Anda di halaman 1dari 16

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya atau juga kerajaan tersebut bisa disebut sebagai Srivijaya, yang
mana kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan maritim yang bisa dibilang sangat kuat di
daerah Kepualauan Sumatera dan juga memberikan banyak pengaruh di Nusantara dengan
wilayah kerajaannya terbentang luas mulai dari Negara Tahailand, Kamboja, Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi juga masih termasuk kedalam kekuasan
Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya diambil dari dua suku kata yakni Sri yang artinya adalah gemilang
atau bercahaya dan wijaya yang artinya adalah kemenangan. Jika digabungkan, Sriwijaya
artinya adalah kemenangan yang bergemilang. Mengingat bahwa kerajaan ini begitu terkenal
hingga mendunia, tak heran jika Sriwijaya disebut dengan nama yang berbeda di berbagai
negara. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta, Sriwijaya dikenal dengan sebutan Javadeh dan
Yavadesh. Di Tionghoa, Kerajaan Sriwijaya disebut dengan nama San-fo-ts’i, San FoQi atau
Shih-li-fo-shih. Sedangkan bangsa Arab mengenal kerajaan Sriwijaya dengan sebutan
Sribuzaatau Zabaj.

Sejarah Kerajaan Sriwijaya semakin terkenal hingga generasi sekarang karena masa
kejayaannya yang sangat luar biasa pada abad sekitar 9 sampai dengan 10 Masehi. Pada masa
itu, Kerajaan Sriwijaya diketahui menguasai jalur perdagangan melalui laut atau maritim di
wilayah Asia Tenggara. Dalam dunia maritim, Sriwijaya telah berhasil melakukan kolonisasi
dengan hampir semua kerajaan-kerajaan besar yang ada di Asia Tenggara.

Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya ini berawal dari abad ke-7, I
Tsing, seorang pendeta Tiongkok, menuliskan bahwa ia tinggal selama 6 bulan saat
mengunjungi Sriwijaya tahun 671. Prasasti sejarah yang paling tua mengenai Kerajaan
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, di Palembang yaitu prasasti Kedukan Bukit, pada
tahun 682.
Sejarah perkembangan
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun
kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara,
dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat.
Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,
selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun
kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan
daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.

 Masa Awal atau Pembentukan.

Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan
Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk "mengalap
berkah", dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan
kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan
Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa
prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.

Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau
Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan
Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada
Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan
Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya.
Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh
dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut
China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya


mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7,
pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari
Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa
serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal
abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan
hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di
Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut
catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di
sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.Pada
masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga
berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa.
Selama masa kepemimpinannya, ia membangun Candi Borobudur di Jawa Tengah yang
selesai pada tahun 825.

 Masa Keemasan Atau Pertengahan.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama
Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan
Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya
adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan
kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau
wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana,
pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan
dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat
keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan
Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang
subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena


adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di
pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada
prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis
dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti
di Sumatera, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul
bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa)


dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens
menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga
dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini
berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan
beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada


kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan
membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi,
melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan
dan kekuasaanya.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat
Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah
dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat.
Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok, dan India.

Wangsa Sailendra di Jawa membina dan memelihara persekutuan dengan trah


Sriwijaya di Sumatera, dan kemudian selanjutnya mendirikan pemerintahan mereka di
Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819), yang


disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan
putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran
Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra. Tidak
seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak tampaknya
cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di
pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi
Borobudur. Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur
Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusan ini terbukti
sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibukota lebih
jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan
memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak disebut-
sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya. Ia disebut
dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.

Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan


Rakai Warak dengan Samaratungga. Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana
menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti
Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus
dari Rakai Warak.

Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga


Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792. Pada abad ke-8 Masehi,
istana Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai
Maharaja Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia


memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang
ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka
untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia secara pribadi
mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu yang
selesai pada 825, pada masa pemerintahannya. Menurut George Coedes, "pada paruh kedua
abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang
memerintah di Jawa. dengan pusat perdagangan di Palembang." Samaratungga seperti Rakai
Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta
damai.

Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih. Penggantinya
adalah Putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut
aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup
berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk
mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan
hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-
10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi
kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti
Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan
Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat
persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke
Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika
hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini
diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara
waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya.
Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap
Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil
membangun pijakan di Sumatera.

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman
Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang
di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa
hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang
merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan
terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

 Masa Kehancuran atau Penurunan

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India
selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore
bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti
wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu
Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium
Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I
tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama
tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke
Cina tahun 1028.

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan
lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang
tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari
laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak
berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman
dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang
Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka
bermigrasi ke Kalimantan Selatan.

Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.
Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan
untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul
Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan
utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan,
rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun
1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja
bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul
Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali
wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa
bagian barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan
duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut
mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota
maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan
dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan
Sriwijaya pada abad ke-11.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178,
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang
sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa
rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha,
dan memiliki 15 daerah bawahan.

Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-
fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber
Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina
Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan
bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu,
dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada
prasasti Grahi. .

 Raja- Sriwijaya.Raja Terkenal


Kerajaan Sriwijaya Memiliki banyak Raja, namun dalam makalah ini kami hanya
menjabarkan raja raja yang terkenal.

o Dapunta Hyang Sri Jayanasa


o Sri Indravarman
o Rudra Vikraman
o Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
o Dharanindra Sanggramadhananjaya
o Samaratungga
o Samaragrawira
o Balaputradewa
o Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
o Sri Cudamanivarmadeva
o Sri Maravijayottungga
o Sumatrabhumi
o Sangramavijayottungga
o Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
o Rajendra II
o Rajendra III
o Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
o Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
o Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.

 Dapunta Hyang

Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah maharaja Sriwijaya pertama


yang dianggap sebagai pendiri Kadatuan Sriwijaya. Namanya disebut dalam
beberapa prasasti awal Sriwijaya dari akhir abad VII yang disebut sebagai
"prasasti-prasasti Siddhayatra", karena menceritakan perjalanan sucinya
mengalap berkah dan menaklukkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Ia
berkuasa sekitar perempat terakhir abad VII hingga awal abad VIII,
tepatnya antara kurun 671 masehi hingga 702 masehi.

Menurut I Tsing, seorang pendeta Buddha yang pernah mengunjungi Sriwijaya tahun
671 dan tinggal selama 6 bulan, terkesan akan kebaikan raja Sriwijaya waktu itu, dan raja
tersebut kemudian dihubungkan dengan prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya yang
juga berada pada abad ke-7, bertarikh 682 yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang,
merujuk kepada orang yang sama. Walaupun kemudian beberapa sejarawan berbeda
pendapat tentang penafsiran dari beberapa kata yang terdapat pada prasasti tersebut.

Menurut Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 saka (683 masehi),
menceritakan seorang Raja bergelar Dapunta Hyang melakukan Siddhayatra (perjalanan
suci) dengan naik perahu. Ia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa satu armada
dengan kekuatan 20.000 bala tentara menuju ke Matajap dan menaklukan beberapa daerah.
Beberapa prasasti lain yang ditemui juga menceritakan Siddhayatra dan penaklukkan wilayah
sekitar oleh Sriwijaya, yaitu prasasti yang ditemukan di Kota Kapur di Pulau Bangka (686
masehi), Karang Brahi di Jambi Hulu (686 masehi) dan Palas Pasemah di selatan Lampung.

 Dharmasetu

Dharmasetu adalah maharaja abad ke-8 dari Sriwijaya. Di bawah


pemerintahannya, iaberhasil menggabungkan Pan Pan, sebuah kerajaan
yang terletak di utara Semenanjung Malaya menjadi wilayah pengaruh
Srivijayan sebelum tahun 775 Masehi.

Di sebuah biara tua Nakhon Si Thammarat di Thailand modern, ada


sebuah prasasti yang menunjukkan bahwa Dharmasetu memerintahkan
pembangunan tiga tempat suci yang didedikasikan untuk Bodhisattva
Padmapani, Vajrapani dan Buddha di Ligor.

