Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN NASIONALISME ARAB

Di Susun Oleh:

Paulinus Yanto (121314013)


Metina Gulo (121314019)
Mugianto (121314024)
Natalia Desi (121314041)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014

BAB I

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Nasionalisme adalah sikap politik dan sosial dari sekelompok bangsa yang mempunyai kesamaan
kebudayaan, bahasa dan wilayah serta kesamaan cita-cita dan tujuan dengan meletakkan kesetiaan
yang mendalam terhadap kelompok bangsanya.

Lahirnya nasionalisme di setiap negara berbeda – beda. Hal ini disebabkan adanya semangat dari
rakyat untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain,
dan menunjukkan cinta akan tanah airnya.

Nasionalisme yang telah lahir di Arab, Turki, dan Mesir menunjukkan sebuah perjuangan untuk
membabaskan diri dari orang Eropa yang telah menguasai hampir seluruh bidang kehidupan. Baik
sistem pemerintahan atau politik, ekonomi dan budaya. Setelah berhasil melahirkan nasionalisme,
maka mempertahankan. Supaya terjadi perkembangan dari hari ke hari.
2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana perkembangan nasionalisme di Arab ?

2) Bagaimana perkembangan nasionalisme di Mesir ?

3) Bagaimana perkembangan nasionalisme di Turki ?

3. Tujuan Penulisan

Mahasiswa mampu :

1. Menjelaskan perkembangan nasionalisme di Arab.

2. Menjelaskan perkembangan nasionalisme di Turki.

3. Menjelaskan perkembangan nasionalisme di Mesir.

4. Menjelaskan nilai – nilai perjuangan dari perkembangan nasionalisme di Arab, Turki , dan Mesir

BAB II

PEMBAHASAN

1. Perkembangan Nasionalilsme di Arab

Struktur suatu kebangsaan Arab sudah berkembang dengan baiknya didalam dua zaman yang telah
kita bicarakan. Kemudian berabad-abad lamanya tenggelam dibawah beban yang melemahkan
berupa kebodohan dan kemaksiatan. Kebekuan ini kemudia terjadi lagi dan hidup kembali karena
bentrokan dengan Barat. Dengan kebangkitan kembali secara umum ini, datang kembali kesadaran
nasionalis Arab. Hampir tak perlu diterangkan lagi bahwa istilah modern dalam rentetan waktu,
hanyalah dalam artinya dalam hubungan cara memandang sepintas. Apabila dikenakan kepada
Eropa, misalnya zaman modern bisa bermula pada Renasissance. Mengenai dunia Arab, juga
berbeda-beda, terutama bukan karena tiadanya penyesuaian paham tentang peristiwa mana yang
dianggap paling penting atau paling revolusioner, akan tetapi karena peristiwa-peristiwa yang
mewakilli zaman modern tak mengikuti suatu pola yang seragam atau jejak yang seragam pula
diberbagai bagian dunia Arab.

1) Faktor-faktor yang membina nasionalisme Arab

1. Bahasa
Faktor utama, yang mendapat persetujuan secara umum, ialah bahasa. Bangsa-bangsa berbeda satu
sama lain terutama sekali di sebabkan bahasa. Tak ada seorangpun yang dapat mengukur dengan
tepat percampuran jenis bahasa yang telah terjadi selama berabad-abad itu ; menurut catatan
sejarah, tak sedikit terjadi percampuran itu. Akan tetapi hal ini sedikit sekali dapat menghalangi
aspirasi untuk menjadikan peta politik bersesuaian dengan peta bahasa. Satu bahasa persatuan
penting sekali bagi gagasan Nasional, karena bahasa demikian itu merupakan hasil yang paling
individual dari apa yang di jumpaim oleh rakyat.

