Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH TARUMANEGARA

Kerajaan Tarumanegara adalah Kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa,


Terletak di tepi Sungai Citarum, Jawa Barat yang sekarang masuk ke wilayah
Kabupaten Lebak, Banten. Wilayah Kerajaan Tarumanegara meliputi daerah
Banten, Jakarta, dan Cirebon. Kerajaan Tarumanegara berdiri pada abad ke 4 atau
pada 358 – 382 Masehi. Pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah Rajadirajaguru
Jayasingawarman yang berasal dari India.
Raja Jayasingawarman adalah seorang Maharesi atau Pendeta yang berasal
dari India, Tepatnya dari daerah Salankayana. Pada masa itu Raja
Jayasingawarman mengungsi ke nusantara karena daerahnya diserang dan
ditaklukkan Kerajaan Magadha. Saat tiba di Jawa Barat, Raja Jayasingawarman
meminta izin untuk membuka pemukiman baru kepada Raja Dewawarman VIII
yang merupakan Raja dari Kerajaan Salakanagara yang berkuasa pada masa itu.
Setelah disetujui Raja Jayasingawarman pun membangun Kerajaan
Tarumanegara.
Kerajaan Tarumanegara datang dari Gunawarman, seorang pendeta dari
Kashmir yang mengatakan bahwa agama yang dianut rakyat Tarumanegara adalah
agama Hindu. Nama Kerajaan Tarumanegara berasal dari dua kata, yakni
“Taruma” dan “Nagara”. “Taruma” atau “Nila” diambil dari nama Sungai
Citarum yang membelah Jawa Barat. “Nagara” memiliki arti kerajaan atau
negara.
Kehidupan Sosial dan Politik pada masa Kerajaan Tarumanegara terbilang
maju. Hal ini terlihat dari daerah kekuasaannya yang sangat luas. Daerah
kekuasaan Kerajaan Tarumanegara meliputi Banten sampai Cirebon. Kerajaan
Tarumanegara mengalami masa kejayaan sebanyak 3 generasi. Kerajaan
Tarumanegara mengalami masa kejayaan saat dipimpin oleh Raja Tarumanegara
yang ke-3, yaitu Raja Purnawarman. Keberadaan Kerajaan Tarumanegara pernah
tercatat dalam berita dari kerajaan Tiongkok. Dikatakan bahwa To-Lo-Mo atau
Tarumanegara pernah mengirimkan utusan mereka ke Tiongkok pada tahun 528,
538, dan 666 Masehi untuk kunjungan persahabatan.
Raja Jayasingawarman meninggal dan dimakamkan di tepi sungai di
Bekasi, tepatnya di Kali Gomati. Lalu takhta Kerajaan digantikan oleh Putera Raja
Jayasingawarman, yaitu Dharmawarman. Raja Dharmawarman memerintah pada
tahun 382 – 395 Masehi. Tidak banyak catatan mengenai Raja kedua Kerajaan
Tarumanegara ini, namanya hanya tercnatum di Naskah Wangsakerta, yang
menceritakan mengenai sejarah Kerajaan di Indonesia.
Nama Raja lainnya adalah Raja Purnawarman. Raja Purnawarman
memerintah kerajaan Tarumanegara dari tahun 395-434 Masehi. Ia bergelar Sri
Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhima Suryamaha Purasa
Jagatpati. Kerajaan Tarumanegara mencapai puncak kejayaannya saat dipimpin
oleh Raja Purnawarman. Kemasyuran Kerajaan ini diabadikan dalam prasasti
Zaman Purnawarman mengenai dibangunnya pelabuhan dan beberapa sungai
sebagai sarana perekonomian. Pada masa pemerintahan Purnawarman, Kerajaan
Tarumanegara juga memperluas kekuasaan dengan menaklukkan raja-raja kecil di
Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Purnawarman sangat memperhatikan
pemeliharaan aliran sungai. Seperti pada tahun 410 Masehi, Raja Purnawarman
memperbaiki Kali Gangga hingga Sungai Cisuba yang terletak di daerah Cirebon.
Di tahun 334 saka atau 421 Masehi, Purnawarman memperindah daerah aliran
Sungai Cupu yang mengalir hingga istana Raja. Di tahun 335 Saka atau 413
Masehi, Purnawarman memerintah membangun sungai Sarasah atau Sungai
Manuk rawa (Sungai Cimanuk). Raja Purnawarman juga memperbaiki alur
Sungai Gomati dan Sungai Candrabaga, yang sebelumnya pernah dilakukan oleh
Raja Jayasingawarman, Kaeknya ditahun 339 saka atau 417 Masehi.
