Anda di halaman 1dari 17

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha yang berdiri pada abad ke-7 dibuktikan dengan adanya

prasasti kedukan Bukit di Palembang (682). Sriwijaya menjadi salah satu kerajaan yang kuat di Pulau
Sumatera. Nama Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta berupa "Sri" yang artinya bercahaya dan
"Wijaya" berarti kemenangan sehingga dapat diartikan dengan kemenangan yang bercahaya atau
gemilang.
Pada catatan perjalanan I-Tsing, pendeta Tiongkok yang pernah mengunjungi Sriwijaya pada tahun
671 selama 6 bulan menerangkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara
Takus (Provinsi Riau sekarang). Kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai
raja pertama.

Kejayaan Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya berjaya pada abad 9-10 Masehi dengan menguasai jalur perdagangan maritim di
Asia Tenggara. Sriwijaya telah menguasai hampir seluruh kerajaan Asia Tenggara, diantaranya, Jawa,
Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Sriwijaya menjadi
pengendali rute perdaganagan lokal yang mengenakaan bea cukai kepadaa setiap kapal yang lewat.
Hal ini karena Sriwijaya menjadi penguasa atas Selat Sunda dan Malaka. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya
juga mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok dan India.

Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan ketika Raja Rajendra Chola, penguasa Kerajaan
Cholamandala menyerang dua kali pada tahun 1007 dan 1023 M yang berhasil merebut bandarbandar kota Sriwijaya. Peperangan ini disebabkan karena Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan
Cholamandala bersaing pada bidang perdagangan dan pelayaran. Dengan demikian, tujuan dari
serangan Kerajaan Cholamandala tidak untuk menjajah melainkan untuk meruntuhkan armada
Sriwijaya. Hal ini menyebabkan ekonomi Kerajaan Sriwijaya semakin melemah karena para pedagang
yang biasanya berdagang di Kerajaan Sriwijaya terus berkurang. Tidak hanya itu, kekuatan militer
Sriwijaya juga semakin melemah sehingga banyak daerah bawahannya yang melepaskan diri.

Akhirnya, Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-13.

Raja-raja Kerajaan Sriwijaya


1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa
2. Sri Indravarman
3. Rudra Vikraman
4. Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
5. Dharanindra Sanggramadhananjaya
6. Samaragrawira
7. Samaratungga
8. Balaputradewa
9. Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
10. Hie-tche (Haji)
11. Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
12. Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
13. Sumatrabhumi
14. Sangramavijayottungga
15. Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
16. Rajendra II
17. Rajendra III
18. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
19. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
20. Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya :


1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasati ini ditemukan di Palembang pada tahun 605 SM/683 M. Isi dari prasasti tersebut yakni
ekspansi 8 hari yang dilakukan Dapunta Hyang dengan 20.000 tentara yang berhasil menaklukkan
beberapa daerah sehingga Sriwijaya menjadi makmur.
2. Prasasti Talang Tuo
Prasasti yang ditemukan pada tahun 606 SM/684 M ini ditemukan di sebelah barat Palembang. Isinya
tentang Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang membuat Taman Sriksetra demi kemakmuran semua
makhluk.
3. Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini bertuliskan tahun 608 SM/686 M yang ditemukan di Bangka. Isiny mengenai permohonan
kepada Dewa untuk keselamatan Kerajaan Sriwijaya beserta rakyatnya.
4. Prasasti Karang Birahi
Prasasti yang ditemukan di Jambi ini isinya sama dengan prasasti Kota Kapur tentang permohonan
keselamatan. Prasasti Karang Birahi ditemukan pada tahun 608 SM/686 M.
5. Prasasti Talang Batu
Prasasti ini ditemukan di Palembang, namun tidak ada angka tahunnya. Prasasti Talang Batu berisi
tentang kutukan terhadap pelaku kejahatan dan pelanggar perintah raja.
6. Prasasti Palas di Pasemah
Prasasti ini juga tidak berangka tahun. Ditemukan di Lampung Selatan yang berisi tentang
keberhasilan Sriwijaya menduduki Lampung Selatan.
7. Prasasti Ligor
Ditemukan pada tahun 679 SM/775 M di tanah genting Kra. Menceritakan bahwa Sriwijaya di bawah
kekuasaan Darmaseta.
Demikian pembahasan terkait sejarah kerajaan Sriwijaya, semoga bermanfat untuk anda.