Bahasa adalah penting, karena ia merupakan media (alat) dengan mana rakyat menyatakan
pikiran dan perasaannya

Zuraiyq menulis kewajiban (orang-orang Arab) yang sadar akan bahasanya untuk merenungkan
bahasanya, supanya mengetahi sifat-sifat yang unggul melebihi bahansa lainnya serta sifat-sifat
khususnya yang memungkikan bahasa itu menguasai dengan sempurna daerah-daerah yang sangat
luas. Karna setiap bahasa memiliki kemampuan dan sifat-sifat khas yang membedakan dari bahasa
lainnya

Khouri, dalam kritinya dalam terhadap Zurayq keberatan dalam penggunaan kata-kata seperti
“keampusan Khas suatu bahasa” atau “sifat-sifat yang ungul. Ia menunjukan kepada bangsa Arab
sendiri untuk membuktikan kebenaran tafsiranya yang matrealis. Ketika bangsa Arab masih pada
taraf pengebaraan, maka bahasapun mencerminkan kesan kehidupan pengembara dalam segala segi
dan cabang-cabangnya. Dalam perkembangan kebudayaannya selama masa Abasiah bahasa arab
mengembangkan sayapnya dengan meluasnya kehidupan kebendaan dan moral sehingga bahasa itu
menjadi media utama kebudayaan di dunia ini. Kenudian, dengan mundurnya bangsa Arab bahasa
itu mulai pula surut sehingga tak memenuhi syarat seperti keadaan dewasa ini.

Telah kita ketahui, bahwa bahasa merupakan factor yang sangat penting dalam nasionalisme Arab.
Dalam bentuknya yang sekarang ini dan meskipun tercatat kemajuan-kemajuan yang sangat pesat
pada masa abad yang terahin ini.

Dari pada itu, ketergantunga orang-orang Arab kepada bahasa asing apabila mereka menuntut
pendidikan tinggi menimbulkan sejumllah masalah yang jauh melampaui batas dualism simetris
semata-mata. Bahasa adalah suatu yang lebih dari pada hanya suatu alat yang pasif; Bahasa adalah
suatu cara hidup (way of life) dan cara berpikir. Apabila mahasiswa Arab memperoleh pendidikan
tingginya di sekolah-sekolah Inggris, Amerika, Perancis atau Jerman, mereka dengan sadar atau tidak
mendapatkan bagian terbesar dari pandangan-pandangan mental dan moralnya.

Ada dua masalah penting yang harus di perbincagkan berhubung dengan peranan bahasa Arab
sebagai factor penting dalam nasionalisme Arab

Pertama mengenai aksara. Tak banyak masalah seperti yang ternyata pada Collomquium tentang
kebudayaan Islam yang di selenggarakan di Princeton pada musim panas tahun 1953 yang begitu
menimbulkan perbedaan sengit seperti usul-usul untuk memperbaharui, merubah atau mengganti
aksara Arab. Kekurangan-kekurangan aksara Arab segera di akui, misalnya aksara Arab menunjukan
arti yang umum, dan bukanya arti yang eksak.

Kedua, Bahasa Arab klasik dan bahasa Arab sehari-hari berdiri berdampingan, yang satu di gunakan
untuk sehari-hari, yang lain di gunakan dalam kegiatan resmi atau perniagaan. Dualisme itu ada pada
setiap lapangan kehidupan, menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam pendidikan, dalam penulisan
buku-buku, bagi anak-anak, sekolah dan rakyat. Dan dalam segala macam perhubungan di tingkatan
resmi atau umum. Selain dari pada itu, perbedaan-perbedaan lagat bahasa sehari-hari di berbgai
Negara-negara Arab mau tak mau menimbulkan berbagai jenis kesadaran daerah daerah dan dengan
demikian bertentangan dengan kesadaran nasional. Akan tetapi, kecendrungan tertuju kepada
nasionalisasi bahasa, dan hanyalah soal waktu sebelumnya tercapai. Ciri-ciri media yang akan di
pergunakan sudah mulai terwujud. Cirri-ciri itu berasal daripada pengakuan bahwa bahasa adalah
suatu organism yang harus terus menerus berkembang jika tidak mau berhenti sama sekali.

