Anda di halaman 1dari 27

A.

Pembentukan dan pertumbuhan


1. Perjalanan Siddhayatra
Kemaharajaan Sriwijaya (Kadatuan Sriwijaya) telah ada sejak 671 sesuai dengan
catatan I-Tsing. Dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di
bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan
suci siddhayatra untuk "mengalap berkah", dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang
di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan
menuju Jambidan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua
yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini
mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.
Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan
yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di
pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka
dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah
melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti
kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa
Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
2. Penaklukan kawasan
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada
abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak
pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina.
Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali
Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai
raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan
Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara
lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan,
pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana.
Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada
masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka,
juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga
tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan
Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di
Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
(GIF Srivijayan Expansion)
Ket.: Perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya, bermula di Palembang pada abad VII,
menyebar ke sebagian besar Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Kamboja, hingga
surut sebagai Kerajaan Malayu Dharmasraya pada abad XIII.
B. Masa keemasan
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan
nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus
sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan
Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak.
Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi
seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan
dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat
keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan
Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang
subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.
1. Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena
adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti
Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India.
Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena prasasti
Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan
pada prasasti-prasasti di Sumatera, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera,
Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa)
dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens
menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu
keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa
dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian
dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di
antaranya prasasti Sojomerto.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni
pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan,
menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya
dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk
menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara
lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat
Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan
rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang
lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok dan India.
2. Sriwijaya berkuasa di Jawa
Wangsa Sailendra di Jawa membina dan memelihara persekutuan dengan trah
Sriwijaya di Sumatera, dan kemudian selanjutnya mendirikan pemerintahan mereka
di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819),
yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah
dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra)
dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk
kepada Dharanindra. Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar
berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran
dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan
proyek pembangunan candi Borobudur. Dia menunjuk seorang
pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai
Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena
Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibukota lebih jauh ke pedalaman
utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan
kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja
Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya. Ia disebut dalam nama yang
lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.
Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan
Rakai Warak dengan Samaratungga. Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet
Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam
Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti penerus
Samaratungga adalah dari Rakai Warak.
Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga
Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792. Pada abad ke-8
Masehi, istana Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra
diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia
memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang
ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih
suka untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia secara
pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari
batu yang selesai pada 825, pada masa pemerintahannya. Menurut George Coedes, "pada
paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa
Sailendra yang memerintah di Jawa... dengan pusat perdagangan di
Palembang." Samaratungga seperti Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh
kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta damai. Beliau berusaha untuk menjadi
seorang penguasa yang welas asih. Penggantinya adalah Putri Pramodhawardhani yang
bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai
Patapan, seorang rakai(penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah.
Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian dan
kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan
Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa.
3. Kembali ke Palembang
Akan tetapi, Pangeran Balaputradewa menentang pemerintahan Pikatan dan
Pramodhawardhani di Jawa Tengah. Hubungan antara Balaputra dan Pramodhawardhani
ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa sejarawan. Teori yang lebih tua menurut Bosch
dan De Casparis menyatakan bahwa Balaputra adalah anak dari Samaratungga, yang
berarti ia adalah adik dari Pramodhawardhani. Sejarawan dari angkatan kemudian, seperti
Muljana, di sisi lain, berpendapat bahwa Balaputra adalah anak dari Rakai Warak dan
adik dari Samaratungga, yang berarti dia adalah paman dari Pramodhawardhani.
Tidak diketahui secara jelas, apakah Balaputradewa tersingkir dari Jawa Tengah
karena kalah dalam sengketa suksesi melawan Pikatan, atau dia memang sudah
memerintah di Suwarnadwipa (Sumatera) sebelum pecahnya perselisihan mengenai
suksesi kekuasaan ini. Bagaimanapun, tampaknya wangsa Sailendra akhirnya terpecah
menjadi dua; antara Jawa Tengah yang dikuasai Pikatan-Pramodhawardhani dan
Palembang yang dikuasai Balaputradewa. Bahwa Balaputradewa akhirnya menguasai
cabang Sumatera dari wangsa Sailendra dan bertahta di ibukota Sriwijaya
dari Palembang. Sebagian sejarawan berpendapat bahwa, hal ini karena ibunda Balaputra
- Dewi Tara, permaisuri Raja Rakai Warak adalah putri dari Sriwijaya, hal ini
menjadikan Balaputra sekaligus sebagai pewaris takhta Sriwijaya di Sumatera.
Balaputradewa kemudian dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya, kemudian dia
menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, seperti yang
disebutkan dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860.
4. Berperang melawan Jawa
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad
ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi
kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok
dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi,
sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-
tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu
saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988
tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh
balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu
antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun
kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar
Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok
tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut
adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara
waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan
Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan
Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena
Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang
tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar
di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri
Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun
kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur
tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan
dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya,
memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003,
ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai
dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar
Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu
menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang
di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya
ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha
menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam
menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah
peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di
mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun
1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang
terakhir, Dharmawangsa Teguh.
C. Masa penurunan
1. Serbuan kerajaan Chola
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti
Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-
daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja
Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa
dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti
Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja
yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat
dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya
pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-
kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang
semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang
semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang
sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh
pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan
Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.
Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.
Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-
lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan
utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina
yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada
tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar
Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-
tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta
menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga
mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I,
terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah
taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai
kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari
kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
2. Munculnya Malayu Dharmasraya
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya
mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta
besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu
bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola
mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang
memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia
menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-
fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-
lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-
hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-
kia(Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), 
Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating,
pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung
malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-
li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).
Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun
sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di
kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu.
Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi
Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja
Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang
tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip
yang terdapat pada prasasti Grahi.
D. Raja yang pernah memerintah
Para Maharaja Sriwijaya