Lokasi Kerajaan sriwijaya


Kerajaan sriwijaya merupakan salah satu kerajaan maritim yang bercorak budha yang berdiri di
pulau sumatra dan banyak memberi pengaruh di nusantara. Wilayah kekuasaannya membentang
dari kamboja, thailand bagian selatan, semenanjung malaya, sumatra, jawa dan sebagian pesisir
pulau kalimantan. Meskipun kerajaan di kenal kuat secara ekonomi dan militernya, tetapi tidak ada
bukti yang secara persis menunjukan letak persis kerajaan ini di pulau sumatra.
Sumber sejarah kerajaan sriwijaya
Berdasarkan beberapa temuan sumber tertulis serta berita dari cina dan arab, kerajaan sriwijaya
diperkirakan berdiri sekitar abad ke 7 M. Seorang pendeta tiongkok yang bernama I Tsing yang
melakukan persinggahan di pulau sumatra dalam perjalanan studinya di nalanda india pada tahun
671 dan tahun 675, melaporkan bahwa kerajaan sriwijaya menjadi pusat atau tempat belajar agama

budha, ia juga memberitakan jika terdapat sekitar 1000 orang pendeta yang belajar agama budha
pada pendeta terkenal di sriwijaya yang bernama Sakyakirti.

peninggalan kerajaan sriwijaya

Dari berita arab diketahui jika banyak pedagang dari arab yang melakukan kegiatan dagang di
kerajaan ini. Bahkan dipusat kerajaan ditemukan perkampungan-perkampungan sementara orang
dari arab. Sumber dan bukti tertulis lainnya adalah prasasti, seperti prasasti kota kapur, prasasti
kedukan bukit, prasasti talang tuo, prasasti telaga batu, prasasti karang berahi dan prasasti ligor.
Dari semua prasasti tersebut prasasti yang paling tua adalah prasasti kota kapur yang ditemukan di
pulau bangka yang berangka tahun 686 M. Dari prasasti ini kata "sriwijaya" pertama kali di kenal. Di
dalam prasasti ini tertulis "bumi jawa tidak mau tunduk pada sriwijaya" Kata bumi jawa di sini yang di
maksud adalah kerajaan tarumanegara.
Kondisi sosial dan politik kerajaan sriwijaya
Pada prasasti ligor (775 M), disebutkan raja sriwijaya yang bernama dharmasetu mendirikan
pelabuhan di semenanjung malaya di dekat ligor, ia juga membangun beberapa bangunan suci bagi
agama budha.
Masyarakat sriwijaya sebagaian besar hidup dari perdagangan dan pelayaran, Karena letaknya
yang strategis yaitu di jalur perdagangan antara india dan cina menjadikan sriwijaya berkembang
menjadi sebuah kerajaan maritim yang penting di pulau sumatra serta menjadi pengendali jalur
perdagangan antara india dengan tiongkok.
Hasil bumi yang diperdagangkan adalah kemenyan, lada, damar, penyu, dan barang-barang lain
seperti emas, perak dan gading gajah. Sementara orang dari arab juga menyebut barang-barang
lain seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kapulaga, dan timah. Sementara para
pedagang asing menukar barang-barang tersebut dengan keramik, kain katun dan sutra

Untuk menjaga dominasi perdagangan sriwijaya melakukan ekspedisi militer untuk menaklukan
pelabuhan-pelabuhan pesaing yang berada di sekitar wilayahnya. Pada akhir abad 9 Masehi
kerajaan sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di wilayah asia tenggara
misalnya selat sunda, selat malaka, selat karimata dan tanah genting kra di wilayah thailand.