Kita menarik persamaan ini untuk mewujudkan bahwa pemujaan masa lampau tidak menghalangi
hokum evolusi dan bahwa pemakaian istilah-istilah baru bahkan memperkaya, bukan merusak
bahasa. Akan tetapi, apa yang sungguh-sungguh penting bukanlah soal perubahan atau bukan
perubahan, melaikan kecepatan dan insensitas perubahan itu.

Factor bangsa di dunia Arab sekarang ini bukanlah suatu organisasi terpusat dalam arti politik atau
suatu letak geografis yang menguntungkan. Melaikan perhubungan social.

2. Tradisi Sejarah

Faktor terpenting yang kedua diantara faktor – faktor yang membina nasionalisme Arab ialah tradisi
sejarah, demikian Menurut Husari, yang menggambarkannya sebagai ingatan hidup dari bangsa.
Kesatuan sejarah ( Arab ) ini menimbulkan simpati – simpati dan kecenderungan – kecenderungan
yang seragam. Hal ini membuat mereka bersama – sama bangga akan kegemilangan – kegemilangan
masa lampau dan bersama- sama bersedih tentang kemalangan – kemalangan masa lampau. Dan
oleh kerena itu menciptakan persamaan aspirasi- aspirasi bagi masa depan. Nichola Ziyadeh, Yuef
Haykal dan Nabih Faris juga memberi tempat kedua kepada pengaruh sejarah, yakni segera setelah
bahasa. Zurayq mendudukkan sejarah ditempat ketiga, yakni setelah bahasa dan kebudayaan. Akan
tetapi karena bahasa dan kebudayaan digunakan oleh penulis – penulis untuk menunjukkan suatu
hal yang sama maka pada hakikatnya tiada perbedaan antara pandangan – pandangan mereka dan
pandangan- pandangan Zurayq. Diantara teori – teori yang termasyur , hanya Alayili memindahkan
sejarah ketempat ke lima, yakni menempatkan sesudah bahasa, kepentingan, lingkunagan geografis
dan jenis bahasa.

Sebagai suatu bidang pengalaman- pengalaman seluruhnya dari bahasa, sejarah maha penting untuk
membangunkan hari ini dan mensejahterakan hari depan diatas dasar – dasar masa lalu. Perubahan
antara masa lampau dan masa sekarang telah diakui sebagai sumber kekuatan.

Ada banyak hal – hal dalam sejarah rakyat – rakyat Arab yang dapat merusak persatuan suatu
bangsa. Misalnya, alangkah hebatnya pertumpahan darah yang akan terjadi apabila orang ingat lagi
permusuhan Qays- Yemen ( Utara- Selatan ). Atau perjuangan yang pahit antara bangsa Syria –
Ummayah dan bangsa Irak Abbasiyah. Sebenarnya tradisi sejarah adalah suatu faktor yang
menyebabkan integrasi asal disajikan dengan tepat yakni, bahwa soalnya bukanlah menciptakan
keadaan sekarang serupa dengan masa lampau, melainkan penciptaan kembali masa lampau brupa
dengan keadaan sekarang.

Dengan demikian jelaslah bahwa tradisi – tradisi sejarah itu sendiri merupakan senjata yang bermata
dua : bisa mebangkitkan rasa solidaritas dengan melukiskan kembali peristiwa – peristiwa dalam
sejarah dan kadang – kadang memecah belah dengan melukiskan kembali peristiwa – peristiwa yang
kurang sedap, yang selalu banyak terjadi dalam setiap sejarah.

3. Persamaan Kepentingan
Karena kepentingan bersama ada antara berbagai bagian dunia Arab yang luas itu, maka agama –
agama yang dahulu adalah penjamin kepentingan – kepentingan, menjadi kehilangan tugasnya
kecuali dalam bidang moral dan etika.

