Situs ini dapat dicapai dengan perjalanan darat, yakni dengan kendaraan
roda empat dan roda dua. Situs Batujaya secara administratif terletak di dua
wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya,
Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya
ini diperkirakan sekitar 5 km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah
pesawahan dan sebagian di dekat pemukiman penduduk. Serta tidak jauh dari
garis pantai utara Jawa Barat (pantai ujung Karawang).
Batujaya kurang lebih terletak 6 KM dari pesisir utara dan sekitar 500
Meter di Utara Citarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah
kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.
Dilansir dari laman resmi Perpustakaan Nasional, candi ini disebut sebagai candi
tertua di Jawa melebihi usia Candi Borobudur di Magelang.
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh Tim Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada
tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di
sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan
ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh
warga sekitar. Ekskavasi dan penelitian dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan dibantu
oleh EFEO (École Français d’Extrême-Orient) serta dukungan dana dari Ford
Motor Company, yang digunakan untuk kegiatan kajian situs ini.
Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah
ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti
nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya
1, dan seterusnya. Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang
diteliti (ekskavasi). Laporan Balai Penelitian Cagar Budaya (BPCB) Serang pada
tahun 2014 menyebutkan ada 40 situs sisa bangunan (candi) yang ada di kawasan
Batujaya. Sampai tahun 2016 diketahui terdapat 62 unur dan 51 di antaranya
terkonfirmasi memiliki sisa-sisa bangunan. Banyaknya temuan ini menyisakan
banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat
keagamaan, bentuk, dan pola percandian.
Sampai 2014, empat candi di Situs Batujaya (Batujaya I atau Candi Jiwa,
Batujaya V atau Candi Blandongan, Talagajaya I atau atau Batujaya VII atau
Candi Serut, dan Talagajaya IV atau Batujaya VIII atau Segaran IX atau Candi
Sumur) telah atau sedang dipugar.
Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-
candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-
candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan
Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs
candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, merupakan sisa
bangunan yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi
candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua
bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara.
Candi-candi di Komplek Batujaya ini umumnya terkubur di dalam tanah
berada dibawah 1-3 meter dari permukaan sawah, alhasil candi-candi itu rawan
tergenang. Berkat perhatian pemerintah terhadap situs peninggalan sejarah ini,
sekeliling candi dibuat tembok penahan air dan didalamnya terdapat drainase
untuk mengalirkan air menuju ruang pompa yang akan menarik keluar areal candi.
1. Candi Jiwa
Dari sumber lain mengatakan bahwa, kata jiwa berasal dari “Syiwa” yaitu
salah satu dewa dari agama Hindu. Hal ini didasarkan dari pengaruh aksen sunda
yang mempengaruhi penyebutan nama Syiwa dari waktu ke waktu sehingga
menjadi nama jiwa. Namun, hal ini cukup dipertanyakan karena beberapa
penemuan yang mengerucutkan bahwa Candi Jiwa ini lebih kepada candi
peninggalan Buddha.
Candi Jiwa dievakuasi dari tahun 1997 hingga tahun 2004. Candi ini
berbentuk persegi dan berukuran 19 x 19 meter. Sedangkan memiliki tinggi
sekitar 4,7 meter. Diperkirakan candi ini menghadap ke arah tenggara atau bisa
juga kearah Barat Daya karena tidak ditemukan pintu di area Candi Jiwa ini.
Bangunan Candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-
lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan
menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata
pada masa lampau yang lebih terlihat gosong dibandingkan dengan batu batu
masa sekarang yang dibakar menggunakan oven. Walaupun suhu bakaran kedua-
duanya berkisar 45 derajat celcius, yang menjadi keunikan adalah batu bata di
daerah Batujaya itu berkuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata
di daerah Jakarta dan sekitarnya.
Badan candi sempurna hingga tampak atas candi, yang berbentuk bunga
padma atau bunga teratai. Diduga diatas candi ini terdapat patung Buddha yang
jika dilihat dari bangunan candi yang berukuran 19x19 meter. Setelah pemugaran,
Candi ini memang terlihat lebih bisa dinikmati dari pada sebelumnya. Terlihat
pelipit pata (patta) yang menyusun daerah kaki candi, pelipit setengah lingkaran
(kumuda) dan pelipit penyangga (utara). Terdapat sambungan bata pada bagian
kaki dimana dilapisi dengan stucco (lapisan tipis berwarna putih). Dari sini,
mungkin para ahli memperkirakan dahulu Candi Jiwa dilapisi dengan stucco.
Diatas bagian kaki candi terdapat lingkaran yang terbuat dari batu bata dengan
garis tengah sekitar 6 meter. Dimana terdapat gelombang sehingga terkesan
seperti kelopak bunga teratai.
Konon, Desa Segaran dulunya adalah sebuah danau yang terbentuk karena
Sungai Citarum, dan lokasi candi berada didalam danau. Hal ini dibuktikan
dengan nama dari desa tersebut yaitu Segaran, yang dimana dalam bahasa
Sansekerta berarti laut, telaga, ataupun danau. Jadi, dari hal ini dapat disimpulkan
bahwa Candi Jiwa dahulu merupakan sebuah mahakarya sang Buddha yang
berada diatas bunga teratai yang mengapung diatas perairan.
2. Candi Blandongan
Candi ini sebagian badannya menjorok kedalam tanah atau permukaan alas
candi berada di kedalaman antara 2-3 meter lebih rendah dari permukaan sawah di
sekitarnya. Untuk keperluan penampakan candi secara keseluruhan, petugas candi
membuat pelataran sekeliling candi dengan menjorok kedalam tanah sekitar dua
meter dari penampang sawah di sekelilingnya. Dengan demikian, candi ini
posisinya lebih rendah 1-3 meter dari penampang sawah sehingga rawan
tergenang. Beruntung pompa air sudah siap di setiap sudutnya agar pelataran
candi ini tetap kering. Bila ukuran candi berkisar antara 25x25 m², maka pelataran
candi dibuat lebih besar yakni sekitar 45x45 m².
