Anda di halaman 1dari 9

PEMBERONTAKAN TAIPING dan NIAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Asia Timur

Dosen Pengampu : Drs. Kartono, M.Si

Disusun Oleh :

Endy Heru Wicaksono (1901020001)

Renita Oktaviani Rizky (1901020010)

Aisah (1901020016)

Faqih Al Fauzan (1901020018)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

NOVEMBER 2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perang Candu merupakan peristiwa yang mengawali masa modern di Cina.


Sebelum Perang Candu, Cina mengisolir dirinya dari dunia luar dan hanya mengadakan
hubungan dagang yang sangat terbatas dengan bangsa asing di Kanton. Hal inilah yang
menyebabkan Cina sering disebut Negara Tirai Bambu. Perang Candu terjadi dua kali,
Perang Candu I merupakan perang antara Cina dengan Inggris dan Perang Candu II
merupakan perang antara Cina dengan Inggris dan Perancis.

Perang Candu merupakan perang besar karena dampaknya mempengaruhi


kehidupan bangsa Cina. Akibat dari perang tersebut Cina mengalami kekalahan dan
harus menandatangani perjanjian yang lebih menguntungkan pihak asing. Masyarakat
Cina berangsur-angsur menjadi semi feodal dan semi koloni, karena beberapa wilayah
Cina diduduki oleh beberapa bangsa-bangsa asing akibat perjanjian tidak seimbang.
Sehingga banyak bermunculan pemberontakanpemberontakan dari berbagai daerah di
Cina Salah satunya pemberontakan Taiping yang membuat dinasti Qing semakin
terpuruk ketika pemberontakan Taiping berkobar. Pemberontakan Taiping merupakan
pemberontakan terbesar yang di pimpin oleh Hong Xiuquan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat ditentukan rumusan masalah


sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan pemberontakan Taiping?


2. Apa yang dimaksud dengan pemberontakan Nian?
C. TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat ditentukan tujuan dari


makalah ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pemberontakan Taiping


2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pemberontakan Nian
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMBERONTAKAN TAIPING

Pemberontakan Taiping Tianguo merupakan pemberontakan besar melawan


dinasti Qing yang dipimpin oleh Hong Xiuquan. Ada beberapa konflik yang terpendam
antara golongan Kristen dengan Konfusianisme; antara petani miskin dengan tuan tanah
dan oknum pemerintah yang korup; antara kepentingan yang pro Barat dengan
kepentingan nasionalis, antara suku Han dengan suku Manzu, antara kelompok
konservatif tradisionalis dengan kelompok reformis modernis, antara sesama
pendukung Taiping pada lapisan atas. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya
pemberontakan Taiping, seperti: politik, ekonomi, sosial, adanya pengaruh Negara
Asing, dan masuknya agama Kristen ke Cina. Isolasi Cina (Nassabaum: 110)
dipecahkan mula-mula oleh Perjanjian Nanjing yang membuka 5 pelabuhan bagi
perdagangan Internasional dan menetapkan status persamaan derajat antara pejabat-
pejabat Cina dan pejabat Inggris dari pangkat yang sama. Kemudian menyusul traktat
antara Cina dengan Negara-negara lain yang sedikit demi sedikit menambah jumlah
pelabuhan bagi perdagangan asing.

Kelemahan pemerintahan Dinasti Qing dan dominasi bangsa Barat menjadi


faktor utama munculnya pemberontakan. Adanya kekalahan politik dan diplomatik
dengan bangsa Barat sehingga Qing harus menandatangani perjanjian-perjanjian tidak
seimbang yang merugikan bangsa Cina. Orang-orang Barat masuk ke daerah-daerah
dan berbuat semaunya, tetapi tidak terjangkau hukum yang berlaku. Cina juga harus
mengganti kerugian yang wajib dibayar kepada Inggris yang semakin membebankan
uang kas negara yang memang sudah menipis. Para pemimpin Taiping menunjukkan
sifat tidak bekerjasama dengan bangsa Barat dan menolak tegas perjanjian-perjanjian
yang merugikan bangsa Cina. Hal ini juga menimbulkan rasa bangga di kalangan
nasionalis, tetapi merugikan dari strategi perang terhadap pemerintahan dinasti Qing.
Pemberontakan Taiping merupakan suatu gerakan revolusioner terbesar dalam sejarah
Cina, gerakan pembaharuan nasional dan anti Manzu.