Khouri lebih dekat lagi dengan pikiran atau paham zaman sekarang mengenai apa yang dinamakan
dengan kepentingan nasional, dengan menolak memberi kepadanya kedudukan sebagai syarat yang
mutlak bagi kebangsaan. Dalam kejamannya terhadap apa yang di singgung Zurayq mengenai
kepentingan kepentingan sekaang dan masa depan, Khouri bertanya-tanya apakah yang di
maksudkan dengan “kepentingan sekarang dan masa depan” itu. Apakah kita harus menarik
kesimpulan dari alasan yang di kemukakannya bahwa jika kalau kepentingan-kepentinagn saling
berbentrokan antara berbagai golongan dalam suatu bangsa, maka bangsa itu akan lenyap? Suatu
penilaian yang lebih bersifat ilmiah mengenai paham itu demikian Khouri menutup keterangannya,
akan menunjukan bahwa pernyataan-pernyataan yang bersifat dogmatis mengenai kepentingan
sekarang dan masa depan tak dapat di benarkan, hanya mengenai kepentingan yang meliputi
sebagian terbesar bangsa pada suatu tingkat yang khusus dari perkembangan nasional dapat di
pertimbangkan dengan sungguh-sunguh.

Pertentangan paham mengenai soal apakah kepentingan-kepentinagn bersama merupakan atau


tidak merupakan suatu faktor dalam nasionalisme menimbulkan masalah yang lebih besar mengenai
paham nasionalisme yang bersifat objektif melawan paham nasionalisme yang bersifat subjektif,
yang akan di jabarkan dalam Appendix. Disitu di kemukakan, bahwa gejala nasionalisme hanyalah
dapat di teranagkan berdasarkan pergabungan faktor-faktor objektif dan subjektif. Pergabungan
pementingan diri-sendiri dan rasa perikemanusiaan termasuk pula dalam paham kepentingan
nasional, dan oleh karena itu adalah baik sekali untuk memusatkan perhatian secara khusus kepada
beberapa cabang dari tahap itu.

2. Perkembangan Nasionalisme Mesir

1) Krisis Keuangan Mesir

Sejak dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, negara-negara Barat terutama Inggris dan Prancis
saling berlomba memperebutkan pengaruhnya di Mesir. Pengaruh kekuasaan Inggris makin kuat
mulai tahun 1875, yakni saat Khedive Ismail (1863–1879) membutuhkan uang sehubungan dengan
krisisnya keuangan Mesir. Khedive Ismail kemudian menjual sebagian besar saham Mersir pada
Terusan Suez kepada Inggris.

Di samping itu, Mesir juga meminjam uang dari Inggris dan Prancis. Mesir karena tidak dapat
membayar hutang-hutangnya maka Inggris dan Prancis masuk ke Mesir dan memberesi hutang-
hutangnya. Dengan demikian, sejak tahun 1876, Inggris dan Prancis telah ikut campur dalam
pemerintahan di Mesir. Adanya campur tangan Inggris dan Prancis dalam pemerintahan, khususnya
pada saham-saham Terusan Suez menimbulkan kekecewaan yang kemudian muncul perlawanan
rakyat. Kebangkitan nasional Mesir ditandai dengan adanya pemberontakan Arabi Pasha (1881–
1882). Mulamula gerakan ini antiorang asing (Inggris, Prancis dan Turki), tetapi akhirnya menjadi
gerakan untuk menuntut perubahan sistem pemerintahan. Gerakan Arabi ini timbul karena
pengaruh Jamaluddin al Afghani yang ketika itu mengajar di Mesir. Perlawanan rakyat yang dipimpin
oleh Arabi Pasha ini sangat membahayakan kedudukan Inggris dan Prancis di Mesir. Inggris akhirnya
bertindak dan berhasil menumpas pemberontakan Arabi Pasha.

