Anda di halaman 1dari 13

Sejarah kerajaan

sriwijaya
1. SEJARAH TERBENTUKNYA
2. PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN KERAJAAN SRIWIJAYA
3. AGAMA DAN BUDAYA
4. PERDAGANGAN
5. KEHIDUPAN POLITIK
6. STRUKTUR PEMERINTAHAN
7. MASA KEJAYAAN SRIWIJAYA
8. RAJA YANG TERKENAL
9. PENINGGALAN SEJARAH
Sejarah Terbentuknya Kerajaan
Sriwijaya
Sejarah Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha yang berdiri pada abad ke-7
dibuktikan dengan adanya prasasti kedukan Bukit di Palembang (682). Sriwijaya menjadi
salah satu kerajaan yang kuat di Pulau Sumatera. Nama Sriwijaya berasal dari bahasa
Sanskerta berupa "Sri" yang artinya bercahaya dan "Wijaya" berarti kemenangan sehingga
dapat diartikan dengan kemenangan yang bercahaya atau gemilang.

Pada catatan perjalanan I-Tsing, pendeta Tiongkok yang pernah mengunjungi Sriwijaya
pada tahun 671 selama 6 bulan menerangkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada
pada kawasan Candi Muara Takus (Provinsi Riau sekarang). Kerajaan Sriwijaya dipimpin
oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai raja pertama.
Pembentukan dan Pertumbuhan
Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Sunda, Selat Malaka, Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Karimata. Ekspansi
kerajaan ini ke Semenanjung Malaya dan Jawa, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua
pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Berdasarkan penelitian, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Kamboja dan
Thailand. Pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina di abad ke-7, mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melakukan beberapa serangan ke kota-kota pantai di
Indochina.
Kota Indrapura di wilayah tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah
kendali Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai
pendiri imperium Khmer, raja Khmer Jayawarman II, di abad yang sama memutuskan
hubungan dengan Sriwijaya.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Holing dan Tarumanegara
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, wangsa Sailendra pada
masa ini pula bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, di
semenanjung Melayu Langkasuka menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya,
Trambralinga dan Pan Pan, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di
bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, yang menjadi penerus kerajaan adalah Samaratungga. Ia
berkuasa pada tahun 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih perkuat
penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, Samaratungga
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pembangunannya pada
tahun 825.
Agama dan Budaya

I Tsing seorang pendeta dari Tiongkok, yang melakukan ekspansi ke Sumatera dalam
perjalanan belajarnya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, dan di
abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha dari Benggala yang berperan dalam
perkembangan Buddha Vajrayana di Tibet.
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya sebagai rumah bagi sarjana Buddha sehingga
menjadi sebuah pusat pembelajaran agama Buddha. Pelancong yang datang ke
pulau ini menyatakan bahwa koin emas telah dipergunakan di pesisir kerajaan. Selain
itu ajaran Buddha Mahayana dan Buddha Hinayana juga turut berkembang di
Sriwijaya.
budaya India banyak mempengaruhi Kerajaan Sriwijaya, diawali oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya berhasil menguasai
kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari abad ke-7 hingga
abad ke-9, sehingga secara langsung ikut serta mengembangkan kebudayaan
Melayu beserta bahasanya di Nusantara.
Sangat memungkinkan bahwa Sriwijaya yang terkenal sebagai pusat bandar
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat dari para pedagang dan
ulama muslim dari wilayah Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang
awalnya merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh berkembang menjadi
cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya
kekuasaan Sriwijaya.
Ada sumber yang menyatakan, karena adanya pengaruh orang muslim Arab yang
banyak berkunjung di Sriwijaya, maka pada tahun 718 Sri Indrawarman raja Sriwijaya
memeluk Islam. Sehingga sangat memungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya ialah
masyarakat sosial yang di dalamnya ada masyarakat Muslim dan Budha sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya mengirimkan surat ke khalifah Islam di Suriah.
Pada salah satu teks berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan dai ke istana
Sriwijaya, surat itu ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M).
Perdagangan

Di dalam dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi penguasa dalam mengendalikan jalur


perdagangan antara Tiongkok dan India, yakni dengan penguasaan atas selat Sunda
dan selat Malaka. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya mempunyai aneka komoditi
seperti kayu gaharu, kapur barus, kepulaga cengkeh, pala,, gading, timah, dan emas,
yang membuat raja Sriwijaya kaya seperti raja-raja di India.
Kekayaan yang amat banyak ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari
vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara jatuhnya dinasti Tang dan naiknya dinasti
Song, perdagangan dengan luar negeri cukup heboh, terutama Fujian, negeri kaya
Guangdong, kerajaan Min, dan kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya merauk
keuntungan dari perdagangan ini.
Kehidupan politik
Untuk memperkuat posisi kekuasaannyanya atas penguasaan kawasan di Asia Tenggara,
Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan sering
mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa pertama kerajaan Khmer adalah daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengaku bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota
kerajaan Khmer, pengaruh Sriwijaya terlihat pada bangunan pagoda Borom That yang
arsitektur Sriwijaya. Setelah Sriwijaya jatuh, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yaitu
(Mueang) Chaiya, Khirirat Nikhom, dan Thatong (Kanchanadit).
Sriwijaya juga ada hubungan dekat dengan kerajaan Pala dari Benggala, pada prasasti
Nalanda mencatat bahwasanya raja Balaputradewa memberikan sebuah biara kepada
Universitas Nalanda.
Hubungan dengan dinasti Chola di selat India juga cukup baik, dari prasasti Leiden
mencatat bahwa raja Sriwijaya telah membangun vihara yang dinamakan dengan Vihara
Culamanivarmma, namun setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan
penyerangan di abad ke-11 hubungan antara Sriwijaya dan raja Balaputradewa menjadi
buruk.
Struktur Pemerintahan
Pembentukan negara satu kesatuan dalam ukuran struktur kekuasaan politik Sriwijaya,
dapat dilcari dari beberapa prasasti yang di dalamnya mengandung info penting
tentang mandala, kadtuan, samaryyda, vanua, dan bhmi.
Kadtuan dapat diartikan kawasan dtu, (tanah rumah) tempat tinggal, tempat mas
disimpan dan hasil cukai (drawy) sebagai wilayah yang harus dijaga. Kadtuan ini
dikelilingi vanua, yang bisa dianggap sebagai wilayah kota dari Sriwijaya yang di
dalamnya terkandung vihara untuk tempat beribadah untuk masyarakatnya.
Vanua dan Kadtuan ini merupakan suatu wilayah inti bagi Kerajaan Sriwijaya. Menurut
Casparis, samaryyda merupakan wilayah yang bersebrangan dengan vanua, yang
terhubung ke jalan khusus (samaryyda-patha) yang dapat dimaksudkan kawasan
pedalaman. Sedangkan mandala adalah suatu kawasan yang berdiri sendiri dari bhmi
yang berada dalam kontrol kekuasaan kadtuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Maharaja atau Dapunta Hyang, dan dalam silsilah
raja terdapat secara berurutan yuvarja (putra mahkota), pratiyuvarja (putra mahkota
kedua) dan rjakumra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menuturkan
berbagai jabatan dalam susunan pemerintahan kerajaan di masa Sriwijaya.
Masa Kejayaan Sriwijaya
Kerajaan maritim menjadi ciri Kemaharajaan Sriwijaya, mengandalkan kekuasaannya
pada kekuatan armada lautnya dalam langkah menguasai alur pelayaran, jalur
perdagangan, dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan
armadanya dalam melindungi kapal-kapal dagang, mengawasi, mengambil cukai serta
menjaga wilayah kekuasaan dan kedaulatannya.
Sejarah dan bukti arkeologi mencatat, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan rebut
kekuasaan di hampir seluruh kerajaan-kerajaan wilayah Asia Tenggara, antara lain: Jawa,
Sumatera, Semenanjung Malaya, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Sunda dan Selat Malaka, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali
jalan perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mentarif biaya atas setiap
kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya sebagai gudang perdagangan
dan pelabuhan yang melayani pasar India dan Tiongkok,.
Sriwijaya juga disebut ikut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di tanah
Jawa, dalam prasasti Pucangan dijelaskan sebuah peristiwa Mahapralaya adalah
peristiwa hancurnya istana Medang di tanah Jawa Timur, di mana Haji Wurawari asal
Lwaram yang dimungkinkan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau
1016 menyerang yang menyebabkan terbunuhnya Dharmawangsa Teguh raja Medang
terakhir.
Raja Yang Terkenal
Raja-raja yang diketahui pernah menjabat sebagai Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai
berikut:
Raja Daputra Hyang: Cerita mengenai raja Daputra Hyang ditemukan melalui prasasti
Kedukan Bukit (683 M). Pada masa kekuasaannya, Raja Dapunta Hyang telah sukses
memperluas daerah kekuasaannya sampai ke tanah Jambi. Sedari awal
pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang bercita-cita supaya Kerajaan Sriwijaya
menjadi kerajaan maritim.
Raja Dharmasetu: Pada masa kekuasaan Raja Dharmasetu, Kerajaan Sriwijaya meluas
sampai ke wilayah Semenanjung Malaya. Bahkan, Kerajaan Sriwijaya disana
membangun sebuah pangkalan di wilayah Ligor. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga
sanggup menjalin hubungan dengan Negri India dan China. Setiap kapal yang
melayar dari China dan India selalu mampir di Bandar-bandar Sriwijaya.
Raja Balaputradewa: Berita mengenai raja Balaputradewa awal diketahui dari
catatan Prasasi Nalanda. Raja Balaputradewa menjabat sekitar abad ke-9, pada
masa kekuasaannya, kerajaan Sriwijaya berkembang cepat menjadi kerajaan besar
dan menjadi sebuah pusat agama Buddha di Asia Tenggara.
Ia menjalin sebuah hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di India seperti Cola
dan Nalanda. Balaputradewa merupakan keturunan dari dinas Syailendra, yaitu
putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari kerajaan Sriwijaya.
Raja Sri Sudamaniwarmadewa: Pada masa kekuasaan Raja Sri
Sudamaniwarmadewa, Kerajaan Sriwijaya pernah mengalami serangan dari Raja
Darmawangsa dari Jawa Timur. Tapi, serangan tersebut berhasil digagalkan oleh
para tentara Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman: Pada masa kekuasaannya, Kerajaan
Sriwijaya mengalami sebuah serangan dari Kerajaan Chola. Yang dipimpin oleh Raja
Rajendra Chola, Kerajaan Chola membuat serangan dan sukses merebut Kerajaan
Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman akhirnya ditahan. Tapi pada masa
kekuasaan Raja Kulottungga I Kerajaan Chola, Raja Sanggrama
Wijayattunggawarman kemudian dibebaskan.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Walaupun Sriwijaya cuma tersisa sedikit peninggalan arkeologi dan juga terlupakan
dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali mengenai
kemaharajaan bahari ini oleh Coeds di tahun 1920-an telah memhidupkan
kesadaran bahwa dalam bentuk persatuan politik raya berbentuk kemaharajaan
yang terdiri atas perpecahan kerajaan-kerajaan bahari, dulu pernah tumbuh, bangkit,
dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga memuliakan Sriwijaya sebagai
sumber yang dibanggakan dan bukti kejayaan pada masa lampau Indonesia.
kejayaan Sriwijaya telah menjadi suatu kebanggaan identitas daerah dan nasional,
khususnya bagi para penduduk kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan.
Keluhuran Sriwijaya bagi penduduk Palembang, telah menjadi sebuah inspirasi seni
budaya, semisal lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga
dialami oleh masyarakat selatan Thailand yang kembali menciptakan tarian Sevichai
(Sriwijaya) yang berdasarkan pada kemuliaan seni budaya Sriwijaya.

Anda mungkin juga menyukai