Anda di halaman 1dari 9

A.

    BIDANG POLITIK
Kebijakan pertama yang dilakukan Dai Nippon (pemerintah militer Jepang) adalah
melarang semua rapat dan kegiatan politik. Pada tanggal20 Maret 1942, dikeluarkan
peraturan yang membubarkan semua organisasi politik dan semua bentuk
perkumpulan. Pada tanggal 8 September 1942 dikeluarkan UU no. 2 Jepang
mengendalikan seluruh organisasi nasional.
Selain itu, Jepangpun melakukan propaganda untuk menarik simpati bangsa Indonesia
dengan cara:
 Menganggap Jepang sebagai saudara tua bangsa Asia (Hakko Ichiu) 
 Melancarkan semboyan 3A (Jepang pemimpin, Jepang cahaya dan Jepang
pelindung Asia) 
 Melancarkan simpati lewat pendidikan berbentuk beasiswa pelajar. 
 Menarik simpati umat Islam untuk pergi Haji 
 Menarik simpati organisasi Islam MIAI. 
 Melancarkan politik dumping 
 Mengajak untuk bergabung tokoh-tokoh perjuangan Nasional seperti: Ir.
Soekarno, Drs. M. Hatta serta Sutan Syahrir, dengan cara membebaskan tokoh
tersebut dari penahanan Belanda.
Selain propaganda, Jepang juga melakukan berbagai tindakan nyata berupa
pembentukan badan-badan kerjasama seperti berikut:
 Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dengan tujuan membujuk kaum Nasionalis
sekuler dan intelektual agar menyerahkan tenaga dan pikirannya untuk mengabdi
kepada Jepang. 
 Jawa Hokokai (Himpunan kebaktian Jawa) merupakan organisasi sentral dan
terdiri dari berbagai macam profesi (dokter, pendidik, kebaktian wanita pusat dan
perusahaan).
Penerapan sistem Autarki (daerah yang harus memenuhi kebutuhan sendiri dan
kebutuhan perang). Sistem ini diterapkan di setiap wilayah ekonomi. Contoh Jawa
menjadi 17 daerah, Sumatera 3 daerah, dan Meinsefu (daerah yang diperintah
Angkatan Laut) 3 daerah. Setelah penyerahan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang
di Kalijati maka seluruh daerah Hindia Belanda menjadi 3 daerah pemerintahan
militer:
 Daerah bagian tengan meliputi Jawa dan Madura dikuasai oleh tentara
keenambelas denagn kantor pusat di Batavia (Jakarta). 
 Daerah bagian Barat meliputi Sumatera dengan kantor pusat di Bukittinggi
dikuasai oleh tentara keduapuluhlima. 
 Daerah bagian Timur meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusantara, Maluku dan
Irian Jaya dibawah kekuasaan armada selatan kedua dengan pusatnya di
Makassar.
Selain kebijakan politik di atas, pemerintah Militer Jepang juga melakukan perubahan
dalam birokrasi pemerintahan, diantaranya adalah pembentukan organisasi
pemerintahan di tingkat pusat dengan membentuk Departemen dan pembentukan Cou
Sang In/dewan penasehat. Untuk mempermudah pengawasan dibentuk tiga
pemerintahan militer yakni:
 Pembentukan Angkatan Darat/Gunseibu, membawahi Jawa dan Madura
dengan Batavia sebagai pusat dan dikenal dengan tentara ke enam belas dipimpin
oleh Hitoshi Imamura. 
 Pembentukan Angkatan Darat/Rikuyun, yang membawahi Sumatera dengan
pusat Bukit Tinggi (Sumatera Barat) yang dikenal dengan tentara ke dua puluh
lima dipimpin oleh Jendral Tanabe. 
 Pembentukan Angkatan Laut/Kaigun, yang membawahi Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian dengan pusatnya Ujung Pandang
(Makasar) yang dikenal dengan Armada Selatan ke dua dengan nama Minseifu
dipimpin Laksamana Maeda.
Untuk kedudukan pemerintahan militer sementara khusus Asia Tenggara berpusat di
Dalat/Vietnam.

B.     BIDANG EKONOMI DAN SOSIAL


Pada kedua aspek ini, Anda akan menemukan bagaimana praktek eksploitasi ekonomi
dan sosial yang dilakukan Jepang terhadap bangsa Indonesia dan Anda bisa
membandingkan dampak ekonomi dan sosial dengan dampak politis dan birokrasi. 

