Kerajaan Sriwijaya atau juga kerajaan tersebut bisa disebut sebagai Srivijaya, yang
mana kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan maritim yang bisa dibilang sangat kuat di
daerah Kepualauan Sumatera dan juga memberikan banyak pengaruh di Nusantara dengan
wilayah kerajaannya terbentang luas mulai dari Negara Tahailand, Kamboja, Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi juga masih termasuk kedalam kekuasan
Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya diambil dari dua suku kata yakni Sri yang artinya adalah gemilang
atau bercahaya dan wijaya yang artinya adalah kemenangan. Jika digabungkan, Sriwijaya
artinya adalah kemenangan yang bergemilang. Mengingat bahwa kerajaan ini begitu terkenal
hingga mendunia, tak heran jika Sriwijaya disebut dengan nama yang berbeda di berbagai
negara. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta, Sriwijaya dikenal dengan sebutan Javadeh dan
Yavadesh. Di Tionghoa, Kerajaan Sriwijaya disebut dengan nama San-fo-ts’i, San FoQi atau
Shih-li-fo-shih. Sedangkan bangsa Arab mengenal kerajaan Sriwijaya dengan sebutan
Sribuzaatau Zabaj.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya semakin terkenal hingga generasi sekarang karena masa
kejayaannya yang sangat luar biasa pada abad sekitar 9 sampai dengan 10 Masehi. Pada masa
itu, Kerajaan Sriwijaya diketahui menguasai jalur perdagangan melalui laut atau maritim di
wilayah Asia Tenggara. Dalam dunia maritim, Sriwijaya telah berhasil melakukan kolonisasi
dengan hampir semua kerajaan-kerajaan besar yang ada di Asia Tenggara.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya ini berawal dari abad ke-7, I
Tsing, seorang pendeta Tiongkok, menuliskan bahwa ia tinggal selama 6 bulan saat
mengunjungi Sriwijaya tahun 671. Prasasti sejarah yang paling tua mengenai Kerajaan
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, di Palembang yaitu prasasti Kedukan Bukit, pada
tahun 682.
Sejarah perkembangan
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara,
dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat.
Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,
selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun
kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan
daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan
Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk "mengalap
berkah", dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan
kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan
Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa
prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau
Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan
Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan
Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.
Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh
dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut
China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama
Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan
Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya
adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan
kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau
wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana,
pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan
dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat
keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan
Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang
subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat
Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah
dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat.
Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok, dan India.
Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih. Penggantinya
adalah Putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut
aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup
berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk
mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan
hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-
10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi
kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti
Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan
Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat
persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke
Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika
hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini
diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara
waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya.
Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap
Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil
membangun pijakan di Sumatera.
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman
Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang
di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa
hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang
merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan
terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India
selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore
bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti
wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu
Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium
Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I
tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama
tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke
Cina tahun 1028.
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan
lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang
tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari
laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak
berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman
dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang
Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka
bermigrasi ke Kalimantan Selatan.
Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.
Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan
untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul
Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan
utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan,
rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun
1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja
bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul
Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali
wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa
bagian barat.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan
duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut
mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota
maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan
dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan
Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178,
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang
sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha,
dan memiliki 15 daerah bawahan.
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-
fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber
Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina
Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan
bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu,
dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada
prasasti Grahi. .
Dapunta Hyang
Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun
671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan akan kebaikan raja Sriwijaya waktu itu, dan raja
tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya yang
juga berada pada abad ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,
merujuk kepada orang yang sama. Walaupun kemudian beberapa sejarawan berbeda
pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi),
menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melakukan Siddhayatra (perjalanan
suci) dengan naik perahu. Ia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada
dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa daerah.
Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah
sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686
masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung.
Dharmasetu
Balaputradewa
Sri Sudamaniwarmadewa
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan
di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana
juga turut berkembang di Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya
dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-
7hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu
beserta kebudayaannya di Nusantara.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di
Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor,
Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini
menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan oleh langgam Amarawati India
dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman
yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun
718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo
(Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi
(bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan
kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat
Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsu.& Nakai), yang
masuk melalui perdagangan mereka.
