Disusun Oleh :
Aisah (1901020016)
NOVEMBER 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
A. PEMBERONTAKAN TAIPING
Pudarnya mitos bahwa raja adalah Putra Langit yang membawa mandat untuk
memerintah di dunia, sehingga kedudukan Kaisar tidak lagi dianggap oleh rakyatnya.
Kedudukan Kaisar tidak lagi dianggap sebagai tokoh pusat yang sakral. Keadaan
pemerintah dinasti Qing yang saat itu sudah sangat lemah karena banyak korupsi,
pejabat yang madat, dan moral yang semakin rendah sehingga kehilangan
kredibilitasnya di mata rakyatnya. Penguasa daerah lebih mementingkan daerah dan
kedudukannya daripada kepentingan kerajaan secara keseluruhan. Ketika Kaisar Xian
Feng memerintahkan kepada kelapa daerah untuk melawan Taiping, mereka lebih
bersikap menunggu dan melihat. Mereka bertindak jika kepentingan daerahnya atau
kedudukannya terancam.
Agama Kristen dan Katolik mencerahkan bagi kebudayaan Cina pada masa
dinasti Qing. Persentuhan budaya Barat dan Timur mulai terjadi dalam permukaan
friksi yang besar. Penganut agama Kristen secara politik menguasai rakyat Cina,
sehingga konsekuensinya terjadi transformasi sosial budaya. Dari yang sebelumnya
seluruh sistem sosial, tata pemerintahan, dan kenegaraan dijalankan berdasarkan agama
Konghucu dan Budha. Taiping Tianguo yang diproklamasikan oleh Hong Xiuquan
berbasiskan agama Kristen, tetapi sebenarnya Hong hanya menggunakan agama
Kristen sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Hong Xiuquan tidak memahami agama
Kristen dengan baik, hal ini dapat dibuktikan ketika Pendeta Issachar Jacob Roberts
menolak membabtisnya. Para pemimpin Taiping memobilisasi rakyat dengan segala
hartanya untuk kepentingan diri sendiri. Propaganda dan ajaran yang diterapkan dalam
Negara Taiping tidak terbukti bermanfaat bagi rakyat. Selama masa perang, para
pemimpin Taiping bukan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi
malah mengorbankan jiwa dan harta rakyatnya.
Kota Nanking dijadikan ibu kotanya. Sejak itu perjuangan mengendor, karena
pemimpinnya mulai memikirkan diri-sendiri. Pada waktu kota Tientsin hampir jatuh ke
tangan Tai Ping, bangsa Barat membantu pemerintah Manchu untuk mengharapkan
konsesi yang lebih besar. Langkah yang diambil adalah membentuk tentara gabungan
di bawah Jenderal Frederic T. Ward dan dinamakan The Ever Victorious Army. Setelah
pimpinan di tangan Jenderal Charles G. Gordon tentara gabungan itu berhasil merebut
kota Nanking dan mengalahkan pasukan Tai Ping.
B. PEMBERONTAKAN NIAN
pangkatnya dinaikan menjadi Qinwang (亲王) atau pangeran kelas satu. Tahun 1857,
Sengge berhasil memulihkan reputasinya yang sempat jatuh itu dalam beberapa
pertempuran melawan pemberontak Nian di wilayah Shandong, Henan, dan Anhui.
Kemenangan terbesarnya dalam menumpas pemberontak Nian adalah pada tahun 1863
dimana ia mengalahkan jenderal Nian yang paling berbahaya, Miao Peilin, di Anhui.
Mei 1865, Sengge dan pasukannya disergap oleh pemberontak Nian yang dipimpin oleh
Lai Wenguang dan Song Jingshi di Kabupaten Heze, Shandong. Pertempuran ini
dikenal dalam sejarah sebagai Pertempuran Kamp Gaolou. Ia gugur dalam pertempuran
ini, pasukannya yang berjumlah 10.000 hampir seluruhnya binasa, hanya beberapa
ratus yang berhasil lolos.
(忠亲王, Pangeran Setia) secara anumerta. Pada tahun 1889, Ibusuri Cixi membangun
sebuah kuil kecil untuk memperingatinya, kuil itu bernama Kuil Xianzhong (显忠祠)
dan masih berdiri hingga kini di Jalan Raya Di’anmen 47, Distrik Dongcheng, Beijing.
Disamping keberhasilannya menumpas kaum pemberontak, Sengge Rinchen juga
menuai cercaan dari rakyat, terutama penduduk wilayah utara karena pasukannya
terkenal ganas dan suka menjarah di daerah-daerah yang mereka duduki. Dalam sejarah
resmi RRT, Sengge dianggap patriot karena kesetiaanya pada kekaisaran Qing. Di
Tongliao, Mongolia Dalam didirikan sebuah museum untuk memperingati dirinya.
Namun di Mongolia sendiri namanya kurang dikenal dalam sejarah karena ia lebih
berasosiasi pada Tiongkok.
Dengan jumlah 30.000 hingga 50.000 tentara dan diorganisir menjadi lima
pasukan, mereka mulai melakukan serangan penjarahan hingga berdekatan daerah.
Pada tahun 1863 mereka mengalami kemunduran ketika benteng mereka, Zhihe
(sekarang Guoyang, provinsi Anhui), ditangkap dan Zhang Lexing terbunuh. Tetapi
mereka segera mengatur kembali, dan pada tahun 1864 mereka bergabung dengan
tentara Taiping yang tidak kalah pada jatuhnya ibukota Taiping di Nanjing pada tahun
yang sama. Mereka mulai mengadopsi taktik gerilya tabrak lari, menggunakan unit
yang dipasang di mobil untuk menyerang titik-titik lemah pasukan Qing dan kemudian
mundur ke dusun-dusun strategis. Pemerintah, pada saat itu bebas dari masalah dengan
Taiping, mulai berkonsentrasi pada Nian dan mengadopsi strategi blokade. Para
pemberontak secara bertahap terjebak dan dikalahkan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. DAFTAR PUSTAKA
Kharti, Irene Swastiwi Viandari. 2020. Seri Revolusi Dunia: Revolusi Tiongkok |
Sejarah Kelas 11. Diakses pada 16 November 2021 pada
https://www.ruangguru.com/blog/seri-revolusi-dunia-revolusi-tiongkok