Hal-hal yang diberlakukan dalam sistem pengaturan ekonomi pemerintah Jepang


adalah sebagai berikut:
1)        Kegiatan ekonomi diarahkan untuk kepentingan perang maka seluruh potensi
sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung
mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil perkebunan, pabrik, Bank dan perusahaan
penting. Banyak lahan pertanian yang terbengkelai akibat titik berat kebijakan
difokuskan pada ekonomi dan industri perang. Kondisi tersebut menyebabkan
produksi pangan menurun dan kelaparan serta kemiskinan meningkat drastis.
2)        Jepang menerapkan sistem pengawasan ekonomi secara ketat dengan sanksi
pelanggaran yang sangat berat. Pengawasan tersebut diterapkan pada penggunaan dan
peredaran sisa-sisa persediaan barang. Pengendalian harga untuk mencegah
meningkatnya harga barang. Pengawasan perkebunan teh, kopi, karet, tebu dan
sekaligus memonopoli penjualannya. Pembatasan teh, kopi dan tembakau, karena
tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan perang. Monopoli tebu dan gula,
pemaksaan menanam pohon jarak dan kapas pada lahan pertanian dan perkebunan
merusak tanah.
3)        Menerapkan sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah
sendiri dan menunjang kegiatan perang). Konsekuensinya tugas rakyat beserta semua
kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini jelas amat menyengsarakan
rakyat baik fisik maupun material.
4)        Pada tahun 1944, kondisi politis dan militer Jepang mulai terdesak, sehingga tuntutan
akan kebutuhan bahan-bahan perang makin meningkat. Untuk mengatasinya
pemerintah Jepang mengadakan kampanye penyerahan bahan pangan dan barang
secara besar-besaran melalui Jawa Hokokai dan Nagyo Kumiai (koperasi pertanian),
serta instansi resmi pemerintah. Dampak dari kondisi tersebut, rakyat dibebankan
menyerahkan bahan makanan 30% untuk pemerintah, 30% untuk lumbung desa dan
40% menjadi hak pemiliknya. Sistem ini menyebabkan kehidupan rakyat semakin
sulit, gairah kerja menurun, kekurangan pangan, gizi rendah, penyakit mewabah
melanda hampir di setiap desa di pulau Jawa salah satunya: Wonosobo (Jateng) angka
kematian 53,7% dan untuk Purworejo (Jateng) angka kematian mencapai 224,7%.
Bisa Anda bayangkan bagaimana beratnya penderitaan yang dirasakan bangsa
Indonesia pada masa Jepang (bahkan rakyat dipaksa makan makanan hewan seperti
keladi gatal, bekicot, umbi-umbian).
5)        Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasakan bertambah berat pada saat
rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Pakaian
rakyat compang camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak
penyakit gatal-gatal akibat kutu dari karung tersebut. Adapula yang hanya
menggunakan lembaran karet sebagai penutup.
Demikian bentuk praktek-praktek eksploitasi ekonomi masa pendudukan Jepang,
yang telah begitu banyak menghancurkan sumber daya alam, menimbulkan krisis
ekonomi yang mengerikan dan berakhir dengan tingginya tingkat kematian seperti
yang terjadi juga pada bidang sosial di bawah ini, khususnya pergerakan sosial yang
dilakukan pemerintah Jepang dalam bentuk Kinrohosi atau kerja bakti yang lebih
mengarah pada kerja paksa untuk kepentingan perang.
Luasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja
yang sebanyak-banyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu
pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan.
Tenaga untuk mengerjakan semua itu, diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat
penduduknya melalui suatu sistem kerja paksa yang dikenal dengan Romusha.
Romusha ini dikoordinir melalui program Kinrohosi/kerja bakti. Pada awalnya
mereka melakukan dengan sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka
pengerahan tenaga diserahkan pada panitia pengerah (Romukyokai) yang ada di setiap
desa. Banyak tenaga Romusha yang tidak kembali dalam tugas karena meninggal
akibat kondisi kerja yang sangat berat dan tidak diimbangi oleh gizi dan kesehatan
yang mencukupi. Kurang lebih 70.000 orang dalam kondisi menyedihkan dan
berakhir dengan kematian dari ± 300.000 tenaga Romusha yang dikirim ke Birma,
Muangthai, Vietnam, Malaya dan Serawak. (buku Sejarah kelas II Bumi Aksara). 
Kondisi sosial yang memprihatinkan tersebut telah memicu semangat Nasionalisme
para pejuang Peta untuk mencoba melakukan pemberontakan karena tidak tahan
menyaksikan penyiksaan terhadap para Romusha. 
Praktek eksploitasi/pengerahan sosial lainnya yang dapat Anda ketahui adalah bentuk
penipuan terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita penghibur ( Jung hu
Lanfu) dan disekap dalam kamp tertutup. Para wanita ini awalnya diberi iming-iming
pekerjaan sebagai perawat, pelayan toko, atau akan disekolahkan, ternyata dijadikan
pemuas nafsu untuk melayani prajurit Jepang di kamp-kamp: Solo, Semarang,
Jakarta, Sumatera Barat. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak gadis yang sakit
(terkena penyakit kotor), stress bahkan adapula yang bunuh diri karena malu.
(Sebagai gambaran Anda masih ingat film “Romusha” dengan latar belakang
penjajahan Jepang).
Adapun kebijakan pemerintah Jepang di bidang sosial yang dapat dirasakan
manfaatnya seperti pembentukan Tonarigami (RT), satu RT ± 10 - 12 kepala
keluarga. Pembentukan RT ini bertujuan untuk memudahkan pengawasan dan
memudahkan dalam mengorganisir kewajiban rakyat serta memudahkan pengawasan
dari pemerintah desa.
Perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia terjadi pada masa pemerintahan Jepang
berupa diterapkannya sistem birokrasi Jepang dalam pemerintahan di Indonesia
sehingga terjadi perubahan dalam institusi/lembaga sosial di berbagai daerah (lihat
struktur pemerintahan desa/sipil). 
Kini, Anda telah dapat mengetahui informasi kondisi politik - ekonomi dan sosial
bangsa Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Untuk lebih luas pemahaman Anda,
silahkan Anda kaji materi di bawah ini yang khusus membahas aspek kebudayaan.

