Anda di halaman 1dari 27

Kurikulum 2006 K

e
l
a
s

sejarah XI

MASUKNYA PENGARUH PRANCIS DAN PENDUDUKAN INGGRIS

SEMESTER 1 KELAS XI SMA/MA/SMK/MAK

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan
sebagai berikut.
1. Menganalisis hubungan Prancis-Belanda dan pengaruhnya terhadap
kolonialisme di Indonesia.
2. Menganalisis Hindia Belanda pada masa pemerintahan Gubernur
Jendral H.W. Daendels.
3. Menganalisis kebijakan-kebijakan Gubernur Jendral H.W. Daendels
dan reaksi masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
4. Menganalisis Hindia Belanda pada masa pemerintahan Letnan
Gubernur Thomas Stamford Raffles.
5. Menganalisis penyerahan kembali wilayah Hindia Belanda kepada
Kerajaan Belanda.

A. Hubungan Prancis – Belanda dan Pengaruhnya Terhadap


Kolonialisme di Indonesia
1. Revolusi Prancis
Revolusi Prancis merupakan perubahan bentuk pemerintahan Prancis
dari kerajaan menjadi republik yang terjadi pada masa pemerintahan
Louis XVI pada abad ke-18. Revolusi ini dilatarbelakangi oleh kehidupan
politik dalam lingkungan istana raja Eropa yang absolut. Saat itu, para
raja memiliki kekuasaan mutlak dalam semua aspek kehidupan negara.
Raja-raja tersebut menganggap negara adalah dirinya dan mereka adalah
wakil Tuhan di bumi.
Berkuasanya raja-raja yang absolut tersebut kemudian dikritisi oleh
kaum intelektual, baik dari Prancis maupun dari negara lainnya di Eropa.
Kritik para kaum intelektual tersebut menginspirasi masyarakat di
Prancis untuk menumbangkan kekuasaan raja yang otoriter. Para tokoh-
tokoh intelektual, di antaranya adalah John Locke, Montesquieu, dan
Jean Jacques Rousseau.
Struktur masyarakat Prancis pada saat sebelum terjadi revolusi yang
membagi golongan masyarakat secara diskriminatif juga menjadi salah
satu latar belakang munculnya revolusi Prancis. Penggolongan masyarakat
Prancis ke dalam empat golongan, yaitu golongan raja dan bangsawan,
golongan pendeta, golongan borjuis, dan golongan rakyat jelata dianggap
bertentangan dengan pemikiran kaum intelektual tentang pentingnya
kesetaraan.
Golongan pertama dan golongan kedua memiliki hak-hak istimewa.
Golongan ini adalah golongan raja dan bangsawan serta pendeta. Hak-
hak istimewa tersebut seperti hak memiliki kekuasaan politik, hak
milik tanah, dan hak mendapat kebebasan pajak. Namun, golongan
ketiga, yaitu orang-orang borjuis merasa diperlakukan tidak adil oleh
golongan pertama dan kedua. Kaum borjuis merasa menjadi korban
dari pengenaan pajak yang tinggi dari pemerintah. Golongan inilah
yang paling menyadari akan hak-hak mereka serta berusaha keras
untuk menentang golongan yang berkuasa tersebut. Melalui gerakan
revolusioner, golongan ini menginspirasi rakyat jelata sebagai golongan
keempat yang paling tertekan untuk melakukan gerakan menumbangkan
absolitisme di Prancis.
Dalam situasi yang semakin memburuk ini, Raja Louis XVI mulai
kehilangan kendali. Pada 1789, ia mengerahkan 20.000 pasukan untuk
membubarkan Dewan Nasional di Paris. Rakyat yang marah akibat
ulah Raja Louis XVI berusaha mencari senjata dan mempertahankan

2
Dewan Nasional. Terjadilah tindakan
kekerasan di Paris antara pasukan raja
dengan penduduk yang bersimpati
dengan Dewan Nasional. Peristiwa
tersebut mencapai puncaknya di
Bastille. Pada 14 Juli 1789, rakyat yang
marah menyerbu Penjara Bastille,
yaitu penjara yang didirikan oleh Raja
Louis XVI dan diperuntukkan bagi Gambar 1. Penyerbuan Penjara Bastille
siapa saja yang berani menentang
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/
keinginan raja. Bahkan tidak jarang Berkas:Anonymous_-_Prise_de_la_
pula, penahanan dilakukan terhadap Bastille.jpg
orang-orang yang tidak disenangi
oleh raja. Mereka ditahan dengan surat penahanan tanpa sebab yang
disebut dengan lettre du cast.
Dengan penyerbuan ke Penjara Bastille, mereka membebaskan semua
tahanan politik yang seluruhnya berjumlah 7 orang, membunuh penjaga
penjara dan para pejabatnya, serta merebut amunisi yang tersimpan di
penjara. Mereka kemudian menyerbu balai kota dan membunuh wali
kota yang diakhiri dengan terbentuknya pemerintahan kota baru yang
dipimpin oleh golongan menengah. Akhirnya, Louis XVI menyadari
adanya gerakan revolusi sehingga ia menarik pasukannya dan menerima
pemerintahan baru di Kota Paris.
Pada 4 Agustus 1789, sebagian besar golongan bangsawan dan gereja
bergabung dengan Dewan Nasional. Mereka sepakat untuk menghapuskan
kewajiban-kewajiban feodal serta melepaskan hak-hak istimewa mereka
di bidang politik dan perpajakan. Peristiwa itu merupakan perubahan
yang sangat revolusioner karena sistem feodalisme Prancis yang sudah
kokoh dapat dihancurkan dalam waktu satu hari. Pada 26 Agustus 1789
dikeluarkan deklarasi mengenai hak-hak manusia dan warga negara.
Melalui deklarasi tersebut rakyat Prancis memiliki hak merdeka (liberty),
hak milik (proverty), hak keamanan (security), dan hak perlindungan
dari tindakan kekerasan (resistance to oppression). Prinsip-prinsip
kemerdekaan, persamaan, dan hak-hak alami dirumuskan kembali

3
dalam Konstitusi Prancis yang baru. Konstitusi tersebut menjamin hak-
hak rakyat serta membatasi kekuasaan raja. Raja Louis XVI pun akhirnya
menerima konstitusi baru tersebut sehingga Prancis menjadi monarki
konstitusional, yaitu kerajaan yang memiliki undang-undang dasar.
Pada Juni 1791, Raja Louis XVI berencana meninggalkan Prancis dan
dipercaya akan memimpin pasukan untuk menghancurkan hasil-hasil
revolusi. Rakyat Prancis yang mengetahui marah dan berhasil mencegah
rencana tersebut. Akhirnya dewan legislatif membubarkan pemerintahan
monarki pada Agustus 1792 dan menangkap seluruh anggota keluarga raja.
Revolusi menjadi semakin radikal sehingga berujung pada dieksekusinya
sejumlah orang golongan royalis, yaitu golongan yang setia pada Raja
Louis XVI pada September 1792. Raja Louis sendiri serta istrinya dijatuhi
hukuman mati dengan dipancung menggunakan quillotine pada 22 Januari
1973.