2) Timbulnya Nasionalime Mesir


Mesir termasuk negara Arab sehingga bangkitnya nasionalisme Mesir merupakan hal yang sama
dengan bangkitnya nasionalisme Arab. Adapun sebab-sebab timbulnya nasionalisme Mesir adalah
sebagai berikut.

a. Adanya gerakan Wahabi, semula merupakan gerakan agama yang kemudian memberontak
pemerintahan Turki. Dengan demikian, secara politik membangkitkan tumbuhnya nasionalisme
Mesir.

b. Adanya pengaruh Revolusi Perancis. Ketika Napoleon Bonaparte mendarat di Mesir, ia juga
membawa suara Revolusi Prancis yang kemudian menimbulkan paham liberal dan nasionalisme
Mesir.

c. Munculnya kaum intelektual yang berpaham modern.

d. Adanya Gerakan Pan Arab, yang dirintis oleh Amir Chetib Arslan dengan yang menganjurkan
persatuan semua bangsa Arab dengan tujuan untuk mencapai kemerdekaan bangsanya.

Sekalipun pemberontakan Arabi Pasha berhasil dipadamkan, namun cita-cita perjuangan Arabi Pasha
merupakan sumber aspirasi semangat nasionalisme bangsa Mesir. Hal ini terbukti pada tanggal 7
Desember 1907 telah diadakan kongres nasional yang pertama di bawah pimpinan Mustafa Kamil.
Tujuannya adalah pembangunan Mesir secara liberal untuk mencapai kemerdekaan penuh.
Pemerintah Mesir yang dipengaruhi oleh Inggris berusaha untuk menindas gerakan ini, akan tetapi
gerakan nasional ini tetap hidup dan makin kuat bahkan kemudian menjelma menjadi Partai Wafd
(Utusan) di bawah pimpinan Saad Zaghlul Pasha.

Ketika Perang Dunia I selesai, Partai Wafd menuntut Mesir sebagai negara merdeka dan ikut serta
dalam konferensi perdamaian di Prancis. Inggris menolak, bahkan mengasingkan Zaghlul Pasha ke
Malta. Pada tahun 1919 di Mesir timbul pemberontakan dan Zaghlul Pasha dibebaskan kembali.
Kaum nasionalise Mesir menuntut kemerdekaan penuh. Pemberontakan berkobar lagi, Zaghlul
Pasha ditangkap lagi dan diasigkan ke Gibraltar. Inggris yang tidak dapat menekan nasionalisme
Mesir, terpaksa mengeluarkan Pernyataan Unilateral (Unilateral Declaration) pada tanggal 28
Februari 1922.

Isi Unilateral Declaration adalah sebagai berikut :

1. Inggris mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Mesir.

2. Inggris berhak atas empat masalah pokok,seperti berikut:

· Mempertahakan Terusan Suez;

· Mempergunakan daerah militer untuk operasi militer;

· Mempertahankan Mesir terhadap agresi bangsa lain;

· Melindungi bangsa asing di Mesir dan kepentingannya.

Unilateral Declaration 1922 merupakan saat yang bersejarah bagi Mesir sebab sejak itu dunia
internasional menganggap Mesir telah merdeka, meskipun belum penuh. Sebaliknya, di pihak kaum
nasionalis Mesir tetap menentangnya sebab Inggris tetap berhak atas empat masalah pokok
tersebut di atas. Itulah sebabnya, kaum nasionalisme Mesir terus berjuang melawan Inggris untuk
mencapai kemerdekaan penuh. Hal ini baru terwujud setelah Perang Dunia II berakhir (Oktober
1954).
3. Perkembangan Nasionalisme Turki

1) Kemunduran Turki Usmani

Kerajaan Turki Usmani yang pernah mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-19 terus
mengalami kemunduran sampai akhirnya mendapat julukan The Sick Man. Hal ini disebabkan oleh :

a. Tidak ada lagi sultan-sultan yang kuat dan besar.

b. Intrik-intrik dalam istana semakin merajalela.

c. Tentara Janisari yang terkenal telah merosot martabatnya menjadi pengacau kerajaan daripada
pembela kerajaan.

d. Pemerintahan yang lemah dan kacau mengakibatkan adanya Krisis Gezag sehingga negara-
negara bagian berani mengadakan pemberontakan untuk melepaskan diri dari Turki.

e. Revolusi Perancis mengilhami negara-negara bagian untuk merdeka (seperti, Yunani, Bulgaria,
Serbia, Rumania, dan Mesir).

2) Masalah Timur

Kelemahan Turki kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara imperialisme Barat untuk menguasai
jajahan Turki atau menghancurkan Turki sekaligus. Adanya perbenturan kepentingan antara negar -
negara Barat mengenai status Turki dan daerah jajahan inilah yang menimbulkan “Masalah Timur”
(The Eastren Question).

3) Timbulnya Nasionalisme Turki

Sebab-sebab timbulnya nasionalisme Turki adalah sebagai berikut:

a. Kekuasaan Turki Usmani yang semakin merosot.

b. Adanya pengaruh dari Revolusi Prancis dengan semboyannya liberte, egalite, dan fraternite.

c. Timbulnya kaum terpelajar yang berpaham modern sehingga mereka mengetahui apa itu
liberalisme, nasionalisme, dan demokrasi.

d. Kegiatan bangsa Barat yang semakin gencar untuk merebut daerah-daerah jajahan Turki dan
siap menghancurkan Turki.

Dalam situasi demikian itulah, akhirnya mendorong timbulnya semangat nasionalisme terutama di
kalangan tokoh-tokoh muda untuk mengadakan pembaharuan di segala bidang. Tokohnya, antara
lain Kemal Pasha, Midhat Pasha, Rasjid Pasha, dan Ali Pasha. Pada tahun 1906, dibawah pimpinan
Kemal Pasha berdirilah perkumpulan Tanah Air dan Kemerdekaan dan pada tahun l908 tumbuh
menjadi Gerakan Turki Muda.

a. Menyelamatkan Turki dari keruntuhan total.

b. Menanamkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat.

c. Mengadakan perbaikan sosial, ekonomi dan budaya.

d. Mengadakan pembaharuan organisasi pemerintahan.

4) Turki dalam Perang Dunia I


Turki pernah menjadi negara adidaya. Pada zamannya dimana wilayah kekuasaannya meliputi
Jazirah Belkan, Afrika Utara dan jazirah Arab. Selama Perang Dunia I, pemerintah Turki didominasi
oleh Gerakan Turki Muda. Dalam Perang Dunia I, Turki memihak kepada Jerman (Sentral) dan ikut
serta membendung serangan Rusia, Inggris, dan Prancis ke Laut Tengah. Sekutu menyerang
Dardanella, tetapi dapat digagalkan oleh Mustafa Kemal Pasha dalam pe-tempuran di Gallipoli.
Itulah sebabnya, Mustafa Kemal Pasha disebut Pahlawan Gallipoli. Sejak itulah Sekutu tidak berani
menerobos Dardanella. Perang Dunia I berakhir dengan kekalahan di pihak blok Sentral, sehingga
terjadilah Perjanjian Sevres (20 Agustus 1920) antara Sekutu dan Turki. Akan tetapi, pemimpin Turki
Muda tidak mau menyerah begitu saja. Tampillah The Strong Man Turki, yakni Mustafa Kemal Pasha
yang menentang Sekutu dan tidak mau mengakui Perjanjian Sevres yang dibuat dengan Sultan. Ia
memimpin gerakan revolusi dan berhasil menurunkan Sultan Muhammad V dari takhtanya (1
November 1923). Selanjutnya, ia memperbarui Perjanjian Sevres dengan Perjanjian Lausanne yang
isinya tidak begitu merugikan Turki. Nasionalisme dan revolusi bangsa Turki terjadi setelah Perang
Dunia I, dimana Turki berada dipihak yang kalah dan harus tunduk pada keputusan sekutu antara
lain menyeragkan wilayah kekuasaannya. Prancis, Inggris dan Italia mendapatkan wilayah Turki di
Afrika dan Jazirah Arab. Sementara Yunani di Belkan memperoleh kemerdekaannya dari Turki.
Nasionalisme Turki semakin tumbuh setelah negara-negara sekutu berusaha terus melemahkan
Turki dengan cara membantu gerakan nasionalis Yunani merebut wilayah Turki di bagian Barat
Balkan tahun 1919. Dalam perang melawan agresi Barat tampil Mustapha Kemal Pasha (tokoh
militer Turki) yang bersimpati pada gerakan Turki Muda. Gerakan ini dianggap sebagai realisasi dari
nasionalisme Turki karena terbentuk atas dasar semangat kebangsaan yang berusaha mengusir
kekuasaan Barat/asing dan menentang rezim lama yang lemah (Sultan hamid II).

Gerakan tersebut berhasil mengusir sekutu dan memaksanya untuk duduk dimeja perundingan
Perjanjian Laussane 1923 berisikan Turki tetap berdaulat, hanya kehilangan daerah pendudukannya
di jazirah Arab. Kemal Pasha berhasil mempengaruhi Majelis nasional (semacam Parlemen) untuk
membuktikan memberhentikan Sultan serta mendirikan negara Republik Turki. Ia menjadi presiden
pertama pada 29 Oktober 1923 dan memindahkan ibukota dari Istambul (wilayah Eropa) ke Arkara
(di Asia). Tepat pada tanggal 29 Oktober 1923 secara resmi diumumkan proklamasi kemerdekaan
Turki. Sejak itu Kerajaan Turki Usmani yang ortodok dihapuskan dan digantikan dengan Republik
Turki yang modern. Ankara dijadikan sebagai ibu kotanya. Sebagai presiden pertama ialah Mustafa
Kemal Pasha atau disebut juga Kemal Pasha Attaturk (Bapak Bangsa Turki). Ismet Pasha atau Ismet
Inonu sebagai perdana menterinya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Struktur suatu kebangsaan Arab sudah berkembang dengan baiknya didalam dua zaman yang telah
kita bicarakan. Kemudia berabad-abad lamanya tenggelam dibawah beban yang melemahkan
berupa kebodohan dan kemaksiatan. Kebekuan ini kemudian terjadi lagi dan hidup kembali karena
bentrokan dengan Barat. Dengan kebangkitan kembali secara umum ini, datang kembali kesadaran
nasionalis Arab. Hampir tak perlu diterangkan lagi bahwa istilah modern dalam rentetan waktu,
hanyalah dalam artinya dalam hubungan cara memandang sepintas. Ada beberapa hal yang
membina perkembangan nasionalisme di Arab yakni ; bahasa, tradisi sejarah dan persamaan
kepentingan.

Mesir termasuk negara Arab sehingga bangkitnya nasionalisme Mesir merupakan hal yang sama
dengan bangkitnya nasionalisme Arab. Adapun sebab-sebab timbulnya nasionalisme Mesir adalah:
Adanya gerakan Wahabi, semula merupakan gerakan agama yang kemudian memberontak
pemerintahan Turki. Dengan demikian, secara politik membangkitkan tumbuhnya nasionalisme
Mesir. Adanya pengaruh Revolusi Prancis. Ketika Napoleon Bonaparte mendarat di Mesir, ia juga
membawa suara Revolusi Prancis yang kemudian menimbulkan paham liberal dan nasionalisme
Mesir. Munculnya kaum intelektual yang berpaham modern. Adanya Gerakan Pan Arab, yang dirintis
oleh Amir Chetib Arslan dengan yang menganjurkan persatuan semua bangsa Arab dengan tujuan
untuk mencapai kemerdekaan bangsanya.