Prasasti tersebut selanjutnya menyatakan bahwa Dharmasetu adalah kepala Sailendra


di Jawa. Ini adalah contoh pertama hubungan yang diketahui ada antara Sriwijaya dan
Sailendra. Dewi Tara, putri Dharmasetu kemudian menikahi anggota keluarga Sailendra
dengan nama Samaratunga yang nantinya akan diasumsikan tahta Sriwijaya sekitar
Hubungan antara Sriwijaya dan Sailendra menjadi sangat dekat setelahnya. Dia digantikan
oleh menantu laki-lakinya Sangramadhananjaya, sekitar tahun 782.

 Balaputradewa

Pada masa kepemimpinan Balaputradewa Sriwijaya berada pada


masa yang paling makmur atau besar. Balaputradewa terus
meningkatkan perdagangan, agama dan hubungan dengan kerajaan lain.

Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah cucu seorang


raja Jawa yang dijuluki Wirawairimathana (penumpas musuh perwira).
Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias
Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain, Balaputradewa
merupakan cucu Dharanindra.
Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara
putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya
persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan
ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala.

Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama


kuno untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan
Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah raja Sriwijaya.

Pendapat yang paling populer menyebutkan Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan


Sriwijaya dari kakeknya (pihak ibu), yaitu Sri Dharmasetu. Namun, ternyata nama Sri
Dharmasetu terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi
menjaga bangunan Candi Kelurak.

 Sri Sudamaniwarmadewa

Pada tahun 990M yang menjadi Raja Sriwijaya adalah Sri


Sudamaniwarmadewa. Pada masa pemerintahan raja itu terjadi serangan Raja
Darmawangsa dari Jawa bagian Timur. Akan tetapi, serangan itu berhasil
digagalkan oleh tentara Sriwijaya. Sri Sudamaniwarmadewa kemudian
digantikan oleh putranya yang bernama Marawijayottunggawarman.

 Keadaan Kerajaan Sriwijaya

 Agama dan Budaya


Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan
sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India,
pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana
Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat
berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang
belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.

Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan
di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana
juga turut berkembang di Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya
dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-
7hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu
beserta kebudayaannya di Nusantara.

Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan


kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi
di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo
menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian
taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu
menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota
Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini
menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern.
Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan
ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di
tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.

Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya


hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat
berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra
yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan
Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain
Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi
periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata
merah.

Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di
Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor,
Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini
menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan oleh langgam Amarawati India
dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).

 Perdagangan dan Ekonomi


Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu,
cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-
raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan
dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau
pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan
perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya
senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara
Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan
selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya.
Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya
menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan
sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota
Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa
Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar
pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman
yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun
718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo
(Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi
(bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan
kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat
Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsu.& Nakai), yang
masuk melalui perdagangan mereka.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal


Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara
sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan
perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan
perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia
Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief
Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya
dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun
abad ke-7 hingga ke-13 masehi.

 Politik dan Pemerintahan.

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi


sosial.Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya,
dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan,
vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji,
tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan
ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di
dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua
ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda
merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus
(samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan
kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra
mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).Prasasti Telaga Batu banyak
menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja
yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada
pada zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja
putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan
dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok
pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru
tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga), pratisra
(pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua.
Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar
putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua). Maka
dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa
untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan
Sriwijaya dibagi menjadi dua.

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya


menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan
utusan beserta upeti.

Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M),
seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk
surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi
permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan
hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih
(sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-
Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik


dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa
raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja
untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai
rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan
Timur Tengah.
 Peninggalan-Peninggalan Sejarah Kerajaan Sriwijaya

 Prasasti Karang Berahi

Situs ini terletak di Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi,


Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin. Prasasti ini menceritakan
tentang permintaan kepada dewa untuk menghukum setiap orang yang orang
melakukan kejahatan terhadap Kerajaan Sriwijaya dan berasal dari tahun 868
M/

Prasasti ini bertuliskan aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno,


pertama kali ditemukan pada tahun 1904 oleh L. Berkhout, seorang kontrolir
Belanda untuk daerah Bangko. Penemuan prasasti ini kemudian diteliti N.J. Krom, yang
menyatakan Prasasti Karang Berahi merupakan salah satu prasasti yang dikeluarkan
Kedatuan Sriwijaya. Krom juga membandingkan baik isi dan karakter huruf Prasasti Karang
Berahi mirip dengan Prasasti Kotakapur (686 M) yang ditemukan di Pulau Bangka.

Masih terkait dengan Situs Karang Berahi, yaitu adanya temuan struktur bata di lahan
bekas persawahan penduduk di barat desa sekitar 200 m dari Sungai Merangin. Struktur bata
yang ditemukan memiliki denah empat persegi panjang dengan ukuran 5,26 x 1,96 m.

Di bagian bawah bangunan terdapat 4 buah tempayan yang berisi butiran emas dan
manik-manik kaca, temuan ini rupa-rupanya juga menjadi bukti tentang adanya sebuah
aktivitas kehidupan pada masa lalu dan terkait erat dengan keberadaan prasasti tersebut.

 Prasasti Kedudukan Bukit

Prasasti Kedudukan Bukit adalah sebuah prasasti peninggalan


kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di tepi Sungai Tatang, anak dari
Sungai Musi, Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang,
Sumatera Selatan.

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh seorang pegawai


pemerintah Hindia Belanda bernama M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920.
Batenburg menemukan prasasti ini ketika hendak mendirikan sebuah dermaga di tepian
sungai Tatang. Adapun semenjak penemuan itu, prasasti ini langsung dipindahkan dan
disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris D. 146.

Dibandingkan prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya lainnya, Prasasti Kedukan


Bukit adalah prasasti yang berukuran paling kecil yaitu 45 x 80 cm. Adapun tulisannya yang
terpahat mengelilingi sisi batu ini ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.

Berisi cerita tentang Raja Sriwijaya (Dapunta Hyang) yang mengadakan perjalanan
suci dari Minanga Tamwan untuk mendapatkan Siddhayatra dan keberhasilnya
memakmurkan Kerajaan Srwijaya.
 Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur ditemukan pada Desember 1892 oleh seorang


administrator Belanda bernama JK. Van der Meulen di sebuah kampung
kecil bernama Kota Kapur, pesisir barat Pulau Bangka. Prasasti ini
merupakan prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang pertama kali
ditemukan, jauh sebelum prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuo,
maupun Prasasti Palas Pasemah.

Prasasti Kota Kapur sendiri berupa sebuah tiang batu setinggi 177
cm dengan 5 sisi datar yang berisi pahatan tulisan beraksara Pallawa dan berbahasa Melayu
Kuno. Dari tarikh yang tertulis padanya, diketahui bahwa prasasti ini dibuat pada awal tahun
608 Saka atau sekitar tanggal 28 Februari 686 Masehi.

Prasasti kota kapur pertama kali dianalisis pada 1902 oleh ahli epigraph Belanda yang
bernama H. Kern. Prasasti ini menceritakan tentang usaha Kerajaan Sriwijaya dalam
menundukkan Pulau Jawa, yaitu Kerajaan Tarumanegara yang dianggap tidak setia kepada
Kerajaan Sriwijaya.

 Prasasti Palas Pasemah

Prasasti Palas Pasemah adalah sebuah prasasti pada batu


peninggalan Sriwijaya,ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Way (Sungai)
Pisang, Lampung. Ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno
sebanyak 13 baris. Meskipun tidak berangka tahun, namun dari bentuk
aksaranya diperkirakan prasasti itu berasal dari akhir abad ke-7 Masehi.
Isinya mengenai kutukan bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada
Sriwijaya dan juga mencertitakan bahwa daerah Lampung Selatan telah
diduduki oleh Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke-7 Masehi.Prasasti
Palas Pasemah tinggi = 64 cm; lebar = 75 cm; tebal = 20 cm dan merupakan peninggalan
Kerajaan Sriwijaya abad VII-IX Masehi.