Kerajaan ini mencapai masa kejayaannya saat di pimpin oleh raja balaputradewa yang berkuasa
sekitar pertengahan abad 9 Masehi ( 850-an M ). Raja Balaputradewa menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan di india ( Nandala atau Benggala dan Cholamandala ) dan kerajaan diwilayah
tiongkok atau cina.
Beberapa faktor yang mendukung pesatnya kemajuan kerajaan sriwijaya antara lain :
1. Letaknya yang strategis yakni berada di jalur perdagangan antara wilayah india
dan cina.
2. Menguasai jalur-jalur penting perdagangan seperti selat malaka, selat sunda,
semenanjung melayu dan tanah genting kra.
3. Hasil buminya merupakan komoditi perdagangan yang berharga seperti emas,
perak, rempah-rempah.
4. Mempunyai armada laut yang kuat.
5. Pendapatan melimpah dari upeti kerajaan yang ditaklukannya, cukai terhadap
kapal-kapal asing dan barang dagangan.
Sriwijaya merupakan pusat tempat belajar agama budha di wilayah asia tenggara dan asia timur.
Raja-raja sriwijaya merupakan penganut agama budha yang taat dan selalu tampil menjadi
pelindung. I Tsing seorang pendeta dari cina sempat tinggal selama empat tahun di sriwijaya untuk
menterjemahkan kitab suci agama budha, dalam tulisannya I Tsing menyebut ada seorang pendeta
budha yang sangat terkenal di sriwijaya yang bernama Sakyakirti. Selain itu menurut berita dari tibet
ada seorang pendeta yang mempunyai nama Atica datang dan tinggal di sriwijaya dari tahun 10111023 M untuk belajar agama budha daqri seorang guru yang bernama Dharmapala.
Beberapa faktor penyebab mundurnya Kerajaan sriwijaya yang terjadi pada abad ke 12 yaitu :
1. Serangan kerajaan medang kamulan jawa timur di bawah raja dharmawangsa
pada 990 M, saat itu sriwijaya di perintah oleh raja sudamaniwarwadewa,
walaupun serangan tersebut tidak berhasil mengalahkan sriwijaya tetapi cukup
melemahkan kerajaan ini.
2. Serangan dari kerajaan colamandala dari india pada 1023 M dan 1030 M.
3. Negara dan wilayah yang pernah ditaklukan seperti ligor, tanah genting kra,
kelantan satu persatu melepaskan diri dari kekuasaan sriwijaya, hal ini berakibat
pada mundurnya perekonomian dan pedagangan kerajaan ini.
4. Terdesak oleh kerajaan thailand yang mengembangkan wilayahnya sampai ke
semenanjung malaya.
5. Serangan dari kerajaan majapahit pada 1477 M dan serangan ini berhasil
menaklukan sriwijaya, sejak saat itu berakhirlah kerajaan sriwijaya.

Sejarah kerajaan Sriwijaya adalah sejarah salah satu kerajaan di Indonesia yang menguasai Selat
Malaka pada zaman lampau. Catatan sejarah tentang kerajaan Sriwijaya ini pertama kali ditemukan
olehProf. George Ceodes,penemuan ini menjadi awal penyelidikan lebih lanjut tentang kerajaan
Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan yang pernah besar dan jaya di Indonesia.
Kerajaan ini disebut juga Negara nasional pertama karena pada masa jayanya, daerah kekuasaannya

sangat luas yang meliputi Indonesia bagian barat, Siam bagian selatan, Semenanjung Malaya, sebagian
Filipina, dan Brunei Darussalam di Pulau Kalimantan.

Kerajaan Sriwijaya diperkirakan berdiri pada abad ke-7 M dan menganut agama Buddha di Sumatera
Selatan. Bukti-bukti tentang kerajaan Sriwijaya yang berkembang sampai sekitar abad ke-14 ini, berasal
dari beberapa prasasti yang ditemukan di wilayah tersebut. Bahkan ada yang ditemukan di Bangka, Ligor
(Malaysia), dan Nalanda (India Selatan). Walaupun letak secara pasti pusat kerajaan sulit dibuktikan,
tetapi kebesaran dan pengaruh kerajaan Sriwijaya sangat nyata. Hal ini dibuktikan dari berita-berita orang
Arab, India, dan Cina yang kala itu menjalin hubungan dengan kerajaan Sriwijaya.
Bukti-Bukti Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Nama Sriwijaya sudah terkenal dalam perdagangan internasional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
adanya berbagai sumber yang menerangkan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya, seperti di bawah
ini.
Dari berita Arab diketahui bahwa pedagang Arab melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan
Sriwijaya, bahkan disekitar Sriwijaya ditemukan peninggalan bekas perkampungan orang Arab.
Dari berita India diketahui bahwa Keraaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan
Kerajaan India, seperti Nalanda dan Colamandala bahkan Kerajaan Nalanda mendirikan prasasti
yang menerangkan tentang Sriwijaya.
Dari berita Cina diketahui bahwa para pedagang Cina sering singgah di Kerajaan Sriwijaya
sebelum melanjutkan perjalanan ke India dan Arab. Berita Cina juga menyebutkan pada abad ke7 di Sumatra telah ada beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan Tulang Bawang di Sumatra
Selatan, Melayu di Jambi, dan Sriwijaya. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya ini dapat diperoleh
informasinya, misalnya, dari cerita pendeta Buddha dari Tiongkok, I-tsing. Pada tahun 671, Ia
berangkat dan Kanton ke India, kemudian singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam
bulan untuk belajar tata bahasa Sanskerta. Pada tahun 685, dia kembali ke Sriwijaya dan
menetap selama empat tahun untuk menerjemahkan berbagai kitab suci Buddha dan bahasa
Sanskerta ke bahasa Tionghoa. Karena dalam kenyataannya, dia tidak dapat menyelesaikan
sendiri pekerjaan itu, maka pada tahun 689, dia pergi ke Kanton untuk mencari pembantu dan
segera kembali lagi ke Sriwijaya. Selanjutnya, baru pada tahun 695, I-tsing pulang ke Tiongkok.
Raja-raja Kerajaan Sriwijaya
Raja-raja yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
Raja Daputra Hyang: Berita mengenai raja ini diketahui melalui prasasti Kedukan Bukit (683 M).
Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang
telah bercita-cita agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan bercorak maritim.
Raja Dharmasetu: Pada masa pemerintahan Raja Dharmasetu, Kerajaan Sriwijaya berkembang
sampai ke Semenanjung Malaya. Bahkan, disana Kerajaan Sriwijaya membangun sebuah