Pudarnya mitos bahwa raja adalah Putra Langit yang membawa mandat untuk
memerintah di dunia, sehingga kedudukan Kaisar tidak lagi dianggap oleh rakyatnya.
Kedudukan Kaisar tidak lagi dianggap sebagai tokoh pusat yang sakral. Keadaan
pemerintah dinasti Qing yang saat itu sudah sangat lemah karena banyak korupsi,
pejabat yang madat, dan moral yang semakin rendah sehingga kehilangan
kredibilitasnya di mata rakyatnya. Penguasa daerah lebih mementingkan daerah dan
kedudukannya daripada kepentingan kerajaan secara keseluruhan. Ketika Kaisar Xian
Feng memerintahkan kepada kelapa daerah untuk melawan Taiping, mereka lebih
bersikap menunggu dan melihat. Mereka bertindak jika kepentingan daerahnya atau
kedudukannya terancam.

Agama Kristen dan Katolik mencerahkan bagi kebudayaan Cina pada masa
dinasti Qing. Persentuhan budaya Barat dan Timur mulai terjadi dalam permukaan
friksi yang besar. Penganut agama Kristen secara politik menguasai rakyat Cina,
sehingga konsekuensinya terjadi transformasi sosial budaya. Dari yang sebelumnya
seluruh sistem sosial, tata pemerintahan, dan kenegaraan dijalankan berdasarkan agama
Konghucu dan Budha. Taiping Tianguo yang diproklamasikan oleh Hong Xiuquan
berbasiskan agama Kristen, tetapi sebenarnya Hong hanya menggunakan agama
Kristen sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Hong Xiuquan tidak memahami agama
Kristen dengan baik, hal ini dapat dibuktikan ketika Pendeta Issachar Jacob Roberts
menolak membabtisnya. Para pemimpin Taiping memobilisasi rakyat dengan segala
hartanya untuk kepentingan diri sendiri. Propaganda dan ajaran yang diterapkan dalam
Negara Taiping tidak terbukti bermanfaat bagi rakyat. Selama masa perang, para
pemimpin Taiping bukan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi
malah mengorbankan jiwa dan harta rakyatnya.

Bangsa Barat yang sejak semula menyatakan netral, bahkan cenderung


menentang Pemerintahan dinasti Qing yang arogan terhadap bangsa Barat. Dalam
proses selanjutnya karena memiliki kepentingan yang sejalan dengan Qing, maka mau
membantu Qing. Pemerintah Qing yang ingin mempertahankan kekuasaannya, bangsa
Barat bermaksud melakukan ekspansi perdagangan sampai ke daerah-daerah, akhirnya
Pemerintah Qing bersekutu dengan bangsa Barat untuk memerangi Tentara Taiping.

Faktor-faktor yang menyebabkan pemberontakan Tai Ping (Tai Ping Revolution) :