Antara badan candi dengan pagar langkan terdapat sebuah lantai bata
dengan dilapisi beton stucco setebal 15 cm, bagian atas atau atap badan candi
sudah runtuh dan tidak diketahui bentuknya. Bagian atas badan candi ini diduga
berbentuk stupa yang massif, berupa susunan bata yang kemudian dilapisi dengan
beton stucco. Dugaan ini berdasarkan atas temuan pecahan beton stucco berbentuk
lengkung seperti bulatan stupa dengan ketebalan 20 cm. Pecahan beton stucco ini
ditemukan tersebar dalam onggokan di lantai selasar dan sudut utara dinding
langkan. Pecahan genta stupa tersebut bagian luarnya halus dan bagian dalamnya
memperlihatkan bekas-bekas bata menempel dengan ukuran lebar diperkirakan 6
meter dan tingginya tidak dapat diketahui.
3. Candi Serut
Masih didalam candi ini juga terdapat lubang segi empat ukuran 1 x 1
meter yang kedalamanya belum diketahui, lubang ini sementara diperkirakan
sebagai sumur. Pada dinding sisi timur laut di sudut utara dan sudut timur terdapat
tembok memanjang yang membentuk garis lurus dengan arah Barat Laut-
Tenggara. Candi TlJ tidak memiliki tangga naik atau pintu masuk di keempat
sisinya, kaki candi mempunyai bentuk konstruksi seperti sebuah “Bak” yang
berdiri diatas sebuah pondasi. Situs ini mulai di pugar pada tahun 2007 sampai
saat ini oleh Bp3 serang, penelitian pun masih berlanjut sampai saat ini.
Penggalian candi baru sebatas pinggiran dinding candi dan air masih
menggenang, sehingga candi masih nampak terkubur sebagian, mungkin karena
posisi yang miring inilah sehingga penggalian dihentikan karena khawatir akan
semakin rusak oleh beban candi yang miring. Jika candi sudah dibuatkan
pelataran sesuai pada titik pondasi maka akan terlihat utuh. Dilihat dari
penampang luar candi ini mirip dengan pondasi rumah biasa yang terdapat kamar-
kamar di dalamnya dan lengkap dengan sumur, serta lantai papan.
1. Candi Sumur
Situs ini terletak ditengah sawah, disebelah barat kampung sumur situs ini
pertama di ekskavasi oleh Puslit Arkenas yang menghasilkan penemuan berupa
bangunan bata empat persegi panjang berukuran 7,35 x 10,55 meter Barat Daya.
Ketebalan dindingnya lebih dari 4 meter.
Hasan (2010), menyatakan “Candi yang berbentuk seperti sumur ini tersusun
dari batu bata dan hanya menyisakan pondasinya saja”. Lokasi Candi Sumur ini
berdekatan dengan Candi Serut. Candi Sumur sendiri sudah diberikan atap dan
pagar disekelilingnya agar tidak terkena air hujan secara langsung. Sama hal nya
dengan Candi Serut, Candi Sumur juga selalu tergenang oleh air maka dari itu
tanah di sekitar candi selalu becek namun bedanya untuk Candi Sumur sendiri
sudah dipasang pompa untuk mengeluarkan air yang menggenangi daerah di
sekitar candi. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa air dari Candi Sumur
memiliki keajaiban untuk memberikan kejayaan bagi orang yang mencuci muka
menggunakan air dari Candi Sumur tersebut.
KESENIAN KHAS KARAWANG
Kabupaten Karawang adalah Kabupaten di Tatar Pasundan Provinsi Jawa
Barat, Ibu Kota nya adalah Karawang. Dalam Bahasa Sunda, Karawang
mempunyai arti “Penuh dengan lubang”. Bisa jadi pada daerah Karawang Zaman
dulu banyak ditemui lubang. Di Kabupaten Karawang tentunya banyak kesenian
yang masih bertahan hingga masa kini, diantaranya Jaipongan, Topeng Banjet,
Odong-odong, dan Seni Egrang. Seni ini merupakan hasil kreasi dari para
seniman Karawang.
Jaipongan berasal dari “bunyi tepak (pukulan) kendang” yang
direfleksikan melalui mulut Jaipong “blak tuk blak tuk”. Kesenian yang satu ini
sangat digandrungi oleh lapisan masyarakat. Seperti dikatakan warga-warga
setempat Desa Segaran bahwa “Jaipong merupakan kesenian favorit masyarakat
sini, apalagi Bapak-bapak, suka nyawer ke sinden jaipong. Kalau ada acara
hajatan (Pernikahan) orang yang banyak sawah suka mendatangkan kesenian
jaipong sebagai pilihan untuk meramaikan pesta hajatan tersebut.”
Karawang dikenal sebagai “Goyang Karawang”. Istilah ini kini menjelma
ke arah erotis. Kesenian Jaipong ini mengalami perkembangan yang sangat pesat,
bukti perubahan nyata dalam kesenian ini adalah alat musik yang digunakan,
panggung, pencahayaan dan pengeras suara. Tidak hanya itu, cerita yang
berkembang dimasyarakat menilai Jaipong itu sebagai kesenian erotis karena
lengkukan pinggul seorang penari ketika diatas panggung. Kalau ada Jaipong
pasti banyak “bajidor” yang minum-minuman keras, memang hal ini benar adanya
ketika ada pagelaran kesenian Jaipong.