C.    BIDANG BUDAYA
Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang pendidikan adalah
menghilangkan diskriminasi/perbedaan siapa yang boleh mengenyam/merasakan
pendidikan. Pada masa Belanda, Anda tentu masih ingat, yang dapat merasakan
pendidikan formal untuk rakyat pribumi hanya kalangan menengah ke atas, sementara
rakyat kecil (wong cilik) tidak memiliki kesempatan. Sebagai gambaran diskriminasi
yang dibuat Belanda, ada 3 golongan dalam masyarakat:
1. Kulit putih (Eropa) 
2. Timur Aing (Cina, India dll) 
3. Pribumi
Pola seperti ini mulai dihilangkan oleh pemerintah Jepang. Rakyat dari lapisan
manapun berhak untuk mengenyam pendidikan formal. Jepang juga menerapkan
jenjang pendidikan formal seperti di negaranya yaitu: SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan
SMA 3 tahun. Sistem ini masih diterapkan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini
sebagai satu bentuk warisan Jepang.
Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah penerapan sistem pendidikan
militer. Sistem pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk kepentingan perang.
Siswa memiliki kewajiban mengikuti latihan dasar kemiliteran dan mampu
menghapal lagu kebangsaan Jepang. Begitu pula dengan para gurunya, diwajibkan
untuk menggunakan bahasa Jepang dan Indonesia sebagai pengantar di sekolah
menggantikan bahasa Belanda. Untuk itu para guru wajib mengikuti kursus bahasa
Jepang yang diadakan.
Dengan melihat kondisi tersebut, Anda akan mendapatkan dua sisi, yaitu kelebihan
dan kekuarangan dari sistem pendidikan yang diterapkan pada masa Belanda yang
lebih liberal namun terbatas. Sementara pada masa Jepang konsep diskriminasi tidak
ada, tetapi terjadi penurunan kualitas secara drastis baik dari keilmuan maupun mutu
murid dan guru.
Diskusikan dengan teman, orang tua/siapa saja di lingkungan Anda yang diperkirakan
dapat memberi informasi: 
1. Penjajah Belanda dalam hal pendidikan lebih bersifat memecah belah dan
diskriminasi. 
    Coba apa alasannya. 
2. Pendidikan Jepang misalnya bidang militer seperti PETA apakah benar-benar
tulus? Jelaskan. 
Kondisi di atas tidak terlepas dari target pemerintah Jepang melalui pendidikan,
Jepang bermaksud mencetak kader-kader yang akan mempelopori dan mewujudkan
konsep kemakmuran bersama Asia Timur Raya, namun dengan jalan yang salah,
karena harus melalui peperangan Asia Timur Raya.
Satu hal yang paling menarik untuk Anda cermati adalah pemaksaan yang dilakukan
oleh pemerintah Jepang agar masyarakat Indonesia terbiasa melakukan penghormatan
kepada Tenno ( Kaisar) yang dipercayai sebagai keturunan dewa matahari ( Omiterasi
Omikami). Sistem penghormatan kepada kaisar dengan cara membungkukkan badan
menghadap Tenno, disebut dengan Seikeirei. Penghormatan Seikerei ini, biasanya
diikuti dengan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang ( kimigayo) . Tidak semua
rakyat Indonesia dapat menerima kebiasaan ini, khususnya dari kalangan Agama.
Penerapan Seikerei ini ditentang umat Islam, salah satunya perlawanan yang
dilakukan KH. Zainal Mustafa, seorang pemimpin pondok pesantren Sukamanah
Jawa Barat. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Singaparna. 
Ada hal yang dapat Anda ketahui dari kebijakan pemerintah Jepang di bidang budaya
yakni berkembangnya tradisi kerja bakti secara massal melalui kinrohosi/ tradisi
kebaktian di dalam masyarakat Indonesia. Adanya tradisi kebaktian, kerja keras dan
ulet dalam mengerjakan tugas. Nilai tradisi Jepang dan kemiliterannya melaui
semangat Bushido (semangat ksatria Jepang akan dapat Anda ketahui dari analisa
aspek militer).

ROMUSHA

1.      Latar belakang terjadinya Romusha.

Romusha ("rōmusha": "buruh", "pekerja") adalah panggilan bagi orang-orang


Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia
dari tahun 1942 hingga 1945.Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti
semacam “serdadu kerja”, yang secara harfiah diartikan sebagai seorang pekerja yang
melakukan pekerjaan sebagai buruh kasar. Tujuan Jepang melakukan tanam paksa
atau Romusha yaitu, untuk persiapan perang Asia Timur Raya serta memenuhi
kebutuhan tentara jepang, untuk lebih jelasnya lagi akan di bahas sebagai berikut:
Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan itu bersifat sukarela dan pengerahan tenaga
tersebut tidak begitu sukar dilakukan karena orang masih terpengaruh oleh
propaganda “untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya”.
Luasnya daerah pendudukan Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan
tenaga kerja yang sebanyak-benyaknya untuk membangun sarana pertahanan berupa
kubu-kubu pertahanan, lapangan udara darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan
jembatan. Kebanyakan romusha adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang
mewajibkan para petani menjadi romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai
tempat di Indonesia serta Asia Tenggara seperti Birma, Muangthai, Vietnam,
Malaysia, danSerawak.

2.      Ketenaga kerjaan Romusha

Dalam sidangnya yang pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat


antara lain  supaya dibentuk badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi
tenaga sukarela, melalui kerja sama dengan bupati, wedana, camat dan kepala desa
untuk pengerahan tenaga kerja (buruh) sekarela diperusahaan-perusahaan bala tentara
Jepang. Namun dalam pelaksanaannya persyaratan yang disampaikan oleh Chuo
Sangi In itu diabaikan. Pada hakikatnya mereka tidak lebih dari pekerja paksa. Seperti
halnya di Yogyakarta, tepatnya di desaTimbul Harjo, Bantul, pengerahan romusha
dilakukan oleh perangkat desa dengan cara mendatangi keluarga-keluarga yang
memiliki tenaga potensial untuk dijadikan romusha. Keluarga yang menolak, mereka
ditakut-takuti akan dikucilkan. Jika anak yang diminta itu tidak berada dirumah,
mereka biasanya mencari kesawah dan kalau sudah ketemu dibawa secara paksa
ketempat pengerahan.
Selama berada di tempat kerja sampai pulang ke kampung
halamannya, ternyata romushamendapat fasilitas sangat minim dan banyak yang
tidak diberiupah, tetapi tidak dapat menuntut karena memang tidak ada perjanjian
kerja tertulis. Mereka dikerahkan menjadi tenaga kerja paksa dan buruh yang diberi
upah selayaknya. Sebelum penyerahan Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942,
Jepang
telah memperhitungkan bahwa Pulau Jawa akan mampu menyediakan tenaga manusia
dalam jumlah yang memadai untuk memenangkan perang. Perhitungan itu didasarkan
atas kenyataan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa sangat banyak, ditambah lagi
dengan pertumbuhannya yang begitu pesat. Sehingga  Jepang tidak bakal mengalami
kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha, karena disamping itu jumlah
persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara paksa, dan tidak
perlu banyak pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu pula
untuk mencari pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa
terdapat persediaan manusia cukup banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka 
Jepang dengaleluasan memanfaatkan tenaga manusia yang ada di PulauJawa dan
dengan matinya beribu-ribu romusha seakan-akan tidak menjadi beban  moral.
Jumlah orang-orang yang menjadi romusha diperkirakan mencapai 4-10 juta
orang. Tenaga romusha diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya
melalui program Kinrohosi/kerjabakti. Pada awalnya mereka melakukannya dengan
sukarela, lambat laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga
diserahkan pada panitia pengerahan (Romukyokai) yang ada di setiapdesa. Waktu itu
setiap kepala keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak lelakinya untuk
berangkat menjadi romusha. Namun bagi golongan masyarakat kaya seperti
pedagang, pejabat, orang-orang Cina dapat menyogok pejabat pelaksana pengerahan
tenaga atau dengan membayar kawan sekampung yang miskin untuk
menggantikannya sehingga terhindar dari kewajiban untuk menjadi romusha.
Pemerintah jepang terus melancarkan kampanye pengerahan romusha yang
diberi sebutan "“ perajurit ekonomi “" atau "“ pahlawan kerja “" yang
digambarkannya sebagai orang yang sedang menjalani tugas suci guna memenangkan
perang Asia Timur Raya. Pada waktu itu pemerintah berhasil mengerahkan romusha
keluar jawa sebanyak 300.000 orang, sedangkan sekitar 70.000 orang dalam keadaan
yang menyedihkan.