pangkalan di daerah Ligor. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga mampu menjalin hubungan dengan
China dan India. Setiap kapal yang berlayar dari India dan China selalu singgah di Bandarbandar Sriwijaya.
Raja Balaputradewa: Berita tentang raja Balaputradewa diketahui dari keterangan Prasasi
Nalanda. Balaputradewa memerintah sekitar abad ke-9, pada masa pemerintahannya, kerajaan
Sriwijaya berkembang pesat menjadi kerajaan yang besar dan menjadi pusat agama Buddha di
Asia Tenggara. Ia menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di India seperti Nalanda
dan Cola. Balaputradewa adalah keturunan dari dinas Syailendra, yakni putra dari Raja
Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya.
Raja Sri Sudamaniwarmadewa: Pada masa pemerintahan Raja Sri Sudamaniwarmadewa,
Kerajaan Sriwijaya pernah mendapat serangan dai Raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Namun,
serangan tersebut berhasil digagalkan oleh tentara Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman: Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya
mengalami serangan dari Kerajaan Chola. Di bawah pimpinan Raja Rajendra Chola, Kerajaan
Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana
Wijayattunggawarman akhirnya ditawan. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I
Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman kemudian dibebaskan kembali.

Masa Keemasan Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan Sriwijaya mengalami zaman keemasan pada saat diperintah oleh Raja Balaputradewa pada
abad ke-9. Wilayah Kerajaan Sriwijaya meliputi hampir seluruh Sumatra, Kalimantan Barat, Jawa Barat,
dan Semenanjung Melayu. Oleh karena itu, Kerajaan Sriwijaya disebut kerajaan Nusantara pertama.
Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim, pusat agama Buddha, pusat pendidikan, dan sebagai pusat
perdagangan di Asia Tenggara.
Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim karena mempunyai angkatan laut yang tangguh dan
wilayah perairan yang luas. Karena begitu luas wilayahnya, maka Kerajaan Sriwijaya disebut
Kerajaan Nusantara pertama.
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat pendidikan penyebaran agama Buddha, dengan bukti catatan
I-tsing dari China pada tahun 685 M, yang menyebut Sriwijaya dengan She-le-fo-she.
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan karena Palembang sebagai jalur perdagangan
nasional dan internasional. Banyak kapal yang singgah sehingga menambah pemasukan pajak.
Kemunduran Kerajaan Sriwijaya
Beberapa faktor penyebab kemunduran Kerajaan Sriwijaya di antaranya adalah sebagai berikut:
Faktor geografis, berupa perubahan letak Kerajaan Sriwijaya. Perubahan ini erat kaitannya
dengan pengendapan lumpur Sungai Musi yang mengakibatkan letak ibu kota Kerajaan Sriwijaya
tidak lagi dekat dengan pantai. Akibatnya ibu kota Sriwijaya kurang diminati lagi oleh pedagang
internasional.
Lemahnya kontrol pemerintahan pusat sehingga banyak daerah yang melepaskan diri.
Berkembangnya kekuatan politik di Jawa dan India. Sriwijaya mendapat serangan dari Raja
Rajendracola dari Colamandala tahun 1017 dan 1025. Pada tahun 1025, serangan itu diulangi
sehingga Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan
Colamandala. Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singosari melakukan ekspcdisi Pamalayu. Hal
itu menyebabkan daerah Melayu lepas dari kekuasaan Sriwijaya. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya
terjadi saat armada laut Majapahit menyerang Sniwijaya tahun 1377.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti kuno. Prasasti-prasasti tersebut
adalah sebagai berikut.
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Karang Berahi
Prasasti Talang ibo
Prasasti Palas Pasemah
Prasasti Telaga Batu
Prasasti Kota Kapur

Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak
memberi
pengaruh
di Nusantara dengan
daerah
kekuasaan
membentang
dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa,
dan
pesisir Kalimantan. Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti
"bercahaya"
atau
"gemilang",
dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang
gilang-gemilang".
Berdasarkan beberapa prasasti yang ditemukan serta berita dari Cina dan Arab dapat disimpulkan
bahwa Kerajaan Sriwijaya berdiri pada akhir abad ke- 7. Berdasarkan berita dari Cina yang dibuat
pada masa Dinasti Tang disebutkan bahwa di pantai timur Sumatra Selatan telah berdiri sebuah
kerajaan yang disebut She-li-fo-she. Nama kerajaan itu diidentikkan dengan Sriwijaya. Pendeta
Buddha dari Cina, I Tsing juga pernah singgah di Sriwijaya dalam perjalanannya ke India pada tahun
671 M. I Tsing datang lagi ke Sriwijaya pada tahun 685 M untuk menerjemahkan kitab suci agama
Buddha selama empat tahun di bawah bimbingan Sakyakirti. Jadi, pada abad ke-7 Sriwijaya telah
berkembang menjadi pusat kegiatan ilmiah agama Buddha di Asia Tenggara.
Sekitar tahun 692 M Sriwijaya telah mampu menaklukkan Melayu dan Tarumanegara. Hal itu
diperkuat dengan adanya keterangan pada lima prasasti yang dikeluarkan Raja Sriwijaya yang ditulis
dengan huruf Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno.
Prasasti tertua tentang Sriwijaya ditemukan di Kedukan Bukit, tepi Sungai Tatang dekat Palembang.
Prasasti itu berangka tahun 683 M dan terdiri atas 10 baris kalimat. Prasasti itu berisi cerita bahwa
pada tahun 683 M ada orang besar bernama Dapunta Hiyang mengadakan perjalanan suci
(siddhayatra) dengan membawa 20.000 tentara berangkat dari Minangatamwan naik perahu.
Sementara itu, tentara sebanyak 1.312 berjalan darat datang di Melayu dan akhirnya membuat
Kerajaan Sriwijaya.
Isi Prasasti Kedukan Bukit yang patut disangsikan adalah jumlah tentara yang mencapai angka
20.000. Benarkah jumlah tersebut? Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk pada waktu itu yang
belum banyak, kiranya angka 20.000 itu bukan jumlah yang sebenarnya, melainkan hanya untuk
menunjukkan betapa banyaknya tentara yang dikirim sehingga sulit dihitung. Hal itu diperkuat oleh isi
Prasasti Kedukan Bukit pada baris ke-6 yang menyebutkan bahwa 200 orang menggunakan perahu
dan 1.312 berjalan di darat.
Berdasarkan isi Prasasti Kedukan Bukit itu, Prof. Dr. Purbacaraka menyimpulkan bahwa Dapunta
Hyang berasal dari Minangkabau. Jika hal itu benar, Sriwijaya berdiri sekitar tahun 685 karena pada
tahun 670673 Sriwijaya tidak mengirimkan utusan ke Cina.
Prasasti berikutnya ditemukan di Talang Tuo, dekat Palembang. Prasasti itu terdiri atas 14 baris
kalimat dan berangka tahun 606 Saka atau 684 M. Prasasti itu menyebutkan bahwa atas perintah