- Kelemahan pemerintah Manchu : kelemahan pemerintah Manchu nyata sekali


yaitu, ketidakmampuannya menghadapi bangsa asing.
- Kemiskinan dan penderitaan rakyat : Pemerintahan Manchu dengan alat-alat
pemerintahannya berupa gubernur atau panglima tentara (war lords) tidak banyak
memikirkan kesejahteraan rakyat. Sementara itu tuan-tuan tanah memeras rakyat,
sehingga timbul kemiskinan dan penderitaan rakyat.
- Keinginan adanya masyarakat baru : Rakyat yang telah lama menderita
menginginkan adanya masyarakat baru yang dapat memberikan kesejahteraan dan
kebahagiaan.
- Perkembangan agama Kristen : Agama Kristen yang berkembang di negeri China
memberikan ajaran tentang adanya masyarakat sejahtera seperti zaman Petrus yang
tidak mengenal penindasan dan kekejaman, sebaliknya ada perlakuan adil terhadap
sesamanya.
- Timbulnya nasionalisme : Bangsa China menginginkan adanya pemerintahan
bangsa sendiri, lepas dari penjajahan bangsa Manchu. Sebab di bawah
pemerintahan nasional segala sesuatu akan dikerjakan sendiri dan untuk
kepentingan bangsa China.

Pemberontakan Tai Ping mempunyai tiga arti penting, yaitu :

- Merupakan pemberontakan sosial dengan tujuan agar pemerintah lebih memikirkan


keperluan rakyat.
- Merupakan pemberontakan nasional yang menginginkan pemerintahan bangsa
sendiri.
- Meruakan gerakan sosialis-komunis yang kemudian menjadi contoh bagi Kung
Chang Tang di bawah Mao Zedong.

Pemberontakan yang berlangsung selama empat belas tahun (1850 - 1864)


dipimpin oleh seorang yang mendapat pendidikan Kristen bernama Hung Siu-cwan.
Pengikutnya terdiri atas kaum tani yang memperoleh pembagian tanah bekas milik tuan
tanah. Pada fase permulaan, perjuangan mereka murni dan disiplin, misalnya kekayaan
yang diperoleh sebagai rampasan perang dipergunakan untuk dana perjuangan atau
dibagikan kepada rakyat. Pada tahun 1853 Hung Siu-cwan mengangkat dirinya sebagai
raja Tai Ping Tin Kuo, artinya Kerajaan Surga dan Damai Abadi.

Kota Nanking dijadikan ibu kotanya. Sejak itu perjuangan mengendor, karena
pemimpinnya mulai memikirkan diri-sendiri. Pada waktu kota Tientsin hampir jatuh ke
tangan Tai Ping, bangsa Barat membantu pemerintah Manchu untuk mengharapkan
konsesi yang lebih besar. Langkah yang diambil adalah membentuk tentara gabungan
di bawah Jenderal Frederic T. Ward dan dinamakan The Ever Victorious Army. Setelah
pimpinan di tangan Jenderal Charles G. Gordon tentara gabungan itu berhasil merebut
kota Nanking dan mengalahkan pasukan Tai Ping.

B. PEMBERONTAKAN NIAN

Sengge Rinchen (Hanzi: 僧格林沁, pinyin: Senggelinqin, 1811-1865) adalah


seorang jenderal Tiongkok beretnis Mongol pada akhir Dinasti Qing. Ia berpartisipasi
dalam pertempuran-pertempuran besar pada zaman itu seperti Perang Candu II,
penumpasan Pemberontakan Taiping dan Nian, dimana ia menemui ajalnya. Sengge
Rinchen lahir di Ke’erqin Bendera Hitam Kiri, Mongolia Dalam. Ia berasal dari klan
Borjigit, satu klan dengan penakluk besar pada masa lampau, Genghis Khan.
Berdasarkan silsilah, ia adalah keturunan ke-26 dari Khabutu Khasar yang tidak lain
adalah adik Genghis Khan. Namanya sendiri berasal dari bahasa Tibet yang berarti
‘singa’ (Sengge) dan ‘harta’ (Rinchen). Pada masa muda ia hidup dalam kemiskinan,
statusnya baru terangkat ketika diangkat keponakan oleh seorang bangsawan Mongol
berkuasa di wilayahnya. Pada tahun 1825, Sengge menerima gelar kebangsawanan
Junwang (郡王), yaitu pangeran yang berkuasa di tingkat kabupaten.

Tahun 1853, ia menghalau ekpedisi utara kaum pemberontak Taiping dan


menyelamatkan kota Tianjin. Tahun 1855, ia berhasil mengalahkan sebuah pasukan
Taiping serta menangkap hidup-hidup jenderalnya, Li Kaifang. Atas jasanya,

pangkatnya dinaikan menjadi Qinwang (亲王) atau pangeran kelas satu. Tahun 1857,

ia diangkat menjadi komisaris kekaisaran yang bertanggung jawab atas pertahanan di


Tianjin. Tahun 1859, pada masa Perang Candu II, ia mengalahkan pasukan gabungan
Inggris dan Prancis dalam Pertempuran Benteng Taku. Namun tahun berikutnya
Tianjin dan Benteng Taku jatuh ke tangan musuh. Sengge bersama brigade Mongolia-
nya mundur ke Tongzhou (sebelah timur Beijing). Disana mereka kembali terlibat
pertempuran sengit dengan pasukan sekutu dalam Pertempuran Jembatan Delapan Li.
Dalam pertempuran ini, pasukannya mengalami kekalahan besar sehinggga membuka
jalan bagi pasukan sekutu memasuki Beijing dimana mereka menjarah kota itu dan
membakar taman kekaisaran Yuanming. Kaisar Xianfeng yang pengecut kabur ke
Chengde, sebuah kota kecil di Hebei dan tidak pernah kembali lagi karena meninggal
disana.

Sengge berhasil memulihkan reputasinya yang sempat jatuh itu dalam beberapa
pertempuran melawan pemberontak Nian di wilayah Shandong, Henan, dan Anhui.
Kemenangan terbesarnya dalam menumpas pemberontak Nian adalah pada tahun 1863
dimana ia mengalahkan jenderal Nian yang paling berbahaya, Miao Peilin, di Anhui.
Mei 1865, Sengge dan pasukannya disergap oleh pemberontak Nian yang dipimpin oleh
Lai Wenguang dan Song Jingshi di Kabupaten Heze, Shandong. Pertempuran ini
dikenal dalam sejarah sebagai Pertempuran Kamp Gaolou. Ia gugur dalam pertempuran
ini, pasukannya yang berjumlah 10.000 hampir seluruhnya binasa, hanya beberapa
ratus yang berhasil lolos.

Berita kematian Sengge Rinchen dan kehancuran brigade Mongol-nya sangat


mengejutkan pihak istana karena itu adalah kekalahan terbesar mereka dari
pemberontak Nian. Kaisar Tongzhi secara pribadi berkunjung ke kediaman Sengge
untuk menyampaikan dukacita pada keluarganya. Ia dianugerahi gelar Zhongqinwang

(忠亲王, Pangeran Setia) secara anumerta. Pada tahun 1889, Ibusuri Cixi membangun

sebuah kuil kecil untuk memperingatinya, kuil itu bernama Kuil Xianzhong (显忠祠)

dan masih berdiri hingga kini di Jalan Raya Di’anmen 47, Distrik Dongcheng, Beijing.
Disamping keberhasilannya menumpas kaum pemberontak, Sengge Rinchen juga
menuai cercaan dari rakyat, terutama penduduk wilayah utara karena pasukannya
terkenal ganas dan suka menjarah di daerah-daerah yang mereka duduki. Dalam sejarah
resmi RRT, Sengge dianggap patriot karena kesetiaanya pada kekaisaran Qing. Di
Tongliao, Mongolia Dalam didirikan sebuah museum untuk memperingati dirinya.
Namun di Mongolia sendiri namanya kurang dikenal dalam sejarah karena ia lebih
berasosiasi pada Tiongkok.

