Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dinasti Shāng (商) (1600—1046 SM) adalah dinasti yang mengantikan Dinasti Xià dalam sejarah Tiongkok.
Sekitar tahun 1600 SM, Dinasti Shāng didirikan oleh pemimpin suku Shāng, Tāng (汤/湯) setelah memusnahkan
Dinasti Xià. Dinasti Shāng melewati masa pemerintahan sebanyak 17 generasi, 31 raja. Berkuasa selama 500-an
tahun, sampai 20 Januari 1046 SM ditaklukkan oleh Zhōu Wǔwáng (周武王).
BAB II PEMBAHASAN
A. Ringkasan Sejarah
Akhir dari pemerintahan Dinasti Xià, kekacauan dalam pemerintahan Dinasti Xià sendiri tidak pernah
terkendali, ganguan dan serangan dari luar juga tidak pernah berhenti, setelah naik takhta, Jié (桀) juga tidak
berusaha mengubah kondisi, malahan semakin lalim dan kejam, sehingga para bangsawan akhirnya mulai
memberontak. Pada sekitar tahun 1600 SM, pemimpin dari suku Shāng, Tāng bergabung dengan suku bangsa
lainnya mengulingkan Dinasti Xià, dan mendirikan Dinasti Shāng. Pada awalnya suku Shāng ber-ibukota di Bò
(亳) (sekarang Shāngqiū, Provinsi Hénán), setelah mengalahkan Dinasti Xià, memindahkan ibukota ke barat dan
tetap disebut dengan nama Bò (sekarang Yǎnshi, Hénán).
Setelah naik takhta, Tāng memerintah dengan bijaksana terhadap rakyatnya, dengan bantuan dari menteri-
menteri berbakat seperti Yīyǐn (伊尹) dan Zhòngyuán (仲虺), negara semakin kuat dan makmur. Setelah Tāng
meninggal, oleh karena putra sulungnya Dàdīng (大丁) mati muda, maka singgasana diwariskan kepada adik
Dàdīng, Wàibǐng (外丙); setelah Wàibǐng meninggal, digantikan oleh adiknya Zhòngrén; dan setelah Zhòngrén
meninggal, singgasana diwariskan kembali kepada putra dari Dàdīng, Tàijiǎ (太甲). Tahun ketiga pemerintahan
Tàijiǎ, oleh karena memerintah dengan tidak benar dan tidak bermoral, Tàijiǎ diasingkan oleh Yīyǐn ke istana
Tónggōng. Setelah tiga tahun tinggal di istana Tónggōng, Tàijiǎ merasa sangat menyesal, sehingga akhirnya Yīyǐn
menjemput dan menyerahkan kembali kekuasaan kepadanya.
Pada mulanya, Dinasti Shāng beberapa kali memindahkan ibukota-nya, sampai terakhir pada masa
pemerintahan Pángēng (盤庚), menetapkan ibukota di Yīn (sekarang Ānyáng, Hénán), sehingga Dinasti Shāng
sering juga disebut sebagai Dinasti Yīn. Setelah Pángēng memindahkan ibukota ke Yīn, ekonomi masyarakat
Dinasti Shāng mengalami perkembangan lebih maju lagi. Sampai kemudian masa pemerintahan Wǔdīng (武丁),
Dinasti Shāng melakukan banyak serangan ekpansi, menaklukkan banyak negara kecil disekitarnya, memperluas
wilayah teritorialnya, sehingga Dinasti Shāng mencapai puncak kejayaannya.
Setelah Wǔdīng meninggal, Dinasti Shāng mulai mundur dan melemah. Raja terakhir Dinasti Shāng, Dìxīn
atau Zhòuwáng (紂王) berhasil memajukan hubungan perekonomian dan kebudayaan dengan membuka hubungan
dengan Cina bagian tenggara, perairan Sungai Huáihé dan Chángjiāng; tetapi karena selalu terlibat dalam
peperangan dan membangun istana dalam skala besar, yang sangat menguras dan menghabiskan sumber daya
manusia maupun kekayaan rakyat, sehingga menimbulkan kekecewaan dalam hati rakyat. Zhōu Wǔwáng (周武王)
mengerahkan 300 kereta perang, 3000 pasukan serangan depan, 4500 prajurit, dan bergabung dengan suku
Qiāng、Máo、Lú dan sebagainya, serentak menyerang Zhòuwáng, dan berhasil menyerang sampai ibukota
Dinasti Shāng, Cháogē (sekarang Kabupaten Qíxiàn, Kota Hèbì, Hénán).
Pada saat itu pasukan Shāng sedang berperang melawan suku bangsa kecil di timur laut, sehingga terpaksa
memakai budak dan prajurit tahanan untuk menghadapi perang di daerah Mùyě 牧野, 70 lǐ 里 (satuan jarak) dari
Cháogē. Para budak tidak ingin berperang untuk raja Shāng Zhòuwáng yang jahat dan lalim, sehingga pada saat-
saat kritis, pasukan Shāng tiba-tiba memutar arah, menyerang pasukan sendiri. Ternyata pasukan yang membelot
adalah budak-budak dan prajurit tahanan yang sudah lama membenci Shāng Zhòuwáng. Pasukan Shāng menjadi
kacau dan dengan mudah dihancurkan.
Setelah Pertempuran Mùyě, Shāng Zhòuwáng yang sadar akan kekalahannya, tidak ingin pasukan Zhōu
merebut dan memiliki istana dan hartanya, ia memerintahkan bawahannya untuk mengumpulkan semua harta
istana, dan membungkus diri dengan kain, berbaring diatas semua barang berharga tersebut, dengan api, membakar
dan menghabisi hidupnya yang penuh dosa. Zhōu Wǔwáng atas dukungan dari berbagai suku bangsa dan negara
kecil, mendirikan Dinasti Zhōu, dinasti masyarakat budak ketiga di Tiongkok. Setelah Dinasti Shāng roboh, sisa
keluarga penguasa Dinasti Shāng yang selamat secara bersama menganti marga mereka dari Zǐ 子 menjadi nama
dinasti mereka yang telah jatuh, Yīn 殷.
Keluarga kerajaan yang selamat kemudian menjadi aristokrat dan sering membantu keperluan administrasi
untuk pemerintah Dinasti Zhōu. Zhōu Chéngwáng melalui mangkubuminya, yang merupakan pamannya sendiri,
Zhōu Gōngdàn (周公旦), menganugerahkan kepada saudara Shāng Zhòuwáng, Wéizǐ daerah bekas ibukota lama
Dinasti Shāng dan sekitarnya menjadi negara Sòng. Negara Sòng dan keturunan Dinasti Shāng masih meneruskan
ritual kepada raja-raja Dinasti Shāng yang meninggal dan bertahan sampai tahun 286sm.
1
2

Antara legenda Korea and Cina menyatakan bahwa salah seorang pangeran Dinasti Shāng yang tidak puas,
bernama Jīzǐ 箕子 (Kija), menolak menyerahkan kekuasaannya kepada Dinasti Zhōu, memilih meninggalkan Cina
dengan sisa tentaranya dan mendirikan Gija Joseon dekat Pyongyang sekarang yang menjadi salah satu dari awal
negara Korea (Go-, Gija-, dan Wiman-Joseon). Meskipun demikian Jīzǐ jarang sekali disebut dalam sejarah, dan
ada yang menganggap cerita kepergiannya ke Joseon hanyalah mistik.
B. Wilayah Kekuasaan
Daerah kekuasaan Dinasti Shāng; timur mencapai lautan, barat mencapai bagian barat provinsi Shǎnxī, timur
laut mencapai provinsi Liáoníng, selatan hingga sekitar Jiāngnán (tidak termasuk Provinsi
Sìchuān、Yúnnán、Guìzhōu dan daerah sekitar barat daya), dan merupakan salah satu kerajaan terbesar di dunia
pada waktu itu, tetapi daerah pemerintahan utama masih di sekitar Zhōngyuán. Mendirikan ibukota di Bò (sekarang
Kabupaten Cáoxiàn, Shāndōng), dan beberapa kali pindah ibukota, terakhir Pángēng memindahkan ibukota ke Yīn
(sekarang Desa Xiǎotúncūn, Ānyáng, Hénán), dan oleh karena itu, maka Dinasti Shāng sering juga disebut sebagai
Dinasti Yīn.
C. Pemerintahan
Dinasti Shāng menetapkan beberapa struktur kenegaraan yang lebih sempurna. Pemerintah pusat membentuk
dua departemen penting yaitu departemen sekretariat urusan negara dan departemen tata hukum negara. Daerah-
daerah diserahkan kepada para bangsawan, guna memperkuat pemeritahan didaerah, dan masih banyak pejabat dan
pengawal istana. Sedangkan kekuasaan militer dan peralatan perang tetap ditangan keluarga kerajaan langsung,
para negarawan juga menetapkan Xíngfá 刑罰 (hukuman) dan Jiānyù 監獄 (penjara) yang sangat kejam. Selain itu,
juga menggunakan kepercayaan agama untuk memperkokoh kekuasaan pemerintah, raja Dinasti Shāng bahkan
menyebut diri sendiri sebagai wakil dari Tuhan didunia ini, mengabungkan kekuasaan ketuhanan dan kekuasaan
kerajaan.
D. Kondisi Ekonomi
Pertanian Dinasti Shāng sudah lebih maju, sudah bisa menggunakan berbagai jenis tanaman untuk diciptakan
menjadi arak, sudah sanggup menciptakan peralatan perunggu yang lebih rapi dan bagus serta sudah bisa membuat
keramik putih atau porselin. Oleh karena sangat berkembangnya pertukaran barang, sehingga telah muncul kota
pada awal peradaban manusia, dan merupakan kerajaan yang sangat makmur pada waktu itu. Oleh karena
perdagangan Dinasti Shāng sangat maju, hubungan dagang dengan negara disekitarnya juga sangat banyak, sebutan
pedagang dalam bahasa Cina, Shāngrén (pedagang), adalah berasal dari sebutan orang-orang di negara sekitarnya
terhadap orang dari Dinasti Shāng. Pertanian adalah bagian paling penting dalam bidang ekonomi, tanah pertanian
lebih tertata dan teratur, jenis pertanian juga lebih banyak. Usaha pertenunan juga mengalami perkembangan ;
peternakan sangat makmur, selain enam jenis ternak utama, juga berhasil memelihara ternak gajah.
E. Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan
Pada zaman Dinasti Shāng 商, mulai dikembangkan kemampuan kerajinan besi, kerajinan keramik dan
porselin, perdagangan juga sangat pesat. Dari hasil penemuan tulang ramalan (Jiǎgúwén 甲骨文) membuktikan
perkembangan tulisan pada masa Dinasti Shāng sudah mengalami suatu masa perkembangan yang cukup lama.
Astrologi dan tata hukum lebih maju dari zaman Dinasti Xià, banyak penemuan baru dari ilmu perbintangan,
seperti ditemukannya planet Mars dan planet Venus, selain itu, juga terdapat catatan tertulis tentang ilmu
matematika dan medis, serta perkembangan seni musik juga sudah sangat tinggi, muncul banyak alat musik dan
seni tari; seperti Diāosù yang merupakan salah satu seni paling terkenal pada masyarakat perbudakan Dinasti
Shāng.
F. Legenda
1. Dewi Nǚwā
Nǚwā atau disebut juga sebagai Dewi Nǚwā (女娲) bermarga Fèng 凤, lahir di Chéngjì 成纪,
diceritakan bernama Fèng Lǐxī 风里希. Salah satu dari Tiga Maharaja (Sān Huáng 三皇) dari suku
Tionghua, dan merupakan leluhur dari manusia, yang dalam legenda, manusia adalah keturunan dari dia
dan kakaknya Fuxi (Fúxī 伏羲). Ada juga legenda yang menceritakan dia menciptakan manusia dari tanah
liat kuning, menggunakan batu lima warna menambal langit, memotong empat kaki kura-kura raksasa
untuk mengantikan empat pilar penahan langit yang roboh, menyurutkan banjir dan memusnahkan
binatang buas, sehingga manusia bisa hidup aman dan tenteram.
Menurut legenda, bentuk Nǚwā 女娲 adalah berkepala manusia berbadan ular, dan memiliki kemampuan
menciptakan manusia. Pada mulanya ia menggunakan tanah liat untuk menciptakan manusia dengan tangan,
tetapi karena terlalu lambat, akhirnya ia menggunakan cara mencelupkan tali ke dalam tanah liat dan
mengibaskannya, menciptakan manusia dalam jumlah banyak. Manusia yang diciptakan pada awalnya dengan
tangan sendiri adalah kaum bangsawan dan yang kemudian diciptakan dari gumpalan tanah liat yang dikibaskan
memakai tali adalah rakyat biasa. Cara menciptakan manusia yang memiliki perbedaan ini, juga merupakan cara
3

dari para penguasa pada zaman Masyarakat Budak dan zaman Masyarakat Feodal untuk menyampaikan "Teori
Mandat Surga" kepada rakyatnya, guna untuk melindungi kekuasaan mereka.
Menurut catatan buku sejarah Shi Jì 史记 bagian Bǔsān Huángběnjì 补三皇本纪, dewa
air Gònggōng (共工) memberontak, dan berperang dengan dewa api Zhùróng (祝融). Gònggōng dikalahkan
oleh Zhùróng, dalam amarahnya, Gònggong membenturkan kepalanya ke pilar penahan langit barat,
yaitu gunung Bùzhou, sehingga langit miring, air dari sungai langit melimpah ke bumi. Nǚwā tidak tega melihat
manusia menderita, sehingga ia melebur dan menggunakan Batu Lima Warna (Wǔsèshí 五色石) untuk
menambal langit (ada yang mengatakan tujuh warna, sebagai bentuk dari warna pelangi sekarang). Catatan
literatur kuno lainnya terdapat perbedaan, seperti buku Huáinánzi 淮南子 bagian Tiānwénxùn 天文训 dicatat
sebagai perang antara Gònggōng dan Zhuānxū 颛顼; buku Huáinánzi (淮南子) versi lain (Yuándào 原道)
dicatat sebagai perang antara Gònggōng dan Gāoxīn 高辛 ; buku Diaoyùjí 雕玉集 bagian Zhuànglì 壮力 dicatat
sebagai perang antara Gònggōng dan Shénnóng 神农; buku Lùshi 路史 bagian Tàiwújì 太吴纪 dicatat sebagai
perang antara Gònggōng dan Nǚwā.
Legenda Nǚwā menambal langit adalah sebuah legenda yang sangat terkenal. Pada permulaan roman
terkenal, Impian dari Paviliun Merah (Hóng Lóu Mèng 红楼梦) memakai pendahuluan dengan legenda ini,
Nǚwā dalam rangka menambal langit, melebur 36.501 buah batu, dan yang dipakai 36.500 buah, sisa satu tidak
dipakai.
Selain itu, Nǚwā juga menciptakan alat musik yang disebut dengan Sè 瑟. Legenda lain menceritakan
bahwa setelah Nǚwā meninggal, ususnya berubah menjadi 10 orang dewa, yang pergi menetap dan hidup di
dunia barat.
Ada cerita lain yang mengatakan kemudian Nǚwā naik ke langit, dalam kawalan Naga Putih tanpa tanduk
(Báichī 白螭) dan Ular Naga (Téngshé 騰蛇) sampai di istana langit. Dalam legenda menceritakan bahwa Nǚwā
dan Fúxī adalah kakak adik, yang juga merupakan suami istri.
Suku Miáo 苗 dan beberapa suku lain di daerah Tiongkok Selatan menghormati Nǚwā sebagai dewa besar,
dan ada bangunan kuil untuk sembahyang kepada Nǚwā.
Bersama dengan Nuwa dihormati sebagai leluhur dari manusia, dan dalam legenda diceritakan sama
dengan Nuwa, bagian bawah badannya berbentuk ular. Dalam legenda menceritakan bahwa Fuxi mengajari
orang membuat jala, menangkap ikan dan berternak, menciptakan Delapan Trigram atau Bagua dan sebagainya.
Taihao Fuxi menetapkan ibu kota di Wanqiu, sekarang Daerah Huaiyang, Provinsi Henan.
Menurut legenda, Fuxi duduk di atas altar persegi empat, mendengar suara dari delapan angin,
mengambarkan Delapan Trigram/Bagua. Bagua berkembang menjadi Yijing, yang merupakan asal mula kultur
dan budaya suku Huaxia. Melalui media tertentu (seperti dari kulit kura-kura) untuk meminta petunjuk dari
dewa, Qiuqian dan Zhibei sebenarnya adalah versi penyederhanaan dari Yijing.
2. Zhu Rong
Zhu-Rong adalah dewa Cina kuno Api. Dia dikatakan naik harimau, aturan kuartal selatan surga dan
berurusan dengan tatanan universal. Gelar keduanya adalah algojo Surgawi, dan kisah itu dengan asumsi
judul ditemukan lebih jauh ke dalam artikel. Salah satu legenda mengatakan bahwa Zhu Rong-mulai
hidup sebagai Li, putra dari seorang kaisar suku. Dia dikatakan tinggi dan pintar, tetapi dengan
temperamen yang berapi-api. Li mengembangkan ikatan yang besar dengan api dan belajar bagaimana
mengelolanya, mampu menjaga api menyala untuk waktu yang lama. Karena Li bisa menggunakan api
untuk memasak, memberikan kehangatan, memberikan cahaya dan mengusir binatang dan serangga,
rakyatnya menamainya dewa api.
Legenda lain bercerita tentang tempat-Zhu Rong di langit dan pertempuran epik dengan naga hitam, Gong-
Gong. Mitos penciptaan mengatakan bahwa langit dibagi antara empat roh: Tetsukami Kita - semangat kematian
angin Utara Ao-Kuang - Thunder naga Timur Xi-Wangmu - dewi dari Peach Garden Surgawi di Barat Zhu-
Rong - Api dewa Selatan.
Untuk mendapatkan tempat sebagai dewa selatan, Zhu Rong-telah berjuang naga sengit, hitam Gong-Gong.
Naga dikatakan telah menghina Tokoh Agustus Jade (Juga disebut sebagai Kaisar Langit), menantang
otoritasnya. Para Tokoh Agustus Jade adalah Bapa dari Surga, yang bertanggung jawab atas hidup dan mati di
Bumi, dan dewa sangat dihormati.