Dapunta Hyang Sri Jayanaga telah dibuat taman yang disebut Srikesetra untuk kemakmuran semua
makhluk. Di samping itu, juga ada doa-doa yang bersifat Buddha Mahayana.
Prasasti lainnya ditemukan di Kotakapur, Bangka, dan Karang Berahi (Jambi Hulu). Kedua prasasti itu
berangka tahun 686 M dan sebagian besar isinya sama, yaitu memohon kepada dewa agar menjaga
keamanan dan keselamatan Sriwijaya beserta rajanya serta menghukum setiap orang yang bermaksud
jahat dan mendurhakai kekuasaan Sriwijaya. Isi prasasti yang paling menarik adalah pada baris ke-10
yang berbunyi, Sumpah ini dipahat di batasnya kekuasaan Sriwijaya yang sangat berusaha
menaklukkan bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya. Dari prasasti itu jelas bahwa Sriwijaya
memang berusaha keras memperluas kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan di sekitarnya,
seperti Melayu, Tulangbawang, dan Tarumanegara (Bumi Jawa) sehingga pada waktu itu tidak
sempat mengirimkan utusannya ke Cina.
Prasasti yang ke-5 ditemukan di Palas Pasemah, Lampung Selatan. Prasasti itu menyebutkan bahwa
daerah Lampung Selatan pada waktu itu sudah diduduki Sriwijaya. Raja Sriwijaya menjatuhkan
kutukan yang seram bagi mereka yang melakukan kejahatan dan tidak taat terhadap perintahnya.
A. Bidang Politik
Zaman keemasan Sriwijaya terwujud pada abad ke-8 dan ke-9 ketika di- perintah Balaputradewa.
Menurut Prasasti Ligor (775 M), Sriwijaya saat itu diperintah oleh Raja Dharmasetu dan telah
mendirikan pangkalan di Semenan- jung Malaya (daerah Ligor). Prasasti itu juga menyebutkan
seorang raja yang bernama Wisnu dari keluarga Syailendra. Nama raja itu dijumpai pada prasasti
(Jawa Tengah) dengan nama Sanggramadananjaya (Dananjaya atau Wisnu).
Berdasarkan Prasasti Nalanda (India) diketahui bahwa Balaputradewa adalah cucu seorang raja dari
Jawa yang berasal dari keluarga Syailendra (Sri Wirawairimathana). Ayahnya bernama Samaragrawira
atau Samaratungga yang kawin dengan Dewi Tara putri dari Raja Dharmasetu (Sriwijaya).
Samaratungga memerintah tahun 824 M.
Dinasti Syailendra terdesak oleh Dinasti Sanjaya. Balaputradewa yang merupakan keturunan Dinasti
Syailendra melarikan diri ke Sriwijaya dan bertakhta menjadi raja. Sejak pemerintahan Dharmasetu,
Sriwijaya berhasil membangun negaranya menjadi besar. Dengan armada laut yang kuat, Sriwijaya
berhasil menguasai jalur-jalur perdagangan antara India dan Cina, baik di Selat Malaka, Selat Sunda,
maupun di Semenanjung Malaya dan Tanah Genting Kra. Sejak saat itu, Sriwijaya tumbuh menjadi
kerajaan maritim yang besar di Asia Tenggara dan menguasai perdagangan laut.
1. Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Pala

Berdasarkan sebagian isi Prasasti Nalanda disebutkan bahwa setelah naik takhta, Balaputradewa
segera menjalin hubungan dengan Kerajaan Pala yang diperintah oleh Raja Dewapala. Hubungan itu
mengandung tiga maksud, yaitu:
membentengi Kerajaan Sriwijaya agar lebih kuat;
meningkatkan hubungan perdagangan;

emperdalam pengetahuan agama Buddha karena di India telah berdiri Perguruan Tinggi Nalanda.
Karena hubungan baik itu, banyak biksu dari Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Untuk keperluan
itulah, Raja Dewapala berkenan memberikan hadiah tanah kepada Balaputradewa untuk
pembangunan wihara. Wihara itu digunakan bagi kepentingan para peziarah dari Suwarnadwipa
(Sumatra) yang sedang belajar agama Buddha dan pengetahuan lainnya di Nalanda.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di Nalanda, para biksu pulang dan mengajarkan ilmunya di
Sriwijaya. Oleh karena itu, Sriwijaya tumbuh menjadi pusat pengajaran agama Buddha terbesar di Asia
Tenggara. Ini terbukti dengan datangnya pendeta Buddha dari Tibet bernama Atisa pada tahun
10111023 untuk memperdalam agama Buddha di bawah asuhan pendeta tertinggi di Sriwijaya,
yaitu Dharmakirti.
2. Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala
Sampai kapan Balaputradewa memerintah, tidak ada bukti-bukti tertulis yang menjelaskan. Akan
tetapi, pada tahun 990 Sriwijaya diserang oleh Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur. Pada waktu itu
Sriwijaya dipimpin Sri Cudamaniwarmadewa. Setelah raja itu mangkat, digantikan oleh putranya, yaitu
Marawijayottunggawarman. Ia mengaku keturunan Raja Syailendra. Ia tidak mau mengakui kekuasaan
Dharmawangsa. Untuk memperkuat kedudukannya, ia menjalin hubungan dengan Kerajaan
Colamandala (India Selatan) yang saat itu diperintah oleh Rajakesariwarman Raja-Raja I.
Hubungan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala itu berjalan baik se- hingga Raja Sriwijaya oleh
Raja Colamandala diperbolehkan mendirikan wihara di daerah Nagipattana pada tahun 1006. Berkat
kerja sama dengan Colamandala, kekuasaan dan kewibawaan Sriwijaya pulih sehingga dapat menguasai kembali jalur perdagangan IndiaCina melalui Selat Malaka.
Dalam perkembangan selanjutnya, kebesaran Sriwijaya dianggap menyaingi dan merugikan
perdagangan Colamandala. Sejak saat itu, hubungan kedua kerajaan mulai retak, bahkan berubah
menjadi permusuhan. Ketegangan itu terjadi ketika Kerajaan Colamandala diperintah oleh
Rajendracoladewa dan Sriwijaya diperintah oleh Sri Sanggramawijayottunggawarman. Pada tahun
1023 Sriwijaya dan Kedah diserang oleh Rajendracoladewa dan diulangi lagi pada tahun 1030. Raja
Sriwijaya dapat ditawan. Hal itu diterangkan oleh Prasasti Tanjore yang berangka tahun 1030.
Serangan Rajendracoladewa itu tidak bermaksud untuk menduduki dan menjajah Sriwijaya. Namun,
serangan itu hanya untuk menghancurkan kekuasaan laut Sriwijaya. Tujuannya, agar India dapat
menguasai lagi jalur perdagangannya dengan Cina melalui Selat Malaka dan Selat Sunda.
3. Hubungan Sriwijaya dengan Cina
Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Negeri Cina. Sriwijaya sering mengirim utusannya kepada
Kaisar Cina dengan membawa berbagai macam hadiah. Hal itu dimaksudkan agar Kaisar Cina tidak
menyerang Sriwijaya. Para pendeta Buddha dari Cina pun banyak yang belajar agama Buddha di
Sriwijaya, misalnya I Tsing.

