G.Kehidupan Ekonomi
Perkembangan dalam bidang ekonomi pada zaman Kerajaan Sriwijaya, megalami
peningkatan hal ini dikarenakan strategisnya tempat Kerajaan Sriwijaya yang menjadi
jalur lalulintas pelayaran perdagangan India – China.
Dilihat dari letak geografis, daerah Kerajaan Sriwijaya mempunyai letak yang
sangat strategis, yaitu di tengah-tengah jalur pelayaran perdagangan antara India dan Cina
Sehingga aktivitas perekonomian masyarakatnya tergantung pada pelayaran dan
perdagangan. Di samping itu, letak Kerajaan Sriwijaya dekat dengan Selat Malaka yang
merupakan urat nadi perhubungan bagi daerah-daerah di Asia Tenggara.. Dengan
demikian kedudukan Sriwijaya dalam perdagangan internasional sangat baik. Hal ini juga
didukung oleh pemerintahan raja yang cakap dan bijaksana seperti Balaputradewa. Pada
masanya Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat yang mampu menjamin keamanan di
jalur-jalur pelayaran yang menuju Sriwijaya, sehingga banyak pedagang dari luar yang
singgah dan berdagang di wilayah kekuasaan Sriwijaya tersebut.
Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya
pernah berperan sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah
dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi
rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain
berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat
1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal
di Sriwijaya.
“ Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta ”
mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua
topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah
berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok
akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari
naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun
waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan
tepat.
Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang
merupakan Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh
Museum Nasional Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum
prasasti Kedukan Bukit serta Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya diketahui
sudah berkuasa atas sebagian wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka dan juga
Belitung. Dalam Prasasti ini juga dikatakan jika Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi
militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak mau tunduk dengan Sriwijaya.
Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya Taruma di Jawa bagian Barat
dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang kemungkinan terjadi
karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang kendali atas
jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa
serta Selat Karimata.
2. Prasasti Ligor
Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian
tengah terdapat pancuran tempat mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini
memiliki 28 baris dengan huruf Pallawa dan memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis
besar, isi dari tulisan ini adalah tentang kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di
kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi perintah dari datu. Casparis lalu mengemukakan
pendapat jika orang yang termasuk berbahaya dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya
perlu untuk disumpah yakni putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati
(bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan
(pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja/buruh (tuhā
an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata
(vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko
(kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan
raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat
pemerintahan dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam
prasasti juga tinggal di Palembang yang merupakan ibukota kerajan. Sedangkan
Soekmono beranggapan jika tidak mungkin Sriwijaya berasal dari Palembang sebab
adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak patuh pada kedatuan dan juga mengusulkan
Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan Bukit yang diasumsikan berada di
sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.
Di baris ke-8 prasasti ini ada unsur tanggal, akan tetapi pada bagian akhir sudah
hilang yang seharusnya diisi dengan bulan. Berdasarkan dari data fragmen prasasti No.
D.161 yang ditemukan pada situs Telaga Batu, J.G de Casparis serta M. Boechari diisi
dengan nama bulan Asada sehingga penangalan prasasti tersebut menjadi lengkap yakni
hari e-5 paro terang bulan Asada yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi.
George Cœdès berpendapat jika siddhayatra memiliki arti ramuan bertuah namun juga
bisa diartikan lain. Dari kamus Jawa Kuno Zoetmulder tahun 1995 berarti sukses dalam
perjalanan dan bisa disimpulkan jika isi prasasti adalah Sri Baginda yang naik sampan
untuk melaksanakan penyerangan sudah sukses melakukan perjalanan tersebut.
Dari Prasasti Kedukan Bukit ini diperoleh data yakni Dapunta Hyang yang
berangkat dari Minanga lalu menaklukan kawasan dimana ditemukan prasasti tersebut
yakni Sungai Musi, Sumatera Selatan. Dengan kemiripan bunyi, maka ada juga yang
beranggapan jika Minanga Tamwan merupakan Minangkabau yaitu eilayah pegunungan
di hulu Sungai Batanghari. Sebagian lagi berpendapat jika Minanga tidak sama seperti
Melayu dan kedua wilayah tersebut berhasil ditaklukan oleh Dapunta Hyang. Sedangkan
Soekmono beranggapan jika Minanga Tamwan berarti pertemuan 2 sungai sebab tawan
memiliki arti temuan yaitu pertemuan dari Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar
Kiri di Riau yang merupakan wilayah di sekitar Candi Muara Tikus.
Sebagian lagi berpendapat jika Minanga berubah tutur menjadi Binanga yakni
sebuah kawasan yang ada di hilir Sungai Barumun, Sumatera Utara, sedangkan pendapat
lainnya beranggapan jika armada yang dipimpin Jayanasa berasal dari luar Sumatera
yaitu Semenanjung Malaya. Dalam bukunya, Kiagus Imran Mahmud menuliskan jika
Minanga tidak mungkin berarti Minangkabau sebab istilah ini baru ada sesudah masa
Sriwijaya dan ia juga berpendapat jika Minanga yang dimaksud merupakan pertemuan
dari 2 sungai di Minanga yaitu Sungai Komering dan juga Lebong, Tulisan Matayap
memang tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang dimaksud adalah Lengkayap yakni
sebuah daerah di Sumatera Selatan.
Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara Sungai Musi, Louis Constant
Westenenk yang merupakan seorang residen Palembang menemukan sebuah Prasasti
pada 17 November 1920. Prasasti yang disebut dengan Talang Tuwo ini berisi tentang
doa dedikasi yang menceritakan aliran Budha yang dipakai pada masa Sriwijaya kala itu
merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan penggunaan kata khas aliran
Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta
annuttarabhisamyaksamvodhi.
Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis pada bidang datar
berukuran 50 cm x 80 cm berangka 606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi berbahasa
Melayu Kuno dan ditulis dengan aksara Pallawa. Prasasti ini memiliki 14 baris kalimat
dan sarjana pertama yang sudha berhasil menerjemahkan prasasti tersebut adalah Van
Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta Orientalia. Prasasti ini kemudian
disimpan pada Museum Nasional Jakarta mulai tahun 1920. Prasasti ini menceritakan
tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya yakni Sri Jayanasa yang dibuat untuk
rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis jika taman berada di tempat dengan
pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai memiliki bukit serta lembah. Pada
dasar lembah juga mengalir sungai menuju Sungai Musi. Taman ini dinamakan Taman
Sriksetra yang juga ada dalam prasasti.
Dalam Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang
ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya
dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan
semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-
kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua
mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik
untuk mendapatkan kebahagiaan.” “Jika mereka lapar waktu beristirahat atau dalam
perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air minum. Semoga semua kebun
yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis
yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga mereka tidak
terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat,
semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari
penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.” Dan juga semoga semua
hamba mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga teman-teman mereka
tidak mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-lebih
lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang
mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah dan seterusnya.
8. Prasasti Leiden
Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang
ditulis pada lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini
Prasasti Leiden ada di museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang hubungan
baik dari dinasti Chola dari Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india Selatan.
9. Prasasti Berahi
Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M. Berhout tahun 1904 di tepi Batang
Merangin, Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, kecamatan Pamenang, Merangin,
Jambi. Seperti pada Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur dan juga Prasasti Palas
Pasemah dijelaskan tentang kutukan untuk mereka yang melakukan kejahatan dan tidak
setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak dilengkapi dengan tahun, akan tetapi bisa
diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dengan isi mengenai
kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk dengan Driwijaya seperti pada
Prasasti Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.
Pak Natsir mengemukakan pendapat jika Prasasti Karang berahi ditemukan pada lokasi
berdekatan dengan struktur bata kuno yang sekarang digunakan sebagai lokasi
pemakaman. Dari cerita di Dusun Batu Bersurat, dulu Prasasti Karangberahi ditemukan
oleh cucu Temenggung Lakek pada tahun 1727 yang dimana pada masa tersebut, Dusun
Batu Bersurat disebut dengan Dusun Tanjung Agung. Anak Temenggung Lakek yang
bernama Jariah lalu membawa batu Prasasti Karangberahi ke masjid Asyobirin di dekat
aliran Batang Merangin dan pada masa Belanda, Batu Prasasti dipindahkan ke Kota
Bangko dan ditempatkan di halaman kantor residen yang saat ini digunakan sebagai
Kantor Dinas Budpar Kabupaten Merangin. Saat masa penjajahan Jepang, masyarakat
Karang Berahi minta agar batu tersebut dikembalikan ke Desa Karang Berahi dan
dikabulkan oleh Jepang yang kemudian dikembalikan ke lingkungan masjid Asobirin di
tepi Batang Merangin.
Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak ditemukan pada
wilayah Indonesia yang lain dan memiliki kesamaan bentuk dengan Stupa Budha di
Myanmar, Vietnam serta Sri Lanka sebab pada stupa mempunyai ornamen roda serta
kepala singa yang hampir ditemukan juga di semua kompleks Candi Muara Takus.
Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses
pemugaran yakni Gedong Satu, Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi,
Gumpung, Candi Astano, Kembang Batu, Telago Rajo dan juga Kedaton. Dalam
kompleks Candi Muaro Jambi tidak hanya ditemukan beberapa buah candi saja, namun
juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan manusia, kolam penampungan air dan juga
gundukan tanah yang pada bagian dalamnya terdapat struktur bata kuno. Dalam
kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah menapo yang dimiliki oleh penduduk
setempat.
12. Candi Bahal
Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal merupakan kompleks candi Buddha
dengan aliran Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan Padang Bolak, Portibi,
Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.
Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat
hiasan berupa papan berkeliling dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang
menari. Wajah penari tersebut memakai topeng hewan seperti upacara di Tibet dan
diantara papan tersebut ada hiasan berupa ukiran singa yang sedang duduk.
Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke
sumatera karena keindahannya yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat
melestarikan budaya di indonesia.
Disusun Oleh:
Amelia Ardiyanti (03)
Axelliano Rafael Situmeang (09)
Devi Kirei Yuliarti (15)
Fara Zahra Salma Husnia (18)
Fayza Kirana Putri (21)
Hafizh Wahyu Kusuma (23)
Kynan Akbar Wisesa (25)