2. Revolusi di Belanda oleh Para Patriot


Berakhirnya kekuasaan Raja Louis XVI akibat revolusi Prancis pada
1792 menyebabkan semangat revolusi tersebut menyebar ke seluruh
Eropa secara perlahan. Kerajaan-kerajaan Eropa kemudian bersatu
untuk menghadapi konsep baru pemerintahan yang digulirkan Prancis.
Kerajaan Inggris dan Austria kemudian bersatu dan menjadi sebuah
simbol dari blok monarki yang akan berhadapan dengan Prancis yang
republik. Awalnya kerajaan Belanda bersikap netral terhadap polemik
yang terjadi di Eropa tersebut. Namun, setelah Prancis menaklukkan
Belgia, Prancis kemudian mengumumkan perang kepada Belanda pada
1 Februari 1793. Prancis kemudian menyerang Belanda dengan kekuatan
600 kapal perang dan lebih dari 100.000 prajurit.
Dalam penyerangan Prancis ke Belanda, di dalamnya terdapat
kaum Patriot Belanda. Kaum Patriot Belanda adalah sebuah kelompok
yang terinspirasi oleh semangat revolusi Prancis. Mereka membenci
pemerintahan feodalisme dan menginginkan sebuah persamaan derajat
dalam sebuah negara. Kaum Patriot ini menginginkan sebuah pemerintahan
republik berdiri di negeri Belanda sehingga mereka merasa perlu untuk
membantu Prancis menggulingkan kekuasaan Raja Willem V.

4
Salah satu tokoh dari kaum patriot adalah Daendels. Bergabung
dengan kaum patriot pada 1783, dengan semangat revolusi Prancis, ia
ingin menggulingkan pemerintahan Raja Willem V. Pada 9 Mei 1787,
kaum Patriot melakukan pemberontakan dan berhasil mengalahkan
pasukan Kerajaan Belanda. Akan tetapi, Raja Willem V yang terdesak
meminta bantuan dari Raja Prusia untuk mengalahkan kaum patriot.
Kaum patriot yang terdesak akhirnya harus melarikan diri ke Prancis,
di sana mereka bergabung dengan Legiun Asing Prancis. Atas perintah
Napoleon kemudian Daendels dan kaum patriot mendapatkan perintah
untuk menyerang Belanda.

3. Pembentukan Republik Bataaf


Penyerangan Prancis terhadap
Belanda berhasil dengan gilang-
gemilang. Raja Willem V yang
terdesak akhirnya melarikan diri ke
Inggris dan tinggal di sana selama
pendudukan Prancis atas Belanda.
Dengan adanya kejadian ini, bentuk
pemerintahan kerajaan berganti
menjadi bentuk pemerintahan Gambar 2. Bendera Republik Bataaf
republik yang kemudian diberi nama Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/
File:Flag_of_the_navy_of_the_Batavian_
Republik Bataaf, yang alam bahasa
Republic.svg
Belanda disebut Bataafche Republiek
(1795 – 1806). Repubik ini dipimpin oleh Louis Napoleon yang merupakan
saudara dari Napoleon Bonaparte.
Perubahan geopolitik inilah yang menjadikan VOC bubar. Setelah
VOC bubar, segala hal serta kewajiban diambil alih Republik Bataaf,
termasuk penyelesaian utang-piutang. Sementara itu, Raja Willem V
dalam pengasingan ke Inggris oleh pemerintah ditempatkan di Kota
Kew. Dalam pengasingan tersebut, Raja Willem V mengeluarkan perintah
yang dikenal dengan “Surat-Surat Kew”. Isi perintah tersebut Agar semua
penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada

5
Inggris dan bukan kepada Prancis. Hal ini membuat pihak Inggris
bertindak cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia Timur,
seperti Padang pada 1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda pada
1796. Inggris juga memperkuat armadanya guna melakukan blokade
terhadap Batavia.
Terbentuknya Republik Bataaf membuat sebuah hubungan baru
antara Belanda dengan Prancis. Republik Bataaf yang didukung oleh
Prancis harus menyepakati perjanjian Dan Haag pada 16 Mei 1795. Pada
perjanjian ini, Prancis mengakui dan mendukung Republik Bataaf.
Sebaliknya, pemerintahan Republik Bataaf harus mendukung Prancis
dalam menghadapi lawan-lawannya di Eropa. Republik Bataaf juga
harus membiayai 25.000 tentara Prancis yang berada di Belanda. Selain
itu, Republik Bataaf harus membayar 100 juta gulden sebagai kerugian
perang.
Sistem pemerintahan Republik Bataaf tidak secara total dipegang
oleh orang Belanda. Napoleon Bonaparte menunjuk kakaknya Louis
Napoleon sebagai pemimpin dari Republik Bataaf. Selain itu, dalam hal
kebijakan politik, ekonomi, militer, serta urusan luar negeri, Republik
Bataaf dipegang oleh Prancis sehingga perwakilan Prancis di Belanda
mempunyai jabatan seperti seorang gubernur dan menempatkan Belanda
seperti salah satu provinsi dari Prancis. Sistem ini tidak hanya berlaku
di Belanda, tetapi juga berlaku di seluruh tanah koloni Belanda termasuk
Hindia Timur.
Untuk mempertahankan Nusantara dari serangan Inggris, Louis
Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda yang merupakan seorang dari kaum patriot.
Dengan demikian, pemerintahan Daendels merupakan pemerintahan
atas nama Prancis. Hal itu berarti secara tidak langsung Prancis
menjajah Hindia Timur.

6
B. Hindia Belanda pada Masa Pemerintahan Gubernur Jenderal
H. W. Daendels
1. Tujuan Datangnya Daendels
Perang yang berkecamuk pada 1803 di Eropa antara dua negara imperialis
(modern), yaitu Inggris dan Prancis membawa dampak luas pada kondisi
di Eropa, bahkan di berbagai belahan bumi lainnya yang termasuk dalam
wilayah jajahan atau koloni kedua negara imperialis tersebut. Inggris
memang merupakan musuh utama Prancis, kedua negara tersebut
memiliki sejarah rivalitas yang cukup panjang dan saling bersaing untuk
menunjukkan superioritas sebagai negara terkuat bahkan dalam hal
kepemilikan tanah jajahan.
Keadaan seperti ini membawa
dampak bagi negara-negara imperialis
Eropa lainnya termasuk Belanda. Pada
1804, Napoleon Bonaparte menjadi
kaisar, sedangkan saudaranya Louis
Bonaparte menjadi Raja Belanda. Dengan
demikian, kerajaan Belanda menjadi
negara vasal Prancis atau negara jajahan
Prancis. Itu artinya semua daerah jajahan
Belanda secara tidak langsung menjadi
milik Prancis termasuk Hindia Timur
(Nusantara). Perang ini juga sampai ke
kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Gambar 3. Herman Willem
Inggris dengan EIC-nya yang saat itu Daendels
sudah memiliki koloni di India, telah Sumber: https://en.wikipedia.org/
wiki/File:Posthumous_Portrait_of_
pula sampai ke kawasan Semenanjung
Herman_Willem_Daendels,_Governor-
Malaya (Malaysia, Singapura) dan siap General_of_the_Dutch_East_Indies_-_
merebut Hindia Timur. Dengan kata Rd_Saleh.jpg
lain, hal yang terjadi di Eropa berdampak
pada nasib Hindia Timur.