Pemberontakan Nian (1853-1868), merupakan pemberontakan senjata. Meski


gagal menjatuhkan Dinasti Qing, pemberontakan ini menyebabkan kekacauan dalam
berbagai aspek. Pemberontakan Nian itu terjadi saat Dinasti Qing disibukkan dengan
yang agung. Pemberontakan Taiping di Tiongkok bagian selatan dan tengah. Sebuah
cabang dari yang terinspirasi Buddha, perkumpulan rahasia White Lotus. Nian adalah
gerombolan petani, desertir tentara, dan penyelundup garam yang beraneka ragam yang
telah memicu wabah sporadis sejak dekade pertama abad ke-19. Ditindas oleh
kelaparan akibat banjir selama tahun 1850-an dan dipicu oleh perhatian pemerintah
dengan Taiping, beberapa band Nian membentuk koalisi di bawah kepemimpinan
Zhang Lexing pada tahun 1855 dan mulai berkembang pesat.

Dengan jumlah 30.000 hingga 50.000 tentara dan diorganisir menjadi lima
pasukan, mereka mulai melakukan serangan penjarahan hingga berdekatan daerah.
Pada tahun 1863 mereka mengalami kemunduran ketika benteng mereka, Zhihe
(sekarang Guoyang, provinsi Anhui), ditangkap dan Zhang Lexing terbunuh. Tetapi
mereka segera mengatur kembali, dan pada tahun 1864 mereka bergabung dengan
tentara Taiping yang tidak kalah pada jatuhnya ibukota Taiping di Nanjing pada tahun
yang sama. Mereka mulai mengadopsi taktik gerilya tabrak lari, menggunakan unit
yang dipasang di mobil untuk menyerang titik-titik lemah pasukan Qing dan kemudian
mundur ke dusun-dusun strategis. Pemerintah, pada saat itu bebas dari masalah dengan
Taiping, mulai berkonsentrasi pada Nian dan mengadopsi strategi blokade. Para
pemberontak secara bertahap terjebak dan dikalahkan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pemberontakan Taiping Tianguo merupakan pemberontakan besar


melawan dinasti Qing yang dipimpin oleh Hong Xiuquan. Ada beberapa konflik
yang terpendam antara golongan Kristen dengan Konfusianisme; antara petani
miskin dengan tuan tanah dan oknum pemerintah yang korup; antara kepentingan
yang pro Barat dengan kepentingan nasionalis, antara suku Han dengan suku
Manzu, antara kelompok konservatif tradisionalis dengan kelompok reformis
modernis, antara sesama pendukung Taiping pada lapisan atas.

Sengge Rinchen adalah seorang jenderal Tiongkok beretnis Mongol pada


akhir Dinasti Qing. Disana mereka kembali terlibat pertempuran sengit dengan
pasukan sekutu dalam Pertempuran Jembatan Delapan Li. Dalam pertempuran ini,
pasukannya mengalami kekalahan besar sehinggga membuka jalan bagi pasukan
sekutu memasuki Beijing dimana mereka menjarah kota itu dan membakar taman
kekaisaran Yuanming. Namun di Mongolia sendiri namanya kurang dikenal dalam
sejarah karena ia lebih berasosiasi pada Tiongkok. Pemberontakan Nian ,
merupakan pemberontakan senjata.

B. DAFTAR PUSTAKA

Danyati, Ratna. 2013. Pengaruh Pemberontakan Taiping (1851-1864) Terhadap


Sosiologis Dan Politis Pemerintahan Dinasti Qing. Jakarta. ABA BSI

Kharti, Irene Swastiwi Viandari. 2020. Seri Revolusi Dunia: Revolusi Tiongkok |
Sejarah Kelas 11. Diakses pada 16 November 2021 pada
https://www.ruangguru.com/blog/seri-revolusi-dunia-revolusi-tiongkok

Nussabaum, Arthur (disadur oleh Sam Suhedi Admawiria). Sedjarah Hukum


Internarional Jilid II. Binatjipta. Bandung. 1970

Web Sejarah. 2016. Pemberontakan Taiping (rebellion). Diakses pada 16


November 2021 pada
https://tragedisosialdansejarah.blogspot.com/2016/04/pemberontakan-tai-ping-
rebellion.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai