Anda di halaman 1dari 3

Kerajaan Pagan (849–1297)

Kerajaan Pagan (849-1287) dianggap sebagai kekaisaran pertama di Burma. Nama


Pagan juga dieja Bagan. Selama era kerajaan Pyu, antara tahun 500 hingga 950, Bamar, bagian
dari grup etnis Burma, mulai menginfiltrasi wilayah utara hingga tengah Burma, yang
sebelumnya diduduki oleh orang Pyu dibawah pengaruh Buddha Mahayana dari Bihar dan
Benggala.

Menurut Coedes (1964: 153-154), pada tahun 849 M, Pagan secara pasti masuk sejarah,
kalau bukan dari segi epigrafi, sekurang-kurangnya dalam sumber-sumber pribumi dengan
dibangunnya benteng oleh Raja Pyinbya.

Awal Mula Pagan Menurut Legenda Setempat

Menurut babad-babad pribumi, Pagan pada mulanya merupakan pengelompokkan


sembilan belas desa yang pada masing-masing desa memuja "nat" atau roh. Setelah desa-desa itu
melebur menjadi satu kota, rajanya sepakat dengan kawulanya untuk menegakkan kultus satu
"Nat" bersama yang akan dipuja oleh semua orang dan bakal mengungguli semua roh yang lain.
Kultus itu bertujuan menyatukan berbagai suku menjadi satu bangsa yang utuh.

Gunung Poppa, bekas gunung berapi yang letaknya tidak jauh dari kota dan pada waktu
itu sudah disembah oleh Burma, dipilih untuk menempatkan roh sepasang laki-laki dan
perempuan bersaudara yang bernama Min Mahagiri dan Taunggyi Shin (nama keduanya berarti
"Tuan dari Gunung Besar) yang konon dibunuh secara tidak adil oleh raja tetangga. Roh itu
menjelma ke dalam sebuah pohon. Pohon itu setelah dipotong hanyut sampai Pagan. Hal yang
menarik dari legenda itu ialah karena ditunjukkannya penegakan kultus suatu roh di atas gunung
berhubungan dengan penyatuan keagamaan dan kewilayahan, serta lahirnya suatu negeri.

Kerajaan Pagan Awal

Orang Bamar, yang datang sewaktu orang Nanzhao menyerbu negara-negara kota orang
Pyu pada permulaan abad ke-9, menetap di kawasan Birma Hulu (perpindahan orang Bamar ke
daerah hulu Lembah Sungai Irawadi diperkirakan bermula pada abad ke-7). Pada pertengahan
sampai penghujung abad ke-9, orang Bamar mendirikan Pagan sebagai sebuah pemukiman
berbenteng di lokasi yang stategis, dekat pertemuan arus sungai Irawadi dan arus anak sungai
utamanya, Sungai Chindwin.

Mungkin pula kota Pagan didirikan untuk membantu orang Nanzhao menundukkan
desa-desa di sekitarnya. Selama 200 tahun setelah didirikan, mandala kekuasaan praja kecil itu
perlahan-lahan meluas ke daerah-daerah di sekelilingnya hingga meliputi kawasan seluas kira-
kira 200 mil dari utara ke selatan dan 80 mil dari timur ke barat ketika Anawrahta naik takhta
pada 1044.

Kemaharajaan Pagan (1044–1287)

Selama 30 tahun sejak naik takhta, Anawrahta membangun Kerajaan Pagan, dan untuk
pertama kalinya berhasil mempersatukan daerah-daerah yang kelak membentuk wilayah negara
Birma modern. Pada penghujung abad ke-12, raja-raja penerus Anawrahta telah berhasil
memperluas mandala kekuasaan mereka lebih jauh lagi ke arah selatan sampai ke kawasan utara
Semenanjung Malaya, ke arah timur sekurang-kurangnya sampai ke Sungai Salwin, ke arah utara
sampai mendekati garis perbatasan dengan negara Tiongkok sekarang, dan ke arah barat sampai
ke kawasan utara Arakan dan Perbukitan Chin. Menurut kronik-kronik Birma, seluruh Lembah
Sungai Chao Phraya adalah wilayah suzerenitas Kerajaan Pagan, dan menurut kronik-kronik
Siam, kawasan selatan Semenanjung Malaya sampai ke Selat Malaka juga tercakup dalam
wilayah Kerajaan Pagan.

Pada permulaan abad ke-12, Kerajaan Pagan telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan
besar yang setara dengan Kemaharajaan Khmer di Asia Tenggara, serta diakui kedaulatannya
oleh raja-raja wangsa Song di Tiongkok dan raja-raja wangsa Chola di India. Sampai dengan
pertengahan abad ke-13, sebagian besar daratan Asia Tenggara — dalam taraf-taraf tertentu —
berada di bawah kendali Kemaharajaan Pagan atau Kemaharajaan Khmer.

Raja-Raja Pagan yang Terkenal

Pada tahun 931 M, tahta Pagan ditempati oleh Nyaung-u So-rahan, seorang tukang
kebun yang telah merebut kekuasaan dengan membunuh Raja Theingo (Singho). Menurut babad-
babad Burma, tukang kebun itu akhirnya digulingkan pada tahun 964 M oleh Kunshô
Kyaungphyu, wakil dari pemerintahan yang sah yang menikahi ketiga istri pendahulunya. Akan
tetapi pada tahun 986 M, kedua anak tukang kebun dengan dua ratu pertama memaksa pangeran
itu untuk menjadi biarawan. Setelah memerintah selama 6 tahun, Kyiso sulung tewas sewaktu
berburu, kemudian pada tahun 992 M digantikan oleh adiknya yang bernama Sokkate yang
kemudian dibunuh pada tahun 1044 M oleh seorang putra dari Kunshô Kyaungphyu dengan ratu
yang ketiga, yaitu Anawratha yang merupakan raja yang paling terkenal dalam sejarah Burma.

Anawratha yang menjadi raja pada tahun 1044 M memperbesar wilayah Kerajaan Pagan
yang pada mulanya agak kecil. Di dalam negeri kedua karyanya yang paling mencolok adalah
penciptaan sebuah sistem pengairan di sebelah timur ibu kota, di dataran rendah Kyaukse yang
bersawah, yang akan menjadi lumbung sebelah utara Burma, dan pemindahan agama negeri ke
Buddhisme aliran Theravada. Masuknya Buddhisme Theravada di Pagan menurut legenda
adalah hasil ekspedisi tahun 1057 M melawan Suddhammavati (Thaton, di Pegu).

Anawratha meninggal dunia pada tahun 1077 M karena kecelakaan dalam perburuan.
Kerajaan yang ditinggalkannya terbentang dari Bhamo sampai Teluk Martaban, termasuk daerah
utara Arakan dan daerah utara Tenasserim, yang dipertahankan oleh sederetan kota perbentengan.
Kerajaan itu menonjolkan Buddhisme Theravada, yang dipengaruhi dari segi seni dan budaya
oleh peradaban Mon, yang untuk selanjutnya mampu tampil sebagai kekuatan besar di
Semenanjung Indochina.

Kemudian tahta dilanjutkan oleh penerusnya, yaitu Kyanzittha (1084-1112) dan


Alaungsithu (1112-1167), Kyanzittha dipilih untuk menjalankan tahta pada tahun 1084 M.
Tindakannnya yang pertama ialah merebut kembali kerajaannya dengan melawan Ngayaman
Khan dari Pegu. Kyanzittha berhasil mengalahkan Pegu, dan Ngayaman Kan tewas waktu
mengundurkan diri. Setelah menjadi raja, Kyanzittha bergelar Tribhuvanaditya Dhammaraja
yang selanjutnya menjadi gelar yang dipakai semua raja dinasti itu. Ia menikahi wanita Pegu
bernama Khin U. Pernikahan ini dipandang sebagai kedaulatan Raja Pagan atas bangsa Mon.
Sebelum menjadi raja, Kyanzittha pernah menikah dengan Ratu Abeyadana, mereka memiliki
seorang putri bernama Shwe-einthi yang dinikahkan dengan Soyun, putra Solu saudaranya. Dari
pernikahan itu lahir seorang putra yang kelak menjadi raja di masa depan, yaitu Alaungsithu.

Anda mungkin juga menyukai