7
Hal ini berarti pula jajahan Belanda di Hindia Timur terancam direbut
oleh Inggris. Ancaman tersebut semakin menjadi setelah Napoleon
Bonaparte melancarkan sistem kontinental terhadap Inggris, yaitu blokade
laut terhadap Inggris di Eropa yang membuat putusnya hubungan antara
Inggris dengan dunia luar. Hubungan Hindia Timur dengan Eropa pun
terputus, pemerintahan Belanda dan Prancis sadar bahwa tidak mungkin
mengirim bantuan ke Batavia. Hal yang bisa dilakukan hanya mengutus
seorang gubernur jenderal yang dapat bertindak lebih dalam. Artinya
dapat berbuat sesuatu dengan cepat untuk mengantisipasi kemungkinan
serangan Inggris ke Nusantara terutama Jawa yang merupakan pusat
pemerintah kolonial.
Oleh sebab itu, maka dikirimlah Herman Willem Daendels yang
merupakan kaum patriot dan berpandangan liberal. Daendels adalah
kaum muda yang berasal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh
ajaran Revolusi Prancis. Dalam berbagai pidato yang disampaikannya,
Daendels tak lupa mengutip semboyan Revolusi Prancis karena Daendels
ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan di
lingkungan masyarakat Hindia Timur. Ia juga ingin memberantas praktik-
praktik yang dinilainya feodalistik. Hal ini bertujuan agar masyarakat
lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik
Bataaf). Langkah ini untuk mencegah kekuasaan yang mungkin bisa
disalahgunakan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang
terkait dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat.
Tugas utama dikirimnya Daendels adalah untuk mempertahankan
Jawa agar tidak dikuasai Inggris, ia juga harus memperkuat pertahanan,
dan memperbaiki administrasi pemerintahan. Daendels juga ditugasi
untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi di Nusantara, khususnya
di tanah Jawa. Seperti yang terlihat, tanah Jawa menjadi sangat penting
dan strategis dalam mengatur pemerintahan kolonial di Nusantara
sehingga hal menyelamatkan dan mempertahankan Jawa menjadi sangat
penting. Tugas-tugas Daendels langsung berada di bawah perintah serta
pengawasan Kementerian Jajahan (ministerie van kolonien) di bawah
pimpinan Paulus van der Heim.

8
2. Kebijakan-Kebijakan Daendels
Untuk mengemban dan memenuhi pesan dari pemerintah induk, Daendels
melakukan beberapa kebijakan strategis pada beberapa bidang.
a. Bidang Pertahanan dan Keamanan
Langkah-langkah Daendels dalam melaksanakan tugas untuk
mempertahankan tanah Jawa dari serangan Inggris adalah sebagai
berikut.
1.) Membangun benteng-benteng pertahanan yang baru di antaranya
benteng Meester Cornelis dan Benteng Lodewijk di Surabaya.
Dalam benteng ini dibangun tangsi militer untuk menempatkan
prajurit. Daendels juga membangun rumah sakit-rumah sakit.
Untuk memenuhi kebutuhan persenjataan di Surabaya, Daendels
membangun pabrik senjata dan juga membangun pabrik meriam
di Semarang.
2.) Membangun pangkalan angkatan laut di daerah Anyer dan
Ujungkulon. Akan tetapi, pembangunan di Ujungkulon bisa
dikatakan tidak berhasil.
3.) Merekrut orang-orang pribumi untuk menjadi tentara karena
ketika Daendels pergi ke Hindia Timur ia tidak membawa
pasukan. Daendels segera menambah jumlah pasukan dari
orang-orang pribumi, yakni dari 4000 orang menjadi 18.000
orang. Hal ini dilaksanakan dengan mendirikan sekolah militer
di Batavia.
4.) Membangun jalan De Groote Postweg (Jalan Raya Pos) dari Anyer
sampai Panarukan sepanjang ± 1.100 km. Pembangunan jalan
ini dimaksudkan untuk menyambungkan Pulau Jawa sehingga
mempercepat mobilitas prajurit jika suatu daerah diserang
oleh pasukan Inggris. Jalan ini sering disebut dengan Jalan
Daendels yang sekarang lebih dikenal dengan Jalur Pantai Utara
(Pantura).

9
Program yang dilaksanakan di bidang pertahanan dan keamanan
tersebut telah mengubah citra Daendels. Pada awalnya dikenal sebagai
tokoh muda yang demokratis dengan semboyan liberte, egalite, dan
fraternite. Akan tetapi setelah memegang pemerintahan, Daendels
berubah menjadi seorang diktator. Ia mengerahkan rakyat untuk
kerja rodi sehingga membuat rakyat yang sudah jatuh miskin menjadi
semakin menderita. Terlebih pada kerja rodi dalam pembuatan
pangkalan di Ujungkulon yang lokasinya begitu jauh, sulit dicapai,
dan penuh akan sarang nyamuk malaria. Hal tersebut menyebabkan
banyak rakyat yang menjadi korban sehingga jatuh sakit dan tidak
sedikit yang meninggal.

b. Bidang Politik dan Pemerintahan


Dalam bidang pemerintahan, Daendels melakukan berbagai
perubahan dan melakukan campur tangan dan perubahan dalam
tata cara dan adat istiadat pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Jika
sebelumnya pejabat VOC berkunjung ke istana Kasunanan Surakarta
atau Kasultanan Yogyakarta ada tata cara tertentu. Sebagai contoh
harus memberi hormat kepada raja dan tidak boleh menggunakan
payung emas, lalu membuka topi, dan duduk di tempat duduk yang
lebih rendah dari dampar (kursi singgasana raja).
Namun, tata cara itu tidak berlaku bagi Daendels. Ketika Daendels
berkunjung, ia akan menggunakan payung emas dan harus duduk di
kursi yang tingginya sama dengan dampar serta tidak perlu membuka
topi. Atas perubahan adat istiadat ini, Sunan Pakubuwana IV dari
Kasunanan Surakarta dengan terpaksa menerima. Akan tetapi, Sultan
Hamengkubuwono II menolak kebijakan Daendels tersebut. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya perseteruan antara kedua belah
pihak, dari sinilah benih-benih nasionalisme tumbuh di lingkungan
Kasultanan Yogyakarta.
Dalam rangka memperkuat kedudukannya di tanah Jawa,
Daendels berhasil memengaruhi Mangkunegara II untuk membentuk
pasukan “Legiun Mangkunegara” dengan banyak prajurit 1.150 orang.