Sungai Gomati dan Sungai Candrabaga sendiri menurut para ahli, dikenal
sebagai Sungai Bekasi sekarang. Terakhir pada tahun 341 saka atau 419 Masehi,
Ia juga memerintah untuk memperdalam Sungai Citarum yang merupakan Sungai
terbesar di wilayah Kerajaan Tarumanegara. Sungai pada masa itu berperan
penting sebagai sarana perekonomian. Dengan pembangunan sungai-sungai yang
dilakukan oleh Raja Purnawarman bisa membangkitkan perekonomian pertanian
dan perdagangan pada masa itu.
Setelah Raja Purnawarman bertahta, ada beberapa nama raja lain seperti
Wisnuwarman yang berkuasa di tahun 434-455 Masehi. Lalu Raja Wisnuwarman
digantikan oleh anaknya yang bernama Indrawarman pada tahun 455 – 515
Masehi. Ketika Raja Indrawarman turun tahta dilanjukan oleh Raja
Candrawarman pada tahun 515 – 535 Masehi. Lalu dilanjutkan oleh Raja
Suryawarman pada tahun 535 – 561 Masehi. Sepeninggal Raja Suryawarman, raja
– raja kerajaan Tarumanegara berturut – turut adalah Raja Kertawarman (561 –
628 Masehi), Raja Sudhawarman (628-639 Masehi), Raja Hariwangsawarman
(639 – 640 Masehi), Raja Nagajayawarman (640-666 Masehi), hingga Raja
terakhir adalah Raja Linggawarman, yang berkuasa dari tahun 666 – 669 Masehi.
Raja Linggawarman tidak memiliki putera. Ia hanya memiliki dua orang
puteri. Puteri sulung Raja Linggawarman bernama Puteri Manasih dan menikah
dengan Tarusbawa, kelak Tarusbawa menggantikan Linggawarman. Putri bungsu
Raja Linggawarman bernama Puteri Sobakancana menikah dengan Dapunta
Hyang Sri Jayanasa, yang kelak menjadi pendiri kerajaan terbesar di Indonesia,
Kerajaan Sriwijaya.
Keberadaan Kerajaan Tarumanegara dapat dilihat dari 7 buah prasasti
yang berkisah tentang sejarah Kerajaan Tarumanegara. Sebagian besar prasasti-
prasasti itu ditemukan di daerah bogor dan penamaan 7 prasasti tersebut
disasarkan pada lokasi penemuan masing-masing prasasti.
Pertama, ada Prasasti Ciaruteun. Pada
prasasti ini terdapat gambar telapak kaki, lukisan
laba-laba, dan huruf ikal melingkar.
Prasasti Ciaruteun ini berisi :
1. Vikkratasyavanipat eh
2. Srimatah Purnavarmmanah
3. Tarumanagarendrasya
4. Visnoriva Padadvayam
Arti dari tulisan tersebut adalah “Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti
kaki Dewa Wisnu (pemelihara), ialah telapak yang mulia sang Purnawarman, Raja
di Negeri Taruma, Raja yang gagah berani di dunia”.
Bekas telapak pada Prasasti Ciaruteun melambangkan kekuasaan raja atas
daerah tempat ditemukannya Prasasti. Kedudukan Raja Purnawarman diibaratkan
Dewa Wisnu, Dewa dalam kepercayaan Hindu yang bertugas memelihara alam
semesta. Raja Purnawarman dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung
rakyat. Penggunaan telapak kaki di masa itu dimaksudkan sebagai tanda keaslian,
mirip tanda tangan pada zaman sekarang.
Prasasti Kebon Kopi ditemukan di perkebunan kopi
di Kampung Muara Hilir, Bogor. Isi Prasasti Kebon Kopi ini
adalah tulisan huruf Palawa dengan menggunakan bahasa
Sansekerta. Kalimat yang tercetak pada Prasasti Kebon Kopi
adalah “Jayavisalasyya Tarumendrasya Hastinah
Airwaytabhasya vibatidam-padadyayam” arti dari kalimat tersebut adalah “Di
tempat ini, di sini kelihatannya terdapat gambar sepasang telapak kaki yang mirip
dengan Airawata, gajah yang sangat kuat, penguasa di Taruma atau lebih dikenal
Tarumanegara dan kejayaan kerajaan”
Airawata adalah gajah kendaraan Dewa Indra, Dewa cuaca dan Raja Kahyangan.
Prasasti Jambu ditemukan di perkebunan Jambu di
Bukit Pasir Koleyangkak, Bogor. Isi prasasti ini adalah “Tapak
kaki ini adalah tapak kaki Sri Purnawarman, Raja Tarumanegara.
Baginda termasyhur gagah, berani, jujur dan setia menjalankan
tugasnya”.

Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Lebak. Prasasti ini


ditemukan di tepi sungai Cindanghiang di desa Lebak,
Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten pada tahun
1947. Prasasti ini berisi 2 baris kalimat yang berbentuk puisi
yang ditulis dengan huruf palawa dan bahasa Sansekerta. Isi
prasasti ini mengagung-agungkan keberanian Raja
Purnawarman.

Prasasti Pasir Awi ditemukan di Pasir Awi, Bogor. Namun


sayangnya Prasasti ini belum bisa dibaca oleh para ahli. Jadi kita
belum bisa tahu apa isi dari Prasasti ini.

Prasasti Muara Cianten , Prasasti ini juga sama seperti


Prasasti Pasir Awi. Belum bisa dibaca oleh para ahli. Ditemukan di
tepi sungai Cisadane.

Prasasti Tugu adalah Prasasti terpenting dan


terpanjang dari Raja Purnawarman yang waktu itu sudah
bertahta selama 22 tahun. Dalam prasasti ini, disebutkan
mengenai pembangunan saluran air yang panjangnya 6.112
tombak yang setara dengan 11 KM. Aliran air itu diberi nama
Gomati yang dibandun dalam waktu 21 hari.
Dalam catatan sejarah Kerajaan Tarumanegara, salah satu contoh
kemunduran yang terjadi saat itu adalah pemberian wewenang pemerintahan
sendiri atau otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh raja-raja
sebelumnya. Karena tidak disertai hubungan dan pengawasan yang baik, para
Raja bawahan merasa tidak terlindungi dan tidak diawasi oleh Kerajaan
Tarumanegara.
Selain itu, pada masa itu juga muncul kerajaan pesaing Tarumanegara
yang sedang naik daun, yaitu Kerajaan Galuh, yang menimbulkan terjadinya
pemberontakan. Hingga akhirnya saat raja Kerajaan Tarumanegara terakhir yaitu
Raja Linggawarman tidak memiliki anak laki-laki, pamor Kerajaan Tarumanegara
pun semakin merosot.
Kerajaan Tarumanegara pecah menjadi 2 Kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda
dan Galuh. Kerajaan Sunda menjadi kelanjutan Kerajaan Tarumanegara yang
dipegang oleh Raja Tarusbawa, menantu Raja Linggawarman. Sedangkan
Kerajaan Galuh dikuasai oleh Raja Wretikandayun.
CANDI TERTUA DI KARAWANG
Kabupaten Karawang merupakan salah satu wilayah bagian Provinsi Jawa
Barat yang terkenal sebagai kota lumbung padi, dengan jumlah penduduknya 2,2
juta jiwa yang diantaranya berprofesi sebagai petani. Tak hanya dikenal sebagai
lumbung padi nasional, tetapi juga terdapat peninggalan purbakala berupa situs
peninggalan masa klasik yang banyak tersebar di Kabupaten Karawang, salah
satunya adalah Kawasan Batujaya.