Menurut legenda, Zhu Rong-dan Gong-Gong, berjuang selama beberapa hari, akhirnya jatuh dari surga
sementara masih terkunci dalam pertempuran. Akhirnya, Zhu Rong-mengalahkan naga dan diberi tempat
sebagai dewa api. Kisah apa yang terjadi pada naga setelah tumpang tindih bertarung dengan yang lain kisah
tentang Zhu Rong-, dibahas berikutnya. Gong-Gong dikatakan sangat marah pada kekalahannya bahwa ia
bertekad untuk bunuh diri dengan menghancurkan salah satu pilar dari Surga.
Dia dikatakan telah menabrakkan kepalanya ke pilar, membunuh dirinya sendiri dalam proses, dan
menyebabkan lubang untuk membentuk di Surga. Melalui lubang ini muncul semburan air yang menyebabkan
4

banjir besar. Banjir memporakporandakan bumi dan dewi, Nu-Gua harus memperbaiki kerusakan, tapi ia bisa
melakukan apa-apa tentang Bintang Kutub. Selama pergolakan, Surga telah tip samping dan Bintang Kutub
tetap keluar dari posisi, tidak menjadi pusat langit malam sampai hari ini
3. Ma Zu (Ma Cho (Hock Kian) adalah salah satu dewi dalam kepercayaan orang Tiongkok (termasuk
Taiwan). Dipuja karena dikenal sebagai sosok penolong, pelindung (terutama bagi pelaut dan
nelayan), dan sangat berbudi luhur)
Banyak versi mengenai kisah dewi bernama asli Lin Mo Niang ini, namun semua mengarah pada satu
kesamaan. Bahwa ia adalah manusia yang "terpilih" menjadi orang suci.
Legenda Ma Zu (Bunda Pelindung) ini berasal dari masa awal Dinasti Song (960-1279 M) di Tiongkok
kuno pada seribu empat puluh tujuh tahun lalu. Adalah keluarga Lin (disebut juga Lim), keturunan mantan
Gubernur Provinsi Fu Zian (Tiongkok) bernama Lin Fu. Anaknya bernama Lin Wei Ke menempati sebuah
rumah di Provinsi Fu Zian, dekat kota Pu Tian, persisnya di sebuah pulau kecil bernama Mei Zhou (sering juga
disebut Pulau Matsu -wilayah RRC).
Lin Wei -seperti juga ayahnya- adalah mantan pejabat pemerintah Tiongkok. Setelah pensiun ia kembali ke
kampung halamannya. Menghabiskan masa tuanya dengan bertani dan mempelajari banyak kitab agama dan
buku pengetahuan. Ia hidup bahagia, damai dan tenang.
Lin dikenal sebagai orang yang sangat saleh, baik budi, suka menolong dan berderma, sehingga sangat
dihormati penduduk Mei Zhou. Dari istri tercintanya Wang Shi, Lin memiliki 6 anak, 5 perempuan dan 1 lelaki.
Keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang pintar dan cerdas. Namun anak lelakinya bernama Hong
bertubuh sangat lemah dan sakit-sakitan.
Wang Shi, sangat prihatin dan khawatir pada nasib anak lelakinya. Ia dan suaminya Lin, selalu memohon
pada Yang Maha Kuasa agar diberi anak lelaki lagi. Namun yang sehat dan kuat sebagai penerus generasi marga
Lin.
Kelahiran Lin Mo Niang
Suatu hari, Lin dan Wang melakukan sembahyang khusus di klenteng. Mereka memohon kepada Dewi Kuan Im
untuk mengabulkan harapan mereka untuk mendapatkan seorang anak lelaki lagi. Malam harinya setelah pulang
dari klenteng, Wang Shi pun bermimpi. Ia bermimpi didatangi Dewi Kuan Im yang mengatakan bahwa semua
amal dan kebajikan pasangan Lin dan Wang pantas mendapat balasan. Sang Dewi memberi Wang sebuah pil
bundar sebesar kelereng dan menyuruh menelannya. Wang Shi pun menelan pil tersebut.
Setelah menelan pil itu Wang Shi pun mengandung. Ia hamil selama 12 bulan. Tepat pada malam tanggal 23
bulan 3 tahun Imlek (960 M), langit di wilayah Barat Laut Mei Zhou memendarkan cahaya merah terang.
Menerangi rumah Lin dan Wang. Dibarengi sinar warna-warni yang memukau, Wang Shi pun melahirkan
seorang bayi perempuan.
Walau heran mengapa diberi anak perempuan, Lin dan Wang tetap bersyukur juga. Sebulan sudah
kelahirannya, anak tersebut tidak pernah sekali pun menangis. Karena itulah Lin memberi nama padanya Mo
Niang (Mo artinya diam; Niang artinya perempuan), "Perempuan Pendiam".
Masa Kecil
Sejak kecil Lin Mo Niang sangat berbeda dari anak seusianya. Ia tampak lebih cerdas, bijak dan terampil.
Sejak umur 8 tahun, ia sudah tertarik pada pengetahuan dan buku. Kelebihannya, sekali baca, Mo Niang akan
tetap mengingat apa yang telah dibacanya. Jika ada yang ingin diketahuinya, ia selalu rajin bertanya pada orang
dewasa, sampai sedetail-detailnya.
Umur 10 tahun, Mo Niang sudah rajin sembahyang dan mempelajari isi kitab-kitab suci Buddha. Sampai
akhirnya diusia 13 tahun ia sudah menamatkan semua pelajaran dan menguasai banyak pengetahuan dan
keterampilan, termasuk dalam bidang agama dan kepercayaan. Ia berkembang menjadi remaja yang sangat
cerdas, kritis dan suka menolong. Ia pun menjadi sangat dihormati penduduk Mei Zhou dan sekitarnya.
Satu kesenangan Mo Niang, yaitu ia sangat menyukai air. Kehidupan di tepi laut menempa dirinya menjadi
seorang perempuan yang tak pernah gentar menghadapi dahsyatnya gelombang dan angin badai yang
menghantui para pelaut. Di seluruh pulau, ia dikenal sebagai jagoan renang bahkan di gelombang laut yang
besar sekali pun.
Saat remaja ini, Mo Niang pernah bertemu seorang pertapa tua. Si pertapa merasa pengetahuan umumnya
ternyata masih kalah dengan Mo Niang. Dari "orang pintar" ini lah kemudian Mo Niang mendapat pelajaran
mengenai taktik dan strategi militer, pengenalan dan penggunaan alat-alat perang, sampai beberapa ilmu
"rahasia" leluhur.
Kebajikan
Ketika menginjak usia 16 tahun, Mo Niang mengalami peristiwa aneh. Suatu hari ia (seperti juga gadis remaja
lainnya) sedang mematut diri dengan baju baru di depan cermin bersama teman remaja sebaya di sebuah taman
di dekat sebuah sumur. Tiba-tiba , dari dalam sumur muncul sosok lelaki tua misterius. Penampakan itu sangat
mengejutkan. Teman-temannya langsung lari ketakutan karena mengira orang tua aneh itu adalah siluman.
5

Namun Mo Niang segera sujud menyembah, karena ia tahu sosok itu adalah jelmaan Dewa. Sang Dewa ternyata
membawa sebuah jimat dari kuningan dan memberikannya pada Lin Mo Niang.
Sejak mendapat jimat, Mo Niang pun langsung memanfaatkannya untuk menolong sesama. Ia membantu
menyembuhkan orang sakit, memberi penghiburan pada yang bersedih, menjauhkan malapetaka dan banyak
perbuatan baik lainnya. Kemahirannya dalam pengobatan ini menyebabkan orang-orang di desa menyebutnya
sebagai ling nu (gadis mukjizat), long nu (gadis naga) dan shen gu (bibi yang sakti).
Pernah suatu kali saat usianya baru 17 tahun, Mo Niang melihat ada kapal yang berlayar di dekat Pulau Mei
Zhou yang sedang dipermainkan badai besar. Kapal itu tenggelam dengan cepatnya. Namun Mo Niang segera
melompat ke laut dan dengan cekatan ia menyelamatkan seluruh pelaut yang terjebak badai tersebut. Semua
awak berhasil diselamatkannya. Dari sini banyak orang yang mendengar tentang kehebatan, dan budi baik Mo
Niang. Ia pun semakin terkenal dan dihormati.
Ada versi legenda yang mengatakan, pada usia 23 tahun, Mo Niang berhasil menaklukkan 2 orang sakti yang
menguasai pegunungan Tao Hua Shan. Keduanya adalah Chien Li Yen yang punya penglihatan sangat tajam
dan Hsun Feng Erh yang pendengarannya sangat peka. Setelah dikalahkan akhirnya mereka menjadi
pengawalnya.
"Mimpi Buruk"
Lin Mo Niang memang sangat cantik dan baik hati, namun ia tidak pernah menikah. Setidaknya ia memang
membaktikan dirinya untuk menolong sesama dan berbuat kebaikan sesuai ajaran kebajikan.
Menginjak usia 28 tahun, di musim panas (sekitar tahun 987 M), sebuah "tragedi" terjadi. Saat itu Lin Mo Niang
sedang menenun pakaian. Namun karena lelah, ia pun tertidur pulas.
Sementara itu ayah dan saudaranya sedang berlayar pulang ke Mei Zhou dari perjalanan jauh. Kapal yang
mereka tumpangi diserang badai dan akhirnya tenggelam.
Bersamaan dengan itu, Mo Niang bermimpi, ia merasa rohnya melayang-layang di atas permukaan laut. Ia
terkejut saat menyaksikan kapal sang ayah tenggelam. Ayah dan saudaranya pun terseret masuk ke dalam
amukan badai. Mo Niang segera berenang dan menyelam ke laut untuk menolong mereka. Ia menggigit baju
sang ayah sementara dengan tangan yang lain ia menyeret abangnya. Bersusah payah ia mencoba
menyelamatkan kedua orang yang dikasihinya itu.
Namun saat penyelamatan masih berlangsung, tiba-tiba ibunya memanggil. Ia pun terkejut dan berteriak kaget,
sehingga gigitannya terlepas sementara tangannya tetap menyeret tubuh abangnya. Tetapi saat terbangun Lin
Mo Niang mendapati dirinya masih di ruang tenun. Ia pun menceritakan mimpinya itu pada sang ibu. Wang Shi,
ibunya, berkata bahwa itu hanya mimpi.
Tetapi tak lama kemudian, sebuah kabar buruk pun datang. Seorang pelaut memberitahu bahwa kapal yang
ditumpangi Lin dan putranya tenggelam. Jasad Lin tidak ditemukan, tetapi Hong abangnya berhasil
diselamatkan.
Mendengar kabar itu, betapa pilu hati Mo Niang. Dalam keadaan sedih ia pun segera berlayar ke laut. Selama
tiga hari tiga malam ia berusaha menemukan jasad ayahnya. Pencariannya tak sia-sia. Ia pun kemudian ke
Pantai Mei Zhou bersama jasad sang ayah.
Menjadi Dewi
Sejak kematian sang ayah, Mo Niang setiap hari bersedih dan selalu menangis. Hingga pada tanggal 8 bulan 9
tahun Imlek (987 M), ia pun mengakhiri kepiluannya. Saat itu ia berkata kepada seluruh keluarga dan ibunya
bahwa ia akan menyendiri dan menjauhi keramaian duniawi. Ia akan pergi dalam perjalanan yang sangat jauh.
Keesokan harinya, tanggal 9 bulan 9 Imlek (987 M), Lin Mo Niang melakukan persiapan. Ia sembahyang
dengan sangat khusyuk sambil merapal kitab-kitab suci. Suasana sangat hening dan memilukan. Seluruh
keluarga pun kini yakin bahwa Mo Niang memang bertekad akan pergi jauh.
Ibunya meminta Mo Niang untuk tidak pergi seorang diri dan menawarkan seorang pendamping dalam
perjalanannya. Namun Mo Niang menolaknya dengan halus dan menyakinkan seluruh keluarga bahwa kini
sudah tiba waktunya untuk pergi seorang diri.
Usai memanjatkan doa, tiba-tiba langit di sekitar kediaman keluarga Lin di Pulau Mei Zhou dikelilingi selubung
awan putih. Pendar sinar warna-warni yang indah terlihat di atas langit. Banyak orang yang menyaksikan sinar
terang dan sosok Dewi Kuan Im berada di atas sebuah awan yang paling terang.
Lalu tiba-tiba Lin Mo Niang menatap ke atas dan melompat ke awan. Awan tiba-tiba menutup dan terang
cahaya semakin memudar. Akhirnya awan membumbung terbang jauh seiring sinar yang menghilang lenyap…
langit pun kembali normal. Lin Mo Niang pun lenyap bersama awan…
Klenteng Dewi Ma Zu
Lin Mo Niang tetap dikenang sampai seribuan tahun. Perempuan yang sudah dianggap sebagai Dewi Ma Zu itu,
hingga kini tetap dipuja sebagai "Bunda Pelindung" dan "Bunda Penolong" bagi sebagian besar orang Tiongkok.
Setelah "kepergiannya" yang gaib, di Pulau Mei Zhou (Matsu), sebuah klenteng dibangun untuk pemujaannya.
Klenteng itu dikenal sebagai Tian Hou Gong (Istana sang Dewi).
6

Kini, diperkirakan sekitar 5.000-an unit klenteng Ma Zu di dua puluh negara di dunia sudah didirikan. Seluruh
klenteng itu dibangun untuk memuja dan sembahyang kepada Dewi Ma Zu oleh sekitar 200 juta jiwa orang
yang mempercayainya.
Setiap tahunnya, lebih dari sejuta orang memenuhi klenteng itu untuk sembahyang dan meminta berkat pada
Dewi Ma Zu. Karena orang Tiongkok percaya bahwa Dewi Ma Zu bisa melindungi dan mengabulkan segala
permohonan mereka. Bahkan kaum pelaut di wilayah pantai dan perairan Timur RRC (termasuk Taiwan)
memuja Dewi Ma Zu sebagai Dewi Pelindung Laut. Dewi yang melindungi mereka saat melaut.
Dua tahun sekali, persisnya pada tanggal 23 bulan 3 dalam penanggalan lunar (kalender China/imlek) dan
tanggal 9 bulan 9, pemuja Dewi Ma Zu, berkumpul dan melakukan sembahyang di klenteng Dewi Ma Zu untuk
menghormatinya. Tanggal 23 bulan 3 adalah peringatan ulang tahunnya dan tanggal 9 bulan 9 adalah peringatan
wafatnya.
Hingga kini, Klenteng Ma Zu di Pulau Mei Zhou sebagai klenteng pertama bagi Lin Mo Niang, tetap dipenuhi
orang.
Bahkan menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Selat Taiwan, Laut China Timur. Klenteng itu dibangun pada
masa Dinasti Song sekitar tahun 987 M di puncak sebuah bukit. Ditandai dengan patung Dewi Ma Zu setinggi
14,35 meter. Inilah yang menjadi lambang kebanggaan dan ciri khas budaya penduduk Pulau Mei Zhou.
Sejak tahun 1998, pemerintah Pulau Mei Zhou juga telah membangun sebuah Istana Dewi Ma Zu di dekat
klenteng tuanya.
Bangunan istana ini didirikan sepanjang 323 meter dengan lebar bangunan 99 meter. Arsitekturnya ditata
seindah mungkin mengikuti garis kontur perbukitan di pulau tersebut. Istana Dewi Ma Zu ini sangat megah.
Mengimbangi kemegahan Potala Palace tempat Dalai Lama Tibet di Lhasa. Bangunan istana untuk
menghormati Dewi Ma Zu ini selesai dikerjakan pada 2002. Kini menjadi satu obyek wisata yang cukup
tersohor.
Sementara di Indonesia, khususnya di Medan, terdapat juga klenteng Dewi Ma Zu (Dewi Macho) di kawasan
Jalan Pandu Medan. Selain itu juga tersebar di tepi pantai timur Sumatera dan daerah lainnya.
Kepercayaan kepada Dewi Ma Zu
Dewi Ma Zu sangat diagungkan di Taiwan. Hampir seluruh warga Taiwan selalu memuja dan menghormati
Dewi Ma Zu. Bukan hanya rakyat biasa, para pejabat tinggi pemerintahan juga senantiasa memohon restu
padanya.
Bahkan Presiden Taiwan sendiri, Chen Shui-bian, juga kerap mengunjungi klenteng Dewi Ma Zu untuk
meminta restu dan perlindungan dari sang dewi, agar ia senantiasa dicintai rakyatnya. Pada saat menjelang
Pemilu di Taiwan, banyak kandidat dan tokoh politik yang juga melakukan sembahyang di Klenteng Dewi Ma
Zu.
Sementara kisah-kisah rakyat dan para pelaut menyebutkan bahwa penampakan Dewi Ma Zu sering terlihat.
Umumnya saat ombak laut sedang mengganas atau badai mendera. Dewi Ma Zu disebutkan hadir untuk
menolong para pelaut yang mempercayainya.
Konon kehadiran Dewi Ma Zu ini ditandai dengan sinar merah terang. Mungkin karena sejumlah saksi mata
yang pernah terselamatkan dari amuk lautan mengatakan bahwa Dewi Ma Zu senantiasa menggunakan pakaian
merah sambil memegang lampion terang benderang yang juga berwarna merah. Dengan panduan lampion
tersebut, Dewi Ma Zu membimbing pelaut dan nelayan meniti gelombang menuju tempat yang aman.
Karena itulah Dewi Ma Zu begitu populer dikalangan masyarakat nelayan dan desa-desa tepi laut. Bahkan sejak
dulu para pelaut Tiongkok selalu sembahyang kepada Dewi Ma Zu agar diberi keselamatan dalam pelayaran.
Mereka juga memasang patung Dewi Ma Zu di kapalnya.
Walau dikenal sebagai Dewi Pelindung Laut, Dewi Ma Zu tetap saja dipuja bukan oleh kalangan nelayan dan
pelaut semata. Ia juga dipercaya dapat memberikan berkat untuk menyembuhkan penyakit, menepis bencana
dan malapetaka, memberi kesuburan, sampai memberi perlindungan dan keselamatan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan adanya pembuatan makalah ini, penulis dapat mengetahui sejarah, wilayah kekuasaan, kondisi ekonomi,
ilmu pengetahuan dan seni budaya, serta mengetahui beberapa legenda yang ada pada zaman dinasti Shang.
Dan dapat disimpulkan bahwa dinasti Shang adalah dinasti yang menggantikan dinasti Xia dalam sejarah China
yang dipimpin oleh Raja ShangTang dan melewati masa pemerintahan sebanyak 17 generasi dna 31 raja.

Anda mungkin juga menyukai