10
Pasukan ini dibentuk untuk membantu pasukan Daendels apabila
terjadi perang. Dengan semua kekuatan yang ia miliki, Daendels
menjadi semakin berani dan congkak. Ia mulai melakukan intervensi
terhadap pemerintahan di Kasunanan Surakarta dan juga Kasultanan
Yogyakarta. Selain itu, Daendels juga melakukan beberapa tindakan
untuk memperkuat kedudukannya di Nusantara sebagai berikut.
1.) Membatasi kekuasaan raja-raja di Jawa.
2.) Daendels memerintah secara sentralistik dengan cara membagi
Pulau Jawa menjadi 23 wilayah besar (hooddafdeeling) yang pada
akhirnya dikenal dengan keresidenan. Setiap keresidenan dibagi
menjadi beberapa kabupaten.
3.) Daendels juga merombak Provinsi Jawa Pantai Timur Laut
menjadi 5 prefektur (wilayah yang otoritas) dan 38 kabupaten.
Dengan adanya hal ini, Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan
dari daerahnya dan dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan
kolonial.
4.) Kedudukan bupati pada saat itu diubah menjadi pegawai
pemerintah yang digaji.

c. Bidang Peradilan
Dalam rangka memperlancar jalannya pemerintahan serta mengatur
ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Daendels juga melakukan
perbaikan pada bidang peradilan. Ia berusaha memberantas berbagai
bentuk penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai peraturan
berikut ini.
1.) Dengan membentuk tiga jenis peradilan:
• peradilan untuk orang-orang Eropa;
• peradilan untuk orang-orang Timur Asing;
• Peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk
orang-orang pribumi ini dibentuk di setiap prefektur, seperti
di Batavia, Surabaya, dan Semarang.

11
2.) Membuat peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa
pandang bulu dan diberlakukan terhadap siapa saja termasuk
orang-orang Eropa dan Timur Asing.

d. Bidang Sosial Ekonomi


Dalam menjalankan pemerintahan, Daendels juga ditugaskan
untuk memperbaiki keadaan Hindia Timur di samping tugas
mengumpulkan dana untuk membiayai perang. Oleh sebab itu, ia
melakukan berbagai tindakan yang bisa mendatangkan keuntungan
bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakannya antara lain sebagai
berikut.
1.) Memaksakan berbagai macam perjanjian dengan penguasa
Surakarta dan Yogyakarta yang dasarnya melakukan penggabungan
banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial.
2.) Meningkatkan upaya pemasukan uang dengan cara memungut
pajak dan penjualan tanah kepada pihak swasta.
3.) Meningkatkan penanaman tanaman yang bisa dijual di pasaran
dunia.
4.) Mengharuskan rakyat untuk melaksanakan penyerahan wajib
hasil pertaniannya.
5.) Melakukan penjualan-penjualan tanah kepada pihak swasta.

3. Pembangunan Bandung sebagai Paris van Java


Pada 1896 wilayah Bandung belum menjadi suatu kota, melainkan
masih berupa kampung yang memiliki penduduk berkisar 29.382
orang, di antaranya sebanyak 1.250 orang adalah berkebangsaan
Eropa. Kota Bandung mulai dijadikan kawasan pemukiman sejak masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Ia secara
resmi mengeluarkan surat keputusan pada 25 September 1810 yang
berisikan tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk daerah
tersebut. Kemudian peristiwa tersebut diabadikan sebagai Hari Jadi Kota
Bandung. Bagi Daendels, Bandung merupakan persembahan dirinya

12
kepada Napolen Bonaparte sehingga pembangunan Kota Bandung sangat
mencontoh dari pembangunan Kota Paris sehingga munculah istilah
“Paris van Java”. Julukan ini diberikan oleh orang Eropa kepada Kota
Bandung karena keindahan alam dan kesejukan udaranya hampir sama
dengan daerah Prancis Selatan.

C. Kebijakan-Kebijakan Gubernur Jenderal H.W. Daendels dan


Reaksi Masyarakat
1. Pembangunan Jalan Raya Anyer - Panarukan
Kedatangan Daendels yang berusaha
memberantas ketidakefisienan,
penyelewengan, dan korupsi
yang menyelimuti administrasi
Belanda serta langkah-langkah
pembaruannya yang lain tidak
begitu berhasil. Ia memiliki
perasaan tidak suka yang muncul
dari naluri anti feodalnya terhadap
para penguasa Jawa (bupati) di
wilayah-wilayah yang dikuasai
Belanda. Baginya, mereka
bukanlah penguasa atau pemimpin
masyarakat melainkan pegawai
Gambar 4. Patung Daendels dan Pangeran
administrasi Eropa. Akhirnya, ia Kusumadinata IX
pun mengurangi wewenang dan Sumber: https://commons.wikimedia.org/
penghasilan mereka. wiki/File:Monument_of_Cadas_Pangeran_-_
panoramio.jpg
Perlawanan simbolik yang
paling terkenal adalah datang dari
Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX. Pembangunan jalan Anyer
– Panarukan yang melewati Sumedang sebenarnya ditentang oleh Bupati
Sumedang karena dianggap menyengsarakan rakyat mengingat kontur
jalan yang dibangun di Sumedang adalah jalur curam dan berbahaya.
Pangeran Kusumadinata IX yang menemui Dendeals saat itu melakukan

13
perlawanan simbolis dengan cara berjabat tangan dengan menggunakan
tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang keris yang tersemat
di pinggangnya.
Pangeran Kusumadinata IX juga sempat menantang Daendels untuk
berduel, hal ini dilakukan agar tidak melibatkan dan menyusahkan
rakyat. Atas aksinya ini, Daendels akhirnya berjanji akan memerintahkan
zeni untuk membangun jalan tersebut. Namun Daendels ingkar dan
melakukan penyerbuan terhadap Sumedang hingga terbunuhnya
Pangeran Kusumadinata IX.

2. Konflik dengan Kesultanan Yogyakarta


Daendels memperlakukan para penguasa Jawa Tengah seakan-akan
merupakan vasal-vasal Batavia. Berdasarkan hukum, tindakan yang
dilakukannya tidak salah karena perjanjian pada 1749 telah menyerahkan
kedaulatan kepada VOC. Akan tetapi, Batavia sesungguhnya tidak pernah
berusaha melaksanakan kekuasaan di wilayah pedalaman. Para residen
di istana-istana berganti nama menjadi “minister” dan bukan “residen”.
Mereka dipandang bukan sebagai duta
dari Sekutu, melainkan sebagai wakil-
wakil lokal dari kekuasaan pemerintahan
Eropa yang diwakili oleh Batavia dan
gubernur jenderal. Untuk semua urusan
protokol, mereka sederajat dengan Raja
Jawa. Hal ini merupakan pelanggaran
langsung terhadap hubungan yang sudah
terjalin sejak 1750-an. Pakubuwana IV bisa
Gambar 5. Sultan
menerima perubahan-perubahan tersebut. Hamengkubuwono II
Akan tetapi, Hamengkubuwono II menolak Sumber: https://en.wikipedia.
perubahan-perubahan tersebut. Dari hal org/wiki/Hamengkubuwono_II#/
inilah kemudian bermula konflik yang media/File:Hamengkubuwono_
II.jpg
panjang dengan akhir meletusnya Perang
Jawa.

14
Seperti yang diketahui Daendels datang tidak membawa pasukan
baru bersama, tetapi dia meningkatkan jumlah pasukan yang sebagian
besar terdiri dari orang bumiputra. Prajurit-prajurit yang baru tersebut
tidak mempunyai sikap disiplin yang baik dan berkelakuan buruk dalam
beberapa perisitiwa. Walau begitu, kekuatan militer di bawah Daendels di
Jawa tidak bisa dianggap remeh. Akan tetapi Hamengkubuwono II tetap
mengabaikannya dan menentang semua pembaruan-pembaruan dari
Daendels.
Hamengkubuwono II belum bermaksud untuk melancarkan
serangan secara total, tetapi kecurigaan Daendels telah memperbesar
ancaman bahaya terhadap Yogyakarta. Pada 1810, Raden Rangga mulai
melancarkan perlawanan terhadap Daendels. Raden Rangga merupakan
kepala pemerintahan mancanegara di Madiun di bawah Kasultanan
Yogyakarta. Oleh sebab itu, Sultan Hamengkubuwono II pun mendukung
adanya perlawanan tersebut. Akan tetapi, perlawanan ini dapat segera
ditumpas oleh Belanda dan Raden Rangga sendiri terbunuh. Meningkatnya
ketegangan di dalam istana mendorong Sultan untuk melangkahi
Patih Danureja II dan menyerahkan wewenangnya kepada Pangeran
Natadiningrat, putra saudara Sultan yang bernama Natakusuma.
Setelah adanya perlawanan ini, Daendels kemudian memberikan
ultimatum kepada Sultan Hamengkubuwono II untuk menyetujui
pengangkatan kembali Danureja II sebagai patih, Sultan harus
menanggung kerugian perang perlawanan Raden Rangga. Selain itu
Sultan juga dipaksa untuk menerima perubahan terhadap upacara istana
yang berkaitan dengan kedudukan ‘Minister’ Eropa.
Hamengkubuwono II menolak semua itu sehingga akhirnya
pada Desember 1810, Daendels bergerak menuju Yogyakarta dengan
membawa 3.200 pasukan dan memaksa Hamengkubuwono II turun
takhta serta menyerahkan kepada Hamengkubuwono III. Uang rampasan
sebesar kurang lebih 500.000 gulden pun diambil oleh Daendels, namun
Hamengkubuwono II masih diperbolehkan tetap tinggal di Yogyakarta.

15
Pada Januari 1811, Daendels memaksakan perjanjian-perjanjian
baru yang melibatkan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah
pemerintahan Belanda kepada Surakarta maupun Yogyakarta. Daendels
kemudian mengasingkan Pangeran Natakusuma dan putranya yang
bernama Natadiningrat ke penjara di daerah Cirebon, hal itu dilakukannya
karena dia yakin bahwa mereka berdua telah jauh terlibat terhadap
pemberontakan yang dilakukan Reden Rangga. Daendels memang
tidak memerintahkan untuk membunuh mereka berdua, namun ia
memberitahukan bahwa dia akan senang jika mendengar kabar kematian
mereka berdua. Dengan adanya kejadian tersebut maka muncullah
perasaan benci yang semakin mendalam di semua pihak karena
Hamengkubuwono II menduga Patih Danureja II yang telah mengadukan
kedua pangeran tersebut.

3. Konflik dengan Kesultanan Banten


Konflik lainnya juga terjadi antara Daendels dengan Kesultanan Banten.
Hal ini bermula dari rencana pembuatan pelabuhan dan jalan raya di
Ujung Kulon. Pembuatan jalan dan pelabuhan tersebut mempekerjakan
ribuan pekerja dan memakan manusia, baik yang berasal dari kalangan
pribumi maupun yang berasal dari kalangan orang Eropa. Hal itu
disebabka karena tanah di daerah tersebut banyak yang berupa rawa.
Untuk melanjutkan proyek tersebut, Daendels akhirnya meminta kepada
Sultan Banten untuk menyediakan tenaga baru dari daerah tersebut.
Namun Sultan Banten menolak karena telah banyak korban jiwa
yang berjatuhan akibat sakit dan meninggal karena penyakit dari proyek
sebelumnya. Daendels tidak bisa menerima alasan itu, ia kemudian
mengirim utusan bernama Du Puy untuk mendesak Sultan Banten agar
bersedia mengirimkan rakyat guna dijadikan pekerja dalam membangun
proyek. Du Puy diserang dan dibunuh sehingga membuat Daendels
marah dan akhirnya ia menyerang Banten. Sultan Banten pun akhirnya
menyerah dan diasingkan ke Ambon sehingga pemerintahan pun
diserahkan kepada putra mahkota.

16
4. Penarikan Daendels ke Belanda oleh Napoleon
Daendels telah menghancurkan kekuatan raja-raja Jawa seperti yang
sudah dibahas di atas. Apa yang telah diperbuatnya telah membangun
tembok kebencian, baik di kalangan Pribumi maupun orang-orang
Belanda sendiri. Beberapa suku yang telah menjadi anggota pasukannya
lama-lama membelot dan menolak untuk berperang di pihaknya.
Di sisi lain, proyek besar yang dilakukan Daendels memakan biaya,
sementara keuangan semakin memburuk. Blokade Inggris mengakibatkan
hilangnya pemasukan dari sektor perdagangan. Bahkan untuk mata uang
pun, Daendels harus mengeluarkan assigant, yaitu mata uang kertas yang
biasa digunakan di Prancis sebagai pengganti mata uang tembaga yang bahan
untuk membuat mata uang tersebut harus diimpor. Satu-satunya pemasukan
keuangan yang diperoleh hanya dari pajak yang dikenakan pada penjualan
barang, tol jalan, penjualan dan penyewaan tanah, serta judi.
Daendels juga memindahkan ibu kota pemerintahan dari Batavia
ke Weltevreden serta memindahkan tempat tinggal dari Batavia ke
Buitenzorg (Bogor). Ia juga membeli tanah di Buitenzorg dan membangun
sebuah istana megah, yaitu Istana Bogor. Oleh karena semua sifatnya
yang gila hormat, gila kekuasaan, serta memiliki kemauan yang keras
tersebut ia dijuluki “Tuan Besar Bledeg” yang artinya Tuan Besar Guntur.
Hal itulah yang mengundang kebencian rakyat dan para pegawainya.
Louis Napoleon yang merasa bertanggung jawab atas baik buruknya
pemerintahan di Hindia Timur merasa tersinggung atas sikap Daendels
tersebut.
Akhirnya pada 1811, Daendels dipanggil ke Eropa oleh Napoleon dan
digantikan oleh Jansens. Setelah Daendels dicopot dari jabatannya, ia
diangkat menjadi opsir tentara Prancis dan ikut menyerang Rusia pada
1812. Dan ketika Napoleon jatuh pada 1814, Daendels akhirnya kembali
ke Belanda dan diangkat menjadi Gubernur di Guinea Afrika sampai ia
meninggal pada 1818.

17
D. Hindia Belanda pada Masa Pemerintahan Letnan Gubernur
Thomas Stamford Raffles
1. Penyerahan Kekuasaan Prancis ke Inggris
Ketika Daendels dipanggil untuk
kembali ke negerinya oleh Napoleon
Bonaparte pada Mei 1811, jabatannya
digantikan oleh Jan Willem Janssen.
Janssen dikenal sebagai seorang
politikus berkebangsaan Belanda.
Sebelum ia menggantikan Daendels, ia
menjabat sebagai Gubernur Jenderal di
Tanjung Harapan (Afrika Selatan) masa
Gambar 6. Thomas Stamford Raffles
1802 – 1806. Pada 1806, Janssen terusir
Sumber: https://en.wikipedia.org/
dari Tanjung Harapan karena daerah wiki/Stamford_Raffles#/media/
tersebut jatuh ke tangan Inggris. Pada File:StamfordRaffles.jpeg
1810, ia diperintahkan untuk pergi ke
Jawa dan menggantikan Daendels pada 1811. Janssen mencoba untuk
memperbaiki keadaan peninggalan Daendels. Pada masa pemerintahan
Janssen, kekuatan dan kedudukan Inggris di Indonesia semakin kuat dan
semakin dekat untuk menguasai Pulau Jawa.
Perlu diketahui bahwa beberapa daerah di Hindia Timur telah jatuh
ke tangan Inggris atas perintah dari Raja Willem V. Di sisi lain, penguasa
Inggris di India, yaitu Lord Minto telah memerintahkan Thomas
Stamford Raffles yang sedang menduduki Pulau Penang untuk segera
menguasai Jawa. Pada 26 Agustus 1811, Inggris pun menyerang Batavia.
Janssens tidak bisa berbuat apa-apa, ia berusaha menyingkir ke daerah
Semarang dan bergabung dengan Legiun Mangkunegara dan pasukan-
pasukan dari Yogyakarta serta Surakarta. Akan tetapi, pasukan Inggris
lebih kuat sehingga dapat dengan mudah memukul mundur Janssen
bersama dengan pasukannya. Janssen pun kemudian mundur ke daerah
Salatiga dan menyerah kepada Inggris di Tuntang. Penyerahan kekuasaan
tersebut secara resmi ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang pada
18 September 1811. Berikut ini isi dari Kapitulasi Tuntang.

18
a. Pihak Belanda menyerahkan Hindia Timur kepada Inggris.
b. Semua prajurit Belanda menjadi tawanan perang Inggris.
c. Orang-orang Belanda diperbolehkan untuk tetap bekerja memegang
jabatannya namun di bawah pemerintahan Inggris.
d. Inggris tidak mau mengakui hutang-hutang Prancis.

Dengan demikian, dimulailah babak baru dalam sejarah kolonial di


Indonesia. Jawa dijadikan sebagai bagian dari jajahan Inggris di Hindia.

2. Kebijakan-Kebijakan Raffles
Pada 18 September 1811 dimulailah kekuasaan Inggris di Hindia Timur.
Thomas Stamford Raffles secara resmi diangkat oleh Gubernur Jenderal
Lord Minto sebagai penguasa dan pusat pemerintahan Inggris di Hindia
Timur, berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa, Raffles mulai
melakukan berbagai langkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di
tanah jajahan. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia berpegang pada
tiga prinsip.
Prinsip pertama adalah segala bentuk kerja rodi dan penyerahan
wajib dihapuskan, digantikan dengan penanaman bebas oleh rakyat.
Prinsip kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapus
dan para bupati tersebut dijadikan sebagai bagian pemerintah kolonial.
Ketiga, berdasarkan pandangan bahwa tanah tersebut milik pemerintah
maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. Dari tiga prinsip
tersebutlah Raffles melakukan beberapa langkah kebijakan di berbagai
bidang.
a. Kebijakan dalam Bidang Pemerintahan
Kebijakan yang dilakukan Raffles di bidang pemerintahan adalah
sebagai berikut.
1.) Pulau Jawa dibagi menjadi 18 keresidenan (sistem ini berlangsung
sampai 1964).
2.) Sistem pemerintahan yang awalnya dilakukan oleh penguasa
pribumi diubah menjadi sistem pemerintahan kolonial Barat.

19
3.) Semua bupati ataupun penguasa pribumi dilepaskan dari
jabatannya yang didapatkan secara turun-temurun.
4.) Sistem juri dijalankan dalam pengadilan.

b. Kebijakan dalam Bidang Ekonomi dan Keuangan


Sama halnya dengan Daendels, Raffles juga dapat dikatakan sebagai
tokoh pembaharu dalam menata tanah jajahannya. Pandangannya
dalam bidang ekonomi cukup revolusiner. Ia berusaha melaksanakan
beberapa tindakan untuk memajukan perekonomian di Hindia
Timur. Pelaksanaan ekonomi Raffles didasarkan pada prinsip yang
baru, yaitu liberalisme. Sistem ini berkembang di Inggris sejalan
dengan revolusi industri yang terjadi di sana.
Sistem merkantilisme dianggap kuno dan tidak memberikan
kesejahteraan bagi rakyat sehingga sistem ini diterapkan oleh
Raffles di Hindia Timur. Oleh sebab itu, kebijakan ekonomi Raffles
menekankan pada kebebasan individu untuk berusaha dan kebebasan
memproduksi komoditi. Akan tetapi, program tersebut memiliki
tujuan utama untuk meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial.
Beberapa kebijakannya adalah sebagai berikut.
1.) Memberikan kebebasan kepada petani untuk menanam tanaman
ekspor.
2.) Menghapuskan pajak hasil bumi (contingenten) serta sistem
penyerahn wajib (Verplichte Laverantie) yang sudah diberlakukan
sejak zaman VOC.
3.) Melaksanakan sistem sewa tanah atau pajak tanah (landrent)
yang dijadikan sebagai peletak dasar bagi perkembangan sistem
perekonomian uang yang dibagi menjadi 3 kelas, yaitu:
• kelas pertama terdiri dari tanah yang subur maka akan
dikenakan pajak setengah dari hasil bruto;
• kelas dua, terdiri dari tanah setengah subur maka akan
dikenakan pajak sepertiga dari hasil bruto;
• kelas tiga terdiri dari tanah tandus maka akan dikenakan
pajak dua perlima dari hasil bruto.

