanya temuan prasasti Canggal di Gunung Wukir, Jawa
Tengah yang berangka tahun 734M. Prasati itu dibuat atas perintah Sanjaya sebagai peringatan atas
kemenangannya. Prasati ini menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sanaha saudara perempuan dari
raja Sanna.

prasasti canggal

Kitab Parahyangan juga menyebutkan nama Sanjaya. Namun disebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena
yang berkuasa di kerajaan Galuh. Nama Sena ini mengingatkan pada raja Sanna yang disebutkan dalam
prasasti Canggal. Pada saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari raja Sena,
Sena beserta keluarganya dibuang ke gunung Merapi. Disinilah anaknya lahir dan diberi nama Sanjaya. Setelah
dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya di Denuh dan akhirnya dia berhasil
mengalahkan Rahyang Purbasora. Sanjaya kemudian mengangkat dirinya menjadi raja di Galuh.

Berdasarkan kedua sumber diatas, belum dapat dipastikan bahwa Sanjaya yang disebut dalam prasasti Canggal
dengan Sanjaya dalam cerita Parahyangan adalah orang yang sama. Namun, setidaknya dapat diketahui
keberadaan kerajaan Galuh yang diperkirakan terletak di perbatasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah.

2. Prasasti SangHyang Tapak


Nama Sunda muncul kembali pada prasasti Sang Hyang Tapak yang berangka tahun 952 saka (1030 M).
Prasasti itu ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang, di tepi sungai Citatih (Cibadak, Sukabumi). Yang
memakai tulisan huruf Kawi dan bahasa Jawa Kuno.
prasasti sang hyang tapak

Isi dari prasasti Sanghyang tapak antara lain:


a. Kerajaan diperintah oleh Maharaja Sri Jayabupati JayamanahenWisnumurti Samarawijaya
SkalabuwanaMandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikaramatunggadewa (wah…., namanya bisa masuk
muri nih!! panjang banget..) yang berkuasa di Prahajyan Sunda.

b. Berdasarkan gelar Wisnumurti, raja Jayabhupati diduga memeluk agama Hindu aliran Wisnu.

c. Raja Jayabhupati membuat daerah larangan disebelah timur sanghyang tapak, yaitu sebagian sungai tempat
orang dilarang mandi dan menagkap ikannya. Bagi yang melanggarnya akan terkena kutukan-kutukan yang
mengerikan seperti terbelah kepalanya, terminum darahnya dan terpotong-potong ususnya.

d. Pusat kerajaan di Pakuwan Pajajaran dipindahkan ke Kawali (dekat Cirebon).

3. Prasasti Astanagede
Berita lain tentang kerajaan Sunda ditemukan dalam prasasti di Astanagede (Kawali). Raja yang memerintah di
Kawali adalah Rahyang Niskala Wastu Kancana dan keratonnya disebut Surawisesa. Ketika diangkat sebagai
raja, Watu Kencana masih kecil sehingga pemerintahan untuk sementara dipegang oleh pengasuhnya yaitu
Hyang Bunisora.
prasasti Astanagede

setelah dewasa, Wastu Kencana memegang tampuk pemerintahan secara langsung. Ia sangat memperhatikan
kesejahteraan rakyatnya dan senantiasa menjalankan agamanya. Setelah Prabu Wastu Kencana wafat dan
dimakamkan di Nusalarang, ia digantikan oleh anaknya yang bernama rahyang Dewa Niskala atau Rahyang
Ningrat Kencana.

4. Kidung Sundayana
Berita lain tentang kerajaan Sunda juga ditemukan dalam kidung Sundayana yang menyebut raja bernama Sri
Baduga Maharaja. Raja inilah yang kemudian terlibat dalam perang bubat dengan kerajaan Majapahit pada
tahun 1357M yang berakhir dengan kematian Sri Baduga dan putrinya, Dyah Ayu Pitaloka beserta para
pengiringnya.

5. Catatan Bangsa Portugis


Berita lain tentang kerajaan Sunda adalah dari catatan bangsa Portugis yang banyak berhubungan dengan
Pajajaran, khususnya hubungan dengan kegiatan perdagangan. hal in dibuktikan dengan adanya nama-nama
pelabuhan internasional yang disebut oleh bangsa Portugis misalnya Chiano (Cimanuk), Sunda Calapa (sunda
kelapa), Tangaram (tanggerang), Chequide (Cikande), dan Pontang (Batam).

Menurut cerita Portugis, pada tahun 1512 dan 1521 raja Samiam dari kerajaan Sunnda (Pajajaran) telah
memimpin perutusan ke Malaka untuk minta bantuan Portugis. Pada tahun 1522 seorang utusan Portugis
bernama Hendrik de Leme telah berkunjung ke Sunda. Pada masa pemerintahan raja Samiam, atau prabu
Surawisesa (1521-1535), sunda kelapa, pelabuhan terbesar kerajaan sunda jatuh ketangan kerajaan Islam pada
1527. Peristiwa ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kerajaan Sunda dengan Portugissehingga
melemahkan pertahanan kerajaan Sunda. Akibatnya, satu demi satu pelabuhan-pelabuhan Sunda jatuh
ketangan pasukan Islam.
Raja Sunda berikutnya adalah Prabu Ratu Dewata (1535-1543). Pada masa pemerintahannya terjadi serangan
dari kelompok Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf dari kerajaan Banten.
Keterangan ini sesuai dengan naskah Purwaka Caruban Nagari yang berkaitan dengan sejarah Cirebon.

Sejak tahun 1543-1551 yang menjadi raja Sunda adalah Sang Ratu Saksi. Raja ini dikenal sebagai raja yang
kejam dan suka hidup berfoya-foya. Ia kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya yang juga gemar berfoya-
foya dan mabuk-mabukan. Pada masa pemerintahan raja Nusya Mulya (raja Sunda yang terakhir), keadaan
kerajaan makin melemah sampai akhirnya pada sekitar tahun 1579, kerajaan Sunda jatuh kedalam kekuasaan
Islam. Dan kerajaan Sunda akhirnya runtuh dan berakhir.
Sejarah Kerajaan Pajajaran- Kerajaan Pajajaran adalah sebuah kerajaan Hindu yang
diperkirakan beribukotanya di Pakuan (Bogor) di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah kuno
nusantara, kerajaan ini sering pula disebut dengan nama Negeri Sunda, Pasundan, atau
berdasarkan nama ibukotanya yaitu Pakuan Pajajaran. Beberapa catatan menyebutkan bahwa
kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti
Sanghyang Tapak.

Sejarah Kerajaan Pajajaran


Berdasarkan alur Sejarah Galuh, Kerajaan Pajajaran berdiri setelah Wastu Kancana wafat
tahun 1475. Kenapa demikian? Karena sepeninggal Rahyang Wastu Kencana kerajaan Galuh
dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Pajajaran atau
Pakuan Pajajaran beribukota di Pakuan (Bogor) di bawah kekuasan Prabu Susuktunggal (Sang
Haliwungan) dan Kerajaan Galuh yang meliputi Parahyangan tetap berpusat di Kawali di bawah
kekuasaan Dewa Niskala (Ningrat Kancana). Oleh sebab itu pula Prabu Susuk Tunggal dan
Dewa Niskala tidak mendapat gelar “Prabu Siliwangi”, karena kekuasan keduanya tidak meliputi
seluruh tanah Pasundan sebagaimana kekuasan Prabu Wangi dan Rahyang Wastu Kancana
(Prabu Siliwangi I).

Cikal Bakal Kerajaan Pajajaran

Sejarah kerajaan ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya di daerah Jawa
Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan Kawali. Hal ini
karena pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan
tersebut. Dari catatan-catatan sejarah yang ada, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain
mengenai ibukota Pajajaran yaitu Pakuan. Mengenai raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat
perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga
Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak


peninggalan dari masa lalu, seperti:
 Prasasti Batu Tulis, Bogor
 Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
 Prasasti Kawali, Ciamis
 Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
 Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.
Daftar raja Pajajaran
1. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
2. Jaya Dewata / Prabu Siliwangi II (1482 – 1521)
3. Surawisesa (1521 – 1535)
4. Ratu Dewata (1535 – 1543)
5. Ratu Sakti (1543 – 1551)
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Keruntuhan

Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya jaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana
Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus
kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja
(Prabu Siliwangi II). Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas
Keraton Surasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, berarti mengkilap
atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton lalu menetap
di wilayah yang mereka namakan Cibeo Lebak Banten. Mereka menerapkan tata cara kehidupan
lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah
14 orang :

Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

1 Darmaraja 1042-1065

2 Langlangbumi 1065-1155

3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157

4 Darmakusuma 1157-1175

5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297

6 Ragasuci 1297-1303

7 Citraganda 1303-1311
8 Prabu Linggadéwata 1311-1333

9 Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 (menantu no. 8)

10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350

11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 (tewas dalam Perang Bubat)

12 Prabu Bunisora 1357-1371 (paman no. 13)

13 Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 (anak no. 11)

14 Prabu Susuktunggal 1475-1482

Penyatuan kembali Sunda-Galuh

Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-
anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa
di Kawali (Galuh).

Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu
Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut
sebagai Kerajaan Pajajaran.
Diposkan oleh Muhamad Syahrul di 02.03 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
sejarah prasasti batu tulis

Prasasti Batu Tulis


Prasasti batutulis memang merupakan bagian sejarah dari kota bogor. Terletak di kelurahan
Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor, dulunya lokasi ini ribuan tahun yang
lalu berada ditempat yang hening, sepi dan berkabut. Bahkan bagi penduduk setempat dipercaya
sebagai tempat sarang harimau yang kemudian menumbuhkan khayalan adanya hubungan antara
kerajaan Pajajaran yang sirna dengan harimau.
Scipio, seorang ekspedisi Belanda yang ditugaskan untuk membuka daerah pedalaman jakarta,
melukiskan betapa hormat dan khidmatnya mereka (orang pribumi dalam rombongan ekspedisi),
menghadapi situs Batutulis sampai mereka berani melarang Scipio yang merupakan pimpinannya
menginjakkan kaki kedalamnya karena ia bukan orang Islam, jelas sekali mereka menganggap
tempat itu "keramat", karena disitu, menurut mereka, terletak tahta atau singgasana raja
Pajajaran. Dengan keyakinan seperti itu, bila pada saat mereka pertama kali menemukan tempat
tersebut lalu melihat seekor atau beberapa ekor harimau keluar dari dalamnya, mereka tidak akan
menganggapnya sebagai hewan biasa. Menurut catatan sejarah, prasasti itu dibangun tahun 1533
oleh Prabu Surawisesa, sebagai peringatan terhadap ayahandanya, Prabu Siliwangi, Raja
Pajajaran. Prabu Siliwangi memerintah pada 1482 - 1521. Raja sakti mandraguna itu dinobatkan
dengan gelar Prabu Guru Dewata Prana, lalu bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan
Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Di kompleks itu terdapat 15 peninggalan berbentuk terasit, batu yang terdapat di sepanjang
Sungai Cisadane. Ada enam batu di dalam cungkup, satu di luar teras cungkup, dua di serambi
dan enam di halaman. Satu batu bercap alas kaki, satu batu bercap lutut, dan satu batu besar lebar
yang berisi tulisan Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Konon prasasti batutulis itu dibuat oleh
Prabu Surawisesa sebagai bentuk penyelasannya karena ia tidak mampu memepertahankan
keutuhan wilayah Pakuan Pajajaran yang dimanatkan padanya, akibat kalah perang dengan
kerajaan Cirebon.

Perang Pakuan-Pajajaran berlangsung selama 5 tahun. Cirebon yang didukung kerajaan Demak
berhasil mengalahkan kerajaan Pakuan setelah pasukan meriam Demak datang membantu tepat
pada saat pasukan Cirebon mulai terdesak mundur. Laskar Galuh (Pakuan) tidak berdaya
menghadapi "panah besi yang besar, menyemburkan kukus ireng, bersuara seperti guntur dan
memuntahkan logam panas". Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam sehingga
jatuhlah Galuh diikuti dua tahun kemudian dengan jatuhnya pula kerajaan Talaga, benteng
terakhir kerajaan Galuh.

Prasasti yang terpahat dibatu tersebut tersusun dalam 9 baris tulisan. Adapun bunyi dan arti dari
prasasti tersebut tiap baris adalah:

wangna pun ini sasakla prabu ratu purane pun diwastu : Wangna ini tanda peringatan bagi Prabu
almarhum dinobatkan.

diya wingaran prebu guru dewata prana diwastu diya dingaran sri : Dia bernama prabu guru
dewata parana dinobatkan lagi dengan nama Sribaduga maharaja ratu haji di pakuan pajajaran sri
baduga ratu de : Baduga maharaja ratu haji dipakwan Pajajaran sang ratu de-wata pun ya nu
nyusuk na pakuan diya anaka rahyang dewa nis : wata dialah yang membuat parit pakwan dia
anak sangyang dewa nis-kala sang sida mokta di guna tiga incu rahyang nisakala wastu : kala
yang mendiang di guna tida cucu rahyang niskala wastu kancana sang sida mokta ka nusa larang
ya siya nu nyian sakaka : kencana yang mendiang ke nu salarang dialah yang membuat tanda pe-
la gugunungan ngabalay nyian sanghyang talaga : ringatan gugunungan, membuat teras di lereng
bukit membuat hutan samida, telagarena maha wijaya ya siya pun i saka panca panda : rena
maha wijaya ya dialah itu dalam tahun saka lima li-wa emaban bumi .. : ma empat satu (1455)
=> dalam tahun masehi 1533.

Disebelah prasasti itu terdapat sebuah batu panjang dan bulat sama tingginya dengan batu
prasasti. Batu panjang dan bulat (lingga batu) ini mewakili sosok Sri Baduga Maharaja
sedangkan prasasti itu sendiri mewakili sosok Surawisesa. Penempatan kedua batu itu diatur
sedemikian rupa sehingga kedudukan antara anak dengan ayah amat mudah terlihat. Si anak
ingin agar apa yang dipujikan tentang ayahnya dengan mudah dapat diketahui (dibaca) orang;
akan tetapi ia tidak berani berdiri sejajar dengan si bapak. Demikianlah batutulis itu diletakkan
agak kebelakang disamping kiri lingga batu.

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu
didepan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan dan satunya berisi padatala, ukiran
jejak kaki. Mungkin pemasangan batu tulis itu bertepatan dengan dengan upacara srada yakni
"penyempurnaan sukma" yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara
itu sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Dengan kata lain, prasasti batutulis merupakan bukti rasa hormat seorang anak terhadap ayahnya,
dan merupakan suatu hal yang perlu diteladani oleh generasi sekarang maupun yang akan datang.
Diposkan oleh Muhamad Syahrul di 02.03 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
SEJARAH KERAJAAN PAJAJARAN - JAWA BARAT
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota
Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda). Kata
Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada
kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan
bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam
Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi Sungai
Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.

Awal Pakuan Pajajaran

Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan,
saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu
Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke
ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.

Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima
dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang
putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu
keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.

Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda.
Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak
“Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan
keturunan dari Majapahit.

Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan karena
Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.

Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua
raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera
mahkota yang ditunjuk.

Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu Susuktunggal
pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan itu.
Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran
pada tahun 1482.

Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya”
Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.

Sumber Sejarah

Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa
asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota
Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan
Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan,
dan Carita Waruga Guru.

Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan
dari masa lalu, seperti:

 Prasasti Batu Tulis, Bogor


 Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
 Prasasti Kawali, Ciamis
 Prasasti Rakyan Juru Pangambat
 Prasasti Horren
 Prasasti Astanagede
 Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
 Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
 Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
 Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)

Segi Geografis Kerajaan Pajajaran

Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M)
di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo
(dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).

Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu

 Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan)

Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang
pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :

Daftar raja Pajajaran


 Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
 Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
 Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
 Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
 Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan
anaknya, Maulana Yusuf
 Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari
PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
 Rahyang Niskala Wastu Kencana
 Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
 Sri Baduga MahaRaja
 Hyang Wuni Sora
 Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
 dan Prabu Ratu Dewata.

Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan.
Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga
atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran
masyarakat.

Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang
pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.

Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena
Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh
(pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk
menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat
Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi
tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur
pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan

Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan
Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak
kurang yang musnah termakan jaman.

Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri
Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena
Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan,
memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun
undang-undang kerajaan

Puncak Kehancuran

Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu
Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman
Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah
penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga
Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Kondisi Kehidupan Ekonomi

Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di
samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran
memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)

Kondisi Kehidupan Sosial

Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan,
penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat
(tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)

Kehidupan Budaya

Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-
peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti,
dan jenis-jenis batik.

Kesimpulan

 Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
 Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita,
dan berita asing.
 Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa
keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan
Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.

Anda mungkin juga menyukai