Raja Sriwijaya, bahkan pada abad ke-9 mengirimkan utusannya ke Cina untuk ikut serta memperbaiki
Kuil Taqist di Kanton. Dengan hubungan diplomasi yang baik, Sriwijaya ternyata dapat terhindar dari
kemungkinan serbuan pasukan Cina.
B. Bidang Sosial dan Budaya

Candi Muara Takus


Peninggalan Sriwijaya di Riau

Kerajaan Sriwijaya karena letaknya yang strategis dalam lalu lintas perdagangan internasional
menyebabkan masyarakatnya lebih terbuka dalam menerima berbagai pengaruh asing. Masyarakat
Sriwijaya juga telah mampu mengembangkan bahasa komunikasi dalam dunia perdagangannya.
Kemungkinan bahasa Melayu Kuno telah digunakan sebagai bahasa pengantar terutama dengan para
pedagang dari Jawa Barat, Bangka, Jambi, dan Semanjung Malaysia.
Penduduk Sriwijaya juga bersifat terbuka dalam menerima berbagai kebudayaan yang datang. Salah
satunya adalah mengadopsi kebudayaan India, seperti nama-nama India, adat istiadat, serta tradisi
dalam agama Hindu. Oleh karena itu, Sriwijaya pernah menjadi pusat pengembangan ajaran Buddha di
Asia Tenggara.
C. Bidang Ekonomi

Untuk menjaga keamanan wilayah lautnya yang luas, Sriwijaya membangun armadanya dengan kuat.
Dengan demikian, perdagangan yang berlangsung di Sriwijaya dapat berjalan aman sehingga
rakyatnya dapat hidup aman dan makmur. Sebagian besar penduduk Sriwijaya hidup dari hasil
perdagangan dan pelayaran. Dari wilayah lautnya yang luas, Sriwijaya banyak memperoleh bea cukai
dari kapal-kapal dagang yang melintasi atau singgah di pelabuhan milik Sriwijaya.

Sriwijaya menjual barang-barang produksinya, seperti emas, perak, gading, penyu, kemenyan, kapur
barus, lada, dan damar. Para pedagang asing dapat menukarnya dengan aneka porselin, kain katun,
dan sutra.
Kemajuan pesat dari Kerajaan Sriwijaya selain karena rajanya cakap, gagah berani, dan bijaksana, juga
didukung oleh faktor yang menguntungkan. Faktor- faktor itu, antara lain sebagai berikut:
1.
Letaknya strategis berada pada jalur perdagangan IndiaCina.
2.
Sriwijaya telah menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, Semenanjung Malaya, dan Tanah
Genting Kra sebagai pusat perdagangan.
3.
Hasil bumi Sriwijaya dan sekitarnya sebagai mata perdagangan yang berharga, terutama
rempah-rempah dan emas tersedia banyak.
4.
Armada lautnya kuat sehingga mampu menjalin hubungan dan kerja sama dengan Kerajaan
India dan Cina.
5.

Pendapatan Sriwijaya melimpah ruah yang berasal dari:

bea cukai barang dagangan yang keluar-masuk,

bea cukai kapal asing yang melalui bandarnya,

upeti para pedagang dan raja taklukan, dan

hasil bumi serta hasil perdagangan sendiri.