Situs ini dapat dicapai dengan perjalanan darat, yakni dengan kendaraan
roda empat dan roda dua. Situs Batujaya secara administratif terletak di dua
wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya,
Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya
ini diperkirakan sekitar 5 km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah
pesawahan dan sebagian di dekat pemukiman penduduk. Serta tidak jauh dari
garis pantai utara Jawa Barat (pantai ujung Karawang). 
Batujaya kurang lebih terletak 6 KM dari pesisir utara dan sekitar 500
Meter di Utara Citarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah
kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.
Dilansir dari laman resmi Perpustakaan Nasional, candi ini disebut sebagai candi
tertua di Jawa melebihi usia Candi Borobudur di Magelang.
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh Tim Arkeologi Fakultas
Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada
tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di
sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan
ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh
warga sekitar. Ekskavasi dan penelitian dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan dibantu
oleh EFEO (École Français d’Extrême-Orient) serta dukungan dana dari Ford
Motor Company, yang digunakan untuk kegiatan kajian situs ini.
Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah
ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti
nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya
1, dan seterusnya. Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang
diteliti (ekskavasi). Laporan Balai Penelitian Cagar Budaya (BPCB) Serang pada
tahun 2014 menyebutkan ada 40 situs sisa bangunan (candi) yang ada di kawasan
Batujaya. Sampai tahun 2016 diketahui terdapat 62 unur dan 51 di antaranya
terkonfirmasi memiliki sisa-sisa bangunan. Banyaknya temuan ini menyisakan
banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat
keagamaan, bentuk, dan pola percandian.
Sampai 2014, empat candi di Situs Batujaya (Batujaya I atau Candi Jiwa,
Batujaya V atau Candi Blandongan, Talagajaya I atau atau Batujaya VII atau
Candi Serut, dan Talagajaya IV atau Batujaya VIII atau Segaran IX atau Candi
Sumur) telah atau sedang dipugar.
Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-
candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-
candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan
Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs
candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, merupakan sisa
bangunan yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi
candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua
bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara.
Candi-candi di Komplek Batujaya ini umumnya terkubur di dalam tanah
berada dibawah 1-3 meter dari permukaan sawah, alhasil candi-candi itu rawan
tergenang. Berkat perhatian pemerintah terhadap situs peninggalan sejarah ini,
sekeliling candi dibuat tembok penahan air dan didalamnya terdapat drainase
untuk mengalirkan air menuju ruang pompa yang akan menarik keluar areal candi.
1. Candi Jiwa

Situs Candi Jiwa merupakan sebuah


gundukan tanah seperti bukit kecil, yang
disebut unur jiwa oleh penduduk. Unur
jiwa merupakan lonjong dengan ketinggian
2 meter dari permukaan tanah sawah dan
sebagian lagi terkubur 2 meter dibawah
permukaan sawah di sekitarnya, dengan
luas kurang lebih 500 m².
Candi Jiwa atau Batujaya I, memiliki sejarah penamaan yang cukup mistis.
Dari keterangan warga yang menghuni daerah di dekat Candi Jiwa, bahwa
dulunya unur atau gundukan tanah yang menutupi candi tersebut dilewati oleh
kambing, secara tiba-tiba kambing tersebut mati tanpa sebab yang jelas.
Semenjak itu masyarakat sekitar menganggap tempat itu memiliki “Jiwa” karena
tidak hanya sekali kambing yang melewati unur tersebut mati tanpa sebab yang
jelas.

Dari sumber lain mengatakan bahwa, kata jiwa berasal dari “Syiwa” yaitu
salah satu dewa dari agama Hindu. Hal ini didasarkan dari pengaruh aksen sunda
yang mempengaruhi penyebutan nama Syiwa dari waktu ke waktu sehingga
menjadi nama jiwa. Namun, hal ini cukup dipertanyakan karena beberapa
penemuan yang mengerucutkan bahwa Candi Jiwa ini lebih kepada candi
peninggalan Buddha.

Candi Jiwa dievakuasi dari tahun 1997 hingga tahun 2004. Candi ini
berbentuk persegi dan berukuran 19 x 19 meter. Sedangkan memiliki tinggi
sekitar 4,7 meter. Diperkirakan candi ini menghadap ke arah tenggara atau bisa
juga kearah Barat Daya karena tidak ditemukan pintu di area Candi Jiwa ini.

Candi Jiwa terletak pada kedalaman 2 meter dibawah permukaan sawah.


Menilik dari bentuknya candi ini relatif lebih mendekati sempurna ketimbang
candi yang lain di sekitarnya. Mulai dari penampang alas candi, terdapat semacam
selasar atau jalan selebar 1,5 meter yang mengelilingi candi. Terdapat juga batu
yang disusun rapi, menyerupai taman. Candi ini tidak memiliki anak tangga
karena memang candi ini dibuat bukan untuk upacara di atasnya, melainkan di
bersembahyang di sekeliling candi. Jalan menuju candi sudah di beton dari
perkampungan menuju posisi candi.

Bangunan Candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-
lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan
menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata
pada masa lampau yang lebih terlihat gosong dibandingkan dengan batu batu
masa sekarang yang dibakar menggunakan oven. Walaupun suhu bakaran kedua-
duanya berkisar 45 derajat celcius, yang menjadi keunikan adalah batu bata di
daerah Batujaya itu berkuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata
di daerah Jakarta dan sekitarnya.

Badan candi sempurna hingga tampak atas candi, yang berbentuk bunga
padma atau bunga teratai. Diduga diatas candi ini terdapat patung Buddha yang
jika dilihat dari bangunan candi yang berukuran 19x19 meter. Setelah pemugaran,
Candi ini memang terlihat lebih bisa dinikmati dari pada sebelumnya. Terlihat
pelipit pata (patta) yang menyusun daerah kaki candi, pelipit setengah lingkaran
(kumuda) dan pelipit penyangga (utara). Terdapat sambungan bata pada bagian
kaki dimana dilapisi dengan stucco (lapisan tipis berwarna putih). Dari sini,
mungkin para ahli memperkirakan dahulu Candi Jiwa dilapisi dengan stucco.
Diatas bagian kaki candi terdapat lingkaran yang terbuat dari batu bata dengan
garis tengah sekitar 6 meter. Dimana terdapat gelombang sehingga terkesan
seperti kelopak bunga teratai.
Konon, Desa Segaran dulunya adalah sebuah danau yang terbentuk karena
Sungai Citarum, dan lokasi candi berada didalam danau. Hal ini dibuktikan
dengan nama dari desa tersebut yaitu Segaran, yang dimana dalam bahasa
Sansekerta berarti laut, telaga, ataupun danau. Jadi, dari hal ini dapat disimpulkan
bahwa Candi Jiwa dahulu merupakan sebuah mahakarya sang Buddha yang
berada diatas bunga teratai yang mengapung diatas perairan.

2. Candi Blandongan

Pada mulanya, candi ini hanya


berbentuk gundukan tanah merah
yang ditumbuhi pohon pisang dan
pohon perdu lainnya. Sekelilingnya
adalah pematang sawah yang
merupakan tanah produktif. Situs ini
pertama kali di survey oleh Tim
Arkeologi FSUI pada tahun 1984,
antara tahun 1992 dan 2000. Situs
ini di eskapasi oleh Puslit Arkenas
yang menghasilkan penemuan sebuah reruntuhan candi.

Candi ini sebagian badannya menjorok kedalam tanah atau permukaan alas
candi berada di kedalaman antara 2-3 meter lebih rendah dari permukaan sawah di
sekitarnya. Untuk keperluan penampakan candi secara keseluruhan, petugas candi
membuat pelataran sekeliling candi dengan menjorok kedalam tanah sekitar dua
meter dari penampang sawah di sekelilingnya. Dengan demikian, candi ini
posisinya lebih rendah 1-3 meter dari penampang sawah sehingga rawan
tergenang. Beruntung pompa air sudah siap di setiap sudutnya agar pelataran
candi ini tetap kering. Bila ukuran candi berkisar antara 25x25 m², maka pelataran
candi dibuat lebih besar yakni sekitar 45x45 m².