 Prasasti Bukit Siguntang

Prasasti ini ditemukan di kaki bukit Siguntang pada tahun 1928.


Prasasti batu ini berbentuk datar, tetapi bagian yang ditulis terletak pada
sisi yang sempit dengan ukuran tinggi 56 cm dan lebar sekitar 17 cm.
Prasasti batu ini ditulis dalam bahasa melayu kuno dan huruf pallwa.
prasasti ini ditemukan dalam bentuk arca Budha Sakyamurni yang
mengunakan jubah dan Prasasti Bukit Siguntang berisikan tentang
peperangan yang banyak merenggut nyawa.
 Candi Muara Takus

Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha


yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten
Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer
dari Kota Pekanbaru.

Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74


x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya
terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal
ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi
yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.

Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini
didirikan. Ada yang mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9
bahkan pada abad ke-11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan
Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu
pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.

Pada tahun 2009 Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs
Warisan Dunia UNESCO.

 Candi Muaro Jambi

Situs Purbakala Kompleks Percandian Muara Jambi adalah


sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di asia
tenggara, dengan luas 3981 hektar. yang kemungkinan besar
merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu.
Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Maro Sebo,
Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang
Hari, sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi. Koordinat Selatan 01* 28'32" Timur 103*
40'04". Candi tersebut diperkirakakn berasal dari abad ke-11 M. Candi Muara Jambi
merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di pulau Sumatera. Dan
sejak tahun 2009 Kompleks Candi Muaro Jambi telah dicalonkan ke UNESCO untuk menjadi
Situs Warisan Dunia.

 Candi Bahal

Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi adalah kompleks candi
Buddha aliran Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang
Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, yaitu sekitar 3
jam perjalanan dari Padangsidempuan atau berjarak sekitar 400 km dari
Kota Medan. Candi ini terbuat dari bahan bata merah dan diduga berasal
dari sekitar abad ke-11 dan dikaitkan dengan Kerajaan Pannai, salah satu pelabuhan di pesisir
Selat Malaka yang ditaklukan dan menjadi bagian dari mandala Sriwijaya.
Candi Bahal memiliki Tiga bangunan kuno yaitu Biaro Bahal I, II dan III. Saling
berhubungan dan terdiri dalam satu garis yang lurus. Biaro Bahal I yang terbesar. Kakinya
berhiasan papan-papan sekelilingnya yang berukiran tokoh yaksa yang berkepala hewan,
yang sedang menari-nari. Rupa-rupanya para penari itu memakai topeng hewani seperti pada
upacara di Tibet. Di antara semua papan berhiasan itu ada ukiran singa yang duduk. Di Bahal
II pernah ditemukan sebuah Arca Heruka yaitu Arca Demonis yang mewujudkan tokoh
pantheon Agama Buddha aliran Mahayanan, sekte bajrayana atau tantrayana. Heruka berdiri
di atas jenazah dalam sikap menari; pada tangan kanannya ada tongkat. Bahal III berukiran
hiasan daun.

Candi ini merupakan kompleks candi (dalam istilah setempat disebut biaro) yang
terluas di provinsi Sumatera Utara, karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I,
Bahal II dan Bahal III. Seluruh bangunan di ketiga kompleks candi dibuat dari bata merah,
kecuali arca-arcanya yang terbuat dari batu keras. Masing-masing kompleks candi dikelilingi
oleh pagar setinggi dan setebal sekitar 1 m yang juga terbuat dari susunan bata merah. Di sisi
timur terdapat gerbang yang menjorok keluar dan di kanan-kirinya diapit oleh dinding
setinggi sekitar 60 cm. Di setiap kompleks candi terdapat bangunan utama yang terletak di
tengah halaman dengan pintu masuk tepat menghadap ke gerbang. Berikut adalah deskripsi
kompleks candi ini

Anda mungkin juga menyukai