Menurut berita dari Cina (Chau-Yu-Kua), Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kemunduran pada akhir
abad ke-12. Hal itu dikuatkan oleh kitab sejarah dari Dinasti Sung yang menyatakan bahwa Sriwijaya
mengirimkan utusannya yang terakhir pada tahun 1178.

Penyebab kemunduran Sriwijaya, antara lain sebagai berikut :


Berulang kali diserang oleh Kerajaan Colamandala dari India.

Kerajaan taklukan Sriwijaya banyak yang melepaskan diri dari kekuasaannya, misalnya Ligor,
Tanah Kra, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda.

Terdesak oleh perkembangan kerajaan di Thailand yang meluaskan pengaruhnya ke arah


selatan (Semenanjung Malaya).

Terdesak pengaruh Kerajaan Singasari yang menjalin hubungan dengan Kerajaan Melayu
(Jambi).

Mundurnya perekonomian dan perdagangan Sriwijaya karena bandar- bandar pentingnya


sudah melepaskan diri dari Sriwijaya.

Kemungkinan juga tidak adanya tokoh yang cakap dan berwibawa untuk memimpin kerajaan
sebagai akibat dari kurangnya pengaderan.
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi
tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cds dari cole franaise d'Extrme-Orien
Prasasti Palas Pasemah

Prasasti Palas Pasemah, prasasti pada batu, ditemukan di Palas Pasemah, di tepi Way (Sungai) Pisang,
Lampung. Ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuna sebanyak 13 baris. Meskipun tidak
berangka tahun, namun dari bentuk aksaranya diperkirakan prasasti itu berasal dari akhir abad ke-7
Masehi.
Isi:
Isinya mengenai kutukan bagi orang-orang yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.

Prasasti Kota Kapur

Prasasti ini ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka. Prasasti ini dinamakan menurut
tempat penemuannya yaitu sebuah dusun kecil yang bernama Kotakapur. Tulisan pada prasasti ini
ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, serta merupakan salah satu
dokumen
tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini ditemukan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember
1892.
Isi:
Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat oleh
Dapunta Hiya, seorang penguasa dari Kadtuan rwijaya.

Prasasti Kedukan Bukit


Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung
Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang,Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke
Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa,
menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia

6. Prasasti Hujung Langit

Prasasti Hujung Langit, yang dikenal juga dengan nama Prasasti Bawang, adalah sebuah prasasti batu
yang ditemukan di desa Haur Kuning, Lampung, Indonesia. Aksara yang digunakan di prasasti ini adalah
Pallawa dengan bahasa Melayu Kuna. Tulisan pada prasasti ini sudah sangat aus, namun masih
teridentifikasi angka tahunnya 919 Saka atau 997 Masehi.
Isi:
Isi prasasti diperkirakan merupakan pemberian tanah sima.

. Prasasti Talang Tuwo

Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada
tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang,

Isi:
Isi prasasti Talang Tuo adalah berupa doa-doa dedikasi, dimana hingga kini, doa-doa demikian masih
dijalankan dan diyakini. Prasasti ini memperkuat bahwa terdapat pengaruh yang kuat dari cara pandang
Mahayana pada masa tersebut, dengan ditemukannya kata-kata seperti bodhicitta, mahasattva,
vajrasarira, danannuttarabhisamyaksamvodhi, dimana istilah-istilah bahasa Sanskerta tersebut memang
digunakan secara umum dalam ajaran Mahayana.
8. Prasasti Telaga Batu

Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di sekitar kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking), Kel. 3 Ilir,
Kec. Ilir Timur II, Kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1935. Prasasti ini sekarang disimpan di
Museum Nasional dengan No. D.155. Di sekitar lokasi penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti
Telaga Batu 2, yang berisi tentang keberadaan suatu vihara di sekitar prasasti. Pada tahun-tahun
sebelumnya ditemukan lebih dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Bersama-sama dengan Prasasti Telaga
Batu, prasasti-prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta.
Isi:
Isinya tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak
taat kepada perintah dtu. Casparis berpendapat bahwa orang-orang yang disebut pada prasasti ini
merupakan orang-orang yang berkategori berbahaya dan berpotensi untuk melawan kepada kedatuan
Sriwijaya sehingga perlu disumpah.
9. Prasasti Karang Birahi

Prasasti Karang Brahi adalah sebuah prasasti dari zaman kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun
1904 oleh Kontrolir L.M. Berkhout di tepian Batang Merangin. Prasasti ini terletak pada Dusun Batu
Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi.
Isi:
Isinya tentang kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja dan orang-orang yang
berbuat jahat. Kutukan pada isi prasasti ini mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Kota Kapur dan
Prasasti Telaga Batu.

Anda mungkin juga menyukai