- 683 Sri Jayanasa

   702 Sri Indrawarman


-
 -  775 Dharanindra

 -  792 Samaratungga

 -  835 Balaputradewa

 -  988 Sri Cudamani Warmadewa

 -  1008 Sri Mara-Vijayottunggawarman

 -  1025 Sangrama-Vijayottunggawarman

E. LETAK GEOGRAFIS KERAJAAN SRIWIJAYA

 Menurut Prasasti Kedukan Bukit


Prasasti yang berangka tahun 683 M, isinya menyebutkan bahwa kedatuan
Sriwijaya pertama kali didirikan di tepian Sungai Musi (sekitar Palembang)
disebut pusat pemerintahan
 Teori Palembang oleh Coedes
Lokasi Sriwijaya berada di Palembang, Sumatra Selatan
 Daerah Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya
o Kamboja
o Thailand Selatan
o Semenanjung Malaya
o Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah
 Alasan Kerajaan Sriwijaya bisa memiliki daerah kekuasaan yang sangat besar
o Karena letak Sriwijaya yang sangat strategis, yakni dekat dengan Selat Malaka.
Sehingga mudah melakukan ekspansi dan penaklukan kekuasaan daerah lain
o Karena Sriwijaya disebut juga Kerajaan Maritim (memiliki wilayah laut / perairan
yang luas, terletak di pinggir Sungai Musi, dan memiliki angkatan laut yang kuat)

F. Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya


a. Raja yang memerintah (yang terkenal)
1) Dapunta Hyang Sri Jayanasa
Beliau adalah pendiri kerajaan Sriwijaya yang berhasil memperluas wilayah kekuasaan
sampai wilayah Jambi dengan menduduki daerah Minangatamwan yang terletak di dekat
Selat Malaka. Beliau mencita-citakan agar Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
2) Balaputera Dewa
Awalnya, Balaputra Dewa adalah raja di Kerajaan Syailendra. Ketika terjadi perang
saudara antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh
Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa kalah, lalu lari ke Kerajaan Sriwijaya,
dimana Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Raja Balaputra Dewa) tengah berkuasa.
Karena dia tak mempunyai keturunan, dia mengangkat Balaputradewa sebagi raja.
Masa pemerintahan Balaputra Dewa dimulai pada tahun 850 M. Sriwijaya mengalami
perkembangan pesat dengan meingkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat.
Pada masa pemerintahannya pula, Sriwijaya mengadakan hubungan dengan Kerajaan
Chola dan Benggala (Nalanda) dalam bidang pengembangan agama Buddha, bahkan
menjadi pusat penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara.
3) Sri Sanggarama Wijayatunggawarman
Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya dikhianati dan diserang oleh kerajaan Chola.
Sang raja ditawan dan baru dilepaskan pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di
Chola.
b. Wilayah kekuasaan
Setelah berhasil menguasai Palembang, ibukota Kerajaan Sriwijaya dipindahakan dari
Muara Takus ke Palembang. Di Palembang, Kerajaan Sriwijaya dengan mudah dapat
menguasai daerah-daerah di sekitarnya seperti Pulau Bangka yang terletak di pertemuan
jalur perdagangan internasional dan Jambi Hulu yang terletak di tepi Sungai Batanghari.
Pada abad ke-7 M, Kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan penting
seperti Selat Sunda, Selat Bangka, Selat Malaka, dan Laut Jawa bagian barat.
Pada abad ke-8 M, perluasan Kerajaan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, yaitu
menduduki Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Pendudukan pada daerah
Semenanjung Malaya memiliki tujuan untuk menguasai daerah penghasil lada dan timah.
Sedangkan pendudukan pada daerah Tanah Genting Kra memiliki tujuan untuk
menguasai lintas jalur perdagangan antara Cina dan India.

Daerah lain yang menjadi kekuasaan Sriwijaya diantaranyaTulang-Bawang di Lampung


dan Kedah di pantai barat Semenanjung Melayu untuk mengembangkan usaha
perdagagan dengan India.
Pada akhir abad ke-8 M, Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur
perdagangan di Asia Tenggara, baik yang melalui Selat Malaka, Selat Karimata, dan
Tanah Genting Kra. Dengan kekuasaan wilayah itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan
laut terbesar di seluruh Asia Tenggara.
c. Hubungan luar negeri
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan yang berada di
India, seperti Kerajaan Pala/Nalanda di Benggala. Raja Nalanda, Dewapala Dewa,
menghadiahi sebidang tanah untuk pembuatan asrama bagi pelajar nusantara yang ingin
menjadi ‘dharma’ yang dibiayai oleh Balaputradewa.
d. Kemunduran Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kemunduran pada akhir abad ke-12 karena diserang
oleh Kerajaan Cholamandala yang diperintah oleh Rajendracoladewa. Maharaja
Sriwijaya berhasil ditawan musuh sehingga Sriwijaya kehilangan kehormatannya
sebagai sebuah kerajaan besar. Meskipun diserang oleh Kerajaan Cholamandala,
Kerajaan Sriwijaya belum mengalami keruntuhan.
Sriwijaya mulai melemah pada tahun 1178 M karena perdagangan dan perniagaan
Sriwijaya mengalami kemunduran yang memicu terjadinya perpecahan di antara
kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan Sriwijaya. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya
mulai terancam pada abad ke-13 karena mendapat serangan dari pasukan Tahi dan
Kerajaan Singasari secara bersamaan. Serangan pertama Kerajaan Singasari dilancarkan
pada tahun 1275M. Sriwijaya (Melayu) akhirnya runtuh setelah berhasil ditaklukan
Kerajaan Singasari pada tahun 1286.

G.Kehidupan Ekonomi
Perkembangan dalam bidang ekonomi pada zaman Kerajaan Sriwijaya, megalami
peningkatan hal ini dikarenakan strategisnya tempat Kerajaan Sriwijaya yang menjadi
jalur lalulintas pelayaran perdagangan India – China.

Dilihat dari letak geografis, daerah Kerajaan Sriwijaya mempunyai letak yang
sangat strategis, yaitu di tengah-tengah jalur pelayaran perdagangan antara India dan Cina
Sehingga aktivitas perekonomian masyarakatnya tergantung pada pelayaran dan
perdagangan. Di samping itu, letak Kerajaan Sriwijaya dekat dengan Selat Malaka yang
merupakan urat nadi perhubungan bagi daerah-daerah di Asia Tenggara.. Dengan
demikian kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan internasional sangat baik. Hal ini juga
didukung oleh pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana seperti Balaputradewa. Pada
masanya Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan di
jalur-jalur pelayaran yang menuju Sriwijaya, sehingga banyak pedagang dari luar yang
singgah dan berdagang di wilayah kekuasaan Sriwijaya tersebut.