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji,
tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan
ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di
dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua
ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda
merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus
(samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan
kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra
mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).Prasasti Telaga Batu banyak
menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja
yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada
pada zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja
putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan
dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok
pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru
tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra
(pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua.
Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar
putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua). Maka
dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa
untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan
Sriwijaya dibagi menjadi dua.
Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M),
seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk
surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi
permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan
hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih
(sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-
Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).
Masih terkait dengan Situs Karang Berahi, yaitu adanya temuan struktur bata di lahan
bekas persawahan penduduk di barat desa sekitar 200 m dari Sungai Merangin. Struktur bata
yang ditemukan memiliki denah empat persegi panjang dengan ukuran 5,26 x 1,96 m.
Di bagian bawah bangunan terdapat 4 buah tempayan yang berisi butiran emas dan
manik-manik kaca, temuan ini rupa-rupanya juga menjadi bukti tentang adanya sebuah
aktivitas kehidupan pada masa lalu dan terkait erat dengan keberadaan prasasti tersebut.
Berisi cerita tentang Raja Sriwijaya (Dapunta Hyang) yang mengadakan perjalanan
suci dari Minanga Tamwan untuk mendapatkan Siddhayatra dan keberhasilnya
memakmurkan Kerajaan Srwijaya.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur sendiri berupa sebuah tiang batu setinggi 177
cm dengan 5 sisi datar yang berisi pahatan tulisan beraksara Pallawa dan berbahasa Melayu
Kuno. Dari tarikh yang tertulis padanya, diketahui bahwa prasasti ini dibuat pada awal tahun
608 Saka atau sekitar tanggal 28 Februari 686 Masehi.
Prasasti kota kapur pertama kali dianalisis pada 1902 oleh ahli epigraph Belanda yang
bernama H. Kern. Prasasti ini menceritakan tentang usaha Kerajaan Sriwijaya dalam
menundukkan Pulau Jawa, yaitu Kerajaan Tarumanegara yang dianggap tidak setia kepada
Kerajaan Sriwijaya.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini
didirikan. Ada yang mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9
bahkan pada abad ke-11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan
Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu
pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs
Warisan Dunia UNESCO.
Candi Bahal
Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi adalah kompleks candi
Buddha aliran Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang
Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, yaitu sekitar 3
jam perjalanan dari Padangsidempuan atau berjarak sekitar 400 km dari
Kota Medan. Candi ini terbuat dari bahan bata merah dan diduga berasal
dari sekitar abad ke-11 dan dikaitkan dengan Kerajaan Pannai, salah satu pelabuhan di pesisir
Selat Malaka yang ditaklukan dan menjadi bagian dari mandala Sriwijaya.
Candi Bahal memiliki Tiga bangunan kuno yaitu Biaro Bahal I, II dan III. Saling
berhubungan dan terdiri dalam satu garis yang lurus. Biaro Bahal I yang terbesar. Kakinya
berhiasan papan-papan sekelilingnya yang berukiran tokoh yaksa yang berkepala hewan,
yang sedang menari-nari. Rupa-rupanya para penari itu memakai topeng hewani seperti pada
upacara di Tibet. Di antara semua papan berhiasan itu ada ukiran singa yang duduk. Di Bahal
II pernah ditemukan sebuah Arca Heruka yaitu Arca Demonis yang mewujudkan tokoh
pantheon Agama Buddha aliran Mahayanan, sekte bajrayana atau tantrayana. Heruka berdiri
di atas jenazah dalam sikap menari; pada tangan kanannya ada tongkat. Bahal III berukiran
hiasan daun.
Candi ini merupakan kompleks candi (dalam istilah setempat disebut biaro) yang
terluas di provinsi Sumatera Utara, karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I,
Bahal II dan Bahal III. Seluruh bangunan di ketiga kompleks candi dibuat dari bata merah,
kecuali arca-arcanya yang terbuat dari batu keras. Masing-masing kompleks candi dikelilingi
oleh pagar setinggi dan setebal sekitar 1 m yang juga terbuat dari susunan bata merah. Di sisi
timur terdapat gerbang yang menjorok keluar dan di kanan-kirinya diapit oleh dinding
setinggi sekitar 60 cm. Di setiap kompleks candi terdapat bangunan utama yang terletak di
tengah halaman dengan pintu masuk tepat menghadap ke gerbang. Berikut adalah deskripsi
kompleks candi ini