3.      Kekejaman Romusha
Pada pertengahan tahun 1943, para romusa semakin di eksploitasi oleh Jepang.
Karena kekalahan Jepang pada Perang Pasifik, Romusa romusa ini digunakan sebagai
tenaga swasembada untuk mendukung perang secara langsung. Karena disetiap
angkatan perang Jepang membutuhkan tenaga tenaga kerja paksa ini untuk
mengefisiensikan biaya perang Jepang. Pada situasi seperti ini, permintaan terhadap
romusa semakin tak terkendali.
Jika kita melihat angka tahunnya, proyek romusa di Indonesia be rjalan dalam
tempo dua tahun. Bukanlah waktu yang pendek untuk menghasilkan penderitaan dan
kematian sebagaimana yang terungkap dalam data diatas. Barulah pada tahun 1945,
Hindia Belanda merdeka menjadi Indonesia, serta mengakhiri proyek dan impian
kolonialisasi Jepang.
PM Jepang Junichiro Koizami menyampaikan permintaan maaf yang mendalam
atas kekejaman balatentaranya pada Perang Dunia II (1942-1945) yang
mengakibatkan penderitaan rakyat di kawasan Asia. Permintaan maaf tersebut
disampaikan saat bertemu Presiden RRC Hu Jintao di se la-sela KTT Asean 2005 di
Jakarta.
Tampaknya, permintaan maaf itu tidak hanya ditujukan pada Cina dan Korea
Selatan, tapi juga negara Asia termasuk Indonesia yang diduduki Jepang saat PD II.
Akibat penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun rakyat Indonesia mengalami
penderitaan luar biasa.
Hanya di awal pendudukan, Jepang bersikap baik. Setelah itu mereka sangat
kejam. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena
sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Sedangkan
wanita menggunakan kain dari karet yang panas menempel di tubuh. Hanya orang
berada yang memiliki baju seadanya. Yang paling menyedihkan, rakyat sulit
mendapat obat-obatan. Termasuk di rumah-rumah sakit. Mereka yang menderita
koreng dan jumlahnya banyak sekali, sulit mendapatkan salep. Terpaksa uang
gobengan di gecek dan ditemplok ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.
Sepeda kala itu bannya terbuat dari karet, atau ‘ban mati’. Di sekolah-sekolah
buku tulis terbuat dari kertas merang. Potlot dari arang, hingga sulit sekali menulis.
Masa itu, banyak orang berebut makanan bekas di bak-bak sampah. Bila ada mayat di
jalan tidak lagi mengagetkan. Jepang mengajarkan rakyat makan bekicot yang oleh
orang Betawi disebut ‘kiong racun’. Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir
orang disegel. Hanya boleh mendengarkan siaran pemerintah Dai Nippon. Ketahuan
menyetel siaran luar negeri dapat hukuman berat. Orang akan bergidik bila
mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.
Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya
serangan udara dari tentara sekutu. Rakyatpun setelah memadamkan lampu cepat-
cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang
untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara.
Kekejeman Jepang itu pernah difilmkan dengan judul Romusha, istilah Jepang
yang berarti pekerja paksa. Film produksi 1972 yang telah lolos sensor itu tidak
beredar karena ditahan oleh Deppen. Alasannya, mengganggu hubungan Indonesia-
Jepang. Pada masa Orba, kebijakan pemerintah sulit dilawan. Meskipun ada sedikit
protes dari pihak perfilman, tapi Deppen yang mendapat perintah dari ‘atasan’ tidak
meladeninya. Konon, larangan film tersebut, seperti dituturkan produsernya Julies
Rofi’ie, atas tekanan pemerintah Jepang.
Ratusan ribu tenaga kerja romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa,
bahkan ke luar wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga
banyak yang menolak jadi romusha. Dan, Jepang pun menggunakan cara paksa: setiap
kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja, setelah
mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan pertempuran
Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Burma dan beberapa negara
lainnya. Banyak kisah-kisah sedih yang mereka alami di hutan belukar, hidup dalam
serba kekurangan dan di tengah ancaman bayonet. Sampai kini masih banyak eks
romusha korban PD II mengajukan klaim agar Jepang membayar konpensasi gaji
mereka yang tidak dibayar selama jadi romusha.

4.      Dampak Romusha.

Romusha memberikan akibat yang mendalam bagi bangsa indonesia meskipun


Jepang menjajah Indonesia hanya seumur jagung apa yang dikatakan oleh ramalan
Joyoboyo, atau lebih tepatnya 3 ½ tahun jepang menjajah indonesia yaitu pada tahun
1942-1945 tetapi dalam waktu yang sesingkat itu memumbuhkan dampak yang sangat
mendalam bagi bangsa indonesia karena pada waktu itu sangat menderita dengan
adanya romusha rakyat indonesia hidup bagaikan tulang tanpa daging pakaian
compang-camping kelaparan dimana-mana atau rakyat indonesia dibawah titik nadir
masyarakat yang terbelakang, miskin, teringgal untuk lebih khusus lagi akan
dipaparkan dampak dari Romusha sebagai berikut:
A.     Bidang Ekonomi:
 Keadaan ekonomi di Indonesia mengalami kemerosotan. Penyebabnya antara lain
adalah sebagai berikut:
a.       Para penyuluh pertanian bukan tenaga-tenaga ahli pertanian.
b.      Hewan-hewan yang berguna bagi pertanian banyak yang dipotong.
c.       Kurangnya tenaga kerja petani karena banyak yang dijadikan romusha.
d.      Banyaknya penebangan hutan liar.
e.       Kewajiban menyerahkan hasil bumi.

B.     Bidang Sosial dan Budaya:


            kepala–kepala desa dan camat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan itu
sering menunjukkan untuk menjadi romusha dipilih orang–orang yang tidak mereka
sukai atau dipilih orang yang ditakuti oleh masyarakat desa setempat. Berjuta- juta
rakyat menderita kelaparan dan serba kekurangan.Dijalankannya program kerja tanam
paksa romusha lebih menambah hancurnya perasaan ketentraman masyarakat jawa.
Pengaruh buruk dari sistem romusha itu masih ditambah lagi oleh pelaksanaan
setempat yang memungkinkan dapat dibelinya pengecualian atau kewajiban menjadi
romusha.

Anda mungkin juga menyukai