Kerajaan Sriwijaya  mampu menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan


internasional selama berabad-abad dengan menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan
Laut Jawa. Setiap pelayaran dan perdagangan dari Asia Barat ke Asia Timur atau
sebaliknya harus melewati wilayah Kerajaan Sriwijaya yang meliputi seluruh Sumatra,
sebagian Jawa, Semenanjung Malaysia, dan Muangthai Selatan. Keadaan ini juga yang
membawa penghasilan Kerajaan Sriwijaya terutama diperoleh dari komoditas ekspor dan
bea cukai bagi kapal kapal yang singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Sriwijaya.
Komoditas ekspor Sriwijaya antara lain kapur barus, cendana, gading gajah, buah-
buahan, kapas, cula badak, dan wangi-wangian.  Kerajaan ini merupakan kerajaan
maritime yang bersifat metropolitan. Sriwijaya mulai menguasai   perdagangan nasional
maupun internasional   di kawasan   perairan  Asia Tenggara. Perairan  di Laut Natuna,
Selat Malaka,  Selat Sunda,  dan  Laut Jawa berada  di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Tampilnya Sriwijaya sebagai  pusat  perdagangan, memberikan  kemakmuran


bagi rakyat dan  negara . Kapal Dalam kegiatan  perdagangan, Sriwijaya mengekspor
gading,  kulit, dan  beberapa jenis binatang liar, sedangkan barang  impornya antara  lain
beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas,  gading,  dan binatang.
Jalur Ekonomi
H.KEHIDUPAN SOSIOBUDAYA KERAJAAN SRIWIJAYA

Sebuah masyarakat yang kompleks, berlapis, kosmopolitan, dan makmur; dengan


cita rasa nan halus dalam seni, sastra, dan budaya, dengan serangkaian ritual yang
dipengaruhi ajaran Buddha Mahayana; berkembang di masyarakat Sriwijaya. Tatanan
sosial mereka yang rumit dapat dilihat melalui studi prasasti, catatan sejarah asing, serta
peninggalan candi-candi yang berasal dari periode ini. Kerajaan telah mengembangkan
masyarakat yang maju; yang ditandai oleh kemajemukan masyarakat mereka, stratifikasi
sosial, dan pembentukan lembaga administratif nasional kerajaan mereka.
Agama

Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya
pernah berperan sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah
dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi
rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain
berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat
1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal
di Sriwijaya.

“ Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta ”
mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua
topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah
berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok
akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari
naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun
waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan
tepat.

Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah


digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir
abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam
mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas
kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh
budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama
Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha
di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui
perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara
langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya
di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam
benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun
dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India
untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk
mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama
Muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian
dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di
Sumatera kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Seni dan Budaya
Langgam Sriwijaya

Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit


Seguntang, Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M.

Awalokiteshwara dari Bingin Jungut, Musi Rawas, Sumatra Selatan. Langgam


Sriwijaya, abad ke-8 sampai ke-9 M, mirip langam seni Sailendra Jawa Tengah.
Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.

Arca torso perunggu bodhisattwa Padmapani, langgam Sriwijaya abad ke-


8, Chaiya, Surat Thani, Thailand Selatan. Arca ini menggambarkan pengaruh langgam
Sailendra dari Jawa Tengah.
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan
kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan
bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti
Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah
yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti
Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan,
sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas
Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu
dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan
di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa
prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.
Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana
penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum
pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara
meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya
hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera.
Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan
wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi
Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa
Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro
Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu
andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang
ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca
Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari
Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan
langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang
memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan
langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).

I. Peninggalan Kerajaan Sriwijaya


1. Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya ini


ditemukan di Pulau Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu
Kuno serta aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen tahun 1892
dengan isi yang menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar titah
atau pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya. Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern
yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di Bataviaasch
Genootschap di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari
seorang raja. George Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari
Kerajaan di Sumatera abad ke-7 Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah
berkuasa di bagian Barat Nusantara, Semenanjung Malaya serta Thailand bagian Selatan.

Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang
merupakan Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh
Museum Nasional Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum
prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya diketahui
sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka dan juga
Belitung. Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi
militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya.
Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya Taruma di Jawa bagian Barat
dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan terjadi
karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas
jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa
serta Selat Karimata.

2. Prasasti Ligor

Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si Thammarat, wilayah Thailand bagian


Selatan yang memiliki pahatan di kedua sisinya. Pada bagian sisi pertama dinamakan
Prasasti Ligor A atau manuskrip Viang Sa, sementara di sisi satunya merupakan Prasasti
Ligor B yang kemungkinan besar dibuat oleh raja dari wangsa Sailendra yang
menjelaskan tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri
Maharaja. Prasasti Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja
dari semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Kajara. Sedangkan
pada Prasasti Ligor B yang dilengkapi dengan angka tahun 775 dan memakai aksara
Kawi menceritakan tentang nama Visnu yang memiliki gelar Sri Maharaja dari keluarga
Śailendravamśa dan mendapatk julukan Śesavvārimadavimathana berarti pembunuh
musuh yang sombong sampai tak tersisa.

3. Prasasti Palas Pasemah


Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung
Selatan, Lampung yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa dan
terdiri dari 13 baris tulisan. Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari orang
yang tidak mau tunduk dengan kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara, Prasasti
Palas Pasemah ini diduga berasal dari abad ke-7 Masehi.

4. Prasasti Hujung Langit


Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang
ditemukan pada sebuah desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis
dalam bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas
sebab kerusakan yang terjadi sudah cukup banyak, namun diperkirakan berasal dari tahun
997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah Sima.

5. Prasasti Telaga Batu

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah prasasti telaga batu. Prasasti


Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II,
Kota Palembang tahun 1935 yang berisi tentang kutukan untuk mereka yang berbuat
jahat di kedautan Sriwijaya dan kini disimpan pada Museum Nasional Jakarta. Di sekitar
lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga ditemukan Prasasti Telaga Batu 2 yang
menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada tahun sebelumnya juga
ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah disimpan di Museum
Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit dengan tinggi 118 cm serta
lebar 148 cm.

Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian
tengah terdapat pancuran tempat mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini
memiliki 28 baris dengan huruf Pallawa dan memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis
besar, isi dari tulisan ini adalah tentang kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di
kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi perintah dari datu. Casparis lalu mengemukakan
pendapat jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya
perlu untuk disumpah yakni putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati
(bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan
(pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā
an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata
(vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko
(kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan
raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).

Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat
pemerintahan dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam
prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan ibukota kerajan. Sedangkan
Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya berasal dari Palembang sebab
adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada kedatuan dan juga mengusulkan
Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di
sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.

6. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan tanggal 29 November 1920 oleh M. Batenburg


di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, lebih
tepatnya di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini memiliki
ukuran 45 cm x 80 cm memakai bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Isi dari
prasasti ini menceritakan tentang seorang utusan Kerajaan Sriwijaya yakni Dapunta
Hyang yang mengadakan Sidhayarta atau perjalanan suci memakai perahu. Dalam
perjalanan tersebut, ia didampingi dengan 2000 pasukan dan berhasil menaklukan
beberapa daerah lainnya dan prasasti tersebut kini juga tersimpan di Museum Nasional
Jakarta.

Di baris ke-8 prasasti ini ada unsur tanggal, akan tetapi pada bagian akhir sudah
hilang yang seharusnya diisi dengan bulan. Berdasarkan dari data fragmen prasasti No.
D.161 yang ditemukan pada situs Telaga Batu, J.G de Casparis serta M. Boechari diisi
dengan nama bulan Asada sehingga penangalan prasasti tersebut menjadi lengkap yakni
hari e-5 paro terang bulan Asada yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi.
George Cœdès berpendapat jika siddhayatra memiliki arti ramuan bertuah namun juga
bisa diartikan lain. Dari kamus Jawa Kuno Zoetmulder tahun 1995 berarti sukses dalam
perjalanan dan bisa disimpulkan jika isi prasasti adalah Sri Baginda yang naik sampan
untuk melaksanakan penyerangan sudah sukses melakukan perjalanan tersebut.

Dari Prasasti Kedukan Bukit ini diperoleh data yakni Dapunta Hyang yang
berangkat dari Minanga lalu menaklukan kawasan dimana ditemukan prasasti tersebut
yakni Sungai Musi, Sumatera Selatan. Dengan kemiripan bunyi, maka ada juga yang
beranggapan jika Minanga Tamwan merupakan Minangkabau yaitu eilayah pegunungan
di hulu Sungai Batanghari. Sebagian lagi berpendapat jika Minanga tidak sama seperti
Melayu dan kedua wilayah tersebut berhasil ditaklukan oleh Dapunta Hyang. Sedangkan
Soekmono beranggapan jika Minanga Tamwan berarti pertemuan 2 sungai sebab tawan
memiliki arti temuan yaitu pertemuan dari Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar
Kiri di Riau yang merupakan wilayah di sekitar Candi Muara Tikus.

Sebagian lagi berpendapat jika Minanga berubah tutur menjadi Binanga yakni
sebuah kawasan yang ada di hilir Sungai Barumun, Sumatera Utara, sedangkan pendapat
lainnya beranggapan jika armada yang dipimpin Jayanasa berasal dari luar Sumatera
yaitu Semenanjung Malaya. Dalam bukunya, Kiagus Imran Mahmud menuliskan jika
Minanga tidak mungkin berarti Minangkabau sebab istilah ini baru ada sesudah masa
Sriwijaya dan ia juga berpendapat jika Minanga yang dimaksud merupakan pertemuan
dari 2 sungai di Minanga yaitu Sungai Komering dan juga Lebong, Tulisan Matayap
memang tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang dimaksud adalah Lengkayap yakni
sebuah daerah di Sumatera Selatan.

7. Prasasti Talang Tuwo

Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis Constant
Westenenk yang merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti
pada 17 November 1920. Prasasti yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang
doa dedikasi yang menceritakan aliran Budha yang dipakai pada masa Sriwijaya kala itu
merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan penggunaan kata khas aliran
Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta
annuttarabhisamyaksamvodhi.

Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis pada bidang datar
berukuran 50 cm x 80 cm berangka 606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi berbahasa
Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara Pallawa. Prasasti ini memiliki 14 baris kalimat
dan sarjana pertama yang sudha berhasil menerjemahkan prasasti tersebut adalah Van
Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta Orientalia. Prasasti ini kemudian
disimpan pada Museum Nasional Jakarta mulai tahun 1920. Prasasti ini menceritakan
tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya yakni Sri Jayanasa yang dibuat untuk
rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis jika taman berada di tempat dengan
pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai memiliki bukit serta lembah. Pada
dasar lembah juga mengalir sungai menuju Sungai Musi. Taman ini dinamakan Taman
Sriksetra yang juga ada dalam prasasti.

Dalam Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang
ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya
dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan
semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-
kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua
mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik
untuk mendapatkan kebahagiaan.”  “Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam
perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun
yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis
yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga mereka tidak
terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat,
semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari
penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.” Dan juga semoga semua
hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga teman-teman mereka
tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-lebih
lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang
mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah dan seterusnya.

8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang
ditulis pada lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini
Prasasti Leiden ada di museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang hubungan
baik dari dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india Selatan.

9. Prasasti Berahi
Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout tahun 1904 di tepi Batang
Merangin, Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang, Merangin,
Jambi. Seperti pada Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga Prasasti Palas
Pasemah dijelaskan tentang kutukan untuk mereka yang melakukan kejahatan dan tidak
setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak dilengkapi dengan tahun, akan tetapi bisa
diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dengan isi mengenai
kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk dengan Driwijaya seperti pada
Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.

Pak Natsir mengemukakan pendapat jika Prasasti Karang berahi ditemukan pada lokasi
berdekatan dengan struktur bata kuno yang sekarang digunakan sebagai lokasi
pemakaman. Dari cerita di Dusun Batu Bersurat, dulu Prasasti Karangberahi ditemukan
oleh cucu Temenggung Lakek pada tahun 1727 yang dimana pada masa tersebut, Dusun

Batu Bersurat disebut dengan Dusun Tanjung Agung. Anak Temenggung Lakek yang
bernama Jariah lalu membawa batu Prasasti Karangberahi ke masjid Asyobirin di dekat
aliran Batang Merangin dan pada masa Belanda, Batu Prasasti dipindahkan ke Kota
Bangko dan ditempatkan di halaman kantor residen yang saat ini digunakan sebagai
Kantor Dinas Budpar Kabupaten Merangin. Saat masa penjajahan Jepang, masyarakat
Karang Berahi minta agar batu tersebut dikembalikan ke Desa Karang Berahi dan
dikabulkan oleh Jepang yang kemudian dikembalikan ke lingkungan masjid Asobirin di
tepi Batang Merangin.

10. Candi Muara Takus


Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya adalah Candi Muara Takus. Candi
Muara Takus terletak di Desa Muara Takus Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar,
Riau, Indonesia yang dikelilingi dengan tembok 74 x 74 meter terbuat dari batu putih
ketinggian lebih kurang 80 cm. Candi ini sudah ada sejak jaman keemasan Kerajaan
Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat pemerintahan Kerajaan tersebut. Candi ini terbuat
dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda dengan candi kebanyakan di Jawa
yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi Muara Takus ini adalah
tanah liat yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks ini terdapat sebuah stupa
berukuran besar dengan bentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan
batu pasir kuning dan di dalam bangunan Candi Muara Takus juga terdapat bangunan
candi yakni Candi Bungsu, Candi Tua, Palangka dan juga Stupa Mahligai.

Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak ditemukan pada
wilayah Indonesia yang lain dan memiliki kesamaan bentuk dengan Stupa Budha di
Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka sebab pada stupa mempunyai ornamen roda serta
kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua kompleks Candi Muara Takus.

11. Candi Muaro Jambi

Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi terluas di Asia


Tenggara yakni seluas 3981 hektar dan kemungkinan besar adalah peninggalan dari
Kerajaan Sriwijaya serta Kerajaan Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak di Kecamatan
Maro Sebo, Kabupaten Muaro nJambi, Jambi, indonesia di tepi Batang Hari. Kompleks
candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh letnan inggris bernama S.C.
Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan militer.
Kemudian pada tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius dipimpin
oleh R. Soekmono. Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa lempengan yang
juga ditemukan, seorang pakar epigrafi bernama Boechari menyimpulkan jika candi
tersebut merupakan peninggalan dari abad ke-9 sampai 12 Masehi.

Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses
pemugaran yakni Gedong Satu, Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi,
Gumpung, Candi Astano, Kembang Batu, Telago Rajo dan juga Kedaton. Dalam
kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan beberapa buah candi saja, namun
juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam penampungan air dan juga
gundukan tanah yang pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam
kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah menapo yang dimiliki oleh penduduk
setempat.
12. Candi Bahal

Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi Buddha
dengan aliran Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi,
Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.

Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat
hiasan berupa papan berkeliling dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang
menari. Wajah penari tersebut memakai topeng hewan seperti upacara di Tibet dan
diantara papan tersebut ada hiasan berupa ukiran singa yang sedang duduk.

Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke
sumatera karena keindahannya yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat
melestarikan budaya di indonesia.

13. Gapura Sriwijaya


Gapura Sriwijaya terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota
Pagar Alam, Sumatera Selatan. Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan
tetapi sampai saat ini baru ditemukan sebanyak 7 gapura saja. Keadaan gapura pada situs
ini sudah dalam keadaan roboh karena kemungkinan disebabkan oleh faktor alam seperti
erosi, gempa dan lainnya. Reruntuhan Gapura Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima
memanjang dengan tanda cekungan bentuk oval ke dalam pada salah satu bagian sisi
batu. Tanda cekungan ini merupakan pengunci supaya batu bisa disatukan atau ditempel.
TUGAS SEJARAH
KERAJAAN SRIWIJAYA

Disusun Oleh:
Amelia Ardiyanti (03)
Axelliano Rafael Situmeang (09)
Devi Kirei Yuliarti (15)
Fara Zahra Salma Husnia (18)
Fayza Kirana Putri (21)
Hafizh Wahyu Kusuma (23)
Kynan Akbar Wisesa (25)

Anda mungkin juga menyukai