20
4.) Menempatkan desa sebagai unit administrasi penjajahan.
5.) Memonopoli pengadaan garam dan minuman keras.

Adapun maksud dan tujuan dari pelaksanaan sewa tanah:


1.) untuk memotivasi petani dalam menanam dan menjual hasil
panennya secara bebas agar kesejahteraannya menjadi lebih
baik;
2.) meningkatnya daya beli masyarakat sehingga dapat membeli
barang-barang industri Inggris;
3.) adanya pemasukan yang tetap dan cukup untuk negara
kolonial;
4.) mengubah sistem ekonomi barang menjadi sistem ekonomi
uang secara bertahap;
5.) memberikan kepastian hukum untuk tanah yang dimiliki petani.

Namun dalam pelaksanaan sistem sewa tanah tersebut telah


menimbulkan perubahan-perubahan yang penting seperti berikut.
1.) Unsur paksaan digantikan dengan unsur kebebasan dan
sukarela.
2.) Ikatan yang bernuansa tradisional diubah menjadi hubungan
perjanjian/kontrak.
3.) Adat istiadat yang ada secara turun-temurun menjadi mulai
hilang akibat pengaruh budaya barat.

Hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan sistem


sewa tanah adalah sebagai berikut.
1.) Terbatasnya keuangan negara dan pegawai-pegawai yang cakap.
2.) Perbedaan masyarakat Indonesia dengan India yang sudah
mengenal sistem ekspor.
3.) Belum terdapat pengukuran tanah penduduk secara tepat.
4.) Terdapat pejabat yang sewenang-wenang dan korupsi.
5.) Adanya pajak yang tinggi sehingga banyak tanah yang tidak
digarap.

21
c. Kebijakan dalam Bidang Sosial
Kebijakan yang dilakukan Raffles di bidang sosial adalah
menghapuskan kerja rodi dan perbudakan. Namun, dalam
praktiknya ia melakukan kegiatan yang sejenis dengan perbudakan.
Selain itu, ia juga melakukan peniadaan Pynbank (disakiti) ialah
hukuman yang sangat kejam dengan cara melawan harimau.

d. Kebijakan dalam Bidang Hukum


Sistem peradilan yang diterapkan oleh Raffles dipandang lebih
baik dibandingkan yang diterapkan oleh Daendels. Jika Daendels
berorientasi pada warna kulit (ras), Raffles lebih berorientasi
kepada besar kecilnya kesalahan. Badan-badan hukum pada masa
pemerintahan Raffles adalah sebagai berikut.
1.) Court of Justice yang terdapat pada setiap residen.
2.) Court of Request yang terdapat pada setiap divisi.
3.) Police of Magistrate.

e. Ilmu Pengetahuan
Beberapa kebijakan Raffles dalam bidang ilmu pengetahuan adalah
sebagai berikut.
1.) Ditulisnya buku dengan judul History of Java di London pada 1817
yang dibagi menjadi dua jilid. Dalam penulisannya ia dibantu
oleh juru bahasanya, yaitu Raden Ario Notodiningrat serta
Bupati Sumenep Notokusumo II.
2.) Ditulisnya buku yang diberi judul History of the East Indian
Archipelago di Eidenburg pada 1820 yang dibagi menjadi 3 jilid.
3.) Mendukung secara aktif Bataviaach Genootschap, yaitu sebuah
perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4.) Ditemukannya bunga bangkai yang dikenal dengan nama bunga
Rafflesia Arnoldi.
5.) Mendukung penemuan Candi Borobudur.
6.) Merintis Kebun Raya Bogor.

22
3. Minat Raffles dalam Ilmu Pengetahuan di Indonesia
Minat Raffles terhadap sejarah dan budaya Jawa sangat tinggi dan
tidak main-main. Selama menjadi penguasa Hindia Belanda, ia banyak
melakukan hal yang berhubungan dengan penelitian peninggalan kuno
seperti Candi Borobudur. Nama “Borobudur” diperkirakan juga berasal
dari Raffles seperti yang tercantum dalam bukunya yang berjudul History
of Java karena sebelumnya nama Borobudur belum pernah disebut.
Raffles sangat suka pergi ke desa-desa dan menemui penduduk
setempat. Ketika kunjungannya di Semarang pada 1814, ia mendapatkan
laporan adanya monumen di dalam hutan dekat dengan Desa Bumisegoro.
Namun, ia tidak dapat pergi sendiri dan mengutus H.C. Cornelius,
seorang insinyur Belanda yang kemudian melaporkan penemuannya
dan menyerahkan berbagai gambar sketsa Candi Borobudur. Namun
sayangnya Raffles harus pergi dikarenakan Jawa kembali jatuh ke tangan
Belanda. Pemerintah Belanda akhirnya mengutus Hartman, seorang
pejabat pemerintah Belanda di Keresidenan Kedu untuk melanjutkan
kerja Cornelius sampai akhirnya pada 1835 seluruh bagian bangunan
terlihat karena telah tergali.

E. Penyerahan Kembali Wilayah Hindia Belanda Kepada


Kerajaan Belanda
1. Konvensi London
Setelah kekalahan Napoleon dari perang yang terjadi di daratan Eropa,
Kerajaan di Eropa mulai menata ulang tatanan monarki yang telah
diporak-porandakan oleh Napoleon. Penaklukan Napoleon atas sebagian
besar daratan Eropa tidak hanya membuat batas-batas negara menjadi
kacau, tetapi juga membuat negara-negara Eropa menegosiasikan ulang
perjanjian-perjanjian di antara mereka.
Kekalahan Napoleon memunculkan sebuah wacana pengembalian
wilayah-wilayah koloni di Hindia Belanda kepada Belanda. Eropa perlu
ditata dalam hal pemerintahan dan seperti sebelum perang Napoleon.
Oleh sebab itu, Belanda dan Inggris melakukan pertemuan yang disebut

23
Konvensi London pada 3 Agustus 1814. Dalam perjanjian ini Kerajaan
Belanda diwakili oleh Robert Stewart dan Viscount Castlereagh sebagai
perwakilan Inggris dan Hendrik Fagel sebagai perwakilan Belanda.
Konvensi ini menghasilkan Perjanjian London yang berisi tentang
mengembalikan hak milik Kerajaan Belanda kembali seperti sebelum
pada 1 Januari 1803 atau sebelum meletusnya Perang Napoleon.
Pengembalian wilyah ini tidak hanya terjadi pada Belanda, tetapi juga
pengembalian koloni-koloni Belanda di benua Asia, Afrika, dan Amerika.
Pengembalian ini mengecualikan wilayah Koloni Tanjung dan koloni
Demerara, Essequibo, dan Berbice di Amerika Selatan, tetapi Belanda
tetap mendapatkan hak untuk berdagang di wilayah itu.
Selain pengembalian wilayah terdapat juga perjanjian penukaran
wilyah, Inggris menyerahkan Pulau Bangka di Kepulauan Bangka Belitung
dan sebagai gantinya Belanda menyerahkan wilayah Cochin di India
dan pesisir Malabar. Belanda menyerahkan wilayah Bernagore, India
dan sebagai ganti penyerahan tersebut akan memperoleh pembayaran
tahunan dari Inggris.
Selain mengatur masalah penyerahan wilayah, perjanjian ini juga
mencatat pernyataan pada 15 Juni 1814, bahwa kapal-kapal Belanda yang
terlibat dalam perdagangan budak tidak diizinkan lagi untuk singgah di
pelabuhan milik Inggris. Belanda menyetujui larangan untuk terlibat
dalam perdagangan budak. Hal ini karena perkembangan paham
liberalisme dan humanisme yang telah berkembang di Eropa sehingga
permasalahan perbudakan menjadi permasalahan perjanjian. Sebelum
abad ke-19, perdagangan budak masih marak terjadi di seluruh dunia.
Untuk memperbaiki pertahanan pascaperang Napoleon, Inggris
dan Belanda setuju untuk mengeluarkan £2.000.000 dalam rangka
memperbaiki pertahanan dan keamanan di Negara-Negara Dataran
Rendah. Hal ini menjadi penting karena perang dengan Prancis tidak
berakhir begitu saja. Bahkan, Napoleon yang sedang ditahan di Pulau
Elba dapat melarikan diri dan menyusun kekuatannya kembali dan
terlibat perang dengan Inggris dan sekutunya di Perang Waterloo pada
1815. Perang tersebut menjadi akhir dari perjuangan Napoleon karena

24
setelah perang itu Napoleon dibuang ke Pulau St. Hellena di Samudra
Atlantik.
Pada kenyataannya, perjanjian ini tidak dapat begitu saja
menyelesaikan masalah pengembalian wilayah antara Belanda dan
Inggris. Pada kenyataannya masih terdapat masalah dan sengeta wilayah
di antara kedua negara ini, misalnya tentang klaim Singapura. Untuk
menyelesaikan masalah tersebut, pada 1824 diadakan perjanjian kembali
di London untuk membahas lebih detail dan menyelesaikan konflik yang
muncul.

2. Tiga Komisaris Jenderal


Sesuai dengan konvensi London, berakhirlah kekuasaan Inggris di
Indonesia dengan menyerahkan kembali Indonesia pada Belanda.
Penyerahan kekuasaan tersebut berlangsung di Batavia pada 19 Agustus
1816. Pada proses penyerahan, Inggris diwakili oleh John Fendall,
sedangkan Belanda diwakili oleh Tiga Komisaris Jenderal, yaitu Cornelis
Theodorus Elout, Baron Van der Capellen seorang ahli kenegaraan
dengan reputasi yang tinggi, dan A.A. Buyskes yang sebelumnya menjabat
sebagai Letnan Gubernur Jenderal pada masa pemerintahan Daendels.
Ketiga komisaris-komisaris ini dibantu oleh H.W. Muntinghe.
Dalam naskah serah terima, disebutkan bahwa Komisaris Jenderal
diberikan kekuasaan atas nama raja dan mempunyai hak memerintah
dan menjalankan pemerintahan. Maka pemerintahan baru pun dimulai
dan diberi nama Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pemerintahan ini
berbeda dengan pemerintahan bangsa Belanda sebelumnya, jika dahulu
pemerintahan di Hindia Timur dijalankan oleh sebuah perusahaan,
tetapi kali ini Kerajaan Belanda yang langsung memerintah karena telah
dibubarkannya VOC pada 1799. Hal yang menarik dari pemerintahan awal
Hindia Belanda ini adalah dijalankannya pemerintahan secara kolektif
yang berjumlah 3 orang. Selama ini, pemerintahan dijalankan oleh
seorang Gubernur Jenderal, tetapi karena belum ditunjukannya jabatan
ini, maka pemerintahan dilaksanakan oleh Komisaris Jenderal.

25
Sebagai rambu-rambu untuk pelaksanaan pemerintahan di
negeri jajahan, Pangeran Willem VI mengeluarkan undang-undang
pemerintah untuk negeri jajahan. Salah satu pasal dari undang-undang
itu menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas.
Hal ini menunjukkan adanya relevansi dengan keinginan kaum liberal
seperti yang diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Berbekal ketentuan undang-undang tersebut, berangkatlah ketiga
Komisaris Jenderal tersebut ke Hindia Belanda dan sepakat untuk
mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan Raffles.
Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. Kebijakan dalam Bidang Politik
1.) Menyelidiki keadaan di Jawa khususnya dalam menentukan
kebijakan yang tepat.
2.) Pajak tanah setiap individu diganti dengan pajak perdesa,
yang penetapannya dilakukan dengan persetujuan atau tawar-
menawar.

b. Kebijakan dalam Bidang Ekonomi


1.) Melanjutkan kebijakan yang diterapkan Raffles untuk melakukan
tanam paksa.
2.) Mempertahankan menanam wajib tanaman kopi dengan
memerdekakan penduduk dari beberapa beban pajak yang
ditetapkan oleh Raffles sebelumnya.

c. Kebijakan dalam Bidang Administrasi


1.) Mengangkat pekerja baru dan menjabarkan tugas untuk
memperkuat administrasi.
2.) Memperbaiki kualitas pegawai yang ada.
3.) Memperbaiki wilayah administrasi.

26
3. Penolakan Rakyat terhadap Hindia Belanda
Perubahan yang terjadi di Hindia Belanda tidak serta-merta diterima
oleh penduduk Hindia Timur. Pemerintahan Komisaris Jenderal harus
memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Maluku yang
dipimpin oleh Pattimura. Rakyat Maluku yang merasa senang dengan
pemerintahan Inggris tidak mau bangsa Belanda kembali berkuasa di
tanah Maluku. Untuk memadamkan pemberontakan ini A.A. Buyskes,
salah seorang dari Komisaris Jenderal harus memimpin langsung untuk
memadamkan pemberontakan rakyat Maluku.
Pemerintahan Komisaris Jenderal berakhir pada 1819 ketika
berlakunya Undang-undang Tanah Jajahan yang menetapkan bahwa
Jabatan tertinggi diberikan oleh gubernur jenderal. Untuk mengisi
jabatan tersebut Kerajaan Belanda menunjuk Baron Van der Capellen
yang merupakan salah satu dari anggota Komisaris Jenderal. Dengan
demikian, dapat dikatakan Baron Van der Capellen merupakan gubernur
jenderal pertama untuk Hindia Belanda dan mengakhiri pemerintahan
komisaris jenderal.

27

Anda mungkin juga menyukai