Candi Blandongan berdenah bujur sangkar dengan ukuran 25x25 m² di


bagian alas kaki pada keempat sisi candi, terdapat tangga masuk dan pagar
langkan. Candi ini seolah bertingkat karena 25x25 m² di bagian tengah candi
masih terdapat sebuah bangunan dengan ukuran 10x10 m².

Antara badan candi dengan pagar langkan terdapat sebuah lantai bata
dengan dilapisi beton stucco setebal 15 cm, bagian atas atau atap badan candi
sudah runtuh dan tidak diketahui bentuknya. Bagian atas badan candi ini diduga
berbentuk stupa yang massif, berupa susunan bata yang kemudian dilapisi dengan
beton stucco. Dugaan ini berdasarkan atas temuan pecahan beton stucco berbentuk
lengkung seperti bulatan stupa dengan ketebalan 20 cm. Pecahan beton stucco ini
ditemukan tersebar dalam onggokan di lantai selasar dan sudut utara dinding
langkan. Pecahan genta stupa tersebut bagian luarnya halus dan bagian dalamnya
memperlihatkan bekas-bekas bata menempel dengan ukuran lebar diperkirakan 6
meter dan tingginya tidak dapat diketahui.
3. Candi Serut

Situs ini terletak di Kampung Unteng. Kondisi candi ini cukup


mengenaskan karena posisi miring, dari kemiringan ini membuat candi diduga
roboh, bukti robohnya candi terdapat tumpukan batu bata disebelahnya. Dari
kondisi fisik candi terdapat lubang pada dinding candi sebagai bekas balok yang
diduga sebagai pilar untuk alas candi.

Masih didalam candi ini juga terdapat lubang segi empat ukuran 1 x 1
meter yang kedalamanya belum diketahui, lubang ini sementara diperkirakan
sebagai sumur. Pada dinding sisi timur laut di sudut utara dan sudut timur terdapat
tembok memanjang yang membentuk garis lurus dengan arah Barat Laut-
Tenggara. Candi TlJ tidak memiliki tangga naik atau pintu masuk di keempat
sisinya, kaki candi mempunyai bentuk konstruksi seperti sebuah “Bak” yang
berdiri diatas sebuah pondasi. Situs ini mulai di pugar pada tahun 2007 sampai
saat ini oleh Bp3 serang, penelitian pun masih berlanjut sampai saat ini.

Penggalian candi baru sebatas pinggiran dinding candi dan air masih
menggenang, sehingga candi masih nampak terkubur sebagian, mungkin karena
posisi yang miring inilah sehingga penggalian dihentikan karena khawatir akan
semakin rusak oleh beban candi yang miring. Jika candi sudah dibuatkan
pelataran sesuai pada titik pondasi maka akan terlihat utuh. Dilihat dari
penampang luar candi ini mirip dengan pondasi rumah biasa yang terdapat kamar-
kamar di dalamnya dan lengkap dengan sumur, serta lantai papan.

1. Candi Sumur
Situs ini terletak ditengah sawah, disebelah barat kampung sumur situs ini
pertama di ekskavasi oleh Puslit Arkenas yang menghasilkan penemuan berupa
bangunan bata empat persegi panjang berukuran 7,35 x 10,55 meter Barat Daya.
Ketebalan dindingnya lebih dari 4 meter.

Hasan (2010), menyatakan “Candi yang berbentuk seperti sumur ini tersusun
dari batu bata dan hanya menyisakan pondasinya saja”. Lokasi Candi Sumur ini
berdekatan dengan Candi Serut. Candi Sumur sendiri sudah diberikan atap dan
pagar disekelilingnya agar tidak terkena air hujan secara langsung. Sama hal nya
dengan Candi Serut, Candi Sumur juga selalu tergenang oleh air maka dari itu
tanah di sekitar candi selalu becek namun bedanya untuk Candi Sumur sendiri
sudah dipasang pompa untuk mengeluarkan air yang menggenangi daerah di
sekitar candi. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa air dari Candi Sumur
memiliki keajaiban untuk memberikan kejayaan bagi orang yang mencuci muka
menggunakan air dari Candi Sumur tersebut.
KESENIAN KHAS KARAWANG
Kabupaten Karawang adalah Kabupaten di Tatar Pasundan Provinsi Jawa
Barat, Ibu Kota nya adalah Karawang. Dalam Bahasa Sunda, Karawang
mempunyai arti “Penuh dengan lubang”. Bisa jadi pada daerah Karawang Zaman
dulu banyak ditemui lubang. Di Kabupaten Karawang tentunya banyak kesenian
yang masih bertahan hingga masa kini, diantaranya Jaipongan, Topeng Banjet,
Odong-odong, dan Seni Egrang. Seni ini merupakan hasil kreasi dari para
seniman Karawang.
Jaipongan berasal dari “bunyi tepak (pukulan) kendang” yang
direfleksikan melalui mulut Jaipong “blak tuk blak tuk”. Kesenian yang satu ini
sangat digandrungi oleh lapisan masyarakat. Seperti dikatakan warga-warga
setempat Desa Segaran bahwa “Jaipong merupakan kesenian favorit masyarakat
sini, apalagi Bapak-bapak, suka nyawer ke sinden jaipong. Kalau ada acara
hajatan (Pernikahan) orang yang banyak sawah suka mendatangkan kesenian
jaipong sebagai pilihan untuk meramaikan pesta hajatan tersebut.”
Karawang dikenal sebagai “Goyang Karawang”. Istilah ini kini menjelma
ke arah erotis. Kesenian Jaipong ini mengalami perkembangan yang sangat pesat,
bukti perubahan nyata dalam kesenian ini adalah alat musik yang digunakan,
panggung, pencahayaan dan pengeras suara. Tidak hanya itu, cerita yang
berkembang dimasyarakat menilai Jaipong itu sebagai kesenian erotis karena
lengkukan pinggul seorang penari ketika diatas panggung. Kalau ada Jaipong
pasti banyak “bajidor” yang minum-minuman keras, memang hal ini benar adanya
ketika ada pagelaran kesenian Jaipong.

Selain Jaipongan kebiasaan masyarakat kompleks percandian apabila


musim hajatan mendatangkan Topeng Banjet.
Topeng Banjet merupakan bentuk teater rakyat
yang lahir, hidup dan berkembang di Karawang
sejak satu abad yang lalu.
Topeng Banjet ini mempertunjukan
kesenian berupa bodoran/lawakan yang
dimainkan oleh beberapa pemain utama dan
pembantu.
Kesenian ini sangat merakyat selain
bodorannya menarik, untuk panggung hanya bermodalkan kayu dan alas
seadanya. Kesenian yang satu ini juga digemari oleh anak-anak kecil sampai
orang tua dan bisa ditempatkan ala kadarnya. Ketika musim hajatan dan musim
panen pertunjukan tersebut dilangsungkan di area pesawahan masyarakat.

Kesenian selanjutnya ialah “Odong-odong”. Kesenian Odong-odong


berkembang cukup pesat di Kabupaten Karawang, kesenian ini menyerupai
Kesenian Gotong Sisingaan dari Kabupaten Subang, namun dalam Pagelaran
Odong-odong ada lawak jalanan yang dilengkapi Topeng yang cukup unik yakni
Menyon (penyot), dengan gerakan yang menggelikan, adapula Topeng bentuk
lainnya. Pagelararan ini berbentuk karnaval atau arak-arakan, dengan menggotong
anak yang akan di sunat di arak mengelilingi kampung atau jalan raya, dengan
diiringi Musik tradisional Karawang.
Dan yang terakhir
ada Seni Egrang yang
merupakan seni
ketangkasan yang berasal
dari Cina, Seni Egrang
biasanya dipadukan
dengan seni lainnya
seperti Odong-odong,
dengan kolaborasi Musik
Tradisional yang ada di
Kabupaten Karawang seperti Tanjidor, Ajeng dan lain sebagainya. Seni ini
biasanya dipentaskan pada HUT RI dan HUT Kabupaten Karawang dan arak-
arakan pengantin.

Anda mungkin juga menyukai