Kekuasaan Turki Usmani yang semakin merosot. Adanya pengaruh dari Revolusi Prancis dengan
semboyannya liberte, egalite, dan fraternite. Timbulnya kaum terpelajar yang berpaham modern
sehingga mereka mengetahui apa itu liberalisme, nasionalisme, dan demokrasi. KIegiatan bangsa
Barat yang semakin gencar untuk merebut daerah-daerah jajahan Turki dan siap menghancurkan
Turki.

PERTANYAAN

1. Apakah ada unsur – unsur kebudayaan lain pada perkembangan nasionalisme Arab ?

2. Bagaimana proses gerakan Wahabi ?

3. Apa yang menjadi latar belakang agama Islam tidak mendukung agama Kristen dalam
Nasionalisme Arab ?

JAWABAN

1. Ada dua yaitu :

Ø Bahasa adalah alat komunikasi. Dalam berkomukasi manusia menyampaikan ide maupun
pendapatnya untuk mewujudkan tujuan bersama. Melalui bahasa inilah Arab mengembangkan
nasionalisme yang ada di negaranya.
Ø Agama dapat menjadi sebuah kekuatan untuk mempertahankan dan mengembangakan
nasionalisme yang sudah ada di Arab. Mereka yang mayoritas beragama Islam terjalin persatuan
yang sangat kuat. Karena didalam agama Islam sendiri diajarkan untuk saling melindungi umatnya,
bahkan dalam agama Islam ada dikenal istilah jihat. Persamaan agama ini sangat mendorong
persatuan diantara mereka.

2. Gerakan wahabi merupakan gerakan keagamaan yang ada di Turki. Ketika pemerintah Turki
menjalankan pemerintahannya tidak seseuai dengan ajaran Islam, gerakan wahabi ini melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan Turki. Ketika gerakan wahabi yang merupakan gerakan
Islam melakukan pemberontakan maka secara keseluruhan membawa dampak besar bagi
kebangkitan nasionalisme di Mesir.

3. Islam pada zaman Nabi Muhammad sangat menghargi perbedaan agama, karena pada saat
Nabi Muhammad membawa ajaran Islam di Arab sudah ada banyak kepercayaan lain yang dianut
orang-orang disana. Melihat situasi demikian Muhammad sangat toleransi terhadap kepercayaan
yang ada disana. Tetapi ketika Muhammad telah meninggal maka banyak terjadi perpecahan
dikalangan Islam. Ketika terjadi perpcahan maka terjadi juga perbedaan-perbedaan dalam agama
Islam. Satu aliran Islam berbeda paham yang tidak bisa disatukan, bagaimana dengan kepercayaan
lain yang berbeda konsep, pemahaman dan latar belakangnya. Islam tidak pernah mendukung
Kristen salah satunya karena perbedaan paradigma yang terjadi setelah sepeninggal Nabi
Muhammad. Sikap toleransi yang ditanamkan Muhammad perlahan memudar bahkan menghilang.
Ketika itu juga banyak terjadi kekacauan yang mengatasnamakan perang agama Islam dan Kristen.
Akhirnya terjadi permusuhan yang semakin meruncing, misalnya seperti terjadinya perang salib itu
karena sikap toleransi antar umat beragama sudah menghilang. Ketika agama dijadikan sebab
terjadinya permusuhan maka akan membawa kepada dampak berikutnya. Kedua kepercayaan ini
akan sangat sulit untuk bekerjasama karena perbedaan-perbedaan yang dalam kepercayaan mereka.
Daftar Pustaka

Sihbudi, M. Riza. 1991. Islam, Dunia Arab, Iran Bara Timur Tengah. Yogyakarta: Mizan.

Zaki Nuseibeh, Hazem. 1969. Gagasan-gagasan Nasionalisme Arab. Jakarta: Yayasan Dana Buku
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai